Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

SPINAL ANESTESI PADA TUR-P

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh:

Muhammad Naufal Arif, S.Ked


2106111005

Preseptor:
dr. Anna Millizia, M.Ked (An), Sp. An

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Spinal
Anestesi Pada TUR-P” merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior bagian Ilmu Anestesiologi di Bagian/SMF Ilmu
Anestesiologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh RSU
Cut Meutia Aceh Utara dapat saya selesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anna Millizia, M.Ked
(An), Sp. An selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan
untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi
bagi penulis sehingga Laporan Kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB 2......................................................................................................................4
LAPORAN KASUS................................................................................................4
2.1 Identitas Pasien..........................................................................................4
2.2 Anamnesis.................................................................................................4
2.2.1 Keluhan Utama..................................................................................4
2.2.2 Keluhan tambahan..............................................................................4
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang...............................................................4
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu...................................................................4
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga................................................................5
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan..........................................................5
2.2.7 Riwayat sosial ekonomi.....................................................................5
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................5
2.4 Status Generalis.........................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................6
2.5 Assesment..................................................................................................7
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA.....................................7
2.7 Rencana Pembedahan................................................................................7
2.8 Rencana Anestesi:.....................................................................................7
2.9 Laporan Anestesi.......................................................................................7
BAB 3....................................................................................................................12
PEMBAHASAN...................................................................................................12
BAB 4....................................................................................................................26
PEMBAHASAN...................................................................................................26
BAB 5....................................................................................................................31
KESIMPULAN.....................................................................................................31

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Trans ureteral Resection Of Prostate (TURP) merupakan operasi yang


paling sering dilakukan kedua setelah katarak pada pria diatas 65 tahun.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah membuat seorang urologist dapat
mencapai berbagai sudut dari sitem urinary dengan hanya menimbulkan trauma
yang minimal pada pasien. Prosedur endoskopi pada system urinary memerlukan
fungsi cairan irigasi yang secara baik mendilusikan ruang mukosa, darah ,
jaringan ikat tertentu dan debris dari lapang pandang operasi dan memberikan
pandangan yang lebih baik. Berbagai cara telah dilakukan oleh urologist untuk
dapat mengerti dan mencegah berbagai komplikasi yang berasal dari prosedur
endoskopi, namun ternyata insidensi terjadinya komplikasi masih meningkat dan
menghantui pada urologist. Kegagalan pada system saraf pusat, system
kardivaskular selam dilakukanya TURP dikatakan sebagai sindroam TURP. 2.5-
20% pasien yang melakukan prosedur TURP mengalami sindorma TURP dan
sebagian kecil meninggal dalam keadaan intraoperasi (Moorthy, 2001).
Pada Operasi TURP dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara
anestesi umum dan anestesi local tertentu. Masing-masing pendekatan memiliki
keuntungan dan kekurangan tertentu. Pada berbagai Negara maju telah menjadi
sebuah kesepakatan bahwa dalam tindakan operative TURP yang digunakan
adalah anestesi regional yaitu anestesi spinal. Inggris melakukan tindakan anestesi
spinal pada 75% kasus TURP, Karena secara teoritis hal ini meliki keuntungan
seperti pendeteksian dini pada sindroma TURP. Keputusan akan pemberian
anestesi sangatlah bergantung dair keadaan pasien dan pendekatan
anesthesiologist dan urologist.

4
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. TT
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
MR : 00.36.68
Alamat : Desa Babus Salam, Baktiya, Aceh Utara
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Bedah (Arafah 1)
Tgl Masuk Rumah sakit : 17 Januari 2022
Tanggal Operasi : 20 Januari 2022

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
BAK tersendat
2.2.2 Keluhan tambahan
BAK tidak puas dan nyeri
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan BAK tersendat.
Pasien juga merasakan nyeri dan rasa tidak puas saat BAK sejak 5 hari yang lalu.
Keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien mengaku tidak ada pasir
maupun darah saat BAK dan BAB lancar.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat asma disangkal
5
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal.
- Riwayat penyakit jantung disangkal
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal

2.2.7 Riwayat sosial ekonomi


Pasien menggunakan BPJS

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4M6V5
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Frekuansi Nadi : 90x/menit
Frekuensi Napas : 22x/menit
Suhu : 37°C
2.4 Status Generalis

Kepala Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah dicabut

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga Normotia (+/+)

Hidung Bentuk normal, tidak ada deviasi septum

Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)

Tenggorokan Pembesaran tonsil (-/-)

Leher Pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak deviasi.

