Anda di halaman 1dari 24

Refarat

SINDROM NEFROTIK

Oleh :
Ahmad Julkandri
201109001

Pembimbing :
dr. Siska Silviana, Sp.A

HALAMAN JUDUL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DUMAI
TAHUN 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan jurnal yang berjudul “SINDROM
NEFROTIK” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior
bagian Ilmu Kesehatan Anak Program Studi Kedokteran Universitas Abdurrab Pekanbaru.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing dr. Siska Silviana,
Sp.A, atas bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Kesehatan Anak
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan jurnal ini masih terdapat banyak
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan
penulis. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas segala kekurangan serta diharapkan kritik
dan saran yang membangun dalam rangka perbaikan penulisan jurnal. Semoga laporan kasus
ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.

Dumai, 30 Juni 2021

Ahmad Julkandri

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 6
2.1 Definisi ........................................................................................................................ 6
2.2 Epidemiologi ............................................................................................................... 6
2.3 Etiopatogenesis............................................................................................................ 6
2.4 Patofisiologi .............................................................................................................. 10
2.5 Penegakan Diagnosis................................................................................................. 13
2.6 Tatalaksana ................................................................................................................ 17
2.7 Komplikasi ................................................................................................................ 19
2.8 Prognosis ................................................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 22
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria
massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan.
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus
baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12–16 kasus per 100.000 anak. Di
negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun
pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2
SN dapat dibedakan menjadi SN kongenital, SN primer/idiopatik dan sekunder. Pada
umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.3 Tujuan utama terapi
Sindrom Nefrotik adalah mencegah kebocoran pada glomerulus. Oleh karena itu diberikan
kortikosteroid (prednison) sampai terjadi remisi yaitu keadaan protein dalam urin menjadi
negatif atau trace. Hilangnya protein dalam urin merupakan indikator keberhasilan pengobatan
Sindrom Nefrotik. Apabila remisi tidak tercapai disebut sebagai Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid.4
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan
disertai asites, efusi pleura dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International
Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.1
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi
kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis
membrano-proliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.5,6,7 Pada

4
5

pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total
(responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).1
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-
5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai
penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan
untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Pasien yang
menunjukkan respons yang buruk terhadap steroid biasanya memiliki hasil yang prognosis
yang buruk.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria
massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg
atau dipstik ≥ 2+), Hipoalbuminemia ≤2,5 g/dL, edema dan dapat disertai
hiperkolesterolemia.1
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak sebagian besar (90%) merupakan idiopatik.
Glomerulonefritis dengan lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak usia <10 tahun,
dan >50% pada anak yang lebih tua. Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal
anak yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12–16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2
2.3 Etiopatogenesis
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer (terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain) dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), obat atau toksin dan akibat
penyakit sistemik seperti tercantum pada tabel 1. Glomerulonefritis dengan lesi minimal
merupakan ponyebab SN utama pada anak, meskipun tetapi merupakan penyebab yang
banyak ditemukan pada semua usia sedangkan sekitar 30% penyebab SN pada dewasa
dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti diabetes melitus, amiloidosis atau lupus
eritematosis sistemik. Penyebab lain disebabkan oleh kelainan primer pada ginjal seperti
kelainan lesi minimal, glomerulosklerosis fokal segmental dan nefropati membranosa.5
Tabel 1. Etiologi Sindrom Nefrotik5
Klasifikasi Penyebab

Glomerulonefritis Primer − GN lesi minimal


− Glomerulosklerosis fokal segmental
− GN membranosa
− GN membranoproliferatif
− GN proliferatif lain

6
7

Glomerulonefritis Infeksi
Sekunder - HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, myeloma multiple dan karsinoma ginjal
Penyakit jaringan penghubung
- Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid,
mixed connective tissue disease (MCTD)
Efek obat dan toksin
- Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilamin, probenesid, air raksa, captopril dan
heroin
Lain-lain
- Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan
lebah

