Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor

ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3 enegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak predileksinya yang tersembunyi. !asien sering datang terlambat untuk berobat. "iagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat ber#ariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan syaraf saat diagnosis ditegakkan. $ejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu, kadang%kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. &iasanya pasien mulai berobat bila sudah ada benjolan di leher. !ada gejala klinik yang lebih berat mun'ul rasa tebal di pipi, bi'ara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit kepala berat, sesak nafas.(,) !enanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2 !ada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan se'ara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang 'ukup tinggi. !ada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan radioterapi 2,3 Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker

nasofaring yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada e#aluasi a*al, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase. !emantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.+

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Karsinoma ,asofaring mempunyai 'iri bertempat di tempat khusus yaitu nasofaring, dan memliki keterkaitan se'ara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor ini juga dihubungkan dengan infeksi #irus -pstein &arr. Tumor ini merupakan keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. !redileksi utamanya adalah pada fosa rosenmulleri. .nggapan ini berdasarkan atas teori bah*a tempat pergantian epitel merupakan predileksi terjadinya keganasan. /alaupun daerah Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi kenyataannya keganasan dapat juga di tempat%tempat lain di nasofaring. 0osa rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah gepeng. 1elain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring 2basis 'ranii3, dinding depan nasofaring 2di pinggir4tepi koanae3, dan di sekitar tuba. .da tiga pola tumor ini yaitu5 213 karsinoma sel skuama dengan keratin, 223 karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan 233 karsinoma yang tidak berdiferensiasi, sering disebut lymphoepithelioma.6

A. Epidemiologi Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan 'ina bagian selatan. Khusunya suku Kanton di pro#insi $uang "ong dengan angka rata%rata 37%)7 4 177.777 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran 8ina, misalnya di Hong kong, .merika 1erikat, 1ingapura, alaysia, dan Indonesia. 1edangkan insidens terendah pada bangsa Kaukasian, 9epang, dan India. 17 !enderita karsinoma nasofaring sering dijumpai pada laki%laki dibanding pada *anita dengan rasio 2%3 5 1. !enyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif 237%+7 tahun3, dengan usia terbanyak (7%)7 tahun. 17 "istribusi tumor ganas di daerah leher dan kepala ini sangat ber#ariasi untuk tiap%tiap negara. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan, makanan, kondisi

rumah, polusi, kebiasaan merokok, hygiene, inhalasi debu, serbuk kayu, adanya sifat genetik tertentu dan #irus -pstein barr dapat menyebabkan timbulnya keganasan. ( B. Etiologi dan Faktor Re iko !enyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. "ari beberapa penelitian dikatakan bah*a beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bah*a penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara #irus -pstein%&arr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. :irus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka *aktu yang lama. ;ntuk mengaktifkan #irus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin se'ara terus%menerus mulai dari masa kanak%kanak merupakan mediator utama yang dapat menimbulkan Karsinoma ,asofaring.2 ediator di ba*ah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring5 % % % % % % Ikan asin, makanan yang dia*etkan dan nitrosamin Keadaan sosio%ekonomi yang rendah, lingkungan, dan kebiasaan hidup 1ering kontak dengan <at%<at yang dianggap karsinogenik 2ben<opyrenen, ben<oanthra'ene, gas kimia, asap industri, asap kayu 3 Ras dan keturunan Radang kronik daerah nasofaring !rofil H=. mengaktifkan #irus ini sehingga

!enyebab Karsinoma ,asofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. &anyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. 1udah hampir dapat dipastikan bah*a penyebab Karsinoma ,asofaring adalah #irus -pstein &arr, karena pada semua pasien Karsinoma ,asofaring didapatkan titer anti%#irus -pstein &arr yang 'ukup tinggi.1 !enyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan #irus -bstain &arr.1

