Anda di halaman 1dari 5

Pencangkokan Tulang pada Prosedur Bedah Ortognati: Sebuah Review

Sistematik

Abstrak. Prosedur pencangkokan tulang telah digunakan dalam prosedur bedah ortognati dengan
tujuan untuk mengisi celah yang terjadi akibat prosedur reposisi rahang, karena prosedur ini
memiliki kecenderungan untuk meningkatkan proses penyembuhan dan proses stabilisasi.
Mayoritas kasus ortognati memiliki hasil yang memuaskan, karena itu pelaksanaan pencangkokan
tulang menjadi dilema. Review sistematik dari berbagai literatur dilakukan untuk mengetahui
kegunaan pencangkokan tulang pada prosedur bedah ortognati. Pencarian pada PubMed,
MEDLINE, Embase, dan Cochrane Central rRegister of Controlled Trials menghasilkan 1927
artikel yang terpublikasi sampai tahun 2018. Penambahan 10 artikel didapatkan melalui pencarian
manual dari daftar referensi dan sitasi. Setelah penjaringan judul dan abstrak, 58 artikel dinyatakan
layak. Penjaringan isi kemudian mengeliminasi 10 dari 58 judul tersebut. Judul yang tersisa
sebanyak 48 buah judul digunakan dalam review ini. Literatur saat ini menyoroti keuntungan dati
pencangkokan tulang dalam prosedur bedah ortognati dalam proses penyembuhan, stabilisasi, dan
hasil estetik. Secara umum, tidak ada perbedaan antara tipe dari pencangkokan tulang, meskipun
kalsium fosfat dan hidroksiapatit dapat meningkatkan tingkat infeksi. Kesimpulan dari review ini
adalah masih sedikitnya bukti dalam literatur tentang prosedur pencangkokan tulang pada bedah
ortognati. Pedoman didapat berdasarkan bukti saat ini, meskipun penelitian di masa depan
diperlukan untuk validasi studi ini.

Bedah ortognati telah menjadi rutinitas klinis yang dipakai sebagai tata laksana dari deformitas
dentomaxillofacial yang dilakukan oleh spesialis bedah mulut. Prosedur bedah ortognati yang
paling umum dilakukan adalah Le Fort I Osteotomy, bilateral sagital split osteotomy (BSSO), dan
genioplasty. Sejak prosedur ini diperkenalkan, perkembangan penelitian dilakukan untuk
meningkatkan hasil dari prosedur bedah. Meskipun hasil dari bedah ortognati dapat terprediksi dan
baik, efek samping yang terobservasi dari reposisi rahang sayangnya tidak umum dilakukan,
kontak tulang yang tidak adekuat setelah pergerakan besar dari mandibula dan reposisi inferior
dari maksila atau dagu mungkin menghasilkan masalah dalam penyatuan tulang yang berpotensi
menghasilkan kembalinya posisi tulang pada posisi awal. Sebagai tambahan, defek tulang yang
dihasilkan setelah prosedur split sagital dan osteotomi pada area dagu secara klinis dapat terlihat
pada pasien yang berdampak pada estetik pada bagian buccal sagital pada dagu secara berturut-
turut. Dengan demikian, prosedur pencangkokan tulang pada prosedur bedah ortognati dilakukan
untuk menanggulangi efek samping tersebut.

Tujuan dari review sistematik ini adalah untuk mengevaluasi bukti terkini mengenai prosedur
pencangkokan tulang pada bedah ortognati, terutama dalam hubungannya dengan peningkatan
proses penyembuhan, stabilisasi, komplikasi, dan pencegahan defek estetik.
Metode Penelitian
Review sistematik dari literatur pencangkokan tulang pada bedah ortognati dipilih berdasarkan
kriteria Preferred Reporting items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA).
Pencarian awal dengan kata kunci yang berhubungan dengan pencangkokan tulang dalam bedah
ortognati pertamakali dilakukan pada PubMed, artikel terkait di periksa sesuai dengan kata kunci
yang relevan. Setiap ketentuan dianalisa dengan medical subject headings (MeSH) dan daftar akhir
direvisi untuk disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi (Tabel 1). Strategi pencarian
direview oleh seorang spesialis informasi kesehatan dan telah dibatasi pada literatur berbahasa
Inggris. Kriteria inkklusi mencakup studi pencangkokan non-sindromik pada manusia, bedah
ortognati pada lokasi yang bukan celah, dengan periode tindak lanjut lebih dari 6 bulan. Semua
studi osteotomi untuk rekonstruksi prostetik atau augmentasi tulang dieksklusi (Tabel 2).

