Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor rongga mulut merupakan tumor yang terdapat pada daerah rongga
mulut dari perbatasan kulit selaput lendir bibir atas dan bawah sampai ke
perbatasan palatum durum - palatum mole di bagian atas. Pertumbuhan tumor
dapat terjadi dimana saja, salah satunya pada daerah rahang, yang disebut
dengan tumor rahang. Tumor rahang dapat dibagi menjadi tumor odontogenik
dan non-odontogenik. Tumor odontogenik adalah tumor yang melibatkan
jaringan perkembangan gigi. Sedangkan tumor non-odontogenik dibagi
menjadi tumor osteogenik, tumor jaringan vaskuler, dan tumor jaringan saraf.
Kista adalah salah satu kelainan yang paling sering ditemukan dalam
praktik bedah mulut. Kista merupakan suatu rongga patologis yang berisi
cairan atau semi cairan, tidak disebabkan oleh akumulasi pus. Kista merupakan
suatu kantong yang rapat, dilengkapi dengan suatu membran yang tegas. Kista
bisa dibatasi oleh epitel, atau tidak dan dapat menyebabkan pembesaran
intraoral dan ekstraoral yang secara klinis dapat menyerupai tumor jinak
Kista yang dibentuk dari epitel odontogenik merupakan yang terbanyak
di rahang. Kista odontogenik merupakan kista yang dinding epitelnya berasal
dari sisa-sisa epitel organ pembentuk gigi. Kista dentigerous merupakan salah
satu jenis kista odontogenik yang terbanyak setelah kista radikuler di rongga
mulut. Kista dentigerous adalah kista yang terbentuk di sekitar mahkota gigi
yang belum erupsi. Kista ini mulai terbentuk bila cairan menumpuk di dalam
lapisan epitel email yang tereduksi atau di antara epitel dan mahkota gigi yang
belum erupsi. Kista dentigerous adalah suatu kantong yang dibungkus oleh
epitelium yang terjadi dari enamel organ yang berhubungan dengan mahkota
gigi yang tidak erupsi.10
Ameloblastoma merupakan suatu tumor epitelial odontogenik yang
berasal dari jaringan pembentuk gigi. Bersifat jinak, tumbuh lambat,
penyebarannya lokal invasif dan destruktif serta mengadakan proliferasi
kedalam stroma jaringan ikat. Ameloblastoma lebih sering terjadi pada
mandibula daripada di maksilla (80-93%)1,2
Studi yang dilakukan oleh MacDonald-Jankowski et al.3 menunjukkan
kejadian ameloblastoma di Asia atau Afrika secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan di Eropa atau Amerika. Lu et al mengatakan bahwa di Cina
kejadian ameloblastoma terjadi pada usia rata-rata 31,4 tahun dengan rasio pria
dibanding wanita adalah 1,5:1 dan sebesar 90,8% dari tumor berada di rahang
bawah. Berdasarkan penelitian Hatada et Al.4 dalam populasi Jepang
menunjukkan usia penderita ameloblastoma rata-rata 34,7 tahun dengan
perbandingan laki-laki:perempuan 1,6:1 dan 92,6% kasus terletak di rahang
bawah. Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang dilaporkan secara
khusus untuk membahas angka kejadian ameloblastoma.5
Berikut ini akan dipaparkan laporan kasus mengenai seorang laki-laki 22
tahun dengan tumor mandibular beserta pembahasannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumor Mandibula


Tumor mandibula adalah tumor jinak ondontogenik pada mandibula
yang mempunyai kecenderungan tumbuh ekspansif dan progresif, hingga
menimbulkan deformitas wajah. Tumor jinak yang tumbuh di rongga mulut
mempunyai karasteristik tumbuh secara lambat, setelah mencapai ukuran
tertentu menetap dan tidak berkembang lagi. Tumor ini tumbuh mendesak sel-
sel normal tetapi tidak menginvasi dan tidak bermetastasis, namun lama
kelamaan akan bertambah besar sehingga mengganggu fungsi bicara,
pengunyahan dan pernafasan. Klasifikasi tumor jinak odontogenik pada rahang
adalah sebagai berikut :6
I. Epithelial odontogenic tumors
1. Ameloblastoma
2. Odontogenic adenomatoid tumor (Adenomatoid odontogenic
tumor)
3. Calcifying epithelial odontogenic tumor (Pindborg tumor)
II. Mixed odontogenic tumors – Epithelial and Mesenchymal
1. Ameloblastic fibroma
2. Ameloblastic odontoma
3. Ameloblastic fibroma-odontoma
4. Odontomas
III. Mesenchymal Odontogenic Tumors
1. Odontogenic myxoma (myxofibroma)
2. Odontogenic fibroma
3. Cementifying (ossifying) fibroma
4. Benign cementoblastoma

