Disusun oleh :
Ahmad Wasil 22010119220090
Athasalma Monica 22010119220169
Maharani Rizka Pritadesya 22010120210183
Riznadia Ramadhani 22010119220180
Irfan Kesumayadi
Hanifah Alipasha Mursalin
Penguji:
BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu jenis kanker kepala
dan leher yang paling agresif dan sering bermetastasis pada kelenjar limfe
yang jauh dan pada organ lain. Kanker ini berasal dari sel skuamosa pada
epitel permukaan nasofaring bagian superior, terutama pada fossa
Rossenmuller yang mana merupakan daerah transisional, tempat
perubahan epitel kolumner menjadi epitel skuamosa. Karakteristik
pembeda dengan kanker kepala dan leher yang lainnya adalah etiologi
terbanyak berupa infeksi laten dari virus Epstein-Barr (EBV) dan infiltrasi
limfosit masif.1,2
Insidensi kasus KNF di Amerika Serikat kurang dari 1 kasus per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Namun, di beberapa Negara di Asia
(terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker
nasofaring banyak ditemukan. Di Indonesia sendiri, kanker nasofaring
merupakan keganasan tersering ke-4, setelah kanker leher rahim, kanker
payudara, dan paru. Prevalensi KNF di Indonesia mencapai 6,2 per
100.000 penduduk per tahun, dengan hampir sekitar 13.000 kasus baru.2,3
Penyebab karsinoma nasofaring secara umum dapat dibagi menjadi
genetik, lingkungan dan virus EBV. Faktor risiko kanker ini adalah jenis
kelamin pria (perbandingan dua hingga tiga kali lipat), umur produktif 30-
50 tahun, virus Epstein-Barr, dan riwayat keluarga. Kanker ini lebih
banyak menyerang pria berkaitan dengan meningkatnya usia harapan
hidup dan perubahan pola hidup masyrakat seperti kebiasaan merokok dan
minum alcohol. Gejala yang terjadi pada kanker di lokasi ini adalah pilek
dari satu atau kedua hidung yang terjadi terus-menerus, hidung tersumbat,
epistaksis ringan, tinnitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia, dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).4,5,6
Pemeriksaan fisik dapat meliputi pemeriksaan status generalis dan
status lokalis, pemeriksaan nasofaring berupa rinoskopi posterior dengan
nasofaringoskop rigid/fiber, laringoskopi, dan nasoendoskopi. Adapun
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serologi, pemeriksaan
histopatologi (biopsy), dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologi
pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang
penting, terutama untuk menentukan lokasi tumor, mencari penyebaran
tumor, dan menentukan ukuran tumor. Pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan berupa foto polos posisi Waters, lateral, dan anteroposterior
(AP), CT Scan dan MRI, serta Bone Scan untuk melihat metastasis tulang.7
Tatalaksana pengobatan kanker nasofaring memerlukan integrasi
dari spesialis THT, onkologi radiasi, dan onkologi medik. Penetalaksanaan
radioterapi merupakan gold standard untuk KNF. Selain itu terdapat pula
kemoterapi sebagai terapi adjuvant dan penatalaksanaan nutrisi serta
rehabilitasi medik.8
Kemajuan teknologi di bidang kesehatan saat ini memberikan
banyak kemudahan bagi para dokter untuk mendeteksi dan mendiagnosis
penyakit serta menentukan jenis pengobatan bagi pasien. Pengembangan
alat diagnostik pada bidang radiologi seperti CT Scan maupun MRI sangat
membantu dokter dalam mendeteksi dini, menentukan lokasi serta
metastasis dari KNF. Selain itu berkembangnya radioterapi menjadi baku
emas dalam penanganan KNF. Dokter umum diharapkan dapat melakukan
deteksi dini dan memberi rujukan pada kasus KNF (kompetensi 2, SKDI
2012).
1.2 Tujuan
Pembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih
dalam mengenai karsinoma nasofaring, anatomi nasofaring, epidemiologi,
etiologi, faktor risiko, patogenesis, penegakkan diagnosis, khususnya
mengetahui gambaran radiologis dan radioterapi karsinoma nasofaring.
1.3 Manfaat
Pembuatan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari lebih dalam mengenai
karsinoma nasofaring, anatomi nasofaring, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, penegakkan diagnosis, khususnya mengetahui
gambaran radiologis dan radioterapi karsinoma nasofaring.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas sel skuamosa yang
berasal dari epitel permukaan nasofaring dengan area predileksi tersering
pada fossa rosenmulleri. Karsinoma nasofaring biasanya berkembang di
sekitar ostium tuba Eustachius di dinding lateral nasofaring.1 Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa.2 Fosa rosenmulleri
merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah
gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas
nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae),
dan di sekitar tuba.1
2.2 Anatomi
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, diatas palatum molle
dan di bawah dasar cranium. Nasofaring merupakan rongga berbentuk
kuboid tidak rata. Batas anterior nasofaring adalah daerah sempit yang
merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum
molle. Bagian superior dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai, dibatasi oleh basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal I
dan II. Dinding lateral nasofaring merupakan fasia faringobasiler dan
muskulus konstriktor faring superior. Pada kedua dinding lateral nasofaring
terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian
superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba Eustachius membelah
dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di
fasia faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior
muskulus konstriktor faring superior yang disebut fossa Rosenmuller. Fossa
Rosenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring yang
merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF. Fossa Rosenmuller
mempunyai hubungan anatomi dengan struktur-struktur penting di
sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Letak
fossa Rosenmuller dan sifat KNF yang invasif menyebabkan mudahnya
terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya sehingga timbul berbagai
macam gambaran klinis.3,4
Gambar 1. Anatomi Nasofaring5
2.3 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang memiliki
karakteristik insiden yang bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi.
Pada tahun 2002, ditemukan sekitar 80.000 insiden kanker nasofaring di
seluruh dunia, dan diperkirakan menyebabkan kematian pada 50.000
penderita.1 Berdasarkan GLOBOCAN 2020, didapatkan 133.354 kasus baru
muncul setiap tahunnya dengan 96.371 kasus baru terjadi pada laki-lalki dan
36.983 kasus baru pada perempuan.6
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis
keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker
terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan
kanker paru. Dari seluruh kanker kepala dan leher, kanker nasofaring
menunjukkan entitas yang berbeda secara epidemiologi, manifestasi klinis,
marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik. Prevalensi kanker
nasofaring di Indonesia adalah 6.2/100.000, dengan hampir sekitar 13.000
kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan.
Marlinda dkk., melaporkan kanker nasofaring adalah kanker kepala leher
tersering (28.4%), dengan rasio pria-wanita adalah 2:4 dan endemis di pulau
Jawa.7
2.5 Patofisiologi
Mekanisme pasti patogenesis karsinoma nasofaring masih belum
diketahui, namun diketahui bahwa onkogen viral Epstein–Barr virus latent
membrane protein (LMP-1, LMP-2), dan Epstein-Barr Nuclear antigen 1
(EBNA1) memiliki peran dalam karsinogenesis pada KNF. Dipercaya
bahwa antigen nuklear Epstein Barr virus (EBV) dapat menginfeksi epitel
nasofaring dan mengakibatkan transformasi maligna. Faktor genetik,
lingkungan dan infeksi berperan penting dalam perkembangan karsinoma
nasofaring, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut.10
Infeksi EBV primer biasanya terjadi pada masa anak-anak awal
yang bersifat asimptomatik dan dapat menyebabkan virus persisten dalam
jangka waktu lama. EBV memiliki ikatan kuat dengan limfosit manusia
dan pada epitelium saluran pernapasan atas. EBV pada awalnya akan
menginfeksi limfosit B yang tidak aktif dan menyebabkan infeksi laten.
EBV kemudian berproliferasi dan bertumbuh pada sel B tersebut. Secara
in vitro, EBV akan tinggal di limfosit B dan melakukan transformasi
sehingga membentuk sel limfoblastoid, suatu proses terjadinya
transformasi ke arah kanker.10,11
Terdapat beberapa perbedaan KNF pada anak dengan orang
dewasa, walaupun tata laksana tidak berbeda. Pada orang dewasa,
gambaran histopatologi lebih sering adalah tipe I, dan dikaitkan dengan
pajanan terhadap tembakau/rokok dan faktor lingkungan yang lain. Pada
anak lebih sering ditemukan gambaran histopatologi tipe III, berhubungan
dengan infeksi Epstein-Barr virus, dan predisposisi genetik.10,11,12
2.6.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menemukan keluhan benjolan
pada area hidung dan leher pasien, serta adanya gejala-gejala
karsinoma nasofaring. Benjolan di leher merupakan penyebaran
terdekat secara limfogenik dari KNF, dapat secara unilateral
maupun bilateral. Pada karsinoma nasofaring, benjolan yang
terletak di ujung prosesus mastoideus, belakang angulus
mandibular, dan pada muskulus sternokleidomastoideus akan
didapatkan massa tumor keras, tidak nyeri dan tidak mudah
digerakkan.8,14
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4
kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala
mata dan saraf, serta metastatis atau gejala di leher. Gejala
nasofaring dapat berupa perdarahan hidung (epistaksis) ringan atau
sumbatan hidung, sehingga nasofaring harus diperiksa dengan
cermat, Karena seringkali gejala belum ada namun tumor sudah
tumbuh atau tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).8
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul
karena tempat asal tumor yang dekat dengan muara tuba eustachius
(fossa Rosenmuller). Gangguan yang dikeluhkan dapat berupa
telinga berdenging, gangguan pendengaran, rasa tidak nyaman
sampai nyeri di telinga (otalgia).8
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak,
gangguan beberapa saraf otak dapat terjai sebagai gejala lanjut
karsinoma nasofaring. Pasien dapat mengeluhkan penglihatan
ganda (diplopia), kelumpuhan mata, sampai neuralgia trigeminal.13
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai N.IX, N.X,
N.XI, dan N.XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gejala
yang muncul berupa hilangnya refleks muntah, disfagi, parese
lidah, dan deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni,
afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring, biasa
disebut Sindrom Jugular Jackson. Bila sudah mengenai seluruh
saraf otak disebut sindrom unilateral.13,14
Metastatis ke kelenjar leher dapat menimbulkan keluhan
benjolah di leher yang mendorong pasien untuk berobat. Karena
sebelumnya bisa jadi tidak terdapat keluhan lain. Tumor leher
merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral.8,13,14
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendeteksi karsinoma
nasofaring berupa pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
Pada pemeriksaan leher dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening (KGB) yang tegas dan tidak nyeri (ditemukan
pada 80% pasien). KNF jarang sekali terdeteksi pada stadium dini
(sebelum terjadi penyebaran ke kelenjar limfe regional). Pembagian
level KGB di leher adalah sebagai berikut:8,9,13
● Level I : nodus submental dan submandibular
● Level II : nodus juguler atas
● Level III : nodus juguler tengah
● Level IV : nodus juguler bawah
● Level V : kelompok segitiga posterior
● Level VI : kelompok segitiga anterior
● Level VII : kelompok mediastinal atas
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer,
invasi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh.
Pemeriksaan yang diperlukan antara lain.13,15
- CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi
sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial,
dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras
dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna
untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.
Makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat,
menetapkan zona target terapi secara tepat, merancang medan
radiasi, serta memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi, dan
pemeriksaan tindak lanjut.13
A B
Gambar 3. (A) CT-Scan Nasofaring, (B) MRI Ca Nasofaring
- USG Abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila
dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan
dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.13
- Foto (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters) dilakukan untuk
memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta
adanya metastasis jauh.13
- MRI
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang sagital koronal, sehingga
lebih baik dari CT Scan. MRI selain dengan jelas memperlihatkan
lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih
dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. MRI juga lebih bermanfaat
dalam membedakan antara pasca fibrosis, pasca radioterapi, dan
rekurensi tumor.13
- Bone scan dilakukan jika ada kecurigaan metastasis ke tulang,
diikuti foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai saat
scintigraphy.15
- Foto thoraks dilakukan jika pasien telah didiagnosa kanker
nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin dilakukan untuk
menilai penyebaran kanker ke paru dengan melihat adanya nodul
di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan
dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.15
c. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi atau patologi anatomi dari biopsi nasofaring yang
dapat melalui hidung atau mulut. Biopsi dari hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan
biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang
berada di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di
sebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.8
Pemeriksaan histopatologi dengan melihat struktur
histologis, maka karsinoma nasofaring dibagi beberapa jenis sesuai
dengan pembagian WHO8, yaitu:
Karsinoma sel sel skuamosa berkeratin (WHO 1)
Karsinoma non keratin
- Berdiferensiasi (WHO 2)
- Tidak berdiferensiasi (WHO 3)
Karsinoma basaloid skuamosa
Jenis ‘undifferentiated’ dan tanpa keratinisasi mempunyai
sifat yang serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai
titer antibodi terhadap virus Epstein–Barr, sedangkan jenis
keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan
hubungan yang berarti dengan virus tersebut.14
d. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah
satu cara untuk deteksi dini kanker nasofaring. Dengan masuknya
virus ke dalam sel manusia, badan akan membentuk suatu reaksi
imunologi atau kekebalan tubuh terhadap antigen-antigen yang ada
di dalam virus.16
- Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen
(VCA). Sampai saat ini, pemeriksaan titer Ig A-VCA
dianggap yang paling spesifik dan sensitif untuk diagnosa
dini kanker nasofaring.
- Ig G terhadapFarly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker
nasofaring, uji ini kurang sensitif jika dibandingkan dengan
Ig A-VCA.
- Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC).
Pemeriksaan ADCC dapat menentukan perjalanan penyakit
serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titer pada waktu
diagnosis
e. Pemeriksaan neurooftalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor
ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan/infiltrasi ke
saraf otak. Manifestasinya tergantung dari saraf yang terkena.8,9
Pengelompokan Stadium
Stadium T N M
Stadium 0 T in situ N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T0 N1 M0
T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
Stadium III T0-T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0-N2 M0
Stadium IVA T4 N0-N2 M0
T1-T4 N3 M0
Stadium IVB T1-T4 N0-N3 M1
Limfoma
Limfoma terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, dan non ulseratif.
Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat
daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius
menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.
Kordoma
Kordoma biasanya memiliki komponen intrakranial terutama
mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler, dan dapat melibatkan
jaringan retrofaringeal.
Rhabdomyosarkoma
Rhabdomyosarkoma biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi
dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan
sinus kavernosus.14,15
2.3 Tatalaksana
Terapi dapat mencakup terapi radiasi, kemoterapi, kombinasi
keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.12
Tabel 1. Pedoman modalitas terapi karsinoma nasofaring12,16
Pedoman Modalitas Terapi pada KNF
Stadium dini Stadium I Radiasi saja Rekomendasi
(T1N0M II, A
0)
Stadium intermediet Stadium II Kemoradiasi I, B
(T1-2, N1-2, M0) konkuren
Stadium lokal lanjut Stadium III, IVA, Kemoradiasi I, A
IVB konkuren
(T3-4, N0-3, M0) +/-
kemoterapi
adjuvan
Perencanaan terapi Stadium IVA, Kemoterapi induksi, II, B
radiasi IVB (T4 diikuti
problematik atau N3) dengan
(tumor yang kemoradias
berbatasan i konkuren
dengan
organ at risk,
mis: kiasma
optikum)
2.9.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama pada
penatalaksanaan KNF yang masih terbatas lokoregional, karena
tumor ini bersifat radiosensitif. Kemajuan yang sangat penting
pada radioterpi adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation
Therapy).17 Pemberian radioterapi dalam bentuk IMRT lebih
terpilih dibandingkan dengan 3D-CRT.12 Teknologi ini
memungkinkan pemberian dosis radiasi konformal terhadap target
melalui optimalisasi intensitas beberrapa beam. Kelebihan dari
IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan
radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan (irregular).
Ini sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur
vital seperti batang otak dan medula spinalis. Teknik ini sudah
dilaporkan dapat meningkatkan kontrol tumor dan juga
menurunkan risiko komplikasi.17 Radioterapi dalam tatalaksana
kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif
dan paliatif.2
c. Radiasi paliatif12,2
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada
kasus stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat
dipertimbangkan lagi.
Pada stadium lanjut (M1), radioterapi lokoregional dapat diberikan dengan
setting kuratif pada pasien dengan metastasis pada daerah terbatas atau
dengan beban tumor yang rendah, atau pada pasien dengan gejala pada
daerah lokal primer dan KGB, dengan tujuan mengurangi gejala selama
toksisitas radiasi masih dapat ditoleransi. Pada stadium lanjut ini,
radioterapi dapat diberikan pasca pemberian kemoterapi berbasis platinum
atau konkuren dengan kemoterapi (kemoradiasi) (NCCN Kategori 2A).
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa
nyeri.Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tatalaksana
metastases tulang merupakan salah satu modalitas terapi selain imobilisasi
dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat, terapi hormonal, terapi
target Cetuximab dan Nimotuzumab, terapi radionuklir dan kemoterapi.
Radioterapi pada metastases tulang dapat diberikan atas indikasi:
● Nyeri.
● Ancaman fraktur kompresi yang sudah distabilisasi.
● Menghambat kekambuhan pasca operasi reseksi.
Target radiasi12,2
Target radiasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu, radioterapi konvensional
2 dimensi yang menggunakan penanda tulang (bony landmark) dan
radioterapi konformal 3 dimensi yang menggunakan terminologi
International Commission on Radiation Units and Measurements - 50
(ICRU-50); yaitu gross tumor volume (GTV), clinical target volume
(CTV) dan planning target volume (PTV).
Radioterapi konvesional mendefinisikan target radiasi dari lesi yang
menyerap radiofarmaka disertai nyeri kemudian memberikan jarak 1 ruas
vertebrae ke atas dan ke bawah. Untuk batas lateral, diberikan jarak 0.5 cm
dari pedikel vertebrae.
Radioterapi 3D-CRT pada metastasis tulang meliputi:
GTV: Lesi osteolitik atau osteoblastik dan juga massa jaringan lunak.
CTV: Korpus, pedikel, lamina dari vertebrae yang terlibat, disertai
jaringan lunak yang terlibat dan diberi jarak 0.5 cm, tanpa memasukkan
usus dan lemak.
PTV: 0.5-1 cm tergantung metode imobilisasi dan verifikasi posisi yang
digunakan.
Yang perlu diperhatikan dalam radioterapi paliatif pada vertebrae
adalah batasan dosis untuk medulla spinalis dan organ sekitar.Organ
sekitar yang perlu diperhatikan adalah ginjal, terutama bila diberikan
pengaturan berkas sinar yang kompleks.
2.4 Edukasi
Topik Edukasi Kepada Pasien12,2
Kondisi Informasi dan Anjuran Saat Edukasi
1. Radioterapi Efek samping radiasi akut yang dapat muncul
(xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering,
dsb)
Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut
dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi
2. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul
(mual, muntah, dsb)
3. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian
nutrisi sesuai dengan kebutuhan
4. Metastasis pada Tulang Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada
pasien yang berisiko diedukasi untuk berhatihati
saat aktivitas atau mobilisasi.
Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal
dan/atau dengan alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap
5. Lainnya. Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan
Anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat
Follow Up12,2
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik:
Tahun 1: setiap 1-3 bulan
Tahun 2: setiap 2-6 bulan
Tahun 3-5: setiap 4-8 bulan
> 5 tahun: setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca
terapi:
a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis
tulang.
Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up
dengan CT Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon
kemoterapi terhadap tumor.
2.5 Prognosis
Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok
yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang
dapat memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini.
Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler. klinik
(pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji meta
analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi yang telah
ada.12,18
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut American Cancer Society 2019, kesintasan relatif 5-
tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara berturutan sebesar
72%, 64%, 62%, dan 38%.12,18
Tabel 2. Five years survival rate karsinoma nasofaring12,18
Stadium T N M 5 years survival rate
Stadium I 1 0 0 72%
Stadium II 2 0 0 64%
Stadium III 3 0 0 62%
1,2,3 1 0
Stadium IV 4 0,1 0 38%
Tiap T 2,3 0
Tiap T Tiap N 1
BAB III
LAPORAN KASUS
Kesan :
a. Cor tak membesar
b. Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan pada
pulmo dan tulang yang tervisualisasi.
MSCT Nasofaring dengan Kontras
Pemeriksaan Radiologi pada tanggal 16 Januari 2021
Kesan :
a. Enhancing mass pada mucosal nasopharyngeal space kanan
b. Multiple limfadenopati yang berkonglomerasi dengan area
nekrotik di dalamnya pada regio colli kiri level 2,3,5
(ukuran terbesar ± 3.6 x 1.6 cm, level 3)
c. Limfadenopati pada regio colli kanan level 3 (ukuran ± 1.5
x 0.8 cm)
Massa nasofaring T1N2Mx
3) CT-Simulator