Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies

2.1.1 Definisi

 Definisi skabies

 Prevalensi skabies di dunia (contohkan negara dengan

prevalensinya)

 Prevalensi skabies di Indonesia

 Prevalensi skabies di Jawa Timur

 Skabies banyak di pondok pesantren (klu bisa yah carikan

prevalensi)

2.1.2 Patofisiologi

Sarcoptes scabiei tinggal di dalam stratum korneum kulit dan memakan

cairan sel. Tungau menggali hanya dilapisan bagian atas kulit dan tidak pernah

sampai di bawah stratum korneum. Terowongan yang dihasilkan tampak

sebagai garis tipis yang berkelok-kelok yang berwarna abu- abu atau seperti

kulit dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1 cm (CDC, 2010).

Siklus hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga menjadi tungau dewasa

memerlukan waktu 10-14 hari, sedangkan tungau betina mampu hidup pada
inangnya hingga 30 hari (Wardhana, et al, 2006; CDC, 2010). Tungau betina

menggali terowongan di bawah permukaan kulit dan meletakkan 2 - 3 telur

setiap harinya selama 6 hari berturut-turut, sehingga menyebabkan timbulnya

papule pada kulit. Telur akan menetas setelah 2 - 3 hari (CDC, 2010).

Perkembangan instar (bentuk) meliputi telur, larva, protonimfa, dan

tritonimfa. Setelah menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan

menggali area stratum korneum yang masih utuh menghasilkan terowongan

pendek yang hampir tidak terlihat yang disebut sebagai moulting pounch

(kantung untuk berganti kulit). Setelah berumur 3-4 hari, larva Sarcoptes

scabiei, yang berkaki 3 pasang akan berganti kulit, menghasilkan protonimfa

berkaki 4 pasang. Kemudian protonimfa akan berganti kulit lagi menjadi

tritonimfa sebelum benar-benar menjadi tungau dewasa. Larva dan nimfa

biasanya dapat ditemukan di dalam moulting pounch atau pada folikel rambut.

Tritonimfa akan menjadi dewasa dan berubah spesifik menjadi jantan atau

betina dalam waktu 3-6 hari. Setelah dewasa, tungau akan segera keluar dari

moulting pounch ke permukaan kulit untuk mencari area stratum korneum

yang masih utuh dan membuat terowongan kembali (Wardhana, et al, 2006;

CDC, 2010; Ogg, 2014).

Tungau jantan dewasa jarang ditemukan di permukaan kulit, karena

mereka berada di dalam lubang sempit dan makan sampai mereka siap untuk

kawin. Setelah siap kawin, tungau jantan dewasa akan mencari tungau betina

dewasa yang berada di dalam moulting pounch. Perkawinan terjadi ketika

tungau jantan dewasa melakukan penetrasi ke dalam moulting pounch berisi


tungau betina dewasa fertil. Perkawinan hanya terjadi sekali. Meskipun masih

diperdebatkan, tetapi diyakini bahwa tungau jantan akan mati setelah

melakukan perkawinan (CDC, 2010; Ogg, 2014).

Tungau betina yang mengandung telur akan meninggalkan moulting

pounch dan berada di permukaan kulit sampai menemukan tempat yang cocok

untuk menggali terowongan permanen untuk meletakkan telurtelurnya.

Setelah bertelur, tungau betina dewasa akan hidup sampai 1-2 bulan sebelum

kemudian mati (CDC, 2010).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Umumnya predileksi infeksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti

di sela-sela jari tangan dan kaki, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan

ketiak bagian depan, dada, periareolar (khusus pada wanita), punggung,

pinggang, pusar, bokong, selangkangan, sekitar alat kelamin, dan penis

(khusus pada pria). Pada bayi dan anak-anak dapat juga ditemukan ruam pada

kulit kepala, wajah, leher telapak tangan, dan kaki (McCarthy, et al, 2004;

CDC, 2010).
Gambar 2.1. Predileksi (area) infestasi tungau Sarcoptes scabiei pada tubuh
manusia (area pada gambar yang berwarna merah muda) (CDC, 2010)

