Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN STUDI KASUS MINOR

ILMU PENYAKIT MULUT

ULSER TRAUMATIK

Disusun oleh:
Monica Sherlyta
160112150095

Pembimbing:
Erna Herawati, drg. M.kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................11


3.1 Definisi.............................................................................................................11

3.2 Etiologi Ulser traumatik................................................................................11

3.3 Patofisiologi Ulser Traumatik.......................................................................12

3.4 Gambaran klinis Ulser Traumatik...............................................................13

3.5 Diagnosa dan Prognosa Ulser traumatik.....................................................14

3.6 Diagnosa Banding Ulser traumatik..............................................................14

3.6.1 Recurrent Aphthous Stomatitis..........................................................14

3.6.2 Oral Squamous Cell Carcinoma.......................................................21

3.7 Terapi Ulser traumatik..................................................................................24

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................26

BAB V SIMPULAN.............................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

Ulser merupakan suatu defek pada jaringan epitel berupa lesi cekung

berbatas jelas yang telah kehilangan lapisan epidermis (Greenberg dan Glick,

2008). Ulser traumatik dapat disebabkan oleh trauma fisik, termal, ataupun kimia.

Ulser yang dihasilkan dari luka traumatik merupakan tipe ulser yang paling sering

ditemukan di klinik (Anura,2014).

Ulser traumatik bisa terjadi pada semua kelompok umur, dan tidak ada

perbedaan antara pria dan wanita (DeLong, 2008). Lesi yang disebabkan oleh luka

traumatik pada rongga mulut umumnya menimbulkan ulserasi. Terbentuknya lesi

dapat dipengaruhi oleh faktor mekanis, kimia, elektris maupun termal. Penyebab

terjadinya ulser traumatik, antara lain gigi yang fraktur, karies, malposisi dan

malformasi ataupun ill fitting denture juga berperan dalam proses terbentuknya

lesi traumatik (Houston, 2009).

Ulser traumatik merupakan lesi yg paling umum terjadi. Trauma yang

biasa terjadi termasuk pipi atau lidah yang tergigit saat mengunyah, atau bahkan

trauma dari sebuah sikat gigi serta trauma karena gigi tiruan yang tidak sesuai.

Pada umumnya ulser akan sembuh dalam beberapa hari tanpa komplikasi

(DeLong, 2008; Anura,2014).

Makalah ini selanjutnya akan membahas mengenai ulser traumatik pada

pasien usia 25 tahun yang datang ke RSGM Unpad. Pasien mengeluhkan terdapat

1
2

sariawan di gusi rahang bawah kiri terasa sakit saat lidah menyentuh sariawan dan

saat memakai gigi tiruan sehingga pasien merasa tidak nyaman.


3

BAB II

LAPORAN KASUS

Data Umum Pasien

Nama : Tn. MY

Umur : 25 tahun

Alamat : Jl. Rp No. XX

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

No. Rekam Medis : 2015 – 136xx

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal Pemeriksaan : 25 Mei 2016

Anamnesa

Pasien datang dengan keluhan terdapat sariawan di gusi rahang bawah kiri

belakang sejak menggunakan gigi tiruan lepasan. Pasien mulai menggunakan gigi

tiruan sejak 3 hari yang lalu dan merasa tidak nyaman karena ada bagian tajam.

Sariawan terasa sakit saat lidah menyentuh sariawan dan sakit bertambah saat

memakai gigi tiruan. Pasien belum memakai obat apapun untuk menyembuhkan

sariawan. Pasien ingin diobati sariawannya karena sedikit sakit saat lidah

menyentuh sariawan dan saat memakai gigi tiruan.


4

Riwayat Penyakit Sistemik

Penyakit jantung : YA/TIDAK

Hipertensi : YA/TIDAK

Diabetes Melitus : YA/TIDAK

Asma/Alergi : YA/TIDAK

Penyakit Hepar : YA/TIDAK

Kelainan GIT : YA/TIDAK

Penyakit Ginjal : YA/TIDAK

Kelainan Darah : YA/TIDAK

Hamil : YA/TIDAK

Kontrasepsi :YA/TIDAK

Lain-lain : YA/TIDAK

Riwayat Penyakit Terdahulu

disangkal

Kondisi Umum

Keadaan Umum : Baik Tensi : 110/70 mmHg

Kesadaran : Compos Mentis Pernafasan : 18 x / menit

Suhu : Afebris Nadi : 72 x / menit

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe
5

Submandibula kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Submental kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Mata : pupil isokhor, konjungtiva non anemis, sklera

non ikhterik

TMJ : Kliking kiri

Bibir : kompeten, TAK

Wajah : simetris

Sirkum Oral : TAK

Lain-lain : TAK

Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut : Baik; Kalkulus (-); Plak (+); Stain (-)