2.2 Ameloblastoma
Ameloblastoma merupakan tumor epitelial odontogenik yang
memperlihatkan induksi minimal pada jaringan ikat mesodermal. Orang
pertama yang mempelajari mengenai ameloblastoma adalah Malassez (1885).
Malassez menduga bahwa tumor ini berasal dari sisa epitel selubung akar dan
menamakannya adamantin epitelioma, sedangkan Derjinsky (1890) menyebut
tumor ini dengan sebutan adamantinoma dan nama ini banyak digunakan
dalam literatur Jerman. Nama ameloblastoma sendiri berasal dari Ivy dan
Churchill dan merupakan nama yang banyak digunakan dalam literatur Inggris-
Amerika.7,8
Neville mengklasifikasikan ameloblastoma menurut situasi klinis
radiologis menjadi 3 jenis dengan pertimbangan terapi yang berbeda tiap
jenisnya9, yaitu :
1. Conventional Solid or Multicystic Intraosseus Ameloblastoma : terjadi
pada 86% dari seluruh kasus ameloblastoma. Tipe ini memiliki gambaran
histopatologi yang berbeda-beda, yaitu follicular pattern, plexiform
pattern, acantthomatous pattern, granular cell pattern, desmoplatic
pattern dan basaloid pattern
2. Unicystic Ameloblastoma : presentase kejadian 13% dari seluruh kasus
ameloblastoma yang terjadi. Gambaran histopatologinya adalah
ameloblastoma luminal, ameloblastoma intraluminal dan ameloblastoma
mural.
3. Peripheral (Extraosseus) Ameloblastoma : hanya 1% kejadian yang
ditemukan dari keseluruhan kasus ameloblastoma. Tumor ini mungkin
terbentuk dari sisa-sisa epitel odontogenik dibawah mukosa oral atau dari
sel basal epitelal dari permukaan epithelium. Secara histopatologi
memiliki gambaran yang sama dengan bentuk intraosseus dari
ameloblastoma.
2.2.1 Etiologi Ameloblastoma
Tumor dapat berasal dari epitel pelapis kista dentigerous, dari sisa lamina
dental dan organ enamel atau dari membran basalis mukosa oral sehingga
memberikan gambaran histologis yang berbeda-beda.12,13

2.2.2 Patofisiologi Ameloblastoma


Tumor ini bersifat infiltratif, tumbuh lambat, tidak berkapsul,
berdiferensiasi baik. Lebih dari 75% terjadi di rahang bawah, khususnya regio
molar dan sisanya terjadi akibat adanya kista folikular. Tumor ini muncul
setelah terjadi mutasi-mutasi pada sel normal yang disebabkan oleh zat-zat
karsinogen tadi. Karsinogenesisnya terbagi menjadi 3 tahap :
1. Tahap pertama merupakan Inisiaasi yatu kontak pertama sel normal
dengan zat Karsinogen yang memancing sel normal tersebut menjadi
ganas.
2. Tahap kedua yaitu Promosi, sel yang terpancing tersebut membentuk
klon melalui pembelahan (poliferasi).
3. Tahap terakhir yaitu Progresi, sel yang telah mengalami poliferasi
mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas.14,15
Gambar 1. Patofisiologi Ameloblastoma

