Anda di halaman 1dari 25

Referat

PENATALAKSANAAN SEPSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

Oleh:

M. Fikri Haikal, S.Ked


2106111043

Preseptor:

dr. Anna Millizia, M.Ked (An), Sp. An

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Penatalaksanaan Sepsis”. Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Anestesi di Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anna Millizia, M.Ked
(An), Sp.An selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Neurologi atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk
memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi
penulis sehinggareferat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................iiiv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................2
2.1. Sepsis.......................................................................................................................2
2.1.1. Definisi...........................................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi..................................................................................................3
2.1.3 Etiologi...........................................................................................................3
2.1.4 Patofisiolgi.....................................................................................................4
2.1.5 Manifestasi Klinis..........................................................................................6
2.1.6 Diagnosis........................................................................................................9
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................................................12
2.1.9 Pencegahan..................................................................................................188
BAB III KESIMPULAN................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme organ disfungsi pada sepsis..........................................................5
Gambar 2. Kurva imunitas pada sepsis.............................................................................6
Gambar 3. Skor SOFA............................................................................................10
Gambar 4. Kriteri SIRS s..............................................................................................12
Gambar 5. Waktu pemberian antibiotik pada sepsis.............................................. 14
Gambar 6. Dosis Norepinephrine...........................................................................15

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Definisi Sepsis.....................................................................................................2
Tabel 2. Kriteria-kriteria pada sepsis Patofisiologi tetanus................................................8
Tabel 3. Kriteria qSOFA..................................................................................................11

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah sindrom heterogen respons tubuh terhadap infeksi yang


berlebihan dan mengancam jiwa, dan merupakan pendorong utama kematian
akibat infeksi (1). The Third International Consensus (Sepsis-3) saat ini
mendefinisikan sepsis sebagai disfungsi organ yang disebabkan oleh respon host
yang tidak teratur terhadap infeksi, menekankan untuk pertama kalinya peran
penting dari respon imun bawaan dan adaptif dalam pengembangan sindrom klinis
(2). Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan
pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam
aliran darah (3).
Sepsis merupakan faktor yang berkontribusi pada >200.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Insiden sepsis berat dan syok septik telah meningkat
selama 30 tahun terakhir, dan jumlah kasus tahunan sekarang >750.000 (~3 per
1000 penduduk). Sebanyak 10% pasien yang dirawat di ICU merupakan pasien
sepsis dan terdapat 750.000 pasien sepsis yang dirawat di rumah sakit per tahun
dengan angka kematian >200.000 pasien per tahun. Tingkat mortalitas sepsis berat
berkisar antara 15%-40% dan tingkat mortalitas karena syok septik berkisar antara
20%- 72% (4). Secara global, angka kematian tampaknya menurun secara rata-
rata, namun hingga 25% pasien masih meninggal karena sepsis. Pada syok septik,
subkelompok sepsis yang ditandai dengan kelainan peredaran darah, seluler, dan
metabolisme yang dalam, angka kematian di rumah sakit mendekati 60% (5).
Sepsis masih menjadi masalah utama termasuk dalam 10 besar penyebab
kematian. Salah satu penyebab kematian disebabkan karena terlambatnya
penanganan awal sepsis terutama saat masih di Unit Gawat Darurat, sering
disebabkan menunggu hasil laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain (6).
Tingginya angka mortalitas baik karena sepsis, sepsis berat, maupun syok septik
menyebabkan diperlukannya identifikasi awal serta terapi yang tepat dan segera
untuk mencegah semakin buruknya keadaan pasien (4).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sepsis
2.1.1. Definisi
Sepsis adalah sindrom heterogen respons tubuh terhadap infeksi yang
berlebihan dan mengancam jiwa, dan merupakan pendorong utama kematian
akibat infeksi (1). The Third International Consensus (Sepsis-3) saat ini
mendefinisikan sepsis sebagai disfungsi organ yang disebabkan oleh respon host
yang tidak teratur terhadap infeksi, menekankan untuk pertama kalinya peran
penting dari respon imun bawaan dan adaptif dalam pengembangan sindrom klinis
(2). Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan
pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam
aliran darah (3).

