Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah keperawatan anak untuk membuat
makalah yang berjudul “Makalah Sindrom Nefrotik Pada Anak”. Kami menyadari
bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun sabagai bahan untuk
perbaikan dalam menyusun makalah lainnya yang akan datang.
Maret, 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………........ 2
1.3 Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Definisi..................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi............................................................................................ 4
2.3 Etiologi dan Komplikasi........................................................................... 5
2.4 Patogenesis............................................................................................... 7
2.5 Manifetasi Klinis...................................................................................... 9
2.6 Diagnosis.................................................................................................. 10
2.7 Penatalaksanaan ....................................................................................... 11
2.8 Komplikasi............................................................................................... 19
2.9 Prognosis..................................................................................................
2.10 Alur rujukan ..........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 20
3.1 Pengkajian................................................................................................ 20
3.2 Diagnosa Keperawatan............................................................................. 25
3.3 Intervensi Keperawaan............................................................................. 25
BAB IV PENUTUP...................................................................................... 30
4.1 Kesimpulan............................................................................................... 30
4.2 Saran......................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
iv
sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom
nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan
dapat mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan. Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
sindrom nefrotik, yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan Sindrom
Nefrotik.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mendeskripsikan hasil pengkajian pada anak dengan
Sindrom Nefrotik.
b. Mampu meneskripikan rumusan diagnosa keperawatan anak dengan
Sindrom Nefrotik.
c. Mampu mendeskripsikan rencana keperawatan pada anak dengan
kasus Sindrom Nefrotik.
d. Mampu mendeskripsikan tindakan keperawatan pada anak ddengan
kasus sindrom Nefrotik.
v
e. Mampu mendeskripsikan evaluasi pada anak dengan Sindrom
Nefrotik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Nefrotik ditandai dengan proteinuria masif ( ≥ 40 mg/m2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2mg/mg),
hipoproteinemia, hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan hiperlipidemia
(Behrman, 2001). Sindroma Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang
mengakibatkan kehilangan urinarius yang massif (Whaley & Wong, 2003).
Sindroma nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus (Luckman, 1996).
Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa
menunjukkan penyakit yang mendasari, dimana menunjukkan kelainan
inflamasi glomerulus. Secara fungsional sindrom nefrotik diakibatkan oleh
keabnormalan pada proses filtrasi dalam glomerulus yang biasanya
menimbulkan berbagai macam masalah yang membutuhkan perawatan yang
tepat, cepat, dan akurat. (Alatas, 2002).
Whaley and Wong (1998) membagi tipe-tipe Sindrom Nefrotik :
1. Sindroma Nefrotik lesi minimal (MCNS : Minimal Change Nefrotik
Sindroma). Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan
sindroma nefrotik pada anak usia sekolah.
2. Sindroma Nefrotik Sekunder. Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler
kolagen, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura anafilaktoid,
glomerulonefritis, infeksi sistem endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
3. Sindroma Nefirotik Kongenital. Faktor herediter sindroma nefrotik
disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindroma
nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian
vi
dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialisis.
2.2 Epidemiologi
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et al., 2008). Sindrom nefrotik
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling
muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta
melaporkan bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian
besar pasien di Poliklinik Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal
ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002).
vii
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007).
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan,
2005). Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom
nefrotik pada anak.
viii
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai
antara lain : (Eddy dan Symons, 2003).
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
2.4 Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan
barier yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar
glomerulus yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel
khusus podosit yang terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating
pada celah diafragma. Berikut ini gambar skematis dinding kapiler
glomerulus :
ix
Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)
Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang
lebih besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah
diafragma (Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses
filtrasi glomerulus :
x
Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus
normal dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit (Eddy dan
Symons, 2003).
xi
massif. Hipotesis lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau
menyebabkan down regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada
kondisi normal berfungsi mencegah proteinuria (Eddy dan Symons, 2003).
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar
menempati ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin
yang berat molekul 69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis
protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non
renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis
albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam
ruangan ekstra vaskular dan intra vaskular.
xii
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia
ini mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
a. Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria)
dan usus (protein losing enteropathy)
b. Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu
makan menurun dan mual-mual
c. Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan
interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin
disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia
menyebabkan retensi Na dan air.
xiii
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi
sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk. Penurunan tekanan onkotik dari kapiler
glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam
jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein
lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.
xiv
2.5 Manifestasi Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah
periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka) (Hammersmith et al., 2006).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak
lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP.
Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM (Atalas et al., 2002).
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al., 2010).
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak
sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
xv
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu (Atalas et al.,
2010).