2.2.3 Gejala Klinis


Ameloblastoma sering timbul pada daerah gigi yang tidak erupsi.
Gejalanya diawali dengan rasa sakit, disusul dengan deformitas wajah. Rasa
sakit terkadang menyebar sampai ke struktur lain disertai dengan terdapatnya
ulkus dan pelebaran jaringan periodontal (gum disease).1 Lesi ini dapat terlihat
lebih awal pada pemeriksaan gigi secara rutin, dan biasanya penderita
merasakan adanya asimetri wajah secara bertahap. Pasien tidak mengalami
keluhan rasa sakit, parestesi, fistula, formation ulcer, atau mobilitas gigi.
Apabila lesi membesar, dengan pemeriksaan palpasi terasa sensasi seperti
tulang yang tipis. Jika telah meluas merusak tulang, maka abses terasa
fluktuasi, kadang-kadang erosi dapat terjadi melalui kortikal plate yang
berdekatan dengan daerah invasi, dan berlanjut ke jaringan lunak yang
berdekatan.3
Terdapat dugaan bahwa lesi ini lebih sering muncul pada ras kulit hitam.
Telah ditemukan pada individu usia tiga tahun, bahkan dilaporkan pernah
terjadi pada usia 80 thn. Namun sebagian besar terjadi pada usia rata-rata 40
thn. Ameloblastoma berkembang secara perlahan dan beberapa kasus
ditemukan 95% keluhan utama, yaitu berupa abses pipi, gingival dan palatum
durum, sedangkan pada ameloblastoma maksilaris belum sering ditemukan.3
Lesi yang timbul di maxilla sekitar 75% terutama didaerah ramus, hal ini
pulalah yang terkadang menyebabkan deformitas antara maxilla dan
mandibula. Apabila terjadi di maxilla, dapat meluas hingga dasar hidung dam
sinus. Lesi ini memiliki tendensi untuk menyerang tulang cortical karena
berjalan sangat lambat merangsang jaringan periosteum membentuk thin shell
of bone sejalan dengan meluasnya lesi. Hal ini merupakan sesuatu hal penting
dalam menegakkan diagnosa selain dengan radiografi.1
Lesi yang tidak diobati dapat berkembang menjadi lebih besar, terutama
bila terjadi pada maksila, dapat meluas ke struktur vital seperti mencapai dasar
kranial, bahkan ke sinus paranasal, orbital, nasopharyng sampai dasar
tengkorak.3

