Anda di halaman 1dari 160

Jabaran Skenario

Seorang anak laki-laki berusia 18 tahun datang ditemani ibunya dan adiknya ke
RSGM dengan keluhan benjolan pada pipi kiri yang tidak terasa sakitnamun
bertambah besar sejak 1 tahun terakhir. Selain itu pasien mengeluh adanya bau
mulut. Ia memiliki riwayat gangguan pernafasan dan setahun yang lalu dirawat di
rumah sakit karena sesak nafas. Riwayat penurunnan berat badan disangkal.
Pemeriksaan ekstraoral: asimetri wajah, benjolan pada pipi kiri berukuran 5x4x2 cm,
batas tegas, keras dan nyeri tekan negatif. Pemeriksaan intraoral: benjolan di
vestibulum regio 36 sampai posterior gigi 37, warna sama dengan sekitar. Di lingual
regio tsb teraba benjolan meskipun tidak besar. Gigi 36 dan 37 goyang derajat 2.
Gambaran panoramik: gambaaran multilocular, meluas dari gigi 35 sampai posterior
gigi 37, gigi 38 terdapat dalam area radiolusensi. Tepi inferior masih cukup tebal,
gigi 36 dan 37 tidak lagi didukung oleh tulang dan reabsorbsi pada akar 36 37.
Ibunya berusia 43 th mengeluhkan adanya benjolan dibawah lidah yang muncul sejak
3 bulan yang lalu. Benjolan sering terasa nyeri terutama pada pagi hari dan saat
makan. Pemeriksaan intraoral tampak benjolan di dasar mulut sebelah kanan, terasa
keras. Saliva kental.
Adiknya, perempuan berusia 10 tahun dengan keluhan benjolan pada bibir bawah
sejak 1 bulan. Adiknya mempunyai kebiasaan mengigit-gigit bibir. Pemeriksaan klinis:
benjolan pada mukosa bibir bawah, berbatas tegas, transparan, tidak bertangkai,
berdiameter 4 mm.

SASARAN BELAJAR
Ilmu Bedah Mulut dan Ilmu Kedokteran Gigi Anak

1. Prosedur diagnosis
Pemeriksaan klinis ekstra oral
Pemeriksaan klinis intra oral
Pemeriksaan laboratorium – jenis-jenis biopsi
Pemeriksaan radiografis : panoramik, oklusal, Eissler, sefalometri posteroanterior,
occipitomental, CT scan, 3D, CBCT

2. Klasifikasi neoplasma rongga mulut :


Etiologi, patogenesis, gambaran klinis, histopatologis, radiografis

Tumor epitelial

Tumor mesenkim

Mixed odontogenic

Tumor nonodontogenik

3. Perbedaan neoplasma jinak dan ganas (klinis dan patologi anatomis)


4. Pemeriksaan penunjang kelainan kelenjar liur
5. Macam-macam kelainan kelenjar liur :
Etiologi, patogenesis, penatalaksanaan

Reactive lesion
Infectious sialadenitis
Benign neoplasma
Malignant neoplasma + rare tumors

Ilmu Penyakit Mulut

1. Klasifikasi halitosis
2. Etiologi halitosis
3. Patogenesis halitosis
4. Faktor predisposisi halitosis
5. Prosedur diagnosis halitosis
6. Pemeriksaan penunjang halitosis
7. Penatalaksanaan halitosis
8. Klasifikasi kelainan pernafasan (beserta etiologinya)
9. Modifikasi dental pada pasien dengan kelainan pernafasan
10. Kegawatdaruratan medis yang dapat terjadi pada pasien dengan gangguan pernafasan

Ilmu Farmakologi

1. Obat-obatan (penggolongan, mekanisme kerja, efek samping, interaksi, penulisan resep,


dosis untuk anak dan dewasa)
2. Obat-obatan yang dapat memicu asma
3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan halitosis
4. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi sekresi saliva

Pembahasan kuis

Tumor Epitelial
Dibuat oleh Claudia, Indira Annisa Sophia

Sumber:

1. Regezi J.A., Sciubba J.J. Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlations. Jordan
R.C.K. Ed. 6th. Saunders. 2012
2. Cawson R.A, Odell E.W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Ed
8th. Churchill Livingstone. 2008

Epitelial neoplasma

Tumor odontogenik adalah derivate dari sisa-sisa epitel dan atau mesenkim saat
proses pembentukan gigi. Maka dari itu ditemukan di mandibula dan maxilla dan kadang di
gingival. Secara klinis, tumor odontogneik asimptomatik, menyebabkan ekspansi rahang,
migrasi gigi, resopsi akar, dan kehilangan tulang. Neoplasma yang paling umum dan telah
diklasifikasikan oleh WHO dan dapat dilihat dari tabel 8.2 dibawah ini

Cawson Essentials of
Oral Pathology and
Oral Medicine

A. Ameloblastoma
• Neoplasma rahang yang paling umum.
• Pasien berusia 30-50 tahun dan jarang pada lansia dan anak-anak. 80%
terbentuk pada mandibula dan 70 % diantaranya berkembang di regio posterior
molar dan melibatkan ramus.
• Neoplasma ini tidak akan menunjukkan ada gejala sampai pembengkakan besar.

• Secara radiograf, ameloblastoma berbentuk bulat, seperti kista membentuk area


radiolusen yang berbatas jelas dan berbentuk multilocular seperti pada
gambar 1. Perluasan kearah lingual kadang terlihat namun bukan ciri khas tumor
ini. Variasi lain ameloblastoma dapat berbentuk seperti pola sarang lebah
(honey combs), kavitas tunggal berbatas jelas yang sulit dibedakan dengan
kista radikular atau dentigerous.

Gambar 1 Gambaran radiografis ameloblastoma Gambar 2 Gambaran klinis Ameloblastoma.


berbentuk multilocular yang berbeda ukuran Pembengkakan tulang alveolar posterior,
mandibula. Tidak ada ulserasi

Sumber: Cawson Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine

Gambaran Klinis

Klasifikasi klinis ameloblastoma


1. Solid ameloblastoma
2. Cystic/Unicystic ameloblastoma à Multilokular dan perforasi pada kortikal. Secara
histopatologi terlihat epithelium yang tipis dan nonkeratinized, basal palisading, spongiosis,
invaginasi epithel, dan hyalinisasi subepithel.

3. Peripheral/extraosseous ameloblastoma à Jika ameloblastoma terjadi pada gingiva dan


mukosa bukal. Lesi ini biasanya ditemukan pada orang dewasa (40-60 tahun). Berasal dari
epithelium atau rest of Serres. Bersifat jinak, nonagrassive dan tidak menginvasi tulang.

4. Malignant ameloblastoma à Bentuk ganas dari ameloblastoma. Lesi primer dan sekunder
secara mikroskopik berdiferensiasi dengan ciri histologi seperti ameloblastoma

5. Ameloblastic carcinoma à Bentuk malignant dari ameloblastoma. Lesi (primer dan/atau


metastasis) menunjukkan cytologic atypia dan mitotic.

Histologi

Menunjukkan sel kolumnar palisade disekitar epithelial nests yang mirip dengan ameloblast
pada enamel organ. Beberapa subtype ameloblastoma yang terlihat secara mikroskopis,
yaitu:

Follicular ameloblatoma

Paling sering dan mudah dikenali. Terdapat pulau-pulau sel tumor yang menyerupai dental
follicle normal.
Plexiform ameloblastoma

Neoplasma membentuk suatu network

Desmoplastic ameloblastoma

Ketika stroma mengalami desmoplatik dan pulau-pulau tumor menjadi squamoid atau
elongasi
Basal cell atau basaloid carcinoma
Neoplasma mirip dengan carcinoma cell basal

Granular cell ameloblastoma

Solid ameloblastoma yang pusat sel neoplastiknya menunjukkan cytoplasmic granularity (dan
pembengkakan) yang jelas

Radiograf

- Lokasi: Kebanyakan pada regio molar (ramus mandibula) àM3 maksila dan meluas
ke sinus maksilaris serta bagian dasar nasal dan sinus maksila.
- Batas Tepi: Dibatasi oleh tulang kortikal. Seringkali batasnya melengkung dan pada
lesi yang kecil, batas serta bentuknya agak sulit dibedakan dengan kista.
- Struktur Interna: Radiolusen total hingga radiolusen bercampur
- Efek Terhadap Struktur Sekitarnya: Resoprsi akar meluas, peripindahan gigi,
perluasan dan penipisan plat kortikal, perforasi pada tulang ke jaringan lunak atau
ruang anatomis di sekitarnya, dan perluasan ramus mandibula dan kadang tepi
anterior ramus sudah tidak terlihat pada gambaran radiografi panoramik.
- Diagnosis Pembanding:

• Dentigerous cyst
• Odontogenic keratocyst
• Giant cell carcinoma
• Odontogenic myxoma
• Ossifying fibroma

Management

o Diagnosis dapat ditegakkan dengan biopsy.


o Perawatan yang dapat dilakukan adalah eksisi luas dengan mengambil sekitar 2cm
tulang normal di sekitar batas neoplasma. Eksisi komplit dapat menyembuhkan namun
enukleasi dapat menimbulkan pengulangan.
o Eksisi komplit untuk ameloblastoma yang besar biasanya harus diikuti dengan reseksi
total rahang dan bone grafting. Namun ameloblastoma hanya akan mengikis tulang
yang padat secara bertahap dan batas tulang dibawahnya akan tetap utuh sehingga
operasi yang ekstensif dapat dihindari dengan meninggalkan lower border dari rahang
tetap intact dan memperluas reseksi ke subperiosteal. Repair dari tulang ini akan
menyebabkan pembentukan ulang dari rahang.
o Perlu dilakukan follow up secara radiograf untuk melihat ada atau tidaknya
pengulangan neoplasma untuk beberapa tahun. Operasi ulang terbatas dapat dilakukan
apabila perlu. Pasien harus diingatkan pentingnya follow up dan operasi lanjutan.
Ameloblastoma yang menyebar ke jaringan lunak sulit untuk dirawat.

Calcifying Epithelial Odontogenic Tumour


• Tumor ini juga disebut sebagai Pindborg Tumour yang diambil dari nama seorang oral
pathologist yang menemukan tumor ini.
• Tumor jinak yang berasal dari odontogenik dan memiliki kesamaan fitur klinis dengan
ameloblastoma.
• Secara mikroskopis dan radiografis tidak ada kesamaan
dengan ameloblastoma.
• Etiologi: serpihan dental lamina dan stratum intermedium
dari enamel organ.
• Secara klinis, tumor ini lebih banyak terjadi pada dewasa
disekitar usia 40 tahun dan lebih sering terjadi pada
posterior mandibula dibanding maksila. Gejala biasanya
akan berkurang sampai terbentuk pembengkakan.
Gambaran radiografnya menunjukkan area translusen dengan batas yang tidak jelas
dan biasanya akan semakin radiopak seiring dengan maturasi tumor dan biasanya
diasosiasikan dengan gigi impaksi.

Patologi

• Tumor ini terdiri dari lembaran atau untaian sel epitel pada stroma jaringan ikat. Sel
epitelialnya berbentuk polyhedral dan biasanya memiliki outline jelas dan jembatan
intercellular.