Gambar 2.2. A.Tungau Sarcoptes scabiei (var. hominis) betina dengan


perbesaran 400x. (Walton & Currie, 2007). B. Siklus hidup Sarcoptes scabiei
(var. hominis)

Sarcoptes scabiei memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk

masuk ke dalam lapisan kulit. Gejala klinis akibat infestasi tungau Sarcoptes

scabiei adalah timbul ruam pada kulit dan rasa gatal (pruritus) terutama pada

malam hari (McCarthy, et al, 2004). Ruam pada kulit berawal dengan

terjadinya papulae eritrema (penonjolan kulit tanpa berisi cairan, berbentuk


bulat, berbatas tegas, berwarna merah, ukuran <1 cm) yang terus berkembang

menjadi vesicle atau pustule (penonjolan kulit berisi cairan atau nanah).

Adanya terowongan di bawah lapisan kulit merupakan ciri khas dari infestasi

tungau ini ( Engelman, et al, 2013).


Gejala gatal (pruritus) akan timbul lebih dari 3 minggu setelah

infestasi tungau ke dalam kulit. Rasa gatal terjadi menyeluruh baik pada

kulit tempat infestasi tungau maupun tidak. Keparahan gejala gatal-gatal

dan ruam yang timbul tidak berhubungan dengan jumlah tungau yang

menginfestasi kulit. Hal ini diduga akibat sensitifitas kulit terhadap

tubuh tungau dan hasil ekskresi dan sekresi tungau (saliva, telur dan

skibala). Sarcoptes scabiei mampu memproduksi substansi proteolitik

(sekresi saliva) yang berperan dalam pembuatan terowongan, aktivitas

makan, dan melekatkan telurnya pada terowongan tersebut. Reaksi

hipersensitifitas tipe IV dapat menimbulkan nodul (bentuk papule dengan

ukuran yang lebih besar) dan bulla (bentuk vesicle dengan ukuran yang

lebih besar) pada area di mana tidak ditemukan tungau pada kulit

(McCarthy, et al, 2004; Engelman, et al, 2013). Nodul biasa ditemukan di

daerah selangkangan, bokong, dan pusar (Walton dan Currie, 2007).

Pada beberapa kasus, ruam, dan rasa gatal pada penderita scabies dapat

menetap sampai beberapa minggu setelah pengobatan. Hal ini

dimungkinkan karena tubuh tungau yang mati masih berada di bawah

permukaan kulit. Nodul pada kulit juga dapat menetap sampai beberapa

bulan setelah pengobatan (Walton dan Currie, 2007). Akibat terbuka

lapisan stratum korneum menyebabkan bakteri mudah menginfeksi kulit.

Keadaan ini disebut scabies dengan infeksi sekunder. Bakteri yang biasa

menyebabkan infeksi sekunder adalah Streptococcus pyogenes dan

Staphylococcus aureus (Engelman,2006)


2.1.4 DIAGNOSIS

Menurut Handoko tahun 2007 ada 4 tanda cardinal :


1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan
panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu
pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian
besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut.
Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya
terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan
gejala, penderita ini bersifat sebagai pembawa.
3. Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok,
rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul dan
vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Terowongan yang berkelok-kelok
umumnya ditemukan pada penderita kulit putih dan sangat jarang di
Indonesia (Margono, 1998). Tempat predileksinya biasanya merupakan
tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mame (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria),
perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan
telapak kaki.

Gbr.2.3. Tungau yang hidup dalam terowongan (Sumber : Prof. Dr. R.S.
Siregar Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. 2005.)
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal


tersebut. Ada pendapat yang mengatakan penyakit ini merupakan the
great imitator karena dapat menyerupai banyak penyakit kulit dengan
keluhan gatal. Sebagai diagnosis banding adalah : prurigo, pedikulosis
korporis, dermatitis dan lain-lain(Sumber : Prof. Dr. R.S. Siregar Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. 2005.)
2.1.5 Pengobatan dan Pencegahan

2.1.1.1. Pengobatan

Syarat obat yang ideal :


1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
4. Mudah diperoleh dan harganya murah
Pengobatan melibatkan seluruh anggota keluarga yang harus
diobati (termasuk penderita yang hiposensitisasi) guna mencegah
penularan lebih lanjut (Handoko, 2007).

