Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

SINDROM NEFROTIK PADA ANAK

Disusun Oleh :

1. Feni Destia Ningsih 2026010052.P


2. Fhebry Angraini 2026010027.P
3. Gusti Handayani 2026010022.P
4. Mega Oksya Bella 2026010049.P

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


STIKES TRI MANDIRI SAKTI
PROVINSI BENGKULU
TAHUN 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena
kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah keperawatan anak untuk membuat
makalah yang berjudul “Makalah Sindrom Nefrotik Pada Anak”. Kami menyadari
bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun sabagai bahan untuk
perbaikan dalam menyusun makalah lainnya yang akan datang.

Maret, 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………........ 2
1.3 Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Definisi..................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi............................................................................................ 4
2.3 Etiologi dan Komplikasi........................................................................... 5
2.4 Patogenesis............................................................................................... 7
2.5 Manifetasi Klinis...................................................................................... 9
2.6 Diagnosis.................................................................................................. 10
2.7 Penatalaksanaan ....................................................................................... 11
2.8 Komplikasi............................................................................................... 19
2.9 Prognosis..................................................................................................
2.10 Alur rujukan ..........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 20
3.1 Pengkajian................................................................................................ 20
3.2 Diagnosa Keperawatan............................................................................. 25
3.3 Intervensi Keperawaan............................................................................. 25
BAB IV PENUTUP...................................................................................... 30
4.1 Kesimpulan............................................................................................... 30
4.2 Saran......................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis
yang terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+),
hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200
mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui
(Trihono et al., 2008).
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1 (Trihono et al., 2008).
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi
primer/idiopatik termasuk di dalam nya kongenital dan sekunder akibat
penyakit sistemik (Kliegman et al., 2007). Pasien sindrom nefrotik biasanya
datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai
asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria,
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, diare, nyeri perut akibat terjadinya
peritonitis, dan hipovolemia. Prognosis sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal
berkisar antara 4-25% dalam waktu 5-20 tahun. Hal ini salah satunya
dipengaruhi oleh diagnosis dini dan penatalaksanaan awal yang tepat (Atalas et
al., 2002).
Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat
kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk
pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindak lanjuti

iv
sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom
nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan
dapat mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan. Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
sindrom nefrotik, yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi Sindrom Nefrotik?
2. Bagaimana epideiologi Sindrom Nefrotik di dunia dan di Indonesia?
3. Apa saja etiologi dari Sindrom Nefrotik?
4. Bagaimana patogenesis Sindrom Nefrotik?
5. Apa saja manifestasi klinis Sindrom Nefrotik?
6. Bagaimana cara mendiagnosis Sindrom Nefrotik?
7. Bagiamana penatalaksanaan Sindrom Nefrotik?
8. Apakah komplikasi Sindrom Nefrotik?
9. Bagaimana prognosis Sindrom Nefrotik?
10. Bagaiaman alur rujukan pasien dengan Sindrom Nefrotik?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan Sindrom
Nefrotik.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu mendeskripsikan hasil pengkajian pada anak dengan
Sindrom Nefrotik.
b. Mampu meneskripikan rumusan diagnosa keperawatan anak dengan
Sindrom Nefrotik.
c. Mampu mendeskripsikan rencana keperawatan pada anak dengan
kasus Sindrom Nefrotik.
d. Mampu mendeskripsikan tindakan keperawatan pada anak ddengan
kasus sindrom Nefrotik.

v
e. Mampu mendeskripsikan evaluasi pada anak dengan Sindrom
Nefrotik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Nefrotik ditandai dengan proteinuria masif ( ≥ 40 mg/m2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2mg/mg),
hipoproteinemia, hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan hiperlipidemia
(Behrman, 2001). Sindroma Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang
mengakibatkan kehilangan urinarius yang massif (Whaley & Wong, 2003).
Sindroma nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus (Luckman, 1996).
Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa
menunjukkan penyakit yang mendasari, dimana menunjukkan kelainan
inflamasi glomerulus. Secara fungsional sindrom nefrotik diakibatkan oleh
keabnormalan pada proses filtrasi dalam glomerulus yang biasanya
menimbulkan berbagai macam masalah yang membutuhkan perawatan yang
tepat, cepat, dan akurat. (Alatas, 2002).
Whaley and Wong (1998) membagi tipe-tipe Sindrom Nefrotik :
1. Sindroma Nefrotik lesi minimal (MCNS : Minimal Change Nefrotik
Sindroma). Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan
sindroma nefrotik pada anak usia sekolah.
2. Sindroma Nefrotik Sekunder. Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler
kolagen, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura anafilaktoid,
glomerulonefritis, infeksi sistem endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
3. Sindroma Nefirotik Kongenital. Faktor herediter sindroma nefrotik
disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindroma
nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian

vi
dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialisis.
2.2 Epidemiologi
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et al., 2008). Sindrom nefrotik
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling
muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.
Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta
melaporkan bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian
besar pasien di Poliklinik Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal
ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002).

