Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Kanker adalah salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kesengsaraan
dan kematian pada manusia. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker
kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar)
dibanding kanker kepala leher yang lain.KNF merupakan satu dari lima kanker
tersering di Cina dan Hong Kong.2
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk
dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala
dan leher menduduki peringkat pertama.1,2 Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller
pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa.1,2,3
Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak
predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat.
Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat
bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa
orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut
dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan
syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu,
kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini
sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah
ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang lebih berat muncul rasa tebal di pipi,
bicara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit
kepala berat, sesak nafas.4,5
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak
khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.2 Karsinoma
Nasofaring mempunyai ciri bertempat di tempat khusus yaitu nasofaring, dan
memliki keterkaitan secara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor ini juga
dihubungkan dengan infeksi virus eibsten barr. Tumor ini merupakan keganasan dari
lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa
rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel
merupakan predileksi terjadinya keganasan. Walaupun daerah Rosenmulleri atau
dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi
kenyataannya keganasan dapat juga di tempat-tempat lain di nasofaring. Fosa
rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah
gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring
(basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.
Ada tiga pola tumor ini yaitu: (1) karsinoma sel skuama dengan keratin, (2)
karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan (3) karsinoma yang tidak berdiferensiasi,
sering disebut lymphoepithelioma.7
A. Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita
di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 54 tahun. Laki-laki lebih
banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 3 : 1. Kanker nasofaring tidak
umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di
Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute,
2009).
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30
per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden
tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara
lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila
dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,
2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat
di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan
Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF
(Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi
4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari
data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas
Universitas Sumatera Utara
Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari
keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. Dari beberapa
penelitian dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya
disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk
mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak
merupakan mediator utama yang dapat
Profil HLA
Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat
dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena
pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr
yang cukup tinggi.1 Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya
interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1
C. Gejala dan Tanda
1. Gejala hidung
Epistaksis
Sumbatan hidung
Sumbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam
rongga nasofaring dan menutupi koana.
2. Gejala telinga
Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab
yang jelas.
4.Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan
kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. Penderita sering mengeluh
kurang penglihatan, tetapi bila ditanya secara teliti, penderita akan menerangkan
bahwa melihat dobel (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N.VI yang
letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.
Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena
kelumpuhan N. III dan N. IV sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau
oftalmoplegi. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi
pada N. II dan penderita menjadi buta. Selain itu kelumpuhan pada N. III dapat
menyebabkan proptosis bulbi.
5. Gejala kranial atau syaraf
Gejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan
sekitar dan juga secara hematogen.
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi
kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Berdasarkan perluasannya
gejala gejala syaraf ini meliputi :
* Perluasan ke atas
- Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.
- Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai
grup anterior saraf otak yaitu N. II sampai dengan N. VI sehingga gejala
yang muncul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas,
kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
- Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai
N. VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian N. V cabang I dengan
keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah.
- Sindroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena. Tanda
khasnya adalah :
Oflamoplegia unilateral
* Perluasan ke belakang
- Tumor meluas ke belakang secara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retro paratidian. Yang terkena adalah grup posterior
saraf otak, yaitu N. VII sampai dengan N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis.
- Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot-otot rahang
sehingga terjadi trismus.
- Sindroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
- Manifestasi kelumpuhan ialah :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior
serta gangguan pengecapan pada seperti belakang lidah.
N. X
b.
c.
2. Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.
3. Histopatologi
Dengan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat
diketahui jenis karsinoma nasofaring.
Patologi Beberapa Ahli mengusulkan tentang gambaran dari
karsinoma nasofaring. Dari usulan-usulan yang berbeda tersebut maka WHO
pada tahun 1978 membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu 5
A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (5 YSR 16,3%)
B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (5 YSR 31,5%)
C. Karsinoma undifferentiated
Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tampak adanya
diferensiasi
skuamosa
dengan
jembatan
intersel
dan
keratinisasi
10
Anti EBV EA
Anti EBV
Kemungkinan
Ig A
+
+
_
_
VCA Ig A
+
_
_
+
NPC
100%
100%
5,5%
37,8%
o CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan
kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan
untuk radiasi intrakaviter.
o Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti
foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
o Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
o MRI, kelebihannya dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai resolusi
yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,
memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa
merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk
membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah
bening.
