Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KOMPLIKASI

AKUT DIABETES

DISUSUN OLEH:

Shabrina Amalia Suci 2110221045

PEMBIMBING:

dr. Inggrid Widyawati, Sp.PD

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN


NASIONAL VETERAN JAKARTA

RSPAD GATOT SOEBROTO

TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KOMPLIKASI

AKUT DIABETES

DISUSUN OLEH:

Shabrina Amalia Suci 2110221045

Diajukan untuk memenuhi syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik

Di SMF Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Tanggal, 6 Oktober 2021

Jakarta, 6 Oktober 2021

Pembimbing,

dr. Inggrid Widyawati, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat


anugerah dan kuasa Nya referat dengan judul “Diagnosis dan Tata
Laksana Komplikasi Akut Diabetes” dapat diselesaikan dengan lancar.
Dalam rangka memenuhi syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF
Penyakit Dalam RSPAD GATOT SOEBROTO, penulis menyusun referat
ini dengan sebaik mungkin. Ucapan terimakasih dan apresiasi yang
setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Inggrid Widyawati Sp.PD
selaku pembimbing berkat ilmu, waktu dan kesabaran yang beliau berikan
untuk menuntun dan memandu penulis dalam pembuatan referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat memberikan banyak kegunaan bagi
orang-orang.

Jakarta, 4 Oktober 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………….i

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................6

BAB II HIPOGLIKEMIA ..............................................................................7


II.1. Latar Belakang .....................................................................7

II.2. Definisi .................................................................................7

II.3. Epidemiologi.........................................................................7

II.4. Etiologi .................................................................................8

II.5. Patogenesis dan Patofisiologi ..............................................8

II.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis ......................................9

II.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnostik 5 ................10

II.8. Diagnosis ...........................................................................10

II.9. Penatalaksanaan ...............................................................11

II.10. Pencegahan .......................................................................12

II.11. Prognosis ...........................................................................12

BAB III KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD) ..............................................13

III.1. Latar Belakang ...................................................................13

III.2. Definisi ...............................................................................13

III.3. Epidemiologi.......................................................................13

III.4. Etiologi ...............................................................................14

iv
III.5. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................14

III.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis ....................................15

III.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnostik ..................15

III.8. Diagnosis ...........................................................................15

III.9. Penatalaksanaan ...............................................................16

III.10. Komplikasi ..........................................................................20

III.11. Pencegahan .......................................................................20

III.12. Prognosis ...........................................................................21

BAB IV HIPEROSMOLAR HIPEGLIKEMIK STATUS (HHS) ....................22

IV.1. Latar Belakang ...................................................................22

IV.2. Definisi ...............................................................................22

IV.3. Epidemiologi.......................................................................22

IV.4. Etiologi ...............................................................................22

IV.5. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................23

IV.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis ....................................24

IV.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnosis ...................24

IV.8. Diagnosis ...........................................................................24

IV.9. Penatalaksanaan ...............................................................25

IV.10. Pencegahan .......................................................................27

IV.11. Prognosis ...........................................................................27

BAB V KESIMPULAN ..............................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................29

v
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) saat ini menjadi salah satu ancaman


kesehatan global. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi diabetes
melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Organisasi WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang DM tipe 2 yang cukup besar
pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi dari International Diabetes
Federation (IDF) juga menjelaskan bahwa pada tahun 2013 – 2017
terdapat kenaikan jumlah penyandang DM dari 10,3 juta menjadi 16,7 juta
pada tahun 2045.1
Peningkatan jumlah penderita DM tipe 2 membutuhkan perhatian
serius karena terkait pula dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi DM tipe 2. Kondisi ini dapat disebabkan salah satunya
karena menajemen gula darah yang tidak adekuat pada penderita DM tipe
2. Penderita DM tipe 2 dengan manajemen gula darah yang kurang
adekuat dapat jatuh ke dalam komplikasi akut, yaitu keadaan hipoglikemia
dan krisis hiperglikemia yang mencakup ketoasidosis diabetik (KAD), dan
SHH (Status Hiperglikemia Hiperosmolar).2 Kedua keadaan (KAD dan
SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yang memadai.1

