Anda di halaman 1dari 24

Lapsus

BELLS PALSY

Disusun oleh:
dr. Nur Ria Wahyuningsih

Pembimbing:
dr. Selamet Ariyanto
dr. Devi Amuwardani

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT WIJAYA KUSUMA
LUMAJANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus tentang “Bells Palsy”
ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan
laporan kasus ini guna memenuhi tugas pada program internship serta melatih
dalam menangani kasus kedokteran.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
laporan kasus ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca,
penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kedokteran.

Lumajang, Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
COVER ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ..........................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................1
1.3 TUJUAN ...............................................................................2
1.4 MANFAAT ...........................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI ..............................................................................9
2.2 EPIDEMIOLOGI ..................................................................9
2.3 ETIOLOGI ............................................................................9
2.4 MANIFESTASI KLINIS ....................................................10
2.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS .............................................11
2.6 DIAGNOSIS BANDING ...................................................15
2.7 PENATALAKSANAAN ....................................................16
2.8 EDUKASI DAN PROGNOSIS ..........................................17
BAB IV PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ...................................................................19
3.2 SARAN ...............................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................20

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer,
bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bell’s
palsy ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell,
seorang peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot
wajah (Kartadinata dan Tjandra, 2011).
Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang
setiap tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam
mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang
berhubungan dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom
Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari klinis
yang sama (Lowis dan Gaharu, 2012).
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks,
yaitu meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya
wajah, kaku dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur, disability atau
ketidakmampuan (ditingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-
hari berupa gangguan makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara
dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam
profesi terutama dibidang entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi
kejiwaan penderita.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Apa definisi dari bells palsy ?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi dari bells palsy ?
1.2.3 Apa saja etiologi dari bells palsy ?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis dari bells palsy ?
1.2.5 Bagaimana penegakan diagnosis dari bells palsy ?
1.2.6 Bagaimana diagnosis banding dari bells palsy?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan dari bells palsy?
2

1.2.8 Bagaimana edukasi prognosis dari bells palsy ?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami definisi dari bells palsy
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami epidemiologi dari bells palsy
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari bells palsy
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari bells
palsy
1.3.5 Untuk mengetahui dan memahami penegakan diagnosis dari bells
palsy
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami diagnosis banding dari bells
palsy
1.3.7 Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari bells palsy
1.3.8 Untuk mengetahui dan memahami edukasi dan prognosis dari bells
palsy

1.4 MANFAAT
Penulisan laporan kasus ini diharapkan meningkatkan keilmuan sebagai
dokter dalam mengetahui dan memahami tentang bells palsy, sehingga apabila
menemui kasus tersebut mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana
dengan baik.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 54 tahun
Suku : Madura
Agama : Islam
Alamat : Kebonsari
Status : Menikah
Tanggal : 15/12/2021

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Perot wajah sisi kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar anak nya dengan keluhan lemah wajah sisi kiri.
Sulit untuk menelan, bibir miring ke kiri, tidak bisa menutup kelopak mata
kiri. Keluhan terjadi tiba-tiba sejak hari Minggu pada saat pasien bangun
tidur. Nyeri kepala (+) sedikit. Kesemutan dan kelemahan anggota gerak
badan (-). Penurunan indra perasa di lidah (-). Keluhan pada telinga (-).
Pasien tidur di kasur tanpa menggunakan kipas angin. Pasien bekerja
sebagai penjual tempe keliling yang berangkat ke pasar pagi atau siang hari
pukul 10.00. Perjalanan ke pasar menggunakan sepeda dan perjalanannya
melewati area sawah.
Riwayat Pengobatan: (pasien lupa nama obatnya)
Riwayat Penyakit Dahulu: HT/DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Sosial : Pasien bekerja sebagai penjual tempe
Riwayat Vaskin : Sinovac 2x
4