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur (Darnindro dan Muthalib, 2008).
2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang khas,
yaitu : (Trihono et al., 2008).
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
xvi
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP,
7%. Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan
laboratorium yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak
dilakukan pada sindrom nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid
selama masih sensitif steroid (Noer, 2002).
2.7 Penatalaksanaan
xvii
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah (Trihono et al., 2008).
DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (Trihono et al., 2008).
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
xviii
Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :
IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (Inactivated
xix
Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008).
TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut:
Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak dengan
Sindrom Nefrotik (Noer, 2002)
Istilah Keterangan
Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut
Relaps Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah
mengalami remisi
Relaps tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali
dalam periode 12 bulan
Relaps sering Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau ≥ 4 kali kambuh pada setiap periode 12
bulan
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa
tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah
terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya
responsif-steroid
Terapi Inisial
xx
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
xxi
Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008)
Keterangan : Pengobatan SN relaps prednison dosis penuh (FD) setiap hari
sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset penyakit
pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama, dan remisi
lambat pada episode awal (Noer, 2002).
xxii
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan
xxiii
diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
xxiv
Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral
(Trihono et al., 2008)
Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu
Keterangan :
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari
xxv
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau dependen
steroid :
Keterangan :
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
xxvi
dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun
secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7
dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan)
(Trihono et al., 2008).
1. Siklofosfamid (CPA)
2. Siklosporin (CyA)
xxvii
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.
3. Metilprednisolon puls
xxviii
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
Atau
xxix
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
a. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
b. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
2.8 Komplikasi
1. Komplikasi Infeksi
xxx
oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi
obat kortikosteroid.
2. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.
Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis
dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu
disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain
peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X,
XII), antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas
platelet ( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan
hiperlipemia. Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang
dapat memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan
resiko thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid,
imobilisasi, dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot
pada anak dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat
dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki
resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah
mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6
bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus dihindari,
namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis dapat
dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun membutuhkan
antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna sebagai
antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.
3. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular pada
anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara lain
paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,
hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan
sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada dewasa.
xxxi
Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko terserang
penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya penyakit
jantung yang disebabkan oleh sindrom nefrotik masih terdapatkontroversi,
khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar anak dapat diatasi.
2.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,
prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD)
memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak
menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk
penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering
menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang
memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan
darah dan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-
keadaan teretnrtu sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Disertai oleh hipertensi
4. Disertai hematuria
5. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
xxxii
7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis
xxxiii
2.11 WOC
Virus, bakteri, protozoa-inflamasi
glomerulus DM-peningkatan viskositas
darah sistemik lupus eritematous-regulasi
kekebalan terganggu-proliferasi abnormal
leukosit
xxxiv
BAB 3
Perubahan
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
permeabilitas
membrane glomerulus
3.1. Pengkajian Keperawatan
a. Umur
Banyak pada anak-anak terutama
Ekstrakvaksi cairan
pada
Sindrom usia pra-sekolah (3-6 th). Ini
Nefrotik
dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan
Metabolisme
kelainan genetik sejak lahir. anaerob
Oedema
b. Jenis kelamin
Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan denganIntoleransi
anak
Paru-paru aktivitas
perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6
Asites
tahun terjadi perkembangan psikososial, dimana anak berada pada
Efusi Pleura
fase oedipal/falik dengan cirri meraba-raba dan merasakan
Ketidakseimbangan
kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dari
nutrisi dapat
Ketidakefektifan
mempengaruhi
bersihan jalan kebersihan
nafas diri terutama daerah kebutuhan
genital. Karena tubuh
anak-
anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan tangan kurang
terjaga. Hal ini nantinya akan memicu terjadinya infeksi.
Kelebihan volume
cairan
c. Agama
d. Suku/bangsa
e. Status
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
2. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan
hubungannya dengan klien.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar (adanya
asites)
xxxv
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat perlu
menanyakan hal berikut :
1) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
2) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah
3) Kaji adanya anoreksia pada klien
4) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
4. Riwayat kesehatan dahulu
Perawat perlu mengkaji :
a. Apakah klien pernah menderita edema?
b. Apakah ada riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi
sebelumnya?