6
BAB II

HIPOGLIKEMIA

II.1. Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.1 Diabetes yang
tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut.3
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut yang sering dialami
oleh pasien diabetes akibat efek samping iatrogenik dari pengobatan.
The American Diabetes Association (ADA) dan the European
Association for the Study of Diabetes (EASD) sangat menyarankan
bahwa pada pasien DMT2 yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia
dengan komplikasi lanjut dan memiliki kondisi komorbiditas,
pengobatan yang dapat menyebabkan hipoglikemia harus ditunda
kecuali pada dasarnya diperlukan. Tenaga kesehatan perlu menyadari
pentingnya hipoglikemia dan peran mereka dalam pemberian
perawatan yang berpusat pada pasien dikarenakan hipoglikemia dan
efek merugikannya dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.4

II.2. Definisi
Hipoglikemia didefinisikan sebagai suatu keadaan gula darah
dibawah standar yang seringkali diakibatkan oleh pemberian terapi
insulin.2 Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah
< 70 mg/dL dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem autonom,
seperti adanya whipple’s triad: terdapat gejala-gejala hipoglikemia,
kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang dengan
pengobatan.1

II.3. Epidemiologi
Hipoglikemia paling sering diakibatkan oleh obat diabetes yang
berperan dalam meningkatkan kadar insulin serum terutama golongan
sulfonilurea dan insulin.1 Angka kejadian hipoglikemi pada DM tipe 1

7
lebih tinggi dari pada DM tipe 2, tapi darnpak yang ditimbulkannya
justru lebih serius bila ini terjadi pada DMT2 terutama apabila terjadi
pada usia lanjut.5

II.4. Etiologi
Penyebab terbanyak hipoglikemia umumnya terkait dengan
pengobatan diabetes. Metformin, Thiazolidinedione, Penghambat Alfa-
Glukosidase, Agonis glucagon-like peptide-1 (GLP-1), dan Penghambat
enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor) seharusnya tidak
menyebabkan hipoglikemia, namun dapat meningkatkan risiko bila
dikombinasikan dengan jenis Insulin Secretagogue, seperti salah satu
sulfonilurea atau glinid, atau dengan insulin.6

II.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Pada orang tanpa diabetes, hipoglikemia jarang terjadi karena
sekresi insulin endogen terhambat karena kadar glukosa turun di
bawah normal. Individu dengan diabetes yang diobati dengan insulin,
sulfonilurea atau sekretagog insulin lainnya, memiliki risiko tinggi
terjadinya hipoglikemik karena kadar glukosa akan terus turun sampai
bolus insulin atau efek obat oral selesai. Individu dengan diabetes
setidaknya terlindiungi sebagian dari efek insulin yang menurunkan
glukosa oleh respons fisiologis yang diprakarsai oleh jalur stres. Ketika
glukosa darah turun di bawah normal, glukagon dilepaskan oleh sel α
karena respons parakrin di dalam pulau langerhans. Glukagon adalah
hormon kontra-regulasi kuat yang melindungi individu terhadap
hipoglikemia dengan merangsang pelepasan glukosa dari hati melalui
glikogenolisis.7
Dengan meningkatnya durasi diabetes, baik pada DMT1 dan DMT2
lanjut, hilangnya sel secara progresif mencegah paracrine cross-talk
antara sel α dan β yang menyebabkan gangguan pelepasan glukagon
selama hipoglikemia. Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap
hipoglikemia. Individu dengan penurunan fungsi sel β dan gangguan
respons glukagon masih terlindungi dari hipoglikemia dengan aktivasi

