Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

SINDROM NEFROTIK

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Anak”

Dosen pembimbing :

Tri Peni, S.Kep.Ns.,M.Kes

Disusun oleh :
1. Alimatul Misbah Almuniroh (201701162)
2. Riska Ramadhani (201701164)
3. Khuzaimatul Abidah (201701147)
4. Irerika Nur Fiana (201701137)
5. Ahmad Aris Abdillah (201701152)

S1 KEPERAWATAN
STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO
TAHUN PELAJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah tentang SINDROM NEFROTIK. Shalawat serta salam

senantiasa kami curahkan kepada panutan kita Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu

kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan, kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca

agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang SINDROM NEFROTIK ini

dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Mojokerto, 31 Agustus 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan dan Manfaat 3

BAB II PEMBAHASAN 5

2.1 Laporan Pendahuluan 5

2.1.1 Pengertian 5

2.1.2 Etiologi 6

2.1.3 Patofisiologi 8

2.1.4 Manifestasi klinis 11

2.1.5 Klasifikasi 12

2.1.6 Komplikasi 13

2.1.7 Pemeriksaan penunjang 13

2.1.8 Penatalaksanaan 14

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan 17

2.2.1 Pengkajian 17

2.2.2 Pemeriksaan fisik 18

iii
2.2.3 Diagnosa keperawatan 19

2.2.4 Intervensi 19

2.2.5 Evaluasi 26

DAFTAR PUSTAKA 27

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

. Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria

masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka

kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di

bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per

tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu

Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab

kunjungan sebagian besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan

penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.

Menurut Behrman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kesehatan Anak (2001)

bahwa “pada anak karena mempunyai kelainan pembentukan glomerulus”. Menurut

tinjauan dari Robson, dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis merupakan

penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak

(Price, 1995).

Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih

tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%. Menurut Raja

Sheh angka kejadian kasus sindrom nefrotik di asia tercatat sebanyak 2 kasus tiap

10.000 penduduk (Republika, 2005). Sedangkan angka kejadian di Indonesia pada

1
sindrom nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14

tahun (Alatas, 2002).

Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan

kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan

terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,

glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada

purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada

tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan

kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.

Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik

sebagai lesi minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid

(sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan

respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of

Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan

laboratorium untuk memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran

klinis dan laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis kelamin,

hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum.

Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran terhadap respons

pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP)

sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat data gambaran

histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

2
dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin

diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai gambaran klinis dan

laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid (SNRS

dan SNSS). (Behrman, 2000)

Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma nefrotik bervariasi berdasarkan

etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya

terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini ingin menyampaikan beberapa permasalah yang menjadi

dasar penulisan makalah ini

1. Apa yang dimaksud dengan sindrom nefrotik?

2. Apa penyebab dari sindrom nefrotik?

3. Bagaimana proses keperawatan dari sindrom nefrotik?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan uraian latar belakang diatas kami dapat menarik kesimpulan tujuan

dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa itu sindrom nefrotik.

3
2. Untuk mengetahui tentang penyebab sindrom nefrotik.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses keperawatan sindrom nefrotik.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Laporan Pendahuluan

2.1.1 Pengertian

Nefrotik sindrom adalah gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan

protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah

(hipoalbuminemia), dan kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini

diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler glomelurus. (DR. Nursalam, 2006)

Sindrom Nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis meliputi hal

hal sebagai berikut.

1. Proteinuria massif >3,5gr/hr.

2. Hipoalbuminemia .

3. Edema.

4. Hiperlipidemia. (Arif Muttaqin, 2011)

5
2.1.2 Etiologi

Penyebab umum sindrom nefrotik tidak diketahui akhir-akhir ini sering

dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-

antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :

1) Sindroma nefrotik bawaan

Adanya reaksi fetomaternal terhadap janin ataupun karena gen resesif autosom

menyebabkan sindrom nefrotik.

2) Sindroma nefrotik sekunder

Sindroma nefrotik disebabkan oleh adanya penyakit lain seperti parasit malaria,

penyakit kolagen, trombosis vena renalis, pemajanan bahan kimia (trimetadion,

paradion, penisilamin, garam emas, raksa, amiloidosis dan lain-lain.

3) Sindroma nefrotik idiopati

Berdasarkan histopatologis Sindrom nefrotik idiopati dibagi dalam

beberapa golongan:

a. Kelainan minimal

Dengan mikroskop elektron glomerulus tampak foot prosessus sel epitel

berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau

imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini

lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.

6
b. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang

terbesar tanpa poliferasi sel.

c. Glomerulonefritis poliferatif

 Terdapat poliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel

polimorfonukleus. Perkembangan sitoplasma endotel yang

menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan

pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus

yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.

