Anda di halaman 1dari 30

REFERAT FEBRUARI 2023

MENGENAL AGE RELATED MACULAR DEGENERATION :


DRY AMD AND WET AMD

Disusun Oleh:

Nama : Anggie Anggraini Pageno

NIM : N11121084

Pembimbing : dr. Neni K Parimo, Sp.M.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Penyakit Mata
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa

Nama : Anggie Anggraini Pageno

Stambuk : N 111 21 084

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Penyakit Mata

Judul referat : “Mengenal Age Macular Related Degeneration : Dry AMD and
Wet AMD”

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Februari 2023

Mengetahui,

Pembimbing Klinik

dr. Neni K Parimo, Sp.M.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.......................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 2

A. Anatomi................................................................................. 2
B. Fisiologi Retina..................................................................... 7
C. Definisi AMD........................................................................ 7
D. Etiologi.................................................................................. 8
E. Klasifikasi.............................................................................. 10
a) AMD tipe non-eksudatif............................................. 11
b) AMD tipe eksudatif..................................................... 11
F. Patofisiologi.......................................................................... 14
G. Manifestasi Klinis................................................................. 16
H. Diagnosis.............................................................................. 17
I. Tatalaksana........................................................................... 21
J. Prognosis.............................................................................. 23

BAB III PENUTUP............................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai
kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan
ringan hingga gangguan yang berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.1
Age-related Macular Degeneration (AMD) merupakan degenerasi progresif
makula, yang juga mempengaruhi outer retina, retinal pigmen epithelium (RPE),
membran Bruch, dan koriokapiler. AMD timbul pada usia lebih dari 50 tahun.
Prevalensi AMD 29,2% unilateral dan 70,8 % bilateral. Terdapat 8 juta penderita
AMD di Amerika dan 20-25 juta di seluruh dunia yang jumlahnya diperkirakan akan
meningkat 50% pada tahun 2020. Sekitar 85-90% menderita dry AMD (non-
neovaskular atau non-eksudatif) dan 10-15% menderita wet AMD (neovaskular).
Diperkirakan 200.000 kasus baru AMD neovaskuler bertambah setiap tahun.1
Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab terbanyak
kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4
sebesar 8,7%. Degenerasi makula terkait usia (Age related Macular Degeneration,
AMD) merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau
dua mata pada orang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15
juta warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90%
pada AMD non eksudatif dan 10 - 15 % pada eksudatif AMD. Di Indonesia sendiri,
hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas AMD.
Salah satu penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia periode 03 Mart
2008 - 05 Januari 2009 di Jakarta Timur, yang menggunakan 1259 responder didapati
prevalensi non eksudatif dan eksudatif AMD didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3
orang (0,2%). Prevalensi AMD didapatkan semakin meningkat dengan bertambahnya
usia, dimana 3,4% pada kelompok usia 40-49 tahun, 4,&% pada kelompok usia 50-59
tahun, dan 7,4% pada usia 70 tahun.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Gambar 1. Anatomi mata.3


Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding
bolamata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliaris dan
berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora
serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan
5,7 mm padasisi nasal. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan
epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membran bruch,

2
koroid, dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina
mudah terpisah hingga terbentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada
ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel
pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina pada
ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang
dapat terbentuk antara koroid dan sklera, yang meluas ke taji sklera. Dengan
demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora serrata, di bawah pars plana
dan pars plikata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan dalam korpus siliaris
dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel pigmen
retina ke anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreus.3

Gambar 2. Sudut bilik mata depan dan struktur di sekitarnya.3


Retina berbatasan dengan koroid dan sel pigmen epitel retina yang terdiri
atas lapisan (dari luar ke dalam):
1. Epitelium pigmen retina

3
Lapisan dalam membrana Bruch sebenarnya adalah membrana basalis
ephitelium pigmen retina.
2. Lapisan fotoreseptor
Merupakan lapisan terluar retina yang terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.
3. Membran limitan eksterna
Merupakan membran ilusi.
4. Lapisan nukleus luar
Merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas
avaskuler dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
5. Lapisan pleksiform luar
Merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor
dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6. Lapisan nukleus dalam
Merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller, lapis
inimendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
7. Lapisan pleksiform dalam
Merupakan lapisan aselular tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel
ganglion.
8. Lapisan sel ganglion
Merupakan lapis badan sel dari pada neuron kedua.
9. Lapisan serabut saraf
Merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke saraf optik. Di dalamlapisan
ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
10. Membran limitan interna
Merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.

