Anda di halaman 1dari 30

Tinjauan Pustaka

PATOFISIOLOGI DAN TERAPI DIABETES TIPE MODY DAN


MOLA

Disusun Oleh:
Sarah Gustia Woromboni
H1AP21017

Pembimbing:
Dr. Yandi, Sp.PD FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Sarah Gustia Woromboni

NPM : H1AP21017

Fakultas : Kedokteran

Judul : Patofisiologi dan Terapi Diabetes Tipe MODY dan LADA

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Yandi, Sp.PD FINASIM

Bengkulu, April 2022

dr. Yandi, Sp.PD FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka
ini.
Tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen
penilaian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD DR. M.
Yunus Bengkulu, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tinjauan pustaka ini telah melibatkan
banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Yandi, Sp.PD FINASIM Sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing dan memberikan banyak arahan dan
petunjuk demi perbaikan penulisan tinjauan pustaka ini.
2. Keluarga dan semua teman - teman yang telah memberikan dukungan
baik moril, materil, dan spiritual kepada penulis selama penyusunan
tinjauan pustaka ini.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari


kesempurnaan sehingga penulis sangat mengharapkan masukan, kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan kedepannya. Akhir kata semoga dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.

Bengkulu, April 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iv
BAB I..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................2
TINJAUN PUSTAKA................................................................................................................2
2.1 Definisi..................................................................................................................................2
2.2 Klasifikasi.............................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi.........................................................................................................................3
2.4 Etiologi dan Patogenesis.......................................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................................................8
2.6 Kriteria Diagnosis...............................................................................................................10
2.7 Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe I..................................................................................11
2.8 Komplikasi..........................................................................................................................20
2.9 Prognosis.............................................................................................................................22
BAB III.....................................................................................................................................23
KESIMPULAN.........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) adalah sindrom metabolik yang umum dan
kronis ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes melitus (DM) diklasifikasikan
sesuai dengan yang disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin karena pankreas
β-sel kerusakan (DM tipe 1) dan yang merupakan konsekuensi dari resistensi
insulin yang terjadi pada tingkat otot rangka, hati, dan jaringan adiposa dengan
berbagai tingkat penurunan sel-β (DM tipe 2).1
DM tipe 1 adalah gangguan endokrin-metabolik yang paling umum pada
masa kanak-kanak dan remaja, dengan konsekuensi penting untuk
perkembangan fisik dan emosional. Individu dengan DM tipe 1 menghadapi
perubahan gaya hidup yang serius yang mencakup kebutuhan harian mutlak
untuk insulin eksogen, kebutuhan untuk memantau kadar glukosa mereka
sendiri, dan kebutuhan untuk memperhatikan asupan makanan. Manifestasi
klinis akut disebabkan oleh hiperglikemia hypoinsulinemic ketoasidosis.
Mekanisme autoimun adalah faktor dalam genesis DM tipe 1, sedangkan
komplikasi jangka panjang terkait dengan gangguan metabolik (hiperglikemia).1
DM tipe 1 merupakan salah satu penyakit kronik yang sampai saat ini
belum dapat disembuhkan. Walaupun demikian berkat kemajuan teknologi
kedokteran kualitas hidup penderita DM tipe 1 tetap dapat sepadan dengan
anak-anak normal lainnya jika mendapat tatalaksana yang adekuat. Dalam
pembahasan referat ini, hanya akan dibahas mengenai diabetes melitus tipe I.2

1
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes melitus tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
Keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan sel –β pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
terhenti.2 Diabetes melitus tipe 1 merupakan gangguan dimana tidak ada insulin
di dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel sel beta pankreas gagal
berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik yang telah diketahui.3

2.2 Klasifikasi
2.2.1 Laten Autoimmune Diabetes in Adult (LADA)
Diabetes yang dimediasi kekebalan yang berkembang perlahan, atau
diabetes autoimun laten pada orang dewasa (LADA) adalah bentuk diabetes yang
menunjukkan gambaran klinis yang mirip dengan diabetes tipe 1 (T1D) dan
diabetes tipe 2 (T2D).4,5 Ini adalah bentuk diabetes autoimun mirip dengan T1D,
tetapi pasien dengan LADA sering menunjukkan resistensi insulin , mirip dengan
T2D, dan berbagi beberapa faktor risiko penyakit dengan T2D. [3] Penelitian
telah menunjukkan bahwa pasien LADA memiliki jenis antibodi tertentu yang
melawan sel penghasil insulin dan sel-sel ini berhenti memproduksi insulin lebih
lambat daripada pada pasien T1D.5
LADA tampaknya berbagi faktor risiko genetik dengan T1D dan T2D
tetapi secara genetik berbeda dari keduanya. Dalam kelompok pasien LADA,
heterogenitas genetik dan fenotipik telah diamati dengan berbagai tingkat
resistensi insulin dan autoimunitas. Dengan pengetahuan yang kita miliki saat ini,
LADA dengan demikian dapat digambarkan sebagai bentuk hibrida dari T1D dan
T2D, menunjukkan kesamaan fenotipe dan genotipe dengan keduanya, serta
variasi dalam LADA mengenai tingkat autoimunitas dan resistensi insulin.6,7