Definisi Sepsis 1 (1992) Sepsis 2 Sepsis 3 (2016)


(2011)
Sepsis Sindrom respons inflamasi Tidak ada Gangguan fungsi organ
sistemik (SIRS) yang perubahan akibat respons tubuh
disebabkan infeksi definisi terhadap infeksi yang
mengancam jiwa
Sepsis Berat Sepsis disertai salah satu Tidak ada Definisi sepsis berat
dihilangkan
gejala gangguan fungsi perubahan
organ, hipoperfusi, definisi
hipotensi, asidosis laktat,
oliguria, atau gangguan
status mental akut
Renjatan/Syok Sepsis disertai hipotensi Tidak ada Sepsis disertai gangguan
Sepsis walaupun telah dilakukan perubahan sirkulasi, seluler, dan
terapi cairan adekuat, definisi metabolik yang
sepsis dengan terapi obat mengancam jiwa
inotropik atau vasopressor
Tabel 1 : Definisi sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis

2
3

2.1.2 Epidemiologi
Sepsis merupakan faktor yang berkontribusi pada >200.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Insiden sepsis berat dan syok septik telah meningkat
selama 30 tahun terakhir, dan jumlah kasus tahunan sekarang >750.000 (~3 per
1000 penduduk). Sebanyak 10% pasien yang dirawat di ICU merupakan pasien
sepsis dan terdapat 750.000 pasien sepsis yang dirawat di rumah sakit per tahun
dengan angka kematian >200.000 pasien per tahun. Tingkat mortalitas sepsis berat
berkisar antara 15%-40% dan tingkat mortalitas karena syok septik berkisar antara
20%- 72% (4). Secara global, angka kematian tampaknya menurun secara rata-
rata, namun hingga 25% pasien masih meninggal karena sepsis. Pada syok septik,
subkelompok sepsis yang ditandai dengan kelainan peredaran darah, seluler, dan
metabolisme yang dalam, angka kematian di rumah sakit mendekati 60% (5).
Sementara di Indonesia, terdapat beberapa studi yang melaporkan kejadian
mortalitas di rumah sakit rujukan, diantaranya di Solo sebesar 83,1%, 65,7% di
RSUP Prof. Dr. Kandou Manado dengan klasifikasi terbesar geriatri, dan di RSUP
Sardjito 7,02% dari 1.196 kasus (7). Meningkatnya insiden sepsis disebabkan oleh
penuaan populasi, meningkatnya umur panjang pasien dengan penyakit kronis,
dan frekuensi yang relatif tinggi dengan yang sepsis telah terjadi pada pasien
dengan AIDS. tersebar luas penggunaan obat imunosupresif, kateter menetap, dan
mekanik perangkat juga berperan (8).
2.1.3 Etiologi

Kultur darah yang positif hanya ditemukan pada sekitar 20-40% kasus
sepsis berat dan persentasenya meningkat seiring tingkat keparahan dari sepsis,
yaitu mencapai 40- 70% pada pasien dengan syok septik. Bakteri Gram negatif
atau positif mencakup sekitar 70% isolat, dan sisanya ialah jamur atau campuran
mikroorganisme. Pada pasien dengan kultur darah negatif, agen penyebab sering
ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan mikroskopik dari bahan yang
berasal dari fokus infeksi. Sepsis berat terjadi sebagai akibat dari infeksi yang
didapat dari komunitas dan nosokomial. Pneumonia ialah penyebab paling umum,
mencapai setengah dari semua kasus, diikuti oleh infeksi intra abdominal dan
4

infeksi saluran kemih. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae ialah