Jenis obat topikal :


1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam
bentuk salap atau krim. Preparat ini karena tidak efektif terhadap
stadium telur, maka penggunanya tidak boleh kurang dari 3 hari.
Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakain dan
kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi
berumur kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua
stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit
diperoleh, sering member iriasi, dan kadang-kadang makin gatal
setelah dipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gameksan) kadarnya 1% dalam
krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan, dan jarang member iritasi.
Obat ini tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan
wanita hamil, karena toksik terhadap susunan saraf pusat.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala
diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat
pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal;
harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra.
5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik
disbanding gameksan, efektivitasnya sama, aplikasi hanya sekali
dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi setelah
seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi di bawah umur 2 bulan.

2. Higienitas perorangan dan lingkungan


Kebersihan diri (higienitas) juga perlu di perhatikan untuk mencegah
berkembangnya penyakit scabies, baik lewat pengunanaan handuk yang
tidak bergonta-ganti anatar sesama maupu baju yang tidak di pakai
bergantian serta selalu membersihkan kamar tidur dan menjemur kasur

3. Edukasi dan penyuluhan kesehatan masyarakat


Pemberian edukasi dan pendidikan kepada masarakat dalam
bentuk penyuluhan kerap kali dilakukan guna membantu
masarakat mengenali dan waspada serta mengetahui
pengobatan penyakit scabies ini.

2.1.6 Faktor Yang Berhubungan dengan Skabies

2.1.6.1 Sanitasi

Berdasarkan penelitian Wardhani (2007), 33 orang (84,6%) menderita scabies.

Penyakit scabies adalah penyakit kulit yang berhubungan dengan sanitasi dan

hygiene yang buruk, saat kekurangan air dan tidak adanya sarana pembersih tubuh,

kekurangan makan dan hidup berdesak-desakan, terutama di daerah kumuh dengan

sanitasi yang sangat jelek. Scabies juga dapat disebabkan karena sanitasi yang

buruk.
2.1.6.2 Pengetahuan

Berdasarkan penelitian Khotimah (2006), hasil analisis memperoleh nilai P <

0,05 artinya ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap, dan higiene

perorangan dengan terjadinya scabies.

Scabies masih merupakan penyakit yang sulit diberantas, pada manusia terutama

dalam lingkungan masyarakat pada hunian padat tertutup dengan pola

kehidupan sederhana, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan yang masih

rendah, pengobatan dan pengendalian sangat sulit (Iskandar 2000).

2.1.6.3 Kepadatan Penduduk

Berdasarkan penelitian Andayani (2005), permasalahan yang berkaitan dengan

kejadian scabies di Pondok Pesantren adalah penyakit scabies merupakan penyakit

kulit yang banyak diderita oleh santri, kasus terjadi pada daerah padat penghuni

dan jumlah kasus banyak pada anak usia sekolah.

Penyakit gudik (scabies) terdeteksi manakala menjangkiti lebih dari 1 orang

dalam sebuah keluarga (Cakmoki 2007).

2.1.6.4 Perilaku

Berdasarkan penelitian Kurnitasari (2004), menunjukkan 70 orang (54%)

menderita penyakit scabies, ada hubungan antara kepadatan penghuni, kebiasaan

mandi, kebiasaan ganti baju, kebiasaan menggunkan alat-alat bersama dengan

penderita penyakit scabies.

2.1.6.4.1 Pemakaian alat mandi, pakaian dan alat sholat secara bergantian

Penularan melalui kontak tidak langsung seperti melalui perlengkapan tidur,

pakaian, atau handuk memegang peranan penting (Mansyur 2006). Berdasarkan


hasil penelitian Handayani (2007), menunjukkan 44 Orang (62,9%) terkena

scabies, dan ada hubugan yang signifikan antara kebiasaan pemakaian sabun

mandi, kebiasaan pemakaian handuk, kebiasaan berganti pakaian, kebiasaan tidur

bersama, kebiasaan pemakaian selimut tidur dan kebiasaan mencuci pakaian

bersama dengan penderita skabies dengan kejadian skabies.