Gingiva : terdapat ulser pada gingiva bagian bukal dekat distal region

35, ukuran ± 2mm. Luka berbentuk ireguler, berwarna putih

kekuningan dikelilingi permukaan eritem, kedalaman

dangkal, dasar cekung


6

Mukosa bukal : TAK

Mukosa labial : TAK

Palatum durum : TAK

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : TAK

Dasar mulut : TAK

Status Gigi Geligi

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

Diagnosis

D/ Ulser traumatik ec gigi tiruan a/r gingiva bagian bukal distal 35

DD/ Stomatitis Apthosa Reccurent minor DD/ Squamos cell carcinoma

Rencana Perawatan Dan Pengobatan

 Pro resep
R/ Chlorheksidine gluconate 0,2% gargle flc no.I
∫ col oris
 Pro kontrol 1 minggu
7

 KIE:
1. Instruksikan penggunaan chlorheksidine gluconate dikompreskan

menggunakan kapas
2. Hindari pemakaian gigi tiruan sampai sariawan hilang
3. Perbaiki landasan gigi tiruan dibagian anatomis region gingiva 36

Gambar 2.1 Traumatik ulser pada gingiva bagian bukal region distal 35

Status Kontrol

Tanggal Pemeriksaan : 01 Juni 2016


8

Anamnesa

Pasien datang untuk kontrol setelah sekitar 1 minggu yang lalu terdapat

sariawan pada daerah gusi sebelah kiri bawah. Untuk pengobatan pasien

menggunakan obat kumur chlorhexidine dua kali sehari setelah menyikat gigi.

Pasien mengaku setelah 3 hari perawatan sariawan sembuh dan tidak sakit lagi.

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Submental kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : tidak teraba, tidak sakit

Mata : pupil isokhor, konjungtiva non anemis, sklera

non ikhterik

TMJ : Kliking kiri

Bibir : kompeten, TAK

Wajah : simetris

Sirkum Oral : TAK

Lain-lain : TAK

Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut : Baik; Kalkulus (-); Plak (+); Stain (+)

Gingiva : TAK
9

Mukosa bukal : TAK

Mukosa labial : TAK

Palatum durum : TAK

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : TAK

Dasar mulut : TAK

Status Gigi Geligi

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

Diagnosis

D/ post Ulser traumatik

Rencana Perawatan Dan Perawatan

Pro OHI

Pro anjuran diet makanan sehat


10

Gambar 2.2 kondisi setelah user traumatic pada gingiva bagian bukal region distal

35 sembuh

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
11

Ulser traumatik adalah lesi oral umum yang disebabkan oleh gigi yang

patah atau tajam, tambalan yang kurang baik, iritasi gigi tiruan, iritasi kawat

ortho, benda asing lain, atau disebabkan tergigit saat makan (Laskaris, 2006).

3.2 Etiologi Ulser traumatik

Lesi ulser traumatik pada mukosa mulut dapat terjadi karena beberapa

faktor trauma (Ghom, 2014), diantaranya:

1. Trauma mekanis atau fisik

Tergigitnya bibir, pipi, dan lidah; gigi yang tajam; malposisi gigi atau akar;

sikat gigi; margin restorasi atau protesa yang tajam; alat ortodontik. Luka

iatrogenik juga merupakan penyebab ulser traumatik.

2. Trauma kimia

Silver nitrate, phenol, TCA, formocresol, eugenol, eucalyptus oil, phosphorus

dan asam asetilsalisilak. Kokain juga dilaporkan menyebabkan ulser pada

rongga mulut.

3. Trauma termal

Panas yang berasal dari minuman atau makanan menyebabkan mucosal burn

dan ulserasi. Pada kasus yang jarang, penggunaan dry ice dan instrumen panas

juga menyebabkan ulcer.

