Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

KASUS SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID DENGAN CKD STAGE 1


DAN HIPERTENSI STAGE 1 PADA ANAK

DI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Oleh

Lalu Sayidiman Huzaif

H1A011039

Pembimbing

dr. Nur Nailul, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahamtnya
penyusunan tugas Laporan Kasus pasien dengan Sindrom Nefrotik dengan CKD Stage I
dan Hipertensi Stage I Pada anak di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat
dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tujuan dari penyusunan Laporan Kasus ini adalah
Untuk memenuhi tugas dalam proses kepanitraan klinik di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat.

Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada dr.Nur Nailul,Sp.A selaku pembimbing


karena telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tulisan Laporan Kasus
ini.

Saya berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi profesi kedokteran. Saya
menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan
belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan
Untuk perbaikan kedepannya.

Mataram, 22 Desember 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit ginjal yang sering ditemukan pada anak.
Penyakit ini merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia.1-4 Insidensi SN diperkirakan
sebanyak 2-7 kasus baru per 100.000 anak <18 tahun.  Pasien SN biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibial. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema
genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan
diare.5 Sekitar 80% sindrom nefrotik primer memiliki respons yang baik terhadap
pengobatan awal menggunakan steroid, namun sekitar 50% di antaranya akan relaps
berulang, dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi terhadap pemberian steroid.3,5
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid.5  Sampai saat ini masih terdapat anggapan dalam masyarakat
bahwa hipertensi merupakan penyakit yang hanya terjadi pada orangtua atau dewasa.
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada manusia dan
diperkirakan prevalensinya lebih dari satu miliar di seluruh dunia. Meskipun demikian
angka kejadian hipertensi pada anak belum diketahui dengan pasti. Salah satu laporan
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada anak adalah 1%.  Berdasarkan
penyebabnya hipertensi dibagi atas primer (esensial) dan sekunder. Penyebab hipertensi
pada anak, terutama masa preadolescents, umumnya adalah sekunder. Di antara penyebab
sekunder tersebut, penyakit parenkim ginjal merupakan bentuk yang paling banyak
ditemukan (60,70%).6
Penyakit ginjal kronik (CKD) merupakan masalah kesehatan yang serius pada anak
dengan morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat serta menimbulkan masalah
sosial ekonomi yang signifkan. Penelitian Italkid-project melaporkan prevalens PGK pada
anak mencapai 12,1 kasus/tahun/1 juta anak dengan rentang usia 8,8-13,9 tahun atau 74,4
per satu juta pada populasi yang sama. Manifestasi klinis PGK bervariasi tergantung dari
penyakit yang mendasarinya.7 Sindrom nefrotik merupakan salah satu faktor risiko
kejadian CKD yang sering terjadi. Menurut data dari Pernefri, glomerulopati primer
merupakan salah satu penyebab CKD pada pasien dialisis baru pada tahun 2011dengan
angka kejadian 14%.8 Deteksi dan intervensi dini sangat penting untuk memperlambat
progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup.7 Laporan kasus ini akan membahas
tentang kasus sindrom nefrotik dengan CKD dan hipertensi pada anak.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Nefrotik

1. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit ginjal yang sering ditemukan pada anak.
Penyakit ini merupakan kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Kelainan tersebut didasari
karena adanya gangguan pada proses filtrasi glomerulus.1-4

2. Epidemiologi
Insidensi SN diperkirakan sebanyak 2-7 kasus baru per 100.000 anak <18 tahun. Laki-
laki lebih banyak menderita SN dibandingkan dengan perempuan. Insidensi dan tingkat
keparahan meningkat pada populasi Afrika-Amerika dan Hispanik. Insiden SN pada anak
berusia kurang dari 14 tahun di Indonesia dilaporkan bervariasi antara 2-7 per 100.000 per
tahun. Perbandingan SN pada anak laki-laki dan perempuan yaitu 2:1. Sekitar 80%
sindrom nefrotik primer memiliki respons yang baik terhadap pengobatan awal
menggunakan steroid, namun sekitar 50% di antaranya akan relaps berulang, dan sekitar
10% tidak memberi respons lagi terhadap pemberian steroid.3,5
3. Etiologi dan Klasifikasi

Menurut etiologinya SN dibedakan menjadi 3, yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan


sekunder yang mengikuti penyakit sistemik.
 SN Primer atau Idiopatik
Sekitar 90% anak-anak dengan SN menderita SN primer/idiopatik. SN idiopatik
sendiri merupakan suatu penyakit glomerulus primer tanpa adanya bukti penyebab
sistemik tertentu. Menurut gambaran histopatologisnya, SN idiopatik
diklasifikasikan menjadi SN kelainan minimal (SNKM) 80%, glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%,
glomerulonephritis membranoprolifaratif (GNMP) 4-6%, dan nefropati
membranosa (GNM) 1,5%. Semua jenis kelainan glomerular terkadang
menyebabkan campuran manifestasi nefritik dan nefrotik sehingga dapat
mengacaukan diagnosis klinis, kecuali tipe SNKM yang hampir selalu
menyebabkan sindroma nefrotik.6

4
Akan tetapi SN idiopatik secara klinis diklasifikasikan berdasarkan respon
terhadap terapi kortikosteriod. Sekitar 80-90% anak-anak di atas 1 tahun dengan
SN berespon terhadap terapi steroid dalam 4 minggu (steroid-sensitive nephrotic
syndrome [SSNS]), sedangkan sisanya 10-20% non-responsif dan dikasifikasikan
sebagai steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS).8 Berikut adalah terminologi
yang sering digunakan terkait sindrom nefrotik5:

- Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3


hari berturut-turut dalam 1 minggu

- Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-


turut dalam 1 minggu

 Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama


setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan

 Relaps sering: relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons


awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun

- Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama
4 minggu

- Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan


atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

- Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh
(2 mg/kgbb/hari) selama 4 minggu.

 SN Sekunder
SN dapat terjadi sebagai akibat sekunder seperti pada glomerulonephritis akut
post infeksi streptococcus (GNAPS), nefritis pada penyakit lupus, dan nefritis pada
Henoch-Schonlein purpura. SN sekunder patut dicurigai pada pasien >8 tahun
dengan hipertensi, hematuria, disfungsi ginjal, adanya gejala-gejala ekstrarenal
(rash, atralgia, demam), atau menurunnya kadar komplemen serum.9
Pada daerah tertentu, malaria dan schistosomiasis juga dapat menyebabkan
terjadinya SN. Agen infeksius lain yang terkait dengan SN antara lain virus
hepatitis B, hepatitis C, filaria, lepra, dan HIV. SN juga telah dikaitkan dengan
keganasan, terkhusus pada populasi dewasa. Pada pasien dengan tumor solid
seperti karsinoma paru dan GIT, patologi pada ginjal sering menyerupai

5
glomerulopati membranosa. Kompleks imun yang terdiri dari antigen tumor dan
tumor specific antibody diduga memediasi adanya keterlibatan pada ginjal. Pada
pasien dengan limfoma, terutama limfoma Hodgkin, patologi dari renal sering
menyerupai SNKM. Mekanisme yang diduga menyebabkan hal tersebut yaitu
karena limfoma memproduksi limfokin yang meningkatkan permeabilitas dinding
kapiler glomerulus.9
 SN Kongenital
SN kongenital didefinisikan sebagai SN yang terjadi setelah lahir atau dalam 3
bulan pertama kehidupan. SN tipe ini memiliki prognosis yang lebih jelek
dibandingkan dengan SN yang yang muncul pada usia kanak-kanak. SN kongenital
ini dapat diklasifikasikan sebagai SN kongenital primer atau sekunder. SN
kongenital primer disebabkan karena berbagai sindrom yang diturunkan secara
autosomal resesif. SN kongenital tipe Finnish disebabkan karena adanya mutase
pada gen NPHS1 atau NPHS2 yang mengode nephrin dan podocin yang
merupakan komponen penting pada celah diafragma di glomerulus. Denys-Drash
syndrome disebabkan karena mutasi pada gen WT1 yang menyebabkan
abnormalitas pada fungsi podosit. Dapat juga terjadi mutasi pada gen LAMB2 yang
ditemukan pada Pierson Syndrome yang menimbulkan gangguan pada membran
basal glomerulus. Selain itu, SN kongenital dapat merupakan akibat sekunder dari
adanya infeksi di dalam uterus (TORCH, sifilis, Hepatitis B dan C, HIV), infantile
SLE, atau paparan merkuri.9

6
7
Gambar 1. Gambaran Histopatologis dari beberapa tipe kelainan glomerulus.10

4. Patogenesis dan Patofisiologi


Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga elemen struktural yang membentuk
penghalang selektif: sel endotel berfenestra, membran basal glomerulus yang terdiri dari
jaringan protein matriks, dan sel epitel khusus (podosit) yang membentuk celah diafragma
di antara prosesus-prosesusnya. Biasanya, molekul berukuran besar (>69 kd) tidak dapat
terfiltrasi. Albumin yang berperan penting dalam patogenesis dari SN normalnya tidak
dapat terfiltrasi. Meski ukuran molekulnya lebih kecil dibandingkan radius celah
diafragma yang dibentuk oleh podosit, akan tetapi terdapat barrier lainnya yang didasarkan
pada muatan dari albumin tersebut. Barrier yang dibentuk oleh podosit glomerulus
diregulasi oleh muatan negatif yang dimiliki polyanion sepert heparan sulfate proteoglycan
sehingga albumin yang juga memiliki muatan negatif tidak dapat lewat atau terfiltrasi
meski ukuran molekulnya kecil. Kelainan pada elemen dari barrier selektif tersebut seperti
beberapa mekanisme yang telah dijelaskan sebelumya dapat menyebabkan kebocoran
protein dari system filtrasi glomerulus.3-5
Kebocoran protein dari proses filtrasi kemudian dapat berimbas menajadi rendahnya
kadar protein dalam plasma darah. Hal ini mempengaruhi tekanan onkotik yang diatur oleh

