NIM : 190610033
KELOMPOK :4
KARSINOMA NASOFARING
Kanker nasofaring adalah jenis kanker tenggorokan yang terjadi pada lapisan luar
nasofaring. Nasofaring merupakan salah satu bagian pada tenggorokan bagian atas yang terletak
di belakang hidung dan di balik langit-langit rongga mulut. Kondisi ini dapat menimbulkan
gejala berupa benjolan pada tenggorokan, penglihatan kabur, hingga kesulitan membuka mulut.
Penyebab pasti kanker nasofaring (karsinoma nasofaring) masih belum diketahui secara
pasti. Namun, dokter menduga bahwa kondisi ini memiliki hubungan dengan virus Epstein-Barr
(EBV). EBV umumnya terdapat pada air liur dan dapat ditularkan melalui kontak langsung ke
orang atau benda yang terkontaminasi.
Kanker nasofaring diduga muncul karena adanya kontaminasi EBV dalam sel nasofaring
penderitanya. Sel yang telah terkontaminasi menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal.
EBV menjadi penyebab beberapa penyakit, seperti mononukleosis. Namun pada kebanyakan
kasus, EBV tidak menyebabkan permasalahan infeksi yang berkepanjangan. Keterkaitan EBV
dengan kanker nasofaring masih terus diteliti.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker nasofaring, yaitu:
Kanker nasofaring lebih sering terjadi pada seorang yang berusia 30-50 tahun.
Riwayat kanker nasofaring dalam keluarga.
Merokok dan mengonsumsi alkohol.
Mengonsumsi makanan yang diawetkan dengan garam.
Gejala Kanker Nasofaring
Dalam memastikan kondisi yang diderita pasien, dokter akan melakukan serangkaian tes. Tes
yang dilakukan dokter bertujuan untuk mendiagnosis dan menentukan tingkat keparahan kanker
nasofaring.
Untuk mengetahui tingkat keparahan kanker yang diderita, tes yang akan dijalani pasien berupa:
1. Foto Rontgen
2. CT scan
3. MRI
4. Positron Emission Topography (PET) scan
Dari hasil yang didapat, dokter akan menentukan tingkat keparahan kondisi yang diderita pasien.
Kanker nasofaring terbagi menjadi 4 stadium, yakni:
Stadium 0. Disebut juga kanker in situ. Munculnya sel abnormal yang dapat menjadi
kanker dan berpotensi menyebar ke jaringan di sekitarnya.
Stadium I. Sel abnormal di nasofaring telah berubah menjadi kanker, atau bahkan
menyebar ke jaringan di dekatnya, seperti orofaring (bagian tenggorokan yang terletak di
balik rongga mulut).
Stadium II. Kanker sudah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening yang ada di
leher atau di balik faring (saluran yang terletak di antara trakea dan hidung).
Stadium III. Kanker sudah menyebar ke tulang dan organ sinus terdekat.
Stadium IV. Kanker telah menyebar ke jaringan atau organ tubuh lain yang berjauhan
dengan nasofaring, seperti tulang selangka atau paru-paru.
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat kanker nasofaring dapat berbeda-beda. Jika kanker yang
diderita pasien semakin besar, akan membahayakan organ lain di dekatnya, seperti tulang,
tenggorokan, dan otak. Kanker juga bisa menyebabkan penekanan pada saluran napas sehingga
pasien harus menjalani trakeostomi.
Kanker juga dapat menyebar ke organ lain. Apabila kanker telah menyebar, akan menimbulkan
gejala lain sesuai organ yang terserang. Jika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening,
maka diperlukan tindakan pembedahan untuk mengangkat kelenjar tersebut.
Belum ada metode pasti yang dapat mencegah kanker nasofaring. Namun, terdapat beberapa
upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh agar potensi munculnya kanker dapat
berkurang. Upaya tersebut meliputi:
Kanker laring adalah kondisi di mana terdapat tumor ganas pada laring, yaitu bagian dari
saluran pernapasan, tempat di mana pita suara berada, yang terletak setelah tenggorokan dan
sebelum trakea. Selain memiliki peran dalam sistem pernapasan, laring juga memiliki peran
dalam kemampuan berbicara, sehingga sering disebut sebagai kotak suara.
Ketika seseorang menderita kanker laring, kondisi tersebut dapat dideteksi dengan
munculnya gejala berupa suara serak, kesulitan bernapas, dan sakit tenggorokan. Kanker laring
yang tergolong berat memerlukan tindakan pengangkatan laring. Hal ini menyebabkan gangguan
dalam berbicara dan penderita akan memerlukan lubang buatan pada leher untuk membantunya
bernapas.