4. Nocturnal parafunctional habits

Bruxism

5. Lain-lain

Factitios injury, xerostomia, radiotherapy


12

3.3 Patofisiologi Ulser Traumatik

Traumatic ulcer dapat terjadi ketika trauma yang terjadi cukup parah untuk

merusak permukaan epitel. Traumatic ulcer hampir selalu diawali oleh respon

akut beberapa saat setelah trauma terjadi (Myers and Curran, 2014). Traumatic

ulcer ini terjadi diduga karena adanya infiltrasi neutrofil yang diikuti oleh

kerusakan epitel dan infiltrasi limfosit ke dalam jaringan. Sel mononuklear juga

mengelilingi pembuluh darah (perivaskular), tetapi tidak terlihat adanya vaskulitis

(Cawson and Odell, 2008).

Ulser ini akan sembuh dengan sendirinya tanpa meninggalkan jaringan

parut dalam waktu 10 hingga 14 hari apabila iritan penyebab dihilangkan karena

terjadi proses keratinisasi dan pembaharuan sel-sel epitel mukosa oral.

(Cunningham, 2006).

3.4 Gambaran klinis Ulser Traumatik

Lokasi, ukuran, dan bentuk lesi tergantung trauma yang menjadi

penyebab. Ulser traumatik biasanya berbentuk ireguler yang membedakannya

dengan RAS, terbentuk sedikit cekung dan berbentuk oval. Gambaran yang paling

sering berupa ulser tunggal dan sakit dengan permukaan lesi halus, berwarna putih

kekuningan atau merah, dengan tepi eritem tipis. Ulser biasanya lunak pada

palpasi, dan sembuh tanpa berbekas dalam 6-10 hari, secara spontan atau setelah

menghilangkan penyebab. Tempat predileksi dapat pada lidah, bibir, dan mukosa

bukal. Gambaran klinis dari trauma mekanik bervariasi tergantung intensitas dan
13

ukuran penyebabnya. Ulser traumatik sembuh tanpa meninggalkan bekas, jika

ulser tetap ada melebihi 10-14 hari, maka biopsy harus dilakukan (Ibsen, 2014;

Laskaris, 2006).

Gambar 3.1 Ulser traumatik karena gigi tiruan (sumber: Ibsen, 2014)

Gambar 3.2 Ulser traumatik karena sikat gigi (sumber: John, 2014)

3.5 Diagnosa dan Prognosa Ulser traumatik

Ulser traumatik bisa terjadi pada semua usia dan tidak ada perbedaan

antara perempuan dan laki-laki. Penyebab terjadinya lesi traumatik umumnya


14

berbeda-beda tergantung riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis. Masalah

sistemik sepertinya pengobatan dan penyakit bisa menyebabkan lesi ulser. Oleh

karena itu anamnesis harus digali dengan baik dan pemeriksaan klinis harus tepat

sehingga menghilangkan kecurigaan terhadap terjadinya ulser infeksi atau

neoplasma. Prognosa dari ulser traumatik sangat baik (DeLong, 2008).

3.6 Diagnosa Banding Ulser traumatik

3.6.1 Recurrent Aphthous Stomatitis

Definisi RAS
Reccurent Aphtous Stomatitis(RAS) merupakan suatu kelainan yang

ditandai oleh adanya ulser yang berulang pada mukosa mulut pasien tanpa adanya

gejala atau tanda penyakit lain. Kelainan imun, gangguan hematologi, alergi atau

kelainan psikologikal merupakan suatu hal yang diyakini terlibat akan terjadinya

RAS (Greenberg and Glick, 2008).


Faktor-faktor yang dihubungkan dengan RAS antara lain faktor genetik,

defisiensi hematologi, abnormalitas imunologi, faktor local sepertri trauma dan

merokok. RAS juga dihibungkan dengan disfungsi local imun, defisiensi

hematologi antara lain, serum besi, folat vitamin B12. Faktor lain yang

dihubungkan dengan RAS adalah kegelisahan, periode stress psikologi, trauma

local pada mukosa, menstruasi, infeksi saluran nafas atas, dan alergi makanan

(Greenberg dan Glik, 2008).


RAS dikarakteristikkan dengan bentuk lesi ulser bulat atau oval,

berdiameter kurang dari 1 sentimeter, dengan tepi eritem dan jaringan nekrotik di

tengahnya. Ulser ini sering diikuti rasa sakit yang memberikan dampak negatif

terhadap kualitas hidup pasien (Hulling et al, 2012).


15

Klasifikasi RAS

RAS diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasarkan ukurannya yaitu ulser aftosa

minor, ulser aftosa mayor, dan herpetiform (Scully and Felix, 2005).