8
sistem saraf simpatoadrenal dan pelepasan epinefrin, tetapi pertahanan
ini juga dapat menjadi terganggu. Mekanisme ini terutama sensitif
terhadap individu yang mengalami episode hipoglikemia sebelumnya,
yang mengatur ulang threshold pelepasan epinefrin ke tingkat glukosa
yang lebih rendah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa respon
kontra-regulasi tertunda dan, karena kadar glukosa turun di bawah
3 mmol/L (54 mg/dL), individu dapat mengalami gangguan kognitif dan
berada pada risiko utama episode hipoglikemik yang berat. Hal ini telah
dijelaskan sebagai ‘hypoglycemia-associated autonomic failure’.7

Gambar 1. Hypoglycemia-associated autonomic failure6

II.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis


Keluhan maupun gejala klinis hipoglikemi, terjadi oleh karena dua
penyebab utama yakni: 1. Terpacunya aktivitas sistem saraf otonom,
terutama simpatis, dan 2. Tidak adekuatnya suplai glukosa ke jaringan
serebral (neuroglikopenia).1

9
Gambar 2. Tanda dan gejala hipoglikemia1

II.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnostik5


• Temuan fisik tidak spesifik pada hipoglikemia dan umumnya
berhubungan dengan sistem saraf pusat dan otonom.
• Tanda-tanda vital untuk hipotermia, takipnea, takikardia, hipertensi,
dan bradikardia (neonatus).
• Pemeriksaan kepala, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan
(HEENT) dapat menunjukkan penglihatan kabur, pupil normal
hingga terfiksasi dan melebar, ikterus (biasanya kolestatik karena
penyakit hati), dan nyeri parotis (karena penyebab endokrin).
• Gangguan kardiovaskular mungkin termasuk takikardia (bradikardia
pada neonatus), hipertensi atau hipotensi, dan disritmia.
• Kondisi neurologis termasuk koma, kebingungan, kelelahan,
kehilangan koordinasi, disposisi agresif atau gelisah, sindrom
stroke, tremor, kejang, dan diplopia.
• Gangguan pernapasan mungkin termasuk dispnea, takipnea, dan
edema paru akut.
• Gangguan gastrointestinal mungkin termasuk mual dan muntah,
dispepsia, dan kram perut.
• Kulit pasien mungkin mengeluarkan keringat dan hangat atau
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dengan penurunan turgor.
• Gejala hipoglikemia lebih sedikit pada orang tua dan sering muncul
pada ambang glukosa plasma yang lebih rendah daripada pada
orang yang lebih muda.

II.8. Diagnosis
Berdasarkan definisi diperlukan adanya trias dari Whipple (Whipple

10
triad) yang terdiri atas:1
• Adanya gejala klinis hipoglikemi, berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan jasmani
• Kadar glukosa dalam plasma yang rendah pada saat yang
bersaman, berdasarkan pemeriksan penunjang/ laboratorium
• Keadaan klinis segera membaik segera setelah kadar glukosa
plasma menjadi normal setelah diberi pengobatan dengan
pemberian glukosa

II.9. Penatalaksanaan
Pada penderita hipoglikemia dengan gambaran klinis ringan sadar,
dan kooperatif, penanggulangan biasanya cukup efektif dengan
makanan atau minuman yang manis mengandung gula:1
1. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk
karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan
glukosa darah.
2. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon
kenaikan glukosa darah.
3. Glukosa 15 – 20 g (2 – 3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan
dalam air adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia
yang masih sadar
4. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan
setelah 15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring
glukosa darah 15 menit setelah pengobatan hipoglikemia masih
tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
5. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai
normal, pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack
untuk mencegah berulangnya hipoglikemia

Pada hipoglikemi tahap lanjut, terutama yang telah memperlihatkan


gejala neuroglikopeni, rnemerlukan pengobatan lebih intensif:1
1. Hentikan obat – obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan
insulin, maka perlu dilakukan penyesuaian dosis.