bakteri Gram positif paling sering, sedangkan Escherichia coli, Klebsiella spp, dan
Pseudomonas aeruginosa predominan di antara bakteri Gram negatif (9).
2.1.4 Patofisiolgi
Berbeda dengan infeksi yang tidak rumit dan terlokalisasi, sepsis adalah
gangguan multifaset dari keseimbangan imunologis inflamasi dan anti-inflamasi
yang disetel dengan baik. Peningkatan regulasi jalur pro dan anti inflamasi
menyebabkan pelepasan sitokin, mediator, dan molekul terkait patogen di seluruh
sistem, menghasilkan aktivasi koagulasi, dan kaskade komplemen. Pengenalan
pola molekuler yang diturunkan dari patogen (PAMPs, misalnya, endotoksin dan
eksotoksin, lipid, atau sekuens DNA) atau sinyal bahaya turunan inang endogen
(pola molekul terkait kerusakan; DAMP) adalah sinyal awal. Molekul-molekul ini
mengaktifkan reseptor spesifik (reseptor seperti tol, TLR) pada permukaan sel
penyaji antigen (APC) dan monosit, sehingga memulai sindrom klinis sepsis
melalui transkripsi gen yang terlibat dalam peradangan, metabolisme sel, dan
imunitas adaptif (5).
Pengikatan PAMPs dan DAMPs ke TLRs pada APCs dan monosit
menghasilkan transduksi sinyal, menyebabkan translokasi nuklear factor-kappa-
light-chain-enhancer sel B teraktivasi (NFkB) ke dalam inti sel. Ini mengarah pada
ekspresi "gen aktivasi awal," termasuk berbagai pro-inflamasi interleukin (IL),
misalnya, IL-1, IL-12, IL-18, tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan interferon
(IFNs). Ini kemudian menyebabkan aktivasi sitokin lebih lanjut (misalnya, IFN-y,
IL-6, IL-8), jalur komplemen dan koagulasi, dan, dengan umpan balik negatif,
menurunkan regulasi komponen sistem imun adaptif (5).
Sebagai bagian dari sistem kekebalan bawaan, neutrofil membentuk bagian
penting dari garis pertahanan pertama melawan patogen. Infeksi bakteri yang
parah menginduksi pelepasan neutrofil baik yang matang maupun yang belum
matang dari sumsum tulang melalui pematangan granulosit darurat. Ketika
diaktifkan melalui PAMPs atau DAMPs, neutrofil yang belum matang
menunjukkan penurunan fagositosis dan kapasitas ledakan oksidatif.. Kerusakan
klinis sering dikaitkan dengan deteksi peningkatan kadar sel-sel ini, yang pada
gilirannya terkait dengan peningkatan produksi spontan dan pelepasan perangkap
ekstraseluler neutrofil
5

(NET). NET adalah struktur ekstraseluler difus, yang terdiri dari kromatin
terdekondensasi dengan protein granular dan inti yang memiliki potensi untuk
melumpuhkan berbagai patogen. Ini termasuk bakteri Gram positif dan Gram-
negatif, virus, ragi, tetapi juga protozoa dan parasit yang tidak dapat difagositosis
secara teratur karena ukurannya. Pelepasan NETs diketahui dipicu oleh sitokin dan
kemokin, tetapi juga oleh agonis trombosit (yaitu, trombin, ADP, kolagen, asam
arakidonat) dan antibodi. Peningkatan terjadinya NET baik karena produksi
berlebih atau degradasi yang tidak mencukupi telah terbukti terkait dengan
hiperkoagulasi dan kerusakan endotel (5).

Gambar 1. Mekanisme organ disfungsi pada sepsis


Sel endotel kehilangan fungsi antikoagulannya setelah stimulasi proinflamasi
dan meningkatkan koagulasi melalui penurunan ekspresi trombomodulin dan
heparan sulfat pada permukaan sel dan peningkatan ekspresi faktor jaringan. (TF).
Bersama-sama, peningkatan ekspresi TF oleh endotel yang diaktifkan patogen,
monosit yang dimuat faktor jaringan yang melekat, dan mikropartikel leukosit
dapat mengaktifkan kaskade koagulasi. Akhirnya, pro-inflamasi serin protease
trombin mengaktifkan G-protein ditambah reseptor-1 yang diaktifkan protease sel
endotel, meningkatkan respons endotel seperti hiperpermeabilitas, ekspresi
molekul adhesi, dan produksi sitokin (5).
6

Gambar 2. Kurva Imunitas pada sepsis

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi dari respon septik ditumpangkan pada gejala dan tanda

penyakit yang mendasari pasien dan infeksi. Tingkat di mana sepsis berat

berkembang mungkin berbeda dari pasien ke pasien, dan ada variasi individu yang

mencolok dalam presentasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah

normo atau hipotermia; tidak adanya demam paling sering terjadi pada neonatus,

pada orang tua pasien, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme.

Hiperventilasi, menghasilkan alkalosis respiratorik, sering merupakan tanda awal

dari respon septik. Disorientasi, kebingungan, dan manifestasi lainnya ensefalopati

juga dapat berkembang sejak dini, terutama pada orang tua dan pada individu

dengan gangguan neurologis yang sudah ada sebelumnya (8).


