Anda di halaman 1dari 20

I.

DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial
yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Tumor tumbuh dari epitel yang
meliputi jaringan limfoid dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke kelenjar limfe leher
dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang. Hampir 60% tumor ganas
kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh
tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Tumor
karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar dari tumor ganas serviks
uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.1,2,3

I.1

II.

Gambar karsinoma nasofaring1

EPIDEMIOLOGI

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk NonMongoloid, namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki
tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi
Guang-dong (Kwantung) atau pravalensi 39.84/100.00 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker
nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian
Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup bnayak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara
seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan tanah hijau
yang diduga penyebabnya adalah karena memakan makanan ynag diawetkan
dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100
kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus, setahun di Denpasar dan 11 kasus di
Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di
Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas
ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung
poloklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina
relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.1
III.

ETIOLOGI
Penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena
pada semua pasien nasofaring di dapatkan titer anti-virus EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher

dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan
nasofaring yang lain sekalipun.1
Kaitan antara Virus Epstein Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan
sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk
kedalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan
dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan
suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin
secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator
utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma
nasofaring.
Berikut mediator-mediator yang dapat meningkatkan resiko karsinoma
nasofaring adalah:
1. Zat Nitrosamin. Di dalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata
merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau
makanan yang diawetkan, juga daging kambing yang dikeringkan di
Tunisia dan sayuran yang diasinkan serta taoco di China.
2. Keadaan ekonomi sosial yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah juga berbahaya.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen antara lain
Benzoathracene

(sejenis

hidrokarbon

dalam

arang

batubara),

Benzopyrene, gas kimia, asap industry, asap kayu dan beberapa ekstrak
tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Kejadian karsinoma nasofaring lebih tinggi ditemukan
pada keturunan mongoloid dibandingkan ras lainnya. Di Asia terbanyak
adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan.
Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena.

5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan,


mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.
6. Penggunaan tembakau.
7. Penggunaan alcohol.
8. Usia, karsinoma nasofaring lebih sering menyerang seseorang yang
berusia diatas 30 tahun.1,4,5
IV.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala karsinoma nasofaring dibagi menjadi empat kelompok:

Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan (keluar darah lewat

hidung) atau sumbatan hidung.


Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (saluran penghubung hidung dan
telinga). Gejalanya berupa tinitus, rasa tidak aman di telinga sampai rasa

nyeri di telinga (otalgia).


Gejala mata dan saraf, dapat terjadi sebagai gejala lanjut karena nasofaring
berhubungan dekat dengan rongga tengkorak tempat lewatnya saraf otak.
Penjalaran melalui foramen laserum akan memgenai saraf otak ke III, IV,
VI, dan dapat pula ke V. Gejala berupa nyeri kepala, nyeri di bagian leher
dan wajah (neuralgia trigeminal), pandangan kabur, penglihatan dua

(diplopia).
Gejala metastasis atau menyebar berupa pembengkakan kelenjar getah
bening.1

4.1 Gambar tanda dan gejala metastasis karsinoma nasofaring

Gejala Dini
Karena

karsinoma

nasofaring

bukanlah

penyakit

yang

dapat

disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin


memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini dimana tumor masih
terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga:
1. Kataralis/sumbatan tuba eustachius: pasien mengeluh rasa penuh di
telinga, telinga berdengung kadang-kadang disertai gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya telinga tengah: keadaan ini
merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara
tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi
kebocoran gendang telinga dan gangguan pendengaran.

Gejala hidung:
1. Mimisan: dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan
dan sumbatan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan.
Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulnag, jumlahnya sedikat
dan seringkali bercamour degan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
2. Sumbatan hidung: sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor kedalam rongga hidung atau menutupi koana.
Gejala pilek kronis, kadang-kadang disertai gangguan penciuman
dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang kahs untuk
karsinoma nasofaring, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek
kronis, sinusitis dan lain-lain. Mimisan juga sering terjadi pada anak-anak
yang sedang menderita radang.
Gejala Lanjut
1. Pembesaran kelenjar limfe leher: tidak semua benjolan di leher menandai
ini. Yang kahs jika timbulnnya di daerah samping leher 3-5 cm dibawah
daun telinga dan tidak nyeri, oleh karena ini pasien sering mengabaikan
ini. Selanjutnya sel-sel kanker terus berkembang, menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Pembesaran kelenjar limfe merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar: perluasan ke atas kearah
tengkorak dank e belakang melalui sela-sela otaot dapat mengenai saraf
otak dan menyebabkan gejlan akibat kelumpuhan otot saraf yang sering
ditemukan adalah diplopia, mati rasa didaerah wajah sampai akhirnya
timbul kelumpuhan lidah, leher, gangguan pendengaran dan penciuman.

Keluahan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor
ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekauan otot-otit rahang
yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi
tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan
mengenai kedua sisi tubuh.
3. Gejala akibat metastase: sel-sel kanker dapt ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring. Hal ini yang disebut metastase jauh. Yang sering adalah pada
tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan stadium dengan
prognosa buruk.6

V.