Jika kondisi masih ringan, kanker bisa tidak menunjukan gejala. Tetapi bila menimbulkan gejala,
gejala kanker laring termasuk mudah dideteksi dibanding kanker lain. Gejala kanker laring
meliputi:
1. Suara serak
2. Batuk darah
3. Sakit telinga
4. Sakit tenggorokan
5. Berat badan turun drastic
6. Terdapat benjolan atau bengkak pada leher
7. Disfagia atau kesulitan menelan
8. Kesulitan bernapas
Sebagian besar kanker laring tumbuh dan berkembang pada sel-sel skuamosa yang membentuk
dinding bagian dada
Penyebab pasti kanker laring masih belum diketahui. Namun, kanker ini dapat dipicu oleh
beberapa faktor risiko. Di antaranya adalah:
- Merokok.
- Berusia di atas 60 tahun.
- Kecanduan alkohol.
- Terdapat keluarga yang memiliki riwayat kanker tenggorokan.
- Menderita kondisi genetik tertentu, seperti anemia Fanconi.
- Kekurangan nutrisi akibat diet yang tidak sehat.
- Terpapar debu asbes dalam jangka panjang.
- Terinfeksi human papillomavirus (HPV).
Jika pasien dicurigai menderita kanker laring berdasarkan gejala yang ada, maka dokter perlu
melakukan pemeriksaan. Salah satunya adalah dengan menggunakan alat bantu berupa cermin
untuk melihat kondisi tenggorokan dan laring. Selain cara ini, laring juga bisa dilihat secara
langsung melalui laringoskopi.
Apabila secara visual ditemukan kemungkinan kanker laring, maka pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan biopsi, yaitu dengan mengambil sampel jaringan yang dicurigai untuk
diperiksa di bawah mikroskop.
Jika hasil biopsi menunjukkan pasien positif menderita kanker laring, maka pemindaian melalui
CT scan atau MRI perlu dilakukan untuk melihat seberapa besar pertumbuhan tumor yang ada,
dan apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening atau area tubuh lain.
Hasil pemeriksaan tersebut akan menjadi acuan untuk menentukan stadium kanker yang diderita
pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
Stadium 0. Disebut juga carcinoma in situ. Munculnya sel abnormal yang dapat menjadi kanker
dan berpotensi menyebar ke sel lain.
- Stadium I. Sel abnormal di laring telah berubah menjadi kanker, berukuran kecil, namun
belum menyebar.
- Stadium II. Kanker bertambah besar namun belum menyebar.
- Stadium III. Kanker bertambah besar dan mulai menyebar ke jaringan terdekat atau
kelenjar getah bening.
- Stadium IV. Kanker telah menyebar ke jaringan dan organ tubuh lain yang letaknya jauh
dari laring. Kondisi ini disebut metastasis.
Pengobatan kanker laring harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Dokter akan
mempertimbangkan metode pengobatan yang tepat, dengan terlebih dahulu memeriksa letak
pasti tumor yang ada dan keparahan kondisi pasien.
Dalam menangani kanker laring, terdapat 3 tindakan yang umum dilakukan, yaitu radioterapi,
kemoterapi, dan operasi. Masing-masing tindakan ditujukan untuk menghambat pertumbuhan
kanker, menghancurkan, atau meredakan gejala yang ada.
Kemungkinan penderita kanker laring dapat sembuh akan semakin tinggi apabila diobati sejak
kanker masih dalam tingkatan ringan. Namun, jika kondisi sudah tergolong berat dan sulit untuk
disembuhkan, maka perawatan yang diberikan bertujuan untuk meredakan gejala yang ada dan
mencegah tumor bertumbuh lebih besar.
Komplikasi yang dapat terjadi, baik yang disebabkan oleh kanker laring maupun oleh tindakan
pengobatannya, yaitu:
- Disfagia
- Kehilangan suara
- Gangguan pada fungsi lidah dalam mengecap rasa
- Penurunan fungsi sistem imun
- Mulut kering
- Kelelahan
- Sesak napas
- Mengalami kesulitan menelan
- Perubahan pada kulit
- Peradangan mukosa tenggorokan atau lapisan dalam tenggorokan
- Mual dan muntah
Pencegahan Kanker Laring
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi risiko munculnya kanker laring
meliputi:
- Hindari merokok.
- Hentikan mengonsumsi minuman beralkohol.
- Makan makanan yang kaya gizi, terutama makanan yang mengandung antioksidan,
seperti stroberi, kacang-kacangan, dan bayam.
- Gunakan alat pelindung diri saat melakukan aktivitas atau bekerja di tempat yang
berisiko menyebabkan paparan racun.
