PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Penyakit
ini adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika
Utara dan Eropa dengan insiden penyakit 1 per 100.000 penduduk. Tumor ganas ini lebih
sering terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Taiwan
dengan insiden antara 10 53 kasus per 100.000 penduduk. Di Timur Laut India, insiden
pada daerah endemik antara 25 50 kasus per 100.000 penduduk.Di Eskimo, Alaska,
Greenland, dan Tunisia insidennya juga meningkat yaitu 15-20 kasus per 100.000 penduduk
per tahun. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-5 dari seluruh
keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, getah bening, dan kulit (Roezin,
2001).
Di Indonesia, tumor ganas ini termasuk dalam urutan pertama tumor ganas pada
kepala dan leher dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Jenis penyakit ini sangat tinggi
populasinya di Negara-negara Asia tertentu, sehingga menimbulkan dugaan bahwa faktor
genetic ikut berperan dalam pathogenesis penyakit. Penyakit karsinoma nasofaring (KNF)
juga memiliki gejala yang berbeda-beda dari setiap pasien, sehingga para medik sering
mengalami kesulitan saat harus melakukan diagnosa tanpa bantuan specialis atau pakar dalam
hal ini dokter specialis penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT).
1|Page
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Ca Nasofaring
2. Untuk mengetahui Anatomi fisiologi Ca Nasofaring
3. Untuk mengetahui Patofisiologi Ca Nasofaring
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi farmakologi dan terapi diet dari Ca
nasofaring
5. Untuk mengetahui konsep keperawatan dari Ca Nasofaring
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari Ca Nasofaring
7. Untuk mengetahui menejemen kasus terkait dengan Ca Nasofaring
2|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ca Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga
belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas
daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas
dan leher merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus
paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
prosentase rendah.
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring
atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang
paling banyak di THT. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
yang melapisi nasofaring. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoit,
dengan predileksi di Fosa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional
dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa dan atap nasofaring (Asroel, 2002). Tumor
primer dapat mengecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe.
Kanker nasofaring mengacu pada tumor ganas yang berkembang di lapisan epitel
mukosa nasofaring (bagian hulu kerongkongan yang berhubungan dengan hidung). Kanker
nasofaring dibagi menjadi dua kategori: karsinoma in situ dan karsinoma invasif.
Karsinoma invasive dibagi lagi menjadi lima sub-kategori: karsinoma mikroinvasif,
karsinoma sel skuamosa (diferensiasi baik, moderat, buruk), adenokarsinoma (diferensiasi
baik, moderat buruk), karsinoma nucleus vesikuler, karsinoma anaplastik.
2.2 Anatomi Fisiologi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm,
lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas
posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap
dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh sfenoid.
Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius.
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara
histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah
menjadi epitel gepeng berlapis (stratified squamous epithelium). Di antara keduanya
terdapat epitel peralihan (transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding
lateral di daerah fosa Rosenmuller (Brennan, 2006).
3|Page
Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah drainase
urutan pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang retrofaringeal di
antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebral. Sistem
limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna profunda bagian atas pada dasar
tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas otot sternokleidomastoid.
Kemudian sistem limfatik bermuara ke posterior daerah syaraf aksesorius dan bagian
depan ke kelompok jugulodigastrik. Nasofaring adalah struktur yang terletak di garis tengah
tubuh, kaya akan pembuluh limfe dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel
tumor bilateral dan kontralateral tidak jarang dijumpai (Bailey dkk., 2006).
Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika
2.3 Patofisiologi
Ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan
dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh
EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan
4|Page
sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1
adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut
mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat
karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu
pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien
datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari
rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan
permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan
menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul
hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus
dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan
tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi
pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os
basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang
menyebabkan sefalgia reflektif.
5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke
superior , dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah
alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa
ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi
tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen (
5|Page
sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut
sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe
kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya
perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi
tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi
metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan
tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu
terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu
diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika
dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT
atau USG
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan
nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah
perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 46 bulan sebelum
diagnosis kanker nasofaring ditegakkan .
A. Diagnosis pencitraan.
1. Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan
luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona target
terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan
pemeriksaa tingkat lanjut.
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada
CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi,
juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan
antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
3. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya
lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi
umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai
area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun
tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus
memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur,
deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
4. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar
metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat
kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat
7|Page
gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi,
membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi
radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan
normal berkurang.
B. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh
diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis
patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
c. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik
dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.
d. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
9|Page
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
e. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi
radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) ,
kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi
masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek
herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam
penelitian lebih lanjut.
1. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat
bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
3. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya
berpeluang untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari
situasi emosi depresi.
4. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya
merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun.
Harus memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama
yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.
5. Terapi diet
Pasien kanker nasofaring selama menjalani pengobatan, ketidakseimbangan lingkungan
internal tubuh, penurunan daya tahan tubuh, sampai stadium akhir juga dapat menyebabkan
kekambuhan kanker atau metastasis. Dalam menanggapi fenomena ini, cara terbaik adalah
melalui pengaturan pola makan. Diet yang wajar dapat meningkatkan kondisi tubuh pasien
kanker nasofaring, dan juga mengurangi kemungkinan kekambuhan dan metastasis. Berikut
adalah terapi diet ca nasofaring :
Makan makanan kaya kolagen dan elastin, trotters, babi, ikan, kacang-kacangan, makanan
laut, kondusif untuk tempat perbaikan cedera faringitis kronis. Makanlah lebih banyak
makanan kaya vitamin B, seperti hati hewan, daging tanpa lemak, ikan, buah segar, sayuran
hijau, susu, kacang-kacangan, dan lain-lain, ini tidak hanya dapat meningkatkan perbaikan
pada kerusakan faring, tetapi juga untuk menghilangkan peradangan mukosa pernafasan.
10 | P a g e
Makan sedikit atau tidak makan gorengan, makanan pedas, seperti: digoreng, cabai, bawang
putih, merica, dan lainnya. Minum minuman yang bermanfaat untuk meningkatkan fungsi
paru-paru, seperti minuman madu teh hijau: teh hijau 5 gram, sejumlah madu; sup kacang
lily: Lily 20 gram, 50 gram kacang hijau, gula kristal secukupnya.
2.7 Konsep asuhan keperawatan pada ca nasofaring
1. Pengkajian
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu nenek dengan riwayat
kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan
makanan yang terlalu panas serta makanan yang di awetkan (daging dan ikan)
d. Golongan soial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan
dan kebiasaan hidup
e. Tanda dan gejala :
a. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang
berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga
hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan
tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan
epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
b. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
c. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus
dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan
tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi
pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
d. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os
basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang
menyebabkan sefalgia reflektif.
e. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke
superior , dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah
alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
11 | P a g e
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa
ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi
tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen (
sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut
sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
f. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe
kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya
perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
g. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi
tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi
metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan
tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu
terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu
diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika
dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT
atau USG
2. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istrahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas
3. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi , nyeri dada. Penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
4. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan
tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
5. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare , perubahan eliminasi urin,perubahan
bising usus, distensi abdomen
6. Makanan/cairan
12 | P a g e
Kebiasaan diet buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia, mual/muntah,
mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan berat badan, kakeksia, perubahan
kelembaban/turgor kulit
7. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus.
8. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia) . Rasa kaku di daerah
leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
9. Pernapasan
Merokok, (tembakau, mariyuana,hidup dengan seseorang yang merokok ).
10. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen,pemajanan matahari lama/berlebihan
demam, ruam kulit.
11. Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan , perubahan pada tingkat kepuasan.
12. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
13 | P a g e
2.7 Rencana keperawatan
14 | P a g e
penurunan
kesadaran. Demam
dapat
mencerminkan
kerusakan
hipotalamus
6. Auskultasi suara 6) Auskultasi dapat
nafas, catat adanya menentukan
suara nafas kelainan suara napas
tambahan pada bagian paru
Kemungkinan akibat
dari berkurangnya
atau tidak
berfungsinya lobus,
segmen, dan salah
satu dari paru. Pada
daerah kolaps paru,
suara pernapasan
tidak terdengar tetapi
bila hanya sebagian
yang kolaps suara
pernapasan tidak
terdengar dengan
jelas.