11
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan
berupa pemberian dextrose 10% sebanyak 150 mL dalam 15 menit,
atau dextrose 40% sebanyak 25 mL (hati – hati risiko terjadinya
ekstravasasi).
3. Periksa glukosa darah tiap 15 – 30 menit setelah pemberian i.v
tersebut dengan target 70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka
prosedur dapat diulang.
4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya
diberikan dextrose 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati – hati
pada pasien dengan gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien
mampu untuk makan.
5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai
alternatif lain terapi hipoglikemia (hati – hati pada pasien malnutrisi
kronik, penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati berat).
6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

II.10. Pencegahan
Pencegahan hipoglikemia dilakukan dengan memberikan
pengertian mengenai penyebab kejadian hipoglikemia, gejala yang
ditimbulkan dan pengetahuan tentang cara mengatasi keadaan tersebut
kepada mereka yang berisiko. Edukasi terhadap penderita diabetes
mengenai apa itu diabetes dan apa efek yang ditimbulkan obat-obatan
terhadap kadar glukosa darah.5 Anjurkan melakukan Pemantauan
Glukosa Darah Mandiri (PGDM), khususnya bagi pengguna insulin atau
obat oral golongan insulin sekretagog.1

II.11. Prognosis
Pasien diabetes perlu menghubungi dokter jika mereka mulai
mengalami episode hipoglikemia yang sering, karena mereka mungkin
perlu menyesuaikan regimen pengobatan, rencana makan, atau
olahraga. Hipoglikemia berat atau berkepanjangan dapat mengancam
jiwa, dan pada pasien diabetes, ada korelasi dengan peningkatan
mortalitas.8

12
BAB III

KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD)

III.1. Latar Belakang


Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut
diabetes yang mengancam jiwa dan umumnya terjadi pada pasien
dengan DM tipe 1, meskipun juga dapat terjadi pada pasien dengan DM
tipe 2. KAD ditandai dengan hiperglikemia, asidosis, dan ketonemia.
Dalam kebanyakan kasus, pemicunya adalah diabetes dengan onset
baru, infeksi, atau kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan.9

III.2. Definisi
American Diabetes Association, International Society for Pediatric
and Adolescent Diabetes, dan European Society for Paediatric
Endocrinology and the Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society
setuju untuk mendefinisikan KAD sebagai trias:10
• Hiperglikemia, yaitu glukosa plasma >250 mg/dL (>13,88
mmol/L)
• pH vena <7,3 dan/atau bikarbonat <15 mmol/L
• Kadar keton sedang atau tinggi dalam urin atau darah
Menurut Perkeni (2019) KAD ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat.1

III.3. Epidemiologi
KAD paling sering terjadi pada DMT1 dan merupakan salah satu
komplikasi akut DM yang paling serius.11 Insidensi KAD berkisar 4-8
kasus pada setiap 1000 pengidap diabetes dan masih menjadi problem
yang merepotkan di rumah sakit terutama rumah sakit dengan fasilitas
minimal. Angka kematian berkisar 0,5-7% tergentung dari kualitas pusat
pelayanan yang mengelola KAD tersebut.5

13
III.4. Etiologi
Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain
diantaranya adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark
miokard, stroke akut, pankreatitis, dan obat-obatan. Awitan baru atau
penghentian pemakaian insulin seringkali menjadi sebab DM jatuh pada
keadaan KAD.5

III.5. Patogenesis dan Patofisiologi


KAD terjadi akibat defisiensi insulin relatif atau absolut
dikombinasikan dengan kelebihan hormon kontraregulasi (glukagon,
katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin) akan
mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan
akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via
glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di
perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Defisiensi
insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin
juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang
mengakibatkan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan
ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.5

Gambar 3. Patogenesis KAD5

14
III.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis
Gejala dan tanda fisik KAD tercantum pada Gambar 5. dan
biasanya berkembang lebih dari 24 jam.6

Gambar 4. Manifestasi KAD6

III.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnostik5


• Tanda-tanda dehidrasi
• Nafas Kussmaul jika asidosis berat
• Takikardi
• Hipotensi atau syok
• Penurunan berat badan
• Tanda dari masing-masing penyakit penyerta

