Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

CKS GCS 10

Oleh :
M. Novrian Akbar, S.Ked.
H1AP21010

Pembimbing :
Dr. Azhari Ganesha Sp. N.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : M.Novrian Akbar, S. Ked


NPM : H1AP21010
Fakultas : Kedokteran
Judul : CKS GCS 10 dengan intoksikasi alkohol
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf
Pembimbing : Dr. Azhari Ganesha Sp. N.

Bengkulu, 2023
Pembimbing

Dr. Azhari Ganesha Sp. N.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. M. Yunus, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Azhari Ganesha Sp. N. sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................6
2.1 Identitas...................................................................................................................6
2.2 Data Subjektif (Alloanamnesis)................................................................................6
2.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................7
2.4 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................12
Pemeriksaan Radiologi :...............................................................................................13
Hasil CT Scan Kepala tanpa kontras :............................................................................13
2.5 Diagnosis................................................................................................................19
2.6 Diagnosis Banding..................................................................................................19
2.7 Terapi.....................................................................................................................19
2.8 Prognosis................................................................................................................19
BAB III..................................................................................................................20
PEMBAHASAN...................................................................................................20
3.1 Definisi...................................................................................................................20
BAB IV..................................................................................................................38
KESIMPULAN.....................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................39

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1,2
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang
berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup
(bahasa Perancis untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek,
meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam
atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau
pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan
(edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di
dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka
peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. 1,2
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita.
Penulisan laporan kasus ini ditujukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD DR. M. Yunus Bengkulu dan
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi kedokteran
khususnya tentang “Cedera Kepala”. Serta memberikan pengetahuan praktis
untuk melakukan pertolongan pertaman pada penderita.

5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : An. Robi Galang Saputra
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 20 Mei 2005
Alamat : desa Lubuk Gilang kec air periukan seluma
Agama : Islam
Suku : Bengkulu
Pekerjaan : Siswa
No Reg RS : 863412
Tanggal Masuk RS : 22 april 2023
Ruang Perawatan : Seruni
2.2 Data Subjektif (Alloanamnesis)
2.2.1 Keluhan Utama
Pasien penurunan kesadaran post KLL +- 1 jam SMRS.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran post KLL +- 1 jam
SMRS. Pasien kecelakaan kejadian tunggal, pasien dibonceng menggunakan
motor. Tidak menggunakan helm. Mekanisme trauma secara rinci tidak jelas
namun pasien diketahui sempat pingsan saat kejadian. Pasien sampai pada pukul
+- pukul 03.40 WIB di IGD. Mual (-), muntah (-), pendarahan dari hidung dan
telinga (-), dari mulut pasien tercium bau alkohol
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Hipertensi di sangkal
 Riwayat diabetes disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat peyakit hepar di sangkal
 Riwayat alergi disangkal

6
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Riwayat penyakit Jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat peyakit hepar disangkal
2.2.5 Riwayat Kebiasaan
 Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada 22 April 2023 di ruang Seruni RSUD Dr.
M. Yunus Bengkulu.
2.3.1 Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : E1M5V3
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 97%
VAS :-
2.3.2 Status Generalis

Kepala : Tercium bau alcohol (+), multiple vulnus laseratum os frontal et


temporal
Mata : Conjuctiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(4mm/4mm), reflex cahaya (+)
Hidung : Deviasi (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan (-), perdarahan (-)
Mulut : Sianosis (-), pucat (+), bibir kering (+), deviasi lidah (-), atrofi papil
lidah (-), stomatitis ngularis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), bruit (-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-), sekret (-), deformitas (-)
Paru

7
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris saat statis dinamis, retraksi dinding
dada (-), deformitas (-), spider nevi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ics II linea parasternalis dekstra
Kanan : ics IV linea sternalis sinistra
Kiri : ics IV linea midclavicular dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler (+), gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, datar, scar (-), jejas (-),caput medusa (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, ballotement ginjal (-/-) undulasi (-)
Perkusi : Timpani, shiffting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ektremitas
Akral : Hangat seluruh ekstremitas
Edema : Edem (-/-), Pitting edem pada kedua kaki (-/-)
CRT : <2 detik
Palmar eritem (-), koilinicia (-)
2.3.3 Status Neurologis

