Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Oleh:
Preseptor:
dr. Anna Millizia, M.Ked (An), Sp. An
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB 2......................................................................................................................4
LAPORAN KASUS................................................................................................4
2.1 Identitas Pasien..........................................................................................4
2.2 Anamnesis.................................................................................................4
2.2.1 Keluhan Utama..................................................................................4
2.2.2 Keluhan tambahan..............................................................................4
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang...............................................................4
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu...................................................................4
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga................................................................5
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan..........................................................5
2.2.7 Riwayat sosial ekonomi.....................................................................5
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................5
2.4 Status Generalis.........................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................6
2.5 Assesment..................................................................................................7
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA.....................................7
2.7 Rencana Pembedahan................................................................................7
2.8 Rencana Anestesi:.....................................................................................7
2.9 Laporan Anestesi.......................................................................................7
BAB 3....................................................................................................................12
PEMBAHASAN...................................................................................................12
BAB 4....................................................................................................................26
PEMBAHASAN...................................................................................................26
BAB 5....................................................................................................................31
KESIMPULAN.....................................................................................................31
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
BAK tersendat
2.2.2 Keluhan tambahan
BAK tidak puas dan nyeri
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan BAK tersendat.
Pasien juga merasakan nyeri dan rasa tidak puas saat BAK sejak 5 hari yang lalu.
Keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien mengaku tidak ada pasir
maupun darah saat BAK dan BAB lancar.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat asma disangkal
5
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal.
- Riwayat penyakit jantung disangkal
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal
Kepala Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah dicabut
Paru
Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan kiri,
6
jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal
Auskultasi: BJI>BII regular
2.5 Assesment
Benign prostate hiperplasia
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA II
2.7 Rencana Pembedahan
TURP (Trans-Urethra Resection of Prostate)
2.8 Rencana Anestesi:
Spinal Anestesi
2.9 Laporan Anestesi
PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan
Pasien di konsultasikan ke dr. Dicky, Sp. An pada tanggal 18 Januari 2022
untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan,
pasien disiapkan untuk rencana TURP keesokan harinya. Diberikan juga
informasi kepada keluarga pasien, antara lain:
- Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga
pasien tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien,
bagaimana pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang
akan dilakukan.
- Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau kelu-
arga pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga
pasien tidak akan mengajukan tuntutan.
8
- Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan
bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghin-
dari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
- Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.
Di Ruang Persiapan
- Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan
sudah terpasang infus RL.
Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
9
2 ml/ kgBB/ jam 2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB 2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P (120 + 120 + 480) ml = 700 ml
INTRA ANESTESI
20 Januari pukul 11.00 WIB
10
Tindakan pembedahan dimulai
TD : 138/80mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.25 WIB
TD : 134/82mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.40 WIB
TD : 128/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.55 WIB
TD : 124/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Cairan infus Ringer Laktat ke-1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan
POST OPERATIF
Pukul 12.10 WIB
11
Pasien didorong ke ruang rawat bedah
INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- IVFD RL 20 gtt/i
- Bila mual/muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
- Terapi lain sesuai bedah
Laporan Anestesi
- Ahli Anestesiologi : dr. Zaki Fikran, Sp.An
- Ahli Bedah : dr. Fadli, Sp.U
- Diagnosis prabedah : Benign prostate hyperplasia + retensio uri
- Jenis Operasi : TURP
- Jenis Anestesi : Spinal anestesi
- Lama Operasi : 1 jam 5 menit
- Lama Anestesi : 10 menit
12
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Anestesi Spinal
Anestesi spinal didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local
secara langsung ke dalam cairan cerebrospinal di dalam ruang subarachnoid.
Jarum spinal diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas
ini dikarenkan adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak mungkin dilakukan insersi (Soenarjo et al,
2013).
Tingkat keberhasilan teknik spinalis ditentukan oleh banyak faktor,
diantaranya dosis obat, volume, posisi pasien serta komplikasi yang mungkin
ditimbulkan. Efek yang ditimbulkan bisa berkaitan dengan farmakologis obat,
fisiologis tubuh, teknik, dan peralatan yang digunakan, terutama jarum spinal
(Sutiyono et Winarno, 2009)
1. Teknik anestesi
a. Persiapan
1) Monitor standar, seperti EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
2) Obat dan alat resusitasi, seperti oksigen, bagging, suction, dan set
intubasi.
3) Sarung tangan dan masker steril.
4) Perlengkapan desinfeksi dan duk steril.