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


GCS: 456
Tanda vital:
TD : 149/81 mmHg Nadi: 64 bpm T: 36,2°C RR:20 bpm SpO2: 98%

Status generalis :
Kepala : Normocepahali
Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Mulut : Mukosa kering (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Vesicular +/+ Rh -/- Wh -/- S1 S2 tunggal reguler
Perut : Soefl, BU (+) N
Alat gerak : CRT < 2s, akral hangat, edema -/-, kelemahan ext -/- MMT 5/5
Anusgenetalia : Tidak di evaluasi

Status Lokalis Nervus VII :


Motorik :
Pemeriksaan Kiri Kanan
Menutup kedua mata Tidak menutup sempurna Baik
Kembungkan pipi Pipi tidak kuat Baik
Menyeringai Tertinggal Baik
Angkat alis Tertinggal Baik
Kerutan dahi Dahi tidak mengkerut Baik
Sudut mulut Hilang Baik
Lagoftalmus + Baik

Sensorik :
2/3 anterior lidah : Kesan baik, tidak didapatkan gangguan rasa pada lidah

Parasimpatik :
Glandula lakrimal dan saliva : Kesan baik
5

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hb 11,2 g/dl 12-14
Eritrosit 3.800.000 /cmm 4.000.000-5.500.000
Leukosit 9.600 /cmm 3.800-9.800
Hematokrit 33 % 36-48
Trombosit 246.000 /cmm 150.000-450.000
eu/bas/neu stab/neu 0-2/0-1/3-5/54-62/20-48/2-
0/0/5/60/25/10 %
stag/lim/mon 10
GDA 96 mg/dl <140

Faal Hepar

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


SGOT 20 U/L L <43 P <36
SGPT 16 U/L L < 37 P <31

Profil Lipid

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Cholesterol Total 134 mg/dl <200
Trigliserida 103 mg/dl <150
Cholesterol HDL 80 mg/dl >35
Cholesterol LDL 133 mg/dl <150

Faal Ginjal

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


BUN 10 mg/dl 10-20
Creatinin 1,3 mg/dl L: 0,6-1,3 P: 0,5-1,1
6

Uric Acid 3,9 mg/dl L: 3,4-7,0 P: 2,4-5,7

Elektrolit

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Natrium 138,57 mmoI/L 135,37-145,00
Kalium 3,81 mmoI/L 3,48-5,50
Chlorida 100,84 mmoI/L 95-105
Calcium 8,39 mg/dl 8,80-10,0

2.5 WORKING BANDING


Bells Palsy Sinistra

2.6 TATALAKSANA
Tatalaksana di IGD :
- IVFD RL 15 tpm
- Inj Antrain 3x1 ampul IV k/p nyeri

Advis Sp.N :
- Inj Metilprednisolone 2x62,5 mg IV (2 hari)
- Inj Ranitidin 2x50 mg IV
- Inj Mecobalamin 2x1 ampul IV
- Po Metisoprinon 3x500 mg tab
- Po Alpentin 0-0-100 mg tab
- Eye Drop Steril 6x2 tetes mata kiri
- Rencana besok rehab medik dan fisioterapi