III.8. Diagnosis
Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat diabetes dengan keluhan
poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, rnual muntah, dan nyeri perut.
Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan
kesadaran sampai koma. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan:5
• Peningkatan total benda keton di sirkulasi. Peningkatan benda-
benda keton tersebut akan mengakibatkan peningkatan anion gap.
• Gula darah > 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis utama
KAD, walaupun ada istilah KAD euglikemik, dengan demikian

15
setiap pengidap diabetes yang gula darahnya > 250 mg/dl harus
dipikirkan kemungkinan ketosis atau KAD jika disertai dengan
keadaan klinis yang sesuai.
• Derajat keasaman darah (pH) yang < 7,35 dianggap sebagai
ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan yang
terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada
keadaan seperti itu jika angka HC03 < 18 mEq/l ditambah dengan
keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukup untuk
menegakkan KAD.
• Pada saat masuk rumah sakit seringkali terdapat leukositosis pada
pasien KAD karena stres metabolik dan dehidrasi, sehingga jangan
terburu-buru memberikan antibiotik jika jumlah leukosit antara
10.000-15.000 m3.

III.9. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi
dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi
factor presipitasi komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan
pasien terus menerus.12

Tabel 1. Tatalaksana KAD5,12


No. Terapi Pemberian

1. Cairan (Rehidrasi) • Cairan salin isotonik (NaCl 0,9%)


diberikan dengan dosis 15 –
20ml/kgBB/jam selama satu jam
pertama (±1 – 1,5 liter).
• Tindak lanjut cairan pada jam-jam
berikutnya tergantung pada keadaan
hemodinamik, status hidrasi, elektrolit,
dan produksi urin.
• Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi
cairan intraselular, intravaskular,

16
interstisial, dan restorasi perfusi ginjal.
• Penggantian cairan dapat dilakukan
sampai dengan 24 jam, dan sangat
berpengaruh terhadap pencapaian
target gula darah, hilangnya benda
keton, dan perbaikan asidosis.
2. Insulin • Pemberian awal bolus intravena: 0.1
UI/kgBB
• Drip insulin reguler: 0.1 UI/kgBB/jam
• Diharapkan terjadi penurunan glukosa
plasma dengan kecepatan 50-100 mg/dl
setiap jam sampai glukosa turun ke
sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin
diturunkan menjadi 0,02-0,05
unit/kgBB/jam
• Berikan 0.14 UI/kgBB bolus IV apabila
glukosa serum tidak turun 10% dalam 1
jam pertama
• Jika glukosa sudah berada di sekitar
150-200 mg/dl maka pemberian infus
dekstrose dianjurkan untuk mencegah
hipoglikemia
• Jaga serum glukosa diantara 150-200
mg/dl sampai resolusi KAD

Transisi ke insulin subkutan

• Bila pasien sudah dapat makan maka


pertimbangkan insulin subkutan
• Penghentian insulin intravena dilakukan
2 jam setelah suntikan subkutan
pertama
• Jika pasien sudah terkontrol dan pasien

17
sebelumnya sudah pernah
menggunakan insulin: insulin dapat
diberikan seperti dosis awal
• Pada pasien yang belum pernah
mendapat insulin: injeksi insulin
subkutan terbagi lebih dianjurkan (0.5-
0.8 UI/kgBB/hari)
3. Kalium • Jika hiperkalemia (K > 5 mEq/L): jangan
berikan kalium tapi cek kalium serum
tiap 2 jam.
• Karena terapi insulin akan menurunkan
kalium lebih lanjut -> hipokalemia
• Jika K < 5 mEq/L: berikan 20-30 mEq
kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap
liter cairan infus cukup untuk
memelihara kadar kalium serum dalam
range normal 4 – 5 mEq/L
• Jika K < 3 mEq/L: terapi insulin harus
ditunda hingga kadar kalium >3,3 mEq/l
untuk menghindari aritmia atau gagal
jantung dan kelemahan otot pernapasan
• Terapi kalium dimulai saat terapi cairan
sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika
tidak ada produksi urine, terdapat
kelainan ginjal, atau kadar kalium >6
mEq/l
4. Bikarbonat • pH < 6.9: 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan
fisiologis dengan kecepatan 200 ml/jam
• pH ≥6.9: tidak diperlukan natrium
bikarbonat