2
2.2.2 Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) pertama kali dijelaskan
pada 1974 oleh Tattershall adalah bentuk langka dari disfungsi sel-. Karakteristik
klasik MODY termasuk penurunan autosomal dominan, onset usia muda
(biasanya didiagnosis sebelum usia 45 tahun), autoimunitas kurangnya sel- dan
fitur resistensi insulin dan sekresi insulin endogen yang berkelanjutan. Jenis
MODY yang paling umum adalah karena mutasi pada gen Glucokinase (GCK),
Hepatic Nuclear Factor 1 alpha (HNF1A), Hepatic Nuclear Factor 4 alpha
(HNF4A) dan Hepatic Nuclear Factor 1 beta (HNF1B). Namun, diperkirakan
bahwa sekitar 80% kasus salah didiagnosis sebagai diabetes Tipe 1 (T1D) atau
Tipe 2 (T2D). Selain itu, penundaan sampai diagnosis genetik MODY telah
dihitung untuk sekitar 15 tahun dari diagnosis diabetes yang mencerminkan
keterbatasan dalam kesadaran MODY di antara dokter dan akses ke pengujian
genetik.8,9
Orang dengan MODY mungkin hanya memiliki gejala diabetes ringan
atau tidak ada dan hiperglikemia ditemukan selama tes darah rutin. Diagnosis
MODY mungkin membingungkan dibandingkan dengan diabetes tipe 1 atau tipe
2. Orang dengan MODY umumnya tidak kelebihan berat badan dan tidak
memiliki faktor risiko lain untuk diabetes tipe 2, seperti tekanan darah tinggi atau
kadar lemak darah yang abnormal. Sementara kedua diabetes tipe 2 dan MODY
dapat berjalan dalam keluarga, orang dengan MODY biasanya memiliki riwayat
keluarga diabetes dalam beberapa generasi berturut-turut, yang berarti bahwa
MODY hadir di kakek-nenek, orang tua, dan seorang anak. Tidak seperti orang
dengan diabetes tipe 1 yang selalu membutuhkan insulin, orang dengan MODY
sering dapat diobati dengan obat diabetes oral. Sampai saat ini, mutasi pada 10
gen yang berbeda telah dikaitkan dengan fenotip MODY.10

2.3 Epidemiologi
Pada kebanyakan negara barat, diabetes mellitus tipe 1 terjadi lebih dari
90% pada anak-anak dan remaja diabetes meskipun kurang dari setengah dari
individu dengan diabetes melitus tipe 1 yang didiagnosis sebelum usia 15

3
tahun.3 Kejadian diabetes melitus tipe 1 sangat bervariasi antara berbagai
negara, dalam negara, dan antara populasi dari etnis yang berbeda. Tingkat
insiden tahunan untuk diabetes melitus tipe 1 anak menunjukkan insiden
tertinggi yaitu 64 per 100.000/tahun di Finlandia dan terendah 0,1 per
100.000/tahun di Cina dan Venezuela.11
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang paling sering
disamping asma di USA. DM tipe 1 mengenai sekitar 125.000 anak di USA
dengan kira-kira 13.000 kasus baru per tahun.5 Di antara anak-anak muda dari
10 tahun, tingkat tahunan kasus baru adalah 19,7 per 100.000 penduduk. Di
antara usia 10 tahun atau lebih, tingkat tahunan kasus baru adalah 18,6 per
100.000 penduduk. Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit metabolik yang
paling umum dari masa kanak-kanak. Sekitar 1 dari setiap 400-600 anak dan
remaja memiliki DM tipe 1.12
Dari penelitian yang dilakukan oleh Dabelea dkk didapatkan bahwa
tingkat kejadian diabetes melitus tipe 1 di kalangan pemuda dari semua ras/etnis
di Amerika Serikat dan terjadi tertinggi pada non-Hispanik pemuda putih. 4
Anak perempuan dan anak laki-laki hampir sama terlalu berbeda, tidak ada
korelasi yang jelas dengan status sosial ekonomi. Puncak dari presentasi terjadi
pada 2 kelompok umur yaitu di usia 5-7 tahun dan pada saat pubertas. Semakin
banyak kasus sedang terjadi antara usia 1 dan 2 tahun. Puncak pada kelompok
usia pertama terjadi mungkin sesuai dengan saat paparan meningkat menjadi
agen infeksi bertepatan dengan awal sekolah. Puncak pada kelompok usia
kedua mungkin sesuai dengan percepatan pertumbuhan pubertas diinduksi oleh
steroid gonad dan peningkatan sekresi hormone pertumbuhan pubertas (yang
antagonis insulin). Kemungkinan hubungan penyebab-akibat ini tetap harus
dibuktikan.1,13
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada diabetes melitus tipe
I. Walaupun hampir 80% penderita diabetes melitus tipe I baru tidak
mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa, faktor genetik
dikaitkan dengan HLA tertentu, tetapi sistem HLA bukan merupakan faktor
satu-satunya atau faktor dominan pada patogenesis diabetes melitus tipe 1.