Paru
Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan kiri,

6
jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal
Auskultasi: BJI>BII regular

Inspeksi : Simetris, distensi abdomen (-)


Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada defans
Abdomen muskuler.
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)


Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium tgl 18 Januari 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 15.2 g/dL 12-16
Eritrosit 3 3.8-5.8
4.81 jt/mm
3
Leukosit 5.68 rb/mm 4-11
Hematokrit 44.4 % 37-47
MCV 92.2 fl 79-99
MCH 31.5 pg 27-32
MCHC 34.2 % 33-37
RDW-CV 12.9 % 11,5-14,5
3
Trombosit 107 rb/mm 150-450
Masa Perdarahan/BT 2 menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 7 menit 9-15
7
Glukosa Darah Sewaktu 110 mg/dL 110-200
Ureum 29.63 mg/dL 20-40
Kreatinin 0.88 mg/dL 0,60-1,00
Asam urat 4.7 mgdL <6.8

2.5 Assesment
Benign prostate hiperplasia
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA II
2.7 Rencana Pembedahan
TURP (Trans-Urethra Resection of Prostate)
2.8 Rencana Anestesi:
Spinal Anestesi
2.9 Laporan Anestesi

PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan
Pasien di konsultasikan ke dr. Dicky, Sp. An pada tanggal 18 Januari 2022
untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan,
pasien disiapkan untuk rencana TURP keesokan harinya. Diberikan juga
informasi kepada keluarga pasien, antara lain:
- Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga
pasien tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien,
bagaimana pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang
akan dilakukan.
- Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau kelu-
arga pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga
pasien tidak akan mengajukan tuntutan.

Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:

8
- Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan
bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghin-
dari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
- Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.

Di Ruang Persiapan
- Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan
sudah terpasang infus RL.

Persiapan alat anestesi :


Spinal Set Connector Orotracheal airway
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop ETT
Sungkup muka Mesin Anestesi Gel
Spuit Infus set+abocath Kasa steril
Persiapan obat-obatan anestesi
a. Analgetik : Fentanyl, Morfin, Ketorolac, Pethidine
b. Hipnotik Sedatif : Bupivacaine, Levobupivacaine,
Midazolam, Lidocaine
c. Muscle Relaxan : Atracurium, Recuronium
d. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2

e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine, epinephrine

f. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine

g. Obat tambahan lainnya : Ranitidine, Ondansetron, tranexamaic acid

Rencana terapi cairan intraoperatif

Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
9
2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB  2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (120 + 120 + 480) ml = 700 ml

INTRA ANESTESI
20 Januari pukul 11.00 WIB

1. Pasien masuk kamar operasi 1 dan dibaringkan di meja operasi kemu-


dian dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di
awal atau penilaian pra induksi (Pukul 10.50 WIB) :

3. Kesadaran: Compos Mentis, TD= 120/80 mmHg, nadi= 70 x/menit,


saturasi O2: 99%.
4. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
5. Pasien diminta duduk dan membungkukkan badan
6. Dilakukan anestesi dengan teknik anestesi regional pada spinal
7. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit
8. Pukul 11.05 tindakan anestesi telah selesai
Pukul 10.55 WIB
 Tindakan anestesi dimulai
 TD : 120/80mmHg, HR : 70x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.05 WIB
 Tindakan anestesi selesai dilakukan
 TD : 132/85mmHg, HR : 72x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.10 WIB

10
 Tindakan pembedahan dimulai
 TD : 138/80mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.25 WIB
 TD : 134/82mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.40 WIB
 TD : 128/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
Pukul 11.55 WIB
 TD : 124/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Cairan infus Ringer Laktat ke-1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan

dengan infus Ringer Laktat ke-2

Pukul 12.00 WIB

 TD : 120/74mmHg, HR : 70x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%


 Pembedahan selesai
 Pasien diberikan ketorolac 30mg/iv
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pasien dipasang kateter irigasi
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang
pemulihan atau recovery room (RR).

POST OPERATIF
Pukul 12.10 WIB

Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat

kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan pe-

meriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72

x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%.