18
• pH darah vena diperiksa setiap 2 jam
sampai pH menjadi 7,0, dan terapi
harus diulangi setiap 2 jam jika perlu
5. Fosfat • Serum fosfat < 1 mg/dl dan disertai
dengan disfungsi kardiak, anemia, atau
depresi nafas akibat kelemahan otot,
maka koreksi fosfat (20-30 mEq/l kalium
fosfat) dapat ditambahkan pada terapi
cairan yang telah diberikan
• Pernberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsemia berat, untuk
itu diperlukan pemantauan secara
kontinyu
6. Infeksi yang • Antibiotik diberikan sesuai dengan
menyertai indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD
• Jika faktor pencetus infeksi belum dapat
ditemukan, maka antibiotika yang dipilih
adalah antibiotika spektrum luas

19
Gambar 5. Protokol KAD5

III.10. Komplikasi
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia dan
hiperglikemia berulang. Agar tidak terjadi komplikasi tersebut maka
diperlukan monitoring yang ketat (gula darah diperiksa tiap 1-2 jam) dan
penggunaan insulin dosis rendah. Komplikasi lain adalah kelebihan
cairan, termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dan gagal jantung, pernberian cairan dimodifiksasi sesuai
dengan risiko terjadinya kelebihan cairan. Hal lain adalah komplikasi
edema serebri. Keadaan ini menjadi perhatian jika kita mendapatkan
pasien KAD yang kesadarannya tidak membaik dengan terapi standar
atau bahkan memburuk. Pada kasus seperti ini evaluasi neurologis
mutlak diperlukan karena membutuhkan pengelolaan tambahan.5

III.11. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang

20
kurang memadai dan kejadian infeksi sehingga perlu dilakukan edukasi
mengenai cara-cara mengatasi saat sakit akut, informasi mengenai
pemberian insulin kerja cepat. Yang paling penting ialah afgar tidak
menghentikan pemberrian insulin atau obat hipoglikemia oral. Pasien
DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami
masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah
dan keton urin sendiri.13

III.12. Prognosis
Umumnya membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar
lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada
pasien KAD adalah karena penyakit penyerta berat yang datang pada
fase lanjut. Kematian meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan
beratnya penyakit penyerta.5

21
BAB IV

HIPEROSMOLAR HIPEGLIKEMIK STATUS (HHS)

IV.1. Latar Belakang


Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS) merupakan kasus yang
jarang dan komplikasi emergensi akut dari pasien diabetes melitus tipe
2, dengan karakteristik hiperglikemi, hiperosmolar dan dehidrasi atau
tidak adanya ketoasidosis. Tatalaksana segera penting dilakukan untuk
menstabilkan hemodinamik dikarenakan mortalitas dari HHS yang
tinggi dan dapat menyebabkan banyak komplikasi.14

IV.2. Definisi
Pada HHS terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600 -
1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat (330 -380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.1

IV.3. Epidemiologi
HHS juga merupakan keadaan darurat medis, tetapi biasanya
terjadi pada pada orang lanjut usia dan kadang-kadang pada orang
dewasa muda dan remaja sebagai presentasi awal DMT2. Data di
Amerika rnenunjukkan bahwa insidens HHS sebesar 17,5 per 100.000
penduduk. lnsiden ini sedikit lebih tinggi dibanding insiden KAD (5).
HHS memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi hingga 15%.
Komplikasi paling serius dari KAD dan HHS adalah edema serebral dan
sindrom gangguan pernapasan akut.11

IV.4. Etiologi
Faktor pencetus HHS dapat dibagi rnenjadi enam kategori: infeksi,
pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan
obat, dan penyakit penyerta (Gambar 1). lnfeksi merupakan penyebab
tersering (57.1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM
juga sering menyebabkan HHS (21%).5