4
Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
Diperlukan suatu faktor yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin, dan
lain-lain) untuk memicu gejala-gejala klinis diabetes melitus tipe I pada
seseorang yang rentan.2

2.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab dasar temuan-temuan klinis awal pada bentuk diabetes melitus
dominan ini pada masa anak adalah sekresi insulin yang menurun tajam akibat
kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun. Diabetes melitus tipe
1 secara jelas berbeda karena hubungannya dengan antigen histokompatibilitas
(HLA), adanya antibodi terhadap komponen sitoplasma dan komponen sel
permukaan sel pulau dalam sirkulasi, antibodi terhadap insulin pada tidak
adanya pemajanan terhadap injeksi insulin sebelumnya, antibodi terhadap asam
glutamat dekarboksilase (glutamic acid decarboxylase [GAD]), enzim yang
mengubah asam glutamat menjadi asam gamma aminobutirat (gamma
aminobutyric acid [GABA]), ditemukan secara berlebihan pada inervasi pulau
pancreas, infiltrasi limfosit pulau pada awal penyakit, dan penyakit autoimun
lainnya.1,2
Hubungan diabetes melitus tipe 1 dengan faktor-faktor genetik atas dasar
peningkatan insiden pada beberapa keluarga dan atas dasar perbedaan etnik dan
ras pada prevalensi. Faktor-faktor pemicu dapat termasuk infeksi virus. Epidemi
parotitis, rubella, dan koksakievirus berkaitan dengan diabetes melitus tipe 1.
virus ini mungkin bekerja secara langsung menghancurkan sel β-pankreas,
dengan menetap di dalam sel β-pankreas sebagai infeksi virus lambat, atau
dengan memicu respon imun yang luas ke beberapa jaringan endokrin. Virus ini
dapat menginduksi kerusakan sel-sel β awal yang mengakibatkan penyajian
determinan antigenik yang sebelumnya tertutup atau diubah. Virus ini memiliki
beberapa determinan antigenik dengan virus yang ada di dalam sel β termasuk
GAD sehingga antibodi yang terbentuk dalam responnya terhadap virus dapat
berinteraksi dengan determinan sel β, mengakibatkan penghancuran, dan suatu
contoh penyesuaian (mimikri) molekuler.1

5
Stres dan pemajanan yang mendahului terhadap toksin kimia tertentu
telah dilibatkan pada perkembangan diabetes melitus tipe 1. Pemeriksaan
histologis pulau pankreas pada penderita yang meninggal, menunjukan infiltrasi
limfosit sekitar pulau pankreas, lalu secara progresif menjadi terhialinisasi, dan
bersifat autoimun.1,14
Berikut ini adalah diagram dari mekanisme perkembangan diabetes
melitus tipe 1.

Sekitar 80-90% penderita diabetes mellitus tipe 1 yang baru didiagnosis


memiliki antibodi sel pulau (ICA) yang diarahkan pada permukaan sel atau
determinan sitoplasma pada sel-sel pulaunya, dan prevalensi antibodi ini
menurun selama penyakit terbentuk. Sebanyak 80% penderita dapat memiliki
antibodi terhadap GAD dan 30-40% mungkin memiliki antibody anti-insulin
spontan pada awal diagnosis. Temuan ini menunjukan bahwa diabetes melitus
tipe 1, mirip penyakit autoimun lain, seperti tiroiditis Hashimoto, merupakan
penyakit autoragresi, dimana autoantibodi bekerjasama dengan komplemen, sel-
sel T, atau faktor-faktor lain, dan menginduksi kerusakan sel pulau penghasil
insulin. Dengan demikian, pewarisan gen-gen tertentu berkaitan dengan sistem

6
HLA pada kromosom 6 yang tampak memberikan predisposisi ke arah penyakit
autoimun, termasuk diabetes mellitus bila dipicu oleh stimulus yang tepat
seperti virus.1

Gambar diatas menunjukan ringkasan konsep baru etiologi diabetes tipe-1


sebagai penyakit autoimun, kecenderungan kearah pewarisan HLA dan
pengerusakan autoimun sel β pankreas dipicu oleh agen yang belum diketahui.
Lereng penurunan pada insulin bervariasi, dan titik dimana gambaran klinis
muncul sesuai dengan 80% penghancuran cadangan sekresi insulin. Proses ini
dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, biasanya pada remaja dan
yang lebih tua, dan berminggu-minggu pada penderita yang sangat muda.2
P
ada pasien serangan baru diabetes tipe-1 yang tidak memiliki diabetic
ketoasidosis, massa sel β tidak seluruhnya rusak. Sisa sel-sel β yang masih
fungsional akan pulih dengan pengobatan insulin, dan akan kembali
memproduksi insulin. Ketika ini terjadi, kebutuhan insulin berkurang, dan
terjadi periode stabil glukosa darah terkontrol, sering dengan konsentrasi
glukosa hampir normal. Fase ini disebut periode bulan madu, biasanya dimulai
pada minggu pertama terapi dan berlanjut beberapa bulan, dan bertahan sampai
1
2 tahun.

7
Diabetes mellitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas akibat
proses autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak didapatkan bukti
autoimunitas atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis timbul ketika kerusakan
sel-sel pankreas mencapai ≥90%.6,7 Banyak faktor yang berkontribusi dalam
patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor genetik, epigenetik, lingkungan, dan
imunologis. Namun, peran spesifik masing-masing faktor terhadap patogenesis
DM tipe-1 masih belum diketahui secara jelas. Risiko untuk mengalami DM
tipe-1 berhubungan dengan kerusakan gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus
gen yang berhubungan dengan kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang
dijumpai, hanya 10%-15% pasien memiliki keluarga derajat pertama dan kedua
dengan DM tipe-1.15
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara lain,

infeksi virus dan diet. Sindrom rubella kongenital dan infeksi human enterovirus

diketahui dapat mencetuskan DM tipe-1. Konsumsi susu sapi, konsumsi sereal

dini, dan vitamin D maternal diduga berhubungan dengan kejadian DM tipe-1,

tetapi masih dibutuh


kan investigasi lebih lanjut. Pada beberapa pasien dengan
awitan baru DM tipe 1, sebagian kecil sel β belum mengalami kerusakan.
Dengan pemberian insulin, fungsi sel β yang tersisa membaik sehingga
kebutuhan insulin eksogen berkurang. Periode ini disebut sebagai periode bulan
madu atau honeymoon period di mana kontrol glikemik baik. Umumnya, fase ini
diawali pada beberapa minggu setelah mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya,
pada beberapa pasien dapat mencapai dua tahun.16

2.5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis
2
ditegakkan.