1. Saraf Cranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : sulit dinilai
N.Opticus (N.II)
Tajam penglihatan : sulit dinilai
Lapang penglihatan : sulit dinilai
Tes Warna : sulit dinilai
Fundus oculi : tidak dilakukan

8
N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III – N.IV – N.VI)
Kelopak Mata
- Ptosis : -/-
- Endophtalmus : -/-
- Exopthalmus : -/-
Pupil
- Ukuran : (4 mm / 4 mm)
- Bentuk : (Bulat / Bulat)
- Isokor/anisokor : (isokor)
- Posisi : (Sentral / Sentral)
- Refleks cahaya langsung :(+/+)
- Refleks cahaya tidak langsung :(+/+)
Gerakan Bola Mata : sulit dinilai
- Refleks pupil akomodasi : Sulit dinilai/Sulit di nilai
- Refleks pupil konvergensi: Sulit dinilai/Sulit dinilai
N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : sulit dinilai
- Ramus maksilaris : sulit dinilai
- Ramus mandibularis : sulit dinilai
Motorik
- M. masseter : tidak dilakukan
- M. temporalis : tidak dilakukan
- M. pterygoideus : tidak dilakukan
Refleks
- Refleks kornea : ( Tidak dilakukan / Tidak dilakukan )
- Refleks bersin : Tidak dilakukan
N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : sulit dinilai
- Tertawa : sulit dinilai
- Meringis : sulit dinilai

9
- Bersiul : sulit dinilai
- Menutup mata : sulit dinilai
Pasien disuruh untuk
- Mengerutkan dahi : sulit dinilai
- Menutup mata kuat-kuat : sulit dinilai
- Mengangkat alis : sulit dinilai
Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah : sulit dinilai
N. Vestibulocochlearis/ N. Acusticus(N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : sulit dinilai
- Tinitus : -/-
N.vestibularis
- Test vertigo : sulit dinilai
- Nistagmus : -
N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)
- Menelan : Sulit dinilai
- Suara bindeng/nasal : Tidak dilakukan
- Posisi uvula : Sulit dinilai
- Palatum mole : Sulit dinilai
- Arcus palatoglossus : Tidak dilakukan
- Arcus palatoparingeus : Tidak dilakukan
- Refleks batuk : Tidak dilakukan
- Refleks muntah : Tidak dilakukan
- Peristaltik usus :(+)
- Bradikardi :(-)
- Takikardi : -)
N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus: Sulit dinilai/sulit dinilai
- M.Trapezius : sulit dinilai
N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : sulit dinilai

10
- Fasikulasi : sulit dinilai
- Deviasi : sulit dinilai
2. Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk :(-)
Kernig test : ( -/- )
Laseque test : ( -/- )
Brudzinsky I : ( -/- )
Brudzinsky II : ( - )
3. Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki
Gerak Sulit dinilai Sulit dinilai
Kekuatan otot Sulit dinilai Sulit dinilai
Tonus Sulit dinilai Sulit dinilai
Klonus (-/-) (-/-)
Atropi (-/-) (-/-)
Refleks fisiologis Bisep (+/+) Pattela (+/+)
Triceps (+/+) Achiles (+/+)
Refleks Patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky (-/-)
Chaddock (-/-) Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gonda (-/-)
Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : Sulit dinilai
- Rasa nyeri : Sulit dinilai
- Rasa suhu panas : Sulit dinilai
- Rasa suhu dingin: Sulit dinilai
- Rasa sikap : Sulit dinilai
- Rasa getar : Sulit dinilai
- Rasa nyeri dalam: Sulit dinilai
- Asteriognosis : Sulit dinilai
- Grafognosis : Sulit dinilai
Koordinasi