2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi pasti dari sindrom nefrotik belum diketahui. Akhir-akhir ini
sindrom nefrotik dianggap sebagai suatu penyakit auto imunyang merupakan
suatu reaksi antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2
golongan, yaitu :
1. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan
sindrom nefrotik idiopatik. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer
adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit
ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak

vii
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007).
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan,
2005). Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom
nefrotik pada anak.

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik


primer (Kliegman et al., 2007)
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC.


Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak (Kliegman et
al., 2007).
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer
agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan
hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7%
tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang
dibiopsi (Wila, 2002).

viii
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai
antara lain : (Eddy dan Symons, 2003).
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan
barier yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar
glomerulus yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel
khusus podosit yang terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating
pada celah diafragma. Berikut ini gambar skematis dinding kapiler
glomerulus :

ix
Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)

Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang
lebih besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah
diafragma (Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses
filtrasi glomerulus :

Gambar 2. Gambar Skematis Proses Filtrasi Glomerulus (Jalanko, 2009)

Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kaki-kaki


podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi
glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting
untuk patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :
1. Mutasi Protein Podosit
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien
sindrom nefrotik yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003). Beberapa
protein tersebut antara lain dapat dilihat pada gambar 3.

x
Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus
normal dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit (Eddy dan
Symons, 2003).

A: Prosesus sel podosit dipisahkan oleh celah pori-pori B: Pada sindrom


nefrotik, celah pori-pori menghilang dan prosesus sel podosit terlihat
bergabung menjadi satu C: Mutasi protein podosit 1: slit diaphragm
proteins (nephrin), 2: membrane proteins (podocin), 3: cytoskeleton (α-
actinin-4, CD2-AP), 4: extracellular matrix adhesion molecule, (β4
integrin), 5: sialylated anionic surface proteins, 6: nuclear proteins
(WT1, LMX1B, SMARCAL1),7: basement membrane proteins (α5 chain
collagen IV).

2. Adanya Faktor Plasma


Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada
pasien dengan sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003).

3. Abnormalitas Respon Sel Limfosit T


Sel T diduga mensintesis faktor permeabilitas yang dapat mengubah
selektivitas glomerulus terhadap protein, sehingga terjadilah proteinuria

xi
massif. Hipotesis lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau
menyebabkan down regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada
kondisi normal berfungsi mencegah proteinuria (Eddy dan Symons, 2003).

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik (Atalas et al., 2002) :


1. Proteinuria
Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane
basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein
plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa faktor yang turut
menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu :
a. Konsentrasi plasma protein
b. Berat molekul protein
c. Electrical charge protein
d. Integritas barier membrane basalis
e. Electrical charge pada filtrasi barrier
f. Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
g. Degradasi intratubular dan urin

2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar
menempati ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin
yang berat molekul 69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis
protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non
renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis
albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam
ruangan ekstra vaskular dan intra vaskular.

xii
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia
ini mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
a. Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria)
dan usus (protein losing enteropathy)
b. Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu
makan menurun dan mual-mual
c. Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat,


plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-
renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal
ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus
(glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan
bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler
peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle
bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan
dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan
dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila
sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme
sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang
mengandung antagonis aldosteron.

3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan
interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin
disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia
menyebabkan retensi Na dan air.

xiii
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi
sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk. Penurunan tekanan onkotik dari kapiler
glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam
jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek

Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan


penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
a. Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron
b. Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan
rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron.
Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion
natrium menurun.
c. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.
d. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat.
Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan
plasma rennin dan angiotensin.

4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein
lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.

xiv
2.5 Manifestasi Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah
periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka) (Hammersmith et al., 2006).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak
lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP.
Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM (Atalas et al., 2002).
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al., 2010).
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak
sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh

xv
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu (Atalas et al.,
2010).
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur (Darnindro dan Muthalib, 2008).

2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang khas,
yaitu : (Trihono et al., 2008).
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain : (Trihono et al., 2008).