8
Diabetes melitus yang terus berkembang akan menyebabkan gejala terus
meningkat, yang mencerminkan massa β-sel menurun, insulinopenia memburuk,
hiperglikemia progresif, dan akhirnya ketoasidosis. Awalnya, ketika hanya
cadangan insulin terbatas, hiperglikemia hanya sesekali terjadi. Ketika glukosa
serum meningkat di atas ambang ginjal, poliuria intermiten atau nokturia
dimulai. Dengan semakin banyak β-sel yang hilang maka akan terjadi
hiperglikemia kronis yang menyebabkan diuresis lebih banyak, sering dengan
enuresis nokturnal, dan polidipsia menjadi lebih nyata. Pasien wanita dapat
terjadi vaginitis monilial karena glikosuria kronis. Kalori yang hilang dalam urin
(glikosuria) memicu hiperpagia kompensasi. Jika hiperpagia ini tidak mengikuti
glikosuria, maka akan terjadi kehilangan lemak tubuh, penurunan berat badan
2
klinis, dan lemak subkutan berkurang.
Insidens DM tipe 1 di Indonesia masih rendah sehingga tidak jarang terjadi
kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Akibat keterlambatan
diagnosis, penderita DM tipe 1 akan memasuki fase ketoasidosis yang berakibat
fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat terjadi karena penderita disangka
menderita bronkopneumonia dengan asidosis atau syok berat akibat
2
gastroenteritis.
P
erjalanan alamiah penyakit DM tipe 1 ditandai dengan adanya fase remisi
(parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat
berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pankreas
sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini
harus dicurigai apabila seorang penderita baru DM tipe 1 sering mengalami
serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk
menghindari hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah
mencapai <0,25 U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita berada pada fase
2
remisi total.
Ketoasidosis menyebabkan tanda awal pada kebanyakan anak diabetes
melitus (25%). Manifestasi awal mungkin relatif ringan berupa muntah,

9
poliuri, dan dehidrasi. Pada kasus yang lama dan berat, terdapat pernapasan
Kussmaul, dan ditemukan bau aseton pada pernapasannya. Nyeri atau kekakuan
perut dapat ditemukan dan dapat menyerupai apendisitis atau pankreatitis. Terjadi
ketumpulan otak dan akhirnya koma. Temuan-temuan laboratorium, meliputi
glukosuria, ketonuria, hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis metabolik.
Leukositosis lazim ditemukan, amilase serum nonspesifik dapat meningkat, dan
lipase serum biasanya tidak meningkat. Pada mereka yang mengeluh nyeri perut,
nyeri tidak boleh dianggap bahwa temuan ini merupakan bukti perlu adanya
gawat darurat pembedahan sebelum masa terapi cairan, elektrolit, insulin
yang sesuai telah dicoba untuk mengoreksi dehidrasi dan asidosis.
Manifestasi perut sering hilang setelah beberapa jam pengobatan tersebut.2

2.6 Kriteria Diagnosis


Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler
<126 mg/dl (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.2
Diagnostik DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, polifagia, berat
badan yang menurun, dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
(11,1 mmol/L)
2. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu
kali pemeriksaan.
a. Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
karena gambaran klinis sudah khas. Indikasi TTG pada anak adalah pada
kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-gejala klinis yang
khas untuk DM, namun konfirmasi melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah tidak meyakinkan.2

10
Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB
(maksimum 75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250
cc air) dalam waktu 5 menit. TTG dilakukan setelah anak mendapat diet
tinggi karbohidrat (150-200 gr/hari) selama 3 hari berturut-turut dan anak
berpuasa semalam menjelang TTG dilakukan. Selama 3 hari sebelum TTG
dilakukan, aktivitas anak tidak dibatasi, dilaksanakan sesuai dengan
kegiatan rutinnya sehari-hari. Sampel glukosa darah diambil pada
menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60, dan 120.2
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG yaitu:
1. Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.
2. Anak tidak sedang di dalam pengobatan/minum obat-obat yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
3. Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler. Gunakanlah
darah vena.
4. Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5% per jam apabila
dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena diambil dengan
pengawet EDTA/heparin segera disimpan di dalam es/lemari es.
5. Selain cara 4 di atas, maka sampel darah dapat segera disentrifus
agar kadar glukosa darah tidak menurun.2
b. Penilaian Hasil Tes Toleransi Glukosa
1. Anak menderita DM apabila
Kadar glukosa darah puasa >140 mg/ dl (7,8 mmol/L) atau
Kadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Anak dikatakan menderita toleransi glukosa terganggu apabila
Kadar glukosa darah puasa <140 mg/ dl (7,8 mmol/L) dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2 140–199 mg/dl (7,8–11 mmol/L)
3. Anak dikatakan normal apabila
Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dl (6,7 mmol/L) dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2 (vena) <140 mg/dl (7,8 mmol/L).

