Pembimbing :
Disusun Oleh :
2110221043
I.1 Pendahuluan
Bell’s palsy, disebut pula dengan paralisis fasialis idiopatik, didefinisikan
sebagai kelemahan lower motor neuron fasial yang bersifat unilateral, beronset akut,
dan terisolasi. Insidensi tahunan bervariasi pada berbagai tempat di dunia, antara
11-40 per 100.000 populasi. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada populasi
dengan diabetes.1
I.2 Etiologi
Patofisiologi yang mendasari Bell’s palsy berdasarkan observasi pada
kasus-kasus post-mortem ditemukan adanya distensi vascular, inflamasi dan edema
disertai iskemia pada nervus fasialis. Etiologi pasti tetap belum jelas. Beberapa
penyebab telah dicurigai antara lain virus, inflamasi, autoimun, dan vascular.
Reaktivasi dari herpes simplex virus atau virus herpes zoster dari ganglion
geniculate dicurigai sebagai penyebab yang paling mungkin. Meskipun telah
berkembangnya neuroimaging, diagnosis Bell’s palsy tetap didasari berdasarkan
temuan klinis.
I.4 Komplikasi
Selain masalah okular, komplikasi Bell’s palsy meliputi:
a. Sinkinesis motor (pergerakan involunter dari otot yang terjadi pada waktu
yang sama dengan pergerakan yang disengaja, seperti bergerakan mulut
involunter ketika menutup mata secara sengaja)
b. Crocodile tears (air mata ketika makan karena misdireksi serabut gustatory
yang beregenerasi yang seharusnya untuk glandula saliva, menjadi serabut
sekresi ke glandula lakrimalis dan menyebabkan keluarnya air mata
ipsilateral ketika makan)
c. Penyebuhan yang inkomplet
d. Kontraktur pada otot fasial
e. Hilangnya/menurunnya sensasi rasa
f. Disartria karena kelemahan saraf fasialis
I.5 Prognosis
Keparahan gejala Bell’s palsy bervariasi dari kelemahan ringan hingga
paralisis berat, namun prognosisnya secara umum baik. The Copenhagen Facial
Nerve Study menemukan bahwa 71% pasien sembuh kembali ke keadaan normal
tanpa pengobatan. Sekitar 13% lainnya mengalami kelemahan ringan dan 4%
mengalami kelemahan berat yang menyebabkan disfungsi fasial mayor. Kontraktur
dari otot fasial pada bagian yang terkena ditemukan pada 17% dan pergerakan yang
berhubungan pada 16%. Sistem skoring seperti skala House-Brackmann yang
digunakan pada randomised controlled trials dan systematic revies dapat digunakan
untuk memonitor perkembangannya.
Meskipun penelitian memiliki kekurangan dalam deteksi perbedaan
signifikan dalam penyembuhan antara pasien dengan derajat keparahan berbeda,
laju penyembuhan pada satu randomised controlled trial menemukan bahwa pada
pasien dengan keparahan sedang pada onset penyakit memiliki laju penyembuhan
yang secara signifikan lebih tinggi daripada pasien dengan Bell’s palsy berat.
Penyembuhan ditemukan 90% pada pasien derajat sedang dan 78% pada pasien
dengan derajat berat.
Frekuensi monitoring bergantung pada individu pasien dan keparahan dari
gejala. Jika tidak terdapat perbaikan setelah satu bulan, pasien harus dirujuk.
Rujukan juga diindikasikan pada pasien jika hanya terdapat perbaikan parsial
setelah 6-9 bulan.
Bell’s palsy bersifat rekuren pada 7% pasien dengan insidensi yang sama
pada ipsilateral dan kontralateral. Belum cukup data mengenai apakah pengobatan
mempengaruhi laju rekurensi.
II.1 Population
Pasien dengan Bell’s palsy yang didiagnosis secara klinis.
II.2 Intervention
Tatalaksana farmakologi dengan kortikosteroid, antivirus, ataupun
keduanya. Tatalaksana nonfarmakologi dengan latihan fasial khusus.
II.3 Comparison
Tatalaksana farmakologi dibandingkan dengan kelompok tanpa tatalaksana.
Tatalaksana nonfarmakologi dibandingkan dengan kelompok tanpa latihan fasial
khusus.
II.4 Outcome
Tanpa tatalaksana, 70-75% pasien mengalami penyembuhan total.
Tatalaksana awal dengan prednisolone dapat mempercepat penyembuhan dan
sekuela jangka panjang. Terdapat beberapa manfaat dalam penambahan obat
antivirus dengan prednisolone.
II.5 Validity
Artikel memiliki pertanyaan penelitian yang jelas dan dapat
mengelaborasikan manajemen dan pertimbangan untuk manajemen Bell’s palsy.
II.6 Importance
Tidak dilakukan uji analisa statistik. Namun menjelaskan mengenai
efektivitas dan pertimbangan dalam manajemen Bell’s palsy.
II.7 Applicability
Penjelasan mengenai manajemen Bell’s palsy dalam artikel dapat
diaplikasikan dalam praktek sehari-hari.
DAFTAR ISI
1. Somasundara D, Sullivan F. Management of Bell’ s palsy. Aust Prescr.
2017;40(3):94–7. https://doi.org/10.18773/ austprescr.2017.030