8
kadar albumin itu sendiri. Kadar albumin yang rendah menyebabkan berkurangnya
tekanan onkotik plasma sehingga cairan intravaskuler dapat berdifusi ke jaringan
ekstravaskuler yang menghasilkan klinis edema. Hal ini diperberat juga oleh sekresi
aldosterone yang meningkat sehingga menyebabkan retensi dari cairan. Efek lainnya dari
kadar albumin yang menurun yaitu tubuh mengompensasi dengan meningkatkan produksi
protein, akan tetapi efeknya juga terjadi peningkatan produksi lipid sehingga pada pasien
SN terjadi hyperlipidemia.3-5

Gambar 2. Patofisiologi Sindrom Nefrotik.10

5. Diagnosis

Diagnosis SN berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


Keluhan yang sering ditemukan yaitu bengkak pada kelopak mata dan tungkai. Pada
kondisi yang lebih berat dapat ditemukan asites, efusi pleura, dan edema genitalia.
Keluhan lain seperti volume urin menurun, urin keruh atau urin berwarna merah, gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal
ditemukan hematuria mikroskopik 22%, hipertensi 15-20%, dan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara 32%. 5

9
Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau
50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick ≥
2+). Pada pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (<2,5g/dL), hiperkolesterolemia
(>200mg/dL). Kadar ureum dan kreatinin biasanya ditemukan normal kecuali jika terdapat
penurunan fungsi ginjal. 5
6. Tata Laksana

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Perawatan di
rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau
disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu
dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat, anak boleh sekolah. 5
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema. 5
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari
1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. 5
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,
suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran

10
cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.5

Gambar 3. Algoritma Pemberian Diuretik


Pasien imunokompromais, yaitu pasien SN yang sedang mendapat pengobatan
kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari. Pasien
SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan
vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR,
varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk diberikan imunisasi untuk
infeksi pneumokokus dan varisela.5

Pengobatan dengan kortikosteroid

Kortikosteroid menjadi pengobatan awal pada SN idiopatik, kecuali bila ada


kontraindikasi dan steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
 Terapi insial
Pasien sindrom nefrotik idiopatik tanpa ada kontraindikasi steroid diberikan
prednisone 60 mg/m2 LPB/hari sesuai anjuran ISKDC, atau 2 mg/kgbb hari
(maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi untuk menginduksi remisi. Dosis
prednisone yang diberikan dihitung berdasarkan berat badan ideal pasien. Lama
pemberian prednison dosis penuh adalah 4 minggu dan bila terjadi remisi dalam 4
minggu pertama, akan dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis mg/m2 LPB
11
(2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Pasien dinyatakan resisten steroid bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh tidak terdapat remisi. 5

Gambar 4.Terapi Inisial Kortikosteroid

 Pengobatan SN relaps
Pasien dengan SN relaps mendapatkan pengobatan prednison dosis penuh sampai
remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4
minggu. Pada kondisi munculnya kembali proteinuria ≥ ++ tanpa edema pada pasien
SN remisi, pemicu seperti infeksi saluran napas atas harus diidentifikasi terlebih
dahulu sebelum pemberian prednisone. Antibiotik 5-7 hari dapat digunakan bila
terjadi infeksi dan jika saat pemantauan proteinuria negatif, maka tidak diperlukan
pengobatan relaps. Pada kondisi munculnya proteinuria ≥ ++ disertai edema, diagnosis
relaps ditegakkan dan pasien mulai diberikan pengobatan relaps.5

12
 Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

 Pengobatan SN kontraindikasi steroid


Pasien dengan kontraindikasi steroid ditemukan pada pasien dengan
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum kreatinin, infeksi berat. Dapat diberikan
siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal.
 Pengobatan SN resisten steroid5
1. Pemberian Steroid Jangka Panjang
Pasien yang telah mengalami remisi dengan prednison dosis penuh,
dilanjutkan dengan steroid 1,5mg/kgbb secara alternating, kemudian dosis
diturunkan bertahap 0,2mg/kgbb tiap 2 minggu hingga 0,1-0,5mg/kgbb dan
dipertahankan 6-12 bulan, lalu dicoba dihentikan.
Jika relaps dengan dosis 0,1-0,5 mg/kgbb, terapi dengan prednison
1mg/kgbb dosis terbagi, sampai remisi. Setelah remisi turunkan menjadi 0,8
mg/kgbb, lalu turunkan 0,2 mg/kgbb tiap 2 minggu sampai 0,2-0,6 mg/kgbb
2. Pemberian Levamisol
Levamisol diberikan jika relaps pada dosis prednison >0,5 s.d. <0,1
mg/kgBB. Dosis levamisol yaitu 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari,

13
selama 4-12 bulan. Efek samping pengobatan dengan sitostatik iniialah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, neutropenia reversibel
3. Siklofosfamid (CPA)
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal. Efek
samping yang dapat muncul yaitu mual, muntah, depresi sutul, alopesia,
sistitis hemoragik, azospermia, keganasan. Sehingga pada pasien perlu
dilakukan pemantauan darah tepi setiap 1-2x seminggu selama pemakaian.
4. Klorambusil
Dosis 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Efek toksik : kejang, infeksi
5. Pengobatan dengan CyA atau MMF
Dapat diberikan siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari. Penggunaan
obat ini memiliki risiko relaps (dependen siklosporin). Dapat juga diberikan
mikofenolat mofetil dengan dosis 25-30 mg/kgbb yang memiliki efek
samping berupa nyeri abdomen, diare, leukopenia.

14
 Komplikasi

Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu
segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama
10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan
infeksi saluran napas atas karena virus. 5
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu
kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat
asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80
mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya
dihentikan sementara. 5
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin
dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan. 5
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. 5
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan
tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak.
Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk
tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat
penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin). 5
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang yang
menimbulkan osteoporosis dan osteopenia. Hipokalsemia dapat juga terjadi karena
kebocoran metabolit vitamin D2. Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi

15
steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-
500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena. 5
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20
mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena. 5
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90. 5
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali,
dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali. 5

16
2.2. Hipertensi
1. Definisi
Menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressurel in Children and Adolescents (2004), hipertensi adalah tekanan darah
sistolik dan atau diastolik ≥ 95 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan pada ≥ 3
kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.6
2. Epidemiologi
Secara umum, kejadian hipertensi pada anak berkisar 1-2%, bahkan sebuah
penelitian di Amerika Serikat terhadap 5100 anak sekolah mendapatkan kejadian
hipertensi sebesar 4,5%.11 Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa prevalensi hipertensi pada
anak, khususnya usia sekolah, mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan
meningkatnya prevalensi obesitas pada kelompok usia tersebut.6
3. Etiologi
 Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi atas primer (esensial) dan sekunder.
Penyebab hipertensi pada anak, terutama masa preadolescents, umumnya adalah sekunder
Di antara penyebab sekunder tersebut, penyakit parenkim ginjal merupakan bentuk yang
paling banyak ditemukan (60,70%). Memasuki usia remaja, penyebab tersering hipertensi
adalah primer yaitu sekitar 85,95%. Pada umumnya hipertensi yang bersifat akut dan berat
pada anak, terutama usia sekolah, disebabkan oleh glomerulonefritis, sedangkan hipertensi
kronik terutama disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal.6
Etiologi hipertensi pada sindrom nefrotik adalah multifaktorial, yaitu terkait
dengan sejumlah faktor intrinsik dan ekstrinsik / lingkungan ginjal dan non-ginjal.
Beberapa faktor yang berkontribusi diketahui menyebabkan peningkatan tekanan darah
akut dan episodik seperti perpindahan cairan dan efek samping pengobatan. Lainnya
terkait dengan hipertensi kronis dan lebih berkelanjutan, termasuk fibrosis ginjal,
penurunan GFR dan perkembangan penyakit ginjal kronis.12
4. Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi pada sindrom nefrotik kompleks, dengan beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap ginjal dan ekstra-ginjal. Faktor ginjal termasuk retensi
natrium, fibrosis/kehilangan GFR dan perkembangan penyakit ginjal, dan baru-baru ini,
loop feed-forward antara albuminuria dan tekanan darah telah dijelaskan. Di sisi lain,
faktor ekstra-ginjal termasuk efek samping pengobatan, kondisi komorbiditas, dan
kecenderungan genetik.12

17
Gambar. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi pada pasien dengan sindrom
nefrotik. GFR, laju filtrasi glomerulus; Na, natrium; RAAS, sistem renin-angiotensin-aldosteron. 12