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan 1. Membantu
keperawatan selama 1x24 pengkajian nyeri mengevaluasi derajat
jam masalah nyeri kronis secara ketidaknyamanan dan
klien teratasi dengan kriteria komprehensif terjadinya komplikasi
hasil : termasuk lokasi,
1. Menyatakan secara karakteristik,
verbal pengetahuan tentang durasi, frekuensi,
cara alternatif untuk kualitas, dan faktor
redakan nyeri. predisposisi
15 | P a g e
2. Mengenali faktor-faktor 2. Observasi reaksi 2. Reaksi non verbal
yang meningkatkan nyeri non verbal dari membantu
dan melakukan tindakan tidak kenyamanan mengevaluasi derajat
pencegahan nyeri. nyeri dan
3. Menggunakan perubahannya
pereda nyeri analgesik dan 3. Ajarkan teknik non 3. Membantu klien
non-analgesik secara tepat. farmakologi untuk istrahat lebih
efektif
4. Kontrol 4. Lingkungan dapat
lingkungan yang menjadi pemicu
dapat meningkatnya derajat
mempengaruhi nyeri
nyeri
5. Kolaborasi tim 5. Menurunkan nyeri
medis dalam dan meningktkan
pemberian kenyamanan
analgetik
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi 1. Untuk mengetahui
nutrisi kurang dari keperawatan 1x24 jam makanan adanya alergi
kebutuhan tubuh ketidakseimbangan nutrisi makanan
b/d mual muntah teratasi dengan kriteria hasil 2. Anjurkan klien 2. Untuk mengetahui
: untuk asupan nutrisi
1. Adanya peningkatan meningkatkan
berat badan sesuai intake Fe
dengan tujuan. 3. Anjurkan klien 3. Untuk mengehui
2. Berat badan ideal sesuai untuk peningkatan intake
dengan tinggi badan meningkatkan cairan.
3. Mampu mengidentifikasi protein dan vit c
kebutuhan nutrisi 4. Berikan informasi 4. Untuk mengetahui
4. Tidak ada tanda-tanda tentang kebutuhan catatan hasil yang
mall nutrisi nutrisi akurat dan jelas.
5. Menunjukkan 5. Kolaborasi dengan 5. Untuk menentukan
peningkatan fungsi ahli gizi untuk jumlah kalori dan
16 | P a g e
pengecapan dari menelan menentukan nutrisi yang
6. Tidak terjadi penurunan jumlah kalori dan dibutuhkan klien.
berat badan yang berarti nutrisi yang di
butuhkan klien
6. Berikan makanan 6. Untuk pemeliharaan
yang terpilih cairan tubuh dan
(sudah di mencegah naiknya
konsultasi dengan tekanan darah
ahli gizi)
4. Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan 1. Agar penyakit
tindakan invasif, keperawatan 1x24 jam lingkungan setelah sebelumnya tidak
imunitas tubuh masalah resiko infeksi dipakai klien lain terjangkit pada
menurun. teratasi dengan kriteria hasill pasien berikutnya
: 2. Batasi pengunjung 2. Agar pasien tetap
1. Klien bebas dari tanda bila perlu mer asa nyaman.
dan gejala infeksi 3. Instruksikkan pada 3. Untuk menjaga
2. Mendeskripsikan proses pengunjung untuk terjadinya
penularan penyakit, mencuci tangan penularan.
faktor yang saat bekunjung dan
mempengaruhi setelah berkunjung
penularan serta meninggalkan
penatalaksanaannya klien
3. Menunjukkan 4. Cuci tangan setiap 4. Untuk mencegah
kemampuan untuk sebelum dan terinfeksi dari
mencegah timbulnya sesudah tindakan mikroorganisme
infeksi keperawatan
4. Jumlah leokosit dalam
batas normal
5. Menunjukkan perilaku
hidup sehat
6. defisiensi Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan penilaian 1.Agar dapat memotivasi
pengetahuan keperawatan selama 1x24 tentang tingkat klien untuk
tentang penyakit jam defisiensi pengetahuan pengetahuan meningkatkan
17 | P a g e
dan perawatannya klien dapat teratasi dengan pasien tentang pengetahuan klien
b/d misinterpretasi kriteria hasil : proses penyakit tentang penyakitnya
informasi, ketidak 1. Pasien dan keluarga yang spesifik.
familiernya sumber menyatakan 2. Gambarkan 2.Agar klien dapat
informasi pemahaman tentang proses penyakit memahami penyakitnya
penyakit, dengan cara yang denga baik.
kondisi,prognosis dan tepat.
program pengobatan. 3. Gambarkan tanda 5. Agar klien dapat
2. Pasien dan keluarga dan gejala yang mewaspadai akan
mampu melaksanakan biasa muncul gejala gejala yang
prosedur yang pada penyakit, akan muncul
dijelaskan secara benar. dengan cara yang
3. Pasien dan keluarga tepat.
mampu menjelaskan 4. Sediakan 6. Agar klien
kembali apa yang informasi pada menegtahui
dijelaskan perawat/tim klien tentang kondisinya dengan
kesehatan lainnya. kondisi, dengan baik
cara yang tepat.