7

Tanda-tanda neurologi fokal jarang terjadi, meskipun defisit fokal yang

sudah ada sebelumnya dapat menjadi lebih menonjol. Hipotensi dan DIC

merupakan predisposisi akrosianosis dan iskemik nekrosis jaringan perifer.

Bakteri toksin juga dapat didistribusikan secara hematogen dan menimbulkan

difus reaksi kulit. Ketika sepsis disertai dengan petekie kulit atau purpura, infeksi

N. meningitidis (atau, lebih jarang, H. influenzae) harus dicurigai pada pasien

yang telah digigit kutu saat berada di daerah endemik, lesi petekie juga

menunjukkan: Demam berbintik Rocky Mountain. Lesi kulit terlihat hampir

secara eksklusif pada pasien neutropenia adalah ecthyma gangreno sum, sering

disebabkan oleh P. aeruginosa. Lesi bulosa ini dikelilingi oleh edema mengalami

perdarahan sentral dan nekrosis (8).

Pemeriksaan histopatologi menunjukkan bakteri di dalam dan sekitar

dinding pembuluh darah kecil, dengan sedikit atau tanpa respons neutrofilik.

hemoragik atau lesi bulosa pada pasien septik yang baru saja makan tiram mentah

menunjukkan bakteremia V. vulnificus, sedangkan lesi tersebut pada pasien yang

baru-baru ini menderita gigitan anjing dapat mengindikasikan infeksi aliran darah

karena Capnocytophaga canimorsus atau Capnocytophaga cynodegmi.

Eritroderma umum pada pasien septik menunjukkan syok toksik sindrom karena

S. aureus atau

S. pyogenes. Manifestasi gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan ileus

mungkin menunjukkan gastroenteritis akut. Ulkus stres dapat menyebabkan untuk

perdarahan saluran cerna bagian atas. Ikterus kolestatik, dengan peningkatan kadar

bilirubin serum (kebanyakan terkonjugasi) dan alkalin fosfatase, dapat mendahului

tanda-tanda sepsis lainnya. Hepatoseluler atau kanalikuli disfungsi tampaknya


8

mendasari sebagian besar kasus, dan hasil dari gangguan hati tes fungsi kembali

normal dengan resolusi infeksi (8).

Hipotensi yang berkepanjangan atau berat dapat menyebabkan cedera hati akut

atau nekrosis usus iskemik. Banyak jaringan mungkin tidak dapat mengekstraksi

oksigen secara normal dari darah, sehingga metabolisme anaerobik terjadi meskipun

mendekati normal saturasi oksigen vena campuran. Tingkat laktat darah meningkat lebih

awal karena peningkatan glikolisis serta gangguan pembersihan laktat dan piruvat yang

dihasilkan oleh hati dan ginjal. Glukosa darah konsentrasi sering meningkat, terutama

pada pasien dengan diabetes, meskipun gangguan glukoneogenesis dan pelepasan

insulin yang berlebihan pada kesempatan menghasilkan hipoglikemia. Fase akut yang

digerakkan oleh sitokin respon menghambat sintesis transthyretin sambil meningkatkan

produksi protein C-reaktif, fibrinogen, dan komponen komplemen. Katabolisme protein

sering dipercepat secara nyata. Serum albumin kadarnya menurun sebagai akibat dari

penurunan sintesis hepatik dan perpindahan albumin ke dalam ruang interstisial (8).

