Karsinoma Nasofaring
Disusun oleh:
Dewi Ayunanda
11.2014.131
Dosen Pembimbing:
Dr. Benhard Banggas.Sp.THT
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas ini
dengan tepat pada waktunya yang berjudul Karsinoma Nasofaring.
Tugas ini berisikan tentang informasi pengertian carsinoma nasofaring, anatomi,
epidemiologi, etiologi, anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
patofisiologi, manifestasi klinis serta penanganannya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan, demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Esa
senantiasa menyertai kita. Amin.
Penulis
Bab 1
Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1
Insidens karsinoma nasofaring berbeda secara geografis dan etnik serta hubungannya
dengan Epstein-Barr Virus (EBV). Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang
65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa negara
insidens kanker ini hanya 0,6 % dari semua keganasan. Di Amerika insiden karsinoma
nasofaring 1-2 kasus per 100.000 laki-etnik tertentu, seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika
Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan. Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia
dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi
Guang Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000
penduduk pertahun. Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita
karsinoma nasofaring yang tinggi di luar Cina. Survei yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi
karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per
tahun di seluruh Indonesia. 2
Tumor ganas ini tidak mempunyai gejala yang spesifik, seringkali tanpa gejala, sehingga
hal ini menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi. Penanggulangan karsinoma
nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang
masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,
sehingga diagnosis sering terlambat.1
Bab II
Pembahasan
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
dibentuk dari dasar sinus cuneiformis. Di tempat tersebut dan di dinding belakang, terdapat
tonsil pharyngealis. 4
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 3,4
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang
dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma
nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3. Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)
4. Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk
kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingofaring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel
kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan
predileksi terjadinya keganasan nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu
epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia,
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah
mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum
molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah asal tumor ganas
nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan
limfe di bawahnya.3,4
Fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan
tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring.
2.2. Epidemiologi
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak
ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah).
Prevalensi KNF di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar
datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi
buruk.1
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki
urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit. Distribusi KNF di Indonesia
hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun,
RS. Hasan Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15
kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang,
Surabaya dan kota-kota lainnya.1
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada penduduk Cina
bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia).1
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF banyak dijumpai pada lakilaki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan apa sebabnya belum dapat dijelaskan secara
pasti mungkin terdapat kaitan dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.1
asin
dan
makanan
yang
diawetkan
mengandung
sejumlah
besar
2.4. Diagnosis
2.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat penting dilakukan dalam mengevaluasi
tumor kepala dan leher. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi semua aspek kepala,
wajah, leher, hidung, rongga mulut, dan dasar lidah. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kaca
nasofaring dan laring indirek atau pemeriksaan nasofaringoskopik serat optik fleksibel.
Hindari pemeriksaan yang hanya berfokus pada daerah tempat tumor berada , tetapi
melakukan pemeriksaan seluruh daerah kepala dan leher. Tidak jarang muncul adanya
berbagai lesi secara simultan atau sekuensial di daerah kepala dan leher. 5
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata
dan gejala saraf.
1.
Gejala Hidung/Nasofaring 1
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih
dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika
terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung
tidak ada kelainan.
2.
Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa
penuh seperti terisi air, berdengung (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran
yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau
karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.1,3
3.
bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak
ditemukan kelainan.1,3
4.
Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara
teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel.
Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI
yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.
Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan
N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila
perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami
kebutaan.1,3
5.
Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala
subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau
kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh
sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli
saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan
mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini
disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut
dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk. 1,3
Untuk menentukan besarnya tumor jaringan lunak di daerah yang tidak mudah dilihat
secara klinis ( mis, daerah nasofaring, dasar tengkorak, rongga parafaring).
getah bening leher, semua pasien yang akan di operasi memerlukan foro toraks atau CT
dada jika memungkinkan. CT dada juga dapat menapis adanya kanker paru, yang
menyertai kira-kira 15% karsinoma sel skuamosa kepala dan leher. Massa hepar yang
teraba, ikterus, dan perubahan hasil pemeriksaan fungsi hati merupakan indikasi untuk
CT abdomen. Nyeri tulang atau tanda-tanda neurologik adalah indikasi untuk melakukan
evaluasi radiologi untuk melihat kemungkinan metastasis ke tulang dan otak. 1
2) MRI
MRI dapat menggambarkan masa jaringan-lunak dan fasia plane lebih baik daripada
CT. MRI menandai lesi dengan berbagai pengambilan potongan secara berurutan,
memberikan gambar dalam bidang datar dan tidak dalam bidang akasial, serta
menunjukan pembuluh darah tanpa penggunaan zat kontras atau radiasi ionisasi. MRI
mempunyai aplikasi yang unik dalam mengevakuasi tumor sinus, orbita, dan otak, karena
MRI dapat membedakan densitas jaringan lunak. MRI dan CT bukan pemeriksaan yang
ekslusif satu sama lain karena masing-masing mempunyai keunggulan terhadap lain. CT
masih terus menggunakan MRI menghabiskan lebih banyak biaya, waktu pemeriksaan
yang lebih lama, artefak gerakan lebih banyak dan di kontradiksikan untuk pasien
dengan benda asing logam yang diimplantasi (klip aneurisma, stimulator neural, dan
implant koklea). Walaupun pemindaian nuklear tidak digunakan secara rutin, tomografi
positron emisi akhir-akhir ini telah digunakan dengan hasil yang menjanjikan dalam
mendeteksi penyakit metastatik di leher. 5
3) Pemeriksaan Serologi untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan serologi lgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus mendeteksi
karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar
antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 1
4) Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma
dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi. 1
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke
atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui
mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi
topikal dengan xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring
dalam narkosis. 1
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring
yaitu
karsinoma
sel
skuamosa
(berkeratinisasi),
karsinoma
tidak
banding
karsinoma
nasofaring
adalah
angifibroma
nasofaring.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan
tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher.
Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 1 : 60.000 pada pasien THT.1,6
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%), kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif .6
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul
rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan
ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial .1
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau
hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor
atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah
besar .6
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang dirasakan pasien.
Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan
fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna
bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring
biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke
luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada
usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.
Mukosanya yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1
2.6. Patofisiologi
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi
dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (TSGs) yang
menghambat penghentian proses siklus sel. 7
2.7. Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem
TNM menurut UICC (2002).1
T= Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T1 - Tumor terbatas di nasofaring
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a: Perluasan tumor ke orofanng dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
T2b: Disertai pertuasan ke parafaring
T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal.
T4
NX
N0
N1
- Metastasi kelenjar getah bening unilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2
- Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3
- Metastasis kelenjar getah bening bilaterai dengan ukuran lebih besar dan 6 cm atau
terletak dalam fossa supraklavikula
N3a: ukuran lebih dan 6 cm
N3b : di dalam fossa suprakiavikula
= Metastasis jauh
Mx
M0
M1
Stadium 0
T1s
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0
Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
N1
M0
T2a
N1
M0
T2b
NO,N1
M0
T1
N2
M0
Stadium III
T2a.T2b
N2
M0
T3
N2
M0
Stadium IVa
T4
N0,N1,N2
M0
Stadium IVb
semua T
N3
M0
Stadiun IVc
semua T
semua N
Ml
2.8. Komplikasi
Karsinoma nasofaring sering mengalami metastasis ke kelenjar getah bening di leher.
Sehingga terbentuk benjolan di leher dan biasanya hal ini yang mendorong pasien untuk
berobat. Dapat juga mengalami kelumpuhan pada saraf kranial. Sel-sel kanker juga dapat ikut
mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan
prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke
hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
1,5
2.9. Penatalaksanaan
Stadium I
: Radioterapi
: Kemoradiasi
2.10. Edukasi
Edukasi harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. mulut rasa kering
disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. tidak
banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan banyak kuah,
membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang
asam sehingga merangsang keluarnya air liur. gangguan lain adalah mukositis rongga mulut
karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual. 1
2.12. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan
metastasenya. Karsinoma skuamus berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non
keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering
pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai stadium lanjut dan
tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi. 7
2.13. Follow Up
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, dan follow-up jangka panjang diperlakukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang
dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. sehingga pasien KNF
perlu di folow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. 1
2.14. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi. Menerangkan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkian faktor penyebab. Melakukan tes serologik
lga-anti VCA dan lgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini. 1
Bab III
Penutup
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Yang disebabkan oleh Virus Epstein
Barr, virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Penyebab lain yang bisa menimbulkan karsinoma
nasofaring, yaitu genetik dan lingkungan seperti pola makan, kebiasaan merokok, dan lainlain. Gejala yang muncul dapat gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher,
gejala mata dan gejala saraf. Oleh karena itu memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti pada
seluruh kepala dan leher. Selain itu juga bisa menggunakan pemeriksaan penunjang seperti
CT-Scan, MRI, serologi dan biopsi. Karsinoma nasofaring ini dibagi dalam beberapa stadium
tergantung penyebarannya. Dan untuk penanganan karsinoma nasofaring ini disesuaikan
dengan stadium penyebaran dari kanker tersebut.
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed 6. Jakarta : FK UI; 2007.h.169-93.
2. Asroel HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Sumatera : FK
USU; 2002.h.1-11.
3. Herawati S, Rukmin S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta : EGC;
2014.h.14,40-1.
4. Nagel P, Grkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Ed 2. Jakarta : EGC; 2012.h.60-1,80-3.
5. Lucente FE, Har-El G. Ilmu THT esensial. Ed 5. Jakarta : EGC; 2011.h. 443-51.
6. Hajar, Siti. Angiofibroma nasofaring belia. Majalah Kedokteran Nusantara. September
2005; 38(3).h. 251-3.
7. Marur, S and Forastiere A.A. Head and neck cancer: changing epidemiology,
diagnosis, and treatment. Mayo Clin Proc. April 2008; 83(4). p. 489-501.