22
Gambar 6. Faktor Pencetus HHS5

IV.5. Patogenesis dan Patofisiologi


HHS timbul akibat adanya diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalarn
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat
kehilangan air . Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi
glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya
akan rnenurunkan laju filtrasi glornerular, menyebabkan konsentrasi
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup
untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat
resistensi insulin.5
Tidak seperti pasein dengan KAD, pasien HHS tidak mengalami
ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor
yang diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan ketogenesis karena
keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah
untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat
ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan
resistensi hati terhadap glukagon.5

23
IV.6. Manifestasi Klinis dan Gejala Klinis
Pasien dengan HHS, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet
dan atau obat hipoglikemik oral. Keluhan pasien HHS ialah:5
• Rasa lemah
• Gangguan penglihatan
• Kaki kejang
• Mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan
KAD
• Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang
atau koma

IV.7. Pemeriksaan Fisik dan Pendekatan Diagnosis5


• Tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk
• Mukosa pipi yang kering
• Mata cekung
• Perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat
dan lemah
• Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
tinggi
• Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang
membaik setelah rehidrasi adekuat

IV.8. Diagnosis
Diagnosis HHS meliputi:5
• Konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (>600 mg/dl)
• Osmolaritas serum yang tinggi (>320 mOsm/kg), dengan pH >
7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.
• Dehidrasi berat dengan peningkatan blood urea nitrogen (BUN)
• Perubahan dalam kesadaran

Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan


anion gap yang ringan (10-12). Jika anion gap nya berat (> 12), harus
dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain.5

24
Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat digunakan
Glukosa darah (mq per dL)
rumus: 2 x sodium (mEq per L) + 18

Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila
hasil laboratorium belum ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah
beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan:5
• Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun
• Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM
tanpa insulin.
• Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap
penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit Cushing.
• Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemid,
manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin,
dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik).
• Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit
kardiovaskular, aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan
cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.

Gambar 7. Kriteria Diagnosis KAD dan HHS16

IV.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HHS serupa dengan KAD, hanya cairan yang

25
diberikan adalah cairan hipotonis (1/2N, 2A). Pemantauan konsentrasi
glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih
cermat dan hati-hati. Respons penurunan konsentrasi glukosa darah
lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena
lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak
disertai kelainan organ-organ lainnya. Pada HHS, kehilangan cairan
dan dehidrasi biasanya lebih menonjol daripada di KAD karena durasi
penyakit yang lebih lama.6
Penggantian cairan awalnya harus menstabilkan status
hemodinamik pasien (1–3 L normal saline 0.9% selama 2-3 jam
pertama). Karena kekurangan cairan di HHS terakumulasi selama
beberapa hari hingga minggu, kecepatan pembalikan keadaan
hiperosmolar harus menyeimbangkan kebutuhan pengisian cairan
dengan risiko bahwa pembalikan yang terlalu cepat dapat
memperburuk fungsi neurologis. Jika natrium serum >150 mmol/L (150
meq/L), 0,45% saline harus digunakan. Setelah stabilitas hemodinamik
tercapai, pemberian cairan IV diarahkan pada: membalikkan defisit
cairan menggunakan cairan hipotonik (0,45% salin awalnya, kemudian
5% dekstrosa dalam air, D5W). Defisit cairan yang dihitung (rata-rata 9-
10 L) harus dibalik selama 1-2 hari ke depan (infus) kecepatan 200-300
mL/jam larutan hipotonik). Koreksi kalium biasanya diperlukan dan
harus dimonitor dengan pengukuran berulang kalium serum. Pada
pasien yang memakai diuretik, defisit kalium dapat cukup besar dan
dapat disertai dengan defisit magnesium.6
Seperti pada KAD, pada awalnya rehidrasi dapat menurunkan
glukosa plasma, tetapi insulin juga diperlukan. Regimen untuk HHS
dimulai dengan insulin IV bolus 0,1 unit/kg diikuti dengan insulin IV
dengan kecepatan konstan laju infus 0,1 unit/kg per jam. Jika glukosa
serum tidak turun, tingkatkan kecepatan infus insulin dengan dua kali
lipat. Seperti pada KAD, glukosa harus ditambahkan ke cairan IV ketika
glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL, dan kecepatan infus
insulin harus diturunkan menjadi 0,05-0,1 unit/kg per jam. Infus insulin