2.7 PROGNOSIS
Dubia ad bonam
7

2.8 FOLLOW UP
Waktu Subjektif Objektif Assessment Planning
16/12/2021 Masih belum KU: Baik, CM Bells Palsy - IVFD RL 15 tpm
bisa menutup TD: 149/60 mmHg Sinistra - Inj
mata, sulit N: 80 bpm Metilprednisolone
untuk menelan. RR: 18x/menit 2x62,5 mg
Lemah sisi S: 36°C - Inj Ranitidin 2x50
wajah kiri. SpO2: 98% mg IV
K/L: a/i/d/c: -/-/-/- - Inj Mecobalamin
Thorax 2x1 ampul IV
c/ S1S2 tunggal - Po Metisoprinon
reguler, murmur (-) 3x500 mg tablet
p/ Ves +/+ Rh -/- Wh-/- - Po Alpentin 0-0-
Abdomen: 100 mg tab
Soefl, BU (+) N - Eye Drop 6x2 tetes
Ekstremitas: mata kiri
Akral hangat (+), - Rehab medik dan
CRT<2s fisioterapi
- Kompres hangat
3x per hari selama
10 menit
- Rencana KRS
besok
17/12/2021 Lemah wajah TD: 125/48 mmHg Bells Palsy - IVFD RL 15 tpm
sisi kiri. Pusing. N: 60 bpm Sinistra - Inj
Agak susah RR: 18x/menit Metilprednisolone
nelan. Bila S: 36,4°C 2x62,5 mg
minum, aie SpO2: 99% - Inj Ranitidin 2x50
menetes. K/L: a/i/d/c: -/-/-/- mg IV
Thorax - Inj Mecobalamin
c/ S1S2 tunggal 2x1 ampul IV
reguler, murmur (-)
8

p/ Ves+/+ Rh -/- Wh-/- KRS hari ini :


Abdomen: - Po Metisoprinon
Soefl, BU (+) N 3x500 mg tab
Ekstremitas: - Po Alpentin 0-0-
Akral hangat (+), 100 mg tab
CRT<2s - Po Mecobalamin
500 mg 3x1 tab
- Po
Metilprednisolon 4
mg 3x1 tab
- Eye Drop 6x2 tetes
mata kiri
- Kontrol poli syaraf
9

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelainan neuropati kranial akut tersering yang yang
menyebabkan paralisis saraf wajah unilateral tipe Lower Motor Neuron. Kelainan
ini ditemukan pertama kali oleh seroang ahli anatomi Scottish bernama Sir
Charles Bell pada tahun 1821. Penyebab dari bell’s palsy tidak diketahui atau
idiopatik. Kondisi tersebut akan menyebabkan ketidakmampuan untuk secara
sadar menggerakkan otot wajah parsial atau total pada sisi yang terkena.
Walaupun demikian, pada semua kasus menunjukkan perkembangan dalam
beberapa bulan (Baugh et al, 2013 ; Reich, 2017).

3.2 EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan mononeuropati kranial tersering (60-75%). Pada
studi terbaru, insiden terjadinya bell’s palsy tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin
dan juga lebih sering menyerang pada saat usia dewasa (30 – 39 tahun). Secara
global, rata-rata 11- 40/100.000 orang terkena bell’s palsy pertahunnya. Insiden
juga meningkat pada ibu hamil, diikuti dengan infeksi saluran pernafasan karena
virus, kondisi imunokompromised, diabetes melitus dan hipertensi (Zhao et al,
2017).

3.3 ETIOLOGI
Penyebab Bell’s palsy sampai saat ini didefinisikan idiopatik. Edema pada
nervus fasialis ditemukan saat tindakan operatif pada bell’s palsy. Penyebab dari
edema bisa karena ischemia pada pasien usia lanjut, hipertensi, maupun diabetes
melitus. Penyebab lain yang mungkin adalah reaktifasi infeksi virus herpes
simpleks (HSV-1) pada ganglion genikulatum (Reich, 2017). Virus varicella
zoster (VZV) juga diduga sebagai penyebab bell’s palsy. Mereka memasuki tubuh
melalui paparan mukokutaneus dan bertahan dalam bentuk laten pada ganglia
kranial, dorsal root, dan otonom host (Zhang et al, 2019).
10

Penggunaan vaksin juga dilaporkan menjadi penyebab peningkatan kasus


bell’s palsy dengan hipotesis disebabkan respon imun akibat mekanisme vaksin
mendetoksifikasi enterotoksi dari Escherechia coli (Eviston et al, 2015).