• Terdapat variasi yang mencolok pada ukuran inti selnya seperti giant nuclei yang paling
terlihat (gambar 8.17). Nuclei ini biasanya hiperkromati dan akan mirip dengan
carcinoma. Namun tidak seperti kebanyakan karsinoma karena tidak menunjukkan
adanya reaksi inflammatory stromal dan didalam tumor terdapat area hyelin yang
homogen dengan karakterisitik stain dari amyloid yang kemudian akan
mengkalisifikasi dan membentuk cincin concentric didalam dan sekitar sel epitel
degenerating sehingga terbentuk massa yang besar. Selain itu juga bisa terdapat clear
cell.

Histopatologi

6. Terdiri dari sel epithel di stroma jaringan ikat

7. Nukleusnya memiliki variasi ukuran dan bentuk, hiperkromatik dan jarang bermitosis
8. Banyak sitoplasma dan eosinophilic

Terdapat amyloid dan kalsifikasi

Radiografis

- Lokasi: Lebih sering pada mandibula dengan rasio 2:1, dan kebanyakan berkembang
pada area premolar-molar, dengan 52% berhubungan dengan gigi yang tidak
erupsi/impaksi. Pada gambaran radiograf awal perkembangan tumor menunjukkan area
radioLusen disekeliling mahkota yang mature dan tidak erupsi.
- Batas Tepi: Memiliki tepi kortikal seperti kista dan berbatas jelas. Beberapa tumor
berbatas tidak jelas dan dapat dibedakan.
- Struktur Interna: Unilocular atau multiocular dan tersebar. Dengan radiopak berbagai
ukuran dan densitas. Trabekula kecil, tipis, dan opak dapat melewati radilusen dari
banyak arah.
- Efek Terhadap Struktur Sekitarnya: Gigi didekatnya dapat berpindah atau gagal erupsi
- Differential Diagnosis
• Dentigerous cyst
• Ameloblastoma

• Adenomatoid odotogenic tumor


• Ameloblastic fibroodontoma
• Calcifying odontogenic cyst

Perawatan dan prognosis


Dilakukan perawatan dengan bedah, dari enukleasi hingga reseksi. Efek rekuren tidak
mencapai 20%. Tidak ada metastasis.

3. Adenomatoid Odontogenic Tumor (AOT)


a. Gejala Klinis:
• Dialami oleh usia 5-30 tahun, paling
sering di usia 20-an. Wanita lebih
sering daripada pria.
• Sering muncul di bagian anterior
rahang, lebih sering di maxilla.
Biasanya berhubungan dengan
mahkota gigi yang impaksi (Gambar 11-26).
• Ada tiga tipe: folikuler (73%), ekstrafolikuler (24%), dan
peripheral (3%). AOT peripheral tidak sakit dan
pembengkakan gingiva non-tender.
b. Radiografis:
• AOT folikuler: lesi unilokuler berbatas jelas yang
biasanya muncul di sekitar mahkota gigi yang impaksi.
• AOT ekstrafolikuler: radiolusensi unilokuler berbatas jelas
di atas atau di antara atau superimpose pada akar gigi

yang belum erupsi. Lesi radiolusen tapi mungkin memiliki foci opaque kecil yang
terdistribusi, merefleksikan adanya kalsifikasi jaringan tumor (Gambar 11-27). Jika
letaknya berada di antara gigi anterior, mungkin terlihat divergensi akar.
c. Histopatologi:
• Profilferasi epithelial intracystic yang terdiri dari sel spindle dan polyhedral.
• Tipikal pola berupa lobular, walaupun di beberapa area syncytial.
• Karakteristiknya berupa struktur rosette dan ductlike dari sel ephitelial columnar.
• Foci periodic acid-Schiff (PAS)-positive material tersebar di lesi.
• Jumlah, ukuran, dan derajat kalsifikasi dari foci tersebut menentukan bagaimana lesi
terlihat secara radiograf.

d. Differential Diagnosis
• Kista dentigerous, karena asosiasi-nya sering dengan gigi impaksi.
• Kista periodontal lateral, karena lokasi-nya sering bersebelahan akar gigi anterior.
• Jika terlihat opacity, calcifying odontogenic cyst dan CEOT juga dipertimbangkan.
e. Perawatan
• Enukleasi. AOT termasuk lesi benign, encapsulated yang tidak mengalami rekurensi.

4. Squamous Odontogenic Tumor


Karena tumor odontogenik skuamosa melibatkan prosesus alveolar, lesi dipercaya berasal dari
transformasi neoplastic rests of Malassez.
a. Gejala Klinis
• Di mandibula dan maksila, terutama anterior maksila dan posterior mandibula.
• Lesi multiple terjadi di sekitar 20% pasien, seperti lesi multicentric familial.
• Dialami oleh usia 20-70 tahun, dengan rata-rata usia 40 tahun.
• Pasien biasanya tidak mengalami gejala, walaupun terkadang terasa tenderness dan
kegoyangan gigi.
b. Radiografis
• Berbatas jelas, seringkali lesi semilunar berasosiasi dengan area servikal akar gigi.
c. Histopatologis

• Mirip ameloblastoma, walaupun tidak ada sel epitel kolumnar (Gambar 11-30).

• Terdapat kemiripan dengan proliferasi rests odontogenic.


d. Perawatan
• Tumor ini memiliki kapasitas invasive dan dapat rekuren setelah perawatan konservatif.
Treatment of choice: kuretase atau eksisi.

5. Clear Cell Odontogenic Tumor (Carcinoma)


Merupakan neoplasma yang jarang di maksila
dan mandibula. Asalnya tidak diketahui, tetapi
lokasi dan gambaran histologis lesi ini
menunjukkan berasal dari odontogenik.
a. Gejala Klinis
• Biasanya di wanita diatas 60 tahun.
Lesi locally aggressive, neoplasma
tidak berbatas jelas yang terdiri dari
lembaran sel dengan sitoplasma clear.
• Rekurensi cukup sering terjadi, sekitar
50% kasus.
• Terkadang metastasi ke paru-paru dan nodus limfa regional.
b. Differential Diagnosis
• Tumor rahang yang memiliki komponen clear cell seperti CEOT, central mucoepidermoid
carcinoma, metastatic acinic cell carcinoma,
metastatic renal cell carcinoma, hyalinizing
clear cell carcinoma, dan ameloblastoma
• Stain diperlukan untuk membedakan
dengan clear cell carcinoma lainnya yang
memproduksi mucin atau glikogen.
• Survey metastatic diperlukan untuk
membedakan dengan clear cell
malignancies di bagian tubuh lainnya.

TUMOR MESENKIM
Dibuat oleh Elmira Musdiyanti & Dhira Rama Haidar Prakasita

1. Glick M, Feaganss WM. Burket’s Oral Medicine, 12th ed. People’s Medical Publishing House:
USA; 2015. Chapter 7, p. 389-393.
2. Scully C. Oral Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis and Treatment, 3rd ed. Churchill
Livingstone; 2013. Chapter 45, p. 294-296
3. Contemp Clin Dent. 2012 Jan-Mar; 3(1): 83–85.
4. Regezi JA, Sciubba JJ. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations, 6th ed. Saunders;
2012. Chapter 11, p. 282-287; Chapter 12, p. 293-306.
5. Indian J Dent Res. 2011 Mar-Apr;22(2):352-5.
6. Cawson RA, Odell EW. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine, 8th ed.
Churchill Livingstone; 2008. Chapter 8, p. 129-136.
7. Neville, Damm, Allen, Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology, 2nd ed. Saunders. Chapter
14, p. 563-571; Chapter 15, p. 633-638.
8. Osteochondroma. Was accesed from https://radiopaedia.org/articles/osteochondroma
9. Osteochondroma. Was accesed from https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--
conditions/osteochondroma/
Tumor Mesenkim

Odontogenic Myxoma

Central Odontogenic Fibroma

Cementoblastoma

Periapical Cemento-osseous
dysplasia

1. Odontogenic Myxoma

Pengertian: lesi mesenkim jinak yang secara mikroskopis mirip pulpa atau jaringan ikat
folikular
Etiologi : derivate mesenkim odontogenik
Insidensi : orang tua dan dewasa muda, sekitar usia 10-40 tahun (Scully, 2013) atau 10-50
tahun rata-rata 30 tahun (Regezi, 2012), lebih sering di wanita (Scully, 2013)
Lokasi : kebanyakan di posterior mandibular (gigi P dan M), bisa di maksila yang meluas
dari tulang alveolar, antrum hingga prosesus zigomatik
Gambaran Klinis: lesi intrabony secara perlahan meluas ke tulang korteks dan kemudian
perforasi. Jarang terasa sakit, menyebabkan displacement atau kehilangan gigi.
Gambaran Histopatologis : : jaringan ikat myxomatous aseluler, jaringan kolagen dan
fibrosa pada matriks mukopolisakarida (fibromyxoma), infiltrasi meluas di
sekitar tulang, bony island memperlihatkan residu trabekula, proliferasi rendah
Gambaran Radiografis :
• Tepi: berbatas jelas dengan gambaran radiopak
§ Lokasi : well-circumscribed, paling sering di region P dan M RB yang meluas
pada akar
§ Struktur Interna: radiolusen/diffuse dengan pola bervariasi
§ Bentuk : unilokular atau paling sering multilokular dengan pola honeycomb,
soap bubble, tennis racket; terlihat margin scalloped

DD : secara klinis sama seperti ameloblastoma. Tambahan, central hemangioma adalah


pertimbangan serius untuk lesi dengan gambaran radiografis honeycomb. Hal penting adalah
secara mikroskopis diagnosis diferensial harus meliputi pulpa yang sedang berkembang dan
hyperplastic follicular connective tissue di sekitar gigi impaksi.
Perawatan : infiltrasi myxoma, dengan eksisi bedah dan pengangkatan margin tulang normal.

Tidak disarankan untuk melakukan kuretase karena adanya classical
loose dan konsistensi seperti gelatin. Tidak adanya enkapsulasi
meningkatkan risiko rekurensi bila lesi diberikan perawatan yg terlalu
konservatif.

2. Central Odontogenic Fibroma

Pengertian : tumor ektomesenkin yang jarang ditemukan


Etiologi : tidak diketahui, namun 1/3 kasus berkaitan dengan gigi yang tidak erupsi (Neville)
Insidensi : di usia 4-80 tahun, rata-rata 40 tahun (Neville,); lebih sering pada wanita
Lokasi : bisa pada maksila (45%, dari anterior sampai M1), tapi lebih sering di mandibular
(setengah kasus terjadi di posterior sampai M1)
Gambaran Klinis : pada ukuran yang kecil biasanya asimptomatik, ekspansi tulang yang
terlokalisasi atau kehilangan gigi
Gambaran Histopatologi : benang fibroblast dan serat kolagen; pada tipe sederhana
(epithelium-poor type) terdiri dari massa jaringan fibrosa yang matur yang di dalamnya
terkandung sedikit epithelial rest; pada tipe kompleks jaringan ikat mengandung komponen
epitel odontogenik yang tinggi dalam bentuk rest, bersama dengan deposit terkalsifikasi
(baik dentin atau sementum)


Gambaran Radiografis :
• Tepi: berbatas jelas dengan gambaran radiopak (tepi sklerotik)
• Lokasi: maksila di anterior hingga M1, mandibular di posterior hingga M1
• Struktur Interna: radiolusen
• Bentuk: unilokular well defined pada ukuran kecil, multilokular pada ukuran besar

DD: secara klinis sama seperti yang disebutkan pada amleblastoma; secara mikroskopis
adalah desmoplastic fibroma (bagian tulang fibromatosis). Tetapi berbeda karena
desmoplastic fibroma akan menunjukkan sifat yang lebih agresif dan rekuren.
Perawatan: Perawatan berupa enukleasi dan kuretase atau eksisi, rekurensi jarang terjadi.