2.3.1 Glomerulonefritis Lesi Minimal


Glomerulonefritis lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak dengan SN
usia dibawah 10 tahun dan lebih dari 50% pada anak yang lebih tua. Sebanyak 10-
15% terjadi pada SN dewasa. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu kondisi yang
idiopatik, berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)
atau efek paraneoplastik dari suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin).5
Patogenesis
Patogenesis proteinuria pada GN lesi minimal masih sedang diteliti.
Berdasarkan beberapa penelitian eksperimental, proteinuria mungkin disebabkan
oleh sel T yang menyebabkan kerusakan podosit dan pemendekan/penipisan
prosesus kaki podosit. Namun, baik sifat alami faktor yang diduga maupun peran
sel T sebagai penyebab belum dipahami pada manusia.7
Pada membran basal glomerulus normal, dengan prosesus kaki podosit yang
sehat, protein serum, terutama albumin, tetap berada di dalam lumen kapiler
glomerulus. Oleh karena, sitoskeleton aktin podosit dan membran basal glomerulus
terganggu, albumin serta protein serum lainnya disaring keluar dari aliran darah dan
ke dalam ruang kemih. Ini mengarah pada proteinuria pada sindrom nefrotik.6
8

Gambar 1. Patogenesis Glomerulonefritis Lesi Minimal

2.3.2 Glomerulosklerosis Fokal Segmental


Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) merupakan lesi tersering yang
ditemukan pada SN dewasa yang idiopatik. Di Amerika Serikat, sebanyak 35% dari
keseluruhan kasus dan 50% diantaranya adalah kulit hitam.5
GSFS dapat muncul sebagai sindrom idiopatik (GSFS primer) atau sekunder
terhadap salah satu kondisi berikut:7,8
a. Berkaitan dengan kondisi lain, seperti infeksi HIV (nefropati HIV) atau
penggunaan salah satu heroin (nefropati heroin)
b. Sebagai kejadian sekunder dari bentuk GN yang lain (misalnya, nefropati IgA)
c. Pada bentuk herediter atau kongenital. Bentuk autosomal dominan berkaitan
dengan mutasi pada protein sitoskleton dan podosin yang keduanya dibutuhkan
untuk integritas podosit. Selain itu, berbagai varian gen apolipoprotein L1
9

(APOL1) pada kromosom 22 tampaknya memiliki asosiasi kuat dengan


peningkatan risiko FSGS dan gagal ginjal pada individu keturunan afrika.
Patogenesis7,8
Patogenesis GSFS primer tidak diketahui. Beberapa peneliti telah
memperkirakan bahwa GSFS dan GN lesi minimal adalah suatu penyakit yang
kontinum dan penyakit GN lesi minimal dapat bertransformasi menjadi GSFS.
Peneliti lain percaya bahwa kedua penyakit tersebut merupakan entitas yang
berbeda secara klinikopatologis dari sejak awal. Pada semua kasus jejas terhadap
podosit diperkirakan mewakili kejadian yang memulai terjadinya GSFS primer.
Patogenesis utama yang terjadi pada GSFS adalah kerusakan dan kehilangan
podosit. Injuri pada podosit terjadi melalui empat mekanisme utama: perubahan
komponen dari slit diaphragm atau strukturnya, disregulasi sitoskeleton aktin,
perubahan pada membran basal glomerulus atau interaksinya dengan podosit, atau
perubahan muatan listrik negatif pada permukaan podosit. Rusaknya podosit akan
memicu terjadinya apoptosis dan terlepasnya (detachment) podosit dari membran
basal glomerulus. Akibatnya berlanjut pada kerusakan lain yang diperantarai oleh
pelepasan sitokin, stress mekanik, dan polaritas yang semakin menurun, sehingga
terbentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerulus.