3.4 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis dari bells palsy yaitu : (Reich, 2017)
 Facial paralysis perifer akut
 Mengenai otot wajah bagian atas dan bawah, unilateral
 Onset mencapai puncak 72 jam
 Nyeri pada telinga atau mastoid
 Hipogeusia
 Hiperakusis
 Drooling
Adapun manifestasi okular awal sebagai berikut (Kurniawan et al, 2016) :
 Lagophtalmus
 Corneal exposure
 Retraksi kelopak mata atas
 Penurunan sekresi air mata
 Hilangnya lipatan nasolabial
 Erosi kornea, infeksi, dan ulserasi

Gambar 3.1 Wanita usia 31 tahun dengan Bells Palsy


11

3.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS


3.7.1 Anamnesis
Yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah (Kurniawan et al, 2016) :
– Identitas, usia pasien
Lebih sering menyerang usia dewasa
– Keluhan utama
Wajah merot dan tidak mampu menutup mata
– Onset mulai kapan? Mendadak atau bertahap?
Mendadak, mencapai puncak 48-72 jam
– Lokasi satu sisi atau dua sisi?
Hanya salah satu sisi, dari atas sampai bawah
– Apakah disertai nyeri?
Terdapat nyeri tajam pada telinga dan mastoid dan daerah mata
– Apakah kelemahan berkurang atau hilang saat istirahat?
Saat istirahat simetris (Grade I-IV House and Brackmann), tidak hilang saat
istirahat (Grade V-VI).
– Apakah penurunan mengecap rasa atau perubahan pada
pendengaran?
Ada gangguan pengecapan (terkadang pasien tidak merasa ada gangguan karena
sisi lidah yang lain tidak mengalami gangguan. Suara terdengar lebih keras pada
satu sisi (hiperakusis)
– Apakah ada keluhan lain yang menyertai?
Pasien bisa merasakan kesemutan pada dagu dan mulut, serta hipersalivasi
– Apakah memiliki riwayat Herpes zoster?
Bisa ada atau tidak
– Apakah memiliki riwayat penyakit kronis? Sedang hamil?
Riwayat hipertensi maupun diabetes. Wanita hamil memiliki faktor risiko bell’s
palsy lebih tinggi.
– Apakah sudah pernah diterapi sebelumnya dan berapa lama?
Belum  Terapi inisiasi dengan steroid
Sudah  6-9 bulan  tidak ada perbaikan  rujuk
12

3.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pada Bell’s palsy, temuan pemeriksaan fisik meliputi (Munir, 2017) :
 Pemeriksaan kesadaran dan tanda-tanda vital cenderung normal.
 Pemeriksaan motorik dan sensorik tidak ada kelainan.
 Pemeriksaan Nervus VII
Motorik :
1. Menginspeksi kerutan dahi, kelopak mata, sudut mata, dan lipatan sudut
mulut. Bandingkan dengan kiri dan kanan apakah asimetris atau kelumpuhan.
Hasil : Pada Bell’s palsy, memperlihatkan lipatan datar pada dahi dan lipatan
nasobial pada sisi yang lumpuh
2. Meminta penderita mengernyitkan dahi/mengangkat alis, menutup mata
sekuat-kuatnya, meringis, mencucu, memperlihatkan giginya. Hasil : Pasien
akan terjadi distrosi dan lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan
saat diminta tersenyum, dan sisi dahi terlihat datar saat mengangkat alis.
3. Meminta penderita menutup mata sekuat-kuatnya dan coba buka dengan
tangan pemeriksa. Hasil : Akan terlihat keadaan lagophtalmus.
4. Memperhatikan saat menutup mata sekuat-kuatnya, dengan adanya
lagophtalsmu terlihat bola mata berputar ke atas. Hasil : Bell sign positif.