4
Gambar 3. Lapisan-lapisan retina.3
Retina mempunyai ketebalan 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm
padakutub posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula
berdiameter 5,5 – 6 mm, merupakan bagian retina yang memiliki ketebalan sel
ganglion lebih darisatu lapis. yang merupakan daerah pigmentasi kekuningan
yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil). Fovea yang berdiameter 15 mm
merupakan zonaavaskular retina pada angiografi fluorosens. Ditengah makula
terdapat foveolayang merupakan bagian retina tertipis dan hanya mengandung
fotoreseptorkerucut. Ruang ekstraselular retina yang normalnya kosong
cenderung paling besardi makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan
bahan ekstrasel secarakhusus dapat mengakibatkan penebalan daerah ini (edema
makula).3

5
Retina menerima darah dari dua sumber : koriokapilaris yang berada tepat
di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina, serta cabang-cabang dari arteri sentralis retina, yang mendarahi dua
pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan
terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi.
Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang
membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-
lubang. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen
retina.3

Gambar 4. Perdarahan mata.3

6
B. FISIOLOGI RETINA
Retina berfungsi sebagai suatu alat optik, suatu reseptor yang
kompleks,dan suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan
fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang
dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan di oksipital.3
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan
sel batang lebih tinggi di perifer. Di foveolar terdapat hubungan hampir 1:1
antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat-serat saraf yang keluar,
sedangkan di retina perifer, sejumlah fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion
yang sama. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan
penglihatanwarna yang baik, keduanya memerlukan pencahayaan ruang yang
terang(penglihatan fotopik) dan paling baik di foveolar, sementara retina
sisanyaterutama digunakan untuk penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan
malam (skotopik).3
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mengawali proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif. Penglihatan siang hari
terutama diperantarai oleh kombinasi sel kerucut, senjakala oleh sel kerucut dan
batang, dan malam hari oleh sel batang.3
C. DEFINISI AMD
AMD adalah penyakit degenerasi makula yang biasanya mengenai individu
usia lanjut, yang menghasilkan kehilangan penglihatan di sentral penglihatan
(makula) karena kerusakan retina.4 Hal ini ditandai dengan hilangnya ketajaman
visual yang disebabkan oleh degenerasi choriocapillaris, epitel pigmen retina
(RPE), dan fotoreseptor, biasanya dimulai dengan drusen dan perubahan pigmen
pada membran Bruch.5

7
Gambar 5. Degenerasi Makula.
D. ETIOLOGI
Penyebab pastinya masih belum diketahui. Namun, kejadian AMD dapat
ditingkatkan oleh beberapa faktor risiko, diantaranya:6,7
1) Umur
Faktor risiko yang paling berperan pada terjadinya degenerasi
makulaadalah umur. Meskipun degenerasi makula dapat terjadi pada
orang muda, penelitian menunjukkan bahwa umur di atas 60 tahun
berisiko lebih besar terjadi dibanding dengan orang muda. Pada orang
muda hanya terdapat 2%saja yang menderita degenerasi makula, tapi
risiko ini meningkat 30% padaorang yang berusia di atas 75 tahun.
2) Genetik