PATOFISIOLOGI
Virus Epitein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam family herpesviridae. Infeksi virus EpsteinBarr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring pada daerah cekungan
rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak factor yang
diduga berhubungan dengan KNF, yaitu :
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. infeksi virus Epstein barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplomen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktifitas
ini merupakan rangkain yang berantai dimulai dari masuknya EBV

kedalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B


menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya
EBV kedalam sel epitel nasofaring belum dapat dejelaskan dengan pasti.
Ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalms el
epitel nasofaring yaitu CR2dan PIGR (polymeric immunoglobbin
receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus Epstein barr dapat menimbulkan
bebarapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan
virus Epstein barr dan voirus mengadakan replikasi, atau virus Epstein
barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga
sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi tarnsformasi sel yaitu
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan sifat sel sehingga terjadi taransformasi sel menjadi ganas
sehingga terbentuk sel kanker.7,8

HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel
terdapat banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk lipatan atau kripta.
Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat sehingga
sering disebut limfoepitel.
Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Epitel selapis torak bersilia (simple columnar ciliated epithelium)


Epitel torak berlapis (stratified columnar epithelium)
Epitel torak berlapis semu bersilia (stratifie columnar ciliated epithelium)
Epitel torak berlapis semua bersilia (pseudo stratified columnar ciliated
epithelium)

60% dari mukosa nasofaring dilapisi epitel berlapis gepeng dan 80%
dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh sel ini. Sedangkan dinding
lateral dan depan dilapisi epitel transisional yang merupakan epitel peralihan
antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepwng
umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari
sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel
merupakan tempat subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh WHO
sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe yaitu:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi. Tipe ini dapat dibagi lagi
menjadi difensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma Non-Keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya differensiasi,
tetapi tidak ada differensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intrasel. Pada
umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak bedifferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individu
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nucleoli yang jelas.
Tipe tanpa differensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama
yaitu bersifat radiosensitive, sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak
begitu radiosensitive.9
VI.

DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma

nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis


pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik
dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan
(aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum

mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat

daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui


kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.

10

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe


ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup

jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya

batas sel tidak terlihat dengan jelas.


Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif.

Klasifikasi

gambaran

histopatologi

terbaru

yang

direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe,
yaitu:
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor

pada daerah nasofaring


Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.

11

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi

secara jelas dengan

radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih
jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar
dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat
kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.
Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

12

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft


tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat
berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.8,10
VII.

STADIUM KANKER
Untuk penemuan stadium dipakai system TNM menurut UICC (Union

International Centre Cancer) tahun 2002


T

= Tumor primer.

T0

= Tidak tampak tumor.

T1

= Tumor terbatas di nasofaring

T2

= Tumor meluas ke jaringan lunak

13

T2a

= Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa


perluasan ke parafaring*

T3

= Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal.

T4

= Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan


saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator

Catatan : *perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah postero


lateral melebihi fasia faringo-basilar.
N

= Pembesaran kelenjar getah bening regional.

Nx

= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat di nilai.

N0

= Tidak ada pembesaran

N1

= Metastase kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar


kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N2

= Metastasi kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar


kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N3

= Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar


dari 6 cm, atau trletak di dalam fossa supraklavikula

N3a

= Ukuran lebih dari 6 cm

N3b

= Didalam fossa supraklavikula

Catatan : kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar


ipsilateral.

14

= Metastasis jauh

Mx

= Metastasis jauh tidak dapat di nilai

M0

= Tidak ada metastasis jauh

M1

= Terdapat metastasis jauh.

STADIUM 0

T1s

N0

M0

STADIUM IA

T1

N0

M0

STADIUM IIA

T2a

N0

M0

STADIUM IIB

T1

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0,N1

M0

T1

N2

M0

T2a,T2b

N2

M0

T3

N2

M0

STADIUM IVa

T4

N0,N1,N2

M0

STADIUM IVb

semua T

N3

M0

STADIUM Ivc

semua T

semua N

M11

STADIUM III

VIII. PENATALAKSANAAN

15

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring dilakukan berdasarkan stadiumnya


Stadium I

: radioterapi

Stadium II & III

: kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 CM : kemoradiasi


Stadium IV dengan N > 6 CM : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi.1
1. Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar
tidak menderita kerusakan terlalu berat. Sampai saat ini radioterapi masih
memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring.
Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi
dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring
adalah radiasi, Karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat
radiosensitiv. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat
menggunakan pesawat kopal (co 60) atau dengan akselerator linier (linier
accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah
nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening
leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap
dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar.

16

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon


terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening
leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilain respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO:
a. Complete response: menghilangkan seluruh kelnjar getah bening
yang besar
b. Partial response: pengecilan kelenjar getah bening sampai 50%
atau lebih.
c. No change: ukuran kelenjar getah bening yang menetap
d. Progressive disease: ukuran kelenjar getah bening membesar 25%
atau lebih.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi,
seperti:
Xerostomia (mual muntah)
Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita
rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa
lidah dan palatum
Anoreksia
Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
Penurunan pendengaran
Gangguan pertumbuhan

2. Kemoterapi

17

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata


dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut
atau pada keadaan kambuh.
Efek samping kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang, dan sel pada
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi
sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal

bisa

terjadi

mual

muntah.

Sedangkan

pada

sel

rambut

mengakibatkan kerontokan rambut.


3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologic dan
serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.8

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. 2007.
2. Scribd com. Karsin9oma nasofaring. 2012. Available from
http://www.scribd.com/116016654-karsinoma-nasofaring.
3. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta :
balai penerbit FKUI. 2007
4. Ballanger JJ. Penyakit Telinga , hidung, tenggorok, kepala dan leher.
Edisi 13. Jilid 1. Ahli bahsa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI.
Jakarta: binarupa Aksara ; 1994.391-6
5. Asroel, Harry. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring. Bagian THT-KL Universitas Sumatera Utara. 2002
6. Nancy R.T. Epstein Barr Virus in the Pathogenesis of NPC.In: Erles
S.R. editor Epstein Barr Virus, 1 st ed. 2005.
7. Burnside. Mc Glyn. Nasofaring dalam: Diagnosis Fisik Edisi 17.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995. Hal 135-154
8. http://www.slideshare.net/0812200200/27925999karsinomanasofaring

19

9. Ballanger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed.


Philadelphia : williams & wilkins. 1996.
10. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21527/4/Chapter

%20II.pdfvg

20

Anda mungkin juga menyukai