Gambar 3.2 gambaran klinis paralisis perifer sara wajah kanan (a) dahi
datar (b) lipatan nasolabial datar (c) sudut bibir turun (d) lagophtalmus
dengan bell sign positif
13

Gambar 3.3 Bell sign positif (Vakharia, & Vakharia, 2016)

Sensorik :
1. Tes pengecapan untuk melihat adanya kelainan pengecapan pada 2/3 depan
lidah dengan manis, asin, asam. Pasien diminta menutup mata, lidah
dikeluarkan dan dibersihkan lalu diolesi cairan bonstein (NaCl 2,5%, glukosa
4%, asam sitrat 1% dan kinin 0,075%), lalu meminta pasien menyebutkan apa
yang dia rasakan. Hasil : Pasien Bell’s palsy akan terjadi perubahan
pengecapan (hipoageusia)
2. Stetoskop balance test : menempelkan stetoskop di kedua telinga pasien, lalu
menggesek membrane stetoskop perlahan, tanyakan pada pasien mana yang
lebih keras. Hasil : Bell’s palsy akan terjadi hiperakusis akibat dari
kelumpuhan sekunder otot stapedius.
3. Menilai grading paralisis wajah House and Brackmann dengan skala I-VI.
Grading ini juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis (Kurniawan et
al, 2016):
 Grade I (fungsi fasial normal)
 Grade II (Disfungsi ringan)
Kelemahan ringan
Sinkinesis normal saat istirahat
Simetris normal saat istirahat
14

Gerakan dahi sedikit hingga normal


Menutup mata sempurna, dapat dilakukan dengan sedikit usaha
Mulut sedikit asimetris
 Grade III (disfungsi moderate)
Asimetris wajah terlihat jelas, kelemahan minimal
Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan.
Simetris normal saat istirahat
Gerakan dahi sedikit hingga moderate
Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha
Gerakan mulut sedikit lemah dengan usaha maksimal
 Grade IV (difunsgsi moderate – berat)
Kelemahan dan asimetris terlihat jelas
Simetris normal
Saat istirahat
Tidak terdapat gerakan dahi
Mata tidak menutup sempurna
Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
 Grade V (disfungsi berat)
Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan
Asimetri juga terlihat saat istirahat
Tidak terdapat gerakan dahi
Mana menutup tidak sempurna
Gerakan mulut hanya sedikit
 Grade VI (paralisis total)
Asimetris luas
Tidak ada gerakan
15

Gambar 3.4 Grading House and Brackmann untuk menentukan derajat


keparahan kelemahan wajah (Vakharia, & Vakharia, 2016).

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang (George et al, 2020)


 Pemeriksaan darah lengkap dan parameter inflamasi (Serum C-reactive
Protein, Laju Endap Darah)
 Gula darah
Mengetahui diabetes yang belum terdiagnosa (diabetes merupakan faktor
risiko Bell’s palsy.
 Serologi
Apabila secara klinis terdapat kecurigaan herpes zoster otikus, dilakukan tes
serologi. Namun pemeriksaan ini tidak cocok untuk fase akut dan harus
diulang di hari ke 7-10 untuk mendeteksi IgG dan IgM dari virus.

3.6 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding bell’s palsy meliputi (Baehr & Frotscher, 2012 ; Eviston et al,
2015) :
 Melkersson-Rosenthal syndrome
Kelemahan wajah terjadi beberapa kali pada sisi yang sama atau sisi lainnya,
disertai edema pada bibir dan lidah.
16

 Guillain Barre Syndrome


Kelemahan wajah ditemukan dengan adanya deficit motoric dan terjadi
bilateral.
 Penyakit lyme
Menyebabkan kelemahan wajah yang bersifat bilateral.
 Otitis media supuratif dan mastoiditis.
Akan terdapat gambaran infeksi dalam kavum timpani dan foto mastoid.
 Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Dipikirkan apabila terdapat tuli perseptif, atau adanya vesikel yang terasa
sangat nyeri atau pemeriksaan laboratorium menunjukkan kenaikan titer
antibody virus varicella zoster.
 Myasthenia gravis
Terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan
kelemahan otot orbicularis okuli bilateral
 Tumor
Tumor yang menekan saraf facialis dapat menyebabkan facial palsy
(meningioma, cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor

3.7 PENATALAKSANAAN
3.7.1 Tatalaksana Farmakologis
Praktis berdasarkan evidence yang dikembangkan oleh American Academy
of Neurology (AAN) mengevaluasi efikasi pemberian kortikostreroid oral pada
pasien dengan Bell’s palsy, yang terbukti efektif meningkatkan probabilitas
penyembuhan pada fungsi saraf wajah. Pemberian antivirus juga dapat
dipertimbangakan.
Sebagai terapi fase akut drekomendasi pemberian kortikosteriod
menggunakan Prednison 60 mg untuk 5 hari, dan 5 hari selanjutnya dilakukan
penurunan dosis bertahap . Pemberian steroid harus dilakukan 72 jam pertama
onset (Heckmann et al, 2019).
Pemberian antivirus tidak selalu diberikan, namun dapat dipertimbangkan
apabila pada kasus individu menunjukkan kelumpuhan yang parah atau curiga
reaktivasi virus. Asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
17

selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5
kali/hari. Namun, pemberian tunggal antivirus tanpa dikombinasikan dengan
steroid tidak direkomendasikan (Baugh et al, 2013)

3.7.2 Tatalaksana Non Farmakologis


Pada pasien dengan mata yang tidak bisa tertutup sempurna, perlu
pemberian proteksi mata, karena penutupan mata yang tidak sempurna dapat
menyebabkan lubrikasi ataupun hidrasi pada kornea sehingga paparan dapat
menimbulkan keratitis, coreal ulceration, dan penurunan penglihatan. Lubrikasi
okular topikal (artifisial air mata) 3 kali sehari atau saat mata terasa kering dapat
mencegah corneal exposure. Pasien juga dapat menggunakan penutup mata untuk
menjaga kelembaban (Thielker et al, 2018).
Intervensi seperti latihan otot wajah, biofeedback, terapi thermal,
elektroterapi, dan akupuntur dapat dilakukan pada pasien dengan Bell’s palsy.
Terapi yang sering disarankan adalah masase wajah ataupun berlatih otot wajah
secara mandiri. Latihan otot wajah mandiri dilakukan sembari berdiri di depan
cermin dengan berlatih mengangkat alis, membuka dan menutup mata, dan
meniup sebanyak masing-masing 5 kali, dilakukan 3x perhari. Apabila dilakukan
secara rutin maka akan menunjukkan hasil setelah 4 minggu (Vakharia &
Vakharia, 2016 ; Thomé et al, 2018).

3.8 EDUKASI DAN PROGNOSIS


Edukasi yang diberikan pada pasien Bell’s palsy yaitu menjelaskan
mengenai penyakit kepada pasien agar pasien tidak cemas, meliputi apa itu bell’s
palsy, penyebab dan juga prognosis. Bell’s palsy mempunyai prognosis yang baik
walaupun tidak diterapi. Sebanyak 70% pasien mengalami sembuh sepenuhnya
dalam 6-9 bulan dan 80% mulai mengalami pemulihan pada minggu ke 3. Pasien
dengan bell’s palsy yang tidak terlalu parah (House and Brackman grade ≤ III)
pulih lebih baik dari pada palsy yang parah (House and Brackman grade ≥ IV)
(Heckmann et al, 2019). Prognosis yang buruk untuk pulih sepenuhnya adalah
apabila dirasakan adanya nyeri hebat dan saat onset dan terdapat complete palsy
(House and Brackman grade V-VI. Rekurensi jarang terjad hanyai pada 7% kasus.
18

Untuk Bell’s palsy yang mengalami pemulihan seutuhnya bisa terjadi sequele.
Apabila tidak terjadi perbaikan utuh dalam 6-9 bulan, sebaiknya harus dirujuk ke
spesialis (Simon et al, 2017; Thielker et al, 2018). Selain itu menjelaskan
bagaimana cara melakukan latihan otot wajah dan bagaimana cara melindungi
mata (Kurniawan et al, 2016).