11
Tes telunjuk hidung : Sulit dinilai
Tes pronasi supinasi : Sulit dinilai
Susunan Saraf Otonom
Miksi : (+) kateter
Defekasi : (+)
Salivasi : (+)
Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : Sulit dinilai
Fungsi orientasi: Sulit dinilai
Fungsi memori: Sulit dinilai
Fungsi emosi : Sulit dinilai
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hasil laboratorium tanggal 22 april 2023

Hematologi:

Hemoglobin 15,9 gr/dl 12,0-15,0 g/dl

Hematocrit 46% 40-54%

Leukosit 20.400/ul 4000-10000/ul

Trombosit 347.000/ul 150000-450000/ul

Kimia Darah

GDS 157 mg/dl <160mg/dl

Elektrolit

Natrium 140 135-145 mmol/L

Kalium 4,3 3,4-5,3 mmol/L

Clorida 107 50-200 mmol/L

Fungsi Ginjal

12
Ureum 21 mg/dl 20-40mg/dl

Kreatinin 0,7 mg/dl 0,5-1,2mg/gl

Swab antigen covid-19

Tes swab antigen covid-19 Non reaktif Non-reaktif

Pemeriksaan Radiologi :
Hasil CT Scan Kepala tanpa kontras :

13
Follow Up

23 April 2023
S O A P
Nyeri kepala GCS : E3M5V4  CKS  IVFD RL xx gtt/m
(+), Pusing TD : 110/50 mmHg  Citicolin 3x250mg iv
(-), Gelisah N :45 x/menit  Ketorolac 3x30 mg iv
(+), mual (-), P : 19 x/menit  Ranitidin 2x50mg iv
Muntah (-), S : 36,8oC  Ceftriaxone 2x1 gr iv
demam (-), SpO2 : 99%
 Asam traneksamat 3x1 iv
makan (+) Status lokalis :
NGT, tidur Multiple vulnus
nyaman, laceratum kering,
BAK (+) mata terturtup
kateter 400 perban
cc/12 jam, Status generalis :
BAB (-) dalam batas normal

14
Status neurologis
P. Motorik Sup:5/5
P. Motorik Inf:5/5
R. Patologis :
Babinski (-/-),
chaddock (-/-),
Oppenheim (-/-)
TRM : kaku kuduk
(-), laseque (-/-),
kernig (-/-)
Saraf kranialis :
N.I : normosmia
N.II:Visus : SD
N.III,IV,VI: pupil
SD, RCL (SD),
Ptosis (SD)
N.V: membuka
mulut (+)
N.VIII:
pendengaran (+)
N.IX,X : menelan
(+)
N.XI: memutar
kepala (+)
N.XII: menjulurkan
lidah (SD), deviasi
(SD

27 April 2023
S O A P
Nyeri kepala GCS : E3M5V4  CKS  IVFD RL xx gtt/m
(-), Pusing TD : 110/50 mmHg  Citicolin 3x250mg iv
(-), Gelisah N :45 x/menit  Ketorolac 3x30 mg iv
(+), mual (-), P : 19 x/menit  Ranitidin 2x50mg iv
Muntah (-), S : 36,8oC  Ceftriaxone 2x1 gr iv
demam (-), SpO2 : 99%
 Dexamethason 2x1 iv
makan (+) Status lokalis :
sudah mau Multiple vulnus
Tambahan visit :
menelan, laceratum kering,
Mertigo 3x10mg PO
tidur mata terturtup
Flunarizin 2x6mg PO
nyaman, perban
Fedding test