26
harus dilanjutkan sampai pasien melanjutkan makan dan dapat
ditransfer ke regimen insulin SC. Pasien yang dipulangkan dari rumah
sakit harus diberikan insulin, meskipun beberapa pasien kemudian
dapat beralih ke obat antidiabetik oral.6

IV.10. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan kadar glukosa darah.
Jika pasein tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekart
sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya
perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal
tersebut ditemui. Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam
perawatan harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan
gejala HHS dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang
memadai dan pemantauan yang ketat.16

IV.11. Prognosis
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan
disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang
mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%.
Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah
infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi.5

27
BAB V

KESIMPULAN

Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status hiperglikemia hiperosmolar


(HHS), dan hipoglikemia merupakan komplikasi diabetes yang bersifat
akut dan berpotensi mengancam jiwa. KAD dan hipoglikemia berat lebih
sering terjadi pada DMT1, sedangkan HHS tanpa ketoasidosis lebih sering
dikaitkan dengan DMT2. Penegakkan diagnosis KAD, HHS dan
hipoglikemia dilakukan berdasarkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
Prinsip penatalaksanaan yang baik dan benar berupa pemberian
makanan dan minuman yang mengandung gula pada pasien hipoglikemia,
dan prinsip penatalaksanaan pada KAD dan HHS berupa rehidrasi
intravena, koreksi gangguan elektrolit, pemberian insulin intravena,
identifikasi faktor pencetus dan monitoring selama perawatan dapat
meringankan kualitas hidup pasien dan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. PB Perkeni. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Dewasa Tipe 2 Di Indonesia 2019. PB Perkeni; 2019.

2. Andrayani LW. Strategi Pencegahan Komplikasi Akut: Hipoglikemi


pada Non Independent Diabetes Mellitus. J Kesehat Prima.
2017;11(2):142.

3. Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. J Major. 2015 Feb 1;4(5):93–


101.

4. Ahmed B, Khan MN. Hypoglycemia : Its Effect on Patients with


Diabetes. World Fam Med Journal/Middle East J Fam Med.
2019;17(9):18–23.

5. PB PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:


InternaPublishing; 2014.

6. Jameson JL. Harrison’s Endocrinology. 3rd ed. McGraw-Hill


Education; 2013.

7. Heller SR, Peyrot M, Oates SK, Taylor AD. Hypoglycemia in patient


with type 2 diabetes treated with insulin: It can happen. BMJ Open
Diabetes Res Care. 2020;8(1):1–8.

8. Philip M, Thoppil D. Hypoglycemia [Internet]. StatPearls Publishing.


2021 [cited 2021 Sep 6]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534841/

9. Lizzo JM, Goyal A, Gupta V. Adult Diabetic Ketoacidosis [Internet].


StatPearls Publishing. 2021 [cited 2021 Sep 12]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560723/

10. Kapoor D. Acute Metabolic Complications in Diabetes. Fundam


Diabetes. 2016;141–141.

11. Negera GZ, Weldegebriel B, Fekadu G. Acute Complications of


Diabetes and its Predictors among Adult Diabetic Patients at Jimma
Medical Center , Southwest Ethiopia. Diabetes, Metab Syndr Obes
Targets Ther. 2020;13:1237–42.

12. Gotera W, Agung Budiyasa D. Penatalaksanaan Ketoasidosis

29
Diabetik (KAD). J Intern Med. 2015;11(2).

13. Edi Tarigan TJ. Ketoasidosis Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 2014;1825–9.

14. Oktaliani R, Zamri A. Hyperosmolar Hyperglycemic State ( HHS ).


:50–5.

15. Soewando P. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2014;1825–9.

16. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic
crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care.
2009;32(7):1335–43.

30

Anda mungkin juga menyukai