(a) (b)
Gambar 2. Lesi Ameloblastoma di maxilla (a) dan mandibula (b)1
2.2.4 Terapi
Beberapa prosedur operasi yang mungkin digunakan untuk mengobati
ameloblastoma antara lain:
a. Enukleasi
Enukleasi merupakan prosedur yang kurang aman untuk
dilakukan. Weder (1950) pada suatu diskusi menyatakan walaupun
popular, kuretase merupakan prosedur yang paling tidak efisien untuk
dilakukan. Enukleasi menyebabkan kasus rekurensi hampir tidak
dapat dielakkan, walaupun sebuah periode laten dari pengobatan yang
berbeda mungkin memberikan hasil yang salah. Kuretase tumor dapat
meninggalkan tulang yang sudah diinvasi oleh sel tumor. Teknik
enukleasi diawali dengan insisi, flap mukoperiostal dibuka.
Kadangkadang tulang yang mengelilingi lesi tipis. Jika dinding lesi
melekat pada periosteum, maka harus dipisahkan. Dengan pembukaan
yang cukup, lesi biasanya dapat diangkat dari tulang. Gunakan sisi
yang konveks dari kuret dengan tarikan yang lembut. Saraf dan
pembuluh darah biasanya digeser ke samping dan tidak berada pada
daerah operasi. Ujung tulang yang tajam dihaluskan dan daerah ini
harus diirigasi dan diperiksa. Gigi-gigi yang berada di daerah tumor
jinak biasanya tidak diperlukan Universitas Sumatera Utara perawatan
khusus. Jika devitalisasi diperlukan, perawatan endodontik sebelum
operasi dapat dilakukan.16
b. Eksisi Blok
Kebanyakan ameloblastoma harus dieksisi daripada dienukleasi.
Eksisi sebuah bagian tulang dengan adanya kontinuitas tulang
mungkin direkomendasikan apabila ameloblastomanya kecil. Insisi
dibuat pada mukosa dengan ukuran yang meliputi semua bagian yang
terlibat tumor. Insisi dibuat menjadi flap supaya tulang dapat direseksi
di bawah tepi yang terlibat tumor. Lubang bur ditempatkan pada
outline osteotomi, dengan bur leher panjang Henahan. Osteotom
digunakan untuk melengkapi pemotongan. Sesudah itu, segmen tulang
yang terlibat tumor dibuang dengan tepi yang aman dari tulang yang
normal dan tanpa merusak border tulang. Setelah meletakkan flap
untuk menutup tulang, dilakukan penjahitan untuk mempertahankan
posisinya. Dengan demikian eksisi tidak hanya mengikutkan tumor
saja tetapi juga sebagian tulang normal yang mengelilinginya. Gigi
yang terlibat tumor dibuang bersamaan dengan tumor. Gigi yang
terlibat tidak diekstraksi secara terpisah.16
c. Hemimandibulektomi
Merupakan pola yang sama dengan eksisi blok yang diperluas
yang mungkin saja melibatkan pembuangan angulus, ramus atau
bahkan pada beberapa kasus dilakukan pembuangan kondilus.
Pembuangan bagian anterior mandibula sampai ke regio simfisis tanpa
menyisakan border bawah mandibula akan mengakibatkan perubahan
bentuk wajah yang dinamakan ” Andy Gump Deformity”. Reseksi
mandibula dilakukan setelah trakeostomi dan diseksi leher radikal
(bila diperlukan) telah dilakukan. Akses biasanya diperoleh dengan
insisi splitting bibir bawah. Bibir bawah dipisahkan dan sebuah insisi
vertikal dibuat sampai ke dagu. Insisi itu kemudian dibelokkan secara
horizontal sekitar ½ inchi dibawah border bawah mandibula.
Kemudian insisi diperluas mengikuti angulus mandibula sampai
mastoid. Setelah akses diperoleh, di dekat foramen mentale mungkin
saja dapat terjadi pendarahan karena adanya neurovascular.
Permukaan dalam mandibula secara perlahan-lahan dibuka dengan
mendiseksi mukosa oral. Dengan menggunakan gigli saw pemotongan
dilakukan secara vertikal di daerah mentum. Hal ini akan memisahkan
mandibula secara vertikal. Mandibula terbebas dari otot yang melekat
antara lain muskulus depressor labii inferior, depressor anguli oris dan
platysma. Bagian mandibula yang akan direseksi dibebaskan dari
perlekatannya dari mukosa oral dengan hati-hati. Setelah itu,
komponen rahang yang mengandung massa tumor dieksisi dengan
margin yang cukup.18 Bagian margin dari defek bedah harus dibiopsi
untuk pemeriksaan untuk menentukan apakah reseksi yang dilakukan
cukup atau tidak. Jika bagian itu bebas dari tumor, bagian ramus dan
kondilus mandibula harus dipertahankan untuk digunakan pada
rekonstruksi yang akan datang. Ramus paling baik dipotong secara
vertikal. Ketika mandibula disartikulasi, maka ada resiko pendarahan
karena insersi temporalis dan otot pterygoid lateral dipisahkan. Hal ini
dapat dihindari dengan membiarkan kondilus dan prosessus koronoid
berada tetap in situ. Setelah hemimandibulektomi, penutupan luka
intraoral biasanya dilakukan dengan penjahitan langsung.16
d. Hemimaksilektomi
Akses ke maksila biasnya diperoleh dengan insisi Weber
Fergusson. Pemisahan bibir melalui philtrum rim dan pengangkatan
pipi dengan insisi paranasal dan infraorbital menyediakan eksposure
yang luas dari wajah dan aspek lateral dari maksila dan dari ethmoid.
Setelah diperoleh eksposure yang cukup, dilakukan pemotongan
jaringan lunak dan ekstraksi gigi yang diperlukan. Kemudian
dilakukan pemotongan dengan oscillating saw dari lateral dinding
maksila ke infraorbital rim kemudian menuju kavitas nasal melalui
fossa lakrimalis. Dari kavitas nasal dipotong menuju alveolar ridge.
Setelah itu, dilakukan pemotongan pada palatum keras. Kemudian
pemotongan lateral dinding nasal yang menghubungkan lakrimal
dipotong ke nasofaring dengan mengunakan chisel dan gunting Mayo
dan kemudian dilakukan pemotongan posterior. Pembuangan
spesimen dan packing kavitas maksilektomi yang tepat diperlukan
untuk mengkontrol pendarahan. Setelah hemostasis terjadi,
manajemen maksilektomi yang tepat dapat membantu ahli
prostodonsia untuk merehabilitasi pasien. Semua bagian tulang yang
tajam dihaluskan. Prosesus koronoid harus diangkat, karena dekat
dengan margin lateral defek yang akan menyebabkan penutup protesa
lepas ketika mulut dibuka. Flap yang ada pada mukosa dikembalikan
menutupi margin medial tulang. Skin graft kemudian dijahit ke tepi
luka, lebih baik hanya lembaran tunggal. Permukaan dibawah flap
pipi, tulang, otot periorbita dan bahkan dura semuanya ditutup. Graft
dipertahankan dengan packing iodoform gauze yang diisi benzoin
tincture. Packing yang cukup digunakan untuk mengisi kembali
kontur pipi. Obturator bedah yang sudah dibuat oleh ahli prostodonsi
direline dengan soft denture reliner sehingga dapat mendukung
packing dan menutup defek. Obturator dapat dipasangkan ke gigi-gigi
secara fixed atau tidak, tergantung kondisi individual pasien. Flap pipi
kemudian dikembalikan dan menutup lapisan.16
e. Rekontruksi pasca bedah
 Pemakaian protesa obturator
 Pengunaan plat16