1. Aphtous Minor Ulcer

Ulser aftosa minor dikenal juga sebagai Miculiz aphthous atau ulser aftosa

ringan. Merupakan RAS yang paling sering terjadi sekitar 75-85% dari seluruh

kasus RAS. RAS minor dapat melibatkan seluruh mokusa non-keratin pada

rongga mulut (Vivek and Bindu, 2011). Aftosa minor terjadi terutama pada

kelompok usia 10-40 tahun, mempunyai gejala yang minim, dan berbentuk ulser

bulat atau oval, dangkal, berwarna kuning-kelabu, dengan diameter sekitar 2-4

mm, margin halo eritematosus dan disertai odema, dan ditemukan terutama pada

mukosa non-keratin seperti pada mukosa labial, mukosa bukal, dasar mulut,

sulkus atau ventral lidah dan jarang terjadi pada mukosa berkeratin seperti

gingiva, palatum, dan dorsal lidah. Lesi sembuh dalam 7 sampai 10 hari, dan

berulang pada interval 1 sampai 4 bulan meninggalkan jaringan parut sedikit atau

tidak sama sekali (Scully and Felix, 2005; Preeti et al, 2011) .

Gambar 3.3 Ulser aftosa minor (Scully and Felix, 2005)


16

2. Aphtous Mayor Ulcer

Ulser aftosa mayor dikenal juga sebagai Sutton aphthous atau periadenitis

mucosa necrotica recurrens, mempunyai durasi lebih lama dan lebih menyakitkan

dibandingkan ulser minor. Ulser aftosa mayor berbentuk bulat atau ovoid seperti

ulser minor, tetapi ukuran lebih besar biasanya berdiameter sekitar 1 cm atau

bahkan lebih dan dikelilingi odema. Ulser ditemukan pada mukosa oral seperti

dorsal lidah atau palatum, terjadi hanya beberapa ulser (1 sampai 6) pada satu

waktu dan sembuh dengan lambat selama 10 sampai 40 hari. Ulser dapat sering

berulang, kemungkinan sembuh meninggalkan jaringan parut (Scully and Felix,

2005).

Gambar 3.4 Ulser aftosa mayor (Scully and Felix, 2005)

3. Herpetiform Ulcer

Ulser herpetiform sedikit ditemukan pada kelompok lanjut usia

dibandingkan bentuk RAS lainnya, dan ditemukan terutama pada wanita. Ulser

diawali dengan vesikel yang berkembang cepat menjadi beberapa ulser kecil

seukuran jarum menyebar dan mengalami peningkatan ukuran dan menyatu

menjadi ulser besar bulat tidak beraturan yang sembuh dalam 10 hari atau lebih,

tanpa meninggalkan jaringan parut, sering menimbulkan rasa sakit, dan berulang.
17

Ulser juga melibatkan daerah oral termasuk mukosa berkeratin (Scully and Felix,

2005).

Gambar 3.5 Ulser herpetiform (Laskaris, 2006)

Faktor Predisposisi RAS

Penyebab pasti dari RAS masih belum diketahui, tetapi terdapat beberapa

faktor yang diketahui dapat memicu terjadinya RAS. Faktor yang diketahui

sebagai predisposisi munculnya penyakit ini, diantaranya adalah genetik, alergi

makanan, trauma lokal, gangguan hormonal (berkaitan dengan siklus menstruasi),

stres, kebiasaan merokok, aktivitas mikroorganisme, gangguan immunologi,

defisiensi nutrisi, dan obat-obatan (Guallar et al, 2014).

1. Faktor Genetik

Pada beberapa individu, RAS bisa saja terjadi karena adanya latar

belakang genetik. Hal ini ditunjukan dari sepertiga dari pasien yang mengalami

RAS memiliki riwayat keluarga yang positif dengan peningkatan frekuensi tipe

HLA (HLA-A2, A11, B12, dan DR2) (Scully, 2008).

2. Faktor Imunologis
18

Ulser aftosa yang besar sering kali ditemukan pada pasien HIV+ dengan

CD4 limfosit T di bawah 100 sel/ml serta ditemukan pula pada pasien non HIV

akan tetapi mengalami imunodefisiensi seperti sindrom mielodisplastik,

neutropenia jinak, dan bentuk neutropenia lainnya seperti neutropenia siklikal

(Scully, et al., 2003).