11
6. Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan
sekitar
yang
menyebabkan
penekanan/
infiltrasi
ke
saraf
otak.
E. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga
hidung.
T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring
T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus
paranasalis.
T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf
kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.
N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan
diameter terpanjang kurang dari 6 cm.
N2 : metastasis literal pada KGB di atas daerah supraklavicula.
N3 : metastasis pada KGB
a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm
b. Pada daerah supraklavicula
M = Metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh.
M1 : terdapat metastasis jauh.
5 year surv rate
Stadium I
: T1
N0
M0
76,9%
12
Stadium II : T2
N0
M0
56 %
Stadium III : T3
N0
M0
38,4%
N1
M0
N0,N1
M0
Tiap T
N2,N3
M0
Tiap T
Tiap N
M1
T1, T2 ,T3
Stadium IV : T4
16,4%
F. Pengelolaan
1. Pengobatan Bedah
Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi KNF.
Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan
jika masih ada kelenjar pasca radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan
syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. Menurut Wei (2003)
nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang
persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis
lengkap.
Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor
persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor
primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival
penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita
yang tidak dilakukan RND (19-28%).7
Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik
dengan system scoring tertentu, kadar HB minimal 10 , keadaan fisik alat
vital dan kadar elektrolit juga harus baik.
2. Pengobatan dengan Sitostatika
Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan
pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang
berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai
berikut:
13
ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan
agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk
mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,
antiemetik dan lain-lain.
c. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting
dalam penggobatan Karsinoma Nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama
KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat
disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan
faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3
yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring
yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan
tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor
sangat sulit dikerjakan.7
Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat seperti
berikut diantaranya :
1. Keadaan umum baik
Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum
tulang. Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan
karena setelah radiasi hanya akan memeperlemah keadaan umum
pasien. Adanya infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu
2. Laboratorium
14
pada keadaan
H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate
pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang
lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki
survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada
pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik
daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).
15
Brachiterapi
KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke
kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang
pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya
merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.
I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer
bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi
kuratif meliputi:
pasien
tidak
mampu
menolak
dilakukan
tindakan
16
Tele Cobalt
jaringan lain.
c) Alat bantu
Alat bantu terdiri dari :
Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau
Thermoplast
17
d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :
Alat Simulator
batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi
tepi atas kartilago tiroidea
18
19
20
meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat
sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.
IV. Pemantauan Radiasi
1.
2.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita :
Nama
: Tn. NF
: 46 tahun
Alamat
: Terlangu
Pekerjaan
NO CM
: C439969
22
+ 11 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh nyeri kepala semakin
berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan gembrebeg, hidung kirinya
buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin memberat, penglihatan
kabur (-/+), melihat dobel (+), mimisan (-) Pasien memutuskan berhenti bekerja
sementara dan berobat di RSUD Kartini Jepara. Dari RSUD Kartini kemudian
dirujuk ke RS Mardi Rahayu Kudus.