2.3.3 Nefropati Membranosa

Nefropati membranosa adalah salah satu tipe glomerulonefritis kompleks imun


kronik yang diinduksi oleh antibodi yang menyebabkan reaksi secara in-situ
terhadap antigen glomerulus endogen. Antigen podosit endogen, reseptor
fosfolipase adalah antigen yang paling sering dikenal oleh autoantibodi. Insiden
tertinggi terjadi pada umur 30 sampai 50 tahun serta rasio laki-perempuan adalah
2:1.
Patogenesis9,10

Model eksperimen nefropati membranosa adalah nefritis Heymann, yang


diinduksi pada hewan dengan imunisasi protein brush border tubulus ginjal yang
juga terdapat pada podosit. Antibodi yang diproduksi bereaksi dengan antigen yang
terletak di dinding kapiler glomerulus, mengakibatkan endapan granuler
(pembentukan kompleks imun in situ) dan proteinuria tanpa inflamasi berat.
Kompleks antigen-antibodi menyebabkan kerusakan kapiler melalui aktivasi
komplemen yang biasanya terdapat pada lesi-lesi nefropati membranosa. Suatu
10

hipotesis menyatakan bahwa aktivasi komplemen mengakibatkan perakitan


kompleks serangan membrane (membrane attack complex) C5b-C9 yang merusak
sel mesangial dan podosit secara langsung.

2.3.4 Glomerulonefritis Membranoproliferatif


Patogenesis
a. Glomerulonefritis Membranoproliferatif Tipe I
Disebabkan oleh kompleks imun mirip dengan chronic serum sickness
atau mungkin disebabkan oleh antigen yang tertanam dan diikuti oleh
pembentukan kompleks imun in situ. Terjadi deposit mesangial dan subendotel.
Pada masing-masing kasus, antigen pemicu tidak diketahui. Berkaitan juga
dengan antigenemia hepatitis B dan C, lupus eritematous sistemik, saluran
pengalih aliran (Shunt) atrioventrikel yang terinfeksi dan infeksi ekstrarenal.11
b. Dense Deposit Disease
Disebabkan oleh aktivasi komplemen yang berlebihan. Beberapa
penderita memiliki autoantibodi terhadap C3 konvertase, yaitu faktor nefritik
C3, yang diperkirakan akan menstabilisasi enzim tersebut dan mengakibatkan
pemecahan C3 yang tidak terkendali dan aktivasi jalur alternatif komplemen.
Mutasi pada gen yang menyandi protein yang berperan untuk regulasi
komplemen faktor H atau autoantibodi terhadap faktor H telah ditemukan pada
beberapa pasien.12
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Proteinuria5
Ada 3 jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan
protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria pada penyakit
glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding
kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit glomerular,
meliputi retraksi dari foot process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm. Perbedaan
potensial listrik yang dihasilkan oleh arus transglomerular akan memodulasi flux
makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Glomerulus ginjal terdiri dari vascular bed yang kompleks yang berfungsi sebagai
ultrafiltrasi selektif terhadap protein plasma. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari 3
lapisan, yaitu lapisan sel endotel, membran basal glomerulus lapisan sel epitel
(podosit). Podosit merupakan lapisan barier terluar dari sistem filtrasi glomerulus.
11

Dalam kondisi patologis, podosit mengalami berbagai perubahan bentuk structural


seperti FP effacement, pseudocyst formation, hipertrofi, terlepas dari membrane basal
glomerulus (detachment) dan apoptosis. Foot process effacement merupakan
karakteristik perubahan yang paling dominan dijumpai pada SN dan penyakit
glomerular lainnya yang disertai proteinuria. Foot process effacement dapat reversible
atau ireversibel apabila kerusakan sel podosit terjadi berkelanjutan. Sindrom nefrotik
terutama disebabkan oleh keruskan sel podosit dengan manifestasi proteinuria masif,
pada beberapa keadaan dapat progresi menuju penyakit ginjal kronik.
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(charge barrier). Pada SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
membrane basal glomerulus.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas
proteinuria dipengaruhi oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.
Pada SN yang disebabkan oleh GN lesi minimal ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop electron memperlihatkan fusi FP sel epitel visceral glomerulus
dan terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya kandungan
heparin sulfat proteoglikan pada GN lesi minimal menyebabkan muatan negatif
membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin.
2.4.2 Hipoalbuminemia5
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka harus berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal hati memiliki kapasitas sintesis untuk
meningkatkan albumin total sebesar 25gram per hari. Namun masih belum jelas
mengapa hati tidak mampu meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk
menormalkan kadar albumin plasma pada pasien dengan proteinuria 4-6gram per hari.
12

Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong
peningkatan eksresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat
peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
2.4.3 Edema5
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstitial mengikuti hukum
Starling dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan
merangsang sistem renin-angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus
distal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga
akan mengeksaserbsi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama renal.
Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengeksresikan natrium, hal
ini dapat disebabkan oleh aktivitas kanal natrium epitel (eNaC) oleh enzim proteolitik
yang memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi
peningkatan volume darah, penekanan renin-angiotensin dan vasopressin, dan
kecenderungan untuk terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi, ginjal juga relatif
resisten terhadap efek natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat tekanan
onkotik yang rendah, memicu transudasi cairan ke ruang ekstraseluler dan edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema.
Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal,
jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
2.4.4 Hiperlipidemia dan Lipiduria5
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom nefrotik.
Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Semula diduga
hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non spesifik terhadap sintesis protein oleh
hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan
bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.
13

Hiperlipidemia dapat ditemukan pada sindrom nefrotik dengan kadar albumin


mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar
kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan
gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi
pada sindrom nefrotik. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada sindrom nefrotik diduga akibat
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang
berfungsi dalam katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini berfungsi dalam mengangkut
kolestrol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim
tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada sindrom nefrotik.
Lipiduria sering ditemukan pada sindrom nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty
cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
2.5 Penegakan Diagnosis
2.4.1 Anamnesis13,14
Keluhan sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata dan ekstremitas
bawah. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, pasien mungkin mengalami
edema yang meluas ke ekstremitas bawah proksimal, perut bagian bawah, atau alat
kelamin. Asites dan efusi pleura juga mungkin terjadi. Pasien mungkin melaporkan urin
berbusa, dispnea saat beraktivitas atau kelelahan, dan peningkatan berat badan terkait
cairan yang signifikan.
2.4.2 Pemeriksaan Fisik15
a. Saat pemeriksaan, pasien sadar, waspada dan tidak sakit kuning.
b. Edema dapat ditemukan pada kelopak mata, tungkai atas dan bawah serta alat
kelamin.
c. Pemeriksaan abdomen dapat ditemukan asites
d. Dapat ditemukan efusi pleura
14

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang Sindrom Nefrotik
Jenis Temuan
Pemeriksaan
Urinalisis16 Proteinuria

− Dewasa: 24 jam >3,5g/24jam


− Anak: ≥40mg/m2/jam
Darah Rutin Hipoalbuminemia (<2,5g/hari)

Profil Lipid Hiperlipidemia ( kolesterol >200mg/dL)

Serologi17 Pertimbangkan: Glukosa serum atau Hb glikosilasi (HbA),


Antibodi antinuklear, Tes serologi Hepatitis B dan C,
Elektroforesis protein serum atau urin, Cryoglobulin, Faktor
reumatoid, Tes serologis untuk sifilis (misalnya, reagin plasma
cepat), tes antibodi HIV, Kadar komplemen (CH50, C3, C4)

Histopatologi18,19 − Glomerulonefritis Lesi Minimal:


Tampak fusi pada podosit dan tidak ada deposit kompleks
imun, imunoflouresen negatif.