5. Diskusikan 7. Agar klien
perubahan gaya merubah gaya hidup
hidup yang yang tidak baik
mungkin untuk memperbaiki
diperlukan untuk kesehatannya.
mencegah
komplikasi
dimasa yang akan
datang dan atau
proses
pengontrolan
penyakit
18 | P a g e
PATHWAY
Kelenjar melekat pada otot dan sulit Menembus kelenjar dan mengenai
di gerakkan otak dibawahnya
Indikasi kemoterapi
Nyeri
perangsangan elektrik zona pencetus
Mual muntah kemoreseptor diventrikel IV otak
Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang dari kebutuhan tubuh
19 | P a g e
2.8 Manajemen kasus
1. IDENTITAS PASIEN :
Nama : Tn. AK
Umur : 35 Tahun
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : ISLAM
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SLTA
2 . Riwayat kesehatan :
20 | P a g e
Alasan masuk Rumah Sakit : Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas,
nyeri dan muncul benjolan di sekitar pipi dan leher bagian kiri.
Keluhan utama : Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar,.
Riwayat keluhan utama : leher terasa nyeri, nyeri seperti ditusuk-tusuk, lama dirasakan
3 menit, nyeri dirasakan sudah 2 minggu yang lalu.
Keluhan menyertai :susah menelan, badan merasa lemas, serta BB turun
drastis dalam waktu singkat.
1. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg.
Suhu badan : 36,8 0C
Pernapasan : 26 x/menit
Nadi : 82 X/menit
a. Sistem Penglihatan
Posisi bola mata klien simetris, kelopak mata klien normal,pergerakan bola mata klien
normal, namun konjungtiva klien anemis, kornea normal, sklera anikterik, pupil mata klien
isokor, otot mata klien tidak ada kelainan, namun fungsi penglihatan klien kabur, tanda-
tanda radang tidak ada, pemakaian lensa kontak tidak, reaksi terhadap cahaya baik ( + / +
).
b. Sistem Pendengaran
Daun telinga kiri dan kanan klien normal, karakteristik serumen klien, warna
kecoklatan, Konsistesi padat, Bau khas, kondisi telinga tengah klien normal, cairan dari
telinga tidak ada, perasaan penuh di telinga tidak, Tinitus tidak ada, fungsi pendengaran
baik, gangguan keseimbangan tidak ada, pemakaian alat bantu tidak ada.
c. Sistem pernafasan
Jalan nafas klien bersih tidak ada sumbatan, klien tampak sesak, tidak menggunakan
otot bantu nafas, dengan frekuensi pernafasan 26 kali/menit, irama nafas klien teratur,
jenis pernafasn spontan, kedalaman nafas dalam, klien mengalami batuk produktif, dengan
21 | P a g e
sputum kental, berwarna kuning, tidak terdapat darah, palpasi dada klien simetris, perkusi
dada bunyi sonor, suara nafas klien ronkhi, namun tidak mengalami nyeri dada dan
meggunakan alat bantu nafas.
d. Sistem Kardiovaskuler
Pada sirkulasi periper kecepatan nadi Periper klien 82 kali/menit dengan irama teratur,
tekanan darah 110/80 mmHg, tidak mengalami distensi vena jugularis, Temperatur Kulit
klien Hangat, suhu tubuh klien 36oC, warna kulit tidak pucat, pengisian kapiler 2 detik,
dan tidak ada edema. Sedangkan pda sirkulasi jantung, kecepatan denyut apikal, 82
kali/menit, dengan irama teratur, tidak ada kelainan bunyi jantung dan tidak nyeri dada.
e. Sistem Hematologi
Klien tampak pucat, namun tidak ada perdarahan.
22 | P a g e
k. Sistem muskulokletal
Saat ini klien tidak ada kesulitan dalam pergerakan, tidak ada sakit pada tulang, sendi
dan kulit, dan tidak ada fraktur, tidak ada kelainan pada bentk tulang sendi dan tidak ada
kelainan stuktur tulang belakang, keadaan tonus otot baik, dengan kekuatan otot tangan
kanan 5, tangan kiri 4 (terasang infus), kaki kanan 5, kaki kiri
23 | P a g e
Sebelum masuk rumah sakit lama tidur klien 7 jam dalam satu malam dan 2 jam tidur
siangnya, tanpa ada kebiasaan sebelum tidur. Namun setelah masuk rumah sakit tidur klien
saat malam hari 8 jam dan 2 jam tidur siangnya.
