Anda di halaman 1dari 3

Hubungan Kadar Hb dan IMT dengan Kejadian Ulcer Oral pada Siswa SD usia

10-12 tahun di kecamatan Jatinangor Sumedang

Hb tidak memiliki hubungan dengan kejadian ulcer oral pada siswa SD usia
10-12 tahun di kecamatan Jatinangor Sumedang. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di Malaysia (Sari, 2016), yang mengatakan bahwa
penderita SAR itu lebih memiliki Hb lebih rendah, hal ini dapat terjadi karena
penelitian yang dilakukan bukan pada anak-anak tetapi pada usia 18-20 tahun dan
usia 30-60 tahun dan juga dilakukan pada diagnosis yang spesifik yaitu dilakukan
pada pasien yang mengalami SAR.

IMT juga tidak berhubungan dengan kejadian ulcer pada siswa SD di


kecamatan Jatinangor, hal tersebut sejalan dengan peneitian (Patta Kusuma, 2016)
yang mengatakan bahwa IMT dan kejadian ulcer tersebut tidak berhubungan. Seiring
dengan penelitian yang menjelaskan bahwa IMT tersebut normal pada siswa yang
mengalami ulcer ataupun yang tidak mengalami ulcer. IMT pada siswa SD tidak
berhubungan dengan kejadian ulcer di siswa tersebut, hal ini dapat disebabkan karena
suatu kejadian ulcer tersebut bukan terjadi hanya karena satu faktor saja, tetapi
banyak faktor yang memicu terjadinya ulcer ini, bisa juga disebabkan oleh faktor
lainnya seperti trauma, kelainan sistemik, sistem imun, genetik dan lain-lain.

Gambaran Pemeriksaan Hematologi 8 Parameter pada Pasien SAR di


RSGM Unpad dan RSUP dr.Hasan Sadikin Bandung

Hasil gambaran pada penelitian ini menunjukkan hematologi 8 parameter dari


22 pasien secara umum terdapat penurunan dan peningkatan pada beberapa
parameter. Dari kadar Hbnya didapatkan hasil bahwa 8 orang mengalami penurunan
kadar pada penelitian ini dimana berdasarkan kriteria WHO anemia disaat kadar Hb
kurang dari kadar normal dapat mengakibatkan kadar oksigen ke epitel berkurang,
sehingga epitel dapat atrofi dan mudah terbentuk ulcer karena adanya abrasi. Kadar
hematokrit didapatkan bahwa lebih banyak penurunan kadar 3 orang. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Parsat, 2013) yang mengatakan bahwa
hematokrit mengalami penurunan pada 20 orang pada pasien SAR dengan atrofi
glositis. Hasil dari leukosit, hampir semuanya normal tetapi didapatkan penurunan
kadar pada 1 orang dimana leukosit ini berfungsi sebagai salah satu bentuk
perlindungan diri dari adanya infeksi oral pathogen atau sesuatu yang dianggap asing
oleh tubuh, hal ini membuktikan bahwa kadar SAR tidak berkaitan dengan adanya
infeksi.

Hasil dari trombosit, hampir keseluruhan normal, fungsi utama trombosit ini
untuk homeostatis dan pembekuan darah, perbaikan jaringan serta mempercepat
retraksi bekuan. Hal ini membuktikan pada pasien SAR tidak terdapat kelainan
trombosit atau kelainan perdarahan. Hasil dari eritrosit didapat lebih banyak
peningkatan kadar 3 orang. Kriteria kadar eritrosit ini dilakukan dengan adanya
polisitemia namun pada pasien ini tidak diikuti oleh peningkatan kadar Hb. MCV
didapatkan hasil bahwa penurunan kadar pada 6 orang dimana 6 orang ini mengalami
penurunan juga pada Hb, MCV dapat dijadikan sebuah parameter untuk menentukan
ukuran dari sel darah merah dimana berhubungan dengan mikrositik. Mikrositik juga
dikaitkan dapat disebabkan oleh defisiensi Fe, dimana defisiensi Fe ini menjadi salah
satu faktor predisposisi SAR.

MCH terjadi penurunan kadar 12 orang, dimana MCV ini dapat menentukan
derajat hemoglobinisasi yang mencerminkan warna sel darah merah. MCHC
mengalami penurunan kadar pada 18 orang lebih banyak dari indeks eritrosit, namun
kadar MCHC tidak semua mengalami penurunan kadar pada Hb, hal ini disebabkan
karena MCHC dapat menjadi salah satu marker atau salah satu tanda defisiensi Fe.
Prevalensi SAR pada Pasien Atofi di RSGM Unpad dan RSUP dr. Hassan
Sadikin Bandung

Dari penelitian ini didapatkan pasien atofi dengan SAR perbandingan antara
laki-laki dan perempuan yaitu 1;3. Karakteristik SAR pada pasien atofi terdapat 9
pasien dengan ulcer tunggal dan 3 pasien ulcer multiple dan berukuran kurang dari 1
cm dengan tipe lesi minor, dengan riwayat penyembuhan 7-14 hari, tanpa
meninggalkan jaringan parut. Kemudian berkaitan dengan karakteristik atofinya
diagnosis alergi yang paling banyak ditemukan yaitu dermatitis atofi, dan terdapat
pasien yang memiliki lebih dari satu gejala klinis atofi, karena pada individu atofi
dapat terjadi lebih dari satu gejala atofi.

Suatu penelitian mengatakan 33,3% pasien dermatitis alergi memiliki gejala


klinis antara lain rinitis alergi atau asma bronchial. Mayoritas pasien mengalami usia
pertama alergi pada 0-5 tahun. Rentan usia 0-5 tahun ini berhubungan dengan
pembentukan sistem pertahanan tubuh terutama terhadap keadaan-keadaan
imunologis, Kemudian pemicu paling banyak alergi pada pasien atofi dalam
penelitian ini berhubungan dengan alergi makanan. Terdapat suatu penelitian yang
mengatakan bahwa manifestasi atofi ini berhubungan dengan alergi makanan.
Penelitian di Indonesia pada tahun 2013, sebanyak 56,7% dari 30 pasien atofi
memiliki lesi rongga mulut berupa SAR. Hal tersebut dapat disinggungkan kondisi
SAR ini dapat dipicu oleh kondisi atofi pada individu, biasanya diakibatkan karena
alergi makanan.

Dari penelitian ini juga didapatkan 1 pasien yang memiliki lesi rongga mulut
lain berupa geographic tongue. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa gejala atofi
dapat berkaitan dengan manifestasi atau perubahan pada rongga mulut, seperti
angioedema, geographic tongue sehingga bahwa pasien atofi dengan kadar IgE
serum yang tinggi juga memiliki kemungkinan besar dapat terjadi geographic tongue.

Anda mungkin juga menyukai