1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum.
c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz.
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik,
emeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA.

xvi
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP,
7%. Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan
laboratorium yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak
dilakukan pada sindrom nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid
selama masih sensitif steroid (Noer, 2002).

2.7 Penatalaksanaan

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di


rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan


berikut: (Trihono et al., 2008)
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT)

xvii
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah (Trihono et al., 2008).

DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (Trihono et al., 2008).

DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

xviii
Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :

Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik (Trihono et al., 2008)

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi


karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al., 2008).

IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (Inactivated

xix
Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008).

TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut:

Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak dengan
Sindrom Nefrotik (Noer, 2002)

Istilah Keterangan
Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut
Relaps Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah
mengalami remisi
Relaps tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali
dalam periode 12 bulan
Relaps sering Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal,  atau  ≥ 4 kali kambuh pada setiap periode 12
bulan
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa
tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah
terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya
responsif-steroid

Terapi Inisial

xx
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 5. Pengobatan Inisial Kortikosteroid (Trihono et al., 2008)

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps


Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari
lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.

xxi
Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008)
Keterangan : Pengobatan SN relaps  prednison dosis penuh (FD) setiap hari
sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset penyakit
pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama, dan remisi
lambat pada episode awal (Noer, 2002).

1. Steroid Jangka Panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis
1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut
dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1
– 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan
anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

xxii
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan

xxiii
diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau


sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan
kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering
atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau


sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.
Protokol pengobatan sindrom nefrotik relaps :

xxiv
Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral
(Trihono et al., 2008)

Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu

Gambar 8. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid


(Trihono et al., 2008)

Keterangan :
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari

xxv
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau dependen
steroid :

Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik SN Relaps Sering atau


Dependen Steroid (Trihono et al., 2008)

Keterangan :
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid

xxvi
dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun
secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7
dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan)
(Trihono et al., 2008).

Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat


menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi
karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila
pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid)
atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi


total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek
samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,
dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
a. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
b. Kadar kreatinin darah berkala
c. Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.

xxvii
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon


puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-
12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg)
dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur
yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini
belum direkomendasi di Indonesia .

Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


(Trihono et al., 2008)

xxviii
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).

Atau

• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui


infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung
keadaan pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteiuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria.
Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui
penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI
juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming
growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1,
keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan
kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun
dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang
sama dengan SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian
kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak

xxix
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
a. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
b. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

2.8 Komplikasi

Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius.


Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut
yang berkaitan dengan keadaan nefrotik, terutama infeksi dan penyakit
tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik dan pengobatan,
terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah aspek
penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada anak yang
mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka .

1. Komplikasi Infeksi

Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat


menjadi komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri
bergantung pada berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses
opsonisasi bergantung pada komplemen dapat memperlambat proses klirens
mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia.
Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik.
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang
virus varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar
terhindar dari paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin
varicella zoster disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan
perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan
vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis
tambahan diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir

xxx
oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi
obat kortikosteroid.

2. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.
Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis
dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu
disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain
peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X,
XII), antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas
platelet ( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan
hiperlipemia. Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang
dapat memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan
resiko thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid,
imobilisasi, dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot
pada anak dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat
dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki
resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah
mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6
bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus dihindari,
namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis dapat
dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun membutuhkan
antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna sebagai
antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.

3. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular pada
anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara lain
paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,
hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan
sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada dewasa.

xxxi
Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko terserang
penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya penyakit
jantung yang disebabkan oleh sindrom nefrotik masih terdapatkontroversi,
khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar anak dapat diatasi.

4. Komplikasi Medis yang Lain


Meskipun secara teoritis terdapat resiko penurunan kepadata ntulang
padapenggunaan kortikosteroid, prevalensi penyakit tulang pada anak dengan
sindrom nefrotik masih belum jelas.Selain Steroid, terdapat faktor lain yang
berpotensi menyebabkan penyakit tulang pada sindrom nefrotik. Protein
pengikat vitamin D yang keluar dalam urin dapat menyebabkan defisiensi
vitamin D, dan hiperparatiroid sekunder pada sebagian kecil kasus.Komplikasi
medis lain yang mungkin terjadi antara lain efek toksik obat, hipotiroidisme,
dan gagal ginjal akut.

2.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,
prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD)
memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak
menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk
penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering
menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang
memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan
darah dan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-
keadaan teretnrtu sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Disertai oleh hipertensi
4. Disertai hematuria
5. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal

xxxii
7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis

Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi


respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi
respons lagi dengan pengobatan steroid.