5. Pola Aktifitas dan Latihan
Klien mengatakan sebelum dan sesudah masuk rumah sakit klien tidak pernah berolah
raga dan hanya bekerja dirumah sebagai Ibu Rumah Tangga.
6. Kebiasaan yang mempengaruhi Kesehatan
Sebelum dan sesudah masuk rumah sakit klien mengatakan tidak pernah
mengkonsumsi rokok ataupun minuman keras.
5. Data penunjang
Pada tanggal 22 November 2016 , didapatkan hasil
1. pemeriksaan LAB, Leukosit 23,92 ribu/mm3 (5-10 ribu/mm), Netrofil 73,4 % (50-70
%), Limposit 58 % (25-40 %), Monosit 5,4 % (2-8 %), Eusinofil 15,3 % (2-4%), Basofil
0,1 % (0-1).
2. Hasil CT-Scan tanggal 22 November 2016, di dapat hasil: rongga nasofaring tampak
asimetris, tampak ada masa yang menyangat heterogen pasca pemberian kontras,
mengobliterasi fossa rossenmuller, torus tubarius, spatium parafaring, dan coane kiri.
Tampak pula destruksi sella sisi kiri dengan infiltrasi masa ke intra cranial. Tampak
oembesaran KGB multiple dengan ukuran bervariasi, diameter terbesar 2,4 cm di koli
kiri. Faring dan laring dalam batas normal.Tidak tampak penyempitan airway.
Smusparanasal tidak tampak perselubungan , pneumatisasi mastoid kiri berkurang.
6. Penatalaksanaan
Terafy infus :NaCl 0,9% 21 tetes/menit
Terfy injeksi :Ceftazidime 31 gr
Levo 1750mg
Omz 220 mg
Ondansentron 31 gr
As folat 13 gr
B12 31 gr
Diet TKTP 6200 cc
3. DATA FOKUS
Data Subjektif
24 | P a g e
Klien mengatakan sesak, klien mengatakan nyeri di bagian leher dan pipi sebelah kiri,
Klien mengatakan tidak bisa makan, Klien mengatakan tidak nafsu makan, Klien
mengatakan BB sebelum sakit 50 kg , Klein mengatakan hanya makan bila diberikan
lewat NGT, Klien mengatakan ada benjolan di leher sebelah kiri, Klien mengatakan
benjolan muncul sejak 6 minggu yang lalu, Klien mengatakan nyeri saat bicara, Klien
mengatakan nyeri seperti di tusuk-tusuk, Klien mengatakan nyeri hanya di daerah
benjolan, Klien mengatakan tidak ada demam, Klien mengatakan ada benjolan di leher
sebelah kiri, Klien mengatakan lehernya panas, Klie mengtakan lehernya bengkak.
Data Objektif
Klien tampak terpasang NGT , Klien tampak tidak bisa makan , BB setelah sakit 45
kg, klien tampak meringis saat berbicara, skala nyeri 5, tampak ada benjolan di bagian
leher sebelah kiri, leher klien tempak merah, leher klien teraba panas, TV, TD :140/90
mmHg, N : 82x/ menit, S : 36,8 0C, RR :26x/ menit, Laboratorium : Hb : 10, 4 g/dl,
leukosit :23,92 ribu/ mm3
Analisa data
No Data Etiologi Masalah
Ds Geografis, jenis kelamin Gangguan Rasa Aman
1. - Klien mengeluh nyeri pada ,pekerjaan infeksi, gaya Nyaman Nyeri
daerah leher bagian kiri hidup, makanan yang di
- Nyeri seperti di tusuk tusuk awetkan, genetik
- Nyeri di rasakan pada saat
melakukan aktivitas
- Skala nyeri 5(1-10) Pertumbuhan sel abnormal
- Nyeri di rasakan selama 2-3
mnit
Do Karsinoma nasofaring
- KU : lemah
- Leher dan pipi kliewn nampak
bengkak Metastasi sel-sel kanker ke
- Klien nampak meringis kelenjar getah bening
melalui aliran limfe
Pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel
kanker di kelenjar getah
bening
25 | P a g e
Menembus kelenjar dan
mengenai otak di
bawahnya
Nyeri
Pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel
kanker di kelenjar getah
bening
Mual muntah
26 | P a g e
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
Rencana Keperawatan
27 | P a g e
farmakologi untuk istrahat lebih
9. Kontrol efektif
lingkungan 9. Lingkungan dapat
yang dapat menjadi pemicu
mempengaruhi meningkatnya
nyeri derajat nyeri
10. Kolaborasi tim 10. Menurunkan nyeri
medis dalam dan meningktkan
pemberian kenyamanan
analgetik
2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kaji adanya 1. Untuk mengetahui