2.1.6.4.2 Air

Air merupakan hal yang paling esensial bagi kesehatan, tidak hanya dalam

upaya produksi tetapi juga untuk konsumsi domestik dan pemanfatannya (minum,

masak, mandi, dan lain-lain). Promosi yang meningkat dari penyakit-penyakit

infeksi yang bisa mematikan maupun merugikan kesehatan ditularkan melalui air

yang tercemar. Sedikitnya 200 juta orang terinfeksi melalui kontak dengan air yang

terinvestasi oleh parasit. Sebagian penyakit yang berkaitan dengan air bersifat

menular, penyakit-penyakit tersebut umumnya diklasifikasikan menurut berbagai

aspek lingkungan yang dapat diintervensi oleh manusia (WHO 2001).

2.1.6.5 Perekonomian yang rendah

Laporan terbaru tentang scabies sekarang sudah sangat jarang dan sulit

ditemukan diberbagai media di Indonesia (terlepas dari faktor penyebabnya),

namun tak dapat dipungkiri bahwa penyakit kulit ini masih merupakan salah satu

penyakit yang sangat mengganggu aktivitas hidup dan kerja sehari-hari. Di

berbagai belahan dunia, laporan kasus skabies masih sering ditemukan pada

keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi rendah, tingkat

pendidikan yang rendah dan kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau
cenderung jelek. Rasa gatal yang ditimbulkannya terutama waktu malam hari,

secara tidak langsung juga ikut mengganggu kelangsungan hidup masyarakat

terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan

dilakukannya disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung

lama, maka efisiensi dan efektifitas kerja menjadi Air

Air merupakan hal yang paling esensial bagi kesehatan, tidak hanya dalam

upaya produksi tetapi juga untuk konsumsi domestik dan pemanfatannya (minum,

masak, mandi, dan lain-lain). Promosi yang meningkat dari penyakit-penyakit

infeksi yang bisa mematikan maupun merugikan kesehatan ditularkan melalui air

yang tercemar. Sedikitnya 200 juta orang terinfeksi melalui kontak dengan air yang

terinvestasi oleh parasit. Sebagian penyakit yang berkaitan dengan air bersifat

menular, penyakit-penyakit tersebut umumnya diklasifikasikan menurut berbagai

aspek lingkungan yang dapat diintervensi oleh manusia (WHO 2010).

2.1.6.6 Perekonomian yang rendah

Laporan terbaru tentang scabies sekarang sudah sangat jarang dan sulit ditemukan

diberbagai media di Indonesia (terlepas dari faktor penyebabnya), namun tak dapat

dipungkiri bahwa penyakit kulit ini masih merupakan salah satu penyakit yang

sangat mengganggu aktivitas hidup dan kerja sehari-hari. Di berbagai belahan

dunia, laporan kasus skabies masih sering ditemukan pada keadaan lingkungan

yang padat penduduk, status ekonomi rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan

kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek. Rasa gatal yang

ditimbulkannya terutama waktu malam hari, secara tidak langsung juga ikut

mengganggu kelangsungan hidup masyarakat terutama tersitanya waktu untuk

istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukannya disiang hari juga ikut
terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka efisiensi dan efektifitas

kerja menjadi tangan, tidur bersama dalam satu tempat tidur, dan hubungan

seksual (Wahid 2009).

2.2 Penyuluhan

2.2.1 Definisi Penyuluhan

suatu kegiatan mendidik sesuatu kepada individu ataupun

kelompok, memberi pengetahuan, informasi-informasi dan

berbagai kemampuan agar dapat membentuk sikap dan perilaku

hidup yang seharusnya.( Soemirat, Juli. 2004. Kesehatan

Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press)

2.2.2 Prinsip Penyuluhan

Prinsip-prinsip penyuluhan pembangunan mencakup: minat

dan kebutuhan; organisasi masyarakat bawah; perubahan buda-

ya; kerja sama dan partisipasi; demokrasi dalam penerapan il-

mu; belajar sambil bekerja; penggunaan metode yang sesuai;

kepemimpinan; spesialis yang terlatih; penyuluhan harus mem-

perhatikan kebutuhan dalam masarakat dalam ranah pondok

pesantren. (Soemirat, Juli. 2004. Kesehatan Lingkungan.