!. "e#ala dan Tanda 1. $ejala hidung $ejala hidung merupakan gejala dini dan sangat membingungkan karena gejala ini juga terdapat pada penyakit hidung biasa, misalnya hanya pilek, keluar ingus en'er, kental atau berbau sehingga seringkali didiagnosis sebagai rhinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. >leh karena itu, ke'urigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari (7 tahun atau rinore dengan ingus kental, bau busuk, lebih ? lebih bila ber'ampur titik ? titik darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal @ -pistaksis 1umbatan hidung 1umbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. 2. $ejala telinga Kataralis4>klusi Tuba -usta'hius !ertumbuhan tumor yang bermula di fossa rosenmulleri menyebabkan penyumbatan muara tuba -usta'hius, sehingga pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung yang kadang%kadang disertai dengan gangguan pendengaran. $ejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari K,0. !erlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas. >titis media sampai perforasi dengan gangguan pendengaran Hal ini dapat terjadi karena adanya tekanan 'airan dalam ka#um timpani yang tidak berkurang, sehingga terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler% kapiler tersebut. Timbul juga tromboplebitis pada #ena%#ena ke'il dan nekrosis mukosa dan sub mukosa yang kemudian terjadi perforasi.

$ejala hidung dan telinga ini bukan merupakan gejala yang khas karena dapat dijumpai pada infeksi biasa seperti rhinitis dan sirusitis yang kronik. ,amun jika keluhan ini timbul berulang kali tanpa penyebab yang jelas atau menetap *alaupun telah diberikan pengobatan, kita harus *aspada dan segera melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bah*a bukan karsinoma nasofaring yang menjadi penyebabnya. $angguan pendengaran kanker nasofaring hanya sekitar 1) ? 27 A. 3. $ejala tumor leher elalui aliran pembuluh limfe, sel ? sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe regional dan bertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel ? sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. "i dalam kelenjar ini sel tersebut mengalami replikasi sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher samping, dapat unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoideus, di belakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. !ara peneliti mengemukakan bah*a tumor leher yang terletak setengah bagian atas leher, harus di'urigai mempunyai induk tumor di nasofaring. Ke'urigaan ini akan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan. $ejala tumor leher inilah yang mendorong penderita dating berobat ke dokter, yang meliputi 67 ? B7 A dari semua kasus kanker nasofaring.B (.$ejala mata $ejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. !enderita sering mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanya se'ara teliti, penderita akan menerangkan bah*a melihat dobel 2diplopia3. "iplopia terjadi karena kelumpuhan ,.:I yang letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena kelumpuhan ,. III dan ,. I: sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau

oftalmoplegi. &ila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi pada ,. II dan penderita menjadi buta. 1elain itu kelumpuhan pada ,. III dapat menyebabkan proptosis bulbi. ). $ejala kranial atau syaraf $ejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan sekitar dan juga se'ara hematogen. !erluasan tumor primer ke dalam ka#um kranial menyebabkan kelumpuhan ner#i kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. &erdasarkan perluasannya gejala ? gejala syaraf ini meliputi 5 C !erluasan ke atas - .nosmia, kerusakan ner#us I karena desakan melalui foramen olfaktorius. - Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut penjalaran petrosfenoid. &iasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu ,. II sampai dengan ,. :I sehingga gejala yang mun'ul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan. - !erluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai ,. :I dengan keluhan berupa diplopia, kemudian ,. : 'abang I dengan keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh *ajah. - 1indroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena. Tanda khasnya adalah 5 ,euralgia trigeminal unilateral >flamoplegia unilateral .maurosis 2kebutaan tanpa lesi yang nyata pada mata3 $ejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramuter.

C !erluasan ke belakang - Tumor meluas ke belakang se'ara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior, disebut penjalaran retro paratidian. Dang terkena adalah grup posterior saraf otak, yaitu ,. :II sampai dengan ,. EII beserta ner#us simpatikus ser#ikalis. - Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot%otot rahang sehingga terjadi trismus. - 1indroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan ,. IE, E, EI, dan EII. anifestasi kelumpuhan ialah 5 ,. IE 5 kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan penge'apan pada seperti belakang lidah. ,. E 5 hiper 4 hipo anestesi mukosa palatum mole, faring dan lasing disertai gangguan respirasi palatum mole. ,. EII 5 hemiparesis dan atrofi adalah sebelah lidah. - Kelumpuhan ,. EI menyebabkan kelumpuhan m. sternokleidomastoideus dan m. Trpe<ius sehingga terjadi kesukaran memutar kepala atau dagu. Kelainan kranii akibat perluasan kanker nasofaring dapat diketahui, karena adanya gejala subjektif dari penderita. &ila proses sudah lanjut adanya kelumpuhan saraf kranial. "engan 8T 1'an akan terlihat lesi yang terjadi di otak maupun di tengkorak. D. Diagno i 9ika ditemukan adanya ke'urigaan yang mengarah pada karsinoma nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain5 1. !emeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior yaitu dengan menggunakan ka'a tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan melalui masing%masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk

menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak lebih jelas. o'h Faman dan Theman membagi daerah timbulnya keganasan nasofaring menjadi tiga daerah yaitu 5 1. "i dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana adenoid di dapat atau dinding atas belakang. 2. 3. "i bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di tepi koana. "inding lateral nasofaring terutama di fossa Rosenmulleri, yaitu mulai di belakang tuba 2torus tubarius3 sampai dinding faring dan palatum mole. 2. &iopsi nasofaring "iagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui hidung atau dari mulut. &iopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya 2blind biopsy3. 8unam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian 'unam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. &iopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama ? sama ujung kateter yang berada di hidung. "emikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan ka'a laring dilihat daerah nasofaring. &iopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui ka'a tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut. 3. Histopatologi "engan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat diketahui jenis karsinoma nasofaring. !atologi &eberapa .hli mengusulkan tentang gambaran dari karsinoma nasofaring. "ari usulan%usulan yang berbeda tersebut maka /H> pada tahun 1B6@ membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu )

.. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi 2) D1R 1+,3A3 &. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi 2) D1R 31,)A3 8. Karsinoma GundifferentiatedH Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tampak adanya diferensiasi skuamosa dengan jembatan intersel dan keratinisasi 2diskeratosis3. &entuk ini dibedakan menjadi diferensiasi baik sampai sedang. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi, tampak sel tumor tersusun berjajar teratur seperti susunan ubin batu, kadang bentuk fleksiform dengan batas sel yang jelas, tanpa diferensiasi skuamosa. Karsinoma tanpa diferensiasi, ditandai dengan bentuk sel tumor o#al, bulat dan spindel dengan inti hiperkromatik serta batas sel tumor jelas dan tersusun dalam kelompok yang tidak teratur. 9enis GundifferentiatedH dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang serupa yaitu sama%sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap #irus -pstein ? &arr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan #irus tersebut. (. 1erologis Epstein Barr Virus 2-&:3 merupakan salah satu faktor dalam etiologi Karsinma ,asofaring, dan antibodi yang dihasilkan oleh #irus ini dapat berguna sebagai penanda serologi untuk diagnosis a*al karsinoma nasofaring. &erbagai antibodi dihasilkan sebagai respon terhadap #irus -&: diantaranya heterophile antibody, anti Viral Capsid Antigen 2:8.3, Early Antigen 2-.3, dan Epstein BarrNuclear Antigen 2-&,.3. ,amun antibodi yang se#ara signifikan berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah Ig . .nti%-&: :8. dan Ig . .nti%-&: -.. .nti%-&: 2Ig.3 mempunyai spesifitas klinis yang tinggi 2177A3, dan sebsiti#itas yang agak rendah 2@7,2A3. 1ebaliknya .nti%-&: :8. Ig.

17

mempunyai sensiti#itas klinis yang tinggi 2B6,3A3 dan spesifisitas yang lebih rendah 2(+,@A3. "engan demikian pemakaian kedua pemeriksaan tersebut se'ara bersamaan akan dapat meningkatkan spesifisitas dan sensiti#itas untuk diagnosis ,!8. Interpretasi hasil5 .nti -&: -. Ig . I I J J .nti -&: :8. Ig . I J J I Kemungkinan ,!8 177A 177A ),)A 36,@A

"iagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan suspek karsinoma nasofaring. ;ntuk diagnosis pastinya perlu dilakukan pemeriksaan !atologi .natomi dengan melakukan biopsi untuk dapat menegakkan diagnosis. ). Radiologi !emeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, in#asi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. !emeriksaan yang diperlukan antara lain 5 0oto thoraK !. 0oto tengkorak 2.!, lateral, dasar tengkorak dan *aters3, Tumor nasofaring yang dapat dideteksi se'ara jelas dengan foto polos adalah jika tumor 'ukup besar, eksofitik, dan penyebaran jaringan sekitarnya telah meluas.