15
BAK (+) Status generalis : NGT lepas
kateter 300 dalam batas normal Bladder training
cc/12 jam, Status neurologis Mobilisasi
BAB (-) 5 P. Motorik Sup:5/5 Posisi duduk
hari P. Motorik Inf:5/5 Ajak komunikasi
R. Patologis :
Babinski (-/-),
chaddock (-/-),
Oppenheim (-/-)
TRM : kaku kuduk
(-), laseque (-/-),
kernig (-/-)
Saraf kranialis :
N.I : normosmia
N.II:Visus : SD
N.III,IV,VI: pupil
SD, RCL (SD),
Ptosis (SD)
N.V: membuka
mulut (+)
N.VIII:
pendengaran (+)
N.IX,X : menelan
(+)
N.XI: memutar
kepala (+)
N.XII: menjulurkan
lidah (SD), deviasi
(SD)

28 April 2023
S O A P
Nyeri kepala GCS : E3M5V4  CKS  IVFD RL xx gtt/m
(-), Pusing TD : 118/67 mmHg  Citicolin 3x250mg iv
(-), Gelisah N :67 x/menit  Ketorolac 3x30 mg iv
(+), mual (-), P : 20 x/menit  Ranitidin 2x50mg iv
Muntah (-), S : 36,8oC  Ceftriaxone 2x1 gr iv
demam (-), SpO2 : 99%
 Dexamethason 2x1 iv
makan (+) Status lokalis :
 Mertigo 3x10mg PO
sudah mau Multiple vulnus
 Flunarizin 2x6mg PO
menelan, laceratum kering,

16
tidur mata terturtup
nyaman, perban
BAK (+) Status generalis : Tambahan visit :
kateter 400 dalam batas normal Terapi lanjut
cc/12 jam, Status neurologis Fedding test
BAB (-) 6 P. Motorik Sup:5/5 Bladder training
hari P. Motorik Inf:5/5 Bubur
R. Patologis : Mobilisasi pakai kursi
Babinski (-/-), roda
chaddock (-/-), Posisi duduk
Oppenheim (-/-) Ajak komunikasi
TRM : kaku kuduk
(-), laseque (-/-),
kernig (-/-)
Saraf kranialis :
N.I : normosmia
N.II:Visus : SD
N.III,IV,VI: pupil
SD, RCL (SD),
Ptosis (SD)
N.V: membuka
mulut (+)
N.VIII:
pendengaran (+)
N.IX,X : menelan
(+)
N.XI: memutar
kepala (+)
N.XII: menjulurkan
lidah (SD), deviasi
(SD)

29 April 2023
S O A P

17
Nyeri kepala GCS : E3M5V4  CKS  IVFD RL xx gtt/m
(-), Pusing TD : 121/81 mmHg  Citicolin 3x250mg iv
(-), Gelisah N :88 x/menit  Ketorolac 3x30 mg iv
(-), mual (-), P : 19 x/menit  Ranitidin 2x50mg iv
Muntah (-), S : 36,7oC  Ceftriaxone 2x1 gr iv
demam (-), SpO2 : 99%
 Dexamethason 2x1 iv
makan (+), Status lokalis :
 Mertigo 3x10mg PO
tidur Multiple vulnus
 Flunarizin 2x6mg PO
nyaman, laceratum kering,
BAK (+), mata terturtup
Tambahan visit :
BAB (-) 7 perban
Mobilisasi
hari Status generalis :
Posisi duduk
dalam batas normal
Ajak komunikasi
Status neurologis
BLPL hari ini
P. Motorik Sup:5/5
P. Motorik Inf:5/5
R. Patologis :
Babinski (-/-),
chaddock (-/-),
Oppenheim (-/-)
TRM : kaku kuduk
(-), laseque (-/-),
kernig (-/-)
Saraf kranialis :
N.I : normosmia
N.II:Visus : SD
N.III,IV,VI: pupil
SD, RCL (SD),
Ptosis (SD)
N.V: membuka
mulut (+)
N.VIII:
pendengaran (+)
N.IX,X : menelan
(+)
N.XI: memutar
kepala (+)
N.XII: menjulurkan
lidah (SD), deviasi
(SD)

18
2.5 Diagnosis
Diagnosis Utama:
 CKS GCS 10

2.6 Diagnosis Banding


Contisio cerebri
2.7 Terapi
Non farmakologi :
 Observasi kesadaran
 Observasi TTV