LO 2 KARSINOMA SALURAN NAFAS BAWAH
KARSINOMA BRONKOGENIK
1) Epidemiologi
Survai epidemiologi kanker paru pada umumnya melaporkan lebih 90% kasus kanker paru
didapatkan pada penderita berusia diatas 40 tahun. Kemungkinan seseorang untuk mendapatkan
kanker paru pada pria dimulai pada usia 40 tahun, dan meningkat sampai pada mencapai
puncaknya pada usia 75 tahun, dengan rata-rata 470 penderita tiap 100.000 penduduk. Pada
wanita insiden lebih kecil tetapi mengikuti pola yang sama, mulai meningkat pada usia 40 tahun
dan mencapai puncaknya dengan rata-rata 155 penderita tiap 100.000 pada usia 70 tahun. Tujuh
puluh lima persen kasus kanker paru sudah bermanifestasi pada dekade ke-5 sampai dekade ke-6
dari umur penderita. Perbandingan kasus pria dan wanita adalah 5 : 1 (Alsagaff, 1995).
2) Etiologi
Seperti kanker pada umumnya, etiologi kanker paru masih belum diketahui. Diperkirakan bahwa
inhalasi jangka panjang bahan-bahan karsinogenik merupakan faktor utama tanpa
mengesampingkan kemungkinan peranan predisposisi hubungan keluarga, suku bangsa, ras serta
status imunologi. Bahan inhalasi karsinogenik yang merupakan faktor risiko besar untuk
terjadinya kanker paru adalah rokok.
a) Pengaruh Rokok
Rokok meningkatkan risiko terjadinya karsinoma bronkogenik oleh karsinogen lain. Hal
ini penting disadari pekerja pada lapangan yang melibatkan bahan karsinogenik lain
seperti abses, uranium, nikel, arsenikum dan lain-lain.
b) Pengaruh paparan industry
Paparan industri ini biasanya baru tampak pengaruhnya setelah 15-20 tahun. Lapangan
pekerjaan lain yang dikaitkan dengan peningkatan risiko karsinoma bronkogenik adalah:
penambang nikel, industri ion exchange resins yang menggunakan chloromethyl methyl
ether dan bis chloromethyl ether, penambang biji chromite, industri pemakai arsenikum,
gas mostar, jelaga, tir dan hidrokarbon aromatik polisiklik.
c) Predisposisi karsinoma bronkogenik karena penyakit lain
Data Aurbach (1979) mendapatkan bahwa 7% dari karsinoma bronkogenik berasal dari
jaringan parut, sedang 23,3% dari karsinoma jaringan parut ini berasal dari bekas
tuberculosis.
d) Pengaruh genetik dan status imunologi
Pada tahun 1954, Tokuhotu dapat membuktikan adanya pengaruh keturunan yang
terlepas dari pada faktor paparan lingkungan. Hal ini membuka pendapat bahwa
karsinoma bronkogenik dapat diturunkan. Penelitian akhir-akhir ini cenderung bahwa
faktor yang terlibat adalah, enzim Aryl Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Status
imunologi penderita yang dipantau dari cellular mediated menunjukkan adanya korelasi
antara derajat diferensiasi sel, stadium penyakit, tanggapan terhadap pengobatan, serta
prognosis. Penderita yang energi umumnya tidak memberikan tanggapan yang baik
terhadap pengobatan dan lebih cepat meninggal (Alsagaff, 1995).
Gejala utamanya adanya serangan kanker paru adalah batuk yang berkepanjangan. Gejala ini
sama dengan gejala yang timbul pada kelainan paruparu lainnya, sehingga pada stadium dini
akan sulit dibedakan antara serangan kanker dan bukan kanker. Gejala selanjutnya diantaranya
kehilangan nafsu makan berat badan menurun, lesu dan batuk yang disertai keluar darah. Pada
tingkat lanjut, serangan kanker paru dapat menyebar ke pembuluh getah bening dan pembuluh
darah disekitarnya. Penyebaran ini akan menyebabkan gangguan pada otak, tulang, ginjal, hati,
kulit, dan organ-organ lain (Mangan, 2004).
Klasifikasi kanker paru
Lebih dari 90% seluruh tumor kanker primer timbul pada jaringan epitel bronchial. Kanker ini
berkumpul sehingga disebut bronkogenik karsinoma. Kanker paru-paru diklasifikasikan sesuai
dengan tipe histologi selnya, yaitu :
Untuk mendiagnosa kanker paru dibutuhkan pemeriksaan radiologi, seperti fototoraks, CT-scan
paru, dan MRI (magnetic resonance imaging). Pemeriksaan invasif yang dilakukan berupa
bronkoskopi dan biopsy paru. Pemeriksaan petanda tumor berupa CEA (carcinoembryonic
antigen) yang merupakan petanda tumor pada umumnya. Pemeriksaan berupa SCC (squamos
cell carcinoma), Cyfra 21.1, dan NSE (neuron specific enolase) dapat menunjang diagnosis
kanker paru jenis karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, atau karsinoma sel kecil.