11
2.7 Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe I

DM tipe 1 memang tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas hidup


penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik
yang baik. Kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa
darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa
menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada kelemahan,
parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik standar pada DM.
Nilai HbA1c <7% berarti kontrol metabolik baik, HbA1c <8% cukup, dan
HbA1c >8 dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan
usia karena semakin rendah HbA1c semakin tinggi resiko terjadinya
hipoglikemia.2
Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe 1 yaitu:
Sasaran
1. Bebas dari gejala penyakit
2. Dapat menikmati kehidupan sosial
3. Terhindar dari komplikasi
Tujuan
1. Tumbuh kembang optimal
2. Perkembangan emosi normal
3. Kontrol metabolik baik tanpa terjadi hipoglikemik
4. Absensi sekolah rendah dan aktif berpartisipasi di sekolah
5. Pasien mampu mengelola penyakitnya secara mandiri

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM


tipe 1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi
yang didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring).

a. Pemberian Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga
harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan
melalui suntikan, dan insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per-oral (ditelan).1,2

12
Diabetes tipe 1 mutlak membutuhkan insulin karena pankreas tidak
dapat memproduksi hormon insulin. Maka seumur hidupnya pasien harus
mendapatkan terapi insulin untuk mengatasi glukosa darah yang tinggi.
Penghentian suntikan akan menimbulkan komplikasi akut dan bisa fatal
akibatnya.1,2
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes melitus dinamakan terapi
insulin. Tujuan terapi ini terutama untuk:
1. Mempertahankan glukosa darah dalam kadar yang normal atau
mendekati normal.
2. Menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kronis pada diabetes.
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga
insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan
pemberian insulin adalah melalui suntikan, bisa suntikan di bawah kulit
(subcutan/sc), suntikan ke dalam otot (intramuscular/im), atau suntukan ke
dalam pembuluh vena (intravena/iv). Ada pula yang dipakai secara terus
menerus dengan pompa (insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan semprot)
ke dalam kulit (insulin medijector).

Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan berbagai jenis sediaan yang
dapat dipakai sekaligus profil kerjanya.
Jenis insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja
Kerja cepat (rapid acting) 0,15-1,35
(jam) (jam) 1-3 (jam) 3-5
(aspart, gluisine dan ispro)

Kerja pendek (regular/soluble) 0,5-1 2-4 5-8

Kerja menengah
Semilente 1-2 4-10 8-16
NPH 2-4 4-12 12-24
IZS lente type 3-4 6-15 18-24

13
Insulin basal
Glargine 2-4 Tidak ada 24*
Detemir 1-2 6-12
20-24
Kerja panjang
Ultralente type 4-8 12-24 20-30
Insulin campuran
Cepat-menengah 0,5 1-12 16-24
Pendek-menengah 0,5 1-12 16-24

Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat


digunakan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja
panjang (long-acting insulin). Sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin
prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin
regular/ short-acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-
rapid acting insulin). Di pasaran, selain tersedia insulin dengan komposisi
tersendiri dan juga ada sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara
insulin kerja cepat atau sangat cepat dengan insulin kerja menengah (disebut
juga premixed insulin).1

14
Tidak ada pedoman baku untuk menentukan jenis insulin apa yang
terbaik bagi seorang penderita DM tipe 1 anak. Walaupun demikian sebagian
besar ahli sepakat bahwa jenis kerja panjang kurang sesuai untuk digunakan pada
anak. Apapun jenis insulin yang akan digunakan harus disesuaikan dengan usia
anak (proses tumbuh kembang anak), aspek sosio ekonomi (pendidikan dan
kemampuan finansial), sosio kultural (sikap orang muslim terhadap insulin
babi), dan faktor distribusi obat.2
Ada dua hal yang penting dikenali pada pemberian insulin yaitu efek
somogyi dan efek subuh (dawn effect). Kedua fenomena ini mengakibatkan
hiperglikemia pada pagi hari. Pada efek somogyi terjadi hiperglikemia pada pagi
hari setelah hipoglikemia (rebound effect). Akibat pemberian insulin yang
berlebihan, maka terjadi hipoglikemia pada malam hari (jam 02.00-03.00)
sehingga upaya tubuh untuk mengatasi hipoglikemia mengakibatkan
hiperglikemia. Sedangkan pada efek subuh, hiperglikemia pada pagi hari terjadi
akibat kerja hormon-hormon antiinsulin (hormon-hormon glikogenik). Kerja
hormon anti-insulin tersebut merupakan proses fisiologis. Kedua peristiwa
tersebut memerlukan penanganan yang berbeda. Efek somogyi diatasi
dengan mengurangi dosis insulin malam hari atau menambahkan makanan
kecil sebelum tidur. Sebaliknya pada efek subuh, dosis insulin ditambah
untuk menghindari hiperglikemia pada pagi hari tersebut.2

b. Penyesuaian Dosis Insulin


Penyesuaian dosis insulin bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik
yang optimal tanpa mengabaikan kualitas hidup penderita baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Keseimbangan antara kontrol metabolik dan
kualitas hdup sangat sulit dicapai tetapi harus selalu diusahakan. Pengaturan
dosis insulin yang kaku atau terlalu fleksibel bukan merupakan jawaban untuk
mencapai kontrol metabolik yang baik.2
Penyesuaian dosis biasanya dibutuhkan pada honeymoon period, masa
remaja, masa sakit, dan sedang menjalankan pembedahan. Pada dasarnya
kebutuhan insulin adalah sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh, namun