Farmakologi
 Hecting Vulnus laceratum
 Inj. Tetagram extra
 Pemasangan kateter dan ngt
 Pemasangan oksigen 5 lpm
 IVFD RL 20 tpm
 Asam traneksamat 3x1 iv
 Citicolin 3x1 iv
 Ceftriaxone 2x1 iv
 Ranitidine 2x1 iv
 Ketorolac 2x1 iv
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1,4,6
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Berdasarkan
mekanisme terjadinya, cedera kepala dapat dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang
cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.2,6
Jika dilihat dari berat ringannya, cedera kepala dapat diklasifikasikan
berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :1,6
1 Cedera kepala berat (CKB) jika nilai GCS 3- 8.
Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusion cerebral,
laserasi, atau adanya hematoina atau edema.
2 Cedera kepala sedang (CKS) memiliki nilai GCS 9-12.
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).
3 Cedera kepala ringan (CKR) dengan nilai GCS 13-15.
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang darri 30 menit, tetapi ada juga
yang menyebut kurang dari 24 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak,
kontusio atau tematom (sekitar 55%).
3.2 Epidemiologi

20
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab umum dari kematian dan
kecacatan terutama pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1
juta kasus per tahun, dimana pada korban yang masih dapat bertahan sering
disertai dengan gejala sisa berupa gangguan kognitif. Di Indonesia kejadian cidera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas,
10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera kepala sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.1,2
3.3 Patofisiologi
Kerusakan otak secara patologis akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan
menjadi dua stadium utama yaitu cedera primer dan sekunder.6,7,8
1. Cedera Otak Primer (Primary Brain Injury)
Cedera otak primer merupakan kerusakan otak yang terjadi secara langsung
akibat dari mekanisme trauma yang terjadi. Biasanya hal ini sering terjadi akibat
kecelakaan atau benturan. Cedera primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan
deselerasi yang merusak struktur intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak
seimbang dari tengkorak dan otak.
Patofisiologi cedera primer dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu lesi
fokal dan lesi difus. Focal brain injury khas berhubungan dengan pukulan
terhadap kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera
fokal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan
progresifitasnya. Sedangkan diffuse axonal injury disebabkan oleh tekanan
inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada praktisnya cedera
difus dan fokal sering terjadi secara bersamaan. Fraktur tengkorak, epidural
hematoma, subdural hematoma, dan intrasereberal hematoma adalah beberapa
contoh kasus yang digolongkan sebagai cedera otak primer.
2. Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)
Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan
kerusakan neuron- neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal.
Cedera sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi yang

21
menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran darah otak (cerebral blood flow)
yang menimbulkan hipoksia dan iskemik.
Faktor sekunder akan memperberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi
otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi
intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian neuron.
Derajat keparahan gangguan kognitif pasca trauma kepala sangat
dipengaruhi oleh luasnya lesi di dalam otak yang disebabkan secara primer
maupun secara sekunder. Trauma langsung (cedera primer) pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan sel- sel neuron dan sel glial, pembuluh darah otak
maupun susunan akson.
Kerusakan primer ini pada akhirnya juga menyebabkan aktifnya mekanisme
kerusakan sekunder berupa komplikasi sitemik maupun mekanisme kerusakan
pada tingkat seluler yang dapat terjadi dalam hitungan jam sampai beberapa
minggu setelah terjadinya trauma. Komplikasi sistemik yang termasuk
didalamnya berupa edema, peningkatan tekanan intrakranial dan perdarahan.
Ketiga hal ini menyebabkan turunnya aliran darah otak dan akhirnya
menyebabkan iskemi jaringan otak. Iskemi jaringan otak ini sendiri kemudian
akan menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler berupa glutamate
excitotoxicity, calcium overload, timbulnya radikal bebas, disfungsi mitokondria,
inflamasi, dan pengaktifan gen pro-apoptosis. Proses kerusakan seluler ini
menyebabkan hilangnya sel neuron oleh karena nekrosis maupun programmed
cell death (apoptosis, necroptosis, dan autophagy)9

22
2.5 Klasifikasi

23
Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau
terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik
pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura
tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung
kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan
klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan

24
kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan
denganluka tembak dan luka tusuk.
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle
sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar
dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu
dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik
yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan.

Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.


2. Trauma kepala tertutup

25
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA.
Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio
serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat
menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari
kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada
aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih
lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan
bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat
duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak
masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga
gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan)
jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas
jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di
tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena
gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak
ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang
paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan
jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma
merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan
otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar
jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
A. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari
10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan
linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap,
setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang

26
nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan
kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala
yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang
tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa
mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan
total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa
hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa
mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini
disebut sindroma pasca konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan
suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa.
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para
ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor
psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita
sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio
adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau
kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan
dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan
medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka
tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala
diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak
semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika
cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
B. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan
yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih
utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di
daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan

27
intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan terjadi edema
otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan B.B.B. (blood
brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun peregangan
pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam
jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut
ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya
edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan
menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan
aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang
terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya
auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-
sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa
terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat
hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah
pusing,kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau
perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih
serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa
ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati
dengan kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah
luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan
tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya
bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan
cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun
(hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara

28
perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma
yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial
bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau
kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan
kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia
lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi
bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada
CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak gambaran
massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula
yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak
di bagian temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin
dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan
darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil

29
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah dan
didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit,
atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut
dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Berdasarkan Beratnya
A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran
hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan
kelaianan pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia
retrograde.
B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam.
Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri.
Terjadi juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa
minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa
bulan bahkan permanen.
C. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.

30
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai
SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak
yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
Berdasarkan Morfologi
Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri
setempat, nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan
subgaleal dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan
bentuk kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut
yang menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah
yang cair.
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak.
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin
terdepres atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat
benturan. Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak
bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam
rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

31
Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang
terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa
lapisan yang membentuknya.
Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser.
Pergerakkan tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini
menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang
bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit. Akibatnya
cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan, yang
nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian
distal akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung
distal
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk
menentukan adanya defisit kognitif. Diagnosis gangguan kognitif ringan
berdasarkan hasil evaluasi diagnostik yang meliputi pemeriksaan neurologis,
pemeriksaan status mental, evaluasi neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan
fisik termasuk tes laboratorium, pencitraan (CT-Scan atau MRI), dan peninjauan
kembali dari riwayat medis pasien dan obat-obatan yang pasien saat ini sedang
dipakai. Evaluasi ini dilengkapi dengan pengamatan klinis dari gejala-gejala
pasien, onset (mendadak atau bertahap), presentasi (bagaimana gejala-gejala
muncul), dan perkembangan gejala dari waktu ke waktu.12,13
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya
cukup baik mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada
penderita yang kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata

32
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap
cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang
tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan
sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami
penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Selain untuk melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat
adanya perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai
pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada otak
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan Cedera Kepala
I. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15. Terdiri
atas :
a. Simple head injury
 Tidak ada penurunan kesadaran
 Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
 Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
 Amnesia retrograde
 Pusing, sakit kepala, muntah
 Tidak ada defisit neurologis
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
 Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan
suction, pasang NGT
33
 Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
 Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
 Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan
tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan
yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah
dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans
cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada
luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea

34
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :
 Mengantuk dan sukar dibangunkan
 Mual dan muntah hebat
 Kejang
 Nyeri kepala bertambah hebat
 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
 Gelisah
8. Terapi simtomatik
II. Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah
sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat
memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien
cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya
sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila
kondisi membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan
perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien
harus dirawat untuk di observasi.
III. Cedera kepala berat
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana
karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
 Pingsan > 10 menit
 Kegelisahan motorik
 Sakit kepala, muntah
 Kejang
35
 Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
 Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup :
 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada
cedera kepala ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera
atau gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex
cahaya pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik
( Doll’s eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
- Tanda fokal neurologis semakin berat
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala
hebat, muntah proyektil

36
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang

2.8 Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area.
Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.