− Glomerulosklerosis Fokal Segmental


Pada pemeriksaan mikroskop electron tampak kerusakan
fokal pada sel epitel visceral
15

− Glomerulonefritis Membranosa
Penebalan difus pada membran, pewarnaan silver
menunjukkan gambaran “spike and dome”, pada
imunoflouresen tampak kompleks imun subepitel

− Glomerulonefritis Membranoproliferatif
Tipe I → Kompleks imun subendotelial dengan
imunoflouresen granular. Mikroskop elektron menunjukkan
trem track yang disebabkan oleh pemisahan GBM dengan
pertumbuhan mesangium
Tipe II→ Deposit intramembranosa difus (dense deposit
disease. Mikroskop elektron menunjukkan trem track.
16

2.4.4 Kriteria Diagnosis5,16,20,21


Tabel 3. Kriteria Diagnosis Sindrom Nefrotik
Faktor Kriteria

Edema Fase awal edema di wajah pada pagi hari saat bangun
tidur dengan kelopak mata bengkak kemudian
menyebar ke kaki dan mengarah ke anasarka dengan
asites, hidrokel atau efusi pleura.

Proteinuria masif > 2 mg/mg


Urin dipstick +2/+3
Urin 24 jam >3,5g/24jam
Anak: ≥40mg/m2/jam

Hipoalbuminemia Serum albumin <2,5g/hari

Hiperkolesterolemia >200mg/dL

2.4.5 Batasan1
Sindrom Nefrotik Anak Usia 1-18 Tahun
a. Remission: proteinuria negatif atau trace atau (proteinuria <4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
b. Relaps: proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
c. Relaps jarang: relaps <2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau <4x
pertahun pengamatan .
d. Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4x dalam periode 1 tahun .
e. Dependen steroid: relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 15 hari setelah pengobatan dihentikan .
f. Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
g. Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu.
17

2.6 Tatalaksana3
2.6.1 Inisial
Regimen dosis standar untuk pengobatan awal sindrom nefrotik adalah
prednison oral / prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimum 80
mg/hari) dalam dosis terbagi tiga selama empat minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis
awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis
alternating) selama 4-8 minggu.
Pada anak-anak yang mungkin berisiko lebih tinggi untuk menjadi sindrom
nefrotik yang sering kambuh atau bergantung pada steroid karena usia mereka yang
masih muda (1 hingga 4-6 tahun), memperpanjang pengobatan inisiasi hingga 16-24
minggu mungkin bermanfaat dalam hal mencegah kekambuhan berikutnya.
2.6.2 Relaps
Jika terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m2 /hari sampai terjadi
remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara
alternating selama 4 minggu.
Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa
edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak
awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan
Untuk anak yang sering kambuh dengan efek samping serius terkait
kortikosteroid dan untuk semua anak dengan sindrom nefrotik ketergantungan steroid,
direkomendasikan agar corticosteroid-sparing agents seperti cyclophosphamide,
levamisole, MMF, rituximab, or CNIs diresepkan, daripada tidak ada pengobatan atau
kelanjutan dengan pengobatan kortikosteroid saja. Cyclophosphamide dan levamisol
mungkin lebih disukai sebagai terapi hemat steroid pada sindrom nefrotik yang sering
kambuh. Siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal
di bawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan
tanpa edema (persentil ke- 50 berat badan menurut tinggi badan).
2.6.3 Resisten Steroid
Direkomendasikan penggunaan siklosporin (CyA) sebagai awal terapi lini
kedua untuk anak-anak dengan sindrom nefrotik yang resistan terhadap steroid. CyA
dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi
18

parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif.1
Pemberian siklosfamid (CPA) oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN
yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian
steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen
steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.1
2.6.4 Suportif
Bila ada edema anasarca diperlukan tirah baring. Selain pemberian
kortikosteroid atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti
pemberian diet protein normal (1,5-2 g/kgBB/hari), diet rendah garam (1-2 g/hari) dan
diuretic. Diuretic furosemide 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (amtagonis aldosterone, diuretic hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari bila
ada edema anasarkan atau edema yang menganggu aktivitas. Jika ada hipertensi maka
ditambahkan obat antihipertensi. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB
selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemebrian furosemide intravena 1-2 mg/kgBB dilakukan atas indikasi seperti edema
refrakter, syak, atau kadar albuin <1 gram/dL. Terapi psikologis terhadap pasien dan
orang tua diperlukan karena penyakit ini dapat berulang dan merupakan penyakit
kronik.
• Dosis pemberian albumin serum 1-2 g/dL : diberikan 0,5g/kgBB/hari; kadar
albumin <1 g/dL diberikan 1g/kgBB/hari.
2.6.5 Pemantauan
a. Terapi
Dengan pemberian prednisone atau imunosupresan lain dalam jangka lama,
maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping
19