Pukul 12.30 WIB

11
 Pasien didorong ke ruang rawat bedah

INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- IVFD RL 20 gtt/i
- Bila mual/muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
- Terapi lain sesuai bedah

Laporan Anestesi
- Ahli Anestesiologi : dr. Zaki Fikran, Sp.An
- Ahli Bedah : dr. Fadli, Sp.U
- Diagnosis prabedah : Benign prostate hyperplasia + retensio uri
- Jenis Operasi : TURP
- Jenis Anestesi : Spinal anestesi
- Lama Operasi : 1 jam 5 menit
- Lama Anestesi : 10 menit

12
BAB 3

PEMBAHASAN

A. Anestesi Spinal
Anestesi spinal didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local
secara langsung ke dalam cairan cerebrospinal di dalam ruang subarachnoid.
Jarum spinal diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas
ini dikarenkan adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak mungkin dilakukan insersi (Soenarjo et al,
2013).
Tingkat keberhasilan teknik spinalis ditentukan oleh banyak faktor,
diantaranya dosis obat, volume, posisi pasien serta komplikasi yang mungkin
ditimbulkan. Efek yang ditimbulkan bisa berkaitan dengan farmakologis obat,
fisiologis tubuh, teknik, dan peralatan yang digunakan, terutama jarum spinal
(Sutiyono et Winarno, 2009)
1. Teknik anestesi
a. Persiapan
1) Monitor standar, seperti EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
2) Obat dan alat resusitasi, seperti oksigen, bagging, suction, dan set
intubasi.
3) Sarung tangan dan masker steril.
4) Perlengkapan desinfeksi dan duk steril.
5) Obat anestesi local untuk anestesi spinal dan untuk infiltrasi local kulit
dan jaringan subkutan.
6) Syringe, kateter, dan jarum spinal.
7) Kasa penutup steril.
b. Pengaturan posisi pasien
Terdapat dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan dagu ditekuk
ke dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk flesi dimana pasien duduk

13
pada pinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Posisi fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ruang epidural (Soenarjo et al, 2013).
2. Teknik insersi anestesi spinal
Anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan “Pencil
Point” atau “Tappered Point”. Insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum
sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai dengan
keluarnya cairan cerebrospinal. Pemakaian jarum dengan diameter kecil
bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH)
(Soenarjo et al, 2013).
3. Efek samping
1) Hipotensi.
2) Bradikasrdi.
3) Hematome.
4) Luka pada tempat tusukan.
5) Perdarahan.
6) Infeksi.
7) Trauma medulla spinalis.
8) Nyeri kepala pasca anestei spinal.
(Sutiyono et Winarno, 2009)

B. Transuretral Resection of Prostat (TURP)


a. Definisi
TURP merupakan sebuah operasi reseksi kelenjar prostat yang dilakukan
transurethral dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) yang dimaksudkan
menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan uretra. Operasi ini perlu
dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena dapat menyebabkan
penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan penyumbatan yang pada
akhirnya dapat menimbulkan hidronefrosis, dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).
Anestesi spinal digunakan pada operasi TURP dengan sedasi, sebuah
citoscope yang dimasukkan melalui uretra sampai ke bladder, kemudian
14
bladder diisi dengan solution sehingga memudahkan operator memeriksa
bagian dari prostat yang membesar, kemudian dimasukkan surgical loop
melalui citoscope untuk meremove bagian yang membesar, dan kateter akan
dibiarkan sampai beberapa hari. Observasi kesadaran, vital sign, perdarahan,
produksi urine. (Purnomo, 2011).
b. Klasifikasi BPH
i. Early BPH

Bladder

Uretra

Enlargement of the
prostate starts to constrict
the uretra

ii. Moderate BPH

Urethra become
narrowed

iii. Severe BPH

15
Urethra urethra almost
Completely obstructed

Thickened bladder wall due to


obstruction of
Urethra urethra

c. Indikasi dilakukan TURP


a. Meningkatnya frekuensi buang air kecil.
b. Kesulitan memulai buang air kecil.
c. Aliran urin melambat.
d. Berhenti sebentar di tengah aliran.
e. Dribbling setelah urination.
f. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK.
g. Perasaan tidak puas di akhir DAK
h. Nyeri selama BAK.
i. Retensi urin.
j. Batu vesica urinaria.
d. Preoperasi
a. Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan, apakah punya
riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes, anemia, alergi,
atau riwayat operasi sebelumnya.
b. Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka
harus berhenti palint tidak 2 minggu sebelum operasi untuk
menghindari gangguan proses penyembuhan.
c. Pemeriksaan darah rutin.
d. Puasa paling tidak 6-8 jam sebelum operasi dilakukan.

16
e. Bila seorang perokok, maka harus berhenti merokok beberapa
minggu sebelum operasi untuk menghindari gangguan proses
penyembuhan.