3. Cementoblastoma

Pengertian: disebut juga true cementoma, merupakan massa bulat yang menempel pada
akar, termasuk neoplasma jinak dan jarang terjadi
Etiologi: dari massa jaringan cementum-like
Insidensi: predominan pada decade ke-2/3, biasanya sebelum 25 tahun (Regezi, 2012)
Lokasi: lebih sering di mandibular dibanding pada maksila, lebih sering di posterior (di M1
RB menempel dengan akar [Cawson, 2008])
Gambaran Klinis: menyebabkan perluasan kortikal dan nyeri yang intermitten (low-grade),
gigi biasanya vital
Gambaran Histopatologis: massa padat dari materi cementum-like termineralisasi dengan
banyak reversal line. Pada bagian tepi, terdapat area jaringan yang tidak termineralisasi
dan kapsul jaringan ikat. Keterlibatan jaringan lunak yang tervaskularisasi dengan baik
mengandung sementoblast yang banyak dan besar, hiperkromatik, multinucleated giant cell


Gambaran histo mirip osteoblastoma, Kalau cementoblastoma nempel di akar gigi

Gambaran radiografis :

• Tepi: radiolusensi tipis


§ Lokasi: menempel pada akar
§ Struktur Interna: radiopak
§ Bentuk: bisa berbentuk bulat atau irregular, dengan tekstur berbintik-bintik (mottled).
Karena reparasi tulang

DD: secara mikroskopis mirip osteosarcoma karena aktifitas selular yang terkadang tampak
sangat aktif, bisa juga mirip dengan osteoblastoma namun tidak terjadi perlekatan pada
akar gigi
Perawatan: ekstraksi gigi bersamaan dengan massa yang terkalsifikasi


4. Periapical Cemento-osseous Dysplasia

Pengertian: lebih menunjukan proses displastis atau reaktif dibanding neoplastik


Etiologi: respon abnormal tulang periapikal dan sementum terhadap suatu faktor lokal
Insidensi: risiko tinggi pada populasi Asia Timur dan Afrika, wanita kulit hitam lebih tinggi,
usia pertengahan (40 tahun)
Lokasi: mandibula terutama bagian periapikal di anterior (di 2 atau lebih gigi)
Gambaran Klinis: pada apeks akar gigi yang vital, asimptomatik
Gambaran Histopatologi: campuran jaringan fibrosa jinak, tulang dan sementum; jaringan
terkalsifikasi dalam trabekula, spikula dan massa irregular besar; terdapat reverse line,
osteoblast, sementoblast; sel inflamasi kronis


Gambaran Radiografis :
• Tepi: berbatas jelas radiopak, cincin radiolusensi tipis bila sudah mencapai final stage
• Lokasi: periapikal
• Struktur Interna: radiolusensi yang berlanjut dengan ruang ligamen periodontal; bila
berprogres atau matur akan bercampur atau berpola bintik-bintik; pada final stage
radiopak

• Bentuk: berbentuk bulat

DD : secara mikroskopis mirip dengan chronic osteomyelitis dan ossifying fibroma.


Perawatan : tidak dibutuhkan perawatan, setelah mencapai fase opak akan stabil dan tidak
terdapat komplikasi.

Gigi tidak perlu diekstraksi atau dilakukan perawatan endo karena gigi
masih vital


Mixed Odontogenic (Epitelial and Mesencyhmal Tumors)
Dibuat oleh: Manendra Muhtar

Sumber:

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations, 6th ed. Saunders.
2012,

White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology and Interpretation, 7th ed. 2014.

1. Ameloblastic Fibroma and Ameloblastic Fibro-odontoma


Gambaran Klinis:

• Keduanya memiliki komposisi neoplastic epithelium dan mesenkim (neoplastik


myxomatus connective tissue) dengan komponen jaringan lunak yang identik secara
mikroskopis.
• Orang-orang yang menderita salah satu atau kedua lesi ini memiliki rentang usia,
jenis kelamin, dan lokasi yang serupa (rata-rata berusia 12 tahun dan batas usia
atas sekitar 40 tahun, Paling sering terjadi pada area molar-ramus mandibular)
• Paling sering terjadi pada area molar-ramus mandibular, namun bisa juga terjadi
di regio lain
• Prognosis sangat baik; rekurensi jarang terjadi
• Kejadian di laki-laki= perempuan

Gambaran Radiografis Ameloblastic Fibroma:

Lokasi: Biasanya berkembang di area


premolar-molar mandibula. Beberapa
kasus melibatkan ramus dan meluas ke
area premolar-molar. Lokasi umum
adalah di dekat crest alveolar process
atau dalam follicular relationship
dengan gigi yang belum erupsi
(berada di oklusal gigi) atau dapat
tumbuh di area di mana gigi gagal
berkembang

Batas tepi: Batas jelas (well-defined)


dan kadang terkortikasi mirip seperti
kista

Struktur interna: Biasanya unilocular


(radiolusen total) tapi mungkin juga
multilokular dengan curved septa yang
terlihat kabur

Efek terhadap struktur sekitar: Jika lesinya besar, mungkin terjadi ekspansi dengan plat
kortikal yang masih utuh (intact). Gigi-geligi yang terliibat kemungkinan terhambat
dari erupsi normalnya atau berpindah ke arah apikal.

Gambaran Radiografis Ameloblastic Fibro-Odontoma:

Lokasi: Kebanyakan kasus terjadi pada


aspek posterior mandibula.Pusat dari lesi
biasanya oklusal terhadap gigi yang sedang
berkembang atau menuju ke alveolar crest.

Batas tepi: Jelas (Well-defined) dan kadang


dengan batas tulang kortikal.

Struktur interna: Lesi yang kecil terlihat seperti


folikel yang membesar dengan hanya satu ada dua radiopasitas yang berbeda. Lesi
yang lebih besar memiliki struktur internal yang lebih terkalsifikasi.

Gambaran Histopatologis:

• Lesi berupa lobulasi dikelilingi oleh kapsul fibrosa

• Massa tumor terutama terdiri dari primitive-appearing myxoid connective tissue –


tidak memiliki kolagen sehingga komponen ini mirip seperti pulpa

• Pada tumor mesenkim terdistribusi secara merata strand odontogenic epithelium


yang berukuran sebesar dua sel

• Paada ameloblastic fibro-odontoma, satu atau beberapa foci mengandung


enamel dan dentin (seperti odontoma)

DD

Ameloblastic Fibroma:
• Ameloblastoma
• Odontogenic myxoma
• Dentigerous cyst
• Odontogenic keratocyst
• Central giant cell granuloma

• Histiocytosis

DD Ameloblastic Fibro-Odontoma
• Calcifying epithelial odontogenic tumor
• Calcifying odontogenic cyst
• Developing odontoma

Perawatan:
• Tumor ini terenkapsulasi dan kapasitas invasifnya rendah sehingga bisa dirawat
dengan prosedur bedah konservatif seperti kuretase atau eksisi
• Rekurensi dapat terjadi namun sangat jarang

2. Odontoma
Gambaran Klinis:
• Terkomposisi dari jaringan keras dental epithelial serta mesenkimal (jaringan
terdiferensiasi sepenuhnya) sehingga terlihat sebagai lesi yang terkalsifikasi
• Secara biologis, odontoma sebenarnya dianggap sebagai hamartomas
dibandingkan neoplasma
• Terdapat dua jenis odontoma:
• Compound odontoma – terlihat sebagai gigi-geligi
mini yang banyak atau gigi-geligi yang belum
sempurna (rudimentary); pada tooth-bearing area, di
antara akar-akar gigi, atau di atas mahkota gigi
impaksi

o Complex odontoma (most common odontogenic tumor) – terlihat sebagai


campuran amorf dari jaringan keras
• Ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda; paling banyak di dekade kedua
kehidupan
• Insidensi di Maksilla > Mandibula
• Tanda-tanda klinis dapat terjadinya odontoma adalah persistensi gigi sulung, gigi
impaksi, dan pembengkakkan alveolar.
• Compound odontoma cenderung sering terjadi pada rahang anterior, sedangkan
complex odontoma pada rahang posterior

• Kejadian di laki-laki = perempuan


• Lesi biasanya asimptomatik

Gambaran Radiografis Odontoma:


Lokasi: Kebanyakan tipe compound (62%) ditemukan di
anterior maxilla dan berkaitan dengan mahkota gigi
caninus yang belum erupsi. Sedangkan 70% dari complex
odontoma ditemukan di gigi M₁ rahang bawah dan area
gigi M₂
Batas tepi dan bentuk: Well-defined, bisa smooth ataupun
iregular. Lesi ini memiliki batas tulang kortikal dan di

dalamnya langsung lapisan soft tissue capsule.


Struktur interna: Konten berupa radiopaque luas.
Compound odontoma berstruktur seperti gigi atau denticle
yang terlihat sebagai deformed teeth. Complex odontoma
mengandung massa iregular dari jaringan yang
terkalsifikasi. Derajat opacity equivalen terhadap atau
meluas ke struktur gigi sebelahnya dan radiopacity-nya
bervariasi. Odontoma yang melebar memiliki struktur terkalsifikasi tunggal dengan
lebih radiolusen di tengahnya , seperti donat.
Efek: Mengganggu erupsi normal gigi-geligi. Complex odontoma yang luas dapat
menyebabkan ekspansi rahang dengan maintenance dari batas kortikalnya.

Gambaran Histopatologis Odontoma:


• Lesi dapat terlihat sebagai jaringan enamel, dentin, cementum, dan pulpa yang
normal
• Enamel matrix yang menonjol dan
enamel organ yang terlibat sering
terlihat sebelum maturasi akhir dari
jaringan keras.
• Terlihat ghost cell keratinization pada
sel pembentuk enamel di beberapa
odontoma. Namun hal ini tidak
menunjukkan suatu kekhasan. Hanya mengindikasikan bahwa ada potensi untuk sel

epitel ini untuk terkeratinisasi

DD Odontoma:
• Diagnosis compound odontoma dapat ditegakkan melalui pemeriksaan radiografis
• Complex odontoma biasanya tampak seperti gambaran radiograf pada umumnya
karena opasifikasi yang solid dengan hubungan terhadap gigi-geligi. DD dapat
meliputi lesi rahang opak lainnya seperti focal sclerosing osteitis, osteoma,
perapical cemental dysplasia, ossifying fibroma, dan cementoblastoma.

