LAPORAN KASUS
“Ameloblastoma”
Oleh:
H1A011039
Pembimbing:
2022
AMELOBLASTOMA
Abstrak
Ameloblastoma merupakan suatu neoplasma epitelial jinak dan berkisar 10% dari keseluruhan tumor
odontogenik. Ameloblastoma ditandai dengan pola pertumbuhan yang lambat dan dapat tumbuh
menjadi ukuran yang sangat besar dan menyebabkan deformitas fasial yang berat. Tumor ini paling
sering terjadi di mandibula posterior, terutama pada regio gigi molar ketiga, serta berhubungan
dengan kista folikular atau gigi yang impacted.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis ameloblastoma yaitu foto polos, CT scan
dan MRI. Gambaran radiografi ameloblastoma dapat bervariasi. Sebagian menampakkan gambaran lesi
lusen batas tegas, unilokular, well-corticated, yang sering berhubungan dengan corona gigi impacted
atau tidak erupsi, sehingga tidak bisa dibedakan dengan keratosis odontogenik dan kista dentigerus
pada radiografi. Sebagian ameloblastoma yang lain multilokular dengan septa internal dan honey
comb atau soap bubbles appearance yang seringkali serupa dengan keratosis odontogenik yang
besar.1,2,3
Meskipun demikian, hanya temuan histopatologis yang dapat membantu menentukan keganasan
tumor dan adanya perubahan karsinomatosa.
Katakunci
keratosis odontogenik, kista dentigerus, kista menjadi 2 kelompok yaitu (1) neo- plasma dan
radikular. Sedangkan yang termasuk lesi tumor lain terkait dengan apparatus odonto-
odonteogenik dengan mineralisasi yaitu genik; dan (2) neoplasma dan lesi lain yang
terkait de- ngan tulang. Ameloblastoma sendiri
odontoma, myxoma odontogenik.1
termasuk ke dalam kelompok tipe 1 yang jinak, disebut odonto- genesis. Tiap-tiap gigi
pada sub tipe epitel odonto- genik tanpa berkembang dari (a) ectodermal cells, yang
ektomesenkim odontogenik, bersama-sama berkembang menjadi ameloblast dan regio
dengan squamous odotogenic tumour, gigi luar lain, dan (b) ectomesenchymal cells,
calcifying epi- thelial odontogenic tumor yang mem- bentuk odontoblasts dan papila
(Pindborg tumor), clear cell odontogenic dental. Proses ini dimu- lai pada corona gigi
4,8–10 Tipe solid dan unikistik merupakan da. Kelainan ini menampakkan predileksi
jenis kelamin yang hampir sama dan tidak
ame- lobastoma intraossesus, sedangkan tipe
terdapat ras yang dominan secara spesifik.
periferal terjadi pada jaringan
3,4,6 Penelitian Schafer terkait ameloblas-
lunak/extraosseus. 11 Pembagian seperti ini
toma sinonasal memperlihatkan rata-rata usia
penting karena terapi lesi unikistik dapat lebih
penderita yaitu dekade 6 ke atas dan hampir
konse- rvatif, karena kurang agresif dan
keseluruhan pasien adalah pria. Penjelasan
ukurannya yang lebih kecil daripada tipe solid
dari hal ini kemungkinan bahwa
atau multikistik. 10 ameloblastoma sinonasal memerlukan periode
waktu yang lebih lama sebelum mencapai
Berdasarkan dari hasil histopatologisnya
ukuran tumor yang dapat menimbulkan
ameloblastoma dapat dibedakan menjadi tipe
follicular, plexiform, acanthoma- tous, gejala. 5 Tumor-tumor ini mungkin telah ada
granular cell, basal cell, desmoplastic, pada usia sebelumnya namun silent secara
unicystic, peripheral, dan varian lain yang 5
klinis dan gejalanya tidak spesifik.
