NEPROTIK SYNDROME
Kelompok 3
Disusun Oleh:
2. Fara Siskandari(2027020)
4. Melinda (2027046)
7. Yunita (2027092)
TAHUN 2021
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa,kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah keperawatan medical bedah I tentang “neprotik
syndrome”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah keperawatan medical bedah I tentang “neprotik
syndrome”ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak. Sindrom
nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif
(>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai
hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glemerulus akibat penyakit tertentu atau tidak
diketahui (Trihono et al., 2008).
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus
per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun, dengan perbandingan anak
laki-laki dan perempuan 2:1 (Trihono et al., 2008).
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi primer/idiopatik termasuk di
dalam nya kongenital dan sekunder akibat penyakit sistemik (Kliegman et al., 2007). Pasien
sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan
disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria, gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, diare, nyeri perut akibat terjadinya peritonitis, dan
hipovolemia. Prognosis sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal berkisar antara 4-25% dalam
waktu 5-20 tahun. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh diagnosis dini dan penatalaksanaan
awal yang tepat (Atalas et al., 2002).
Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat kemampuan dua yang
artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk pasien secepatnya kepada spesialis
yang relevan dan mampu menindak lanjuti sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman mengenai sindrom nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini sindrom
nefrotik dengan harapan dapat mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan. Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindrom nefrotik,
yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak. Sindrom
nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yangterdiri dari proteinuria masif
(>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai
hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak
diketahui (Trihono et al., 2008).
2.2 Epidemiologi
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus
per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et al., 2008). Sindrom
nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (2:1) dan kebanyakan
terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6
bulan dan paling tua pada masa dewasa. Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
Jakarta melaporkan bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di Poliklinik Nefrologi,dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang
dirawat antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002).
Etiologi pasti dari sindrom nefrotik belum diketahui. Akhir-akhir ini sindrom nefrotik
dianggap sebagai suatu penyakit auto imunyang merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.Sekitar 90% anak dengan
sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara
3
resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan.
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah
dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007). Kelainan histopatologik glomerulus pada
sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International
Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan
melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan, 2005).
2.4 Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier yang selektif,
yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus yang terdiri atas jaringan
matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang terhubung satu sama lain melalui
jaringan interdigitating pada celah diafragma. Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan
morfologi podosit, dimana kakikaki podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih
sehingga fungsi filtrasi glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk
penting untuk patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom nefrotik
yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003).
Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada pasien dengan
sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003).
1. Proteinuria
Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,
namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
4
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan
filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa faktor yang turut
menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu :
2. Hipoalbuminemia
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing
enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-
mual
3. Sembab
5
hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya
terjadi sembab.
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan
ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume
darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal
untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan
mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion
natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau
resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat
diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.
4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal
atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada
sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga
keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat
intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan
yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka) (Hammersmith et al., 2006).
6
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi
hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang
harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau
GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM (Atalas et al., 2002).Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan
penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan
sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema
atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi
pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan
hati. Nafsu makanmenurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan
malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al., 2010).
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan
sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan diuretik.Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti
halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu (Atalas et al., 2010).
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of
Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan
sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur (Darnindro dan Muthalib, 2008).
2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang khas, yaitu : (Trihono
et al., 2008)
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
3. Edema
7
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain : (Trihono et al., 2008)
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED)
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau denganrumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, Pemeriksaan ditambah
dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik. Lebih dari
80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik kelainan minimal dengan cirri
khasnya berupa histology ginjal yang normal pada pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya
berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%. Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan
gambaran klinis dan laboratorium yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal,
sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak
dilakukan pada sindrom nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih
sensitif steroid (Noer, 2002).
2.7 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan
tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupuseritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
8
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT)
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang
berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat, anak boleh sekolah (Trihono et al., 2008).
DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi
energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan
diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita
edema(Trihono et al., 2008).
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti
furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤
1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-
2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat
sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al.,
2008).
IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20
mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam
9
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati, seperti IPV (Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela (Trihono et al., 2008).
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai
dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari
(maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis
penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema,
maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
2. Pemberian levamisol
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah,
atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset penyakit pada umur kurang dari 13 tahun,
relaps terjadi pada 6 bulan pertama, dan remisi lambat pada episode awal (Noer, 2002).
10
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan
prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis
ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis
tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5
mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara
alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps
tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb
diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu
tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb
alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol
selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan dengan dosis
2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid
(CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500
– 750 mg/m2 LPB,yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang,
alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8
g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan
terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3
bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
11
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil
pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan
untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada
SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan
MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan
dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia.
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan
darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan
sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapatdiberikan per oral dengan dosis 2-3
mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama
8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam
250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (Trihono et al.,
2008)
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien
SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN
resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat
dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten
steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
12
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada
60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3. Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak
dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82
minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan
tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB)
telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam
menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan
sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1,
keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak
dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi
glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa
pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk
diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
13
- Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari
dibagi2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2.8 Komplikasi
Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius. Komplikasi ini dapat dibagi
menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut yang berkaitan dengan keadaan nefrotik,
terutama infeksi dan penyakit tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik
dan pengobatan, terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah
aspek penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada anak yang
mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka .
a. Komplikasi Infeksi
Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat menjadi komplikasi
sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri bergantung pada berbagai faktor
predisposisi. Kerusakan pada proses opsonisasi bergantung pada komplemen dapat
memperlambat proses klirens mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus
pneumonia. Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik.
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang virus varicella non-
immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar terhindar dari paparan virus
varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin varicella zoster disarankan untuk pasien non-
imun yang mendapatkan perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi
dengan vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis tambahan
diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir oral dapat mencegah infeksi
varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi obat kortikosteroid.
b. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.Meskipun angka resiko
lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis dapat menjadi komplikasi yang
hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom
nefrotik, antara lain peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX,
X, XII), antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet
( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia. Meskipun
demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang dapat memprediksi resiko pasti trombosis.
Faktor yang dapat meningkatkan resiko thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi
kortikosteroid, imobilisasi, dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot
pada anak dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki resiko yang tinggi.
Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah mendapatkan terapi, penggunaan
14
warfarin profilaksis disarankan selama 6 bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter
intravena harus dihindari, namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis
dapat dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun membutuhkan antithrombin
III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna sebagai antikoagulan, khususnya pada
trombositosis berat.
c. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular pada anak dengan
nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara lain paparan terhadap kortikosteroid,
hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi, hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko
kardiovaskular pada anak dengan sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom
nefrotik pada dewasa. Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko terserang
penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya penyakit jantung yang
disebabkan oleh sindrom nefrotik masih terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit
ginjal pada sebagian besar
2.9 Prognosi
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak, prognosis adalah sangat
baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang sangat baik pada terapi
steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk
penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan terjadi
end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat lagi sindroma nefrotik
adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi ginjal.
- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun
15
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria
- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik
terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse
berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli nefrologi anak:
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di
dalam keluarga
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia.
Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat proteinuria dan
hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti asites, efusi pleura, edema
anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
1. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
3. Edema
17
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Bagga, A. dan Mantan, M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian Journal of Medical
Research, vol. 122, hal. 13-28.
Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran, no. 150, hal. 50-54.
Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom
Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61
Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE LANCET , vol 362,
hal. 629-639.
Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic Syndrome.
Continuing Education Topics & Issues
Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24, hal. 2121–
2128
Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt Indon, vol. 60, no. 12.
Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal.
73-87
Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi
Kedua Cetakan Kedua 2012. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 1-
20.
Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 381-426
18