15
masalahnya penyesuaian dosis tidak dapat dilakukan secara sembarang karena
dapat mencetuskan kedaruratan medik.1,2
Pada fase honeymoon period, dosis insulin yang dibutuhkan sangat
rendah, bahkan pada beberapa kasus kontrol metabolik dapat dicapai tanpa
pemberian insulin sama sekali. Dosis insulin pada fase ini perlu disesuaikan
untuk menghindari serangan hipoglikemia.1,2,3
Pada masa remaja, kebutuhan insulin meningkat karena bekerjanya
hormon- hormon seks steroid, meningkatnya amplitude, dan frekuensi sekresi
growth hormone yang kesemuanya merupakan hormon-hormon anti insulin.
Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan makanan tetapi
jangan menghentikan insulin sama sekali. Penghentian insulin akan
meningkatkan lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah
meningkat dan penderita rentan untuk menderita ketoasidosis.

c. Pengaturan makan
Pada anak dengan DM tipe 1, kalori tetap diperlukan untuk pertumbuhan.
Pengaturan makanan pada penderita DM tipe 1 bertujuan untuk mencapai
kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk
metabolisme basal, pertumbuhan, dan pubertas maupun aktivitas sehari-hari.
Dengan pengaturan makan ini diharapkan pasien tidak obesitas dan dapat
dicegah timbulnya hipoglikemia. Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan
dihitung berdasarkan berat badan ideal. Penghitungan kalori ini memerlukan
data umur, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan saat penghitungan serta
kecukupan kalori yang dianjurkan.2
Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 50-60% dari karbohidrat, 10-
15% berasal dari protein dan 30% dari lemak. Karbohidrat sangat berpengaruh
terhadap kadar glukosa darah dalam 1-2 jam setelah makan 90% karbohidrat
akan menjadi glukosa. Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat
tinggi dan memiliki indeks glikemik dan glycemic load yang rendah seperti
buah-buahan, sayuran dan sereal yang akan membantu mencegah lonjakan
kadar glukosa darah.2

16
Pola 3J, yakni jumlah kalori, jadwal makan, dan jenis makanan. Bagi
penderita yang tidak mempunyai masalah dengan berat badan tentu lebih
mudah untuk menghitung jumlah kalori sehari-hari. Caranya dengan berat badan
dikalikan 30. Misalnya orang dengan berat badan 50 kg, maka kebutuhan
kalori dalam sehari adalah 1.500 (50x30). Kalau yang bersangkutan
menjalankan olahraga, kebutuhan kalorinya pada hari berolahraga ditambah
sekitar 300-an kalori.2
Jadwal makan pengidam diabetes dianjurkan lebih sering dengan porsi
sedang. Maksudnya agar jumlah kalori merata sepanjang hari. Tujuan akhirnya
agar beban kerja tubuh tidak terlampau berat dan produksi kelenjar ludah perut
tidak terlalu mendadak. Di samping jadwal makan utama pagi, siang, dan
malam, dianjurkan juga porsi makanan ringan di sela-sela waktu tersebut(selang
waktu sekitar tiga jam).2
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 2
kali makanan kecil sebagai berikut:
 25% berupa makan pagi
 10% berupa makanan kecil
 25% berupa makan siang
 10% berupa makanan kecil
 30% berupa makan malam

Yang perlu dibatasi adalah makanan berkalori tinggi seperti nasi, daging
berlemak, jeroan, dan kuning telur disertai makanan berlemak tinggi seperti es
krim, ham, sosis, cake, coklat, dendeng, makanan gorengan. Sayuran berwarna
hijau gelap dan jingga seperti wortel, buncis, bayam, caisim bisa dikonsumsi
dalam jumlah lebih banyak dan begitu pula dengan buah-buahan segar. Namun,
perlu diperhatikan bila penderita menderita gangguan ginjal, konsumsi sayur-
sayuran hijau dan makana berprotein tinggi harus dibatasi agar tidak terlalu
membebani kerja ginjal.1,2

d. Olahraga

17
Selain memperhatikan pola makan sehari-hari, penderita harus melakukan
latihan fisik. Pada prinsipnya olahraga bagi penderita diabetes melitus tidak
berbeda dengan yang untuk orang sehat, penderita baru atau pun lama. Olahraga
itu terutama untuk membakar kalori tubuh sehingga glukosa darah bisa terpakai
untuk energi, sehingga kadar gulanya bisa turun. Penderita diabetes yang telah
lama dikhawatirkan bisa mengalami arterosklerosis (penyempitan pembuluh
darah). Namun, dengan berolahraga timbunan kolesterol di pembuluh darah
akan berkurang sehingga risiko terkena penyakit jantung juga menurun.
Menurut dokter olahraga di Balai Kesehatan Olahraga Masyarakat
(BKOM) DKI, sebaiknya jenis olahraga bagi penderita diabetes melitus dipilih
yang memiliki nilai aerobik tinggi, jalan cepat, lari (joging), senam
aerobik, renang, dan bersepeda. Jenis olahraga lainnya, tenis, tenis meja,
bahkan sepakbola, pun boleh dilakukan asal dengan perhatian ekstra.
FID (frekuensi, intensitas, dan durasi) olahraga bagi penderita diabetes
melitus pada prinsipnya tidak berbeda dengan yang diterapkan untuk orang
sehat. Frekuensi berolahraga adalah 3-5 kali seminggu. Namun, penderita
yang menggunakan suntikan insulin harus hati-hati. Harus diperhatikan waktu
puncak kerja insulin yang disuntikkan.
Dalam melakukan olahraga, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Kadar gula darah penderita saat melakukan olahraga harus berada pada kisaran
100–300 mg/dl. Jika gula darah >300 mg/dl dikhawatirkan terjadi ketosis
(kelebihan keton dalam jaringan). Penderita dengan kadar gula yang terlalu
rendah juga dilarang melakukan latihan. Sementara jika kadar gulanya sudah
normal lalu melakukan olahraga, ditakutkan malah terjadi hipoglikemia.2
Mereka yang memilih jenis olahraga yang memerlukan waktu lama seperti
tenis lapangan atau sepakbola, sebaiknya setiap 30 menit mengkonsumsi
glukosa (makanan atau minuman manis). Dengan demikian kadar gula darahnya
bisa dijaga agar tidak terlalu turun. Hal yang perlu diperhatikan pula saat
berolahraga adalah cuaca. Pada cuaca sangat panas, terjadi penyerapan insulin
yang banyak sehingga gula darah lebih terserap lagi.2