+ 10 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh hidung makin buntu,
mimisan Darah keluar dari hidung sebelah kiri. Penglihatan kabur (-/+). Terdapat
benjolan di leher sebelah kiri sebesar biji rambutan. Warna bejolan pada leher tidak
kemerahan dan tidak nyeri. Telinga dirasakan Gemrebeg (+), suara sengau (+), nyeri
kepala (+) makin berat, pandangan kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas
pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan
teropong hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat
ini penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 10 x dan kemoterapi sebanyak 8x
Riwayat Penyakit Dahulu :
23
: baik
Kesadaran
: komposmentis
Tanda Vital :
Tensi
: 120 / 70 mmHg
RR
: 24x/menit
: 36,2oC
Kepala
: mesosefal
Mata
Dada :
Paru :
I
Pa
Pe
Au
Jantung :
I
24
Pa
Pe
Aus
Abdomen :
I
Aus
Pe
Pa
: supel
Superior
Inferior
Capillary refill
<2
<2
Akral dingin
-/-
-/-
Oedema
-/-
-/-
Status Lokalis
Telinga
Mastoid
Kanan
Kiri
Nyeri tekan (-)
Nyeri ketok (-)
Pre-auricula
Retro-auricula
Nyeri tekan(-)
Nyeri ketok (-)
Nyeri tekan tragus (-)
Nyeri ketok (-)
Fistel (-)
Fistel (-)
Abses (-)
Abses (-)
Fistel (-)
Fistel (-)
25
Abses (-)
Abses (-)
bentuk&ukuran normal
bentuk&ukuran normal
Kanalis eksternus
hiperemis (-)
hiperemis (-)
Discharge
(-)
(-)
Membran tympani
utuh
utuh
Tes bisik
terganggu
baik
AC < BC
AC < BC
Auricula
Garputala
Rienne
Weber
Swabach
memendek
memendek
Sinus
Pemeriksaan dalam :
Rongga hidung kanan: hiperemis (-), lendir(-), bercak darah (-)
Concha media hiperemis (-), deviasi septum (+) ke kanan
Rongga hidung kiri
Tenggorok
Orofaring
Palatum
26
Tonsil
Peritonsil
- Ukuran
: T1 / T1
- Warna
- Permukaan
: rata
- Kripte
: melebar (-)
- Detritus
: (-)
- Membran
: pseudomembran (-)
: mesosefal
Wajah
: simetris
Mata
Leher
Lidah
Nervi kraniales
N.I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan bahan
N.II (Optikus)
Tajam penglihatan
Lapang penglihatan:
Melihat warna
Fundus okuli
N.III (Okulomotorius)
Sela mata
Pergerakan bulbus
Kanan
Kiri
+
Tidak dilakukan
+
Tidak dilakukan
>2/60
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
>2/60
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
1,5 cm
Bebas
1,5 cm
Bebas
27
Strabismus
(-)
Nistagmus
(-)
Eksoptalmus
(-)
Pupil : Besarnya
3mm
Bentuknya
Bulat, isokor
Refleks cahaya
(+)
Refleks konsensual
(+)
Refleks konvergensi
(+)
Melihat kembar
(-)
N. IV (Throklearis)
Pergerakan mata
Dalam batas normal
(ke bawah- ke dalam)
Sikap bulbus
Sentral
Melihat kembar
(-)
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut
(+)
Mengunyah
(+)
Menggigit
(+)
Refleks kornea
(+)
Sensibilitas muka
Dalam batas normal
N. VI( Abduscen)
Pergerakan mata (ke
(+)
lateral)
Sikap bulbus
Melihat kembar
N.VII ( Fasialis)
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Menutup mata
Mengerutkan dahi
Perasaan lidah 2/3 bagian
depan
N.VIII (Oktavus)
Suara berbisik
Gesek jari
Tes Schwabach
Tes Rinne
Tes Weber
N. IX (Glosofaringeus)
Perasaan lidah
(-)
(-)
(-)
3mm
Bulat, isokor
(+)
(+)
(+)
(-)
Dalam batas normal
Sentral
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
Dalam batas normal
(+)
Sentral
(-)
Sentral
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Simetris
(+)
28
Menelan
Nadi
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
N. XII (Hipoglosus)
Gerakan lidah
Deviasi
Tremor lidah
Artikulasi
(+)
Isi/tegangan cukup
(+)
(+)
(+)
(-)
Dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (8 April 2014)
Hematologi
Hb
Ht
Eritrosit
MCH
MCV
MCHC
Lekosit
Trombosit
RDW
MPV
Nilai
10,10
29,4
4,7
34,2
91,5
34,3
10,1
229