Penanganan natrium pada sindrom nefrotik tidak hanya memiliki peran sentral
dalam perkembangan edema tetapi juga memainkan peran penting dalam pengaturan
tekanan darah. Dua hipotesis utama telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan
retensi natrium pada sindrom nefrotik: hipotesis underfill dan overfill. Dalam hipotesis
underfill, hipovolemia akibat tekanan onkotik rendah dan third-spacing menyebabkan
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan retensi natrium. Dalam hipotesis
overfill, RAAS ditekan dan diyakini bahwa retensi natrium terkait dengan defek ginjal
intrinsik dalam penanganan natrium.12
Menanggapi ekspansi volume, peptida natriuretik atrium (ANP) memfasilitasi
diuresis dengan meningkatkan GFR sekaligus mengurangi reabsorpsi natrium di tubulus
ginjal. Peneliti telah menunjukkan respon tumpul terhadap peningkatan kadar serum ANP
di sindrom nefrotik. Efek tumpul ini telah dikaitkan dengan mekanisme pensinyalan yang
bergantung pada ANP dan penurunan konversi pro-ANP menjadi ANP aktif pada penyakit
ginjal proteinurik. Peneliti juga telah memeriksa peran oksida nitrat (NO) dalam retensi
natrium dan patogenesis hipertensi pada model hewan dengan sindrom nefrotik. Ni dkk.
menunjukkan pengurangan sintase NO ginjal dan pengurangan ekskresi fraksional natrium
(FENa) pada tikus proteinurik. Para penulis menghubungkan defisiensi NO sintase dalam
model mereka dengan adanya proteinuria, dan dengan demikian defisiensi NO mengurangi
FENa dengan meningkatkan reabsorpsi natrium tubulus ginjal dan vasokonstriksi
preglomerulus.12

18
Banyak obat yang umum digunakan dalam pengobatan sindrom nefrotik diketahui
mempengaruhi tekanan darah dan berkontribusi pada perkembangan hipertensi. Inhibitor
kalsineurin menginduksi nefrotoksisitas dan hipertensi arteri. Vasokonstriksi, eksitasi
simpatis dan retensi natrium oleh ginjal telah terbukti berperan dalam hipertensi yang
diinduksi Calcineurin inhibitors (CNI). CNI biasanya digunakan pada pasien SRNS;
subkelompok pasien sindrom nefrotik yang lebih mungkin untuk memiliki hipertensi
dibandingkan dengan pasien SDNS. Steroid sintetik (prednisolon, prednison, dan metil-
prednison) adalah pusat dalam rejimen pengobatan pasien dengan sindrom nefrotik.
Steroid ini memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid yang sedikit berbeda
dengan glukokortikoid yang dominan (sifat imunosupresif, antiinflamasi); secara
tradisional, itu adalah retensi garam melalui sifat reseptor mineralokortikoid yang telah
disalahkan atas efek pada tekanan darah. Mekanisme pasti bagaimana efek glukokortikoid
menginduksi hipertensi tidak jelas. Prevalensi tinggi hipertensi pada pasien yang diobati
dengan steroid telah dilaporkan bahkan dalam terapi dengan aktivitas glukokortikoid yang
dominan. Steroid sintetik mungkin berperan dalam regulasi tekanan darah melalui
mekanisme lain, seperti perpindahan cairan dari interstisial ke kompartemen intravaskular,
peningkatan aktivitas renin plasma, peningkatan aktivitas saraf simpatis, perubahan
biosintesis prostaglandin, peningkatan respons otot polos vaskular terhadap katekolamin
dan angiotensinogen II, gangguan vasodilatasi, dan aktivitas sintase oksida nitrat.12
5. Diagnosis
Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent adalah sebagai berikut:
 Hipertensi adalah nilai rata rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari
persentil ke 95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran
sebanyak 3 kali atau lebih;
 Prehipertensi adalah nilai rata rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik antara
persentil ke 90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara teliti adanya
faktor risiko seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelompok ini
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi hipertemi pada masa dewasa
dibandingkan dengan anak yang normotensi;
 Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg harus dianggap suatu
prehipertensi;

19
 Seorang anak dengan nilai tekanan darah di atas persentil ke,95 pada saat diperiksa di
tempat praktik atau rumah sakit, tetapi menunjukkan nilai yang normal saat diukur di
luar praktik atau rumah sakit, disebut dengan white-coat hypertension. Kelompok ini
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang mengalami hipertensi
menetap untuk menderita hipertensi atau penyakit kardiovaskular di kemudian hari;
 Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang mengancam
jiwa, seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit lokal), payah jantung akut, edema
pam, aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut.6

Pada Tabel l diperlihatkan klasifikasi hipertensi anak di atas usia 1 tahun dan remaja.6

Setelah hipertensi dapat didiagnosis, maka perlu dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik secara teliti agar dapat dideteksi adanya penyebab dasar serta kerusakan
organ target. Informasi yang didapat secara alatrat melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisis dapat menghindarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu dan
mahal. Evaluasi adanya hipertensi tergantung pada usia anak, beratnya tingkat hipertensi,
adanya kerusakan organ target, dan faktorfaktor risiko jangka panjang yang bersifat
individual.6
Evaluasi awal dengan anamnesis terhadap pasien dan keluarganya serta
pemeriksaan fisis harus diikuti dengan pemeriksaan urin rutin dan kimia dasar. USG
abdomen mempakan alat diagnostik yang tidak invasif tetapi sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi ukuran ginjal, deteksi tumor adrenal dan ginjal, penyakit ginjal kistik, batu
ginjal, dilatasi sistem saluran kemih, ureterokel, dan penebalan dinding vesica urinaria.6
Tidak jarang diperlukan evaluasi tambahan untuk membedakan hipertensi primer
dan sekunder. Anak dengan riwayat infeksi saluran kencing harus dilakukan pemeriksaan
dimercapto succinic acid (DMSA). Teknik ini lebih sensitif dibandingkan pielografi
intravena (PIV), kurang radiatif dan mempakan baku emas untuk mendiagnosis adanya
patut ginjal. Sidik diethylenetriaminepentacetic acid (DTPA) dapat dilakukan untuk

20
melihat adanya uropati obstruktif. Mictiocystotirethroaaphy (MCU) dianjurkan dilakukan
pada anak di bawah usia dua tahun dengan riwayat infeksi saluran kencing untuk
mendiagnosis derajat refluks vesikoureter serta merencanakan pengobatan jangka panjang
terhadap penyakit tersebut.6
Kadar hormon dan pemeriksaan urin 24 jam dapat diperiksa oleh semua dokter,
tetapi pemeriksaan khusus seperti angiografi ginjal harus dilakukan di rumah sakit khusus
dengan fasilitas lengkap. Jika diagnosis penyebab hipertensi mengarah ke penyakit
renovaskular, maka dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi. Teknik
pemeriksaan ini bersifat invasive. Teknik lain yang sifatnya kurang invasif adalah
magnetic resonance angiography. Hipertrofi ventrikel kiri juga sering didapatkan pada
anak yang mengalami hipertensi. Ekokardiografi merupakan teknik yang noninvasive,
mudah dilakukan, dan lebih sensitif dibandingkan elektrokardiografi, sehingga teknik ini
dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada semua anak yang mengalami hipertensi.
Teknik ini dapat diulang secara berkala. Setelah diagosis hipertensi pada anak ditegakkan,
maka pengobatan yang diberikan kepada pasien harus dilakukan secara menyeluruh
dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap masa depan anak tersebut.6

6. Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek
maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Upaya
mengurangi tekanan darah saja tidak cukup untuk mencapai tujuan ini. Selain menurunkan
tekanan darah dan meredakan gejala klinis, juga harus diperhatikan faktor-faktor lain
seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, dan intoleransi
glukosa.6
Pada umumnya ahli neffologi anak sepakat bahwa pengobatan hipertensi ditujukan
terhadap anak yang menunjukkan peningkatan tekanan darah di atas persentil ke-99 yang
menetap. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di
bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pengobatan yamg dilakukan secara tepat sejak awal pada anak yang
menderita hipertensi ringan sedang akan menurunkan risiko terjadinya stroke dan penyakit
jantung koroner di kemudian hari. Pengobatan hipertensi pada anak dibagi ke dalam 2
golongan besar, yaitu non farmakologis dan farmakologis yang tergantung pada usia anak,
tingkat hipertensi dan respons terhadap pengobatan.6

21
Pengobatan Non-Farmakologis: Mengubah Gaya Hlidup
Anak dan remaja uang mengalami prehipertensi atau hipertensi tingkat l dianjurkan
untuk mengubah gaya hidupnya. Pada tahap awal anak remaja yang menderita hipertensi
primer paling baik diobati dengan cara non farmakologis. Pengobatan tahap awal
hipertensi pada anak mencakup penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam,
olahraga secara teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.6
Seorang anak yang tidak kooperatif dan tetap tidak dapat mengubah gaya
hidupnya perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan obat anti hipertensi. Penurunan berat
badan terbukti efektif mengobati hipertensi pada anak yang mengalami obesitas.
Banyaknya makanan yang dikonsumsi secara langsung akan mempengaruhi berat badan
dan massa tubuh, sehingga juga akan mempengaruhi tekanan darah.6
Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8 tahun dan
1,5 g/hari pada anak yang lebih besar. Diet rendah garam yang dikombinasikan dengan
buah dan sayuran, serta diet rendah lemak menunjukkan hasil yang baik untuk
menurunkan tekanan darah pada anak. Asupan makanan mengandung kalium dan kalsium
juga merupakan salah satu upaya untuk menurunkan tekanan darah. Olahraga secara
teratur merupakan cara yang sangat baik dalam upaya menurunkan berat badan dan
tekanan darah sistolik maupum diastolik.6