11

8T 1'an koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita diren'anakan untuk radiasi intraka#iter.

&one s'intigraphy jika ada ke'urigaan metastasis ke tulang, diikuti foto tulang lokal pada daerah yang di'urigai s'intigraphy.

;ltrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol. RI, kelebihannya dibandingkan 8T 1'an yaitu mempunyai resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak, memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa merubah posisi penderita, tidak membutuhkan <at kontras untuk membedakan struktur #askuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah bening.

+. !emeriksaan neuroophtalmologi !emeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan4 infiltrasi ke saraf otak. anifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai. A. Stadi$m klinik ;ntuk menentukan stadium dipakai sistem T, T % T$mor primer T7 5 tidak terdapat tumor primer. T1 5 tumor terbatas di daerah nasofaring. T2 5 tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga hidung. menurut ;I88

12

T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring T2b "engan perluasan ke daerah parafaring T3 5 tumor telah mengin#asi jaringan tulang dan atau semua sinus paranasalis. T( 5 tumor telah meluas ke intra'ranial dan atau mengenai saraf%saraf kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita N % Pem&e aran kelen#ar geta' &ening regional ,7 5 tidak ada metastasis ke K$& regional. ,1 5 metastasis unilateral pada K$& di atas daerah suprakla#i'ula dengan diameter terpanjang kurang dari + 'm. ,2 5 metastasis bilateral pada K$& di atas daerah suprakla#i'ula. ,3 5 metastasis pada K$& a. "iameter terpanjang lebih dari + 'm b. !ada daerah suprakla#i'ula ( % (eta ta i #a$' 7 5 tidak ada metastasis jauh. 1 5 terdapat metastasis jauh.
) year sur# rate 1tadium I 5 T1 ,7 ,7 ,7 ,1 7 7 7 7 6+,BA )+ A 3@,(A

1tadium II 5 T2 1tadium III 5 T3 T1, T2 ,T3

13

1tadium I: 5 T( Tiap T Tiap T

,7,,1 ,2,,3 Tiap ,

7 7 1

1+,(A

F. Pengelolaan 1. !engobatan &edah Tindakan pembedahan memegang peranan ke'il pada terapi K,0. Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan jika masih ada kelenjar pas'a radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. enurut /ei 227733 nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk K,0 stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis lengkap. "iseksi leher radikal 2 R," 3 dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. yang tidak dilakukan R," 21B%2@A3.6 !ada ren'ana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik dengan system s'oring tertentu, kadar H& minimal 17 , keadaan fisik alat #ital dan kadar elektrolit juga harus baik. 2. !engobatan dengan 1itostatika !engobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan pengobatan adju#an atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang berhasil. .dapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai berikut5 enurut 8he* 2 1BB63 sur#i#al penderita yang dilakukan R," lebih tinggi 2 (7%@7A3 daripada penderita

1(

1tadium I 4 II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal. !ada residif tumor primer !ada stadium I: dengan residif 4 residu atau dengan metastasis jauh. 1itostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring

adalah5 8isplatinum +7 mg4m2 diberikan se'ara tetesan dalam 2)7 '' ,a8l 7,BA hari I dan II &leomy'in @ mg diberikan se'ara intramuskular hari III dan I: ) 0; 6)7 mg diberikan se'ara tetesan dalam 2)7 '' deKtrose )A hari I dan II. 1iklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal ) kali. 0ungsi ginjal harus dia*asi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan agar penderita minum 3 liter sehari. >bat%obat lainnya dapat diberikan untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin, antiemetik dan lain%lain. '. Radioterapi 1ampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting dalam penggobatan Karsinoma ,asofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama K,0 yang belum ada metastasis jauh. K,0 merupakan kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini 2 I,II 3, berdasarkan faktor se'ara histopatologis bah*a kebanyakan K,0 merupakan type 2 dan 3 yang sangat radiosensitif. .lasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ #ital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor sangat sulit dikerjakan.6

1)

1ebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat seperti berikut diantaranya 5 1. Keadaan umum baik -fek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum tulang. &ila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan karena setelah radiasi hanya akan memeperlemah keadaan umum pasien. .danya infeksi 4 kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu 2. =aboratorium eliputi kadar Hb, leukosit maupun thrombosit. 3. Tumor masih terlokalisasi "osis yang diberikan 277 rad4 hari sampai men'apai +777%++77 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi +777 rad. 9ika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi elektif sebesar (777 rad. Radiasi juga diberikan belum menimbulkan keadaan fraktur patologik. ". Pen)ega'an .dapun 'ara%'ara pen'egahan terhadap kemungkian timbulnya karsinoma nasofaring. !emberian #aksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah tertentu 2masih dalam per'obaan3 emindahkan 2migrasi3 penduduk dari daerah dengan resiko tinggi. !enyuluhan mengenai kebiasaan hidup yang tidak sehat. engubah 'ara dalam memasak makanan. en'egah akibat yang timbul dari bahan%bahan yang berbahaya pada keadaan kambuh atau pada metastase tulang. ;ntuk metastase tulang yang

1+

!enerangan mengenai lingkungan hidup yang aman dari bahan%bahan berbahaya

eningkatkan keadaan sosial ekonomi elakukan tes serologik Ig.%:8. se'ara masal.

H. Progno i Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis se'ara signifikan. !ada penelitiannya !ere< melaporkan angka ) years sur#i#al rate pada pasien kurang dari )7 tahun adalah ()A dan 2)%26A untuk pasien yang lebih tua. !ada penelitian Lin, pasien yang lebih muda dan *anita memiliki sur#i#al rate lebih baik daripada pria. Lin juga melaporkan sur#i#al rate pada pasien stadium a*al 2@+A untuk stadium I, )BA untuk stadium II3 lebih baik daripada stadium lanjut 2()A untuk stadium III, 2B,2A untuk stadium I:3. Kerusakan saraf 'ranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan menurunnnya sur#i#al rate. 9enis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan sur#i#al rate. 8hen dan 0let<er melaporkan 31%33A rekurensi untuk karsinoma sel sMuamosa dan 17%12A untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian /ang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan #ariasi histologik. I. Radioterapi 1ebagai pengobatan pilihan pada K,0 2 karsinoma nasofaring 3 penanganan radioterapi pada K,0 dapat diberikan dengan 'ara 5 Radiasi -Kterna 4 teleterapi &ra'hiterapi Kombinasi radiasi dengan kemoterapi eyer dan

16

K,0 biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.

I. Radia i k$rati* Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit ke'uali penderita dengan metastasis jauh. 1asaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer bersama kelenjar getah bening leher dan suprakla#i'ula. 9enis radiasi pada radiasi kuratif meliputi5 Radiasi eksterna yang men'akup tumor bed 2nasofaring3 beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis +7%++ $y dan kelenjar supra%kla#i'ula dengan dosis )7 $y. Radiasi intraka#iter 2brakhiterapi3 sebagai dosis radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan dosis 2+K3 $y3, sehari 2K. .pabila se'ara teknis tidak bisa diberikan radiasi intraka#iter oleh karena pasien tidak mampu 4 menolak dilakukan tindakan brakhiterapi. &ila setelah dosis total +7 $y, daerah sinus paranasalis tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 67 $y.

II. Radia i paliati* Radiasi paliatif diberikan bila stadium I: metastase jauh. 1asaran dan bentuk radiasi indi#idual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif. ;ntuk tumor primer dosis radiasi (7%)7 $y. ;ntuk metastase jauh, tergantung lokasi metastase.

1@

III. Teknik Radia i !emberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi seminimal mungkin, hal ini meliputi5 a+ Per iapan Pra Radioterapi 213 !erbaikan Keadaan ;mum empersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan mempertimbangkan *aktu perluasan tumor. 223 "ilakukan !emeriksaan Keadaan $igi dan ulut

eningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut. &+ Pe a,at - Jeni Radia i "igunakan pesa*at 5 Tele 8obalt =inier .kselerator 0oton ( m:4 + m:, ini dipilih karena tidak terlalu besar. "igunakan pesa*at terapi tele bertenaga tinggi 2 8obalt +7N linier akselerator ( jaringan lain. )+ Alat &ant$ .lat bantu terdiri dari 5 1ebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi asker atau topeng, terbuat dari !:8 2!oli :inil 8hloride3, atau Thermoplast e#3 untuk mengurangi efek samping pada kulit serta