12,3
6,02
Satuan
gr%
%
juta/mmk
pg
fl
g/dl
ribu/mmk
ribu/mmk
%
fl
Nilai Normal
13,00-16,00
40,0-54,0
4,50-6,50
27,00-32,00
76,00-96,00
29,00-36,00
4,00-11,00
150,00-400,00
11,60-14,80
4,00-11,00
High/Low
L
L
2. Pemeriksaan Radiologi
a) X-foto thorax PA (18 September 2013)
29
Deskripsi:
- Cor:
-
Kesan:
- Cor tak membesar
- Elongatio aorta
- Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan lain pada pulmo dan tulang
yang tervisualisasi
Tampak soft tissue / penebalan irreguler pada mukosa nasofaring kiri dan
meluas ke regio parafaring, retrofaring dan posterior kavum nasi kiri. Lesi
30
31
Masih tampak lesi isodens (CT Number 30-50 HU) pada nasofaring
kiri yang meluas ke lateral pada pharyngeal mucosal space kiri, ke
posterior pada retropharing space yang tampak berkurang dibanding
sebelumnya
Kesan :
-
32
: Massa Nasofaring
Makroskopis
Mikroskopis
: Keping-keping jaringan nasofaring menunjukkan kelompokkelompok sel ganas epitelial dengan inti kromatik, nukleoli
prominent, pleiomofik dan mitosis dapa ditemukan, infiltrasi
ke dalam stroma
Kesimpulan
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berumur 46 tahun datang dengan keluhan utama ingin melanjutkan
pengobatan kemoterapi dan radioterapi. + 12 bulan sebelum masuk rumah sakit
pasien mengeluh sering nyeri kepala, nyeri dirasakan makin lama makin berat
hingga mengganggu aktivitas, penderita mengeluh pendengaran telinga kiri makin
lama makin menurun dan dirasakan gembrebeg, pendengaran telinga kanan dalam
batas normal, hidung buntu (+), suara sengau (+), Pasien berobat ke dokter umum,
diberikan obat namun belum ada perbaikan. + 11 bulan SMRS penderita mengeluh
nyeri kepala semakin berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan
gembrebeg, hidung kirinya buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin
memberat, penglihatan kabur (-/+), melihat dobel (+), mimisan. Pasien memutuskan
berhenti bekerja sementara dan berobat di RSUD Kartini Jepara. Dari RSUD Kartini
33
Telinga
dirasakan Gemrebeg (+), suara sengau (+), nyeri kepala (+) makin berat, pandangan
kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK
Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan teropong hidung dan dikatakan ada
benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat ini penderita telah menjalani
penyinaran sebanyak 10 x dan kemoterapi sebanyak 8 x
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan massa di dalam rongga hidung,
namun dari nasofaringoskopi ditemukan massa berbenjol- benjol, rapuh dan mudah
berdarah pada nasofaring kanan dan kiri. Torus tubarius tidak tampak pada
nasofaringoskopi karena tertutup massa. Pada pemeriksaan rongga mulut terlihat
mukosa orofaring dan lidah hiperemis. Ditemukan pula pembesaran limfonodi leher
regio 3 kiri. Pemeriksaan fungsi pendengaran dengan garputala 512 Hz menunjukan
Weber tidak terdapat lateralisasi, Rinne kanan dan kiri AC<BC, Schawabach kanan
dan kiri memendek. Hal ini menunjukan bahwa terjadi CHL (Conductive Hearing
Loss) pada telinga kanan dan kiri pasien.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia normositik normokromik.
Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan gambaran metastase.
Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan undifferentiated Ca Nasofaring (WHO 3)
Pemeriksaan CT-Scan nasofaring dengan kontras tanggal 21 Mei 2014
didapatkan Masih tampak lesi isodens (CT Number 30-50 HU) pada nasofaring kiri
yang meluas ke lateral pada pharyngeal mucosal space kiri, ke posterior pada
retropharing space yang tampak berkurang dibanding sebelumnya.