Pemeriksaan histologik diperoleh dari biopsi jaringan atau pemeriksaan sitologi dari bahan
sputum, bilasan bronkus, bahan aspirat paru, dan sebagainya (Dalimartha, 2004).
Kanker paru adalah jenis kanker yang paling mudah dicegah, meskipun data menunjukan bahwa
kanker ini merupakan kanker pembunuh terbesar. Hampir 90% kanker paru mengakibatkan
kematian dan 30% orang yang mati karena kanker paru.
1) Tidak merokok dan menjauhi asap rokok karena asap rokok mengandung karsinogen
yang paling aktif
2) Hidup di lingkungan yang sehat dan terbebas dari polusi udara
3) Membiasakan diri mengkonsumsi makanan bergizi dan berserat
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus ditentukan jenis
histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan 60 menurut skala Karnosfky
atau 2 menurut WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker
dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti
kanker dapat dilakukan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan
beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau
menghilangkan gejala yang diakibatkan kualiti hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai
penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK sebagai upaya
memperbaiki prognosis, baik sebagai modality maupun bersama modality lain, yaitu radioterapi
dan/atau pembedahan (Jusuf, 2009).
Tumor mediastinum adalah tumor atau kumpulan jaringan abnormal yang tumbuh dan
berkembang di area mediastinum.
Mediastinum itu sendiri adalah bagian dada yang terletak di antara tulang dada dan tulang
belakang serta di antara paru-paru. Bagian dada ini berisi jantung, pembuluh darah besar,
tenggorokan, kelenjar timus, kerongkongan, saraf, dan kelenjar getah bening. Area mediastinum
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu anterior (depan), tengah, dan posterior (belakang). Di bagian-
bagian ini, berbagai jenis tumor bisa tumbuh. Adapun sifat tumornya bisa jinak (nonkanker) atau
ganas (kanker).
Seseorang yang mengalami kondisi ini perlu segera mendapat penanganan. Pasalnya,
tumor mediastinum, baik jinak maupun kanker, yang tidak diobati dapat menimbulkan
komplikasi yang bahaya bagi kesehatan, seperti penyebaran ke paru-paru, jantung dan lapisan
jantung (perikardium), atau pembuluh darah besar (aorta dan vena cava), maupun tekanan pada
sumsum tulang belakang.
Hampir setengah dari penderita tumor ini tidak merasakan gejala apapun. Ketika gejala
muncul, umumnya ini terjadi karena tumor telah menekan organ di sekitarnya, seperti sumsum
tulang belakang atau jantung dan lapisan jantung.
Gejala dan tingkat keparahan gejala yang dirasakan pun bisa berbeda pada setiap orang.
Ini tergantung pada lokasi, ukuran, dan sifat tumor yang terjadi. Namun, secara umum, gejala
kanker atau tumor mediastinum yang mungkin terjadi adalah:
Penyebab tumor mediastinum cukup beragam, tergantung pada jenis dan lokasi tumbuhnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jenis jaringan abnormal yang muncul di setiap bagian
mediastinum, baik depan, tengah, maupun belakang, bisa berbeda-beda.
Berikut adalah penyebab tumor mediastinum berdasarkan klasifikasi dan lokasi tumbuhnya:
Di bagian posterior, jenis tumor yang umum terjadi adalah tumor neurogenik yang tumbuh dari
saraf. Jenis tumor ini biasanya bersifat jinak dan seringkali berada di sisi tulang punggung.
Selain neurogenik, jenis tumor lainnya yang kerap muncul di bagian posterior, yaitu:
Limfadenopati.
Extramedullary haematopoiesis, yaitu jaringan abnormal yang terbentuk dari sumsum
tulang.
Kista neuroenterika mediastinum, yaitu kantung berisi cairan yang berkembang di luar
jaringan normal.
Gejala memang kerap tak dirasakan pada penderita tumor ini. Pada kondisi tersebut, jaringan
atau massa yang abnormal di bagian mediastinum dapat diketahui saat melakukan rontgen dada
untuk alasan lain.
Namun, bila gejala muncul, dokter akan membuat diagnosis berdasarkan tanda-tanda tumor
tersebut. Untuk memastikannya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik serta tes penunjang
lain. Berikut adalah beberapa tes pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk diagnosis tumor
mediastinum:
Tes pencitraan untuk tumor mediastinum, seperti rontgen dada, CT scan, atau MRI.
Tes darah.
Bronkoskopi.
Esofagoskopi.
Pengambilan sampel jaringan tumor dengan biopsi.