c. Penting juga mengkaji riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya alergi terhadap jenis obat
5. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu
timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
6. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
a. Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksia, mual, muntah
b. Pola eliminasi : Diare, oliguria
c. Pola aktivitas dan latihan : Mudah lelah, malaise
d. Pola istirahat dan tidur : Susah tidur
e. Pola mekanisme koping : Cemas, maladaptif
f. Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
b. Keadaan umum : klien lemah dan terlihat sakit berat
c. Kesadaran : biasanya composmentis
d. TTV : sering tidak didapatkan adanya perubahan
e. Pemeriksaan sistem tubuh
1) B1 (Breathing)
xxxvi
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama
pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya
gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan repons
terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
2) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume
3) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat
parahnya azotemia pada sistem saraf pusat
4) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti urine tampak berbusa dan
gelap, urine berwarna cola
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan
asites pada abdomen
6) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum,efek sekunder
dari edema tungkai dan keletihan fisik secara umum
xxxvii
3. Ansietas (pada orang tua) b.d kurang terpapar informasi D.D orang tua
merasa bingung, merasa khawatir dan tampak gelisah
xxxviii
3.3 Intervensi Keperawatan
39
(5) diuretic
5. Mata TERAPEUTIK:
cekung
membaik 1. Timbang berat badan
(5) setiap hari dalam waktu
6. Turgor yang sama
kulit 2. batasi asupan cairan dan
membaik garam
(5).
EDUKASI
1. anjurkan melapor jika
urin < o,5 mL/kg/jam
dalam 6 jam
2. anjurkan melapor jika
berat badan bertambah >
1kg dalam sehari
3. ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
4. ajarkan cara membatasi
cairan
KOLABORASI:
1. kolaborasi pemberian
diuretik
2. kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik.
40
1. kerusakan D.0129 Gangguan integritas L.14125 Setelah dilakukan I.11353 TINDAKAN
jaringan dan kulit b.d kelebihan tindakan tindakan
atau lapisan volume cairan D.D keperawatan OBSERVASI:
kulit selama …x24 jam,
kerusakan jaringan
2. hematoma. diharapkan : 1. identifikasi penyebab
dan atau lapisan 1. kerusakan gangguan integritas kulit
kulit , hematoma jaringan
menurun (5)
2. Kerusakkan TERAPEUTIK:
lapisan kulit
menurun(5) 1. gunakan produk berbahan
3. hematoma petrolium atau minyak
menurun (5) pada kulit kering
EDUKASI:
1. anjurkan menggunakan
pelembap
2. anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
1. Orang tua D.0080 Ansietas (pada orang L.09093 Setelah dilakukan I.09314 TINDAKKAN
41
tampak tua) b.d kurang tindakan tindakan
bingung dan terpapar informasi keperawatan
gelisah D.D orang tua selama …x24 jam, OBSERVASI:
2. orang tua tampak bingung, diharapkan :
mengatakan merasa khawatiir 1. Verbalisai 1. Identifikasi saat
khawatir dan tampak gelisah kebingung tingkat ansietas
akan kondisi an berubah (missal,
yang menurun kondisi,waktu,
dihadapi (5) stressor)
anaknya 2. verbalisasi 2. Identifikasi
3. orang tua khawatir mengambil keputusan
tampak akibat 3. monitor tanda-tanda
tegang kondisi ansietas (verbal dan
anaknya non verbal)
menurun
(5) TERAPEUTIK:
3. perilaku 1. Ciptakan suasana
gelisah terapeutik untuk
menurun mennumbuhkan
(5) kepercayaan.
4. perilaku 2. pahami situasi yang
tegang membuat ansietas
menurun 3. dengarkan dengan penuh
(5) perhatian
4. motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan.
EDUKASI:
1. informasikan secara
faktual mengenai
42
diagnosis pengobatan dan
prognosis
2. anjurkan megungkapkan
perasaan dan persepsi
3. latih teknik relaksasi
KOLABORASI:
1. Kolaborasi pemberian
obat ansietas, jika perlu.
43
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia.
2. Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
3. Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat proteinuria dan
hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti asites, efusi pleura, edema
anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
4. Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
a. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
b. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
c. Edema
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
4.2 Saran
Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan untuk
membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan sindrom
nefrotik pada anak.
44
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran, no. 150, hal. 50-54.
Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom
Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61.
Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE LANCET , vol
362, hal. 629-639.
Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic Syndrome.
Continuing Education Topics & Issues.
Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24, hal.
2121–2128.
45
Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt Indon, vol. 60, no. 12.
Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, hal. 73-87.
Sophie de Seigneux dan Pierre-Yves Martin. 2009. Management of patients with nephritic
Syndrome. Swiss Med Weekly, vol.139 (29-30), hal. 416-422.
Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Edisi Kedua Cetakan Kedua 2012. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, hal. 1-20.
Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 381-
426.
46