8
Gen-gen yang tersusun dalam sistem komplemen protein faktor H, faktor
B, dan faktor 3 (C3) ditemukan rusak pada orang-orang yang mengalami
degenerasi makula. CFH ikut berpengaruh dalam menghambat respon
inflamasi diperantarai melalui C3b (dan komplemen jalur alternatif)
keduanya bertindak sebagai kofaktor untuk pembelahan C3b menjadi
bentuk aktifnya (C3bi) dan melalui pelemahan komplek aktif yang
terbentuk antara C3b dan faktor B. Faktor komplemen H (gen yang telah
bermutasi) dapat dibawa oleh para keturunan penderita degenerasi
makula. CFH terkait dengan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang
meregulasi peradangan.
3) Merokok
Tembakau dapat meningkatkan risiko degenerasi makula dua sampai
tigakali dari orang-orang yang tidak pernah merokok. Didapatkan pada
penelitian bahwa “literatur mengkonfirmasi adanya hubungan yang kuat
antara merokok dan AMD.” Merokok cenderung memiliki efek toksik
pada retina.
4) Ras
Ras kulit putih (kaukasia) sangat rentan sangat rentan dengan terjadinya
degenerasi makula dibanding dengan orang-orang yang berkulit hitam.
5) Riwayat Keluarga
Risiko seumur hidup terhadap pertumbuhan degenerasi makula adalah
50% pada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga penderita
dengandegenerasi makula, dan hanya 12% pada mereka yang tidak
memiliki hubungan dengan degenerasi makula.
6) Hipertensi dan Diabetes
Degenerasi makula menyerang para penderita penyakit diabetes, atau
tekanan darah tinggi karena mudah terpecahnya pembuluh-pembuluh
darah kecil (trombosis) sekitar retina. Trombosis mudah terjadi akibat
penggumpalan sel-sel darah merah dan penebalan pembuluh darah halus.

9
7) Paparan terhadap sinar ultraviolet
Paparan sinar matahari terutama cahaya biru. Ada bukti yang
bertentangan mengenai apakah paparan sinar matahari memberikan
kontribusi bagi pengembangan degenerasi makula. Sebuah penelitian
baru-baru ini dalam British Journal of Ophthalmology pada 446 subjek
menemukan bahwa kontroversi itu tidak benar. Penelitian lain,
bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa sinar ultraviolet dapat
menyebabkan AMD.
8) Obesitas dan kadar kolesterol tinggi
Pemasukan lemak yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
risikodegenerasi makula baik pada perempuan dan laki-laki. Makan lebih
banyak ikan air tawar (setidaknya dua kali seminggu), daripada daging
merah, dan makan semua jenis kacang dapat membantu penderita
degenerasi makula.
9) Stress oksidatif
Telah disetujui bahwa oligomer prooksidan melanin dalam lisosom
diepitel pigmen retina (RPE) ikut bertanggung jawab dalam mengurangi
lajufagositosis fotoreseptor segmen batang luar oleh RPE tersebut.
10) Mutasi Fibulin-5
Penyakit ini disebabkan oleh cacat genetik di fibulin-5, dominan autosom.
Pada tahun 2004 dilakukan screening pada 402 pasien AMD dan
didapatkan adanya hubungan yang secara signifikan antara mutasi
fibulin-5 dan insiden AMD.
E. KLASIFIKASI
Penyakit ini mencakup spektrum temuan klinis dan patologis yang luas
yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu non-eksudatif
(kering/dry) dan eksudatif (basah/wet). Walaupun kedua tipe ini bersifat
progresif dan biasanya bilateral, manifestasi, prognosis, dan penatalaksanaannya

10
berbeda. Bentuk non-eksudatif merupakan jenis yang paling sering terjadi yaitu
90% dari semua kasus akibat AMD.8
a) AMD tipe non-eksudatif
AMD ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel
pigmen retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat bervariasi.
Dari perubahan-perubahan di epitel pigmen retina dan membran Bruch yang
dapat dilihat secara ofthalmoskopis, drusen adalah yang paling khas. Drusen
adalah endapan putih-kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di
belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub posterior.
Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami
kalsifikasi, dan meningkat jumlahnya. Secara histopatologis, sebagian besar
drusen terdiri dari kumpulan lokal bahan eosinofilik yang terletak di antara
epitel pigmen dan membran Bruch; drusen mencerminkan pelepasan fokal
epitel pigmen. Selain drusen, dapat muncul secara progresif gumpalan-
gumpalan pigmen yang tersebar tidak merata di daerah-daerah depigmentasi
atrofi di seluruh makula. Derajat gangguan penglihatan bervariasi dan
mungkin minimal. Angiografi fluoresens memperlihatkan pola hiperplasia
dan atrofi epitel pigmen retina yang irreguler. Pada sebagian besar pasien,
pemeriksaan elektrofisiologik memperlihatkan hasil normal.8
Sebagian besar pasien yang memperlihatkan drusen makula tidak
pernah mengalami penurunan penglihatan sentral yang bermakna;
perubahan-perubahan atrofik dapat menjadi stabil atau berkembang secara
lambat. Namun, stadium eksudatif dapat timbul mendadak setiap saat, dan
selain pemeriksaan oftalmologik yang teratur, pasien diberi Amsler grid
untuk membantu memantau dan melaporkan setiap perubahan simtomatik
yang terjadi.8
b) AMD tipe eksudatif