37
BAB IV
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara
ataupun permanent. Jika dilihat dari berat ringannya, cedera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu Cedera
kepala berat (CKB) jika nilai GCS 3- 8, Cedera kepala sedang (CKS) memiliki
nilai GCS 9-12 dan Cedera kepala ringan (CKR) dengan nilai GCS 13-15. Pada
pasien ini GCS yang di dapatkan sesuai dengan penilaian yaitu E1M5V4 dengan
GCS 10 dan termasuk sedera kepala sedang.
Pada pasien somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah sederhana ( GCS
9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat memburuk dengan cepat.
Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien cedera kepala berat tapi
aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya sama seperti pada cedera
kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi membaik,pasien
boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang apabila
kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk di
observasi.
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan yaitu berupa Observasi kesadaran
dan Observasi TTV serta pemasangan ngt dan kateter serta oksigen, kemudian
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan radiologi serta pengobatan yaitu Hecting
Vulnus laceratum, Inj. Tetagram extra, IVFD RL 20 tpm , Asam traneksamat 3x1
iv, Citicolin 3x1 iv, Ceftriaxone 2x1 iv, Ranitidine 2x1 iv dan Ketorolac 2x1 iv. ta

38
DAFTAR PUSTAKA

C.H.Salmond, D.A.Chatfield, D.K.Menon, J.D.Pickard, B.J.Sahakian. 2005.


Cognitive sequelae of head injury: involvement of basal forebrain and
associated structures. Brain Vol. 128 No.1 : 189–200

Sureyya S. Dikmen, PhD; John D. Corrigan, PhD, ABPP; Harvey S. Levin, PhD; Joan
Machamer, MA; William Stiers, PhD, ABPP; Marc G. Weisskopf, PhD, ScD.
2009. Cognitive Outcome Following Traumatic Brain Injury. J Head Trauma
Rehabil.Vol. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium,
Depresi dan Demensia.St.louis: Mosby year book

Morris, Terri. Traumatic Brain Injury. 2010. Springer.

Anthony M. Avellino. Increased Intracranial Pressure. 2005. Bernard Lmaria.

Welller K. Molecular Mechanism of Cognitive Dysfunction Following Traumatic


Brain Injury. Frontiers in Aging Neuroscience. July 2013. Volume 5.
Article 29.

Shere, Mark. Et al. Multidimensional Assessment of Acute Confusion After


Traumatic Brain Injury. 2005. Arch Phys Med Rehabil vol 86.

Rao, v. And Lyketos, C. 2000. Neurophsyciatric Sequele of Traumatic Brain


Injury. Psychosomatics

Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 2008. Kesepakatan penilaian Mini Mental State
Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.

Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2007. Peranan stroke iskemik akut

terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala


Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.

Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental

39
pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.

Frire, FR, et.all. Cognitive Rehabilitation Following Traumatic Brain Injury.


Dement Neuropsychol 2011, 5 (1) : 17 – 25

BaScher LM. Traumatic Brain Injury : Pharmacotherapy options for cognitive


deficits. Current Psychiatry Vol 1- no 2 : 21-37

Dikmen, S et. all. Cognitive Outcome Following Traumatic Brain Injury. J Head
Trauma Rehabil Vol. 24, No. 6, pp. 430–438 Copyright c 2009 Wolters
Kluwer Health/ Lippincott Williams & Wilkins

Skandsen et.all. Cognitive Impairment 3 Months After Moderate and Severe


Traumatic Brain Injury: A Prospective Follow-Up Study. Arch Phys Med
Rehabil Vol 91, December 2010

Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian


Rakyat. Jakarta : 2009

40

Anda mungkin juga menyukai