3. Faktor Mikroba

Streptococcus rongga mulut memiliki peranan penting dalam patogenesis

RAS. Isolat bakteri inisial pada RAS adalah Streptococcus sanguinis, akan tetapi

analisis terbaru mengungkapkan bahwa bakteri yang berperan dalam RAS adalah

strain Streptococcus mitis. Analisis lain juga mengatakan bahwa adenovirus juga

dapat menyebabkan terjadinya RAS akan tetapi perlu konfirmasi lebih lanjut

untuk hal ini (Jurge, et al., 2006).

4. Faktor Nutrisi

RAS dipengaruhi beberapa faktor nutrisi diantaranya zat besi, folat, dan

vitamin B12. Pada penelitian, pasien RAS yang diterapi dengan sediaan zat besi,

vitamin B12, dan asam folat menunjukkan adanya perbaikan. Faktor nutrisi lain

yang penting adalah vitamin B1, B2, dan B6. Terapi dengan pemberian vitamin

tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh

dan rekuren berkurang (Nisa, 2011).

5. Faktor Lingkungan

1) Stres

Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika

ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan


19

kemampuan untuk mengatasinya (Looker, 2005). Pada beberapa penelitian

menyebutkan bahwa pasien dengan stres tingkat tinggi sering kali ditemukan RAS

(Nasution, 2011).

2) Trauma lokal

Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser pada

pasien dengan RAS (Scully, 2008). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat

berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan

atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang

berhubungan dengan berkembangnya RAS pada semua penderita tetapi trauma

dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung (Delong dan Burkhart, 2013;

Rajendran, 2009).

3) Merokok

Pasien yang menderita RAS biasanya bukan perokok. Terdapat laporan

bahwa perokok berat yang berhenti merokok mengalami RAS. Tetapi dilaporkan

merokok tembakau yang lebih sedikit menunjukkan adanya penurunan prevalensi

RAS (Scully, et. al, 2003).

4) Hipersensitivitas makanan

Penelitian oleh Nolan, dkk alergi makanan dapat berkaitan dengan RAS.

Penelitian ini menghubungkan pasien dengan RAS dengan adanya alergi terhadap

suatu makanan. Hasilnya terdapat 50% pasien yang memiliki alergi terhadap suatu

makanan berdasarkan hasil patch test. Makanan seperti coklat, kopi, kacang,

sereal, almond, strawberi, keju, tomat, dan gandum (mengandung gluten) pada
20

beberapa orang dapat menyebabkan timbulnya RAS (Pratiknyo dan Hendarmin,

2007).

5) Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers,

agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan

seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya RAS (Nisa, 2011).

6. Hormonal

Salah satu faktor predisposisi RAS adalah faktor hormonal yang lebih

sering terjadi pada wanita berkaitan dengan kadar progesteron yang rendah saat

fase luteal pada siklus menstruasi atau saat pemakaian pil kontrasepsi. RAS juga

dapat terjadi secara temporal saat wanita sedang mengandung (Scully, 2008).

Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Recurrent aphtous stomatitis pertama kali terjadi selama dekade kedua

kehidupan dan dapat dipercepat oleh trauma minor, menstruasi, infeksi saluran

pernapasan atas, dan kontak dengan makanan. Lesi terbentuk pada mukosa rongga

mulut dan dimulai dengan adanya predromal burning 2-48 jam sebelum ulser

muncul. Selama periode inisial ini, terbentuk area eritem yang terlokalisasi.

Selama beberapa jam, terbentuk papula kecil berwarna putih, kemudian berubah

menjadi ulser dan membesar lebih dari 48-72 jam (Greenberg dan Glick, 2008).

Karakteristik ulser pada RAS adalah berbatas jelas, simetris, terasa sakit,

kedalamannya dangkal, berbentuk bulat atau oval, bagian tengahnya ditutupi


21

dengan pseudomembran berwarna kuning keabuan, dan dikelilingi dengan tepi

yang menonjol serta halo eritem (Scully, et al.,2003).

Diagnosa RAS
RAS melibatkan mukosa tidak berkeratin, riwayat penyakit yang berulang,

dan berhubungan dengan riwayat keluarga.

3.6.2 Oral Squamous Cell Carcinoma

Definisi OSCC
Oral squamous cell carcinoma (OSCC) merupakan salah satu kanker yang

memiliki prevalensi tinggi dan termasuk 10 penyebab kematian. 95% OSCC

terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Predileksi OSCC adalah di lidah,

oropharynx, dan dasar mulut (Greenberg and Glick, 2008).