C. Anestesi Spinal pada TURP


Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai
dengan penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk
membatasi level blok untuk mengurangi efek cardiopulmonary yang
merugikan pada pasien tersebut. Penggunaan anastesi local dengan dosis
yang lebih kecil memberikan beberapa keuntungan misalnya hipotensi
tidak terjadi karena tidak memblok serabut saraf simpatik di daerah atas
serta memperkecil resiko timbulnya toksisitas sistemik obat anastesi local
(Yang, 2009). TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi
( Awake TURP ) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut
- Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien
yang sadar
- Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir
overload sirkulasi. 
- Komplikasi hiponatremi akibat tertariknya Na+ oleh air irrigator dapat
cepat dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual, kejang.
- Kehilangan darah akan lebih sedikit.

a. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi. Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah. Kunjungan praoperasi dapat menenangkan
17
pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan
anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak berguna bila
diberikan pada waktu yang tidak tepat (Soenarjo, et al., 2013).
b. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian
anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet
di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik
lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.
Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah yang teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal
memiliki beratjenis 1,003-1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril,
povidon iodine, alkohol (Yang, 2009).
c. Jenis jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing
seperti ujung bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan
jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal (Yang, 2009).
d. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi
Narkotik Analgetik
Dosis :
- Papaveratum : 0,3 mg/Kg
- Pethidin : 50-100 mg/Kg
- Phentanyl : 100 mcg
18
e. Obat yang dipakai untuk induksi spinal
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yang digunakan adalah 15-
20 mg (larutan 0,5%).
f. Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah (Soenarjo et al, 2013):
Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk
atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a.  Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral atau dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk
pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah
duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan
misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan
serebrospinalis, maka jatum suntik akan menembus : kulit  subkutis
 ligamentum supraspinosum  ligamentum interspinosum 
ligamentum flavum  ruang epidural  duramater  ruang
subarachnoid.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27 G atau 29 G dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer) yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan
19
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam irisan jarum  haruis sejajar dengan dengan
serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.  Setelah resistensi
menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.  Untuk BAB anelgesi spinal kontinyu dapat
dimasukkan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6 cm.
g. Pengawasan selama berlangsungnya operasi
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP
adalah gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi (Purnomo, 2011).
Komplikasi mayor yang dapat terjadi pada TURP adalah :
i. Pendarahan
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,
menyebabkankehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara
signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark
miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar
prostatyang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator.
Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi
prostat.
ii. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus
vena pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan
irigasi. Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau
lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan
sindromTURP .

20
Manifestasi dari Sindrom TURP :
1) Hiponatremia
2) Hipoosmolaritas
3) Overload cairan
4) Gagal jantung kongestif 
5) Edema paru
6) Hipotensi
7) Hemolisis
8) Keracunancairan
9) Hiperglisinemia
10) Hiperamonemia
11) Hiperglikemia
12) Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan
endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa
angka mortalitas yang signifikan. Walaupunterdapat peningkatan di
bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP
menunjukkansatu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5%
diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari
sindrom TURP ini sebesar 0,99%
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan
mempergunakan cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang
dan tidak tertutup oleh darah.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik,
non-hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk
disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang
memenuhi syarat seperti di atas belumditemukan.Untuk TURP biasanya
menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti
air steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan
Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang

21
digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea
1%.
1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa
tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan
hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik danendotoksin menuju
sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi.
2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi
dilatasi dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul
bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi
gejala yang tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah
pembedahan. Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang
kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan
refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya
danakomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang
disebabkan karena disfungsi Kortikal serebri.
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari
kantung kemih dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen
dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang
melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak
diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung
kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi
dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan
diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang
lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma
merupakan gejala khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea,
22
muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan
refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.Letusan didalam kantung kemih
jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat dipercaya bisamembebaskan
gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang
terdapatdidalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara
masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa berakibat timbulnya
ledakan.
4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan
dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin
menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional
trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada
darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin
Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma
fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi
dengan tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada
6% pasien, bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin
bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan
toksik  pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi
kapiler dan hipertensi bisa terjadisecara temporer pada pasien ini.
6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang
akan dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan
konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari
hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan
menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh
keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga akan
23
mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi
danasidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap
manifestasi sistem saraf pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.
iii. Tata laksana sindrom TURP
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme
patofisiologikal yang bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi
tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf  pusat dan
jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur
pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa di
manajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop. Identifikasi gejala
awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah efek yang
fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik. Hiponatremia
yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien yang
menggunakan obat-obatan diureticdan diet rendah garam. Antibiotic
profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dan septisemia.
Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri
pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal
cairan irigasi adalah 60 cm.Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP
operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1
jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik
terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan
air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari satu
jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan
distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering
mengosongkan kandung kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya
dilakukan dengan diuresis dan pemberian salin hipertonis 3-5% secara
lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari
100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan
mengakibatkan edema paru dancentral pontine myelinolysis. Dua pertiga
24
dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan
osmolaritas,sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapidengan terapi diuretik menggunakan
furosemide. Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb
secara intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom
TURP dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab
itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya
yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan
osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan
nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan
ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan
serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakan untuk merawat
gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya
diterapidengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin atau
penggunaan pelemas otot tergantungdari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan
dosis kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100
mg).
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC,
maka fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti
dengan infus heparin 2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500
unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisa digunakan
tergantung dari jenis koagulasinya. Drainase pembedahan dari cairan
retroperitoneal pada kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan
mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan
infusglisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.
Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui.
Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus
dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi
endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai
status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-
25
5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level
yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin
hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100
ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan
sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang
operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasidan
intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC. Manajemen pasien
yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yang memadai,
penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.
Pemantauan yang dilakukan glukosa,elektrolit (Na, K, Ca, Cl, CO3, PO4),
urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah
dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG
untuk memonitor fungsi kardiovaskular.