11
Walaupun pasien dengan AMD biasanya hanya memperlihatkan
kelainan non-eksudatif, sebagian besar pasien yang menderita gangguan
penglihatan berat. Ditandai dengan adanya Choroidal Neovascularization
(CNV), sel endotel CNV ini mudah bocor sehingga mudah pecah.
Kerusakan membran Bruch menyebabkan cairan serosa dari koroid di
bawahnya dapat bocor melalui defek-defek kecil di membran Bruch,
sehingga menimbulkan pelepasan-pelepasan lokal epitel pigmen retina
(EPR). Peningkatan cairan tersebut dapat semakin menyebabkan pemisahan
retina sensorik di bawahnya, dan penglihatan biasanya menurun apabila
fovea terkena.3
Secara klinis dapat terlihat EPR terangkat berbentuk kubah dengan
batas tegas, perdarahan subretina masif, pendarahan vitreus, robekan EPR
dan sikatrik makula disiformis. Apabila prosesnya hanya sampai perdarahan
subretina maka akan membentuk sikatrik makula disiformis. Akan tetapi
sikatrik ini dapat terus berproliferasi dan dapat menimbulkan transudasi
masif cairan subretina, yang dapat mengakibatkan terlepasnya retina (ablasio
retina).8
Dapat terjadi pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru ke arah dalam
yang meluas dari koroid sampai ruang subretina dan merupakan perubahan
histopatologik terpenting yang memudahkan timbulnya pelepasan makula
dan gangguan penglihatan sentral irreversible pada pasien dengan drusen.
Pembuluh- pembuluh baru ini tumbuh dalam konfigurasi roda pedati dasar
atau sea-fan menjauhi tempat mereka masuk ke dalam ruang subretina.
Kelainan klinis awal pada neovaskularisasi subretina bersifat samar dan
sering terabaikan; selama stadium pembentukan pembuluh baru yang samar
ini, pasien asimtomatik, dan pembuluh-pembuluh baru tersebut mungkin
tidak tampak baik secara oftalmoskopis maupun angiografis.8
Walaupun sebagian membran neovaskular subretina dapat
mengalamiregresi spontan, perjalanan alamiah neovaskularisasi subretina

12
pada AMD mengarah ke gangguan penglihatan sentral yang irreversible
dalam selang waktuyang bervariasi. Retina sensorik mungkin rusak akibat
edema kronik, pelepasan,atau perdarahan di bawahnya. Selain itu, pelepasan
retina hemoragik dapat mengalami metaplasia fibrosa sehingga terbentuk
suatu massa subretina yangdisebut jaringan parut disiformis. Massa
fibrovaskular yang meninggi danukurannya yang bervariasi ini
mencerminkan stadium akhir AMD eksudatif. Massaini menimbulkan
gangguan penglihatan sentral yang permanen.8

Gambar 6. Makula Normal, AMD Non Eksudatif & AMD Eksudatif

13
Gambar 7. Drusen pada AMD non Eksudatif

Tabel 1. Klasifikasi derajat AMD.13

F. PATOGENESIS
Patofisiologi ARMD belum diketahui pasti, ada teori yang mengaitkannya
dengan proses penuaan dan teori kerusakan oksidatif:14
 Proses penuaan Bertambahnya usia maka akan menyebabkan degenerasi
lapisan retina tepatnya membran Bruch, degenerasi membran Bruch
menyebabkan lapisan elastin berkurang sehingga terjadi penurunan
permeabilitas terhadap sisa-sisa pembuangan sel. Akibatnya terjadi
penimbunan di dalam epitel pigmen retina (EPR) berupa lipofusin,