Yogyakarta : Gajah Mada University Press)


2.2.3 Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan yaitu menumbuhkan perubahan-perubahan

dalam diri penghuni pondok pesantren baik pengurus ustad

ustadzah kyai maupun santri yang mencakup tingkat

pengetahuan, kecakapan, kemampuan, sikap, dan motivasi

petani terhadap kegiatan usaha kesehatan yang dilakukan lewat

PHBS (Prilaku Hidup Bersih dan Sehat) di pondok pesantren.

(Soemirat, Juli. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta :

Gajah Mada University Press)

2.2.4 Metode dan Proses Komunikasi

korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi yang terfokus

pada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan

organisasi yang berfokus pada teknik, media, proses dan faktor-

faktor yang menjadi penghambat proses komunikasi organisasi

dalam suatu pesantren.(Soemirat, Juli. 2004. Kesehatan

Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press)


2.2.5. Kerangka Pikir

2.3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

2.3.1 Definisi
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara umum merupakan perilaku-
perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatannya. Menurut Lily S. Sulistyowati (2011:7) perilaku
hidup bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga,
kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) dibidang
kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Menurut Proverawati (2012: 2) perilaku hidup bersih dan sehat merupakan cerminan
pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan kesehatan seluruh anggota
keluarga. Semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota
keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat
berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. Mencegah lebih baik
daripada mengobati, prinsip kesehatan inilah yang menjadi dasar dari pelaksanaan
PHBS(Soemirat J. Kesehatan Lingkungan. 2011. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press)

2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Penerapan PHBS terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi. Menurut Lawrence


Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan yaitu faktor perilaku
(behaviour factors) dan faktor non perilaku (non behavioural). Green menjelaskan
bahwa faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama (Notoatmodjo, 2007: 89):
a. Faktor Pemudah (Predisposing Factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap seseorang terhadap perilaku hidup bersih
dan sehat sehingga faktor ini menjadi pemicu terhadap perilaku yang menjadi dasar
bagi tindakannya akibat tradisi atau kebiasaan, kepercayaan, tingkat pendidikan, dan
tingkat sosial ekonom, seperti pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai yang dimiliki
seseorang yang tidak merokok.
b. Faktor Pemungkin (Enambling Factor)
Faktor ini merupakan pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi
atau tindakan terlaksana. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan jamban, dan makanan yang bergizi. Fasilitas ini pada hakikatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku hidup bersih dan sehat.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor ini merupakan faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan
memperoleh dukungan atau tidak. Faktor ini terwujud dalam bentuk sikap dan
perilaku pengasuh santri seperti pengasuh memberikan keteladanan dengan
melakukan mencuci tangan sebelum makan, atau selalu meminum air yang sudah
dimasak. Maka hal ini akan menjadi penguat untuk perilaku hidu bersih dan sehat.

Selain ketiga faktor diatas, terdapat hal-hal lain yang dapat mempengaruhi PHBS,
sebagian terletak di dalam diri individu itu sendiri, yang disebut faktor internal dan
sebagian terletak di luar dirinya yang disebut faktor eksternal (Soemirat J. Kesehatan
Lingkungan. 2011. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
a. Faktor Internal
Faktor internal seperti keturunan. Seseorang berperilaku tertentu karena memang
sudah demikian diturunkan dari orang tuanya. Sifat-sifat yang dimiliki adalah sifat-
sifat yang diperoleh oleh orang tua atau neneknya dan sebagainya. Faktor internal
lainnya adalah motif. Manusia berbuat sesuatu karena adanya dorongan atau motif
tertentu. Motif atau dorongan ini timbul karena dilandasi oleh adanya kebutuhan yang
oleh Maslow dikelompokkan menjadi kebutuhan biologis, sosial dan ekonomi

b. Faktor Eksternal
Faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi seseorang untuk berbuat sesuatu yang
disebabkan karena adanya suatu dorongan atau unsur-unsur tertentu. Faktor eksternal
juga merupakan faktor yang terdapat diluar diri individu (Soemirat J. Kesehatan
Lingkungan. 2011. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)

2.3.3. Tatanan PHBS di Pondok Pesantren

Pesantren merupakan salah satu model pendidikan berbasis masyarakat. Kebanyakan


pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah untuk
mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam
dengan baik. Secara umum, potret pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu keagamaan di
bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai..