Kriteria SIRS Suhu : 38°C

Nadi : 90 kali/menit

Laju napas : >20/menit atau PaCO2 <32 mmHg

Leukosit <4000/mm3 atau 12000/mm3

Kriteria Hemodinamik Tekanan darah sistolik <90 mmHg, Tekanan arteri

rerata <70 mmHg atau tekanan darah sistolik turun

>40 mmHg

Saturasi darah vena <70%

Indeks kardiak >3,5 L/menit/m


9

Kriteria Inflamasi Jumlah leuosit >12000/mm3 atau <4000mm3 atau

ditemukan sel leukosit muda>10%

Kadar protein C reaktif meningkat >2 kali normal

Kadar procalcitonin meningkat >2 kali nilai normal

Kriteria gangguan fungsi PaO2/FIO2 < 300 mmHg

organ Produksi urin < 0,5 mg/kgBB

Gangguan pembekuan darah

Trombositopenia

Ikterus

Kriteria perfusi jaringan Kadar laktat >3 mmol/L

Pengisian kapiler melambat


Tabel 2. Kriteria-kriteria pada sepsis
2.1.6 Diagnosis
- Alat skrining tingginya risiko pada sepsis
Alat skrining sepsis dirancang untuk mempromosikan identifikasi awal
sepsis dan terdiri dari metode manual atau penggunaan otomatis catatan kesehatan
elektronik (electronic health record (EHR). Ada variasi yang luas dalam akurasi
diagnostik alat-alat ini dengan sebagian besar memiliki nilai prediksi yang buruk,
meskipun penggunaan beberapa dikaitkan dengan perbaikan dalam proses
perawatan. Metaanalisis yang dilakukan pada 42.623 pasien dari tujuh studi untuk
memprediksi sepsis yang didapat di rumah sakit, didapatkan sensitivitas dan
spesifisitas sebagai berikut untuk beberapa alat skrining seperti SIRS (0,70),
MEWS (0,50), dan SOFA (0,78) (10).
a. SOFA (Squential Organ Failure Asessment)

Squential Organ Failure Asessment (SOFA) adalah sistem penilaian

objektif untuk menentukan disfungsi organ utama, berdasarkan kadar oksigen

(tekanan parsial oksigen dan fraksi oksigen inspirasi), jumlah trombosit, skor

Skala
10

Koma Glasgow, kadar bilirubin, kadar kreatinin (atau keluaran urin), dan tekanan

arteri rata-rata (atau apakah agen vasoaktif diperlukan). Ini secara rutin digunakan

dalam praktik klinis dan penelitian untuk melacak kegagalan organ individu dan

agregat pada pasien yang sakit (11).

Gambar 3. Skor SOFA


Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan
istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini
adalah pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari
sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan
sepsis (3).
b. Quick Sequential Organ Failure Asessment (qSOFA)
11

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan


penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA
diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan
dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi (11). Analisis data yang digunakan
untuk mendukung rekomendasi dari Konferensi Konsensus Internasional ke-3
tentang Definisi Sepsis mengidentifikasi qSOFA sebagai prediktor yang
menunjukkan hasil yang buruk pada pasien dengan infeksi yang diketahui atau
dicurigai, tetapi tidak ada analisis yang dilakukan untuk mendukung
penggunaannya sebagai alat skrining (10).
Kriteria qSOFA Poin
Laju pernapasan ≥ 22x/menit 1
Perubahan status mental/kesadaran 1
Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

Tabel 3. Kriteria qSOFA

Jika terdapat 2 dari 3 variabel terdapat pada pasien berarti qSOFA positif. qSOFA

tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat

dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam

mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi

terapi (10). Meskipun qSOFA mengidentifikasi disfungsi organ yang parah dan

memprediksi risiko kematian pada sepsis, qSOFA membutuhkan interpretasi yang

cermat untuk mendefinisikan sepsis. Satu masalah adalah bahwa hal itu

bergantung pada kemampuan dokter untuk mengidentifikasi infeksi sebagai

penyebab disfungsi organ, yang mungkin tidak terlihat sejak dini, sehingga kurang

sensitif dibandingkan SIRS untuk mendiagnosis sepsis dini. Juga, penyakit kronis

yang sudah ada sebelumnya dapat mempengaruhi pengukuran qSOFA dan SOFA

yang akurat. Selain itu, qSOFA hanya divalidasi di luar ICU, dengan utilitas

terbatas pada pasien yang sudah dirawat di ICU. Studi telah menyarankan bahwa

kriteria SIRS
12

digunakan untuk mendeteksi sepsis, sedangkan qSOFA harus digunakan hanya

sebagai alat triaging (11).

c. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS)


Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur,
dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi
atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi
yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang
dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi (3).