Tabel 1. Kata kunci pencarian


Tabel 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Pencarian utama dilakukan pada PubMed, MEDLINE, dan Cochrane Central Register of
Controlled Trials. Pencarian sekunder dilakukan pada grey literature, dan clinical trials registry.
Semua artikel dijaring sesuai abstrak dan judulnya dan semua hasil yang tidak relevan dieksklusi.
Artikel yang tersisa kemudian dijaring berdasarkan kesesuaian studi. Google Scholar digunakan
untuk mencari sitasi dari setiap artikel. Teks penuh dari setiap artikel yang sesuai dibaca dan
keputusan akhir dibuat. Dua orang pereview independen dilibatkan dalam pencarian dan
penjaringan, dan semua studi diinklusi dan diekslusi sesuai dengan kesepakatan.
Pengumpulan data dengan tehnik Cohrane yang dimodifikasi digunakan untuk mengekstrak data
yang relevan. Artikel yang masuk dalam kriteria inklusi dikategorikan berdasarkan besarnya hasil
(penyembuhan, stabilisasi, defek estetik, dan komplikasi), lokasi osteotomi, dan tipe publikasi
(Tabel 3). Bagan strategi pencarian sesuai dengan kriteria PRISMA dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Bagan metode pencarian dan proses seleksi artikel


Tabel 3. Karakteristik dan tujuan utama meliputi penyembuhan, stabilisasi, dan komplikasi
Hasil
Pencarian utama menghasilkan 1927 artikel. Penjaringan abstrak dan judul mengeksklusi 1825
diantaranya, menghasikan 102 artikel setelah ditambah 10 artikel baru. Pencarian sekunder gagal
untuk mengidentifikasi adanya artikel tambahan yang relevan penjaringan abstrak mengeksklusi
54 artikel dan 10 artikel lagi dieksklusi setelah pembacaan teks penuh. Akhirnya, 48 artikel yang
relevan masuk dalam kriteria inklusi review sistematik ini.10 artikel yang dieksklusi adalah
laporan kasus, artikel review, dan studi tindak lanjut kurang dari 6 bulan. Kebanyakan dari artikel
yang diikutsertakan merupakan artikel observasi, kemudian studi cohort, serial kasus, laporan
kasus, dan percobaan klinis. Hasil paling utama adalah proses penyembuhan dan penyatuan dari
osteotomi, stablisasai, efek dari pencangkokan tulang, dan artikel lainnya mengevaluasi efek dari
pencangkokan tulang bagi posisi kondilus. Resiko pembentukan defek tulang pada inferior dari
mandibula dibahas dalam 1 studi. Kasus Le fort I pada maksila merupakan lokasi osteotomi yang
paling banyak dicangkok, kemudian ekstrusi dagu dengan cangkok interposisional dan osteotomi
pada ramus menjadi yang terbanyak berikutnya diikuti dengan kasus osteotomi zygoma. Porous
Hydroxyapatite merupakan bahan yang paling umum digunakan sebagai bahan pencangkokan,
diikuti dengan tulang autogenus dan allogenic, hanya sedikit laporan menggunakan tulang bovine,
semen kalsium fosfat, dan bioactive glass. Komplikasi pencangkokan tulang yang dilaporkan pada
lokasi osteotomi antara lain infeksi, respon penolakan, sinusitis, dan peradangan kronis. Porous
Hydroxyapatite merupakan bahan yang paling umum digunakan sebagai bahan pencangkokan.

Anda mungkin juga menyukai