Pengobatan farmakologis
Pada saat memilih jenis obat yamg akan diberikan kepada anak yang menderita
hipertensi, harus dimengerti tentang mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit
hipertensi tersebut. Perlu ditekankan bahwa tidak ada satupun obat antihipertensi uang
lebih superior dibandingkan dengan jenis yang lain dalam hal efektivitasnya untuk
mengobati hipertensi pada anak. Menurut the National High Blood Ressure Education
nogram (NHBEP) Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents
obat yang diberikan sebagai antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang (step-up),
dimulai dengan satu macam obat pada dosis terendah, kemudian ditingkatkan secara
bertahap hingga mencapai efek terapoitik, atau munculnya efek samping, atau bila dosis
maksimal telah tercapai. Kemudian obat kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan
menggunakan obat yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Di bawah ini
dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan indikasi dimulainya
pemberian obat antihipertensi:

22
1. Hipertensi simptomatik
2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan proteinuria
3. Hipertensi sekunder
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi tingkat l yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya hidup
6. Hipertensi tingkat 2.
Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan
dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan beta-blocker merupakan obat yang dianggap
aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu
dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah
ACE (angiotensin converting enzyme) Inhibitor pada anak uang menderita diabetes
melitus atau terdapat proteinuria, serta Beta-adrenergic atau penghambat calcium-channel
pada anak-anak yang mengalami migrain. Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga
tergantung dari penyebabnya, misalnya pada glomemlonefritis akut pascastreptokokus
pemberian diuretik merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini
disebabkan oleh retensi natrium dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor
angiotensin semakin banyak digunakan karena memiliki keuntungan mengurangi
proteinuria.6
Penggunaan obat penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami
penurunan fungsi ginjal. Meskipun captopril saat ini telah digunakan secara luas pada anak
yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang menggunakan obat
penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki masa kerja yang panjang,
sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih panjang dibandingkan dengan
captopril. Obat uang memiliki mekanisme kerja hampir serupa dengan penghambat ACE
adalah penghambat reseptor angiotensin II (AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif
dalam mekanisme kerjanya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit (misalnya
terhadap timbulnya batuk) dibandingkan dengan golongan penghambat ACE. 6

2.3. Penyakit Ginjal Kronik


1. Definisi
23
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah istilah baru
yang ditetapkan oleh National Kidney Foundation Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (KDOQI) Group untuk mengklasifikasikan:
 pasien yang mengalami kerusakan ginjal selama sekurang-kurangnya 3 bulan
dengan atau tanpa penurunan LFG; atau
 pasien yang memiliki GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.13

2. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik menjadi salah satu penyakit ginjal pada anak yang memiliki
angka mortalitas dan mobiditas yang tinggi dan menyebabkan berbagai efek negatif
terhadap perkembangan fisik, biologis dan sosial ekonomi anak dan keluarga. Angka
prevalensi dan insidensi CKD dan gagal ginjal di berbagai benua dan negara di dunia
cenderung tinggi. Di Amerika Serikat, Pada stadium dialsis atau stadium akhir penyakit
ginjal, prevalensi dan insidensi pasien yang menjalani hemodialisis pada anak usia 0-19
tahun pada tahun 2012 mencapai angka diatas 400 tiap 1 juta penduduk. Di Indonesia, data
mengenai penyakit ginjal kronis pada anak usia 0-14 tahun masih belum ada. Di RSCM
Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak mengalami penyakit ginjal kronik antara tahun 1986-
1988.8
3. Etiologi
Faktor risiko kejadian CKD yang sering terjadi salah satunya adalah sindrom
nefrotik. Menurut data dari Pernefri, glomerulopati primer merupakan salah satu penyebab
CKD pada pasien dialisis baru pada tahun 2011 dengan angka kejadian 14%. Di RS
Dr.Cipto Mangunkusumo, penyebab CKD yang ditemukan adalah sindrom nefrotik
(55,5%), infeksi saluran kemih (28,3%), gagal ginjal kronik (7%), neurogenic bladder
(2,6%), nefritis lupus (2,3%). Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
penyakit ginjal kronik antara lain kerusakan akibat proses imunologis yang terus
berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein
dan fosfat, proteinuria yang persisten dan hipertensi sistemik. Penumpukan kompleks imun
antibodi anti membran glomerulus akan menyebabkan inflamasi dan akhirnya
menyebabkan pembentukan jaringan parut.8
Anomali kongenital ginjal dan saluran kemih (CAKUT) adalah penyebab paling
umum CKD yang muncul antara kelahiran dan usia 10 tahun. Setelah usia 10 tahun,

24
penyakit ginjal didapat, seperti glomerulosklerosis fokal segmental dan glomerulonefritis
(GN), merupakan penyebab yang lebih umum dari CKD. Risiko perkembangan penyakit
ginjal stadium akhir (ESRD) terkait dengan penyebab yang mendasari dan tingkat
keparahan CKD. Selama masa pubertas, fungsi ginjal dapat memburuk jika ginjal yang
rusak tidak dapat tumbuh dan beradaptasi dengan kebutuhan yang meningkat.

4. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal masih belum
jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu diantaranya kerusakan
akibat proses imunologis yang berlangsung lama, hiperfiltrasi hemodinamik dalam
mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria yang persisten, dan
hipertensi sistemik. Penumpukan komplex imun atau antibodi terhadap membran basal
glomerulus akan menyebabkan inflamasi glomerulus yang persisten yang pada akhirnya
dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut.13
Kerusakan karena hiperfiltrasi mungkin berperan penting pada tahap akhir
pengrusakan glomerulus. Sekali nefron rusak, nefron yang normal akan menjadi hipertrofi
baik secara struktural maupun fungsional, oleh karena peningkatan aliran darah ke
glomerulus. Peningkatan aliran darah ini akan meningkatkan “tenaga dorong” filtrasi
glomerulus pada nefron yang rusak. Hiperfiltrasi yang menguntungkan dalam
menyelamatkan glomerulus ini (dengan memperbaiki fungsi ginjal), juga dapat merusak
glomerulus dengan mekanisme yang belum jelas. Mekanisme yang diduga berperan antara
lain efek langsung peninggian tekanan hidrostatik terhadap integritas dinding
kapiler,akibat peningkatan pasase protein melewati dinding kapiler atau keduanya.13
Akhirnya, hal tersebut akan menimbulkan perubahan pada sel mesangium dan
epitel yang berkembang menjadi sklerosis. Sewaktu sklerosis melanjut, nefron yang tersisa
mengalami tambahan beban ekskresi yang akan menimbulkan lingkaran setan dengan
meningkatnya aliran darah ke glomerulus dan adanya hipertrofi lagi. Diketahui bahwa diet
tinggi protein mempercepat terjadinya gagal ginjal, mungkin dengan terjadinya dilatasi
arteriol aferen dan kerusakan karena hiperperfusi. Sebaliknya diet rendah protein
dinyatakan dapat menurunkan gangguan fungsi ginjal pada CKD. Apakah efek yang
menguntungkan ini karena dicegahnya penumpukan garam kalsium-fosfat dalam
pembuluh darah dan jaringan, atau karena supresi hormon paratiroid, suatu nefrotoksin
potensial, masih belum jelas. Proteinuria yang menetap dan/atau hipertensi sistemik
apapun sebabnya, dapat langsung menyebabkan kerusakan dinding kapiler glomerulus,
25
yang akhirnya menyebabkan sklerosis glomerulus dan mulainya kerusakan karena
hiperfiltrasi.13

5. Diagnosis
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan
udem , hipertensi, hematuria dan proteinuria. Sedang keluhan yang tidak khas adalah lesu,
lemah, anoreksia, nyeri abdomen, hambatan pertumbuhan dsb. Riwayat keluarga pada
hipoplasia ginjal, nefronoftosis dan sindrom Alport. Penderita CKD stadium 1-3 (LFG .30
ml/menit) biasanya asimptomatik dan gejala klinis biasanya baru muncul pada CKD
stadium 4-5. Kerusakan ginjal yang progresif dapat menyebabkan:
 Peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi hormone vasoaktif
(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif);
 Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati);
 Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadan fatal yaitu aritmia;
 Gejala anemia akibat sintesis eritropoitin yang menurun;
 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3);
 Asidosis metabolik akibat penumpukan sulfat, fosfat dan asam urat.13

Pemeriksaan penunjang
 Darah : darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit (K, Na, Cl, Ca dan P), analisis gas darah (
asidosis metabolik dan anion gap meningkat) dan biakan.
 Urin : sedimen, pH, berat jenis, protein, volume 24 jam
 EKG, foto thoraks dan abdomen
 Pemeriksaan khusus : C3, spektrum protein, kolesterol dan alkali fosfatase, USG
abdomen, IVP, MSU, foto tulang (bone survey). Sedapat mungkin dilakukan biopsy
(secara teknis sulit sebab ginjal mengerut).13

Menghitung LFG dengan rumus Schwartz13

26
CKD dibagi menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal
kerusakan ginjal:13

Anak dengan CKD harus dievaluasi untuk menentukan:


 Diagnosis (jenis penyakit ginjal);
 Kondisi komorbi( hiperlipidemia);
 Derajat keparahan, yang dinilai menggunakan fungsi ginjal;
 Komplikasi, berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal;
 Faktor resiko kehilangan fungsi ginjal;
 Resiko penyakit kardiovaskular.13