Etiologi OSCC
Penyebab OSCC adalah multifaktorial, namun dari semua faktor yang

berkontribusi, tobacco paling berpengaruh. Semua bentuk Tobacco smoking

sangat berhubungan dengan kanker rongga mulut. Resiko tinggi terkena SCC

karena tobacco adalah di palatum. Alkohol meskipun tidak diyakini bersifat

kariogenik manun dapan meningkatkan resiko kanker mulut. Beberapa

mikroorganisme seperti Candida Albicans, HPV juga menjadi faktor kausatif.

Selain itu, defisiensi zat besi seperti pada penderita Plummer-Vinson syndrmoe

(Patterson-kelly syndrome, sderopenic dysphagia) berhubungan dengan terjadi

kanker mulut. Sinar ultraviolet merupakan agen karsinogenik yang menyebabkan

SCC pada bibir. Faktor resiko lain adalah pasien dengan gangguan sistem imun

dan iritasi kronis seperti trauma mekanik dari gigi tiruan, dan kebersihan mulut
22

yang buruk dapat menyebabkan Squamous cell caricinoma (Regezi, 2016;

Greenberg and Glick, 2008).

Gambaran Klinis OSCC


OSCC lebih banyak terjadi pada laki-laki (Rasio 2:1), dan pada usia 40

tahun. Gambaran klinis bervariasi, dan dapat menyerupai penyakit lain. Tahap

awal OSCC umumnya tanpa gejala, dan dapat berupa lesi putih, lesi merah

atipikal, atau keduanya, dan dapat pula berbentuk masa exophytic. Gambaran

klinis yang paling sering adalah erosi dan ulser. Ulcer carcinoma memiliki

permukaan papillary ireguler, border lesi lebih tinggi, dan dasar keras saat palpasi.

Lesi lanjut OSCC umumya kronis dan mengeras. Predileksi OSCC adalah lateral

boder dan ventral lidah, serta bibir, dapat juga terjadi di dasar mulut, gusi, mukosa

laveolar, mukosa bukal, dan palatum. (laskaris). Tahap lanjut OSCC melibatkan

terbatasnya pergerakan, trismus, dan metastasis ke nodus lifatikus servik

(Sciubba, et al., 2002).

Gambar 3.6 OSCC tahap awal berbentuk patch merah pada lidah
(Lasakaris, 2006)
23

Gambar 3.7 OSCC terlihat berbentuk lesi ulcer exoplytic pada lateral border lidah

(Laskaris, 2006)

Diagnosa OSCC
Analisis microskopik spesimen jaringan dengan biopsi.

3.7 Terapi Ulser traumatik

Terapi yang dilakukan pada ulser yang disebabkan oleh trauma mekanik

atau panas adalah dengan menghilangkan etiologinya. Penggunaan obat kumur

antiseptik (contohnya klorheksidin 0,2 %) atau covering agent seperti Orabase

dapat menjadi pilihan perawatan. Semua ulser traumatik harus ditinjau, jika lesi

terus menetap lebih dari 10-14 hari setelah faktor penyebab dihilangkan sebaiknya

dilakukan biopsi untuk memastikan adanya keganasan rongga mulut atau

squamous cell carcinoma (Field, 2010).

Tabel 3.1 Pilihan Terapi Traumatik Ulser (Field, 2010)

Jenis Terapi

Antiseptik Topikal  Clorhexidine gluconate 0,2%


Penggunaan
- Kumur selama 1 menit sebanyak 10 ml
Waktu
- 2x sehari selama masih ada lesi
sampai 2 hari setelah lesi sembuh
Analgesik Topikal  Benzydamine hydrochloride
Penggunaan
- Kumur selama 1 menit sebanyak 15 ml
24

Waktu
- 2 – 3 sehari (tidak boleh lebih
dari 7 hari)
Kortikosteroid Topikal  Triamcinolone acetonide 0,1%
Penggunaan
- Keringkan permukaan ulser dengan
cotton bud, kemudian oles atau
tekan (jangan digosok) sejumlah
kecil pasta menggunakan cotton
bud pada daerah ulser hingga pasta
menempel, rata dan licin.