5) Obat anestesi local untuk anestesi spinal dan untuk infiltrasi local kulit
dan jaringan subkutan.
6) Syringe, kateter, dan jarum spinal.
7) Kasa penutup steril.
b. Pengaturan posisi pasien
Terdapat dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan dagu ditekuk
ke dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk flesi dimana pasien duduk
13
pada pinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Posisi fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ruang epidural (Soenarjo et al, 2013).
2. Teknik insersi anestesi spinal
Anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan “Pencil
Point” atau “Tappered Point”. Insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum
sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai dengan
keluarnya cairan cerebrospinal. Pemakaian jarum dengan diameter kecil
bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH)
(Soenarjo et al, 2013).
3. Efek samping
1) Hipotensi.
2) Bradikasrdi.
3) Hematome.
4) Luka pada tempat tusukan.
5) Perdarahan.
6) Infeksi.
7) Trauma medulla spinalis.
8) Nyeri kepala pasca anestei spinal.
(Sutiyono et Winarno, 2009)
Bladder
Uretra
Enlargement of the
prostate starts to constrict
the uretra
Urethra become
narrowed
15
Urethra urethra almost
Completely obstructed
16
e. Bila seorang perokok, maka harus berhenti merokok beberapa
minggu sebelum operasi untuk menghindari gangguan proses
penyembuhan.
a. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi. Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah. Kunjungan praoperasi dapat menenangkan
17
pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan
anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak berguna bila
diberikan pada waktu yang tidak tepat (Soenarjo, et al., 2013).
b. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian
anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet
di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik
lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.
Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah yang teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal
memiliki beratjenis 1,003-1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril,
povidon iodine, alkohol (Yang, 2009).
c. Jenis jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing
seperti ujung bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan
jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal (Yang, 2009).
d. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi
Narkotik Analgetik
Dosis :
- Papaveratum : 0,3 mg/Kg
- Pethidin : 50-100 mg/Kg
- Phentanyl : 100 mcg
18
e. Obat yang dipakai untuk induksi spinal
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yang digunakan adalah 15-
20 mg (larutan 0,5%).
f. Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah (Soenarjo et al, 2013):
Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk
atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral atau dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk
pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah
duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan
misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan
serebrospinalis, maka jatum suntik akan menembus : kulit subkutis
ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum
ligamentum flavum ruang epidural duramater ruang
subarachnoid.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27 G atau 29 G dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer) yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan
19
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam irisan jarum haruis sejajar dengan dengan
serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik. Untuk BAB anelgesi spinal kontinyu dapat
dimasukkan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6 cm.
g. Pengawasan selama berlangsungnya operasi
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP
adalah gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi (Purnomo, 2011).
Komplikasi mayor yang dapat terjadi pada TURP adalah :
i. Pendarahan
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,
menyebabkankehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara
signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark
miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar
prostatyang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator.
Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi
prostat.
ii. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus
vena pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan
irigasi. Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau
lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan
sindromTURP .
20
Manifestasi dari Sindrom TURP :
1) Hiponatremia
2) Hipoosmolaritas
3) Overload cairan
4) Gagal jantung kongestif
5) Edema paru
6) Hipotensi
7) Hemolisis
8) Keracunancairan
9) Hiperglisinemia
10) Hiperamonemia
11) Hiperglikemia
12) Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan
endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa
angka mortalitas yang signifikan. Walaupunterdapat peningkatan di
bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP
menunjukkansatu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5%
diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari
sindrom TURP ini sebesar 0,99%
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan
mempergunakan cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang
dan tidak tertutup oleh darah.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik,
non-hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk
disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang
memenuhi syarat seperti di atas belumditemukan.Untuk TURP biasanya
menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti
air steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan
Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang
21
digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea
1%.
1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa
tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan
hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik danendotoksin menuju
sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi.
2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi
dilatasi dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul
bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi
gejala yang tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah
pembedahan. Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang
kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan
refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya
danakomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang
disebabkan karena disfungsi Kortikal serebri.
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari
kantung kemih dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen
dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang
melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak
diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung
kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi
dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan
diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang
lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma
merupakan gejala khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea,
22
muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan
refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.Letusan didalam kantung kemih
jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat dipercaya bisamembebaskan
gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang
terdapatdidalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara
masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa berakibat timbulnya
ledakan.