Perawatan Odontoma:
• Odontoma memiliki potensi pertumbuhan yang terbatas, meskipun terkadang
complex odontoma dapat tumbuh menjadi massa yang cukupbesar. Enukleasi
dapat dilakukan, dan tidak akan terjadi rekurensi.

TUMOR NON-ODONTOGENIK
Dibuat oleh Elmira Musdiyanti & Dhira Rama Haidar Prakasita

1. Glick M, Feaganss WM. Burket’s Oral Medicine, 12th ed. People’s Medical Publishing House:
USA; 2015. Chapter 7, p. 389-393.
2. Scully C. Oral Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis and Treatment, 3rd ed. Churchill
Livingstone; 2013. Chapter 45, p. 294-296
3. Contemp Clin Dent. 2012 Jan-Mar; 3(1): 83–85.
4. Regezi JA, Sciubba JJ. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations, 6th ed. Saunders;
2012. Chapter 11, p. 282-287; Chapter 12, p. 293-306.
5. Indian J Dent Res. 2011 Mar-Apr;22(2):352-5.
6. Cawson RA, Odell EW. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine, 8th ed.
Churchill Livingstone; 2008. Chapter 8, p. 129-136.
7. Neville, Damm, Allen, Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology, 2nd ed. Saunders. Chapter
14, p. 563-571; Chapter 15, p. 633-638.
8. Osteochondroma. Was accesed from https://radiopaedia.org/articles/osteochondroma
9. Osteochondroma. Was accesed from https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--
conditions/osteochondroma/

A. TUMOR JINAK / BENIGN

Ossifying Fibroma

Fibrous Dysplasia

Osteoma

Ostechondroma

Cemento-ossifying Fibroma
Tumor Jinak

Central Giant-Cell Granuloma

Haemangioma

Melanotic Neurectodermal

Cemento-osseus dysplasia

Osteoblastomo

Desmoplastic Fibroma

Giant cell tumor

Langerhans cell disease

Torus dan Exosteses

1. Ossifying Fibroma

Pengertian: tumor jinak pada tulang, bisa tumbuh meluas, menyebabkan destruksi tulang dan
rekuren
Etiologi: tidak diketahui, beberapa kasus melibatkan translokasi kromosom

Insidensi: terjadi pada decade ke-3/4 kehidupan, lebih sering terjadi pada wanita
Lokasi: pada kepala dan leher muncul di rahang dan tulang kraniofasial; pada rahang
biasanya di daerah tooth-bearing terutama di gigi P sampai M RB
Gambaran Klinis: tumbuh perlahan, asimptomatik, lesinya dapat meluas, daerah
pertumbuhan à rahang dan tulang kraniofasial, dapat menyebabkan penipisan plate
kortikal bukal dan lingual.


Gambaran Histopatologis: jaringan ikat fibrosa, dengan spindled fibroblast yang
terdiferensiasi dengan baik. Serat kolagen terbentuk acak, terlihat pola storiform. Bony
spheroid/trabecule/ island terdistribusi melalui stroma fibrosa. Tulang imatur dan dikelilingi
osteoblast


Ossifying fibroma dibagi menjadi 2 berdasarkan gambaran histopatologinya:
• Juvenile trabecular ossifying fibroma (JTOF):
o Lesi pada pasien muda. Gambaran histopatologisnya terdapat lembaran
irregular osteoid encasing plump dan osteosit yang berbentuk irregular juga.
o Terdapat banyak multinucleated osteoclast
• Juvenile psammomatoid ossifying fibroma (JPOF) :
o banyak terjadi pada tulang kraniofasial selain rahang. Prevalensi pada
pasien dengan usia relatif tua.

o Histopatologi à terdapat banyak lamella konsentrik dan spherical ossicle


dengan berbagai bentuk. Terdapat center basofilik dengan peripheral
eosinophilic osteoid rim

Gambaran Radiografis :
• Tepi: memiliki batas tepi yang jelas
• Lokasi: tooth-bearing area terutama mandibular posterior
• Struktur Interna: radiolusen hingga radiopak atau kombinasi
• Bentuk: irregular, bisa unilokular atau multilokular

DD: Fibrous dysplasia perbedaannya adalah batas ossifying fibroma jelas dan lesi ossifying
fibroma dapat diangkat dengan mudah
Perawatan: perawatan berupa kuretase atau enukleasi, jarang rekuren

2. Fibrous Dysplasia

Pengertian: tulang medular normal digantikan dengan proliferasi jaringan ikat fibrosa
abnormal sehingga tulang immature
Etiologi: diakibatkan oleh aktivitas sel mesenkim yang deranged atau defek dalam
mengontrol aktivitas sel tulang. Mutasi encoding gen GNAS 1 (disebut Gsα)
GNAS I (guanine nucleotide-binding protein, a-stimulating activity polypeptide I)
yang melakukan encoding terhadap subunit alpha dari transmembrane-signaling G
protein (Gsα)

Gsα memperngaruhi proliferasi dan diferensiasi fibroblast/osteoblast

Insidensi: terjadi pada decade ke-1/2, lebih sering


pada wanita
Lokasi: tulang pada rahang terutama maksila, kadang iga dan femur
Gambaran Klinis: asimptomatik, perbesaran perlahan pada tulang, melibatkan satu atau
banyak tulang. Lesi di maksila dapat meluas hingga sinus maksilaris, os. sygoma, os.
Sphenoid, dapat menyebabkan asimetri wajah, kadang terjadi pergeseran gigi, maloklusi,
dan terganggunya erupsi gigi

Gambaran Histopatologis: stroma jaringan ikat fibrosa seluler (slight to moderate) yang
mengandung terbekulasi foci atau irregular dari tulang immature. Kapiler prominen dan
tersebar merata. Fibroblast menunjukkan inti berbetuk uniform spindle-shaped


Gambaran Radiograf :
Ciri khas yaitu terlihat seperti ground-glass atau peau d'orange Effect (tampak kabur)
• Tepi: Batasan tegas
• Lokasi: meluas pada rahang
• Struktur Interna: lesi radiolusen hingga massa radiopak
• Bentuk: unilokular atau multilokular radiolusen terutama pada tulang panjang

DD: utamanya Ossifying fibroma (perbedaannya ossifying fibroma terdapat rimming


osteoblast tulang); Chronic osteomyelitis (osteomyelitis sakit, tender dan bisa di drainase)
Perawatan: Lesi kecil mungkin tidak memerlukan pengobatan selain konfirmasi dan tindak
lanjut periodik biopsi. Lesi besar yang telah menyebabkan deformitas kosmetik atau
fungsional dapat diobati dengan prosedur rekonturing dengan bedah.

3. Osteoma
Pengertian: tumor jinak yang mengandung tulang mature, kompak dan konselus.

Etiologi: tidak diketahui; namun trauma, infeksi, dan perkembangan abnormal menjadi faktor
yang berpengaruh

Insidensi: terjadi pada decade ke 2-5 kehidupan, lebih sering pada pria

Lokasi: Paling banyak muncul di daerah mandibular/kondilus, kalau di body of mandible


biasanya di area posterior (lingual P RB)

Gambaran Klinis: Pada periosteal osteoma berkembang lambat, dan keras; dapat terjadi
asimetri wajah;

■ Tumbuh dari tulang sebagai massa yang berbentuk seperti polip dan tidak bergerak
(sessile)
■ Asimptomatik, lesi tumbuh soliter
■ Paling banyak muncul di daerah mandibular/kondilus, kalau di body of mandible
biasanya di area posterior (lingual premolar RB)
■ Pertumbuhan lambat (jinak) , tetapi kadang2 bisa menyebabkan deformitas fasial
Osteoma yang timbul di permukaan tulang disebut periosteal osteomas,
bila di antara tulang disebut endosteal osteomas

Jenis-jenis : Osteoma Kompak dan Kanselus

■ Osteoma kompak à pertumbuhan lambat, terdiri dari lamela-lamela tulang padat


tersusun seperti kulit bawang dan memiliki pembuluh darah (tanpa sistem haversian)

■ Osteoma kanselus à tediri dari tulang trabekular yang dikelilingi lamela korteks

Gambaran Histopatologis: terdiri dari 2 variasi


1. terdiri dari tulang yang padat tulang kompak dengan jaringan sumsum yang sedikit;
2. mengandung lamellar trabeculae tulang kanseolus dengan tingkat fibrofatty arrow
yang tinggi. Banyak terlihat osteoblast namun osteoklast jarang ditemukan.

Gambaran Radiografis :

Pada endosteal osteoma

§ Tepi: berbatas jelas


§ Lokasi: meluas pada rahang, wajah, tulang tengkorak, antara sinus paranasal
§ Struktur Interna: radiopak padat, well-circumscribed
§ Bentuk: bulat/oval, multilokular

DD: harus dibedakan dengan eksostosis (ekskresi tulang berlebih pada aspek bukal tulang
alveolar) pada rahang; selain itu juga osteoblastoma dan osteoid osteoma (terasa sakit dan
perkembangannya lebih cepat). Secara radiograf dd nya denggan odontoma dan sclerosing
osteomyelitis.
Perawatan: bedah eksisi

4. Ostechondroma
Pengertian: pertumbahan berlebih dari kartilago dan tulang pada ujung tulang panjang
dekat growth plate

Etiologi: tidak diketahui, namun terdapat 2 tipe yaitu inherited dan non-inherited

Insidensi: usia <50 tahun, predileksi wanita dan pria sama

Lokasi: permukaan tulang dekat growth plate. Lesi pada kompleks kraniofasial biasanya
muncul di septum nasal dan sinus ethmoid. Pada maksila biasanya ditemuka di anterior
sedang di mandibular pada simfisis, prosesus koronoid dan kondil

Gambaran Klinis: massa keras tidak sakit dan bergerak; satu tangan/kaki biasanya
lebih panjang dari sisi satunya; soreness pada otot di dekatnya

Gambaran Radiografis :

§ Tepi: berbatas jelas


§ Lokasi: tulang panjang dekat growth plate
§ Struktur Interna: radiolusen, dengan
kalsifikasi foci di dalamnya
§ Bentuk: irregular; soliter atau banyak

Gambaran Histopatologis: lobules mature hyaline cartilage, kondrosit yang mengandung


nuclei tunggal dan regular

DD: well-differentiated chondrosarcoma

Perawatan: prosedur bedah eksisi

5. Cemento-ossifying Fibroma
Pengertian: lesi fibro-osseous pada rahang

Etiologi: muncul dari sel-sel dari jaringan periodontal yang tidak terdiferensiasi. Terdiri dari
tulang, sementum, dan jaringan fibrosa yang bervariasi.