Gambar 4. Kriteri SIRS


2.1.7 Penatalaksanaan
Pada tahun 2004, Surviving Sepsis Campaign (SSC) dimulai sebagai
kampanye untuk memajukan pengobatan sepsis di seluruh dunia secara
komprehensif untuk meningkatkan kelangsungan hidup melalui upaya bersama.
Sejak awal, "bundel sepsis," yaitu, serangkaian tindakan prosedural yang harus
diambil dalam jangka waktu yang ditentukan, telah menjadi landasan keberhasilan
pengobatan sepsis dan syok septik. Kepatuhan yang ketat dan penerapan yang
konsisten dari bundel ini telah mengurangi risiko relatif kematian hingga 25%,
meskipun bukti kemanjuran tindakan individu masih kontroversial (10).
Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian
3 jam, 6 jam, menjadi rangkaian 1 jam awal.4 Tujuan perubahan ini adalah
13

diharapkan terdapat perubahan manajemen resusitasi awal, terutama mencakup


penanganan hipotensi pada syok sepsis (5).
a. Terapi Kausal
Telah diterima secara luas bahwa awal intervensi sangat penting untuk
keberhasilan. "Hour-1-Bundle" diperkenalkan sebagai tanggapan terhadap bukti
baru berdasarkan pedoman 2016 dan menggantikan rekomendasi sebelumnya dari
bundel 3 dan 6 jam dengan maksud eksplisit untuk memulai tindakan resusitasi
cairan dan manajemen sepsis segera. "Hour-1- Bundle" terdiri dari 5 intervensi
klinis: kultur darah sebelum antibiotik, pemberian antibiotik spektrum luas,
pemberian cairan IV, aplikasi vasopresor, dan pengukuran kadar laktat. Bertujuan
untuk menghilangkan sumber infeksi sebagai penyebab yang mendasari
ketidakseimbangan kekebalan yang berkelanjutan adalah sangat penting untuk
keberhasilan terapi sepsis. Jika ini gagal atau tidak lengkap, kemungkinan bertahan
hidup akan berkurang (10).
- Pengukuran Kadar Laktat
peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya
hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan
peningkatan stimulasi beta adrenergik atau pada beberapa kasus lain.
Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4 jam awal
dan dilakukan tindakan resusitasi segera (6).
- Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk
meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen.
Kultur darah sebaiknya dalam 2 preparat terutama untuk kuman aerobik dan
anaerobik. Pengujian kultur juga dapat menyingkirkan penyebab sepsis,
apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian antibiotik dapat
dihentikan(6).
- Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen
awal. Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang
ditemukan (6).
14

Gambar 5. Waktu pemberian antibiotik pada sepsis


- Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis
dengan hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30
mg/kgBB cairan kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan
kristaloid.4 Pada kondisi tertentu seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi
kordis, harus diberikan lebih hati –hati (6).
- Vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi
jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah
resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh ditunda. Vasopressor harus
diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan MAP >65 mmHg. Dalam
review beberapa literatur ditemukan pemberian vasopressor/inotropik sebagai
penanganan awal dari sepsis. Pemilihan Vasopressor Norepinefrin direkomendasi
sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan vasopressin (sampai 0,03 U/menit)
atau epinefrin untuk mencapai target MAP dapat dilakukan. Dopamin sebagai
vasopresor alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan untuk pasien tertentu,
misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi relatif.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak
direkomendasikan lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi
menetap
15

meskipun sudah diberi cairan adekuat dan vasopresor.15 Steroid dapat digunakan
apabila dengan norepinefrin target MAP masih belum tercapai (6).

Gambar 6. Dosis Norepinephrine


b. Terapi Pendukung
- Resusitasi Cairan
Komponen penting dari "Hour-1-bundel" adalah terapi volume yang
memadai untuk mengobati hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis dan untuk
melawan hipovolemia absolut dan/atau relatif yang disebabkan oleh vasodilatasi,
kehilangan cairan eksternal, dan kebocoran kapiler. Segera setelah identifikasi
pasien sepsis dengan hipotensi dan/atau peningkatan kadar laktat, pengobatan
harus dimulai. Ini telah berulang kali terbukti mengurangi kematian Mengikuti
paradigma saat ini, 20-40 ml/kg cairan kristaloid harus diberikan dalam 3 jam
pertama sesuai dengan pedoman SSC. Penggunaan cairan selain kristaloid untuk
resusitasi awal dan penggantian volume intravaskular saat ini tidak
direkomendasikan pada pasien dengan sepsis dan syok septik. Jika hipotensi
menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, penggunaan
katekolamin diindikasikan untuk memastikan perfusi yang adekuat pada organ
vital dan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata di atas 65 mmHg (10).
16