1B

&lok Timah hitam.

d+ Sim$la i 1imulasi "ilakukan dengan 5 .lat 1imulator .lat Rontgen Kon#ensional untuk membuat foto lokalisasi dengan jarak fokus kulit sama dengan 01" 20o'us 1our'e "istan'e3 alat radiasi, dimana pada 8obalt5 @7 'm dan line'5 177 'm. e+ J$mla' lapangan radia i minimal . /d$a+ lapangan ;ntuk stadium I ,II lapangan radiasi !lan !aralel =ateral dan 1uprakla#ikula ;ntuk 1tadium III lapangan radiasi isosenter 5 .nterior dan !lan !aralel =ateral 1uprakla#ikula ;ntuk 1tadium I: =apangan Radiasi tergantung o &ila K$& leher sangat besar, lapangan radiasi depan ? belakang 2"%&3 o &ila K$& leher 'ukup ke'il atau tidak memotong tumor di leher radiasi bisa .nterior dan !lan !aralel =ateral 1uprakla#ikula. *+ Bata 0&ata lapangan Pen1inaran batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika batas anterior di depan 'hoanae, men'apai setengah bagian posterior dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan

27

batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus, seluruh rantai sepanjang m. 1terno'leidomastoideus atau sesuai dengan lesi metastase 2 diberi marker logam 3

batas ba*ah setinggi tepi ba*ah korpus #ertebra 8%2 atau setinggi tepi atas kartilago tiroidea

Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening suprakla#ikuler dan leher ba*ah. .rah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas lapangan ini 7,) 'm di ba*ah lapangan laterolateral

&lokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis setelah dosis (7 $y.

.pabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke suprakla#i'ula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas atas lapangan radiasi harus men'akup seluruh dasar tengkorak, batas ba*ah pada tepi ba*ah kla#i'ula 2kiri dan kanan adalah 243 distal kla#i'ula3. &agian medial leher 2trakea, esofagus dan medula spinalis3 harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah pada daerah tersebut selebar 1 'm dan tinggi minimal + 'm.

!enge'ilan lapangan radiasi dilakukan apabila tumor jauh menge'il, dosis radiasi men'apai (7 $y. &atas posterior menjadi di sebelah depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di luar lapangan radiasi. &atas ba*ah menjadi setinggi angulus mandibula. &atas anterior tidak mengalami perubahan

.pabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus%sinus paranasal dan atau ka#um nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada lapangan lateral kiri%kanan guna mendapatkan dosis yang homogen pada seluruh tumor. "osisnya adalah 2 $y. &ola mata harus ikut serta

21

mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang intraorbita, saraf optikus atau tulang%tulang sekitar mata.@ ;ntuk tumor%tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak ditemukan pembesaran kelenjar leher T24T2 ,o batas batas lapangan diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak 2 sela tursika di luar lapangan radiasi3

$ambar5 =apangan Radiasi 17

I2. Do i Radia i 1asaran radiasi 5 tumor primer bersama kelenjar getah bening leher. "osis radiasi5 ;ntuk lapangan latero%lateral, setelah (7 $y, dilakukan penge'ilan lapangan, dimana batas posterior digeser kedepan untuk menghindari medula spinalis, batas atas diturunkan untuk menghindari hipofise, dan radiasi dilanjutkan sampai +7 $y, kemudian ditambah booster dengan lapangan terbatas pada tumor primer saja antara 6 sampai 17 $y. &ooster dapat juga dilakukan dengan brakiterapi dengan menggunakan aplikatro Rotterdam. ;ntuk lapangan suprakla#ikuler, dosis hanya sampai () $y. &rakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. "iberikan pada kasus%kasus T1%T2 yang setelah dosis eksterna )(%+7 $y, istirahat 2 minggu, kemudian baru dilakukan brakhiterapi. "ilakukan dengan 'ara Oafter loadingO. !ada penderita 'ukup diberi anestesi lokal. !enderita dalam keadaan berbaring dan melalui ka#um nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator benar%benar sudah melekat pada dinding faring. .plikator kemudian difiksasi diantara sela%sela aplikator dengan rongga hidung. 1isanya yang berada di luar

22

rongga hidung juga difiksasi. "iberikan dosis untuk kasus primer yang telah memperoleh radiasi eksterna sebanyak +7 $y maka dosis brakiterapi tambahan adalah 3 $y per fraksi, 2 fraksi perhari dengan inter#al + jam selama 2 hari. ;ntuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.