2.10 Alur Rujukan


Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak:

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit


sindrom nefrotik di dalam keluarga.
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau
lesi di kulit.
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid.
5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid.

xxxiii
2.11 WOC
Virus, bakteri, protozoa-inflamasi
glomerulus DM-peningkatan viskositas
darah sistemik lupus eritematous-regulasi
kekebalan terganggu-proliferasi abnormal
leukosit

xxxiv
BAB 3
Perubahan
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
permeabilitas
membrane glomerulus
3.1. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas klien Proteinuria Hipoalbuminemia

a. Umur
Banyak pada anak-anak terutama
Ekstrakvaksi cairan
pada
Sindrom usia pra-sekolah (3-6 th). Ini
Nefrotik
dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan
Metabolisme
kelainan genetik sejak lahir. anaerob
Oedema
b. Jenis kelamin
Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan denganIntoleransi
anak
Paru-paru aktivitas
perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6
Asites
tahun terjadi perkembangan psikososial, dimana anak berada pada
Efusi Pleura
fase oedipal/falik dengan cirri meraba-raba dan merasakan
Ketidakseimbangan
kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dari
nutrisi dapat
Ketidakefektifan
mempengaruhi
bersihan jalan kebersihan
nafas diri terutama daerah kebutuhan
genital. Karena tubuh
anak-
anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan tangan kurang
terjaga. Hal ini nantinya akan memicu terjadinya infeksi.
Kelebihan volume
cairan
c. Agama
d. Suku/bangsa
e. Status
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
2. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan
hubungannya dengan klien.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar (adanya
asites)

b. Riwayat kesehatan sekarang

xxxv
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat perlu
menanyakan hal berikut :
1) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
2) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah
3) Kaji adanya anoreksia pada klien
4) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
4. Riwayat kesehatan dahulu
Perawat perlu mengkaji :
a. Apakah klien pernah menderita edema?
b. Apakah ada riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi
sebelumnya?
c. Penting juga mengkaji riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya alergi terhadap jenis obat
5. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu
timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
6. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
a. Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksia, mual, muntah
b. Pola eliminasi : Diare, oliguria
c. Pola aktivitas dan latihan : Mudah lelah, malaise
d. Pola istirahat dan tidur : Susah tidur
e. Pola mekanisme koping : Cemas, maladaptif
f. Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
b. Keadaan umum : klien lemah dan terlihat sakit berat
c. Kesadaran : biasanya composmentis
d. TTV : sering tidak didapatkan adanya perubahan
e. Pemeriksaan sistem tubuh
1) B1 (Breathing)

xxxvi
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama
pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya
gangguan pola nafas dan jalan nafas yang merupakan repons
terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
2) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume
3) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat
parahnya azotemia pada sistem saraf pusat
4) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti urine tampak berbusa dan
gelap, urine berwarna cola
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan
asites pada abdomen
6) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum,efek sekunder
dari edema tungkai dan keletihan fisik secara umum

3.2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan sindrom


nefrotik adalah :

1. Hipervolemia (kelebihan volume cairan) b.d retensi albumin, protein dan


air D.D edema pada wajah, perut, ekstremitas atas dan bawah klien.
2. Gangguan integritas kulit b.d kelebihan volume cairan D.D kerusakan
jaringan dan atau lapisan kulit, hematoma

xxxvii
3. Ansietas (pada orang tua) b.d kurang terpapar informasi D.D orang tua
merasa bingung, merasa khawatir dan tampak gelisah

xxxviii
3.3 Intervensi Keperawatan

DATA DIAGNOSIS LUARAN (SLKI) INTERVENSI (SIKI)


PENDUKUNG KEPERAWATAN

Data pendukung Kode Diagnosis Kode Hasil Kode Intervensi


pasien dengan
masalah :

1. Mengeluh haus D.0022 Hipervolemia L.05020 Setelah dilakukan I.03114 TINDAKAN.


2. Edema (kelebihan volume tindakan
3. Haluaran urine cairan) b.d retensi keperawatan OBSERVASI:
meningkat selama ….x24 1. Periksa tanda dan
albumin, protein dan
4. CRT kembali jam, diharapkan: gejala hipervolemia
lebih dari 2 detik air D.D terlihat 1. Edema ( missal. edema)
5. Dehidrasi edema pada wajah, menurun 2. identifikasi penyebab
6. Denyut nadi perut, ekstremitas (5) hypervolemia.
radial menurun atas dan bawah. 2. Dehidrasi 3. monitor intake dan
Mata cekung menurun output
(5). 4. monitor tanda
3. Denyut peningkatan tekanan
nadi onkotik plasma (mis,
radial kadar protein dan
membaik albumin meningkat)
(5) 5. monitor kecepatan
4. membran tetesan infus secara
e mukosa ketat
membaik 6. monitor efek samping