- Steroid
Penggunaan kortikosteroid sebagai tindakan suportif dalam pengobatan
sepsis dan syok septik telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa dekade.
Saat ini, pedoman SSC merekomendasikan penggunaan hidrokortison hanya pada
pasien dengan syok septik refrakter yang bergantung pada vasopresor, yang tidak
merespons resusitasi cairan. Diakui bahwa tidak ada data yang menunjukkan
manfaat kelangsungan hidup dari penggunaan hidrokortison secara berkelanjutan
dalam terapi sepsis. Pada tahun 2008, sebuah studi multi-pusat Eropa dalam
kohort hampir 500 pasien menunjukkan tidak ada perbaikan dalam mortalitas 28
hari saat menggunakan hidrokortison pada syok septik. Selain peningkatan infeksi
sekunder, peningkatan insiden hipernatremia dan hiperglikemia diamati, dan
akibatnya, hidrokortison tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi standar pada
syok septik (10).
- Ventilasi
Di bidang ventilasi mekanis sebagai tindakan suportif untuk pasien dengan
sepsis dan insufisiensi pernapasan, sejauh ini hanya kemajuan moderat yang telah
dicapai. Tujuan ventilasi mekanik termasuk meningkatkan pertukaran gas dan
mengurangi kerja pernapasan, serta mencegah tekanan jalan napas yang tinggi dan
kerusakan iatrogenik lebih lanjut pada jaringan paru-paru. Pada sindrom gangguan
pernapasan akut yang diinduksi sepsis (ARDS), rekomendasi untuk ventilasi
pelindung paru dengan volume tidal 6 ml/kg berat badan standar dengan batas atas
untuk dataran tinggi ekanan 30 cm H2O tetap berlaku. Posisi tengkurap pada
ARDS juga sangat dianjurkan dan diakui untuk menurunkan angka kematian.
Meskipun tingkat komplikasi yang rendah, penurunan yang signifikan dalam
tekanan mengemudi dan peningkatan oksigenasi, sebuah studi prevalensi
observasional internasional menunjukkan pada tahun 2018 bahwa posisi
tengkurap hanya digunakan pada 32,9% pasien dengan ARDS parah (10).
c. Beberapa teknik untuk menilai respons cairan
- Passive leg raising test
Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori responder atau non-responder,
dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila pulse pressure bertambah >
17

10% dari baseline, dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk menilai
peningkatan cardiac output dengan penambahan volume (6).
- Fluid challenge test
Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke volume) atau
tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Pemberian cairan
dapat mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital
untuk mencegah ganguan kerusakan organ (6).
- Stroke Volume Variation (SVV)
Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat perubahan tekanan intra-toraks
saat pasien menggunakan ventilasi mekanik. Syarat penilaian responsivitas
cairan dengan metode ini adalah: Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis
penuh. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight) Tidak ada aritmia.
Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12% (6).
d. Indikator keberhasilan resusitasi awal
- Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ terutama
otak dan ginjal. Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg. Penetapan target
MAP yang lebih tinggi (85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru
meningkatkan risiko aritmia. Target MAP lebih tinggi mungkin perlu
dipertimbangkan pada riwayat hipertensi kronis (6).
- Laktat
Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan
pemeriksaan fisik atau produksi urin.15 Keberhasilan resusitasi pasien sepsis
dapat dinilai dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama jika awalnya
mengalami peningkatan kadar laktat (6).
- Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sentral (SvO2)
Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai parameter panduan
tunggal resusitasi cairan tidak direkomendasikan lagi.15 Jika CVP dalam
kisaran normal (8-12 mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas
cairan (setelah pemberian cairan atau fluid challenge) terbukti tidak akurat.
Penggunaan target CVP secara absolut seharusnya dihindari, karena cenderung
mengakibatkan resusitasi cairan berlebihan (6).
18

- CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a CO2))
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran metabolisme
anaerob. Jika peningkatan kadar laktat disertai peningkatan Pv-aCO2 atau
peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2, kemungkinan besar
penyebabnya adalah hipoperfusi (6).
2.1.8 Pencegahan

Pencegahan menawarkan kesempatan terbaik untuk mengurangi

morbiditas dankematian akibat sepsis berat. Di negara maju, episode

terbanyaksepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi nosokomial infeksi.

