Anda di halaman 1dari 11

JOURNAL READING

TATALAKSANA BELL’S PALSY

Pembimbing :

dr. Izati Rahmi, SpS

Disusun Oleh :

Anisya Zakiyyahaya Arvant

2110221043

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
PERIODE 3 JANUARI – 5 MARET 2022
DAFTAR ISI
BAB I JURNAL ..................................................................................................... 3
I.1 Pendahuluan ................................................................................................... 3
I.2 Etiologi........................................................................................................... 3
I.3 Fitur Klinis ..................................................................................................... 3
I.4 Komplikasi ..................................................................................................... 4
I.5 Prognosis ........................................................................................................ 5
I.6 Tatalaksana Bell’s Palsy ................................................................................ 6
I.7 Efek Samping Pengobatan ............................................................................. 8
I.8 Terapi Non-Farmakologi ............................................................................... 8
I.9 Kesimpulan .................................................................................................... 9
BAB II TELAAH KRITIS.................................................................................. 10
II.1 Population ................................................................................................... 10
II.2 Intervention................................................................................................. 10
II.3 Comparison................................................................................................. 10
II.4 Outcome ..................................................................................................... 10
II.5 Validity ....................................................................................................... 10
II.6 Importance .................................................................................................. 10
II.7 Applicability ............................................................................................... 10
BAB I
JURNAL

I.1 Pendahuluan
Bell’s palsy, disebut pula dengan paralisis fasialis idiopatik, didefinisikan
sebagai kelemahan lower motor neuron fasial yang bersifat unilateral, beronset akut,
dan terisolasi. Insidensi tahunan bervariasi pada berbagai tempat di dunia, antara
11-40 per 100.000 populasi. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada populasi
dengan diabetes.1

I.2 Etiologi
Patofisiologi yang mendasari Bell’s palsy berdasarkan observasi pada
kasus-kasus post-mortem ditemukan adanya distensi vascular, inflamasi dan edema
disertai iskemia pada nervus fasialis. Etiologi pasti tetap belum jelas. Beberapa
penyebab telah dicurigai antara lain virus, inflamasi, autoimun, dan vascular.
Reaktivasi dari herpes simplex virus atau virus herpes zoster dari ganglion
geniculate dicurigai sebagai penyebab yang paling mungkin. Meskipun telah
berkembangnya neuroimaging, diagnosis Bell’s palsy tetap didasari berdasarkan
temuan klinis.

I.3 Fitur Klinis


Gejala dan tanda Bell’s palsy dapat bervariasi dari ringan hingga berat.
Meliputi:
a. Kelemahan/paralisis pada otot fasialis bagian atas dan bawah pada sisi yang
terkena
b. Dropping of eyelids pada bagian ipsilateral
c. Ketidakmampuan menutup mata secara sempurna
d. Mata kering
e. Epifora
f. Jatuhnya bagian sisi dari mulut
g. Gangguan sensasi rasa pada ipsilateral
h. Gangguan dalam makan karena kelemahan otot ipsilateral yang
menyebabkan makanan terperangkan pada sisi yang terkena
i. Dribbling of saliva
j. Gangguan sensasi pada wajah yang terkena
k. Nyeri pada atau belakang telinga
l. Hiperakusis pada sisi terkena jika muskulus stapedius terlibat

Terdapat beberapa kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diferensial


diagnosis, antara lain:
a. Lesi upper motor neuron didasarkan oleh inervasi, ketiadaan kerutan pada
dahi merupakan hal yang dapat membedakan Bell’s palsy dari lesi upper
motor neuron.
b. Herpes zoster otikus (Ramsay-Hunt syndrome)
c. Penyebab yang lebih jarang antara lain; otitis media, infeksi HIV,
sarcoidosis, penyakit autoimun, atau tumor dari glandula parotis.

I.4 Komplikasi
Selain masalah okular, komplikasi Bell’s palsy meliputi:
a. Sinkinesis motor (pergerakan involunter dari otot yang terjadi pada waktu
yang sama dengan pergerakan yang disengaja, seperti bergerakan mulut
involunter ketika menutup mata secara sengaja)
b. Crocodile tears (air mata ketika makan karena misdireksi serabut gustatory
yang beregenerasi yang seharusnya untuk glandula saliva, menjadi serabut
sekresi ke glandula lakrimalis dan menyebabkan keluarnya air mata
ipsilateral ketika makan)
c. Penyebuhan yang inkomplet
d. Kontraktur pada otot fasial
e. Hilangnya/menurunnya sensasi rasa
f. Disartria karena kelemahan saraf fasialis