Insidensi: pada dekada ke-3/4 kehidupan, lebih sering terjadi pada wanita

Lokasi: predominan pada gigi P atau M RB, bisa mengenai rahang dan tulang orokranofasial
lain

Gambaran Klinis: pertumbuhan lambat, lesi bersifat ekspansif namun tidak sakit, terjadi
deformitas bila dibiarkan (asimetri wajah)

Gambaran Histopatologis: neoplasma terenkapsulasi dengan jaringan fibrosa yang


mengandung berbagai macam material termineralisasi yang mirip tulang dan/atau sementum

Gambaran Radiografis
:

§ Tepi: berbatas jelas, jika mature batas terlihat dalam gambaran radiolusen
§ Lokasi: gigi P atau M RB, terbatas di periapikal
§ Struktur Interna: radiolusen-radiopak (bercampur), jika mature akan terlihat radiopak
§ Bentuk: unilokular well-defined atau multilokular

DD: fibrous dysplasia (lesi tulang non-neoplastic)

Perawatan: prosedur bedah eksisi bisa juga prosedur bedah disertai kuretase

6. Central Giant-cell Granuloma

Pengertian: disebut juga lesi giant cell, proliferasi fibroblast dan multinucleated giant cell,
yang terjadi terutama pada rahang
Etiologi: respon reparatif terhadap perdarahan dan inflamasi intrabony
Insidensi: predominan pada anak-anak dan dewasa mudah, 70% pada usia <30 tahun,
lebih sering terjadi pada wanita (2:1)
Lokasi: maksila (anterior sampai gigi P, kadang meluas hingga midline) dan mandibular
(ramus dan kondil)
Gambaran Klinis: tidak sakit, pembengkakak, cortical plate menipis, jarang terjadi perforasi
hingga jaringan lunak

Gambaran Radiografis :
§ Tepi: berbatas jelas/tegas, batas scalloped
§ Lokasi: maksila (anterior hingga gigi P), mandibula

§ Struktur Interna: radiolusen


§ Bentuk: multilokular dan unilokular (jarang)

Gambaran Histopatologis: sel utama yang terlihat adalah fibroblast, setelahnya


multinucleated giant cell pada stroma; makrofag Hemosiderin-laden dan ekstravasasi eritrosit;
foci osteoid pada tepi peripheral


DD: ameloblastoma, odontogenic myxoma, dan odontogenic keratocyst; pada usia muda dapat
ditambah ameloblastic fibroma, ossifying fibroma, dan adenomatoid odontogenic tumor.
Secara mikroskopis GCCG mirip dengan lesi giant-cell yang berasosiasi dengan
hyperparathyroidism (dibedakan pada tes biomekanikal); giant cell tumor of (long) bone
(giant-cell lebih besar, nuclei lebih banyak dan lebih homogen; jarang terjadi di rahang);
aneurysmal bone cyst (terdapat ruang sinusoidal blood di antara massa tumor); cherubism


Perawatan: eksisi atau kuretase massa tumor diikuti dengan eliminasi margin tulang
peripheral
Rekurensi sangat tinggi pada pasien anak dan remaja
Lesi dengan gambaran klinis agresif juga sering rekuren, butuh perawatan yang lebih
jauh seperti reseksi

7. Haemangioma
Pengertian : malformasi pembuluh darah intraosseous
Etiologi : Hemangioma tulang mirip seperti pada jaringan lunak. Pada umumnya kavernosa,
namun bisa juga arterivenosa (fast-flow angioma) dengan arteri besar, menyebar dengan
cepat, dan mengalami perdarahan parah apabila dibedah.
Gambaran Klinis :
• Pembesaran yang keras, slow-growing,
asimetri MANDIBULA atau maksila
• Perdarahan gingiva secara spontan
• Paresthesia atau rasa nyeri, gigi goyang
secara vertikal
• Lesi besar yang bruit dan berdenyut saat
dipalpasi pada kortikal plate
Gambaran Radiografis :

• Radiolusensi multilocular mirip bubble appearance


• Lesi radiolusensi membulat dengan trabekulasi
tulang dari tengah lesi, membuat angular loculasi.
• Bisa juga radiolusensi cystlike à paling jarang
• Terjadi resorpsi akar

Gambaran Histopatologi :

• Proliferasi pembuluh darah


• Kebanyakan cavernous type (large-caliber vessels), lebih sedikit yang capillary type
(small-caliber vessels)

DD : Ameloblastoma, odontogenic myxoma, odontogenic keratocyst, CGCG, dan aneurysmal


bone cyst. Lesi unilocular sulit dibedakan dengan cystic lain yang juga terdapat dalam
rahang. Cara diagnosis: angiography

Perawatan :

• Jika tidak dirawat dengan benar à life threatening


• Ekstrasi gigi yang terlibat di central lesi vaskular à potensial perdarahan fatal
• Needle aspiration pada central lesion yang menjadi vascular origin sebelum
melakukan bopsi
• Perawatan: pembedahan, terapi radiasi, sclerosing agents, cryotherapy, dan
presurgical embolization technique

8. Melanotic Neuroectodermal / Pigmented Neuroectodermal Tumor of Infancy


Etiologi : Benign namun fast-growing yang terbentuk dari primitive pigment-producing cells.
Berasal dari neural crest

Lokasi : Anterior Maxilla pada bayi baru lahir < 6 bulan namun kadang terdapat di
mandibula, epididimis, otak, dan tengkorak

Gambaran Klinis : Berupa nonulcerated dan biasanya darkly pigmented mass à karena
produksi melanin oleh sel tumor

Gambaran Histopatologi :
• Menunjukan alveolar pattern (i.e. Nest sel tumor dengan sedikit jaringan ikat
• Ukuran nest bisa oval atau bulat, ditemukan di dalam jaringan ikat berbatas jelas
• Sel berlokasi di pusat dalam neoplastic nest dense dan compact, menirukan
neuroendocrine cells; sel perifer lebih besar dan sering mengandung melanin
• Terdapat sel pigmented dan non-pigmented pada fibrous stroma. Sel pigmented
memiliki inti lebih besar dan diisi oleh granul sitoplasmik kasar yang mengandung
melanin. Sel ini membentuk kelompok yang padat atau mengelilingi ruang-ruang kecil.

Sel non pigmented memiliki inti hiperkromatik besar yang membentuk kelompok kecil,
baik di stroma atau di ruang yang dikelilingi oleh sel- sel pigmented.

Gambaran Radiografis : ill-defined lucency yang terdapat gigi yang sedang berkembang,
area destruksi tulang, dengan ragged margins

DD : Jarang ada lesi lain pada bayi baru lahir. Keganasan pada early childhood, seperti
neurobastoma, rhabdomyosarcoma, dan “histiocytuc” tumor. Odontogenic cyst dan tumor bukan
Ddnya

Perawatan : surgical eksisi dan jarang menimbulkan rekurensi

9. Cemento-osseous dysplasia
Pengertian : lesi reaktif, displastik, dan neoplastic yang secara mikroskopis ditandai dengan
penggantian tulang normal dengan matriks kolagen yang mengandung trabekulasi immature
bone dan cementum-like material
Etiologi : Belum diketahui

Klasifikasi : Menjelaskan spektrum kelainan yang termasuk periapical cemento-osseus


dysplasia, focal cemento-osseous dysplasia, dan florid cemento-osseus dysplasia à kelainan
pada perluasan rahang.

Pada radiograf dan klinis yang dapat didiagnosa biasanya tipe periapical dan
florid. Sedangkan tipe focal hanya bisa diketahui melalui biopsy
1. Periapical cemento-osseus dysplasia
a. Lokasi : Regio periapikal anterior mandibular
b. Gejala Klinis : soliter, gigi vital, asimtomatik
c. Gambaran Radiograf :
i. Tahap awal à area radiolusensi dengan batas jelas melibatkan
area apical gigi. Pada tahap ini, lesi sulit dibedakan secara
radiograf dengan granuloma periapikal/kista periapikal.
ii. Saat sudah berprogres à lesi terkalsifikasi dan dibatasi dengan rim
radiolusen sempit.

2. Florid Cemento-Osseus Dysplasia


a. Lokasi : banyak daerah

b. Gejala klinis : Tanda lesi à kecenderungan bilateral dan dapat


menyebabkan asimetris, Asimptomatik, tapi bisa juga ada rasa nyeri
tumpul
c. Gambaran Radiografis : pola maturasi yang identic
i. Tahap awal à lesi akan terlihat radiolusen, namun seiring berjalannya
waktu akan terlihat campuran antara radiopak dan radiolusen
ii. Tahap lanjut à akan terlihat radiopak dengan rim/batas radiolusen di
perifer. Pada keadaan tertentu lesi juga dapat berubah menjadi
radiopak dan bercampur dengan tulang-tulang sehat

Tipe florid à hadir sebagai bentuk exuberant dari cemento-osseus dysplasia,


yang meliputi beberapa kuadran dari RA dan RB

3. focal cemento-osseous dysplasia


Lokasi : apical gigi posterior

Gambaran Histopatologi : Dari ketiga jenis à mirip satu sama lain.

• Jaringannya mengandung fragmen jaringan mesenkim dengan komposisi fibroblast


spindle-shaped dan serat kolagen dengan beberapa pembuluh darah kecil.
• Terdapat hemorhagik pada sekitar lesi.
• Di dalam jaringan ikat fibrosa tersebut terdapat campuran woven bone, tulang
lamella, dan cementum-like particles.
• Seiring lesi matang, lesi bertambah sklerotik sehingga jaringan ikat fibrosa akan
berkurang.

• Dengan maturasi, trabekula tulang akan menebal strukturnya sehingga mirip dengan
akar jahe.
• Di tahap akhir radiopak, trabekula akan berfusi membuntuk massa lobular yang
terdiri atas globulus atau lembaran material cemento-osseus yang tersebar.

DD : penyakit inflamatory periapikal yang berhubungan dengan pulpa à penentuan vitalitas


gigi penting, dan ossifying fibroma

10. Osteoblastoma & Osteid Osteoma


Pengertian : Merupakan lesi primer uncommon pada tulang yang terkadang muncul di
mandibula dan maksila. Osteoid osteoma adalah tumor yang sama namun dengan ukuran
yang lebih kecil
Etiologi : Penyebab keduanya belum diketahui, namun bisa jadi karena kelainan genetik.
Perbedaan :
OSTEOBLASTOMA OSTEID OSTEOMA
• > 2 cm • < 2 cm
• Terdapat rasa sakit • Terdapat rasa sakit
• Tidak merespon terhadap obat • Rasa sakitnya merespon terhadap aspirin
• Radiograf à radiolusensi yang bisa dan NSAID lainnya
terlihat jelas maupun tidak, dengan • Zona sklerosis yang mengelilingi
area patchy radiopacity di dalam lesi • Bagian tengahnya terdapat konsentrasi
(merupakan area mineralisasi) jaringan saraf
• Perawatan à eksisi konservatif • Perawatan à eksisi konservatif

Gambaran Histopatologi :

• Trabekulasi irregular osteoid dan imamture


bone di dalam stroma yang mengandung
jaringan vascular (Fig. 12-14)
• Adanya trabekulasi rahang menandakan
kalsifikasi
• Remodeling jaringan osseous à terlihat pada
gambaran berupa basophilic reversal lines
• Beberapa lapisan plump, hiperkromatik
osteoblas membatasi trabekulasi tulang
• Sel stromal biasanya kecil dan tipis, meski terdapat sel osteoblast-like dan
multinucleated giant cells

Gambaran Radiograf : berbatas jelas dan pola lucent-opaque. Terdapat radiolusensi tipis
yang mengelilinginya. Ada gambaran sclerosis perilesional bone. Terdapat gambaran pola
peripheral sun ray dari pembentukan tulang baru