2.2.5 Diagnosis Banding


a. Central giant cell granuloma
b. Odontogenic keratocyst
c. Odontogenic myxoma
d. Central mucoepidermoid carsinoma5

2.2.6 Komplikasi
Berdasarkan penelitian sebelumnya menyebutkan ameloblastoma bisa
berujung kematian karena ektensi ekstensi lokal atau komplikasi seperti infeksi
dan malnutrisi. Selain itu ada juga yang menyebutkan adanya metastasis ke
paru dan nodus limfe sekitar tumor.5
2.3 Kista dentigerous
Kista dentigerous adalah kista yang terbentuk disekitar mahkota gigi
yang belum erupsi. Kista ini mulai terbentuk bila cairan menumpuk di dalam
lapisan-lapisan epitel email yang tereduksi atau diantara epitel dan mahkota
gigi yang belum erupsi. Kista ini merupakan jenis kista terbanyak setelah kista
radikuler. Tumbuh paling sering di regio posterior mandibula atau maksila dan
umumnya berkaitan dengan gigi molar ketiga. Predileksi tumbuh tersering
kedua adalah di regio kaninus yang dikaitkan dengan gigi kaninus impaksi.
Kista jenis ini dapat ditemukan pada semua jenis usia dengan predileksi
terbesar pada usia 20 tahun. Kista dapat tumbuh dalam ukuran besar dengan
diameter mencapai 10-15 cm. Menurut Gordon W Pedersen (1996), kista
dentigerous adalah pembesaran ruangan folikular di sekitar gigi yang belum
erupsi.9

2.3.3 Etiologi Kista dentigerous


Kista dentigerous merupakan kista yang terbentuk di sekitar mahkota
gigi dan melekat pada cemento-enamel junction gigi yang tidak erupsi . Secara
kasat mata, bentuk kista dentigerous dapat dilihat pada grossspecimen. Kista
dentigerous juga disebut sebagai kista folikular sebab merupakan hasil
pembesaran folikel, berasal dari akumulasi cairan antara reduced enamel
epithelium dan enamel gigi.17