obat. Prednisone dapat menyababkan hipertensi atau efek samping lain dan
siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang efek samping lain.
Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian
siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi
hipertensi, prednisone dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain,
hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang
(leukosit <3.000/uL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika
leukosit >5.000/uL.
b. Tumbuh kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom
nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednisone secar berulang
dalam jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompramis
sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu
tumbuh kembang pasien.
2.6.6 Indikasi Melakukan Rujukan Kepada Ahli Nefrologi Anak1
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak:
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom
nefrotik di dalam keluarga.
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi
ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit.
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat,
toksik steroid.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid 5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen
steroid
2.7 Komplikasi
2.7.1 Infeksi13
Infeksi merupakan perhatian utama pada sindrom nefrotik, bila terdapat infeksi
perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Baik bakteri gram positif maupun
gram negatif menginfeksi. Infeksi varisela juga sering terjadi. Komplikasi infeksi yang
paling umum adalah sepsis bakterial, selulitis, pneumonia, dan peritonitis. Peningkatan
risiko infeksi disebabkan oleh hal dibawah ini, yaitu:
− Kehilangan imunoglobulin melalui urin
20

− Cairan edema bertindak sebagai media kultur


− Kekurangan protein
− Terapi imunosupresif
− Penurunan perfusi limpa akibat hipovolemia
2.7.2 Tromboemboli
Trombosis vena adalah salah satu komplikasi yang penting pada sindrom
nefrotik. Tempat paling umum dari trombosis vena pada orang dewasa berada di vena
dalam ekstremitas inferior, vena ginjal dan bisa menyebabkan emboli pulmonal.
Trombosis arteri jarang terjadi pada pasien sindrom nefrotik. Dalam serangkaian kasus
historis pasien dengan sindrom nefrotik, trombosis vena ekstremitas inferior terjadi
pada 8% pasien, dan trombosis vena ginjal terjadi hingga 25% pasien.14
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskular. Kadar berbagai protein yang terlibat dalam kaskade koagulasi
terganggu pada SN, serta agregasi platelet turut meningkat. Selain itu juga terjadi
peningkatan fibrinogen dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi
disebabkan oleh peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui
urin. Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan adanya
imobilisasi, koinsidensi infeksi, dan hemokonsentrasi.5

Gambar 6. Gangguan Koagulasi pada Sindrom Nefrotik


21

2.7.3 Gangguan Ginjal5


Gangguan Ginjal Akut
Pasien SN berpotensi untuk mengalami gangguan ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
gangguan ginjal akut prerenal atau nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gangguan ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
Penyakit Ginjal Kronik
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA) dengan perkecualian pada GN lesi minimal. Proteinuria merupakan
faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus,
perkembangan glomerulosklerosis dan kerusakan tubulointerstitium dikaitkan dengan
proteinuria. Perkembangan progresivitas penyakit jarang ditemukan pada proteinuria
yang persisten kurang dari 2 g/hari. Risiko akan meningkat sesuai dengan derajat
proteinuria dengan peningkatan risiko yang bermakna pada proteinuria lebih dari 5
g/hari.
2.8 Prognosis22
Sejak pengenalan kortikosteroid, kematian keseluruhan SN telah menurun secara
dramatis dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-5%. Terlepas dari peningkatan
kelangsungan hidup, SN biasanya merupakan penyakit kronis yang kambuh dan sebagian
besar pasien mengalami efek samping dari obat yang signifikan, tingkat kekambuhan yang
tinggi (kambuh pada >60% pasien) dan berpotensi untuk berkembang menjadi gagal ginjal
kronis dan gagal ginjal stadium akhir. Selain itu, SN dikaitkan dengan peningkatan risiko
beberapa komplikasi, termasuk edema, infeksi, trombosis, hiperlipidemia dan gagal ginjal
akut. Prognosis SN bervariasi, tergantung pada apakah sindrom nefrotik responsif steroid
atau resisten steroid.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria
massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg
atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema dan dapat disertai
hiperkolesterolemia.1 Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Pengobatan yang cepat dan tepat akan sangat mempengaruhi
prognosis pasien SN. Umumnya kematian keseluruhan SN telah menurun secara dramatis
dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-5%. Terlepas dari peningkatan kelangsungan hidup,
SN biasanya merupakan penyakit kronis yang kambuh dan sebagian besar pasien
mengalami efek samping dari obat yang signifikan, tingkat kekambuhan yang tinggi
(kambuh pada >60% pasien) dan berpotensi untuk berkembang menjadi gagal ginjal kronis
dan gagal ginjal stadium akhir. Prognosis SN bervariasi, tergantung pada apakah sindrom
nefrotik responsif steroid atau resisten steroid serta komplikasi yang dialami pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono, P. P., Alatas, H., Tambunan, T. & Pardede, S. O. Tata Laksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia Konsensus vol. 20 (IDAI, 2016).

2. Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P. P. & Pardede, S. O. Konsensus Tata Laksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. (IDAI, 2012).

3. Pudjiaji, A. H. et al. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Ikatan Dokter Anak Indonesia
vol. 25 (IDAI, 2009).

4. Manalu, E. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. J. Ilm. Widya 5, (2019).

5. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. & Syam, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam VI. (Interna
Publishing, 2014).

6. Vivarelli, M. Minimal Change Disease. Clin J Am Soc Nephrol 12 Am. Soc. Nephrol.
12, (2017).

7. Fogo, A. AJKD Atlas of Renal Pathology: Focal Segmental Glomerulosclerosis. Atlas


Ren. Pathol. II Natl. Kidney Found. 2, (2015).

8. Rosenberg, A. & Jeffrey, B. K. Focal Segmental Glomerulosclerosis. Clin. J. Am. Soc.


Nephrol. 12, (2017).

9. Cattran, Daniel, C. & Brencley, P. Membranous Nephropathy: Integrating Basic Science


Into Improved Clinical Management. Kidney Int. 91, (2017).

10. Couser & Wiliam, G. Primary Membranous Nephropathy. Clin. J. Am. Soc. Nephrol.
12, (2017).

11. Masani, N. Membranoproliferative GN. Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 9, (2015).

12. Fogo & Agnes, B. Membranoproliferative Glomerulonephritis. Atlas Ren. Pathol. II


Natl. Kidney Found. 3, (2015).

13. Katsuno, T. et al. Therapeutic efficacy of rituximab for the management of adult-onset
steroid-dependent nephrotic syndrome: a retrospective study. Clin Exp Nephrol 2,
(2019).

23
24

14. Kodner, C. Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in Adults. Am. Acad.
Fam. Physicians 6, (2016).

15. Alalwan, Yusuf, Alawainati & Mahmood. Nephrotic Syndrome in an Adult Patient With
Minimal Change Disease. Edorium Journals 3, (2017).

16. Outcomes Kidney Disease Improving Global. KDIGO Clinical Practice Guideline for
Glomerulonephritis. Kidney Int. (2012).

17. Murtas, C. & Ghiggeri, G. Membranous glomerulonephritis: histological and serological


features to differentiate cancer-related and non-related forms. J Nephrol 29, 469–478
(2016).

18. Goljan, E. Rapid Review Pathology ed.4th. Elsevier (Elsevier, 2015).

19. Tumlina, James, A., Campbell & Kirk, N. Proteinuria in Nephrotic Syndrome:
Mechanistic and Clinical Considerations in Optimizing Management. Am. J. Nephrol.
47, (2018).

20. Tapia, Carolina, Bashir & Khalid. Nephrotic Syndrome. NCBI (2020).

21. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines for Nephrotic Syndrome. (2015).

22. Lane, J. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape. (2020).

Anda mungkin juga menyukai