39
(5) diuretic
5. Mata TERAPEUTIK:
cekung
membaik 1. Timbang berat badan
(5) setiap hari dalam waktu
6. Turgor yang sama
kulit 2. batasi asupan cairan dan
membaik garam
(5).
EDUKASI
1. anjurkan melapor jika
urin < o,5 mL/kg/jam
dalam 6 jam
2. anjurkan melapor jika
berat badan bertambah >
1kg dalam sehari
3. ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
4. ajarkan cara membatasi
cairan

KOLABORASI:

1. kolaborasi pemberian
diuretik
2. kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik.

40
1. kerusakan D.0129 Gangguan integritas L.14125 Setelah dilakukan I.11353 TINDAKAN
jaringan dan kulit b.d kelebihan tindakan tindakan
atau lapisan volume cairan D.D keperawatan OBSERVASI:
kulit selama …x24 jam,
kerusakan jaringan
2. hematoma. diharapkan : 1. identifikasi penyebab
dan atau lapisan 1. kerusakan gangguan integritas kulit
kulit , hematoma jaringan
menurun (5)
2. Kerusakkan TERAPEUTIK:
lapisan kulit
menurun(5) 1. gunakan produk berbahan
3. hematoma petrolium atau minyak
menurun (5) pada kulit kering

EDUKASI:

1. anjurkan menggunakan
pelembap
2. anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem

1. Orang tua D.0080 Ansietas (pada orang L.09093 Setelah dilakukan I.09314 TINDAKKAN

41
tampak tua) b.d kurang tindakan tindakan
bingung dan terpapar informasi keperawatan
gelisah D.D orang tua selama …x24 jam, OBSERVASI:
2. orang tua tampak bingung, diharapkan :
mengatakan merasa khawatiir 1. Verbalisai 1. Identifikasi saat
khawatir dan tampak gelisah kebingung tingkat ansietas
akan kondisi an berubah (missal,
yang menurun kondisi,waktu,
dihadapi (5) stressor)
anaknya 2. verbalisasi 2. Identifikasi
3. orang tua khawatir mengambil keputusan
tampak akibat 3. monitor tanda-tanda
tegang kondisi ansietas (verbal dan
anaknya non verbal)
menurun
(5) TERAPEUTIK:
3. perilaku 1. Ciptakan suasana
gelisah terapeutik untuk
menurun mennumbuhkan
(5) kepercayaan.
4. perilaku 2. pahami situasi yang
tegang membuat ansietas
menurun 3. dengarkan dengan penuh
(5) perhatian
4. motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan.
EDUKASI:

1. informasikan secara
faktual mengenai

42
diagnosis pengobatan dan
prognosis
2. anjurkan megungkapkan
perasaan dan persepsi
3. latih teknik relaksasi

KOLABORASI:
1. Kolaborasi pemberian
obat ansietas, jika perlu.

43
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia.
2. Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
3. Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat proteinuria dan
hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti asites, efusi pleura, edema
anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
4. Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
a. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
b. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
c. Edema
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

5. Penatalaksanaan pasien dengan sindrom nefrotik meliputi pengaturan diit,


penanggulangan edema, pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

4.2 Saran
Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan untuk
membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan sindrom
nefrotik pada anak.

44
DAFTAR PUSTAKA

Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Bagga, A. dan Mantan, M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian Journal of


Medical Research, vol. 122, hal. 13-28.

Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran, no. 150, hal. 50-54.

Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom
Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61.

Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE LANCET , vol
362, hal. 629-639.

Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic Syndrome.
Continuing Education Topics & Issues.

Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24, hal.
2121–2128.

Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nephrotic Syndrome. Nelson Textbook of


Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia. Chapter 527.

45
Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt Indon, vol. 60, no. 12.

Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, hal. 73-87.

Sophie de Seigneux dan Pierre-Yves Martin. 2009. Management of patients with nephritic
Syndrome. Swiss Med Weekly, vol.139 (29-30), hal. 416-422.

Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Edisi Kedua Cetakan Kedua 2012. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, hal. 1-20.

Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 381-
426.

46

Anda mungkin juga menyukai