6. Tatalaksana
Terapi untuk CKD meliputi:
 Terapi spesifik berdasarkan diagnosis;
 Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid;
 Memperlambat kerusakan fungsi ginjal;
 Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular;
 Pencegahan dan terapi penyakit komplikasi (hipertensi, anemia, gagal tumbuh);
 Penggantian fungsi ginjal dengan dialisis atau bahkan dengan transplantasi ginjal.13

Terapi Konservatif (sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi):13

27
Tujuan : memperlambat atau menghentikan kerusakan glomerulus.
 Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
 Hipertensi : Target tekanan darah < persentil 90 ~ usia dan jenis kelamin. Angiotensin
Coverting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan Angiotensin receptot blocker (ARB) merupakan
pilihan pada CKD
 Infeksi sistemik dan lokal : antibiotika dengan penyesuaian dosis
 Obstruksi saluran kemih : kalau perlu tindakan operatif
 Asidosis : koreksi asidosis metabolik dengan natrium bikarbonat, dosis 1-3
meq/kgBB/hari, disesuaikan dengan derajat asidosis
 Anemia : KDOQI merekomendasikan target Hb 11-12 g/dL dan penderita dengan feritin
serum ,100 ng/mL harus mendapat suplementasi besi. Transfusi bila Hb < 6 mg% dengan
packed red cell secara hati-hati dan lambat Bila memungkinkan dapat diberikan
recombinant human erythropoietin 50-150 ug/kgBB/kali subkutan, 3 kali seminggu sampai
kadar Hb 10 g/dl.
 Osteodistrofi : KDQOI menganjurkan pemeriksaan kalsium dan fosfat tiap bulan dan
kadar PTH minimal setiap 3 bulan. Pasien dengan kadar PTH tinggi (>300 pg/mL) dapat
diberikan vitamin D aktif 0,01-0,05 ug/kgBB/hari. Masukan fosfat harus dikurangi dengan
pemberian kalsium karbonat (CaCO3) 20-50 mg/kg.bb/hari
 Pengaturan diit : protein 0,5-1 g/kg.bb/hari tergantung pada derajat fungsi ginjal
 Gangguan saluran cerna, saraf dan kulit
 Gagal jantung ( konsul divisi kardiologi): furosemid, digitalisasi
 Perikarditis (konsul divisi kardiologi) : pungsi pericardium
 Menghindari obat yang bersifat nefrotoksik
 Menghindari pemakaian kontrast radiologik.

Pengobatan pengganti13
 Peritoneal atau hemodialisis, dengan indikasi acute on chronic renal failure: klirens
kreatinin < 15 ml/menit/1,73 m2 (CKD stadium 5), atau timbul gejala uremia berat seperti
kesadaran menurun, hiperkalemia, pendarahan, dekompensasi jantung dan udem paru.
 Transplantasi ginjal.

28
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IdentitasPasien

 Nama :CMS
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir : 10 Januari 2008
 Usia: : 13 Tahun
 Alamat : Prape Praya
 Nomor RM : 183964
 Tanggal MRS : 17 Desember 2021
 Tanggal Pemeriksaan : 22 Desember 2021

Identitas Orang Tua Ibu Ayah


Nama Ny. SH Tn. H
Usia 42 tahun 44 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Pekerjaan Karyawan Swasta Karyawan Swasta

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan orang tua pasien didukung


dengan data dari rekam medis pasien.

a. Keluhan utama
Bengkak Pada Muka
b. Riwayat penyakitsekarang (Alloanamnesis)
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Praya dengan keluhan utama
bengkak pada daerah wajah. Keluhan tersebut sudah dialami sejak 1 tahun yang
lalu, awalnya bengkak dialami pada daerah ke dua kaki dan setelah 2 bulan pasien
mengalami bengkak di area wajah dan di seluruh area tubuh. Dari keterangan
Orang tua pasien, tidak terlalu memperhatikan awal terjadinya bengkak, orang tua

29
mengira bahwa pasien hanya mengalami kegemukan. Setelah beberapa bulan
kemudian keluhan bengkak semakin bertambah sehingga pasien di bawa periksa ke
dokter.
Bengkak yang dialami pasien disertai dengan hipertensi dengan Tekanan
darah 140/90 mmHg. Keluhan seperti demam, batuk, dan pilek disangkal. Keluhan
lain seperti penyakit autoimun, riwayat kejang dan DM disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal, nafsu makan baik namun dari keterangan orang tua, pasien
banyak minum dan sering merasa haus.

c. Riwayat penyakit dahulu


 Pada tanggal 23 November 2020 pasien di rawat di RSUD Praya dengan
keluhan bengkak di seluruh tubuh.
 Dua bulan setelah menjalai rawat inap di RSUD praya keluhan begkak
kambuh dan pasien menjalani rawta inap di RS GERUNG selama 22 hari.
 Setelah 2 minggu selesai menjalani perawatan di RS GERUNG, keluhan
pasien kembali terjadi dan dirawat selama 3 hari di RSUD PRAYA.
 Satu bulan setelah perawtan di RSUD PRAYA pasien kembali dirawat
dengan keluhan yang sama dan menjalani perawatan selama 5 hari.
 Setelah selesai menjalani perawatan, 1 minggu setelahnya pasien kontrol di
RSUD PRAYA, yang kemudian pasien di rujuk menuju RSUP NTB.

d. Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal oleh orang tua pasien.
 Riwayat penyakit metabolik seperti hipertensi dan diabetes mellitus
disangkal.
 Riwayat penyakit jantung, ginjal, autoimun pada keluarga disangkal.
 Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal.
 Riwayat alergidisangkal.

30
e. Genogram

Laki-laki Pasien
Keteranga
n
Perempuan Tinggal satu rumah

f. Riwayat kehamilan
Antenatal care dilakukan setiap bulan secara rutin di spesialis kandungan.
Setiap control dilakukan pemeriksaan USG, dan tidak didapatkan keluhan. Ibu
pasien mengkonsumsi vitamin dan obat penambah darah selama kehamilan.
Keluhan demam, keputihan, perdarahan, dan sakit selama kehamilan disangkal.
Berat badan sebelum hamil dan setelah hamil ibu diakui lupa.
g. Riwayat persalinan
Pasien lahir dari Ibu G2P2A0H2 dan saa titu ibu pasien berusia 30 tahun.
Pasien lahir dengan cara normal .Berat badan pasien saat lahir 3000 gram, pasien
diakui langsun gmenangis secara spontan dan tangisan kuat. Setelah lahir, bayi
langsung dirawat bersama ibu.
h. Riwayat makanan
Pasien mendapat ASI eksklusif sejak lahir hingga usia 6 bulan dan tetap
diberikan hingga usia pasien 2 tahun. MPASI mulai diberikan sejak pasien berusia
6 bulan. Susu formula mulai diberikan sejak usia 2 tahun. Saat ini pasien makan
dengan frekuensi 3x sehari dengan nasi beserta lauk pauk yang bervariasi.

31
i. Riwayat imunisasi

Imunisasi Dasar
BCG 1x Pada umur: 1 bulan
Hep B 4x Pada umur: 0, 2, 3, 4 bulan
DPT 3x Pada umur: 2, 3, 4 bulan
HiB 3x Pada umur: 2, 3, 4 bulan
Polio 4x Pada umur: 0, 2, 3, 4 bulan
Campak 2x Pada umur: 9, 18bulan

j. Riwayat sosio-ekonomi-lingkungan
- Pekerjaan orang tua pasien adalah karyawan swasta. Pasien menggunakan
BPJS dalam membayar tagihan rumah sakit. Diakui penghasilan orang tua
cukup Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Pasien tinggal Bersama orang tua pasien di sebuah perumahan tidak padat
penduduk dan diakui bersih. Sumber air sehari-hari adalah PDAM dan air
minum dari air gallon kemasan. Ventilasi dan pencahayaan dalam rumah diakui
cukup. Di sekitar pasien tidak ada yang merokok. Polusi udara lainnya seperti
pembakaran sampah disangkal.
k. Anamnesis sistem
- Thermoregulasi : demam (-), menggigil (-)
- Sistem serebrospinal : kejang (-), penurunankesadaran (-)
- Sistem kardiovaskular : kebiruan (-), bengkak (-)
- Sistem respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak (-)
- Sistem gastrointestinal : BAB (+) normal, diare (-), muntah (-)
- Sistem urogenital : BAK (+) berwarna kuning
- Sistem integumentum : pucat (+), ruam (-). Ikterik (-)
- Sistem musculoskeletal : Gerakan involunter (-), kelemahan gerak (-)

32
3.3 PemeriksaanFisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 Desember 2021 di Bangsal Gili


Nanggu RSUD Provinsi NTB.

a. Keadaan umum
Keadaan umum sedang dengan kesadaran compos mentis.
b. Pediatric Assessment Triangle
- Penampilan
o Tonus adekuat, interactiveness adekuat, consolability adekuat,
look/gaze adekuat, speech/cry adekuat.
- Upaya napas
o Sesak (-), retraksi dinding dada (-), napas cuping hidung (-).
- Perfusi kulit
o Pucat (+), sianosis (-), mottling (-), ikterik (-).
- Kesimpulan PAT normal.
c. Tanda-tanda vital
- Nadi : 90 x/menit, teratur, kuat angkat
- Pernapasan : 22 x/menit
- Suhu tubuh :36,7OC melalui pengukuran aksila
- SpO2 : 98% dalam udara ruangan
- Tekanan darah : 130/80 mmHg

d. Antropometri
- Klinis : tampak kurus (-), edema (+)
- Berat badan : 45 kg
- Tinggi badan : 155 cm
- Berat badan ideal (R. Broca): (155-100)-((155-100)x15%)) = 46,75 kg
- Lingkar kepala : 51,5 cm
- Lingkar lengan atas : 25 cm
- BMI : 18,73 kg/m2