18
Menjaga kebersihan dan kesehatan kaki juga penting dalam
berolahraga. Ketika sedang joging atau jalan, kaki akan bergesekan dengan
sepatu. Oleh karena itu, kaus kaki yang dikenakan harus bersih. Sepatu juga
harus yang lunak bagian dalamnya untuk menghindari lecet. Pakailah sepatu
sesuai penggunaannya.2

e. Pemantauan
Pemantauan ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi
akut maupun kronis, baik selama perawatan di rumah sakit maupun secara
mandiri di rumah yang meliputi:
 Keadaan umum dan tanda vital
 Kemungkinan infeksi
 Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan
menggunakan glukometer) setiap sebelum makan dan menjelang
tidur malam hari
 Kadar HbA1C (setiap 3 bulan)
 Pemeriksaan keton urin (terutama bila kadar gula >250 mg/dl)
 Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun)
 Fungsi ginjal
 Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya
terjadi setelah 3-5 tahun menderita DM tipe 1 atau setelah
pubertas)
 Tumbuh kembang.

Tujuan utama dalam pengelolaan pasien DM adalah kemampuan


mengelola penyakitnya secara mandiri, penderita diabetes, dan keluarganya
mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat karena
pemberian insulin tergantung kepada kadar glukosa darah. Dari beberapa
penelitian telah dibuktikan adanya hubungan bermakna antara pemantauan
mandiri dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar glukosa darah beberapa kali
per hari harus dilakukan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia dan

19
hiperglikemia, serta untuk penyesuaian dosis insulin. Kadar glukosa darah
preprandial, post prandial dan tengah malam sangat diperlukan untuk
penyesuaian dosis insulin.1,2

f. Kontrol Metabolik
The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menyatakan
bahwa kadar glukosa darah yang mendekati normoglikemia akan mengurangi
kejadian dan progresifitas komplikasi mikrovaskular pada pasien diabetes anak
maupun dewasa. Berikut ini adalah kriteria untuk menyatakan kontrol yang baik
yaitu:
Kriteria untuk menyatakan kontrol yang baik9:
1. Tidak terdapat glukosuria atau hanya minimal
2. Tidak terdapat ketonuria
3. Tidak ada ketoasidosis
4. Jarang terjadi hipoglikemia
5. Glukosa PP normal
6. HbA1c normal
7. Sosialisasi baik
8. Pertumbuhan dan perkembangan normal
9. Tidak terdapat komplikasi
Kontrol Metabolik Yang Diharapkan
HbA1C GD Pre Prandial GD Post Prandial

Bayi <7,5- 100-180 <200


Usia 8,5 <8 70/80-150 <200
sekolah
Remaja <7,5 70-140/150 <180

2.8 Komplikasi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi
(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini

20
berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga
berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya.1,2,10
Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat
penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit
3
dan saraf.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar
zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).
4
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus.
Sirkulasi darah yang buruk melalui pembuluh darah besar (makro) bisa
melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan
pembuluh darah kecil (mikro) bisa melukai mata, ginjal, saraf dan kulit serta
5
memperlambat penyembuhan luka.
Penderita diabetes melitus bisa mengalami berbagai komplikasi jangka
panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang lebih
1
sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke.
Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan
penglihatan akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan
fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani
cuci darah (dialisa). Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa
bentuk. Jika satu saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati), maka sebuah
lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah.
Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai dan kaki mengalami kerusakan
(polineuropati diabetikum), maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan
kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan. Kerusakan pada saraf
menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat
merasakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah ke kulit
juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka berjalan

21
lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa
penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai harus diamputasi.
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda),
kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat
menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan
impotensi dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk:
1. Mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. Menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang
umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk
identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria
mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe 1 selama >5 tahun,
dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1 kali/tahun. Bila tes positif, maka
dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada
penderita DM tipe 1, biasanya disertai terjadinya nefropati diabetik. Komplikasi
pengobatan insulin ialah hipoglikemik dan terjadinya somogyi effect, yaitu
anak jatuh dalam keadaan hipoglikemik, kemudian hiperglikemia dan kadar
glukosa darah sulit dicapai normal.2

2.9 Prognosis
Sebelum insulin ditemukan anak dengan DM tipe 1 meninggal
sesudah 2 tahun. Tetapi dengan pengobatan insulin, kehidupan diperpanjang
walaupun komplikasi akan timbul seelah 10-20 tahun. Komplikasi jangka
panjang DM tipe 1 meliputi retinopati, nephropati, neuropati, dan penyakit
makrovaskular. Bukti adanya kerusakan yang disebabkan oleh hiperglikemik
jarang pada pasien yang memiliki penyakit <5-10 tahun. Beberapa derajat
retinopati diabetik akhirnya terjadi hampir pada semua pasien DM tipe 1 dan

22
menyebabkan kebutaan sekitar 5000 kasus baru di USA. Neuropati terjadi pada
30%-40% pasien paskapubertas dengan DM tipe 1 dan menyebabkan defisit
1
sensorik, motorik, dan anatomi.