Kasus-kasus ini dapat dicegah dengan mengurangi jumlah prosedur invasif yang

dilakukan, dengan membatasi penggunaan (dan durasi penggunaan) dari kateter

pembuluh darah dan kandung kemih, dengan mengurangiinsiden dan durasi

neutropenia berat (<500 neutrofil/L), dan dengan lebih agresif mengobati infeksi

nosokomial lokal.Penggunaan agen antimikroba dan glukokortikoid secara

sembarangan harus dihindari, dan tindakan pengendalian infeksi yang optimal

seharusnya digunakan.
BAB III

KESIMPULAN

Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap
terjadinya infeksi. Sepsis adalah masalah kesehatan utama di dunia yang menyerang
jutaan orang di dunia setiap tahunnya dan menyebabkan kematian pada 1 dari 4 orang.7
Pada definisi terbaru istilah SIRS dan sepsis berat sudah ditinggalkan, dan
direkomendasikan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring dan quick
SOFA (qSOFA) sebagai alat diagnostik sepsis. Disfungsi organ dapat diidentifikasi
sebagai perubahan akut pada skor total SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Failure
Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi
organ, yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, sistem saraf pusat, dan ginjal. Pada
Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2016, identifikasi sepsis segera tanpa menunggu
adanya hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA.
Pengenalan dan penanganan awal untuk sepsis dan septik syok akan
meningkatkan prognosis yang baik. Pengawasan terus menerus terhadap tanda vital,
saturasi oksigen, dan jumlah urin yang dihasilkan termasuk pemeriksaan laboratorium
seperti pemeriksaaan akan adanya laktat asidosis, disfungsi ginjal dan hepar, abnormalitas
koagulasi, gagal nafas akut harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang dicurigai
menderita sepsis. Pengenalan tanda dan sumber infeksi harus dilakukan secara bersamaan.
Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Konsep pemberian cairan dengan
pengawasan kecukupan cairan dengan penggunaan alat-alat seperti carotid doppler peak
velocity, passive leg raising, dan ekokardiografi makin diterima. Tata laksana dari sepsis
menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis
Guidelines”. Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi
awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol
sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif
(ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.

19
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Purcarea A, Sovaila S. Sepsis, a 2020 review for the internist. Rom J Intern
Med. 2020;58(3):129–37.

2. Singer M, Deutschman CS, Seymour C, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer


M, et al. The third international consensus definitions for sepsis and septic
shock (sepsis-3). JAMA - J Am Med Assoc. 2016;315(8):801–10.

3. Irvan I, Febyan F, Suparto S. Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline


Terbaru. JAI (Jurnal Anestesiol Indones. 2018;10(1):62.

4. Suwondo V, Jatmiko H, Hendrianingtyas M. Karakteristik Dasar Pasien


Sepsis Yang Meninggal Di Icu Rsup Dr.Kariadi Semarang Periode 1
Januari 31 Desember 2014. J Kedokt Diponegoro. 2015;4(4):1586–96.

5. Jarczak D, Kluge S, Nierhaus A. Sepsis—Pathophysiology and Therapeutic


Concepts. Front Med. 2021;8(May):1–22.

6. Putra IAS. Update Tatalaksana Sepsis. Cdk. 2019;46(11):681–5.

7. Lardo S, Chen LK, Santoso WD, Rumende CM. Hubungan Kualitas


Penggunaan Antibiotik Menggunakan Alur Gyssens dengan Keberha
Keberhasilan silan Pengobatan pada Sepsis MDR Gram Negatif di Rumah
Sakit Tersier. 2020;7(4).

8. Harrison I of MP. Principles of Internal Medicine. Harrison’s Princ Intern


Med. 2015;1716.

9. Purwanto DS, Astrawinata DAW. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok


Septik. J Biomedik. 2018;10(3):143.

10. Evans L, Rhodes A, Alhazzani W, Antonelli M, Coopersmith CM, French


C, et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of sepsis and septic shock 2021. Intensive Care Med
[Internet]. 2021;47(11):1181–247.

11. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and septic shock: Guideline-


based management. Cleve Clin J Med. 2020;87(1):53–64.

Anda mungkin juga menyukai