Anda di halaman 1dari 10

TUMOR NASOFARING

Pendahuluan
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%),
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena
nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak
serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke
posterior leher. Hal ini menyebabkan seringkali tumor ditemukan terlambat dan sudah
bermetastasis sebagai gejala pertama.

Anatomi Nasofaring

Nasofaring disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga
hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak
rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran
depan belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batasnya:

1
- Dinding depan : Koane
- Dinding belakang : merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra Sevikalis I dan II
- Dinding atas : merupakan dasar tengkorak.
- Dinding bawah : permukaan atas palatum molle.
- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus
Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus
atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan
lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.
Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini
berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium
tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau
menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi
dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena
dapat terjadi proses degenerasi dan atropi dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara
subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.

Epidemiologi
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Indonesia frekuensi pasien ini hamper merata di setiap
daerah. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring
dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.

Etiologi
Virus Eipstein Barr merupakan virus yang dipastikan menjadi penyebab dari tumor
nasofaring karena pada semua pasien didapati titer anti virus EB yang cukup tinggi. Titer ini
lebih tinggi dari orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala, tumor organ lainnya, bahkan
pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Faktor lain yang mempengaruhi kemungkinan
timbulnya tumor ini seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan,
2
kebiasaan hidup, kebudayaan, social ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Tumor ini sering
ditemukan pada laki-laki.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan
makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara nikel dalam air minum dan makanan dengan
mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.
Kebiasaan orang Eskimo makan makanan yang diawetkan (daging atau ikan) terutama
pada musim dingin menyebabkan tingginya terjadinya kejadian karsinoma nasofaring. Mediator
yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator
penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland .
juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang
difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa
udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan
Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah
juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat menyebabkan
kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon dalam arang
batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah
bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia
dan Indonesia termasuk yang banyak mengidap penyakit ini.
5. Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familiar dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Secara umum didapat 10%
pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain. Sebagian besar pasien adalah
golongan ekonomi rendah dan menyangkut lingkungan dan kebiasaan hidup.
Gejala Klinik

3
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala
nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedang tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).
Gangguan telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara Tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan ini dapat berupa tinnitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokasi permulaan tumbuh karsinoma nasofaring
tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel. Dalam
penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu pergerakan otot
Levator Palatini., yang berfungsi menbuka tuba, sehingga fungsi tuba tergangu dan
mengakibatkan gangguan pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang
bersifat Reversibel.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan tengkorak melalui beberapa lubang, maka
gangguan beberapa syaraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai syaraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula V, sehingga
tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemui oleh ahli syaraf jika belum terdapat keluhan
lain yang berarti. Foramen Laserum terletak 1½-2 cm tepat kranial dari fosa rosenmullar,
sehingga dengan mudah tumor dapat meluas melalui foramen ini kedalam intrakanial.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai syaraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini disebut Sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut
Sindrom unilateral. Dapat pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi
demikian, biasanya prognosisnya buruk.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan yang lain.

4
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah
diteliti di Cina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti pada pembahasan
adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring.
Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.

Histopatologi
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan
limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut ” Limfoepitel ”.
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”.
2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium “.
3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium “.
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ”.
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. 60% dari
mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “ Stratified Squamous Epithelium “, dan
80% dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan
depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis
gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada
kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua
macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
Klasifikasi menurut WHO 1978:
1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi.
2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi.
3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi.
Working formulation:
1. Karsinoma Tipe A : anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan menegah.
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa

5
dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus
Epstein-Barr.
Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk membandingkan respon radiasi pada
karsinoma nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher, respons radiasi paling baik pada
karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada tipe A dan paling kurang baik pada
karsinoma sel skuamosa berkeratin.

Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai system TNM menurut UICC (1992):
T : Tumor primer
To : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada salah satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap, dll)
T2 : Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 : Tumor telah keluar dari rongga nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak
Tx : Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

N : Pembesaran kelenjar getah bening regional


N0 : Tidak terdapat pembesaran
N1 : Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar

M : Metastasis jauh
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh

Stadium 1:
6
T1 N0 M0

Stadium II:
T2 N0 M0

Stadium III:
T1/T2/T3 N1 M0
Atau T3 N0 M0
T4 N0/N1 M0
Atau T1/T2/T3/T4 N2/N3 M0
Atau T1/T2/T3/T4 N0/N1/N2/N3 M1

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi konvesional foto tengkorak potongan antero-posterior lateral, dan
posisi Waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak
ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.
2. Pemeriksaan Tomografi, CT Scanning nasofaring, merupakan pemeriksaan yang paling
dipercaya untuk menetapkan stadium tumor san perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat
asimetri dari saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibody terhadap virus Epsten-Barr ( EBV )
yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum jelas dengan
pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi karsinoma nasofaring.
6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metatasis.

Diagnosis
CT Scan kepala dan daerah leher, tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu
sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari
7
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan 41 pasien karsinoma nasofaring
stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitas 91,8%
dengan titer berkisar antara 10-1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya
100% tetapi spesifisitasnya hanya 30% sehingga pemeriksaan ini hanya berguna untuk
menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80-1280 dan terbanyak
pada titer 160.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu cara dari hidung atau dari mulut.
Biopsy melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam
biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian
cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton dimasukkan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama
ujung kateter yang di hidung. Demikian dengan hidung sebelahnya, sehingga palatum molle
tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, massa tumor nasofaring umumnya dengan anestesi topical dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapat hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan
dengan kuret daerah lateral nasofaring dengan narcosis.

Terapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupakan diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin, dan antivirus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai kombinasi dikembangkan, yang
terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5 fluoroucil sedang
dikembangkan dengan hasil sementara memuaskan. Demikian pula pemberian kemoterapi

8
praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat
tetapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik.
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5 fluorouracil oral setiap hari sebelum
diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberikan harapan
akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan total diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang dengan peyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang dengan dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologis dan serologis.
Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering
timbul komplikasi yang berat akibat operasi.

Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering diisebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor atau minor sewaktu penyinaran. Tidak
banyak yang dilakukan selain menasehati pasien dengan makan banyak kuah, membawa minum
kemanapun pergi dan membawa makanan dan mengunyah bahan yang asam sehingga
merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku di leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan,
dan kadang-kadang muntah atau rasa mual. Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca
pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula
timbul metastase jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan
tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal akibat keadaaan umum
yang buruk, perdarahan hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya
fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.

Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk
oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut
9
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan
hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social ekonomi dan berbagai hal yang diberkaitan
dengan kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologis IgA anti VCA dan IgA anti EA
secara masal dimasa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring
secara dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7 1996 ; 11-
16
2. Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2000 : 146-150
3. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1989.

10

Anda mungkin juga menyukai