14
 Lipofusin ini akan menghambat degradasi makromolekul seperti protein dan
lemak, mempengaruhi keseimbangan vascular endothelial growth factor
(VEGF), serta bersifat fotoreaktif, akibatnya akan terjadi apoptosis EPR.
Lipofusin yang tertimbun di dalam sel EPR menurunkan kemampuan EPR
untuk memfagosit membran cakram sel fotoreseptor. Lipofusin yang
tertimbun di antara sitoplasma dan membran basalis sel EPR, akan
membentuk deposit laminar basal yang akan menyebabkan penebalan
membran Bruch. Kerusakan membran Bruch juga akan menimbulkan
neovaskularisasi koroid.
 Teori kerusakan oksidatif Sel fotoreseptor paling banyak terkena pajanan
cahaya dan menggunakan oksigen sebagai energi, kedua faktor tersebut akan
menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau
molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan, yang bersifat
sangat reaktif dan tidak stabil. Bila produksi radikal bebas berlebihan dan
antioksidan yang ada tidak mampu meredamnya, akan timbul suatu keadaan
stres oksidatif yang selanjutnya akan memicu kerusakan oksidatif tingkat
selular.
 Kerusakan oksidatif retina dapat terjadi karena terbentuknya Reactive
Oxygenspecies (ROS) oleh oksidasi di mitokondria. Makula sangat rentan
terhadap kerusakan oksidatif karena banyaknya sel fotoreseptor yang bagian
dalamnya sangat banyak mengandung mitokondria sedangkan bagian
luarnya banyak mengandung asam lemak tidak jenuh ganda sehingga dapat
membocorkan ROS. Oksigenasi yang tinggi di koroid mempermudah
kerusakan oksidatif. Selain itu, terpajannya makula dengan sinar ultraviolet
juga akan menimbulkan prosesoksidatif. Sel EPR yang mengalami
kerusakan oksidatif ini akan menghasilkan vascular endothelial growth
factor (VEGF) sehingga akan memicu terjadinya choroidal
neovascularization (CNV)

15
G. MANIFESTASI KLINIS
Awalnya AMD sangat jarang menyebabkan keluhan. Keluhan
barudirasakan apabila telah terjadi neovaskularisasi koroid (choroidal
neovascularization, CNV) atau drusen lunak di sentral makula yang
menyebabkan gangguan lapang pandang sentral, penurunan tajam penglihatan
sehingga sulit melakukan pekerjaan yang membutuhkan resolusi tinggi. Gejala-
gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi makula antara
lain.9
 Distorsi penglihatan, obyek-obyek terlihat salah ukuran atau bentuk
 Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama dibagian pusat
penglihatan
 Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
 Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
 Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
 Secara tiba-tiba ataupun secara perlahan akan terjadi kehilangan fungsi
penglihatan tanpa rasa nyeri

Gambar 8. Skotoma Sentral pada Pasien dengan AMD

16
Gambar 9. Distorsi Penglihatan Penderita AMD pada Amsler Grid

H. DIAGNOSIS
1. Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop direk atau
indirek akan terlihat di daerah makula berupa drusen, kelainan epitel
pigmen retina seperti hiperpigmentasi atau hipopigmentasi yang
berhubungan dengan drusen pada kedua mata, neovaskularisasi koroid,
perdarahan subretina, dan lepasnya epitel pigmen retina dapat menolong
sebagai konfirmasi diagnosis,tetapi penemuan tersebut bisa muncul tanpa
kehilangan penglihatan.9

Gambar 10. Gambaran Dry dan Wet AMD pada funduskopi


2. Test Amsler grid

17
Kartu Amsler pada awal AMD neovaskular dapat terlihat distorsi
garis lurus (metamorfopsia) dan skotoma sentral. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan untuk pemantauan oleh penderita sendiri sehingga tindakan
dapat dilakukan secepatnya, dimana pasien diminta untuk melihat suatu
halaman uji yang mirip kertas milimeter grafis pada jarak 30cm untuk
memeriksa titik sentral yang terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian
retina diteropong melalui lampu senter kecil dengan lensa khusus.
Pemeriksaan lainnya dengan test penglihatan warna, untuk melihat
apakah penderita masih dapat membedakan warna.10

Gambar 11. Amsler Grid


3. Fundus fluorescein angiography (FFA)
Pemeriksaan FFA merupakan gold standard bila dicurigai CNV.
Gambaran FFA dapat menentukan tipe lesi, ukuran dan lokasi CNV,
sehingga dapat direncanakan tindakan selanjutnya. FFA juga digunakan
sebagai penuntun pada tindakan laser dan sebagai pemantauan dalam
menentukan adanya CNV yang menetap atau berulang setelah tindakan
laser. Dari gambaran FFA, dapat ditentukan beberapa tipe lesi, yaitu
a. CNV Klasik: gambaran hiperfloresin berbatas tegas pada fase
pengisian awal arteri, dan pada fase lambat tampak kebocoran fl
uoresin sehingga batasnya menjadi kabur