lebih jarang seperti cle- ar cell variant, Meskipun bebera- pa penelitian menyatakan
papilliferous keratoameloblastoma. 4,6 bahwa insidensi meningkat pada individu
kulit hitam, namun pada beberapa peneli- tian
Ameloblastoma meskipun jarang dijumpai,
yang luas mengidentifikasi populasi Asia
merupak- an tumor odontogenik yang paling
sebagai kelompok dengan jumlah pasien yang
sering terjadi (10%-
terbanyak. 6 Ame- loblastoma paling sering
2.3 Epidemiologi terjadi di mandibula posterior, terutama pada
11%) dan terhitung sekitar 1% dari seluruh regio gigi molar ketiga, dan berhubungan
dengan kista folikular atau gigi yang
tumor pada regio kepala dan leher. 1,6 Pada
impacted. 2 Seba- gian besar ameloblastoma kelainan defisit nutrisi dan (3) patogenesis
premolar. 5 Pada maxilla, area yang paling perkembangan organ enamel, (d) sel-sel basal
sering terkena yaitu area molar, namun kadang dari epitel permukaan rahang, (e) epitel
dapat juga dijumpai pada regio anteri- or, heterotopik dalam bagian lain tubuh,
sinus maksilaris, cavum nasi, orbita dan khususnya glandula pituitary. 14 Pernyataan
kadangkala hingga ke basis cranii. 6,10,12 bahwa sum- ber ameloblastoma berasal dari
epitel kista odontogenik
2.4 Etiologi
2.5 Gejala Klinis
Ameloblastoma berasal dari sel pembentuk
Secara klinis ameloblastoma biasanya
enamel dari epitel odontogenik yang gagal
asimtomatik dan tidak menyebabkan
mengalami regresi selama perkembangan
perubahan fungsi nervus sensorik. 3
embrional, misalnya sisa dari lamina gigi. 2,6
Bila sisa-sisa ini berada di luar tulang di Tumor ini berkembang dengan lambat,
dalam jaringan lunak dari gingiva atau hingga dapat menampakkan pembengkakan.
mukosa alveolar maka dapat menyebabkan Sebagian besar pasien secara khas datang
ameloblastoma periferal. Sumber lain yang dengan keluhan utama bengkak dan asimetris
mungkin adalah epitel permukaan gingiva dan pada wajah. Terkadang tumor yang kecil dapat
tepi kista odontogenik. 6 teridentifikasi pada foto radiografi rutin.
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor
Faktor penyebab terjadinya ameloblastoma
membentuk pembengkakan yang keras dan
seperti halnya penyebab neoplasma yang lain
kemudian dapat menyebabkan penipisan
pada umumnya belum diketahui dengan jelas.
korteks yang menghasilkan egg shell
Namun beberapa ahli ber- anggapan bahwa
crackling. Pertum- buhan yang lambat juga
beberapa faktor kausatif yang dianggap sebagai
memungkinkan formasi tulang reaktif yang
penyebab terjadinya gangguan
mengarah pada pembesaran masif dan dis-
histodifferensiasi pada ameloblastoma
torsi rahang. Apabila tumor ini diabaikan,
meliputi (1) faktor iritatif non spe- sifik
maka dapat menimbulkan perforasi tulang dan
seperti tindakan ekstraksi, karies, trauma,
menyebar ke jaringan lunak yang menyulitkan
infeksi, inflamasi, atau erupsi gigi, (2)
tindakan eksisi. Nyeri adaka- lanya
dilaporkan dan terkait dengan infeksi
sekunder. Efek yang lain meliputi pergerakan pe- negakan diagnosis. Foto polos tidak dapat
dan pergeseran gigi, resorpsi akar gigi, membedakan antara tumor dengan jaringan
paraestesia bila canalis alveolar in- ferior lunak normal, hanya dapat membedakan
terkena, kegagalan erupsi gigi, dan sangat antara tumor dengan tulang yang normal,
jarang ameloblastoma dapat mengulserasi sedangkan CT scan dan MRI dapat
memperlihatkan- nya dengan jelas. MRI
mukosa. 6
esensial dalam menentukan per- luasan
Secara umum ameloblastoma adalah jinak ameloblastoma maksilar sehingga
namun invasif lokal, sedangkan menentukan prognosis untuk pembedahan
ameloblastoma maksilar nam- pak sebagai
lesi yang lebih agresif dan persisten. Hal ini
kemungkinan disebabkan tulang maxilla yang
tipis dan rapuh, tidak seperti tulang
mandibula yang tebal, yang memungkinkan
penyebaran tumor tanpa halang- an pada
struktur di sekitarnya. Suplai darah yang baik
Gambar 2. (a) Ameloblastoma pada
ke maxilla bila dibandingkan dengan
mandibula sinistra pada foto polos, sebagai
mandibula juga berkontribusi terhadap
lesi yang luas dan ekspansil. (b) CT scan
percepatan penyebaran neoplas- ma lokal ini.