DD :

• Cementoblastoma, ossifying fibroma, fibrous dysplasia, dan osteosarcoma


• Cementoblastoma à lesi berasal dari permukaan akar gigi dan berfusi dengannya
• Ossfying fibroma à tidak nyeri ,dan secara mikroskopis tidak terdapat osteoblas pada
osteoblastoma/osteoid osteoma
• Fibrous dysplasia à tidak berbatas jelas dan tidak ada prominent osteoblas
(mikroskopis)
• Cara membedakan dengan osteosarcoma à dari onset yang cepat dan rasa nyeri.
Hyperchromatic, large osteoblas resemble malignant cells of osteosarcoma

Perawatan : Pembedahan konservatif (kuret atau eksisi lokal)

11. Desmoplastic fibroma


Pengertian : Merupakan tumor yang langka pada
tulang

Etiologi : Terbentuk dari fibroblast yang seragam


dan fiber collagen yang banyak

Insidensi : Pada usia <30 tahun, rata-rata 14 tahun

Lokasi : Lebih sering pada badan ramus mandibula

Gambaran Klinis : Progres lesi lambat dan


asimptomatik, bisa menyebabkan pembengkakan

Gambaran Radiografis : unilocular atau multilocular. Bisa terlihat perforasi kortikal dan
resorpsi akar

Gambaran histopatologi: Interlacing bundle dan whorled aggregats dari jaringan kolagen
densely yang mengandung uniform spindled dan elongasi fibroblas, Hiperseluler dengan
plumper fibroblast nuclei, Tidak ada cytologic atypia dan mitotic

DD : Odontogenic cysts, odontogenic tumors, dan nonodontogenic lesion à yang biasa terjadi
dengan rentang usia yang sama

Perawatan : Pembedahan lesi, kuretase

12. Giant cell tumor


Pengertian : true neoplasma yang kebanyakan berasal di dalam tulang, terutama pada sendi
lutut. Bisa benign hingga malignant

Lokasi : Jarang terdapat di leher. Tempat lain seperti kepala dan leher, termasuk sphenoid,
ethmoid, dan tulang temporal

Insidensi : Paling sering pada dekade ketiga dan keempat

Gambaran Klinis : Pertumbuhan dan ekspansi tulang lambat, tapi bisa juga cepat, nyeri,
atau parethesia

Gambaran Radiografis : radiolusensi

Gambaran Histopatologis :

• banyaknya multinucleated giant cells menyebar di antara monosit-makrofag dan


spindle cells. Spindle cells menunjukan adanya sel neoplastik, monosit-makrofag
reaktif dan mengembangkan giant cells dan induction factors.
• Stromal cellularity: prominen
• Mengandung sel inflammatory dan daerah nekrosis dan tidak adanya hemorrhage
dan deposisi hemosiderin

Perawatan : pembedahan eksisi

13. Langerhans cell Disease

Dulunya dikenal sebagai histiosit X dan histiosit idiopathi, kelainan yang ditandai dengan
proliferasi sel Langerhans

Etiologi : LCD akut dan kronis: adanya transformasi neoplastic. Beberapa LCD menunjukan
adanya kerusakan cell-mediated arm sistem imun. Defisiensi suppressor T cells dan rendahnya
level serum thymic factor menunjukan adanya abnormalitas thymic. Gangguan imun ini
mempengaruhi mekanisme regulator normal, dengan dihasilkannya proliferasi sel Langerhans

Insidensi : remaja dan dewasa muda


Gambaran Klinis :
• Monostotic dan polyostotic mempengaruhi gambaran seluruh tulang badan.
• Terdapat keterlibatan mandibula, tulang rusuk, vertebra, dan tulang panjang
• Perubahan oral menjadi gambaran initial
• Tenderness, rasa nyeri, pembengkakan
• Gigi menjadi goyang pada tulang alveolar yang terlibat
• Jaringan gingiva inflamasi, hiperplastik, dan ulserasi
• Lesi mukosa oral: nodul submukosa, ulser, dan
leukoplakia
• Gigi menjadi goyang dan eksfoliasi gigi yang
prematur dan gigi permanen yang erupsi sebelum
waktunya
• Cervikal limfadenopathi, mastoiditis, dan otiitis
media à manifestasi kepala dan leher

Gambaran Radiograf : multiple radiolusen. Gigi tampak


melayang. Mesi berbatas jelas, dengan gambaran
punched-out pada tengah mandibula dan maxilla. Lesi

terkadang berlokasi di periapikal, menyerupai inflamasi periapikal. Lesi rahang disertai


keterlibatan tulang di skeleton lain.

Gambaran Histopatologi :
Ø Ditandai dengan proliferasi sel dengan sitoplasma yang banyak, batas tidak jelas,
nuklei yang oval hingga reniform. Sel-sel ini tercampur dengan eosinophil dan sel
inflamasi lainnya (
Ø Adanya second population makrofag
Ø Multinucleated giant cells dan foci of necrosis
Ø Gambaran ultrastructure: sitoplasma rod-shaped, indetik dengan granula Birbeck

DD :
Ø Uvenile atau diabetic periodontitis, hypophosphatasia, leukimia, cyclic neutropenia,
agranulocytosis, dan primary atau metastatic malignant neoplasma
Ø Lesi yang berada di periapikal DDnya periapikal cyst atau granuloma, yang
membedakan adalah pulpa tetap vital
Ø Lesi radiolusen pada tengah rahang harus dibedakan dengan odontogenic tumors dan
cyst
Ø Radiolusensi yang banyak dan berbatas jelas mirip dengan myeloma, tapi myeloma
terjadi pada orang yang lebih tua
Perawatan :

14. Torus dan Exosteses


Etiologi :
Ø Penyebab torus: unknown. Mungkin karena faktor genetik. Suatu kelompok peneliti
menyebutkan adanya kebiasaan parafungsi yang menyebabkan torus
Ø Penyebab exostoses: unknown. Beberapa pendapat menyebutkan pertumbuhan tulang
merupakan reaksi dari meningkatnya atau adanya tekanan oklusal yang abnormal
dari gigi
Torus palatinus:

Ø sessile (tidak bertangkai), masa tulang nodular yang simetris di sepanjang midline
palatum durum
Ø Lesi 2x lebih sering terjadi pada wanita
Ø Palatal torus biasanya muncul pada dekade kedua atau ketiga
Ø Pertumbuhan massa tulang lambat dan umumnya asimptomatik
Ø Bentuknya: nodular, spindled, lobular, atau datar
Ø Radiograf tori yang besar: lesi radiopak berbatas diffuse

Torus mandibuaris:

Ø Pertumbuhan tulang eksofitik di sepanjang lingual superior mandibula hingga


mylohyoid ridge
Ø Hampir selalu bilateral, terjadi di daerah premolar
Ø Jarang, tapi pernah muncul torus hanya pada satu sisi
Ø Asimptomatik, pertumbuhannya lambat selama dekade kedua dan ketiga
Ø Muncul sebagai nodul soliter atau multiple nodular bersatu
Ø Palatal tori dan mandibula tidak terjadi pada individu yang sama

Exostoses:

Ø Tonjolan tulang multiple (atau single), lebih jarang terjadi dibanding tori
Ø Bony nodules asimptomatik di sepanjang bukal tulang alveolar
Ø Paling sering di posterior RA dan RB

Gambaran Histopatologis :
Ø Lesi terbentuk dari tulang yang hiperplastik yang terdiri dari mature cortical dan
tulang trabecular
Ø Permukaan luarnya halus, kontur membulat
Perawatan : Tidak perlu perawatan kecuali untuk alasan prosthetic, atau adanya trauma
pada overlying mucosa

II. Malignant Neoplasma of Bone (Tumor Ganas Non-Odontogenic)

Dibuat oleh: Florencia Natasya

Sumber :

Regezi J.A.. Sciubba J.J. Oral Pathology: Clinical Pathology Correlations. Jordan R.C.K. Ed 6th.
Saunders. 2012.

Cawson R.A., Odel E.W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Ed 8th.
Churchill Livingstone. 2008.

Neville, Damn, Allen, Bouqot. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Saunders. 2002.

A. Osteosarcoma

Merupakan neoplasma tulang (non-odontogenic) yang sangat ganas dan paling umum. Tetapi
secara keseluruhan jarang terjadi, terutama di rahang. Osteosarkoma sulit ditentukan
penyebabnya namun beberapa kasus muncul setelah paparan radiasi ataupun Paget’s
disease pada tulang.

Gambaran Klinis

• Terlihat pada umur 30-40 tahun, terutama pada pria


• Lokasi utama : di badan posterior dan horizontal ramus mandibula.
• Terjadi pembengkakan yang kuat dan membesar secara signifikan dalam
beberapa bulan dan sakit, gigi menjadi goyang / hilang, mungkin terjadi
parestesia / hilang sensasi di saraf mentale.
• Dapat terjadi metastasis ke paru-paru dengan cepat.

Gambaran Radiografis

• Sering ditemukan pada posterior mandibula


(area tooth-bearing, angulus, dan juga ramus
vertical) dan pada posterior maksila (alveolar
ridge, antrum, dan palatum).
• Ada resorbsi akar gigi yang terlibat dalam
tumor à"spiking” resorption.
• Pada tahap awal bisa terjadi pelebaran ruang
periodontal di sekitar gigi yang terlibat (1 hingga 2 gigi).

• The sunburst / sun ray appearance / Codman’s triangle à akibat perubahan


pada periosteal dan osteophytic bone production (pembentukan tulang baru
berupa benjolan) pada permukaan lesi. Sunburst paling terlihat dalam proyeksi
occlusal.

Histopatologi

• Mitosis terlihat, terutama di area yang


banyak sel.
• Dapat terlihat giant-cell yang mencolok,
sel kebanyakan merupakan atypical cell
(tidak dapat digolongkan) (gambar 14.6)
• Produksi osteoid oleh malignant spindle
cell. (gambar 14.77)
• Pelebaran ruang periodontal ligamen dan terlihat malignant bone-producing
neoplasm (gambar 14.2)
• Osteoblas neoplastiknya terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk, bisa kecil dan
angular atau besar dan hiperkromatik. Tulang trabekula yang abnormal dikelilingi
oleh atypical cells yang bermitosis (gambar 9.17)

Treatment

• Reseksi tumor, berupa mandibulektomi


atau maksilaektomi bersamaan
dengan eksisi luas sebagian jaringan
lunak yang terlibat (gambar 14.11)
• dikombinasikan dengan radioterapi
dan/atau kemoterapi.

Differential Diagnosis

• Scleroderma
• Osteomyelitis kornis
• Benign neoplasma lain
• Chondrosarcoma

Rangkuman :

B. Chondrosarcoma

Jadi chondrosarcoma itu setipe sama chondroma / osteochondroma, tapi versi ganasnya…
Nah sebelumnya recal chondroma dulu ya!

Chondroma

Secara histologi, chondroma terdiri dari kartilago hialin, tetapi ukuran dan distribusi sel tidak
beraturan. Sekitar 20% kasus chondrosarcoma di area maksilofasial berasal dari chondroma.
Perawatannya yaitu eksisi, termasuk batas luas dari jaringan normal, karena sulit untuk
membedakan tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant).