33
e. Pemeriksaan lokalis
- Kepala
o Inspeksi : kesan normocephal, persebaran rambut merata dan berwarna
hitam, hematoma (-), massa (-)
o Palpasi : kesan massa (-), krepitasi (-)
- Wajah : malar rash (-), wajah dismorfik (-), edema palpebra (+),full moon
face (+)
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor (+3 mm/+3
mm), reflex cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
- Hidung : deformitas (-), masaa (-), deviasi septum (-), sekret (-), perdarahan (-)
- Telinga : deformitas (-), tanda-tanda inflamasi (-), sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut : oral ulcers (-)
- Faring : hiperemis (-)
- Gigi : gigi kesan lengkap, karies gigi (-)
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), massa (-)
- Kulit : pucat (-), ruam (-). sianosis (-), ikterik (-)
- Kelenjar limfe : pembesaran kelenjar limfe (-)
- Otot : otot kesan eutrofi, nyeri (-)
- Tulang : deformitas (-), fraktur (-)
- Sendi : Range of Motion terbatas (-), nyeri (-)

Pemeriksaan khusus
- Thorax : bentuk dada simetris, pectus excavatum (-), pectus carinatum (-),
tarikan dinding dada (-)
- Jantung
o Batas jantung : jantung berada di sebelah kiri
o Suara jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru-paru (depan)
o Inspeksi : gerak napas simetris, retraksi (-), massa (-), ictus cordis
prominen (-)
o Palpasi : massa (-)
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler (+/+), stridor (-/-), cracles (-/-), wheezing (-/-)

34
- Paru-paru (belakang)
o Inspeksi : gerak napas simetris
o Palpasi : massa (-)
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler (+/+), stridor (-/-), cracles (-/-), wheezing (-/-)
- Perut : soepel (+), distensi (-), bising usus (+) dalam batas normal, timpani (+)
di seluruh lapang abdomen, nyeri tekan (-),kesan massa (-), undulasi (-),
shifting dullness (-)
- Hepar : hepart idak teraba
- Lien : lien tidak teraba
- Anogenital : tidak dievaluasi
- Ekstremitas atas
o Turgor kulit baik, hangat (+/+), sianosis (-), CRT <2 detik
o Gerakan : aktif pada kedua lengan
o Kekuatan : (+5/+5)
o Tonus : baik pada kedua lengan
o Klonus : (-/-)
o Refleks fisiologis : biceps (+2/+2), triceps (+2/+2)
o Refleks patologis : Hoffman tromner (-/-)
o Sensibilitas : sensitif pada kedua lengan
o Edema : (+/+) pitting
- Ekstremitas bawah
o Turgor kulit baik, hangat (+/+), sianosis (-), CRT <2 detik
o Gerakan : aktif pada kedua tungkai
o Kekuatan : (+5/+5)
o Tonus : baik pada kedua tungkai
o Klonus : (-/-)
o Refleks fisiologis : patella (+2/+2), achilles (+2/+2)
o Refleks patologis : babinski (-/-)
o Sensibilitas : sensitif pada kedua lengan
o Edema : (+/+) pitting

35
3.4 PemeriksaanPenunjang
Laboratorium
Tanggal pemeriksaan 04-12-2021
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.4 g/dL 12.0-16.5
Lekosit 12840 /uL 4000-10000
Eritrosit 3.17 Juta/uL 3.50-5.00
Trombosit 266000 /uL 150000-400000
Hematokrit 26 % 36-48
MCV 82.0 fL 80.0-100.0
MCH 29.7 pg 26.0-34.0
MCHC 36.2 g/dL 32.0-36.0
RDW-SD 40.5 fL 35.0-47.0
RDW-CV 13.4 % 11.5-14.5
PDW 9.0 fL 9.0-13.0
MPV 9.0 fL 7.2-11.1
P-LCR 16.2 % 15.0-25.0
PCT 0.24 % 0.15-0.40
Retikulosit 2.4 % 0.2-2.0
HITUNG JENIS
Basofil 0.1 % 0.0-1.0
Eosinofil 0.0 % 1.0-26.0
Neutrofil 93.3 % 50.0-70.0
Limfosit 4.8 % 20.0-40.0
Monosit 1.8 % 2.8-8.0

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum 52 mg/dL 10-50
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.6-1.1
Serum Iron 60.5 mg/dL 62.0-173.0
UIBC 56.0 -
TIBC 116.5 mg/dL 253.0-435.0
FUNGSI HATI
Albumin 2.9 mg/dL 3.8-5.4

36
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
URINALISA
Berat Jenis 1.010 1.010-1.030
pH 6.5 5.0-7.5
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 2 mg/dL Negatif
Glukosa Negatif mg/dL Negatif
Keton Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen 0.1 mg/dL Negatif
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Darah/HB Negatif mg/dL Negatif
Lekosit Negatif - Negatif

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


IMUNO-SEROLOGI
HEPATITIS
Ferritin 343.55 ng/mL Laki-laki :208-434

Wanita:45-159

Wanita
Menopouse:118-
278

37
Tanggal pemeriksaan 17-12-2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.8 g/dL 12.0-16.5
Lekosit 16980 /uL 4000-10000
Eritrosit 3.55 Juta/uL 3.50-5.00
Trombosit 373000 /uL 150000-400000
Hematokrit 28 % 36-48
MCV 80.0 fL 80.0-100.0
MCH 30.4 pg 26.0-34.0
MCHC 38.0 g/dL 32.0-36.0
RDW-SD 37.3 fL 35.0-47.0
RDW-CV 13.1 % 11.5-14.5
PDW 9.5 fL 9.0-13.0
MPV 10.2 fL 7.2-11.1
P-LCR 25.4 % 15.0-25.0
PCT 0.38 % 0.15-0.40
HITUNG JENIS
Basofil 0.3 % 0.0-1.0
Eosinofil 0.0 % 1.0-26.0
Neutrofil 77.3 % 50.0-70.0
Limfosit 14.2 % 20.0-40.0
Monosit 8.2 % 2.8-8.0
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum 74 mg/dL 10-50
Kreatinin 1.7 mg/dL 0.6-1.1
FUNGSI HATI
Albumin 2.5 mg/dL 3.8-5.4

38
Tanggal pemeriksaan 21-12-2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.6 g/dL 12.0-16.5
Lekosit 19450 /uL 4000-10000
Eritrosit 3.54 Juta/uL 3.50-5.00
Trombosit 282000 /uL 150000-400000
Hematokrit 27 % 36-48
MCV 77.4 fL 80.0-100.0
MCH 29.9 pg 26.0-34.0
MCHC 38.7 g/dL 32.0-36.0
RDW-SD 35.9 fL 35.0-47.0
RDW-CV 12.7 % 11.5-14.5
PDW 7.7 fL 9.0-13.0
MPV 8.7 fL 7.2-11.1
P-LCR 13.9 % 15.0-25.0
PCT 0.25 % 0.15-0.40
HITUNG JENIS
Basofil 0.2 % 0.0-1.0
Eosinofil 0.3 % 1.0-26.0
Neutrofil 85.1 % 50.0-70.0
Limfosit 8.1 % 20.0-40.0
Monosit 6.3 % 2.8-8.0

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum 79 mg/dL 10-50
Kreatinin 1.2 mg/dL 0.6-1.1
FUNGSI HATI
Albumin 2.3 mg/dL 3.8-5.4
3.5 Resume
39
Subjektif
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada wajah yang dialami berulang sejak 1
tahun terakhir. Bengkak juga dialami pada kedua kaki dan di seluruh tubuh. Keluhan lain
seperti volume urin menurun, urin keruh, atau urin berwarna merah disangkal. Gejala
infeksi seperti demam atau nyeri saat berkemih disangkal. Pasien memiliki riwayat
bengkak pada wajah yang berulang sejak 1 tahun yang lalu, awalnya pada bulan November
2020. Sejak saat itu, pasien pernah menjalani rawat inap sebanyak kurang lebih empat kali
di RSUD Praya, RSUD Gerung, dan saat ini di RSUP Provinsi NTB. Keluhan lain seperti
penyakit autoimun, riwayat kejang dan DM disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal,
nafsu makan baik namun dari keterangan orang tua, pasien banyak minum dan sering
merasa haus.

Objektif

Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien juga mengalami peningkatan tekanan darah,
Hasil pemeriksaan lainnya didapatkan full moon face, edema palpebral, edema pitting pada
kedua ekstremitas superior dan inferior pada pasien. Tidak didapatkan adanya efusi pleura
maupun asites. Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien menunjukkan adanya anemia
sedang normositik normokromik, peningkatan retikulosit, peningkatan neutrofil. Selain itu
pada pasien didapatkan peningkatan ureum dan kreatinin, albuminemia, dan peningkatan
TIBC, serum iron normal. Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria positif 2.