I.5 Prognosis
Keparahan gejala Bell’s palsy bervariasi dari kelemahan ringan hingga
paralisis berat, namun prognosisnya secara umum baik. The Copenhagen Facial
Nerve Study menemukan bahwa 71% pasien sembuh kembali ke keadaan normal
tanpa pengobatan. Sekitar 13% lainnya mengalami kelemahan ringan dan 4%
mengalami kelemahan berat yang menyebabkan disfungsi fasial mayor. Kontraktur
dari otot fasial pada bagian yang terkena ditemukan pada 17% dan pergerakan yang
berhubungan pada 16%. Sistem skoring seperti skala House-Brackmann yang
digunakan pada randomised controlled trials dan systematic revies dapat digunakan
untuk memonitor perkembangannya.
Meskipun penelitian memiliki kekurangan dalam deteksi perbedaan
signifikan dalam penyembuhan antara pasien dengan derajat keparahan berbeda,
laju penyembuhan pada satu randomised controlled trial menemukan bahwa pada
pasien dengan keparahan sedang pada onset penyakit memiliki laju penyembuhan
yang secara signifikan lebih tinggi daripada pasien dengan Bell’s palsy berat.
Penyembuhan ditemukan 90% pada pasien derajat sedang dan 78% pada pasien
dengan derajat berat.
Frekuensi monitoring bergantung pada individu pasien dan keparahan dari
gejala. Jika tidak terdapat perbaikan setelah satu bulan, pasien harus dirujuk.
Rujukan juga diindikasikan pada pasien jika hanya terdapat perbaikan parsial
setelah 6-9 bulan.
Bell’s palsy bersifat rekuren pada 7% pasien dengan insidensi yang sama
pada ipsilateral dan kontralateral. Belum cukup data mengenai apakah pengobatan
mempengaruhi laju rekurensi.

I.6 Tatalaksana Bell’s Palsy


Pengobatan Bell’s palsy bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan
menurunkan kejadian komplikasi jangka panjang. Ketidakmampuan menutup mata
pada sisi yang terkena meningkatkan risiko komplikasi kornea. Proteksi mata
merupakan hal yang krusial sehingga penggunaan penutup mata dan lubrikan dapat
mencegah keringnya kornea. Tetes mata seperti hypromellose drops, dapat
diaplikasikan sebagai lubrikan saat siang dan salep saat malam. Pada kasus berat,
mata dapat ditutup dengan tape atau secara parsial dijahit.
Pengobatan farmakologi yang dipertimbangkan untuk Bell’s palsy antara
lain kortikosteroid oral (prednisolone) dan obat antivirus. Meskipun etiologi dari
Bell’s palsy belum jelas, telah diketahui bahwa inflamasi dan edema dari nervus
fasialis bertanggungjawab untuk manifestasi klinis sehingga kortikosteroid
digunakan untuk efek antiinflamasi.
Kortikosteroid memiliki keuntungan maksimal jika diberikan dalam 72 jam
setelah onset dari gejala. Tidak ada regimen optimal, namun pada pasien dewasa
yang diberikan 50-60 mg prednisolone setiap harinya selama 10 hari telah
digunakan secara umum. Prednisolone juga digunakan pada dosis 1mg/kg/hari
hingga maksimal 80 mg dalam beberapa penelitian. Dosis lebih dari 120mg/hari
telah digunakan secara aman pada pasien dengan diabetes.
Pada randomised controlled trial dengan laju penyembuhan 9 bulan dengan
prednisolone adalah 94% dan 81,6% pada pasien yang tidak mendapatkan
prednisolone. Sebuah systematic revies mengenai trials yang menggunakan
prednisolone menunjukkan bahwa dalam 6 bulan 17% pasien mengalami
penyembuhan yang inkomplet dibandingkan dengan 28% pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan. Terdapat pula penurunan signifikan dalam sikinesis
motor pada pasien yang mendapatkan prednisolone. Namun tidak terdapat reduksi
signifikan pada sekuela yang merugikan secara kosmetik.
Pengobatan antiviral yang digunakan dalam trials antara lain asiklovir
(400mg 5x per hari untuk 5 hari) atau valasiklocir (1000mg/hari untuk 5 hari).
Sejauh ini belum ada bukti yang mendukung penggunaan obat antivirus secara
tunggal dan terdapat pula ketidakpastian mengenai manfaat pengobatan yang
disertai dengan kortikosteroid.
Dalam satu randomised controlled trial ditemukan bahwa pengobatan
kombinasi memberikan hasil bahwa pada bulan ke-9 dari diagnosis, fungsi fasial
sembuh pada 94,4% pasien yang mengkonsumsi prednisolone saja, 85,4% yang
mengkonsumsi asiklovir saja, dan 92,7% yang mendapatkan keduanya. Tidak
terdapat efek buruk yang serius dari semua kelompok pengobatan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pengobatan awal dengan prednisolone saja meningkatkan
kemungkinan penyembuhan secara sempurna dan tidak ada manfaat tambahan dari
pengobatan dengan asiklovir saja ataupun dengan kombinasi. Namun, sebuah
systematic review lain menemukan bahwa pengobatan dengan prednisolone
menurunkan kemungkinan penyembuhan imkomplet namun penggunaan antivirus
tunggal memiliki manfaat tambahan.
Terdapat beberapa penelitian yang melihat manfaat dari pengobatan
antivirus dengan ataupun tanpa prednisolone. Penelitian randomised prospective
study menemukan bahwa kombinasi antivitus dan steroid lebih efektif dalam
mengobatai Bell’s palsy berat dibanding steroid saja. Guideline development group
menemukan bahwa terdapat low quality evidence dari manfaat menambahkan
antivirus. Pasien yang diberikan pengobatan antivirus dan kortikosteroid perlu
diedukasi mengenai peningkatan penyembuhan adalah kurang dari 7%.
Sebuah Cochrane revies pada 2014 menemukan bahwa kombinasi antivirus
dan kortikosteroid perbaikan angka dari penyembuhan inkomplet daripada
pemberian kortikosteroid saja, namun hasil ini tidak signifikan dan buktinya
memiliki kualitas rendah. Terdapat bukti dengan kualitas sedang mengenai
penggunaan kombinasi dalam menurunkan sekuela jangka panjang seperti produksi
air mata berlebih dan sinkinesis. Luaran pada pasien yang mendapatkan
kortikosteroid saja secara signifikan lebih baik daripada yang menerima antivirus
saja dan pemberian antivirus saja tidak memiliki manfaat yang lebih baik daripada
placebo. Tidak ada regimen pengobatan yang memiliki perbedaan signifikan dalam
efek samping, namun bukti dari hasil ini berkualitas rendah.
Manajemen optimal untuk anak dengan Bell’s palsy belum diketahui dan
masih dalam penelitian.