Pasca injeksi kontras tampak enhanchment inhomogen. Tampak limfonodi
pada level 5 regio colli kanan, level 2 regio colli kanan, dan level 3 regio colli kiri
(ukuran terbesar + 0,7 cm pada level 5 regio colli kanan). Tampak lesi isodens pada
fossa posterior. Pasca injeksi kontras tampak enhanchment homogeny. Tampak pula
massa meluas ke superior pada sinus ethmoidalis dan sphenoid kanan kiri, fossa
cerebri media kanan kiri disertai destruksi sella tusica dan os sphenoid kiri. Pasca
34
injeksi kontras tampak enhancement inhomogen. Tampak torus tubarius kanan baik,
kiri tumpul. Fossa Rosenmulleri kanan baik, kiri obliterasi. Tampak deviasi septum
nasi ke kanan. Tampak multiple limfadenopati colli kiri level 2 submandibula kanan
kiri ( + 2,6 cm x 1,89 cm x 2,6 cm).
Berdasarkan data tersebut diagnosa pasien saat ini adalah Karsinoma
Nasofaring T4N2Mx.
Penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis
total 6600 cGy, fraksinasi 5x200 cGy /minggu, sebanyak 33 kali. Lapangan radiasi
latero-lateral, supraklavikula AP, blok trakea, tanpa blok sella. Jika telah mencapai
dosis 4000 cGy, lapangan radiasi dipersempit (blok medula spinalis). Jika dosis telah
mencapai 5000 cGy stop supraklavikula.
Saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 9x, sitostatika sebanyak 4x.
CT scan ulang dilakukan setelah dosis radiasi mencapai 5400 cGy. Jika hasil CT
scan membaik, akan dilanjutkan dengan brachiterapi 4x400 cGy. Namun hasil CT
scan ulang pada pasien ini menunjukkan respon yang kurang baik, sehingga akan
dilakukan booster hingga dosis radiasi mencapai 7000 cGy dan brachyterapi ditunda.
BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker kepala leher yang
bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding kanker
kepala leher yang lain. Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel
mukosa nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di
Indonesia. Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak
faktor yang mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari
gejala klinik, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang.
35
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor Ganas di poliklinik THT RS Dr. Pirngadi
Medan Tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional VII Perhati,
surabaya 21-23 agustus 1983 hal 771-81
2. Damayanti Sutjipto, karsinoma nasofaring dalam : Nurbaiti Iskandar (ed) Tumor
Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . Jakarta : FK UI,
1989. H 71-84
3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Referat.Medan : FK USU, 1998.h 1-20
4. Shanmugaratman K. Nasofaring Carcinoma: Epidemiology and Aetiology.
Dalam: Kumpulan Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Semarang: YKI Wilayah
Jawa Tengah; 1993
5. Syafril A. Epidemiologi Tumor Ganas Telinga Hidung Tenggorok. Dalam:
Tumor Telinga Hidung Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Editor:
Iskandar N, Munir M, Soetjipto D. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1989: 3-4
6. Nell III BH, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In : Byron J, Bayle JB.Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Company 1993; 96 :
1257-1273
7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas
Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara
Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi
Radioterapi Kanker Nasofaring. Medan; 2002
8. A. Roezin. Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring. Dalam : R.Susworo,
Ahmad, AN Kurniawan, Siti BK, dkk. Pencegahan dan Diagnosa dini penyakit
Kanker. Yayasan Kanker Indonesia.1996 : 274-88
9. Bambang SS. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga Hidung dan
Tenggorok dan Kepala leher . Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
diponegoro. 1992
10. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Dalam: Makalah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta: FKUI. 2003
11. Susworo R. Radioterapi, Dasar Dasar Radioterapi Tata Laksana Radioterapi
Penyakit Kanker. Jakarta: UI Press; 2007.
37