nutrisi kurang dari tindakan keperawatan alergi makanan adanya alergi
kebutuhan tubuh 1x24 jam makanan
b/d mual muntah ketidakseimbangan nutrisi 2. Anjurkan klien 2. Untuk mengetahui
teratasi dengan kriteria untuk asupan nutrisi
hasil : meningkatkan
1. Adanya peningkatan intake Fe
berat badan sesuai 3. Anjurkan klien 3. Untuk mengehui
dengan tujuan. untuk peningkatan intake
2. Berat badan ideal meningkatkan cairan.
sesuai dengan tinggi protein dan vit c
badan 4. Berikan 4. Untuk mengetahui
3. Mampu informasi catatan hasil yang
mengidentifikasi tentang akurat dan jelas.
kebutuhan nutrisi kebutuhan
4. Tidak ada tanda-tanda nutrisi
mall nutrisi
5. Menunjukkan 5. Kolaborasi 5. Untuk menentukan
peningkatan fungsi dengan ahli gizi jumlah kalori dan
pengecapan dari untuk nutrisi yang
menelan menentukan dibutuhkan klien.
6. Tidak terjadi jumlah kalori
penurunan berat badan dan nutrisi yang
28 | P a g e
yang berarti di butuhkan
klien
6. Berikan 6. Untuk
makanan yang pemeliharaan
terpilih (sudah cairan tubuh dan
di konsultasi mencegah naiknya
dengan ahli tekanan darah.
gizi)
29 | P a g e
farmakologi dengan cara tarik 5. Kolaborasi tim medis dalam
napas dalam kemudian tahan pemberian analgetik
2-3 detik lalu hembuskan
melalui mulut secara perlahan
4. Mengontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri d/h
batasi pengunjung minimal 2
orang
5. Melayani klien ketorolac 3x1
ampul/IV
30 | P a g e
bicarakan dengan ahli gizi kebutuhan nutrisi
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang di butuhkan klien
31 | P a g e
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Carsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.Yang disebabkan oleh Virus
Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit
ini.Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan Ca Nasofaring.
Pada penatalaksanaa tidak ada kesenjagan antara teori dengan kasus. Pada diagnosa
terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus, yaitu pada kasus tidak ditemkan diagnosa
Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan), Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas
tubuh menurun, Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi
informasi, ketidak familiernya sumber informasi, Harga diri Rendah b/d perubahan
perkembangan penyakit, pengobatan penyakit. Pada ntervensi terdapat intervensi prioritas
yaitu pada diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sputum dan telah
dilaksanakan oleh perawat, dan terdapat kesenjangan antara teori dan kasus, karen
berdasarkan diagnosa yang muncul pada kasus yaitu hanya satu diagnosa teori yang muncul
pada kasus yaitu perubahan pola nutrisi berhubngan dengan ketidak mampuan menelan
disapagia), pada implementasi keperawatan sudah dilaksanakan oleh perawat berdasarkan
berdasarkan intervensi yang telah direncanakan.
Pada tahap evaluasi pada diagnosa prioritas perawat telah melaksanakan sesuai
dengan intervensi namun tujuan belum tercapai masalah teratasi sebagian dan intervensi
dilanjutkan namun pada diagnosa ansietas perawat telah melaksanakannya juga berdasarkan
pada intervensi yang telah diencanakan dan tujan tercapai masalah teratasi.
3.2.Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Pada Perawat
Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien
32 | P a g e
dengan Ca Nasofaring dan meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku-buku dan
mengikuti seminar serta menindaklanjuti masalah yang belum teratasi.
2. Pada Mahasiswa
Diharapkan dapat melaksanakan tehknik komunikasi terapeutik dan melakukan
pengkajian agar kualitas pengumpulan data dapat lebih baik sehingga dapat melaksanakan
Asuhan Keperawatan dengan baik.
3. Pada Klien dan Keluarga
Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan
diet yang telah diinstruksikan oleh perawat dan dokter.
33 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta.
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah, edisi 8 vol.3.EGC, Jakarta
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 oleh
NANDA International. Jakarta : EGC
34 | P a g e