Chondrosarcoma

Merupakan malignant tumor yang dikarakteristikan dengan formasi dari kartilago hyalin
yang tidak beraturan oleh sel tumor, bukan oleh sel tulang. Chondrosarcoma sekunder
biasanya muncul dari lesi kartilago yang jinak, contoh: osteochondroma or enchondroma.

Pasien dengan Maffucci’s syndrome (multiple enchondromas and multiple hemangiomas) dan
Ollier’s disease (multiple enchondromas without hemangiomas) punya resiko tinggi kena
chondrosarcoma.

Sekitar 20% kasus chondrosarcoma di area maksilofasial berasal dari chondroma dan sulit
membedakan antara benign chondroma dan low-grade chondrosarcoma.

Gambaran klinis

• Biasanya pada orang dewasa dan orang tua.


• Lokasi : 60% di maksila (region anterior & palatum) 40% di mandibular (area
premolar dan molar, simfisis, dan prosesus koronoid, dan kadang di prosesus
kondiloid)
• Pembengkakan disertai rasa sakit, dan
perluasan tulang yang terkena, serta
menyebabkan kehilangan gigi. Dapat
menyebabkan gangguan visual, nasal signs,
sakit kepala.

Histopatologi

• Kartilago hyaline pada tumor rahang yang abnormal, sering kali bersifat myxoid
(seperti mucus, bening, berlendir) dan poorly differentiated (gb.9.19).

• Kondrosit pleomorfik (beragam bentuk), sering kali binukleat (double nuclei) dan
memperlihatkan aktivitas mitosis (gb.9.20).

Secara histo dapat dibedakan berdasarkan


grade :

1. Grade I chondrosarcomas à mirip chondroma, terdiri dari chondroid matrix dan


chondroblast. Proliferasi menyerupai cartilage jinak. Kalsifikasi dan osifikasi matrix
kartilago sering terlihat, dan mitosis belum terjadi.
2. Grade II tumors à proporsi yang lebih besar dari nuclei (enlarged chondrocyte
nuclei), matrix kartilago lebih bersifat myxoid, memperlihatkan aktivitas mitosis
namun masih rendah.
3. Grade III chondrosarcomas à highly celluler, proliferasi dari komponen spindle
cell, terjadi mitosis dalam jumlah banyak.

Gambaran radiografis

• Radiolusensi (bisa soliter, multilokular, ataupun diffuse) dengan poorly defined


borders.

• Area radiolusensi biasanya terdapat


sejumlah radiopaque foci.yang tersebar,
akibat dari klasifikasi atau osifikasi matrix
kartilago.

Treatment

• Eksisi lokal sedini mungkin, akan sulit di regio maksilofasial. Eksisi tidak adekuat
bisa menyebabkan rekurensi ke lokasi yang lebih luas dan kemunduran prognosis.
• Respon terhadap radioterapi lemah.

C. Ewing’s Sarcoma

Gejala klinis

• Banyak terjadi di rentanv umur 5 – 30 tahun, 60% dan terjadi pada laki laki
• Mempengaruhi kepala dan leher
• Nyeri, bengkak pada tulang, sampai
beberapa bulan, gigi dapat goyang
ataupun hilang, ulserasi mukosa.
• Demam, leukositosis, meningkatnya ESR
(eritosit sedimentation) dan anemia dapat
terjadi.
• Biasanya mempenetrasi korteks,
menyebabkan massa jaringan lunak di
atas tulang yang terlibat.

Gambar radiografis

• Gambaran tidak spesifik,


menggambarkan proses infeksi ataupun
malignant (gambar14.17).
• Radiolusensi berupa destruksi tulang yang
irregular /moth-eaten destruction, dengan
margin yang sulit dibedakan. Terdapat
erosi cortex yang meluas.
• Karakteristiknya à "onionskin" periosteal
reaction.

Histopatologi

• Ewing’s sarcoma cell menyerupai limfosit tapi ukurannya 2 kali lebih besar dan
neuroectodermal.
• Nukleus yang berwarna gelap, dengan outline nukleus yang jelas, dan tepi
sitoplasma sel yang tidak jelas (pale).
• Sel tumornya tersusun secara tidak beraturan luas tanpa poa, kadang terpisahkan
oleh fibrovascular septa sehingga membentuk lobular pattern.

Differential Diagnosis

lymphoma/leukemia, metastatic neuroblastoma, mesenchymal chondrosarcoma, small cell


osteosarcoma.

Treatment

• Eksisi dini sebagai tindakan awal (wide excision).


• Jika tidak bisa, dilakukan iradiasi megavoltase, kombinasi dengan kemoterapi
untuk meningkatkan survival rate, tetapi bisa meningkatkan risiko terjadinya tumor
limfoid.

D. Plasma Cell Neoplasm

Berasal dari sumsum tulang limfosit B, yang mengalami diferensiasi fungsional dalam
kemampuannya memproduksi sekret immunoglobulin. Berhubungan dengan produksi
imunoglobulin monoklonal.

Tumor sel plasma bisa terjadi pada :

- Jaringan lunak à extramedullary plasmacytoma (biasanya menyerang


nasopharynx, nasal cavity, paranasal sinuses, dan tonsils)
- Tulang à lesi soliter litik, disebut plasmacytoma of bone (jarang di tulang, tapi
biasanya menyerang ileum, femur, humerus, thoracic vertebrae, tengkorak).
- Menyebar secara multifokal à multiple myeloma

I. Multiple Myeloma

Etiologinya adalag malignansi B-limfosit, akibat produksi imunoglobulin monoklonal yang


abnormal. Multiple myeloma merupakan penyakit hematopoietic pada marrow–bearing bone
of skeleton (tulang tengkorak tempat perlekatan sumsum).

Gambaran klinis

• 70% - 95% terjadi pada individu yang pernah menjalani radiografi tulang
maksila dan mandibula.
• Peningkatan ESR yang sangat besar sebagai hasil produksi berlebih dari
immunoglobulin (biasanya IgG).
• Gejala berupa rasa sakit, bengkak, mobilitas gigi, mati rasa, dan fraktur
patologis.
• Dapat terjadi kelemahan, berat badan turun, anemia, hyperviscosity syndromes.

• Proliferasi sel myeloma di sumsum kdg menyebabkan anemia dan


trombositopenia.

Histopatologi

• Myeloma muncul dengan lembaran plasma neoplastik yang terdiferensiasi baik


ataupun lemah (gambar 9.21 dan 14.24 A).
• Diagnosis dilakukan melalui biopsi pada sumsum tulang dan dikonfirmasi dengan
serum elektropoiesis dimana terdapat monoclonal band.
• Dengan Immunochemistry à sel positif (warnanya coklat) untuk lamda light chain,
menunjukkan monoklonal tumor (gambar 9.22 dan 14.24 B).

Radiografis

• terlihat punched-out multipel pada area non-corticated radiolusen hasil dari destruksi
tulang, terutama pada tengkorak dan beberapa lesi berbentuk oval (seperti kista).

Treatment

• chemotherapeutic alkylating agents & steroids + local radiation langsung ke lesi


yang sakit
• bone marrow transplantation
• proteasome inhibitor bortezomib, and thalidomide (or analogs) sebagai
terapeutik.
• Bisphosphonates à mencegah fraktur tulang, dan untuk menunda onset litik pada
lesi dan osteoporosis parah, serta untuk mengontrol gejala yang muncul.

Differential Diagnosis

• metastatic carcinoma
• lymphoma
• Langerhans cell disease.

Rangkuman :

II. Solitary Plasmacytoma

Prognosisnya lebih baik daripada plasmasitoma jaringan lunak. Lebih dari 65% pasien
bertahan lebih dari 10 tahun, namun pada akhirnya berkembang menjadi multiple myeloma.

Gejala klinis

• Biasanya menyerang dewasa >50 tahun dan dominan pria.


• Lokasi : jarang menyerang rahang à tp biasanya kalo nyerang rahang di angulus
mandibula.
• Karakteristiknya : sakit tulang, nyeri atau pembengkakan

Gambaran Radiografis

• Lesi litik yang well-defined, mungkin multilokular, menyerupai central giant


granuloma

Histopatologis

• Secara histologi terlihat gambarannya sama dengan multiple myeloma.

Treatment

• Radiotherapy local sebagai terapi primer


• Lesi yang bisa diakses à surgical excision, diikuti dengan radiation therapy.

E. Amyloidosis

Amyloidosis merupakan hasil dari myeloma, berupa deposisi protein abnormal di jaringan
dengan karakteristik adanya staining.

Gejala klinis

• terbentuk deposisi amyloid di mulut, biasanya di lidah yang mengakibatkan


makroglosia, atau berupa pembengkakan yang terlokalisir, atau keduanya
(gb.9.24 dan 9.25).

Rangkuman :

F. Langerhan’s Cell Histiocytosis

Sel langerhans menyerupai histiosit namun dendritik / bercabang, APC pada epitel. Kadang
berkembang jadi tumor tulang.

Tiga bentuk yang diakui, yaitu:

1. Solitary eosinophilic granuloma

• mengakibatkan localised bone destruction dengan pembengkakan dan sering sakit.


• Terkadang terdapat penyakit periodontal membuat akar terekspos
• Radiograph : Radiolusensi bulat dengan batas tidak jelas dan tampilan ‘floating in
air’.

Histopatologis

• Adanya proporsi beragam dari sel langerhans mirip histiosit, eosinofil, dan
terkadang beberapa tipe granulosit (gb.9.28).
• Sel langerhans memiliki nukleus yang pucat, bervesikel atau berlobul, serta
sitoplasma eosinofil yang tidak adekuat (gb.29).

2. Multifocal eosinophilic granuloma (including Hand-Schuller- Christian disease)

• Pada tahap ini terdapat histiositosis yang menyebabkan eksoptalmos, diabetes


insipidus dan pecahnya lesi di dasar tengkorak, namun ketiga hal ini sangat
minoritas terjadi.
• Biasanya tengkorak, skeleton aksial dan femora, visera (hepatosplenomegaly)
atau kulit juga terlibat.

3. Letterer-Siwe syndrome

• Merupakan bentuk histiositosis yang agresif


• biasanya menyerang bayi dan balita.
• Penyebaran penyakit melibatkan kulit, viscera dan tulang, dapat berakibat fatal,
walaupun perawatannya berupa irradiasi dan/atau kemoterapi.

Rangkuman secara umum :

G. Metastatic Tumor

Metastatic carcinoma paling banyak ditemukan di tulang pelvis, tulang belakang (vertebrae),
ribs (iga), tengkorak. Walaupun termasuk jarang terjadi pada rahang, tapi paling sering
terjadi dibandingkan dengan tumor lain.

Berasal dari berbagai organ: payudara, paru-paru, bronkus, prostat, tiroid, dan ginjal
(dapat bermetastasis mencapai rahang melalui aliran darah).

Gejala klinis

• sakit, ada pembengkakan pada rahang, gigi hilang,


terbentuk sebuah masa pada gingiva, dan lip
paresthesia.

