Anda di halaman 1dari 5

Hubungan benjolan dileher dengan keluhan penurunan pendengaran, bisa karena tumor yang

semakin memsar menjadikan sumbatan pada tuba eustachius sehingga fungsi dari tuba tersebut
sebagai ventilator dan drainase terganggu sehingga mengakibatkan penurunan tekanan pada
cavum timpani dan terjadilah gejala tinnitus, penurunan pendengaran dan suara grebek-grebek
pada telinga.

CA NASOFARING

Dari anamnesis

- Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung
tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan benjolan pada
leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI)
(Kemenkes, 2015).

Dari pemeriksaan fisik

- Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.


- Pemeriksaan nasofaring:
o Rinoskopi posterior
o Nasofaringoskop (fiber / rigid)
o Laringoskopi
- Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk
skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi,
dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif (Kemenkes,
2015).

Dari pemeriksaan penunjang (Radiologi)

a. CT Scan Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis
sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT
berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta
penyebaran kelenjar getah bening regional.
b. USG abdomen Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat
keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen
dengan kontras.
c. Foto Thoraks Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan
maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.
d. Bone Scan Untuk melihat metastasis tulang.

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM.

Patologi anatomi

- Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring BUKAN dari Biopsi
Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional kelenjar getah bening
leher.
- Dilakukan dengan tang biopsi lewat hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi
posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber
- Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher Pembesaran kelenjar leher yang diduga
keras sebagai metastasis tumor ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior,
posterior cervical triangle node, dan supraclavicular node jangan di biopsi terlebih dulu
sebelum ditemukan tumor induknya. Yang mungkin dilakukan adalah Biopsi Aspirasi
Jarum Halus (BAJH).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

- Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.


- Alkali fosfatase, LDH
- SGPT – SGOT (Kemenkes, 2015)

DIAGNOSIS BANDING

1. Limfoma Malignum

2. Proses non keganasan (TB kelenjar)

3. Metastasis (tumor sekunder)


EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker
leher rahim, dan kanker paru (adham, 2012).

Berdasarkan GLOBOCAN 2012 (Ferlay, 2015).

o 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi
pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan)

o 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan)

- KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita
adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun (Chang, 2006).
- Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 -
50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang
ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar

PATOFISIOLOGI

Merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel skuamosa nasofaring atau kelenjar di
nasofaring, yang kemungkinan penyebabnya belum diketahui, nsmun beberapa teori mengatakan
bahwa untuk patofisiologinya kemungkinan karena 3 faktor (multifactorial), yaitu:

- Faktor genetik: pada ras mongoloid memiliki risiko 6x lebih besar, dikarenakan
berhubungan dengan HLA BW46 dan HLA B17
- Faktor virus: (virus Epstein barr) dengan kejadian hamper 99% dideteksi pada specimen
biopsy KNF, namun karena sering ditemukan pada populasi normal, peran EBV masih
diragukan
- Faktor lingkungan: (bahan polusi), bahan karsinogenik (ikan asin dapat mengeluarkan
nitrosamine), rokok, gas kimia dll.

Agar sebuah kanker bisa terjadi, maka sel-sel yang terkena zat karsinogen harus mengalami dua
tahapan, yaitu:
- Tahap inisiasi dari kanker biasanya terjadi secara cepat dan menimbulkan kerusakan
secara langsung dalam bentuk terjadinya mutasi pada DNA. Mekanisme perbaikan DNA
akan mencoba melakukan perbaikan tetapi bila mekanisme tersebut gagal, maka
kerusakan tersebut akan terbawa pada sel anak yang dihasilkan dari proses pembelahan.
- Tahap promosi, akan terjadi perkembangbiakan pada sel yang rusak, dimana hal tersebut
biasanya terjadi ketika sel-sel yang mengalami mutasi tersebut terkena bahan yang bisa
mendorong mereka untuk melakukan pembelahan secara cepat. Seringkali terdapat jeda
waktu yang cukup panjang diantara kedua tahapan tersebut. Tahap promosi tersebut
sebenarnya adalah sebuah tahap yang membutuhkan pengulangan agar sel yang rusak
tersebut mampu berkembang biak lebih lanjut menjadi kanker

TERAPI

Terapi utama:

- Radiasi (4000-6000 R).


- Terapi ad juvan: kemoterapi

Empat minggu setelah radiasi selesai dilakukan evaluasi klinis, dan biopsi. Bila hasil biopsi
negatif dan klinis membaik, dilakukan pemeriksaan fisik serta biopsi ulang setiap bulan (pada
tahun
pertama). Bila hasil biopsi positif, radiasi ditambah (booster). Setelah dosis radiasi penuh, biopsi
tetap positif diberikan kemoterapi. Dapat dilakukan CT-scan untuk konfirmasi. Bila tetap negatif,
pada tahun kedua pemeriksaan ulang dilakuakn setiap 3 bulan kemudian pada tahun ketiga setiap
6 bulan, seterusnya setiap tahun sampai 5 tahun.
Dapus:

- Adham M KAMAea. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence,


signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012; 31(4).
- Ferlay J SIea. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major
patterns in GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer. 2015; 136
- Chang TE AH. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Cancer
Epidemiology Biomarkers Prev. 2006 Oktober; 15(10).
- Kemenkes. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. 2015. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Indonesia diunduh pada 28-11-19 jam 21.00 WIB
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKNasofaring.pdf
- Panduan diagnosis dan terapi dept. THT KL RS Soetomo

Anda mungkin juga menyukai