BAB III
KESIMPULAN

Diabetes melitus tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan


metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel –β pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.2 Penyebab dasar
temuan-temuan klinis awal pada bentuk diabetes melitus dominan ini pada masa
anak adalah sekresi insulin yang menurun tajam akibat kerusakan sel β-pankreas
yang didasari proses autoimun. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 1
mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria,
polidipsia, polifagia, dan berat badan yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai
2
2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Glukosa darah puasa dianggap normal
bila kadar glukosa darah kapiler <126 mg/dl (7 mmol/L).2
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi
(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini
berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga
berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf, dan struktur internal lainnya.1,2,10
Komplikasi jangka panjang diabetes melitus tipe 1 meliputi retinopati,
nephropati, neuropati, dan penyakit makrovaskular. Diabetes melitus tipe 1
memang tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat
dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik.2

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, R., Kliegman, R., Jenson, H., 2003. Nelson Textbook of


Pediatric. 17th Edition. P: 2005.
2. APEG, 2005. Clinical Practice Guidelines: Type 1 Diabetes in Children
and Adolescents.
3. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus
Guidelines 2000-ISPAD Consensus Guidelines for Management of Type 1
Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
4. Carlsson, Sofia (2019). "Etiology and Pathogenesis of Latent Autoimmune
Diabetes in Adults (LADA) Compared to Type 2 Diabetes". Frontiers in
Physiology. 10: 320. doi:10.3389/fphys.2019.00320. ISSN 1664-042X.
PMC 6444059. PMID 30971952.
5. Mishra, Rajashree., Hodge, Kenyaita M., Cousminer, Diana L., Leslie,
Richard D., Grant, Struan F. A. (2018- 09-01). "A Global Perspective of
Latent Autoimmune Diabetes in Adults". Trends in Endocrinology &
Metabolism. 29 (9): 638–650. doi:10.1016/j.tem.2018.07.001. ISSN
1043-2760. PMID 30041834 . S2CID 51715011.
6. Buzzetti, Raffaella; Zampetti, Simona; Maddaloni, Ernesto (November
2017). "Adult-onset autoimmune diabetes: current knowledge and
implications for management". Nature Reviews Endocrinology. 13 (11):
674–686. doi:10.1038/nrendo.2017.99. ISSN 1759-5037. PMID
28885622 . S2CID 3339346 .
7. Andersen, Mette K., Lundgren, Virve., Turunen, Joni A., Forsblom, Carol.,
Isomaa, Bo., Groop, Per-Henrik., Groop, Leif; Tuomi, Tiinamaija (2010-
09-01). "Latent Autoimmune Diabetes in Adults Differs Genetically From

24
Classical Type 1 Diabetes Diagnosed After the Age of 35 Years" .
Diabetes Care. 33 (9): 2062–2064. doi:10.2337/dc09-2188. ISSN 0149-
5992. PMC 2928363. PMID 20805278.
8. Kavvoura FK, Owen KR. Maturity onset diabetes of the young: clinical
characteristics, diagnosis and management. Pediatric Endocrinology
Reviews. 2012; 10(2): 234–42.
9. National Diabetes Information Clearing House. Monogenic forms of
diabetes : neonatal diabetes mellitus and maturity-onset diabetes of the
young. National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases.
2014; 1–12.
10. Thanabalasingham G, Owen KR. Diagnosis of maturity onset diabetes of
the young (MODY). British Medical Journal. 2011; 343(Oktober): 837–
42.
11. UKK Endokrinolog, 2009. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1 di Indonesia. Jakarta: PP IDAI.
12. Rudolph, AM., Hostetter, MK., 2003. Rudolph’s Pediatrics. Edition 24.
Mc-graw hill: New York.
13. German, MS., Masharani, U., 2007. Pancreatic Hormones and Diabetes
Mellitus. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology. Edisi ke-8.
USA: The McGraw-Hill Companies.
14. Karam., John, H., 2000. Hormon-Hormon Pankreas dan Diabetes Melitus.
Dalam: Endokrinologi Dasar dan Klinik. Edisi 4. Jakarta:EGC. Hal 742-
826.
15. Mayer-Davis EJ, Kahkoska AR, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Gong
CX. ISPAD clinical practice consensus guidelines 2018: Definition,
epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents.
Pediatric Diabetes 2018;19:7-19.
16. Marcdante KJ, Kliegman RM, penyunting. Nelson Essentials of
Pediatrics. Edisi Ke-8. Philadelphia: Elsevier; 2019.

25
17. Dabelea, D., Bell, RA., D'Agostino, RB Jr., Imperatore, G., Johansen, JM.,
2007. Incidence of Diabetes in Youth in the United States. JAMA.
297(24):2716-24.

26

Anda mungkin juga menyukai