26
BAB 4

PEMBAHASAN

1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus
ini adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai
dengan sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis
oleh bedah urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada
pemeriksaan fisik tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang
lainnya seperti foto thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor,
dan pemeriksaan USG Ginjal Buli sesuai gambaran hipertrofi prostat. Dari
hasil yang didapat disimpulkan bahwa pasien masuk dalam kriteria ASA II
dan akan dilakukan operasi TURP. Selanjutnya ditentukan rencana jenis
anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi. Persiapan yang
dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan
dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien
dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.
Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau
keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga
resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa

27
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat
dipuasakan selama 8 jam. Pasien telah diminta berpuasa sejak pukul
02.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum
baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan
laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung
jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero
imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee,
2008).
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya
dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang
dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145
mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan
otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal
sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia
28
merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia
jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010).
2. Teknik Anestesi Pada TURP
Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai
teknik anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan
pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari
sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi
memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP
dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan
dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP
dihubungkan dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan
penyembuhan nyeri postoperatif.
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan
regional anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini
berdasarkan dari pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pemilihan teknik
anestesi spinal sesuai dengan indikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik
anestesi spinal sudah lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal
terhadap komplikasi dari TURP, yaitu sindrom TURP.
3. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi
spinal dengan Bunascan Spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg.
Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan
menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf
yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1)
otonomik (2) nyeri (3) suhu (4) raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot
skeletal.
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab
29
mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan
darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan
aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang
direkomendasikan untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah
perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi
atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi
dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan
setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk
mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan
cairan selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan
sebagai berikut :
Usia : 54 tahun
Berat badan : 60 kg
Terapi Cairan :
M (Maintenance)
2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB  2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (120 + 120 + 480) ml = 700 ml

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg iv,


diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti
inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-

30
6 jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan
intravena bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas
analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk
menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi.
Kebanyakan diberikan secara intramuskular dan intravena, tetapi
terdapat juga dalam bentuk obat oral.
4. Post operatif
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah
selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.

31
BAB 5

KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Tn. AR dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan
TURP.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan
bupivacain spinal 20mg. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit
sebelum pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500
ml
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 1 jam 5 menit. Pasien kemudian
dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan,
jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran composmentis.

32
DAFTAR PUSTAKA

Barba M, Leyh H, dan Hartung. New technology in transurethral resection of the


prostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2007.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 2007:
260-266.
Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST, Gujral S, Chacko KN, Wright M,
et al. A randomised trial comparing transurethral resection of the prostate,
laser therapy and consevative treatment of men with symptoms associated
with benign prostatic enlargement: The ClasP study. J Urol 164: 65-70,
2007
Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah
Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.
Universitas Sumatera Utara
Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta: FK UI
Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Uro-
logic Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lip-
pincott Williams & Wilkin Publishers. 2008.
Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the patho-
physiology and management. Indian J Urol;17:97-102
Norris HT, Aasheim GM, Sherrard DJ, Tremann JA. 1973. Symptoma¬tology,
pathophysiology and treatment of the transurethral resec¬tion of the
prostate syndrome. Br J Urol: 45: 420-427.
Olsson J, Nilsson A. Hahn RG. 1995. Symptoms of the transurethral re¬section
syndrome using glycine as the irrigant. J Urol; 154: 123-128.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. EGC : Jakarta.
Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas
Diponegoro.

33
Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestsiologi Indonesia
Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the
relevant differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17,
2007.
Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision
compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet
obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled
trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008

34

Anda mungkin juga menyukai