Waktu
- 2 – 3 sehari setelah makan dan sebelum
tidur
Antibiotik Topikal  Chlortetracycline
Penggunaan
- Larutkan 1 kapsul dalam 10 ml
air, kumur selama 3 – 5 menit
Waktu
- - 4x sehari (tidak untuk terapi
jangka
panjang)

Menurut Houston (2009), perawatan lesi ulserasi bermacam-macam

tergantung dari ukuran, durasi dan lokasi. Terapi antibiotik (biasanya penisilin)

diberikan untuk mencegah adanya infeksi sekunder jika lesi yang terjadi parah dan

dalam. Kebanyakan ulser traumatik sembuh tanpa memerlukan terapi antibiotik.


25

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 25 tahun datang ke RSGM, berdasarkan anamnesa

pasien didiagnosis ulser traumatik. Hasil anamnesa pasien didapat keluhan rasa

tidak nyaman sejak 3 hari yang lalu karena gigi tiruan yang tajam, kemudian

muncul sariawan di gusi belakang kiri rahang bawah. Rasa sakit muncul saat lidah

menyentuh sariawan dan saat memakai gigi tiruan. Gambaran klinis lesi pada

mukosa gingiva kiri berbentuk oval berbatas ireguler berwarna putih kekuningan

dan dikelilingi daerah eritema dengan diameter ± 2mm. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Laskaris (2006), gambaran klinis ulser traumatik cenderung memiliki

batas ireguler dengan margin eritema dan dasar kekuningan (Laskaris, 2006).

Diagnosis banding ulser traumatik adalah Recurrent aphthous stomatitis

(RAS) dan Oral squamous cell carcinoma (OSCC). Lesi-lesi di atas dapat

dibedakan masing-masing berdasarkan etiologi, rekurensi, lokasi ulser dan

gambaran klinis. Jika dibandingkan dengan RAS, ulser traumatik cenderung

berbatas iregular dengan permukaan lesi halus, berwarna putih kekuningan atau

merah, dengan tepi eritem tipis. (Ibsen, 2014; Laskaris, 2006). Sedangkan RAS

memiliki lesi yang cenderung simetris dengan bagian tengahnya ditutupi dengan

pseudomembran berwarna kuning keabuan, dan dikelilingi dengan tepi yang

menonjol serta halo eritem (Scully, et al., 2005).

Selanjutnya jika dibandingkan dengan Oral squamous cell carcinoma

(OSCC), ulser traumatik biasanya lunak pada palpasi, dan sembuh tanpa berbekas
26

dalam 6-10 hari, secara spontan atau setelah menghilangkan penyebab, sedangkan

gambaran klinis ulcer carcinoma pada OSCC memiliki permukaan papillary

ireguler, meninggi, dan dasar keras saat palpasi. Etiologi penyebabnya pun

berbeda jika ulser traumatik disebabkan oleh trauma fisik, termal, atau kimia.

Lesi ulser traumatik pada mukosa mulut dapat terjadi karena beberapa faktor

trauma, antara lain trauma mekanis atau fisik (tergigitnya bibir, pipi, dan lidah,

gigi yang tajam, malposisi gigi atau akar, sikat gigi, margin restorasi atau protesa

yang tajam, alat ortodontik), trauma kimia (bahan-bahan kimia), dan trauma

termal (panas yang berasal dari minuman atau makanan menyebabkan mucosal

burn dan ulserasi) (Ghom, 2014). Pada kasus ini ulser traumatik yang terjadi

akibat iritasi gigi tiruan yang tajam. Hal ini sesuai dengan teori, ulser traumatik

terjadi karena trauma mekanis.

Sebelum melakukan kunjungan ke bagian Penyakit Mulut RSGM FKG

Unpad, pasien belum mengobati sariawannya. Saat kunjungan pertama pasien

diberikan obat kumur Chlorhexidine Gluconate 0,2% dan dikompres sebanyak 2x

sehari. Chlorhexidine Gluconate berfungsi untuk mencegah infeksi pada luka

karena dapat mengurangi jumlah mikroorganisme pada saliva hingga 80%. Terapi

ini diberikan sebagai pencegahan (preventif) terjadinya infeksi sekunder karena

lesi ini merupakan port of the entry mikroorganisme rongga mulut. Terapi ini

sangat sederhana dan sangat membantu dalam penyembuhan lesi (Field et al.,

2010).

Perawatan lain yang diberikan yaitu pasien diberikan OHI dan

diinstruksikan untuk tidak menggunakan gigi tiruan terlebih dahulu sampai


27

sariawan sembuh dan gigi tiruan selesai diperbaiki. Setelah 3 hari perawatan,

menurut pasien, sariawan sudah sembuh dan tidak pernah sakit lagi. Pada saat

kunjungan kedua, yaitu 7 hari setelah perawatan, sudah tidak ditemukan ulser.