18
b. CNV Tersamar (Occult): pada fase lambat terlihat gambaran
hiperfloresin granular dengan batas tidak tegas
c. Predominan klasik: lesi klasik lebih dari 50% dibandingkan dengan
tipe tersamar, dan
d. Minimal klasik: lesi klasik kurang dari 50% dibandingkan dengan tipe
tersamar.
Lesi juga dibagi menjadi ekstrafoveal, juxtafoveal atau subfoveal
jenis tergantung pada lokasi mereka. Lokasi lesi mempengaruhi pilihan
pengobatan.
 Lesi ekstrafoveal: 200-2500 mm dari fovea
 Lesi juxtafoveal: 1-199 mm dari fovea
 Lesi subfoveal melibatkan pusat fovea.

Gambar 12. Wet AMD pada FFA

Gambar 13. Pada FFA, lesi CNV dapat dibedakan menjadi: classic dan
occult CNV

19
4. Indocyanine green angiography (ICGA)
ICGA sangat lambat mengisi kapiler koroid sehingga struktur
koroid dapat terlihat lebih detail. Hal ini memberi gambaran yang baik
pada kelainan koroid dan menghilangkan blokade yang terjadi pada FFA,
sehingga sering digunakan dalam diagnosa CNV tersamar.
5. Optical coherence tomography (OCT)
Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan tindakan tidak
invasif yang menghasilkan gambaran resolusi mikrometer pada jaringan
mata. Pemeriksaan ini menggunakan prosedur gambaran 2 dimensi.
Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan lapisan retina, melihat
ketebalan dari lubang makula, melihat adanya edema makula dan
mengevaluasi cairan subretina yang tidak dapat dilihat melalui angiografi
fluorosens.3

Gambar 14. OCT Normal

Gambar 15. Dry AMD. Panah putih: drusen sebagai elevasi dari RPE

20
Gambar 16. Wet AMD. Panah kuning: Penebalan Retina, Panah Biru:
Cyst, Panah Putih: Cairan intraretinal
I. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan AMD neovaskuler adalah untuk mempertahankan
tajam penglihatan yang ada dan menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan
yang lebih berat. Tindakan laser bertujuan untuk merusak CNV tanpa
menyebabkan kerusakan jaringan yang berarti.
Tatalaksana dry AMD/Non-eksudatif meliputi edukasi, follow up,
perubahan gaya hidup, mikronutrien, dan laser fotokoagulasi. Beberapa
penelitian menunjukkan kegunaan dari konsumsi mikronutrien. The Age-Related
Eve Diseases Study (AREDS) telah melakukan penelitian pada pasien dengan
AMD noneksudatif ringan dan sedang yang diberikan suplemen antioksidan (15
mg betakaroten, 500 mg vitamin C, vitamin E 400 IU, seng 80 mg, dan tembaga
2 mg) dengan hasil adanya penurunan progresi AMD menjadi AMD lanjut
walaupun efek tersebut kecil. Data menunjukkan kegunaan lain yaitu mencegah
AMD non eksudatif menjadi eksudatif. Penelitian lain oleh Rotterdam Study
yang mencari hubungan asupan antioksidan dengan penurunan resiko menjadi
AMD pada lebih dari 4000 orang yang berusia 55 tahun atau lebih di Belanda.
Pada penelitian ini asupan tinggi betakaroten, vitamin C, vitamin E, dan seng
berhubungan dengan penurunan resiko AMD pada orang usia tua.9