3.6 Diagnosis kerja

 Sindrome Nefrotik Resistensi Steroid


 CKD Stage III
 Hipertensi grade I

3.7 Rencana Pengobatan di Rumah Sakit


 Planning diagnostik

40
o Pemeriksaan laboratorium Hematologi (Darah Lengkap)
o Pemeriksaan laboratorium Urin Lengkap
o Pemeriksaan laboratorium Kimia Klinik (fungsihati, fungsiginjal, elektrolit
serum)
 Planning diet
o Diet anak rendah garam cukup protein
o Kebutuhan kalori : 1750-1900 kal
o Kebutuhan cairan : restriksi cairan, 600-700 ml/24 jam
o Kebutuhan protein 1,5 g/kgbb/hari x 45 = 67,5 g
o Diet rendah garam : 1,5 g/kgbb/hari x 45= 67,5 g
 Planning terapi
o Infus D5 ½ NS 500 ml habis dalam 24 jam
o Transfusi albumin 20% 100 ml
o CPA (siklofosfamid) 700 mg IV dosis tunggal
o Mesna 140 mg IV dosis tunggal
o Ondansetron 6 mg IV dosis tunggal
o Prednison 4-4-4 mg / hari (AD)
o Captopril 3x12.5 mg per oral
o Amlodipin 1x5 mg per oral
o Furosemid 2x2 mg per oral
 Planning monitoring
o Tanda vital
o Balance cairan
o Protein urin
3.8 Edukasi
 Penjelasan kepada orang tuamengenaipenyakit yang diderita pada anak.
 Penjelasan kepada orang tua mengenai pengobatan atau tatalaksana yang diberikan
kepada anak karena harus ditangani oleh dokter.
 Penjelasan kepada orang tua apabila menemukan kembali beberapa tanda pada
anak dan agar segera membawa kembali kedokter Untuk diperiksa.

3.9 Hasil Follow Up Harian

41
Hari /
Subjective Objective Assessment Planning
tanggal
-Infus D5 ½ NS 500
ml habis dalam 24
KU : sedang jam
TD : 130/80 mmHg -Prednison 4-4-3 mg
Sindrom nefrotik / hari
HR : 88x/menit
23/12/ Bengkak relaps sering + -Captopril 3x12.5
RR : 20x/menit mg per oral
2021 berkurang Hipertensi grade
Suhu : 36,4 OC -Amlodipin 1x5 mg
SpO2 : 98% udara 1 + CKD stage 2 per oral
ruangan -Furosemid 2x2 mg
per oral

-Infus D5 ½ NS 500
ml habis dalam 24
jam
KU : sedang -Prednison 4-4-3 mg
HR : 90x/menit Sindrom nefrotik / hari
24/12/ Bengkak RR : 21x/menit relaps sering + -Captopril 3x12.5
2021 berkurang Suhu : 36,6 OC Hipertensi grade mg per oral
TD : SpO2 : 98% -Amlodipin 1x5 mg
1 + CKD stage 2 per oral
udara ruangan
-Furosemid 2x2 mg
per oral

42
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada wajah yang dialami berulang sejak 1
tahun terakhir. Bengkak juga dialami pada kedua kaki dan di seluruh tubuh. Keluhan lain
seperti volume urin menurun, urin keruh, atau urin berwarna merah disangkal. Gejala
infeksi seperti demam atau nyeri saat berkemih disangkal. Pasien memiliki riwayat
bengkak pada wajah yang berulang sejak 1 tahun yang lalu, awalnya pada bulan November
2020. Sejak saat itu, asien pernah menjalani rawat inap sebanyak kurang lebih empat kali
di RSUD Praya, RSUD Gerung, dan saat ini di RSUP Provinsi NTB. Pasien termasuk ke
dalam sindorm nefrotik relaps sering, dikarenakan terjadi relaps ≥ 4 x dalam periode 1
tahun.5 Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien juga mengalami peningkatan tekanan darah.
Hasil pemeriksaan lainnya didapatkan full moon face, edema palpebral, edema pitting pada
kedua ekstremitas superior dan inferior pada pasien. Tidak didapatkan adanya efusi pleura
maupun asites.
Status gizi pasien termasuk kategori normal berdasarkan perhitungan dengan CDC
tahun 2000, yaitu sebagai berikut:
 Berat badan terhadap usia (BB/U): 25-50 persentil
 Tinggi badan terhadap usia (TB/U): 25-50 persentil
 BMI terhadap usia: 25-50 persentil : normal.

43
Pasien memiliki tekanan darah 130/80 mmHg, dimana termasuk ke dalam
hipertensi grade I berdasarkan usia persentil dan tinggi badan. Dengan perhitungan sebagai
berikut:
 Persentil TB/U : 25-50 percentile
 Persentil tekanan darah: sistolik 99 percentile
 Tekanan darah pasien 130/80 mmHg yang termasuk hipertensi grade I.

Pasien mengalami hipertensi sekunder akibat dari sindrom nefrotik. Terjadinya


hipertensi pada sindrom nefrotik bersifat multifaktorial, yaitu terkait dengan sejumlah
faktor intrinsik dan ekstrinsik / lingkungan ginjal dan non-ginjal. Faktor ginjal termasuk
retensi natrium, fibrosis/penurunan GFR dan perkembangan penyakit ginjal, dan baru-baru
ini, loop feed-forward antara albuminuria dan tekanan darah telah dijelaskan. Di sisi lain,
faktor ekstra-ginjal termasuk efek samping pengobatan, kondisi komorbiditas, dan
kecenderungan genetik. Penanganan natrium pada sindrom nefrotik tidak hanya memiliki
peran sentral dalam perkembangan edema tetapi juga memainkan peran penting dalam
pengaturan tekanan darah. Dua hipotesis utama telah diajukan untuk menjelaskan
perkembangan retensi natrium pada sindrom nefrotik: hipotesis underfill dan overfill.
Dalam hipotesis underfill, hipovolemia akibat tekanan onkotik rendah dan third-spacing
menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan retensi natrium.
Dalam hipotesis overfill, RAAS ditekan dan diyakini bahwa retensi natrium terkait dengan
defek ginjal intrinsik dalam penanganan natrium.12

44
Keluhan bengkak pada kelopak mata dan tungkai sering ditemukan pada sindrom
nefrotik. Pada kondisi yang lebih berat dapat ditemukan asites, efusi pleura, dan edema
genitalia. Pada pemeriksaan fisik yang jelas ditemukan adalah udem (pitting udem pada
ekstremitas bawah). Kadang kadang udem anasarka (asites, udem skrotum/labia,
hidrotoraks/efusi pleural).5 Kebocoran protein dari proses filtrasi pada sindrom nefrotik
kemudian dapat berimbas menajadi rendahnya kadar protein dalam plasma darah. Hal ini
mempengaruhi tekanan onkotik yang diatur oleh kadar albumin itu sendiri. Kadar albumin
yang rendah menyebabkan berkurangnya tekanan onkotik plasma sehingga cairan
intravaskuler dapat berdifusi ke jaringan ekstravaskuler yang menghasilkan klinis edema.
Hal ini diperberat juga oleh sekresi aldosterone yang meningkat sehingga menyebabkan
retensi dari cairan. Efek lainnya dari kadar albumin yang menurun yaitu tubuh
mengompensasi dengan meningkatkan produksi protein, akan tetapi efeknya juga terjadi
peningkatan produksi lipid sehingga pada pasien SN bisa terjadi hiperlipidemia.3-5
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal ditemukan pada pemeriksaan
laboratorium, yaitu hematuria mikroskopik 22%, hipertensi 15-20%, dan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara 32%.  Hipertensi dapat
ditemukanpada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas
steroid. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam
atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick
≥ 2+). Pada pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (<2,5g/dL),
hiperkolesterolemia (>200mg/dL). Kadar ureum dan kreatinin biasanya ditemukan normal
kecuali jika terdapat penurunan fungsi ginjal.5
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien menunjukkan adanya anemia sedang
normositik normokromik, peningkatan retikulosit, peningkatan neutrofil. Anemia dapat
terjadi akibat sintesis eritropoitin yang menurun.13 Selain itu pada pasien didapatkan
peningkatan ureum dan kreatinin, albuminemia, dan peningkatan TIBC, serum iron
normal. Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria positif 2. Proteinuria yang
menetap dan/atau hipertensi sistemik apapun sebabnya, dapat langsung menyebabkan
kerusakan dinding kapiler glomerulus, yang akhirnya menyebabkan sklerosis glomerulus
dan mulainya kerusakan karena hiperfiltrasi. Sindrom nefrotik dapat menyebabkan ginjal
kehilangan fungsinya seiring waktu.13 Berdasarkan rumus Schwartz, pada pasien
didapatkan hasil laju filtrasi glomerulus 50,2 ml/mnt/1,73 m2, yang artinya pasien
mengalami kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang (stadium 3) pada CKD.13