 Dengan penebalan batang lobular. Terdapat poliferasi sel

mesangial yang terbesar dan penebalan batang lobular.

 Didapatkan poliferasi sel mesangial dan poliferasi sel epitel

sampai kapsular dan viseral.

 Glomerulusnefritis membranoproliferatif. Poliderasi sel

mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai mmembran

basalis di mesangium.

4) Glumerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sclerosis glomerulus. Sering di sertai atrofi

trubulus dan prognosis yang buruk.

7
2.1.3 Patofisiologi

Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein, terutama

albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin,

namun organ ini tidak mampu untuk terus menerus hilang melalui ginjal sehingga

terjadi hipoalbuminemia.

Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat

cairan yang berpindah dari system vascular ke dalam ruang cairan ekstraseluler.

Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-

angiotensinmenyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.

Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis

lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam darah

(hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsic atau

sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini

dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang

dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik mencakup glomerulonephritis

kronis, diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, amyloidosis ginjal,

penyakit lupus erythematosus sistemik, dan thrombosis vena renal.

8
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan

memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus

progresif cepat.

Glomerulonefritis kronis, diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler,

amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan thrombosis vena renal

Gangguan Penurunan tekanan Hilangnya

permeabilitas Produksi albumin onkotik protein dalam

selektif kapiler dalam darah tidak serum


Aktivasi SRAA
glomerulus dan seimbang dengan
Sintesis
filtrasi glomerulus kehilangan Perpindahan cairan
lipoprotein di
meningkat albumin yang dari sitem vascular
hati
keluar dari ke ruangan cairan
Protein dan Peningkatan
glomerulus ekstraseluler
albumin bocor konsentrasi

melalui lemak dalam

glomerulus darah

Proteinuria hipoalbuminemia Edema Hiperlipidemia

9
Sindrom Nefrotik

Respon edema Respons Sistemik

-Edema (Pitting Edema) disekitar - Mual , muntah, anoreksia

mata (periorbital)pada area - Malaise


ekstremitas (sacrum, tumit, dan
- Sakit kepala
tangan )dan pada abdomen (asites)
- Keletihan umum

Kelebihan volume Gangguan Ketidakseimbangan Kecemasan

cairan ADL nutrisi kurang dari

kebutuhan

10
2.1.4 Manifestasi klinis

1. Edema adalah masalah utama klien, walaupun onsetnya mungkin

tersembunyi, ia menjadi masif.

2. Kulit klien biasanya mengasumsikan karakteristik pucat seperti lilin

yang lebih disebabkan oleh edema daripada anemia.

3. Anoreksia

4. Iritabilitas

5. Kelainan atau tidak adanya menstruasi

6. Proteinuria

Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik

adalah:

a. Oedem umum, terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.

b. Proteinuria dan albuminemia.

c. Hipoproteinemi dan albuminemia.

d. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.

e. Lipid uria.

f. Mual, anoreksia, diare.

g. Anemia, pasien mengalami edema paru.

11
2.1.5 Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic

syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia

sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat

hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

b. Sindrom Nefrotik Sekunder.

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus

sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system

endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif

c. Sindrom Nefrotik Kongenital.

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.

Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala

awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap

semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama

kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

12
2.1.6 Komplikasi

Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat defisiensi respon imun,

tromboembolisme (terutama vena renal), embnoli pulmoner, dan peningkatan

terjadinya aterosklerosis.(Smeltzer, SC, Bare BG, 2002: 1442). Adapun komplikasi

secara umum dari sindrom nefrotik adalah:

A. Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)

B. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosit vena)

C. Perburukan nafas (berhubungan dengan retensi cairan)

D. Kerusakan kulit

E. Infeksi sekunder karena imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia

F. Peritonitis.

2.1.7 Pemeriksaan penunjang

a) Laboratorium

1) Urine

Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna

urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah,

hemoglobin, mioglobin, porfirin.

2) Darah

Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun.

Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat

sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler

13
(asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).

Klorida, fosfat dan magnesium meningkat albumin

b) Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia> 8

tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat

manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui

asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis

patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki

pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan

minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,

karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap

steroid.

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan

keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan

untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat

kehilangan berat badan yang cepat.

b. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai

1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah

terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan.

Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil

14
keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang

timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram

protein/kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan

memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.

c. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit.

Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester

atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester

harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan

cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan

scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi,

hindarkan menggosok kulit.

d. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak

mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab

dengan air hangat.

e. Kemoterapi:

1) Prednisolon digunakan secara luas. Merupakan kortokisteroid yang

mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari

hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari.

Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan

setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek

samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis,

ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.

15
2) Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk

mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan

sitotoksik (imunosupresif). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada

dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan

seperti 6-merk aptopurin dan siklofosfamid.

3) Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri

abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan

memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.

4) Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung

mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga

merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan

siklofosfamid.

5) Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,

penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan

dekubitus.

6) Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali

tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini

merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang

berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah

sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua

sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini.

16
Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena

mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumah sakit.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki. Pada pengkajian

riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal tersebut:

1. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.

2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan

adanya keluhan pusing dan cepat lelah.

3. Kaji adanya anoreksia pada klien.

4. Kaji adanya keluhan sakit kepala.

Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien

pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit

diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang

riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat

dan dokumentasikan.

Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik , wajah, dan kaki,

yang bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptive

pada klien.

17
2.2.2 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran

biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak dapatkan adanya perubahan.

 B1 (breathing). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas walau

secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase

lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan napas yang

merupakan respon terdapat edema pulmoner dan efusi pleura.

 B2 (blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung sekunder dari

peningkatan beban volume.

 B3(brain). Di dapatkan edema wajah terutama periorbital ,sclera tidak ikterik.

Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya

azotemia pada system saraf pusat.

 B4(bladder). Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola.

 B5 (bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah,anoreksia sehingga sering

didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada

abdomen.

 B6 (bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder

dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.

18
2.2.3 Diagnosa keperawatan

1. Aktual/risiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine ,retensi

cairan dan natrium.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi

yang tidak adekuat efek sekunder dari anoreksia ,mual, muntah.

3. Gangguan Activity Daily Living(ADL) b.d edema ekstremitas ,kelemahan

fisik secara umum.

4. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit,dan perubhan

kesehatan.

2.2.4 Intervensi

Intervensi yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien,menghindari

penuruna dari fungsi ginjal,serta menurunkan risiko komplikasi.

 Diagnosa: Aktual/risiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan b.d

penurunan volume urine,retensi cairan dan natrium.

Tujuan: Dalam waktu 1x 24jam tidak terjadi kelebihan volume cairan

sistemik.

Kriteria evluasi:

- Penurunan keluhan sesak napas,edema ekstremitas berkurang.

- Produksi urine >600 ml/hr.

19
Intervensi Rasional

Observasi adanya edema ekstremitas Kecurigaan gagal kongestif/kelebihan volume

cairan

Istirahatkan/tirah baring klien pada saat edema Menjaga klien dalam keadaan tirah baring

masih terjadi selama beberapa hari mungkin diperlukan

untuk meningkatkan diuresis guna

mengurangi edema

Observasi tekanan darah Segala salah satu cara untuk mengetahui

peningkatkan jumlah cairan yang dapat

diketahui dengan meningkatkan beban kerja

jantung yang dapat diketahui dari

meningkatnya tekanan darah.

Ukur intake dan output Penurunan curah jantung,mengakibatkan

gangguan perfusi ginjal,retensi

natrium/air,dan penurunan urine output

Timbang berat badan Perubahan tiba-tiba dari berat badan

menunjukkan gangguan keseimbangan cairan

Berikan oksigen tambahan dengan kanula Meningkatkan sediaan oksigen untuk

nasal/masker sesuai dengan indikasi kebutuhan miokard untuk melawan efek

hipoksia/iskemia.

20
Kolaborasi:

 Berikan diet tanpa garam  Natrium meningkatkan retensi cairan

dan meningkatkan volume plasma.

 Berikan diet tinggi protein  Diet rendah protein untuk menurunkan

tinggi kalori insufisiensi renal dan retensi nitrogen

yang akan meningkatkan BUN. Diet

tinggi kalori untuk cadangan energi

dan mengurangi katabolisme protein.

 Berikan diuretic,contoh:  Diuretic bertujuan untuk menurunkan

furosemide,sprinolakton,Hidron volume plasma dan menurunkan

olakton retensi cairan di jaringan sehingga

menurunkan risiko terjadinya edema

paru.

 Adenokortikortikosteroid  Adenokortikosteroid, golongan

,golongan prednisone prednison digunakan untuk

 Pantau data laboratorium menurunkan proteinuria.

elektrolit kalium  Pasien yang mendapat terapi diuretic

mempunyai risiko terjadi hipokalemia

sehingga perlu dipantau.

21
 Diagnosa: Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidak

adekuatan intake nutrisi sekunder dari nyeri, ketidaknyamanan lambung dan

intestinal.

Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan

nutrisi yang adekuat.