I2. Pemanta$an Radia i 1. !emantauan selama pelaksanaan radiasi % pemeriksaan klinis sekurang%kurangnya setelah ) kali radiasi atau setiap kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi. % % 'atat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa periksa Hb, =eukosit, Trombosit setiap setelah ) kali radiasi. 1yarat dilakukan radiasi 5 Hb P dari 17 gr A, =eukosit P dari 3777, Trombosit P dari @7.777 2. !emantauan setelah selesai radiasi % "ilakukan setiap bulan sekali selama + bulan minimal 3 bulan, kemudian setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap + bulan selama ) tahun. % ,ilai keadaan umum, tanda%tanda metastasis ke hati, tulang atau paru% paru % ,ilai tumor primer dan kelenjar%kelenjar, ada tidaknya residu tumor 4 kelenjar dilakukan paling sedikit @ minggu setelah radiasi selesai. Harus dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pas'a radiasi.

23

2(

BAB 2 KESI(PULAN Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. -tiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. &anyak faktor yang mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. "iagnosa ditegakkan dari gejala klinik, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. &erdasarkan studi%studi yang baru, didapatkan bah*a penderita karsinoma nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya mendapatkan terapi radioterapi saja.

2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor $anas di poliklinik THT R1 "r. !irngadi edan Tahun 1B67%1B6B. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional :II !erhati, surabaya 21%23 agustus 1B@3 hal 661%@1 2. "amayanti 1utjipto, karsinoma nasofaring dalam 5 ,urbaiti Iskandar 2ed3 Tumor Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . 9akarta 5 0K ;I, 1B@B. H 61%@( 3. 0arid /ajdi, Ramsi =utan. !enatalaksanaan Referat. edan 5 0K ;1;, 1BB@.h 1%27 Karsinoma ,asofaring.

(. 1hanmugaratman K. ,asofaring 8ar'inoma5 -pidemiology and .etiology. "alam5 Kumpulan ,askah 1eminar Kanker ,asofaring. 1emarang5 DKI /ilayah 9a*a TengahN 1BB3 ). 1yafril .. -pidemiologi Tumor $anas Telinga Hidung Tenggorok. "alam5 Tumor Telinga Hidung Tenggorok "iagnosis dan !enatalaksanaannya. -ditor5 Iskandar ,, unir , 1oetjipto ". 9akarta5 &alai !enerbit 0K;IN 1B@B5 3%( +. ,ell III &H, 1la#it "H. ,asopharyngeal 'an'er. In 5 &yron 9, &ayle 9&.Head and ,e'k 1urgery >tolaryngology. !hiladelphia 5 =ippin'ott 8ompany 1BB3N B+ 5 12)6%1263 6. .sroel H.. !enatalaksanaan Radioterapi !ada Karsinoma ,asofaring. 0akultas Kedokteran &agian Tenggorokan Hidung danTelinga ;ni#ersitas 1umatera ;tara !erhimpunan >nkologi Radiasi Indonesia. 1tandar !elayanan !rofesi Radioterapi Kanker ,asofaring. edanN 2772 @. .. Roe<in. "eteksi dan !en'egahan Karsinoma ,asofaring. "alam 5 R.1us*oro, .hmad, ., Kurnia*an, 1iti &K, dkk. !en'egahan dan "iagnosa dini penyakit Kanker. Dayasan Kanker Indonesia.1BB+ 5 26(%@@ B. &ambang 11. "iagnostik dan !engelolaan Kanker Telinga Hidung dan Tenggorok dan Kepala ? leher . 1emarang5 0akultas Kedokteran ;ni#ersitas diponegoro. 1BB2 17. Kentjono /.. !erkembangan Terkini !enatalaksanaan Karsinoma ,asofaring. "alam5 akalah =engkap 1imposium &edah Kepala =eher. 9akarta5 0K;I. 2773

2+

11. 1us*oro R. Radioterapi, "asar "asar Radioterapi Tata =aksana Radioterapi !enyakit Kanker. 9akarta5 ;I !ressN 2776.

26

Anda mungkin juga menyukai