4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan
dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin
menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional
trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada
darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin
Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma
fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi
dengan tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada
6% pasien, bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin
bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan
toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi
kapiler dan hipertensi bisa terjadisecara temporer pada pasien ini.
6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang
akan dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan
konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari
hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan
menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh
keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga akan
23
mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi
danasidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap
manifestasi sistem saraf pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.
iii. Tata laksana sindrom TURP
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme
patofisiologikal yang bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi
tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan
jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur
pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa di
manajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop. Identifikasi gejala
awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah efek yang
fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik. Hiponatremia
yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien yang
menggunakan obat-obatan diureticdan diet rendah garam. Antibiotic
profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dan septisemia.
Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri
pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal
cairan irigasi adalah 60 cm.Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP
operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1
jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik
terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan
air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari satu
jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan
distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering
mengosongkan kandung kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya
dilakukan dengan diuresis dan pemberian salin hipertonis 3-5% secara
lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari
100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan
mengakibatkan edema paru dancentral pontine myelinolysis. Dua pertiga
24
dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan
osmolaritas,sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapidengan terapi diuretik menggunakan
furosemide. Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb
secara intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom
TURP dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab
itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya
yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan
osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan
nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan
ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan
serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakan untuk merawat
gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya
diterapidengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin atau
penggunaan pelemas otot tergantungdari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan
dosis kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100
mg).
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC,
maka fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti
dengan infus heparin 2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500
unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisa digunakan
tergantung dari jenis koagulasinya. Drainase pembedahan dari cairan
retroperitoneal pada kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan
mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan
infusglisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.
Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui.
Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus
dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi
endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai
status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-
25
5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level
yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin
hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100
ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan
sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang
operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasidan
intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC. Manajemen pasien
yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yang memadai,
penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.
Pemantauan yang dilakukan glukosa,elektrolit (Na, K, Ca, Cl, CO3, PO4),
urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah
dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG
untuk memonitor fungsi kardiovaskular.
26
BAB 4
PEMBAHASAN
1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus
ini adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai
dengan sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis
oleh bedah urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada
pemeriksaan fisik tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang
lainnya seperti foto thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor,
dan pemeriksaan USG Ginjal Buli sesuai gambaran hipertrofi prostat. Dari
hasil yang didapat disimpulkan bahwa pasien masuk dalam kriteria ASA II
dan akan dilakukan operasi TURP. Selanjutnya ditentukan rencana jenis
anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi. Persiapan yang
dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan
dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien
dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.
Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau
keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga
resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
27
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat
dipuasakan selama 8 jam. Pasien telah diminta berpuasa sejak pukul
02.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum
baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan
laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung
jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero
imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee,
2008).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya
dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang
dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145
mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan
otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal
sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia
28
merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia
jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010).
2. Teknik Anestesi Pada TURP
Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai
teknik anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan
pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari
sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi
memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP
dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan
dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP
dihubungkan dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan
penyembuhan nyeri postoperatif.
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan
regional anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini
berdasarkan dari pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pemilihan teknik
anestesi spinal sesuai dengan indikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik
anestesi spinal sudah lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal
terhadap komplikasi dari TURP, yaitu sindrom TURP.
3. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi
spinal dengan Bunascan Spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg.
Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan
menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf
yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1)
otonomik (2) nyeri (3) suhu (4) raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot
skeletal.
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab
29
mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan
darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan
aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang
direkomendasikan untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah
perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi
atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi
dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan
setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk
mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan
cairan selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan
sebagai berikut :
Usia : 54 tahun
Berat badan : 60 kg
Terapi Cairan :
M (Maintenance)
2 ml/ kgBB/ jam 2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB 2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P (120 + 120 + 480) ml = 700 ml
30
6 jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan
intravena bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas
analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk
menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi.
Kebanyakan diberikan secara intramuskular dan intravena, tetapi
terdapat juga dalam bentuk obat oral.
4. Post operatif
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah
selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.
31
BAB 5
KESIMPULAN
1. Pada kasus ini, pasien Tn. AR dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan
TURP.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan
bupivacain spinal 20mg. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit
sebelum pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500
ml
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 1 jam 5 menit. Pasien kemudian
dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan,
jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran composmentis.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestsiologi Indonesia
Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the
relevant differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17,
2007.
Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision
compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet
obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled
trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008
34