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan kebiasaan hidup pada individu, keluarga
dan masyarakat yang ada di Pesantren berorientasi sehat, serta bertujuan untuk
meningkatkan, melindungi dan memelihara kesehatan baik fisik, mental, maupun
sosial (Dinas Kesehatan, 2010). Kondisi sehat ini dapat dicapai dengan mengubah dan
mempunyai keinginan dari diri sendiri para santri untuk mengubah perilaku tidak
sehat menjadi perilaku sehat dan bisa menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat
di pesantren (Dinas Kesehatan, 2010).

Perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah (pesantren) adalah sekumpulan perilaku
yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah
(pesantren) atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri
mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam
mewujudkan lingkungan sehat (Soemirat J. Kesehatan Lingkungan. 2011.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)

PHBS dalam tatanan institusi pendidikan adalah upaya pemberdayaan dan


peningkatan kemampuan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat di tatanan institusi
pendidikan. Sasaran PHBS di tatanan institusi pendidikan adalah seluruh anggota
keluarga institusi pendidikan dan terbagi dalam sasaran primer, sasaran sekunder, dan
sasaran tersier (Soemirat J. Kesehatan Lingkungan. 2011. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press)

Beberapa indikator yang digunakan sebagi dasar dalam pelaksanaan pola hidup bersih
dan sehat di lingkungan sekolah/pesantren diantaranya.

a. Setiap santri agar makan makanan yang mengandung unsur zat tenaga, zat
pembangun, zat pengatur sebagai Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
b. Semua santri menggunakan garam beryodium untuk keperluan sehari-hari.
c. Semua santri agar membuang air besar atau tinja di jamban atau WC.
d. Santri agar mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dalam waktu akan
makan.
e. Santri agar menggunakan air bersih dan untuk minum agar dimasak terlebih dahulu.
f. Setiap halaman, pekarangan agar selalu bersih, bebas dari sampah dan bebas dari
sarang nyamuk.
g. Santri agar menggosok gigi paling sedikitnya 2 kali sehari, yaitu sesudah makan dan
sebelum tidur.
h. Tidak merokok
Berolahraga secara teratur. (Dwi Jayanti, Linda. 2011. Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat (Phbs) Serta Perilaku Gizi Seimbang Kaitannya Dengan Status Gizi , Jawa
Timur. Vol 6 )
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Sanitasi Pondok Pesantren di Jawa Timur . Surabaya: Dinas


Kesehatan Propinsi Jawa Timur.

Carruthers, R. 1978. Treatment of Skabies and Pediculosis. Medical Proggress 5 (12)


: 25-30.

Handoko, R. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.122-125.

http://www.cdc.gov/scabies/index.html/ diakses pada hari Kamis, 9 September 2009.

Kabulrachman. 1992. Pengaruh Lingkungan dan Pencemaran Terhadap


Penyakit Kulit. Majalah Kedokteran Indonesia 42 (5): 273-277.

Margono. S. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. : Balai


Penerbit FKUI. 264-265.

Partosoedjono, S . 2003 . Scabies dan kualitas sanitasi masyarakat. Kompas,


Jum'at, 05 September 2003 .

Poeranto, s et al . 1997 . Pengobatan dengan gamexan pada penderita scabiosis


di pondok pesantren Al Munawwariyyah Sudimoro, Malang. Majalah
Kedokteran Unibraw . 13(2) : 69 - 73 .

Sungkar, S. 1997. Skabies. Majalah Kedokteran Indonesia 47 (01) :33-42.

Tabri F. 2003. Skabies pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL,
Kurniati DD, editor. Infeksi kulit pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI,.p.62-79.

Dwi Jayanti, Linda. 2011. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Serta Perilaku Gizi
Seimbang Ibu Kaitannya Dengan Status Gizi Dan Kesehatan Balita Di Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Vol 6(3).

Soemirat, Juli. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University


Press

Anda mungkin juga menyukai