21
Pada Wet AMD/Eksudatif diterapi dengan medikamentosa, thermal laser
photocoagulation, photodinamic theraphy, dan terapi pembedahan. Terapi
medika mentosa yang direkomendasikan saat ini adalah anti VEGF seperti
pegaptanib sodium, ranibizumab, bevacizumab, aflibercept.15
1. Fotokoagulasi laser
Laser argon hijau atau kripton merah dapat di gunakan; laser krypton
merah lebih sedikit diabsorpsi oleh pigmen xantofi dibandingkan laser
argon hijau, sehingga memungkinkan dilakukan lebih dekat dengan daerah
sentral fovea. Besarnya spot adalah 100-200 pmdengan durasi 0,1-0,5
detik. Menurut Macular Photocoagulation Study (MPS) penderita yang
akan menjalani laser dibagi dalam 3 kelompok:
a. CNV ekstra-fovea: laser akan sangat efektif karena
tidakmempengaruhi tajam penglihatan.
b. CNV juksta-fovea: CNV akan melebar ke daerah foveal avascularzone
(FAZ) tetapi jarang sampai ke daerah pusat makula. Karenarisikonya
cukup tinggi, terapi laser masih kontroversial.
c. CNV sub-fovea: karena CNV di sub-fovea, fotokoagulasi laser
berisiko menyebabkan kehilangan tajam penglihatan permanen.
Beberapa kasus jika diseleksi dengan benar dapat juga diterapi bila
ukurannya kecil dan penderita disiapkan untuk risiko penurunan tajam
penglihatan sesudah terapi.11
2. Photodynamic therapy (PDT)
PDT adalah teknik pengobatan mengaktifkan zat verteporfi
menggunakan sinar laser (fotosensitizer). Terapi ini tidak merusak EPR,
fotoreseptor, dan koroid karena laser yang digunakan tidak menimbulkan
panas dan zat aktif hanya bekerja pada jaringan CNV. Hal ini karena
vertoporfin berikatan dengan low density lipoprotein (LDL) yang banyak
terdapat pada sel endotel pembuluh darah yang sedang berproliferasi. PDT
merupakan pilihan terapi CNV sub-fovea tipe klasik dan predominan

22
klasik. Terapi ini dapat diulang setiap 3 bulan bila masih terlihat
kebocoran. Hindari pajanan matahari secara langsung selama 24-48 jam
setelah injeksi vertoporfin.11
3. Terapi anti-angiogenesis
Anti-angiogenesis dapat digunakan untuk terapi CNV karena dapat
menghambat vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga CNV
menjadi regresi dan juga mencegah terbentuknya CNV baru. Dapat
digunakan secara primer atau tambahan pada saat terapi laser. Saat ini anti
VEGF yang sedang berkembang ialah ranibizumab, pegabtanib sodium,dan
bevacizumab intravitreal, yang dikatakan dapat menstabilkan visus atau
meningkatkan tajam penglihatan secara temporer. Sering pula anti-
angiogenesis dikombinasikan dengan anti-inflamasi (dexamethasone)
intravitreal dan dapat pula dikombinasikan setelah PDT.12
J. PROGNOSIS
Bentuk degenerasi makula yang progresif dapat menyebabkan kebutaan
total sehingga aktivitas dapat menurun. Prognosis dari AMD tipe eksudat lebih
buruk daripada AMD tipe noneksudat. Prognosis dapat didasarkan pada terapi,
tetapi belum ada terapi yang bernilai efektif sehingga kemungkinan untuk
sembuh total sangat kecil.13

23
BAB III
KESIMPULAN

AMD adalah penyakit degenerasi makula yang biasanya mengenai individuusia


lanjut, yang menghasilkan kehilangan penglihatan di sentral penglihatan (makula)
karena kerusakan retina. Penyakit ini mencakup spektrum temuan klinis dan patologis
yang luas yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu noneksudatif
(kering) dan eksudatif (basah).Walaupun kedua tipe ini bersifat progresif dan
biasanya bilateral, manifestasi, prognosis, dan penatalaksanaannya berbeda. Bentuk
eksudatif yang lebih berat merupakan penyebab pada hampir 90% dari semua kasus
buta akibat AMD.
Penyebab pasti belum diketahui, namun ada faktor-faktor risiko yaitu: umur,
ras, genetik, merokok, hipertensi, diabetes, obesitas, stress oksidatif, mutasifibulin-5,
sinar ultraviolet.
Diagnosa dengan pemeriksaan klinik biasanya cukup untuk mendiagnosis.
Dapat juga ditegakkan dengan test Amsler grid dan penglihatan warna. Secara klinik,
abnormalitas makula hampir tidak terlihat, cairan subretina, sebaiknya dideteksi
dengan stereoscopic slit-lamp biomicroscopic dengan menggunakan lensa kontak.
Jarak antara permukaan retina atau pembuluh-pembuluh retina dan RPE akan
meningkat. Angiografi fluoresein dapat sangat menolong pasien yang dicurigai telah
mengalami neovaskularisasi khoroid untuk menegakkan indikasi pengobatan.
Pemeriksaan ini bukan untuk test screening untuk mata yang mempunyai drusen atau
atrofi geografik, yang tidak memiliki gejala baru atau tidak adanya neovaskularisasi.
Rekurensi sering disertai penurunan penglihatan berat sehingga pemantauan
yang cermat dengan Amsler Grid, oftalmoskopi dan angiografi perlu dilakukan.
Pasien dengan gangguan penglihatan sentral di kedua matanya mungkin memperoleh
manfaat dari pemakaian berbagai alat bantu penglihatan kurang. Selain itu terapi juga
dapat dilakukan di rumah berupa pembatasan kegiatan dan follow up pasien dengan
mengevaluasi daya penglihatan yang rendah. Selain itu,dengan mengkonsumsi