2.3.4 Patofisiologi Kista dentigerous


Kista dentigerous merupakan kista odontogenik yang terjadi akibat
pembentukan cairan antara lapisan sisa sisa epitel enamel luar dan dalam atau
antara lapisan sisa enamel sisa enamel organ dan mahkota gigi yang telah
terbentuk sempurna.
Kista ini hampir selalu berhubungan dengan gigi yang impaksi,jarang
terjadi pada gigi sulung,tempat predileksi adalah gigi molar ketiga mandibula
dan kaninus rahang atas. Kista dentigerous berpotensi menjadi tumor
ameloblastoma. Kista dentigerous ini timbul di sekeliling gigi yang tidak
erupsi yang menyebabkan kegagalan erupsi nantinya. Faktor pencetus yang
dapat menimbulkan terbentuknya kista dentigerous karena adanya inflamasi
dan infeksi yang berkelanjutan dan kurangnya asupan nutrisi pada waktu
pertumbuhan dan perkembangan gigi. Karena inflamasi dan infeksi yang
berkelanjutan, sisa-sisa sel epitel pembentuk gigi yang seharusnya mengalami
reduksi dan hilang akan membentuk jaringan baru yang mengganggu
pertumbuhan gigi dan berkembang menjadi kista dentigerous. Sisa-sisa sel
epitel ini biasa disebut dengan epitel malassez. Dengan terbentuknya kista
dentigerous tersebut gigi tidak dapat tumbuh.
Kekurangan asupan nutrisi pada saat pertumbuhan gigi akan
menyebabkan kekuatan gigi untuk tumbuh terganggu. Keadaan ini akan
berpengaruh pada pertumbuhan jaringan pembentuk gigi menjadi tidak
sempurna. Kekurangan nutrisi menyebabkan tenaga untuk mereduksi sel-sel
jaringan pembentuk gigi terganggu, sisa epitel Malassez yang seharusnya
sesuai dengan pertumbuhan gigi karena tidak ada tenaga untuk mereduksi akan
berkembang menjadi kista dentigerous.18

2.3.5 Gambaran Klinis


Kista dentigerous hampr selalu melibatkan gigi permanen meskipun pada
beberapa kasus ditemukan adanya keterlibatan gigi sulung. Beberapa kasus
lainnya berhubungan dengan gigi supernumerary dan odontoma. Karena
berhubungan gigi impaksi maka kemungkinan terjadinya kista akan bertambah
seiring bertambahnya usia. Kista dendigerous biasanya asimtomatik kecuali
ukurannya sangat besar (10-15 cm) atau bila terjadi infeksi sekunder akan
terasa sakit.19
Infeksi sekunder ini sering terjadi, dapat juga menyebabkan ekspansi
rahang. Besarnya kista tersebut juga memungkinkan terjadinya fraktur
patologis.Fraktur patologis dan infeksi ini dapat mempengaruhi sensasi nervus
alveolar inferior dan plexus nervus alveolar superior sehinggamenyebabkan
parastesia.19

2.3.6 Terapi
Kista dentigerus yang kecil ditangani dengan enukleasi yang juga
dilakukan pada gigi yang tidak erupsi. Kista dentigeru yang besar
membutuhkan tindakan marsupialisasi. Tindakan ini merupakan prosedur awal
sebelum dilakukannya tidakan bedah untuk mengurangi besarnya kista
sehingga kerusakan tulang akibat tertekan kista bertambah kecil. Setelah itu
kita dibuang dengan tindakan bedah minimal.19

2.3.7 Diagnosis Banding


Dilihat dari kondisi biologisnya, diagnosis banding kista dentigerous,
yakni keratosis odontogenik, ameloblastoma in situ, atau microinvasive
ameloblastoma, dan ameloblastic fibroma pada remaja muda dan anak-anak.
Jika kista dentigerus terjadi pada maksila anterior, kista odontogenik
adenomatoid akan menjadi pertimbangan utama diadnosis bandingnya,
khususnya jika terjadi pada pasien muda. Diagnosis utama kista dentigerous
didapat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis.19
a. Ameloblastoma
b. odontogenik keratosis
c. Tumor odontogenik19
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan marsupialisasi maupun
enukleasi adalah pendarahan, parestesi maupun fraktur, namun prognosa
setelah dilakukan kedua tindakan tersebut adalah baik.19

Anda mungkin juga menyukai