Kriteria evaluasi:

- Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi

individu, menunjukkan peningkatan berat badan

Intervensi Rasional

Observasi pengetahuan pasien tentang Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh

asupan nutrisi. kondisi sosial ekonomi pasien.

Mulai dengan makanan kecil dan Kandungan makanan dapat

tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat mengakibatkan ketidaktoleransian GI,

tanda kepenuhan gaster, regurgitasi, dan memerlukan perubahan pada kecepatan

diare. atau tipe formula.

Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai

indikasi dan anjurkan menghindari

asupan dari agen iritan.

22
Beri makanan dalam keadaan hangat dan Untuk meningkatkan selera dan

porsi kecil serta diet TKTPRG (Tinggi mencegah mual, mempercepat perbaikan

Kalori Tinggi Protein Rendah Gula). kondisi, serta mengurangi beban kerja

jantung.

Berikan nutrisi secara parenteral. Nutrisi secara intravena dapat membantu

memenuhi kebutuhan nutrisi yang

diperlukan oleh pasien untuk

mempertahankan kebutuhan nutrisi

harian.

 Diagnosa: Gangguan ADL (Activity Daily living) b.d edema ekstremitas,

kelemahan fisik secara umum.

Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan

meningkatnya kemampuan beraktivitas.

Kriteria evaluasi:

- Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala-gejala yang berat,

terutama mobilisasi di tempat tidur

Intervensi Rasional

Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan Dengan mengurangi aktivitas, maka

berikan aktivitas senggang yang tidak akan menurunkan konsumsi jaringan

berat oksigen jaringan dan memberikan

23
kesempatan jaringan yang mengalami

gangguan dapat memperbaiki kondisi

yang lebih optimal.

Anjurkan menghindari peningkatan Rasional : Dengan mengejan dapat

tekanan abdomen misalnya mengejan mengakibatkan bradikardi, menurunkan

saat defekasi. curah jantung, dan takikardia serta

peningkatan tekanan darah.

Jelaskan pola peningkatan bertahap dari Aktivitas yang maju memberikan kontrol

tingkat aktivitas, contoh bangun dari jantung, meningkatkan regangan dan

kursi, bila tak ada nyeri, ambulasi, dan mencegah aktivitas berlebihan.

istirahat selama 1 jam setelah makan.

Pertahankan rentang gerak pasif selama Meningkatkan kontraksi otot sehingga

sakit kritis. membantu venous returm.

Evaluasi tanda vital saat kemajuan Untuk mengetahui fungsi jantung, bila

aktivitas terjadi. dikaitkan dengan aktivitas.

Berikan waktu istirahat di antara waktu Untuk mendapatkan cukup waktu

aktivitas. resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu

memaksa kerja jantung.

Pertahankan penambahan O2 sesuai Untuk meningkatkan oksigenasi

pesanan. jaringan.

24
Monitor adanya dispnea, sianosis, Melihat dampak dari aktivitas terhadap

peningkatan frekuensi nafas, serta fungsi jantung.

keluhan subjektif pada saat melakukan

aktivitas.

Berikan diet seuai pesanan (pembatasan Untuk mencegah retensi cairan dan

air dan natrium). edema pada ekstravaskuler.

 Diagnosa: Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit dan

perubahan kesehatan.

Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam kecemasan pasien berkurang.

Kriteria evaluasi:

- Pasien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat

mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, kooperatif

terhadap tindakan, wajah rileks.

Intervensi Rasional

Observasi tanda verbal dan nonverbal Rasional : Reaksi verbal/nonverbal dapat

kecemasan, dampingi pasien dan menunjukkan rasa agitasi, marah dan

lakukan tindakan bila menunjukkan gelisah.

perilaku merusak.

25
Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkatkan rasa

marah, menurunkan kerjasama dan

mungkin memperlambat penyembuhan.

Mulai melakukan tindakan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang

mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu.

yang tenang dan suasana penuh istirahat.

Orientasikan pasien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan.

prosedur rutin dan aktivitas yang

diharapkan.

Beri kesempatan kepada pasien untuk Dapat menghilangkan ketegangan

mengungkapkan ansietasnya. terhadap kekhawatiran yang tidak

diekspresikan.

2.2.5 Evaluasi

Setelah mendapat intervensi keperawatan,maka pasien dengan sindrom nefrotik

diharapkan sebagai berikut.

1. kelebihan volume cairan dapat teratasi

2. meningkatnya asupan nutrisi

3. peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari

4. Penurunan kecemasan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, K. S. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.

Jakarta: Salemba Medika.

DR. Nursalam, M. (2006). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN. Jakarta: Salemba Medika.

Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: ECG.

Black, J. M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi Bahasa Indonesia. ELSEVIER.

Anda mungkin juga menyukai