24
multivitamin dan antioksidan (berupa vitamin E, vitamin C, beta caroten, asam cupric
dan zinc), karena diduga dapat memperbaiki dan mencegah terjadinya degenerasi
makula. Sayuran hijau terbukti bisa mencegah terjadinya degenerasi makula tipe non-
eksudatif. Selain itu dilakukan juga pembatasan merokok dan pengendalian tekanan
darah tinggi.
Bentuk degenerasi makula yang progresif dapat menyebabkan kebutaan total
sehingga aktivitas dapat menurun. Prognosis dari AMD tipe eksudat lebih buruk
daripada AMD tipe non-eksudat. Prognosis dapat didasarkan pada terapi, tetapi
belum ada terapi yang bernilai efektif sehingga kemungkinan untuk sembuh total
sangat kecil.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin R, Purwanita P, Mutiara R. Deteksi dini Age-Related Macular


Degeneration (ARMD) di Puskesmas Palembang. Jurnal Pengabdian
Masyarakat: Humanity and Madicine. 2021. 2(1):9-18.
2. Tany CE, Sumual V, Saerang JSM. Prevalensi age related macular degeneration
di Poliklinik Mata BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari
2013 – Oktober 2015. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016. 4(1):279-83.
3. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
19th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2017.
4. Shalev V, Sror M, Goldshtein I, et al. Statin use and the risk of age
relatedmacular degeneration in a large health organization in Israel. Ophthalmic
Epidemiol. 2011.
5. Rosenfield PJ, Martidis A, Tennant M. Age-related macular degeneration.In:
Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ, eds. Ophthalmology: Expert Consult. 3rd
ed. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby; 2009.
6. Tomany SC, Wang JJ, Van Leuwen R, et al. Risk Factors for incident
agerelated macular degeneration: pooled findings from 3 continents.
Ophtalmology 2004; 1(11):1280-7.
7. Hurley SF, Matthews JP, Guymer RH, Cost effectiveness of smokingcessation
to prevent age related macular degeneration. Cost Eff ResourAlloc 2008;6:18.
8. Vision Problems in the US: Prevalence of Adult Vision Impairment andAge-
Related Eye Disease in America. 4th ed. Prevent Blindness America. 2008.
9. American Academy of Ophthalmology Retina Panel. Preferred Practice Pattern
Guidelines. Age-Related Macular Degeneration. San Francisco,CA: American
Academy of Ophthalmology. 2008.
10. Departemen Kesehatan RI. Age – Related Macular Degeneration. 2012.
11. Ciulia TA, Danis RP, Harris A. Age-related macular degeneration: a reviewof
experimental treatments. Surv Ophthalmol. 1998;43:136-46.

26
12. The Eyetech Study Group.Anti-vascular endothelial growth factor therapyfor
subfoveal choroidal neovascularization secondary to age-relatedmacular
degeneration. Phase II study result. Ophthalmology 2003; 110:979-86.
13. Age-related Macular Degeneration Guidelines for Management. The Royal
College of Ophthalmologists 2009.
14. Augustin AJ, Kirchhoff J. Expert Opin Ther Targets 2009;13:641-651 Kijlstra
A et al. In Uveitis and immunological disorders. 2009.
15. Prall FR. Exudative (Wet) Age-Related Macular Degeneration (AMD) Clinical
Presentation. 2022. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/1226030-clinical.

27

Anda mungkin juga menyukai