Gambar 3.6 Algoritma tatalaksana Bell’s palsy (Kurniawan et al, 2016)


19

BAB IV
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat edema akut saraf
fasialis di foramen stilomastoideus. Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih
diperdebatkan. Sebuah teori menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi
saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut. Terganggunya saraf facial pada
foramen stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot
ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis
dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin mata tidak tertutup.
Kortikosteroid ditemukan untuk memperbaiki hasil, ketika digunakan lebih awal,
sementara obat anti-virus belum. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan
proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan
bervariasi.

3.2 SARAN
Sebagai dokter, sebaiknya memiliki pemahaman yang baik mengenai bells
palsy agar mampu mendiagnosis serta memberikan tatalaksana dengan baik dan
benar. Selain itu edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien untuk tetap
tenang dan menjelaskan bahwa penyakit ini bukanlah CVA.
20

DAFTAR PUSTAKA
Baehr, M, Frotscher, M,. 2012. Duss Topical Diagnosis in Neurology 5th ed.
Thieme : New York
Baugh, R.F., Basura, G.J., Ishii, L.E., Schwartz, S.R., Drumheller, C.M.,
Burkholder, R., Deckard, N.A., Dawson, C., Driscoll, C., Gillespie, M.B. and
Gurgel, R.K., 2013. Clinical practice guideline: Bell’s
palsy. Otolaryngology–Head and Neck Surgery, 149(3_suppl), pp.S1-S27.
Eviston, T.J., Croxson, G.R., Kennedy, P.G., Hadlock, T. and Krishnan, A.V.,
2015. Bell's palsy: aetiology, clinical features and multidisciplinary
care. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 86(12), pp.1356-
1361.
George, E., Richie, M. B., & Glastonbury, C. M. (2020). Facial nerve palsy:
Clinical Practice and Cognitive Errors. The American Journal of
Medicine.doi:10.1016/j.amjmed.2020.04.023
Heckmann, J.G., Urban, P.P., Pitz, S. and Guntinas-Lichius, O., 2019. The
Diagnosis and Treatment of Idiopathic Facial Paresis (Bell’s
Palsy). Deutsches Ärzteblatt International, 116(41), p.692.
Reich, S.G., 2017. Bell’s palsy. CONTINUUM: Lifelong Learning in
Neurology, 23(2), pp.447-466.
Simon, R., Greenberg, D. and Aminoff, M., 2017. Clinical neurology 10th edition.
Thielker, J., Geißler, K., Granitzka, T., Klingner, C. M., Volk, G. F., & Guntinas-
Lichius, O. (2018). Acute Management of Bell’s Palsy. Current
Otorhinolaryngology Reports, 6(2), 161–170. doi:10.1007/s40136-018-0198-
0
Thomé, A.M.C., de Souza, C.M., Trajano, L.A.D.S.N., da Fonseca, A.D.S.,
Lacerda, F.P., Cardoso, C.E., Aurélio, M., dos Santos Silva, M.O. and
Trajano, E.T.L., 2018. Treatment of Bell Palsy using Facial Exercises in
Primary Health Care: A Case Report.
Vakharia, K., & Vakharia, K. (2016). Bell’s Palsy. Facial Plastic Surgery Clinics
of North America, 24(1), 1–10. doi:10.1016/j.fsc.2015.08.001
Zhang, W., Xu, L., Luo, T., Wu, F., Zhao, B. and Li, X., 2019. The etiology of
Bell’s palsy: a review. Journal of neurology, pp.1-10.
21

Zhao, H., Zhang, X., Tang, Y., Zhu, J., Wang, X., & Li, S. (2017). Bell’s Palsy:
Clinical Analysis of 372 Cases and Review of Related Literature. European
Neurology, 77(3-4), 168–172.doi:10.1159/000455073

Anda mungkin juga menyukai