potongan coronal memperlihatkan lesi luas
12 Sedangkan pada pasien-pasien dengan
yang ekspansil, penipisan korteks dan
ameloblastoma sinonasal primer pada sebuah destruksi minimal (Sumber Gumgum S,
penelitian menampakkan adanya lesi massa Hosgoren B, 2005).
dan obstruksi nasal, sinusitis, epistaksis,
bengkak pada wajah, dizziness, dan nyeri
kepala.
gigi yang tidak eru- psi. 1,11 (Gambar 2). seperti enukleasi dan kuretase
memperlihatkan adanya nilai rata-rata kekam-
Computed tomografi (CT-scan)
buhan 90% pada mandibula dan 100% pada
memberikan gam- baran anatomi dari
17
potongan jaringan secara 2 dimensi dan 3 maksila.
dimensi dengan akurat. Keuntungan dari Terapi radiasi, radium, kuretase atau
teknik ini adalah tidak terjadi gambaran yang bahkan skle- rosan kurang tepat.
tumpang tindih dan memberikan gambaran Ameloblastoma memiliki angka kekambuhan
jaringan secara detail dari area yang terlibat. yang tinggi bila dilakukan terapi selain
Pada CT scan ameloblastoma dapat dijumpai
reseksi mandibula. 18 Karena
area kistik atenuasi yang rendah dengan re-
ameloblastoma bersifat invasif, tumor
gio isoatenuasi yang scattered, mencerminkan
maligna secara klinik, maka perawatan
adanya komponen jaringan lunak. Lesi ini
rasional adalah pembedahan secara komplit.
juga dapat menge- rosi korteks dengan
15
perluasan ke mukosa oral disekitar- nya.
Erosi akar gigi didekatnya merupakan
Kawamura 1991 menganjurkan terapi
kekhasan ameloblastoma dan mengindikasikan
konservatif dengan metode dredging untuk
agresifisitas tumor. Meskipun demikian, hanya
mempertahankan bentuk wajah dan mencegah
temuan histopatologis yang dapat membantu
kekambuhan. Metode ini dilakuk- an dengan
menentukan keganasan tumor dan ada- nya
cara setelah dilakukan deflasi dan enukleasi
perubahan karsinomatosa.
terhadap massa tumornya akan terjadi ruang
2.7 Penatalaksanaan kosong yang akan segera terisi oleh jaringan
parut. Kemudian dilakukan pengambilan
Pertimbangan utama dalam menentukan tipe
jaringan parut yang terbentuk secara
perawat- an adalah macam atau tipe lesi yang
berulang-ulang dengan selang waktu dua
meliputi solid- multikistik, unikistik atau lesi
hingga tiga bulan sampai terbentuk tulang
extraoseus. Lesi solid multikistik
memerlukan setidaknya eksisi bedah. Lesi baru yang mengisi ruang secara sempurna. 19
2. Dunfee BL, Sakai O, Pistey R, Gohel A. Radio- logic and pathologic characteristics of
benign and malignant lesions of the mandible. Radiographics.2006;26(6):1751–1768.
3. Chung W, Cox D, Ochs M. Odontogenic cysts, tumors, and related jaw lesions. Head and
neck sur- gery—otolaryngology, 4th edn Lippincott Williams& Wilkins Inc, Philadelphia.
2006;p. 1570–1584.
5. Schafer DR, Thompson LD, Smith BC, Wenig BM.Primary ameloblastoma of the sinonasal
tract. Can- cer. 1998;82(4):667–674.
9. Bachmann AM, Linfesty RL. Ameloblastoma, so- lid/multicystic type. Head and neck
pathology..
10. Medeiros M, Porto GG, Laureano Filho JR, Portela L, Vasconcellos RH. Ameloblastoma
in the man- dible. Revista Brasileira de Otorrinolaringologia. 2008;74(3):478–478.