Penyembuhan ulser pada pasien pada hari ke 10 sesuai dengan teori bahwa ulser

akan sembuh dalam waktu ± 10-14 hari, karena pasien sudah mengikuti instruksi

dari operator yaitu dikompres dengan Chlorhexidine dan juga karena pasien

mengikuti seluruh instruksi dan saran dengan baik, sehingga ulser telah sembuh

dan tidak terdapat keluhan lagi


BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, pasien ini didiagnosis

ulser traumatik. Hal ini disebabkan karena ada bagian yang tajam pada gigi tiruan

yang mengenai gusi, dan dari gambaran klinis terlihat lesi pada gingiva posterior

rahang bawah berupa ulser berbentuk oval yang ireguler, sedikit sakit, dengan

permukaan halus berwarna putih dikelilingi tepi eritem.


Perawatan yang dilakukan adalah dengan menginstruksikan untuk tidak

menggunakan gigi tiruan terlebih dahulu sampai sariawan sembuh dan gigi tiruan

selesai diperbaiki, serta dikompres dengan klorhexidine 0,2% (minosep) setelah

menyikat gigi, dan intruksi untuk istirahat, makan, dan minum yang cukup.
Pasien kembali kontrol setelah 1 minggu dan sariawan yang dialami

sembuh serta tidak ada keluhan lainnya. Pasien mengikuti instruksi yang

diberikan secara baik, sehingga sariawan telah sembuh. Hal tersebut

mengindikasikan diagnosis dan terapi yang diberikan tepat, serta didukung

oleh sikap kooperatif pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

Cawson, R.A. and Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. The University of Michigan: Churchill Livingstone.
DeLong, L. and Burkhart, N.W. 2008. General and oral pathology for dental
hygiene. United States: Lippincott Williams & Willkins.
Cunningham, S. 2006. Ulcerative lesions of the oral cavity. Grand Rounds
Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology.
Field, A., Longman, L., and William, R.T. 2010. Tyldesley’s Oral Medicine.
London : Oxford University Press. p.
Greenberg and Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine: Diagnosis and Treatment.
11th edition. Ontario: BC Decker Inc.
Ghom. 2014. Textbook of Oral Medicine. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publisher.
Guallar, IB., Y. Jimenez-Soriano, A. Claramunt-Lozano. 2014. Treatment of
recurrent aphthous stomatitis. A literature review. J Clin Exp Dent. 6 (2):
168-174 pp.
Ibsen, O.A.C and Phelan, J.A. 2014. Oral Phatology for Dental Hygiene. 6th ed.
St. Louis, Missouri: Elsevier.
John, P. 2014. Textbook of Oral Medicine. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers.
Jurge, S., et al. 2006. Recurrent aphthous stomatitis. Blackwell Munksgaard: UK..
Laskaris, G. 2006. Color Atlas of Oral Disease: second edition. New York :
Thieme.
Looker, Terry and Gregson, Olga. 2005. Managing Stress Mengatasi Stres Secara
mandiri. BACA: Yogyakarta.
Myers, S.L. and A.E. Curran. 2014. General and Oral Pathology for Dental
Hygiene Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.
Nasution, H. 2011. Gambaran coping stress pada wanita madya dalam
menghadapi pramenopause. Skripsi pada fakultas psikologi, Universitas
Sumatera Utara: Medan

29
30

Nisa, R. 2011. Stomatitis aftosa rekuren (sar) yang dipicu oleh stress pada
mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi pada
fakultas kedokteran gigi, Universitas Sumatera Utara: Medan.
Pratiknyo M, Hendarmin S. 2007. Aspek Klinik dan Penanggulangan Penyakit
Alergi (Clinical Aspect and Treatment of Allergy). Jakarta: Jurnal PDGI,
Vol. 57 No. 3; 77-81.
Rajendran. 2009. Shafer-s Textbook of Oral Phatology. Delhi: Elsevier.
Scully, C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and
Treatment 2nd ed. Elsevier: Philadelphia.
Scully, C., et al. 2003. The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis. A consensus approach. JADA, vol 134.
Scully, C dan Felix, D. H. 2005. Aphthous and other common ulcers. British
Dental Journal Vol: 190, No.5, hal: 259-264
Sciubba, J; Regezi; R. Rogers. 2002. PDQ Oral Disease: Diagnose and Treatment.
Missouri: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai