Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS BESAR RADIOTERAPI

SEORANG PEREMPUAN USIA 52


TAHUN DENGAN KARSINOMA
NASOFARING
Diajukan guna melengkapi tugas
Kepaniteraan Senior Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Ahmad Wasil 22010119220090
Athasalma Monica 22010119220169
Maharani Rizka Pritadesya 22010120210183
Riznadia Ramadhani 22010119220180
Irfan Kesumayadi
Hanifah Alipasha Mursalin

Penguji:

dr. SR. Subandini, Sp. Rad(K), Onk.Rad

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
TAHUN 2021

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu jenis kanker kepala
dan leher yang paling agresif dan sering bermetastasis pada kelenjar limfe
yang jauh dan pada organ lain. Kanker ini berasal dari sel skuamosa pada
epitel permukaan nasofaring bagian superior, terutama pada fossa
Rossenmuller yang mana merupakan daerah transisional, tempat
perubahan epitel kolumner menjadi epitel skuamosa. Karakteristik
pembeda dengan kanker kepala dan leher yang lainnya adalah etiologi
terbanyak berupa infeksi laten dari virus Epstein-Barr (EBV) dan infiltrasi
limfosit masif.1,2
Insidensi kasus KNF di Amerika Serikat kurang dari 1 kasus per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Namun, di beberapa Negara di Asia
(terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker
nasofaring banyak ditemukan. Di Indonesia sendiri, kanker nasofaring
merupakan keganasan tersering ke-4, setelah kanker leher rahim, kanker
payudara, dan paru. Prevalensi KNF di Indonesia mencapai 6,2 per
100.000 penduduk per tahun, dengan hampir sekitar 13.000 kasus baru.2,3
Penyebab karsinoma nasofaring secara umum dapat dibagi menjadi
genetik, lingkungan dan virus EBV. Faktor risiko kanker ini adalah jenis
kelamin pria (perbandingan dua hingga tiga kali lipat), umur produktif 30-
50 tahun, virus Epstein-Barr, dan riwayat keluarga. Kanker ini lebih
banyak menyerang pria berkaitan dengan meningkatnya usia harapan
hidup dan perubahan pola hidup masyrakat seperti kebiasaan merokok dan
minum alcohol. Gejala yang terjadi pada kanker di lokasi ini adalah pilek
dari satu atau kedua hidung yang terjadi terus-menerus, hidung tersumbat,
epistaksis ringan, tinnitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia, dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).4,5,6
Pemeriksaan fisik dapat meliputi pemeriksaan status generalis dan
status lokalis, pemeriksaan nasofaring berupa rinoskopi posterior dengan
nasofaringoskop rigid/fiber, laringoskopi, dan nasoendoskopi. Adapun
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serologi, pemeriksaan
histopatologi (biopsy), dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologi
pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang
penting, terutama untuk menentukan lokasi tumor, mencari penyebaran
tumor, dan menentukan ukuran tumor. Pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan berupa foto polos posisi Waters, lateral, dan anteroposterior
(AP), CT Scan dan MRI, serta Bone Scan untuk melihat metastasis tulang.7
Tatalaksana pengobatan kanker nasofaring memerlukan integrasi
dari spesialis THT, onkologi radiasi, dan onkologi medik. Penetalaksanaan
radioterapi merupakan gold standard untuk KNF. Selain itu terdapat pula
kemoterapi sebagai terapi adjuvant dan penatalaksanaan nutrisi serta
rehabilitasi medik.8
Kemajuan teknologi di bidang kesehatan saat ini memberikan
banyak kemudahan bagi para dokter untuk mendeteksi dan mendiagnosis
penyakit serta menentukan jenis pengobatan bagi pasien. Pengembangan
alat diagnostik pada bidang radiologi seperti CT Scan maupun MRI sangat
membantu dokter dalam mendeteksi dini, menentukan lokasi serta
metastasis dari KNF. Selain itu berkembangnya radioterapi menjadi baku
emas dalam penanganan KNF. Dokter umum diharapkan dapat melakukan
deteksi dini dan memberi rujukan pada kasus KNF (kompetensi 2, SKDI
2012).

1.2 Tujuan
Pembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari lebih
dalam mengenai karsinoma nasofaring, anatomi nasofaring, epidemiologi,
etiologi, faktor risiko, patogenesis, penegakkan diagnosis, khususnya
mengetahui gambaran radiologis dan radioterapi karsinoma nasofaring.

1.3 Manfaat
Pembuatan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari lebih dalam mengenai
karsinoma nasofaring, anatomi nasofaring, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, penegakkan diagnosis, khususnya mengetahui
gambaran radiologis dan radioterapi karsinoma nasofaring.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas sel skuamosa yang
berasal dari epitel permukaan nasofaring dengan area predileksi tersering
pada fossa rosenmulleri. Karsinoma nasofaring biasanya berkembang di
sekitar ostium tuba Eustachius di dinding lateral nasofaring.1 Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa.2 Fosa rosenmulleri
merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah
gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas
nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae),
dan di sekitar tuba.1

2.2 Anatomi
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, diatas palatum molle
dan di bawah dasar cranium. Nasofaring merupakan rongga berbentuk
kuboid tidak rata. Batas anterior nasofaring adalah daerah sempit yang
merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum
molle. Bagian superior dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai, dibatasi oleh basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal I
dan II. Dinding lateral nasofaring merupakan fasia faringobasiler dan
muskulus konstriktor faring superior. Pada kedua dinding lateral nasofaring
terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian
superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba Eustachius membelah
dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di
fasia faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior
muskulus konstriktor faring superior yang disebut fossa Rosenmuller. Fossa
Rosenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring yang
merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF. Fossa Rosenmuller
mempunyai hubungan anatomi dengan struktur-struktur penting di
sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Letak
fossa Rosenmuller dan sifat KNF yang invasif menyebabkan mudahnya
terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya sehingga timbul berbagai
macam gambaran klinis.3,4
Gambar 1. Anatomi Nasofaring5

Pembuluh darah arteri utama yang menyuplai nasofaring adalah arteri


faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut
berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah
vena berada dibawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus
pterigoid di daerahsuperior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di
bawahnya.
Nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media, yang terdiri dari serabut sensoris nasofaring
memiliki pleksus submukosa limfatik yang luas. Terdapat kelompok nodul
pada daerah retrofaringeal, yang terdapat diantara dinding
posteriornasofaring, fasia faringobasiler, dan fasia prevertebra. Daerah yang
paling banyak terdapat pembuluh limfatik adalah daerah tuba Eustachius.
Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar
retrofaringeal atau kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal danjugularis interna. Beberapa kelenjar dari rantai
jugular letaknya sangat dekat dengan nervus kranialis yakni nervus IX, X,
XI, dan XII. Metastasis ke kelenjar limfatik ini terjadi pada hingga 75%
pasien KNF. Nasofaring dilapisi epitel kolumnar berlapis semu saat lahir
dan setelah 10 tahun pertama kehidupan epitel ini berubah secara bertahap
menjadi predominan epitel skuamosa berlapis yang tidak berkeratinisasi
kecuali pada beberapa tempat. Permukaan nasofaring tidak rata, berbentuk
seperti lipatan atau kripta karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfoid. Dinding lateral dan depan nasofaring dilapisi epitel transisional
yang merupakan peralihan antara epitel skuamosa berlapis dan epitel
kolumnar bersilia yang berlapis. Dari sudut embriologi, tempat peralihan
dari dua macam epitel cenderung merupakan area munculnya suatu
karsinoma.2

2.3 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang memiliki
karakteristik insiden yang bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi.
Pada tahun 2002, ditemukan sekitar 80.000 insiden kanker nasofaring di
seluruh dunia, dan diperkirakan menyebabkan kematian pada 50.000
penderita.1 Berdasarkan GLOBOCAN 2020, didapatkan 133.354 kasus baru
muncul setiap tahunnya dengan 96.371 kasus baru terjadi pada laki-lalki dan
36.983 kasus baru pada perempuan.6
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis
keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker
terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan
kanker paru. Dari seluruh kanker kepala dan leher, kanker nasofaring
menunjukkan entitas yang berbeda secara epidemiologi, manifestasi klinis,
marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik. Prevalensi kanker
nasofaring di Indonesia adalah 6.2/100.000, dengan hampir sekitar 13.000
kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan.
Marlinda dkk., melaporkan kanker nasofaring adalah kanker kepala leher
tersering (28.4%), dengan rasio pria-wanita adalah 2:4 dan endemis di pulau
Jawa.7

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial dan hampir
dapat dipastikan adalah karena virus Epstein-Barr. Karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr (EB) yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher
dan kepala lainnya dan tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan
nasofaring yang lain sekalipun.1,8 Selain itu ada faktor lingkungan seperti
zat karsinogenik, merokok, faktor makanan yang mengandung nitrosamine
dan atanya faktor genetik.9
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma
nasofaring, sehingga penduduk Asia termasuk Indonesia cukup berisiko
terkena karsinoma nasofaring.8 Faktor lingkungan yang berpengaruh
adalah iritasi bahan kimia, asap pembakara jenis kayu tertentu yang tidak
sempurna sehingga menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer)
yang dalam segi kesehatan dapat tersangkut di hidung dan nasofaring,
kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit
hidung, maka partikel ini akan menetap lebih lama di daerah nasofaring
dan dapat merangsang tumbuhnya tumor.7
Dugaan lain menyebutkan karsinoma nasofaring juga dapat
disebabkan oleh paparan terdahap beberapa zat kimia atau bahan industri
seperti nikel, debu kayu, penyamakan kulit, formaldehid, kromium, dan
minyak isopropyl. Faktor risiko pekerjaan utama yang telah diidentifikasi
karsinoma nasofaring adalah paparan debu kayu, yang dapat terjadi di
pekerjaan termasuk pekerja kehutanan dan penggergajian, furniture
pembuat dan tukang kayu, dan pekerja di bagian pulp dan kertas industri.
Beberapa penelitian menunjukan insiden karsinoma nasofaring yang lebih
tinggi pada perokok. Konsumsi alkohol dan makanan yang diasinkan atau
diasap juga diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma
nasofaring.7,12

2.5 Patofisiologi
Mekanisme pasti patogenesis karsinoma nasofaring masih belum
diketahui, namun diketahui bahwa onkogen viral Epstein–Barr virus latent
membrane protein (LMP-1, LMP-2), dan Epstein-Barr Nuclear antigen 1
(EBNA1) memiliki peran dalam karsinogenesis pada KNF. Dipercaya
bahwa antigen nuklear Epstein Barr virus (EBV) dapat menginfeksi epitel
nasofaring dan mengakibatkan transformasi maligna. Faktor genetik,
lingkungan dan infeksi berperan penting dalam perkembangan karsinoma
nasofaring, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut.10
Infeksi EBV primer biasanya terjadi pada masa anak-anak awal
yang bersifat asimptomatik dan dapat menyebabkan virus persisten dalam
jangka waktu lama. EBV memiliki ikatan kuat dengan limfosit manusia
dan pada epitelium saluran pernapasan atas. EBV pada awalnya akan
menginfeksi limfosit B yang tidak aktif dan menyebabkan infeksi laten.
EBV kemudian berproliferasi dan bertumbuh pada sel B tersebut. Secara
in vitro, EBV akan tinggal di limfosit B dan melakukan transformasi
sehingga membentuk sel limfoblastoid, suatu proses terjadinya
transformasi ke arah kanker.10,11
Terdapat beberapa perbedaan KNF pada anak dengan orang
dewasa, walaupun tata laksana tidak berbeda. Pada orang dewasa,
gambaran histopatologi lebih sering adalah tipe I, dan dikaitkan dengan
pajanan terhadap tembakau/rokok dan faktor lingkungan yang lain. Pada
anak lebih sering ditemukan gambaran histopatologi tipe III, berhubungan
dengan infeksi Epstein-Barr virus, dan predisposisi genetik.10,11,12

2.6 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis KNF dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.

2.6.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menemukan keluhan benjolan
pada area hidung dan leher pasien, serta adanya gejala-gejala
karsinoma nasofaring. Benjolan di leher merupakan penyebaran
terdekat secara limfogenik dari KNF, dapat secara unilateral
maupun bilateral. Pada karsinoma nasofaring, benjolan yang
terletak di ujung prosesus mastoideus, belakang angulus
mandibular, dan pada muskulus sternokleidomastoideus akan
didapatkan massa tumor keras, tidak nyeri dan tidak mudah
digerakkan.8,14
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4
kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala
mata dan saraf, serta metastatis atau gejala di leher. Gejala
nasofaring dapat berupa perdarahan hidung (epistaksis) ringan atau
sumbatan hidung, sehingga nasofaring harus diperiksa dengan
cermat, Karena seringkali gejala belum ada namun tumor sudah
tumbuh atau tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).8
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul
karena tempat asal tumor yang dekat dengan muara tuba eustachius
(fossa Rosenmuller). Gangguan yang dikeluhkan dapat berupa
telinga berdenging, gangguan pendengaran, rasa tidak nyaman
sampai nyeri di telinga (otalgia).8
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak,
gangguan beberapa saraf otak dapat terjai sebagai gejala lanjut
karsinoma nasofaring. Pasien dapat mengeluhkan penglihatan
ganda (diplopia), kelumpuhan mata, sampai neuralgia trigeminal.13
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai N.IX, N.X,
N.XI, dan N.XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gejala
yang muncul berupa hilangnya refleks muntah, disfagi, parese
lidah, dan deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni,
afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring, biasa
disebut Sindrom Jugular Jackson. Bila sudah mengenai seluruh
saraf otak disebut sindrom unilateral.13,14
Metastatis ke kelenjar leher dapat menimbulkan keluhan
benjolah di leher yang mendorong pasien untuk berobat. Karena
sebelumnya bisa jadi tidak terdapat keluhan lain. Tumor leher
merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral.8,13,14
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendeteksi karsinoma
nasofaring berupa pemeriksaan status generalis dan status lokalis. 
Pada pemeriksaan leher dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening (KGB) yang tegas dan tidak nyeri (ditemukan
pada 80% pasien). KNF jarang sekali terdeteksi pada stadium dini
(sebelum terjadi penyebaran ke kelenjar limfe regional). Pembagian
level KGB di leher adalah sebagai berikut:8,9,13
● Level I : nodus submental dan submandibular
● Level II : nodus juguler atas
● Level III : nodus juguler tengah
● Level IV : nodus juguler bawah
● Level V : kelompok segitiga posterior
● Level VI : kelompok segitiga anterior
● Level VII : kelompok mediastinal atas

Gambar 2. Pembagian Level KGB di Leher9

Pada pemeriksaan nasofaring dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi


posterior, nasofaringoskop, dan laringoskopi untuk melihat adanya masa di
nasofaring.13

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan KNF,
panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan
dugaan residu dan residif.11

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer,
invasi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh.
Pemeriksaan yang diperlukan antara lain.13,15
- CT Scan 
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi
sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial,
dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras
dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna
untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.
Makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat,
menetapkan zona target terapi secara tepat, merancang medan
radiasi, serta memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi, dan
pemeriksaan tindak lanjut.13

A B
Gambar 3. (A) CT-Scan Nasofaring, (B) MRI Ca Nasofaring

- USG Abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila
dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan
dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.13
- Foto (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters) dilakukan untuk
memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta
adanya metastasis jauh.13
- MRI 
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang sagital koronal, sehingga
lebih baik dari CT Scan. MRI selain dengan jelas memperlihatkan
lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih
dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. MRI juga lebih bermanfaat
dalam membedakan antara pasca fibrosis, pasca radioterapi, dan
rekurensi tumor.13
- Bone scan dilakukan jika ada kecurigaan metastasis ke tulang,
diikuti foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai saat
scintigraphy.15
- Foto thoraks dilakukan jika pasien telah didiagnosa kanker
nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin dilakukan untuk
menilai penyebaran kanker ke paru dengan melihat adanya nodul
di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan
dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.15

c. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi atau patologi anatomi dari  biopsi nasofaring yang
dapat melalui hidung atau mulut. Biopsi dari hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan
biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang
berada di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di
sebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.8
Pemeriksaan histopatologi dengan melihat struktur
histologis, maka karsinoma nasofaring dibagi beberapa jenis sesuai
dengan pembagian WHO8, yaitu:
 Karsinoma sel sel skuamosa berkeratin (WHO 1)
 Karsinoma non keratin
- Berdiferensiasi (WHO 2)
- Tidak berdiferensiasi (WHO 3)
 Karsinoma basaloid skuamosa
Jenis ‘undifferentiated’ dan tanpa keratinisasi mempunyai
sifat yang serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai
titer antibodi terhadap virus Epstein–Barr, sedangkan jenis
keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan
hubungan yang berarti dengan virus tersebut.14

d. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah
satu cara untuk deteksi dini kanker nasofaring. Dengan masuknya
virus ke dalam sel manusia, badan akan membentuk suatu reaksi
imunologi atau kekebalan tubuh terhadap antigen-antigen yang ada
di dalam virus.16
- Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen
(VCA). Sampai saat ini, pemeriksaan titer Ig A-VCA
dianggap yang paling spesifik dan sensitif untuk diagnosa
dini kanker nasofaring. 
- Ig G terhadapFarly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker
nasofaring, uji ini kurang sensitif jika dibandingkan dengan
Ig A-VCA. 
- Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC).
Pemeriksaan ADCC dapat menentukan perjalanan penyakit
serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titer pada waktu
diagnosis

e. Pemeriksaan neurooftalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor
ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan/infiltrasi ke
saraf otak. Manifestasinya tergantung dari saraf yang terkena.8,9

2.1 Stadium Klinik


Klasifikasi berdasarkan klasifikasi (TNM (AJCC, 8 th ed, 2016). Dapat
ditentukan dengan menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening
yang terlibat, dan metastasis ke organ lain.

Tumor Primer (T)


Tumor primer tidak dapat dinilai
Tumor tidak teridentifikasi, namun status EBV positif pada metastasis KGB
leher
Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
Tumor dengan perluasan ke spatium parafaring, dan/atau keterlibatan
jaringan lunak sekitarnya (otot pterygoid medial, pterygoid lateral,
prevertebral)
Tumor dengan infiltrasi struktur tulang basis cranii, vertebra cervicalis,
struktur pterygoid, dan/atau sinus paranasal
Tumor dengan ekstensi intracranial, keterlibatan nervus cranialis,
hipofaring, orbita, kelenjar parotis, dan / atau infiltrasi jaringan
lunak ekstensif melampaui batas lateral otot pterygoid lateral

KGB Ragional (N)


KGB regional tidak dapat dinilai
Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
Metastasis pada KGB leher unilateral dan/atau metastasis pada KGB
retrofaring uni/bilateral, ukuran <6 cm pada dimensi terbesar, di
atas batas caudal cartilage cricoidea
Metastasis pada KGB leher bilateral berukuran <6 cm pada dimensti
terbesar, di atas batas bawah cartilage cricoidea
Metastasis KGB leher uni/bilateral, > 6cm pada dimensi terbesar, dan/atau
ekstensi di bawah batas caudal cartilage cricoidea

Metastasis Jauh (M)


Metastasis jauh tidak dapat dinilai
Tidak terdapat metastasis jauh
Terdapat metastasis jauh

Pengelompokan Stadium
Stadium T N M
Stadium 0 T in situ N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T0 N1 M0

T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
Stadium III T0-T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0-N2 M0
Stadium IVA T4 N0-N2 M0

T1-T4 N3 M0
Stadium IVB T1-T4 N0-N3 M1

2.2 Diagnosis Banding


 Angifibroma Juvenile
Angiofibroma juvenile merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam
jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan
radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa
jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang
lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.

 Limfoma
Limfoma terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, dan non ulseratif.
Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat
daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius
menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.
 Kordoma
Kordoma biasanya memiliki komponen intrakranial terutama
mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler, dan dapat melibatkan
jaringan retrofaringeal.
 Rhabdomyosarkoma
Rhabdomyosarkoma biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi
dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan
sinus kavernosus.14,15
2.3 Tatalaksana
Terapi dapat mencakup terapi radiasi, kemoterapi, kombinasi
keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.12
Tabel 1. Pedoman modalitas terapi karsinoma nasofaring12,16
Pedoman Modalitas Terapi pada KNF
Stadium dini Stadium I Radiasi saja Rekomendasi
(T1N0M II, A
0)
Stadium intermediet Stadium II Kemoradiasi I, B
(T1-2, N1-2, M0) konkuren
Stadium lokal lanjut Stadium III, IVA, Kemoradiasi I, A
IVB konkuren
(T3-4, N0-3, M0) +/-
kemoterapi
adjuvan
Perencanaan terapi Stadium IVA, Kemoterapi induksi, II, B
radiasi IVB (T4 diikuti
problematik atau N3) dengan
(tumor yang kemoradias
berbatasan i konkuren
dengan
organ at risk,
mis: kiasma
optikum)

2.9.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama pada
penatalaksanaan KNF yang masih terbatas lokoregional, karena
tumor ini bersifat radiosensitif. Kemajuan yang sangat penting
pada radioterpi adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation
Therapy).17 Pemberian radioterapi dalam bentuk IMRT lebih
terpilih dibandingkan dengan 3D-CRT.12 Teknologi ini
memungkinkan pemberian dosis radiasi konformal terhadap target
melalui optimalisasi intensitas beberrapa beam. Kelebihan dari
IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan
radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan (irregular).
Ini sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur
vital seperti batang otak dan medula spinalis. Teknik ini sudah
dilaporkan dapat meningkatkan kontrol tumor dan juga
menurunkan risiko komplikasi.17 Radioterapi dalam tatalaksana
kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif
dan paliatif.2

2.9.2 Obat-obatan simtomatik


1) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk
mengunyah dan menelan dapat diberikan obat kumur yang
mengandung antiseptik dan astringent, diberikan 3-4 sehari.
2) Tanda-tanda moniliasis dapat diberikan antimikotik.
3) Nyeri menelan dapat diberikan anestesi lokal.
4) Nausea, anoreksia dapat diberikan terapi simptomatik
2.9.3 Kemoterapi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada
KNF lokoregional yang advanced. Sebagian besar penelitian
kemoterapi pada KNF menggunakan Cisplatin-based. Berdasarkan
waktu pemberian kemoterapi terhadap radioterapi dibedakan
menjadi Induction/Neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama
radiasi) dan adjuvan (setelah radioterapi).17
Kombinasi kemoradiasi terutama diberikan pada pasien
dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m 2 sebanyak 6 kali,
setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi.
Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6
cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan
dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.12,2
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan
kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu
Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-
FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,
setiap seminggu sekali.12,2
2.9.4 Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami
malnutrisi (35%) dan malnutrisi berat (6,7%). Prevalensi kaheksia
pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat mencapai 67%.
Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi,
kualitas hidup, dan kesintasan pasien.Pasien KNF juga sering
mengalami efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia,
mual, muntah, diare, dan lain-lain. Berbagai kondisi tersebut dapat
meningkatkan stres metabolisme, sehingga pasien perlu
mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal.12,2

Rekomendasi tingkat A12,2


 Penyintas kanker sebaiknya memiliki berat badan ideal dan menerapkan pola
makan yang sehat, tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta rendah lemak, daging
merah, dan alkohol.
 Direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisik
pada pasien kanker selama dan setelah pengobatan untuk membantu
pembentukan massa otot, fungsi fisik dan metabolisme tubuh.
 Direkomendasikan bagi para penyintas kanker untuk terus melakukan aktivitas
fisik sesuai kemampuan secara teratur dan menghindari sedentary.

2.9.5 Rehabilitasi Medik pada Pasien KNF


Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan
pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-
hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman
dan efektif, sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi
medik dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan
definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tingkat
tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan
penanganan rehabilitasi kanker: preventif, restorasi, suportif atau
paliatif.12,2
Berikut merupakan algoritma penatalaksanaan karsinoma
nasofaring menurut PPK Karsinoma Nasofaring12,2:

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring

Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring


a. Radiasi Eksterna
1) Radiasi konvensional 2D
Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel
laterolateral dan supraklavikula. Batas-batas lapangan penyinaran
meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya/ potensi penjalaran per
kontinuitatum, serta kelenjar getah bening regional (kelenjar leher
sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan supraklavikula).
Dosis radiasi total 66-70 Gy, 2 Gy/fraksi, dengan blok medulla spinalis
setelah 40 Gy. Untuk kelenjar getah bening leher positif dilanjutkan
dengan booster elektron hingga mencapai total dosis target.12,2
2) Radiasi Konformal 3 Dimensi dan IMRT
Target radiasi
Pendefinisian target radiasi 3 dimensi harus berdasarkan
terminologi International Commission on Radiation Units and
Measurements - 50 (ICRU-50); yaitu gross tumor volume (GTV),
clinical target volume (CTV) dan planning target volume (PTV).
Proses simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan dalam posisi
supine, dengan fiksasi masker ter moplastik untuk imobilisasi
kepala dan leher, termasuk bahu. Pemberian kontras intravena
sangat membantu dalam mendelineasi GTV, terutama pada kelenjar
getah bening. Fusi dengan modalitas pencitraan lain seperti MRI
dapat dilakukan, lebih baik dengan yang ketebalan slice-nya
minimal 3 mm. Basis kranii (clivus dan nervus intrakranial) sangat
baik bila dilihat dengan MRI. Marrow infiltration paling baik
dilihat pada sekuens MRI T1- non kontras. Target volume
mencakup GTV dan CTV.12,2
Dosis radiasi
Prinsip Pemberian Radioterapi12,2
RT Definitif
PTV
● Risiko tinggi: tumor primer dan KGB terkait (mencakup infiltrasi
lokal subklinik pada lokasi primer dan level KGB yang berisiko tinggi)
o 66 Gy (2,2 Gy/fraksi) hingga 70-70,2 Gy (1,8 – 2,0Gy/fraksi);
setiap hari Senin-Jumat dalam 6-7 minggu
o 69,96 Gy (2,12 Gy/fraksi) setiap hari Senin-Jumat dalam 6-7
minggu
● Risiko rendah hingga sedang: lokasi yang dicurigai mengalami
penyebaran subklinik
o 44-50 Gy (2,0 Gy/fraksi) hingga 54-63 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi).
Kemoradiasi konkuren PTV
● Risiko tinggi: biasanya 70-70,2 Gy (1,8-2,0 Gy/fraksi); setiap hari
Senin-Jumat dalam 7 minggu
● Risiko rendah hingga sedang: 44-50 Gy (2,0 Gy/fraksi) hingga 54-
63 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi)

IMRT lebih terpilih dibandingkan dengan 3D-CRT pada KNF untuk


meminimalkan dosis pada struktur kritikal
b. Brakhiterapi12,2
● Cara brakhiterapi nasofaring adalah dengan menggunakan aplikator
Levendag dengan menggunakan sumber radiasi Ir 192 HDR.
Dilakukan tindakan anestesi lokal atau anestesi umum.
● Dengan guide NGT 100 cm dengan penampang + 2 mm dimasukkan
melalui hidung dan keluar dari mulut. Dengan guide ini dipasang
aplikator lavendag lalu difiksasi.
● Pasang aplikator kedua, pasang dummy, buat foto AP dan Lateral.
Dosis ditentukan pada daerah nasofaring, daerah organ kritis lainnya
dihitung dan diusahakan dosis jangan melebihi dosis toleransi jaringan
sehat.
Rekomendasi A12,2
Penggunaan teknik IMRT pada radiasi kanker nasofaring, bilamana
memungkinkan, lebih direkomendasikan dibanding teknik 3D-CRT ataupun
2D konvensional mengingat teknik tersebut dapat meminimalisir toksisitas
terhadap organ kritis yang terletak berdekatan.

c. Radiasi paliatif12,2
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada
kasus stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat
dipertimbangkan lagi.
Pada stadium lanjut (M1), radioterapi lokoregional dapat diberikan dengan
setting kuratif pada pasien dengan metastasis pada daerah terbatas atau
dengan beban tumor yang rendah, atau pada pasien dengan gejala pada
daerah lokal primer dan KGB, dengan tujuan mengurangi gejala selama
toksisitas radiasi masih dapat ditoleransi. Pada stadium lanjut ini,
radioterapi dapat diberikan pasca pemberian kemoterapi berbasis platinum
atau konkuren dengan kemoterapi (kemoradiasi) (NCCN Kategori 2A).
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa
nyeri.Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tatalaksana
metastases tulang merupakan salah satu modalitas terapi selain imobilisasi
dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat, terapi hormonal, terapi
target Cetuximab dan Nimotuzumab, terapi radionuklir dan kemoterapi.
Radioterapi pada metastases tulang dapat diberikan atas indikasi:
● Nyeri.
● Ancaman fraktur kompresi yang sudah distabilisasi.
● Menghambat kekambuhan pasca operasi reseksi.

Target radiasi12,2
Target radiasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu, radioterapi konvensional
2 dimensi yang menggunakan penanda tulang (bony landmark) dan
radioterapi konformal 3 dimensi yang menggunakan terminologi
International Commission on Radiation Units and Measurements - 50
(ICRU-50); yaitu gross tumor volume (GTV), clinical target volume
(CTV) dan planning target volume (PTV).
Radioterapi konvesional mendefinisikan target radiasi dari lesi yang
menyerap radiofarmaka disertai nyeri kemudian memberikan jarak 1 ruas
vertebrae ke atas dan ke bawah. Untuk batas lateral, diberikan jarak 0.5 cm
dari pedikel vertebrae.
Radioterapi 3D-CRT pada metastasis tulang meliputi:
 GTV: Lesi osteolitik atau osteoblastik dan juga massa jaringan lunak.
 CTV: Korpus, pedikel, lamina dari vertebrae yang terlibat, disertai
jaringan lunak yang terlibat dan diberi jarak 0.5 cm, tanpa memasukkan
usus dan lemak.
 PTV: 0.5-1 cm tergantung metode imobilisasi dan verifikasi posisi yang
digunakan.
Yang perlu diperhatikan dalam radioterapi paliatif pada vertebrae
adalah batasan dosis untuk medulla spinalis dan organ sekitar.Organ
sekitar yang perlu diperhatikan adalah ginjal, terutama bila diberikan
pengaturan berkas sinar yang kompleks.
2.4 Edukasi
Topik Edukasi Kepada Pasien12,2
Kondisi Informasi dan Anjuran Saat Edukasi
1. Radioterapi  Efek samping radiasi akut yang dapat muncul
(xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering,
dsb)
 Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut
dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi
2. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul
(mual, muntah, dsb)
3. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian
nutrisi sesuai dengan kebutuhan
4. Metastasis pada Tulang  Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada
pasien yang berisiko diedukasi untuk berhatihati
saat aktivitas atau mobilisasi.
 Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal
dan/atau dengan alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap
5. Lainnya.  Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan
 Anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

Follow Up12,2
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik:
 Tahun 1: setiap 1-3 bulan
 Tahun 2: setiap 2-6 bulan
 Tahun 3-5: setiap 4-8 bulan
 > 5 tahun: setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca
terapi:
a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis
tulang.
Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up
dengan CT Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon
kemoterapi terhadap tumor.

2.5 Prognosis
Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok
yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang
dapat memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini.
Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler. klinik
(pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji meta
analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi yang telah
ada.12,18
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut American Cancer Society 2019, kesintasan relatif 5-
tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara berturutan sebesar
72%, 64%, 62%, dan 38%.12,18
Tabel 2. Five years survival rate karsinoma nasofaring12,18
Stadium T N M 5 years survival rate
Stadium I 1 0 0 72%
Stadium II 2 0 0 64%
Stadium III 3 0 0 62%
1,2,3 1 0
Stadium IV 4 0,1 0 38%
Tiap T 2,3 0
Tiap T Tiap N 1

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Atmini
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 52 tahun
Tanggal lahir : 3 Desember 1968
Alamat : Kudus
No. CM : C333701
3.2 Data Dasar
A. Anamnesis
1) Keluhan Utama
Batuk satu bulan, leher kiri bengkak, nyeri kepala, telinga
gemrebeg, dan mimisan
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan leher kiri bengkak. Bengkak pada leher
semakin lama semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan nyeri
kepala dan hidung buntu. Pasien mengeluh batuk sejak satu bulan
terakhir. Pasien juga mengeluhkan mimisan dan telinga gemrebeg.
Demam dan mual muntah disangkal. Riwayat kontak dengan
penderita COVID-19 disangkal. Riwayat berpergian keluar kota
dan riwayat anggota keluarga yang pergi keluar kota disangkal.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat didiagnosis Ca Nasofaring tahun 2012
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal
5) Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Suami bekerja
sebagai guru. Pasien dan keluarga mengikuti protokol 3M
(memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Kedua
anaknya dirumah sekolah online. Setiap anggota keluarga
meminimalkan untuk keluar rumah.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada tanggal : 27 Januari 2021
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Napas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 80x/menit
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : Anemia (-/-)
Telinga : Discharge (-/-)
Hidung : Nafas cuping (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Pembesaran nnll (-/+) Level II
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Dalam batas normal
Paru-paru : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 Januari 2021
Ureum : 77 mg/dL
Kreatinin : 1,37 mg/dL
Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 22 Januari 2021
Hb : 12,4 g/dl
Ht : 35,6 %
Eritrosit : 4,44 10^6/uL
MCH : 27,9 pg
MCV : 80,2 fL
MCHC : 34,8 g/dl
Leukosit : 8.800
Trombosit : 344.000
RDW : 13,3 %
MPV : 9,6 fL
2) Pemeriksaan Radiologis
 USG Abdomen
Pemeriksaan Radiologi pada tanggal 15 Januari 2021
Kesan :
a. Tak tampak nodul pada hepar, lien, maupun limfadenopati
paraaorta yang mencurigakan suatu metastasis
b. Peningkatan ekogenisitas korteks ginjal kanan kiri
(Brenbridge 1), curiga proses kronis kedua ginjal
c. Multiple complex cyst pada pada upper dan interpole ginjal
kiri (ukuran terbesar ± 1.66 x 1.30 cm)
d. Multiple simple cyst pada upper, interpole, dan lowerpole
ginjal kiri (ukuran terbesar ± 2.92 x 3.76 cm)
 X Foto Thorax PA
Pemeriksaan Radiologi pada tanggal 15 Januari 2021

Kesan :
a. Cor tak membesar
b. Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan pada
pulmo dan tulang yang tervisualisasi.
 MSCT Nasofaring dengan Kontras
Pemeriksaan Radiologi pada tanggal 16 Januari 2021
Kesan :
a. Enhancing mass pada mucosal nasopharyngeal space kanan
b. Multiple limfadenopati yang berkonglomerasi dengan area
nekrotik di dalamnya pada regio colli kiri level 2,3,5
(ukuran terbesar ± 3.6 x 1.6 cm, level 3)
c. Limfadenopati pada regio colli kanan level 3 (ukuran ± 1.5
x 0.8 cm)
 Massa nasofaring T1N2Mx
3) CT-Simulator

4) Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pemeriksaan pada tanggal 9 Januari 2012
 Makroskopis
a. Hancuran jaringan ½ cc, putih
b. Hancuran jaringan ¼ cc, putih, agak rapuh
 Mikroskopis
a. Biopsi daerah nasofaring mengandung kelompok sel ganas
epitelial, bentuk pleiomorfik dengan inti hiperkromatik
menyebuk ke dalam stroma
b. Kelenjar linfe leher mengandung metastasis
 Kesan
Karsinoma anaplastik nasofaring (WHO 3) yang telah
metastasis ke kelenjar limfe leher
D. Diagnosis
Diagnosis : Karsinoman Nasofaring Residif
dengan riwayat ER (External Radiation) tahun 2012
E. Perencana Radiasi
Radioterapi Paliatif
F. Catatan
Lokoregional Nasofaring
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan atas nama Ny. A usia 52 tahun dirujuk ke RSDK


dengan keluhan batuk, suara serak, berat badan naik, telinga gembrebeg,
mimisan, leher kiri bengkak, nyeri kepala dan hidung buntu. Pasien ini
didiagnosis karsinoma nasofaring (KNF) reccurent diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan dari 5 kriteria
five signs karsinoma nasofaring berupa:
1) Ear sign: Keluhan telinga berdenging dan terasa penuh pada pasien. Hal
tersebut disebabkan oleh massa nasofaring yang menutup orifisium tuba
eustachius.
2) Nose sign: Keluhan hidung buntu pada pasien yang disebabkan oleh
massa nasofaring mendesak koana, sehingga dapat menimbulkan
deviasi septum nasi.
3) Orbital sign: Keluhan pandangan mata ganda pada pasien yang
disebabkan oleh infiltrasi massa ke foramen laserum sehingga
menimbulkan parese pada nervus kranialis III, IV, dan VI.
4) Head sign: Keluhan nyeri kepala pada pasien yang merupakan gejala
subjektif dari pasien, dapat terjadi karena adanya kompresi atau
infiltrasi tumor ke basis cranii.
5) Neck sign: Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher. Hal tersebut
merupakan penyebaran karsinoma nasofaring terdekat secara limfogen
yang dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
Dari 5 kriteria tersebut, hasil anamnesis pasien memenuhi 4 kriteria
berupa ear sign (telinge kembrebeg), nose sign (hidung buntu, mimisan),
head sign (nyeri kepala), dan neck sign (leher kiri bengkak). Pemeriksaan
fisik pada pasien menunjukkan bahwa pasien memiliki kesadaran
composmentis dan TTV dalam batas normal. Pemeriksaan status generalis
head to toe yang dilakukan pada tanggal 27 Januari 2021 didapatkan
pembesaran getah bening level II pada leher.
Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan untuk memantau fungsi
hati, fungsi ginjal, dan sum-sum tulang belakang. Dari hasil pemeriksaan
ditemukan bahwa pasien mengalami peningkatan ureum creatinine.
Diagnosis metastasis pada kasus ini dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan X-Foto Thorax dan USG abdomen. Pada pemeriksaan X-Foto
thorax didapatkan kesan jantung tidak membesar, pulmo tidak tampak
infiltrat maupun nodul, dan menunjukkan tidak ada metastasis maupun
kelainan lain pada pulmo dan tulang yang tervisualisasi.
Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan kesan tak tampak
nodul pada hepar dan lien maupun limfadenopati paraaorta yang
mencurigakan suatu metastasis. Dengan demikian, pasien ini tidak
ditemukan adanya metastasis ke hepar,lien serta limfadenopati paraaorta.
Terdapat multiple complex cyst pada upper dan interpole ginjal kiri (ukuran
terbesar ± 1.66 x 1.30 cm) serta multiple simple cyst pada upper, interpole
dan lowerpole (ukuran terbesar ± 2.92 x 3.76 cm) yang menandakan suatu
proses kronins penyakit ginjal sebagai komorbid pada pasien.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan MSCT Nasofaring dengan
kontras didapatkan kesan enhancing massa pada mucosal nasopharyngeal
space kanan. Terdapat multipel limfadenopati pada regio colli level 2,3,5
kiri dan level 3 kanan (ukuran terbesar ± 3.6 x 1.6 cm). Terdapat massa
nasofaring T1N2Mx. Adanya multiple limfadenopati pada regio colli
menandakan adanya metastasis ke kelenjar getah bening serta adanya
penebalan pada dinding nasofaring, kedua temuan tersebut dapat mengarah
pada kecurigaan Ca nasofaring.
Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis malignant neoplasm of
nasopharynx recurrent. Dikatan reccurent karena sebelumnya pasien
pernah didiagnosis karsinoma anaplastic nasofaring yang telah metastasis
ke kelenjar limfe leher pada tanggal 08-01-2012. Dari hasil diagnosis
pasien rencana teapi dilakukan CT stimulator non kontras untuk tindakan
re iradiasi dengan IMRT teknik SIB yang tervisualisasi pada CT scan.
Kemudian pasien diberikan rencana terapi berupa pemberian
radiasi Adjuvan Post Operasi/Kemoterapi dengan teknik radiasi eksterna
dengan dosis 66 gray yang diberikan dalam 2 gray masing – masing 33
fraksi dan diperkecil lapangannya setelah 50 gray.
Setelah melakukan terapi, dilakukan pemantauan antara lain
hilangnya gejala dan munculnya tanda-tanda perbaikan, efek samping
radiasi dan perbaikan keadaan umum, pemantauan penyebaran dan
perkembangan tumor, dan laboratorium darah serta pemeriksaan kimia
klinik terutama ureum dan creatinin.
BAB V
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu jenis kanker kepala


dan leher yang paling agresif dan sering bermetastasis pada kelenjar limfe
yang jauh dan pada organ lain. KNF menempati peringkat ke-4 sebagai
kasus keganasan tersering di Indonesia. Penyebab karsinoma nasofaring
secara umum dapat dibagi menjadi genetik, lingkungan dan virus EBV.
Diagnosis KNF dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi atau patologi anatomi dari biopsi
nasofaring yang dapat melalui hidung atau mulut. Terapi dapat mencakup
radioterapi, kemoterapi, kombinasi keduanya, terapi simptomatik, terapi
nutrisi dan rehabilitasi medik.
Pasien didiagnosis malignant neoplasm of nasopharynx recurrent
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan. Hasil anamnesia menunjukkan keluhan ear sign, neck
sign, head sign dan nose sign. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
terdapat pembesaran getah bening lebvel II pada leher. Hasil pemeriksaan
penunjang menunjukkan terdapat massa nasofaring T1N2Mx dengan
multiple limfadenopati pada region colli dan penebalan pada dinding
nasofaring. Pada pasien tidak terdapat metastasis ke tulang, paru, jantung,
hepar, lien dan limfonodi paraaorta. Dikatakan reccurent karena sebelumnya
pasien pernah didiagnosis karsinoma anaplastic nasofaring yang telah
metastasis ke kelenjar limfe leher pada tanggal 08-01-2012
Penting bagi seorang dokter umum untuk dapat menegakkan
diagnosis KNF seawal mungkin dengan mengenali gejala dan tanda dari
stadium dini sehingga pasien dapat dirujuk segera sehingga mendapatkan
terapi lebih dini dan mempunyai prognosis yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kemenkes RI. Pedoman


Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. 2017;6.
2. Wei W, Chua D. Head and Neck Surgery-Otolayngology. 5th ed. Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2014.
3. Lok B, Setto J, Ho F, Rias N. Nasopharynx. In: Halperin E, Wazer D,
Perez C, Brady L, editors. Perez and Brady’s Principles and Practice of
Radiation Oncology. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
2013. p.730-60.
4. Goh J, Lim K. Imaging of nasopharyngeal carcinoma. Ann Acad Med
Singapore. 2009; 38:809–816.
5. Mankowski NL, Bordoni B. Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
6. International Agency for Research on Cancer. The Global Cancer
Observatory; Nasopharynx. World Health Organization. 2020.
7. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo S, et al. Nasopharyngeal carcinoma in indonesia:
Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J
Cancer. 2012;31(4):185–96.
8. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Edisi ke-7.
Jakarta: FK UI. 2012; 158-63.
9. Arifputera A, Mayangsari ID. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Tanto C,
Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor. Buku Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2014;
1051-3.
10. Sinha S, Gajra A. Nasopharyngeal Cancer. [Updated 2020 Aug 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459256/
11. Chozie, Novie & Cempako, Gitta & Windiastuti, Endang. (2016).
Karsinoma Nasofaring pada Anak: Karakteristik, Tata Laksana dan
Prognosis. Sari Pediatri. 13. 79. 10.14238/sp13.1.2011.79-84.
12. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncology.
2014;50:330-338
13. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan
Kanker Nasofaring. Jakarta: Kemenkes RI. 2014.
14. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi
Radioterapi Kanker Nasofaring. Jakarta. 2014.
15. Pauolinp AC. Nasopharyngeal carcinoma. Medscape reference [articles]
[updated 2010 July 12; cited 2016 Nov 12]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/988165-overviewStevenson
16. Ji MF, Wang DK, Yu YL, Guo YQ, Liang JS, Cheng WM, et al. Sustained
elevation of Epstein-Barr virus antibody levels preceding clinical onset of
nasopharyngeal carcinoma. Br J Cancer 2007;96:623-30.
17. PERHATI-KL. Panduan Praktik Klinis THT-KL. J Chem Inf Model.
2016;53(9):1689–99.
18. Chan J, PIlch B, Kuo T, Wenig B, Lee A. Tumours of the nasopharynx. In
Barnes L EJRPSD, editor. WHO classification of tumours: head & neck
tumours. Lyon: IARC Press.; 2005. p. 81 - 106.
19. Pfister DG, Spencer S, Adelstein D, Adkins D, Anzai Y, Brizel DM, et al.
Head and Neck Cancers, Version 2.2020, NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology. J Natl Compr Cancer Netw. 2020

Anda mungkin juga menyukai