45
Berdasarkan hal tersebut, pasien didiagnosis dengan sindorm nefrotik (SN) resisten
steroid, Hipertensi grade I, dan CKD stadium 3.
Pasien dilakukan perawatan rawat inap karena kasus resistensi steroid, disertai
adanya komplikasi hipertensi dan gagal ginjal. Pasien diberikan terapi steroid berupa
prednisone 3 x 4 mg / hari (AD). Sejak awal ditemukan proteinuria positif 2 disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan. Pada SN
idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi.
Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolone. Pada pasien resisten
steroid, Setelah remisi dengan prednison dosis penuh (60mg/m2 LPB/hari), lanjut dengan
steroid 1,5mg/kgbb secara alternating, lalu diturunkan bertahap 0,2mg/kgbb tiap 2 minggu
hingga 0,1-0,5mg/kgbb dan dipertahankan 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Jika
relaps dengan dosis 0,1-0,5 mg/kgbb, terapi prednison 1mg/kgbb dosis terbagi, sampai
remisi. Setelah remisi turunkan menjadi 0,8 mg/kgbb, lalu turunkan 0,2 mg/kgbb tiap 2
minggu sampai 0,2-0,6 mg/kgbb.5
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali,
dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.5
Pasien juga diberikan CPA (siklofosfamid) 700 mg dosis tunggal, mesna 140 mg
dosis tunggal, dan ondansetron 6 mg dosis tunggal. Pada pasien dengan SN resisten
steroid, dosis pemberian CPA oral adalah 2-3 mg/kgbb/hari selama 3-6 bulan,5,14 sementara
CPA puls diberikan dengan dosis 500-700 mg/m2 diberikan melalui intravena satu kali
dalam satu bulan dan dapat dilanjutkan sesuai dengan keadaan pasien. Selama pemberian
CPA, prednisone dosis alternating (AD) dapat diberikan dengan dosis 40 mg/m2LPB/hati,
kemudian diturunkan dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
dosis 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). Efek samping CPA
meliputi sistitis hemoragik, supresi sumsum tulang, infertilitas, alopesia, infeksi,
karsinogenik, serta keluhan pada traktus gastrointestinal. 14 CPA telah diperkenalkan pada
tahun 1967 dalam protokol sindrom nefrotik sebagai obat sitotoksik pertama yang efektif
mengurangi kebutuhan steroid pada anak-anak dengan diagnosis ini. Sejak itu, berbagai
protokol telah diterbitkan dengan berbagai paparan obat kumulatif, mulai dari 84 mg/kg
46
hingga lebih dari 300 mg/kg. Studi yang dilakukan oleh Cucer et al (2010) menunjukkan
bahwa pengobatan dengan CPA masih dapat menjadi pilihan terapi sindrom nefrotik
resisten steroid, dengan remisi pada 43,1% kasus yang termasuk ke dalam studi tersebut.
Namun, tetap harus diperhaikan risiko jangka panjang dari penggunaan CPA termasuk
risiko onkologi.15 Mesna diberikan pada pasien sebagai obat profilaksis untuk mengurasi
insidensi sistitis hemoragik pada penggunaan obat CPA maupun ifosfamide. Mesna
tersedia dalam bentuk injeksi (100 mg/ml) yang dapat diinjeksikan atau dalam bentuk
infus intravena dan juga dalam bentuk tablet oral 400 mg. Mesna biasanya pertama kali
diberikan sebagai suntikan bersamaan dengan CPA atau ifosfamide. Jika dianggap masih
diperlukan setelah dosis awal, bentuk sediaan oral (tablet 400 mg) biasanya diberikan 2
hingga 6 jam setelah terapi berikutnya. Baik CPA maupun mesna memiliki efek samping
pada traktus gastrointestinal, seperti mual, muntah, nyeri perut. Sehingga, pada pasien juga
diberikan Ondansetron yaitu 5HT3-antagonist sebagai obat antiemetik.16
Pada pasien juga diberikan diuretik untuk mengatasi edema. Diuretik yang
diberikan yaitu furosemide 40 mg IV, diberikan transfusi albumin 20% 100 ml 1x24 jam
selama 3 hari, selanjutnya dengan furosemide oral 2x2mg. Pada pasien dengan sindrom
nefrotik biasanya diberikan loop diuretik berupa furosemide 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hypovolemia.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,
suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran
cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.5
Terapi antihipertensi yang diberikan pada pasien adalah golongan ACE-Inhibitor
yaitu captopril 2x12,5 mg per oral dan calcium-channel blocker yaitu amlodipine 1x5 mg
per oral. Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan
dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan beta-blocker merupakan obat yang dianggap
aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu
dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah
47
ACE (angiotensin converting enzyme) Inhibitor pada anak uang menderita diabetes
melitus atau terdapat proteinuria, serta Beta-adrenergic atau penghambat calcium-channel.
Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya, misalnya pada
glomemlonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretik merupakan pilihan utama,
karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium dan air. Golongan
penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan karena memiliki
keuntungan mengurangi proteinuria.6
Tatalaksana untuk penyakit ginjal kronik pada pasien yaitu dapat berupa
konservatif. Tujuannya untuk memperlambat atau menghentikan kerusakan glomerulus,
yaitu menjaga keseimbangan air dan elektrolit, target tekanan darah < persentil 90
berdasarkan usia dan jenis kelamin, KDOQI merekomendasikan target Hb 11-12 g/dL dan
penderita dengan feritin serum ,100 ng/mL harus mendapat suplementasi besi, Pengaturan
diit : protein 0,5-1 g/kg.bb/hari tergantung pada derajat fungsi ginjal, Menghindari obat
yang bersifat nefrotoksik, Menghindari pemakaian kontrast radiologik.13
Terapi non farmakologis yang dianjuran adalah diet rendah garam, diet protein
tergantung derajat fungsi ginjal. Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit
rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari.5 Diet rendah garam yang
dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8 tahun dan 1,5 g/hari pada anak yang lebih
besar. Diet rendah garam yang dikombinasikan dengan buah dan sayuran, serta diet rendah
lemak menunjukkan hasil yang baik untuk menurunkan tekanan darah pada anak. Asupan
makanan mengandung kalium dan kalsium juga merupakan salah satu upaya untuk
menurunkan tekanan darah.6

48
BAB V
KESIMPULAN

Pasien datang dengan keluhan bengkak pada wajah dan ekstremitas yang dialami
berulang sejak 1 tahun terakhir. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan full moon face,
edema palpebral, edema pitting pada kedua ekstremitas superior dan inferior pada pasien.
Tidak didapatkan adanya efusi pleura maupun asites. Pasien juga mengalami peningkatan
tekanan darah dan juga didiagnosis dengan hipertensi grade 1. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada pasien menunjukkan adanya anemia sedang normositik normokromik,
peningkatan ureum dan kreatinin, albuminemia. Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan
proteinuria positif 2. Berdasarkan hal tersebut, pasien didiagnosis dengan sindrom nefrotik
(SN) resisten steroid, Hipertensi grade I, dan CKD stadium 3.
Pasien dilakukan perawatan rawat inap karena kasus resisten steroid, disertai
adanya komplikasi hipertensi dan gagal ginjal. Pasien diberikan terapi steroid berupa
prednisone, CPA dan mesna, diuretik dan transfusi albumin untuk mengatasi edema, dan
antihipertensi yang diberikan pada pasien adalah golongan ACE-Inhibitor yaitu captopril
dan calcium-channel blocker yaitu amlodipine Terapi non farmakologis yang dianjuran
adalah diet rendah garam, diet protein tergantung derajat fungsi ginjal.. Tatalaksana untuk
penyakit ginjal kronik pada pasien yaitu bersifat konservatif. Tujuannya untuk
memperlambat atau menghambat kerusakan glomerulus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Satinder Kakar, Vishal Kumar, Ramandeep Singh. Latest research progress on acute
nephrotic syndrome. J Acute Dis 2017; 6(6): 255-259.
2. Mallory L. Downie, Claire Gallibois, Rulan S. Parekh & Damien G. Noone
(2017) Nephrotic syndrome in infants and children: pathophysiology and

49
management, Paediatrics and International Child Health, 37:4, 248-258, DOI:
10.1080/20469047.2017.1374003
3. Tapia C., Bashir K., Nephrotic Syndrome. Statpearls Publishing. 2019. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/
4. Kopač M. Nephrotic Syndrome in Children – Present State and Future
Perspectives. Journal of Nephrology Research 2018; 4(1): 139-145 Available from:
URL: http: //www.ghrnet.org/index.php/jnr/article/view/2289
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia.. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
pada Anak. 2012. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tata Laksana Hipertensi pada Anak. 2011.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Pardede, Sudung, O., dan Chunnaedy, Swanty. Penyakit Ginjal Kronik pada anak.
Sari Pediatri. 2009; 11(3): 199-206
8. Pambudi, Arif Rifqi, dan Muryawan, M. Heru. Karakteristik Kejadian Penyakit Ginjal
Kronik Pada Sindrom Nefrotik Anak. Media Medika Utama. 2015; 4(4): 418-426
9. Kliegman R.M., et al. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th Ed. Elsevier
Saunders.
10. Rubin R., Strayer. D.S., 2012. Pathology: Clinicopathologic Foundations of Medicine.
6th ed. Lippincott Williams & Wilkins
11. Trihono, Partini Pudjiastuti. Hipertensi pada Anak. 2016. IDAI
12. Shatat IF, Becton LJ, Woroniecki RP. Hypertension in Childhood Nephrotic
Syndrome. Frontiers in Pediatric. 2019; 7:287.
13. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis: Kesehatan Anak. 2015. Jakarta: IDAI
14. Pardede, Sudung O., dan Rahmartani. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid pada Anak. Majalah Kedokteran UKI. 2016;32(2): 90-99
15. Cucer, Florentina, et al. Treatment with Cyclophosphamide for Steroid-resistant
Nephrotic Syndrome in Children. Maedica - a Journal of Clinical Medicine. 2010;
5(3): 167-170
16. Reddy, Vamsi, dan Winston, Nicole R. Mesna. 2021. NCBI Bookshelf: Statpearls

50

Anda mungkin juga menyukai