I.7 Efek Samping Pengobatan


Penggunaan prednisolone perlu diperhatikan secara seksama pada pasien
yang imunosupresi dan sepsis. Efek samping dari prednisolone antara lain:
a. Induksi atau perburukan dari peptic ulcer disease.
b. Hiperglikemia terutama pada pasien diabetes
c. Hipertensi maligna
d. Disfungsi hepar dan ginjal
Sedangkan efek samping dari antivirus antara lain:
a. Mual dan muntah
b. Nyeri abdomen
c. Diare
d. Reaksi neurologis seperti pusing, kejang
e. Hepatitis dan ikterus (sangat jarang)

I.8 Terapi Non-Farmakologi


Terapi fisik meliputi latihan fasial khusus, akupuntur pada otot yang terkena,
masase, termoterapi, dan stimulasi elektrik telah digunakan untuk mempercepat
penyembuhan. Namun belum ada bukti mengenai manfaat yang signifikan. Sebuah
Cochrane review menyimpulkan berdasarkan bukti dengan kualitas rendah bahwa
latihan fasial khusus dapat membantu dalam fungsi fasial, terutama pada paralisis
sedang dan kasus kronik. Latihan fasial awal dapat menurunkan waktu
penyembuhan, paralisis jangka panjang, dan jumlah kasus kronik.
Tatalaksana bedah untuk membebaskan nervus fasialis telah
dipertimbangkan. Namun, bukti mengenai prosedur ini memiliki kualitas yang
sangat rendah.
I.9 Kesimpulan
Gejala Bell’s palsy bervariasi dari sedang hingga berat. Etiologinya masih
belum jelas, namun diketahui gejala disebabkan oleh pembengkakan dan inflamasi
dari saraf fasialis. Proteksi mata penting dalam mencegah komplikasi jangka
panjang.
Pemberian tatalaksana farmakologi masih kontroversial, karena bahwa 70%
dari pasien akan sembuh ke fungsi fasial normal tanpa tatalaksana. Tatalaksana
awal dengan prednisolone dapat mempercepat penyembuhan dan sekuela jangka
panjang. Walaupun kualitas bukti adalah rendah hingga sedang, terdapat beberapa
manfaat dalam penambahan obat antivirus terhadap prednisolone. Namun tetap
penting untuk memperhitungkan keuntungan dan manfaat dengan pasien, meningat
potensial efek samping dari prednisolone dan obat antivirus.
BAB II
TELAAH KRITIS

II.1 Population
Pasien dengan Bell’s palsy yang didiagnosis secara klinis.

II.2 Intervention
Tatalaksana farmakologi dengan kortikosteroid, antivirus, ataupun
keduanya. Tatalaksana nonfarmakologi dengan latihan fasial khusus.

II.3 Comparison
Tatalaksana farmakologi dibandingkan dengan kelompok tanpa tatalaksana.
Tatalaksana nonfarmakologi dibandingkan dengan kelompok tanpa latihan fasial
khusus.

II.4 Outcome
Tanpa tatalaksana, 70-75% pasien mengalami penyembuhan total.
Tatalaksana awal dengan prednisolone dapat mempercepat penyembuhan dan
sekuela jangka panjang. Terdapat beberapa manfaat dalam penambahan obat
antivirus dengan prednisolone.

II.5 Validity
Artikel memiliki pertanyaan penelitian yang jelas dan dapat
mengelaborasikan manajemen dan pertimbangan untuk manajemen Bell’s palsy.

II.6 Importance
Tidak dilakukan uji analisa statistik. Namun menjelaskan mengenai
efektivitas dan pertimbangan dalam manajemen Bell’s palsy.

II.7 Applicability
Penjelasan mengenai manajemen Bell’s palsy dalam artikel dapat
diaplikasikan dalam praktek sehari-hari.
DAFTAR ISI
1. Somasundara D, Sullivan F. Management of Bell’ s palsy. Aust Prescr.
2017;40(3):94–7. https://doi.org/10.18773/ austprescr.2017.030

Anda mungkin juga menyukai