• Metastasis pada mandibula (paling sering terjadi di


rahang) kadang melibatkan nervus inferior alveolar
yang menyebabkan syndrome mati rasa pada dagu
(anesthesia termed numb-chin syndrome,) termasuk
kehilangan sensasi pada lower lip.

Gambaran radiografis

• Defek radiolusensi dengan outline kabur /


samar-samar
• Dapat mirip seperti kista terinfeksi yang sedikit
ireguler ataupun osteomyelitis
• Prostate / thyroid carcinoma à dicirikan
dengan adanya proses osteoblastik.
• Biasanya menunjukkan reaksi jaringan
periosteal.

Histopatologi

• Deposit sekunder dapat berupa adenokarsinoma, tetapi tergantung dari


pertumbuhan tumor primernya.
• Destruksi tulang osteoklastik di bagian periferal / tepi tempat terbentuknya
deposit karsinoma. Deposit karsinoma pada mandibular menghancurkan korteks
hingga ke medulla (gambar 9.33).

Jadi,

gambaran histo nya beragam tergantung dari mana kah asal tumor primernya. Untuk
beberapa case yang sulit, digunakan immunohistochemical staining untuk cytokeratin.

Perbedaan ekspresi cytokeratins 7 and 20 (CK7, CK20, respectively) dan villin akan sangat
berguna untuk menentukan asal mula dari metastatic primary carcinoma.

Differential Diagnosis

naplastic sarcoma, lymphoma, and amelanotic melanoma.

Treatment

• Harus dirawat sejak pertumbuhan primer apabila memungkinkan

Surgical excision or chemoradiotherapy à tapi kalau sudah sampai bermetastatis ke rahang,


prognosisnya tetap buruk (bertahan /

PERBEDAAN TUMOR JINAK (BENIGN) DENGAN TUMOR GANAS


(MALIGNANT)
Dibuat oleh Destri Shofura G

Neoplasma dapat dibedakan menjadi jinak dan ganas dari:

1. Diferensiasi dan Anaplasia

Diferensiasi adalah derajat kemiripan sel tumor dengan jaringan asalnya baik dari
gambaran morfologinya maupun fungsi. Makin mirip makin baik diferensiasinya. Terdapat 4
jenis diferensiasi yaitu, well differentiated, moderate differentiated, poor differentiated, dan
undifferentiated.
Proliferasi neoplastik menyebabkan penyimpangan bentuk dan susunan sel tumor. Hal ini
menyebabkan sel tumor tidak mirip sel dewasa normal jaringan asalnya. Tumor poor
differentiated atau undifferentiated menunjukkan gambaran sel primitif dan tidak memiliki
sifat sel dewasa normal jaringan asalnya.

Semua tumor jinak umumnya tersusun dari sel neoplastik yang mirip normal (well
differentiated). Sedangkan tumor ganas berkisar dari yang well differentiated sampai ke
undifferentiated. Tumor ganas yang terdiri dari sel-sel yang tidak berdiferensiasi disebut
dengan anaplastik. Anaplasia memiliki arti tanpa bentuk atau kemunduran. Menunjukan
pertumbuhan ke arah tingkatan lebih rendah atau hilangnya differensiasi struktural dan
fungsional dari suatu sel

2. Kecepatan Pertumbuhan (rate of growth)

Kebanyakan tumor jinak biasanya tumbuh lambat sedangkan tumor ganas cepat. Namun,
derajat kecepatan tumbuh tumor jinak tidak tetap, kadang kadang tumor jinak tumbuh lebih
cepat daripada tumor ganas. Hal ini tergantung pada hormon yang mempengaruhi dan
adanya penyediaan darah yang memadai. Contoh leiomyoma uterus akan tumbuh lebih
cepat apabila ada peningkatan estrogen (sedang hamil). Pada dasarnya derajat

pertumbuhan tumor berkaitan dengan derajat diferensiasi sehingga kebanyakan tumor ganas
tumbuh lebih cepat daripada tumor jinak.

3. Invasi Lokal

Hampir semua tumor jinak tumbuh sebagai massa sel tumbuh lokal dan tidak mempunyai
kemampuan menginfiltrasi, invasi atau menyebar ke tempat yang jauh seperti pada tumor
ganas. Oleh karena tumbuh dan menekan perlahan-lahan, tumor jinak biasanya dibatasi
jaringan ikat, disebut kapsul atau simpai ataupun pseudocapsul atau simpai semu, yang
memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya. Kapsul menyebabkan tumor jinak
berbatas tegas dan mudah digerakkan pada
operasi.

Tumor ganas biasanya tumbuh progresif, invasif dan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Pada
umumnya batasnya tidak tegas dari jaringan sekitarnya dan tidak berkapsul. Kebanyakan
tumor ganas bersifat invasif dan dapat menembus dinding dan organ tubuh yang belrumen
seperti usus, dinding pembuluh darah, limfe, atau ruang perineural sehingga menyebabkan
reseksi engeluaran tumor sangat sulit.

4. Metastasis

Metastasi adalah penyebaran tumor ke jaringan yang jauh dari tumor asalnya. Tumor ganas
menimbulkan metastasis sedangkan tumor jinak tidak. Metastasis ini dimulai dengan invasi sel
kanker menembus pembuluh darah, pembuluh limfe, dan rongga tubuh kemudian terjadi
penyebaran ke organ lainnya.

Pemeriksaan Kelenjar Saliva


Dibuat oleh Destri Shofura G

Gillick M, Feagans WM. Burket’s oral medicine. 12th Ed. People’s medical publishing house,
USA. 2015

1. Riwayat Medis
• Riwayat konsumsi obat yang dapat mengganggu fungsi kelenjar saliva
• Riwayat disfungsi kelenjar saliva. Gejala-gejala:
o Berkurangnya saliva
o Rasa kering di seluruh permukaan mukosa oral termasuk bibir,
tenggorokan
o kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara
o Rasa nyeri di rongga mulut, rasa terbakar, sakit tenggorokan yang
kronis beserta rasa sakit ketika menelan
o Mukosa menjadi senstitif ketika memakan makanan panas atau asam

2. Pemeriksaan fisik
• Bibir nampak kering, pecah-pecah, atropi, terkelupas
• Mukosa bukal pucat
• Lidah bagian dorsal nampak halus karena hilangnya papilla, eritema, dan
fissured
• kapasitas buffer saliva turun à meningkatnya lesi erosif dan karies
• Meningkatnya akumulasi debris dan plak
• Candidiasis (erythematous candidiasis)
• Angular cheilitis
• Pembesaran kelenjar saliva à akibat inflamasi, infeksi, neoplastik.
o Pembesaran kelenjar saliva yang sakit à indikasi infeksi, inflamasi
akut, atau tumor
o benjolan tidak sakit /nyeri tumpul à Neoplasma
• Normalnya saliva dapat keluar dari orifis kelenjar mayor jika ditekan secara
perlahan dengan tekanan ke arah orifis.
• Normalnya saliva tidak berwarna, transparan, encer, dan banyak.

3. Sialometri
• Tujuan: mengetahui laju saliva dihitung dari kelenjar saliva mayor individu
atau campuran sampel cairan oral yang disebut Whole Saliva (WS).
• Laju alir saliva: saliva terstimulasi & tidak.
o Tidak terstimulasi: kenyamanan dan proteksi kavitas oral. Normal: ≥
0,1 mL/menit

o Terstimulasi: penilaian kapasitas fungsional relative dari kelenjar


saliva. Normal: ≥ 0,7 mL/menit
• Metode WS: mengumpulkan saliva dengan draining, suction, spitting, dan
absorbent (sponge).
o Spitting: mengumpulkan saliva lalu diludahkan pada tabung pre-
weighed 1x/menit selama 5 – 15 menit.
o Absorbent: menempatkan spons kasa pre-weighed di mulut pasien
selama waktu yang ditentukan.
• Yang direkomendasikan untuk dilakukan untuk pemeriksaan umum: saliva tidak
terstimulasi à cepat, mudah, akurat, ekonomis,
o Syarat perhitungan saliva yang tidak terstimulasi: pasien tidak boleh
makan, minum, merokok, membersihkan rongga mulut, dan stimulasi
lainnya 90 menit sebelum tes.
o Hindari gerakan dan bicara berlebih selama tes.

4. Sialokemistri
• Tujuan: memeriksa perubahan komposisi saliva.
• Parameter normal:
o Tidak berwarna; transparan
o Sedikit asam (pH 6—7)
o 99% air
o Ion anorganik: Na+, Cl-, Ca2 +, K+, HCO3-, H2PO4-, F-, I-, and
Mg2+ dan tiosinat.
o Komponen organic: urea, ammonia, asam urat, glukosa, kolesterol,
asam lemak, lemak, asam amino, hormone steroid, protein.
o Protein konstituen: mucin, amilase, agglutinin, laktoferin, IgA

5. Salivary diagnostics
• Fungsi saliva sebagai media diagnosis: kondisi sistemik, infeksi virus, infasi
bakteri, deteksi kanker, kadar alkohol dalam darah, level hormon, infark
miokardia* dan penggunaan obat-obatan terlarang.
• Keunggulan pemeriksaan saliva dari pada pemeriksaan darah: mudah
didapatkan, alat yang dibutuhkan mudah, noninvasif, ekonomis.

6. Biopsi Kelenjar Saliva

Biopsi kelenjar
saliva minor

Biopsi kelenjar
saliva mayor

Biopsi kelenjar Biopsi aspirasi


saliva jarum halus (FNAB)

Biopsi core needle

Ultrasound-Guided
Core Needle
Aspiration

a. Biopsi Kelenjar Saliva Minor


• Merupakan prosedur invasive yang minimal.
• Indikasi: Sjorgen syndrome (SS)
• Prosedur:
o Insisi dibuat di bagian dalam dari bibir bawah, dekat midline.
o 6-10 minor gland lobulus diambil dari permukaan mukosa dan di kirim
untuk pemeriksaan
• Penggunaan kortikosteroid, merokok, dan radioasi dapat mempengaruhi hasil
biopsy.

• Parameter: nilai “Focus Score” (FS) > 1

b. Biopsi Kelenjar Saliva Mayor


• Biopsi kelenjar parotid dan submandibula biasanya dilakukan secara
ekstraoral; sublingual secara intraoral.
• Indikasi: diagnosis mucosa-associated lymphoid tissue (MALT), limfoma non-
Hodgkin
• Risiko: sialocele, pembentukan fistula saliva, melukai saraf fasial, dan insisi
yang terlihat.

c. Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)

• Indikasi: diagnosis lesi solid.

• Berguna bagi pasien lanjut usia yang tidak bisa dieksisi karena masalah
medis.

• Limitasi: specimen kurang, sulit menentukan keparahan tumor, akurasi rendah,


tidak menyediakan informasi struktur anatomis.

d. Biopsi core needle

• Menggunakan jarum yang lebih besar untuk membuang cylinders pada


jaringan

• Kelebihan : komplikasi lebih rendah (hanya memar), mampu mengevaluasi


invasi tumor extracapsular, menjaga struktur histologis

• Menurunkan resiko tumor seeding (tumor bermetastasis)

• Memerlukan anestesi local

e. Ultrasound guided core needle aspiration


• Indikasi: biopsi massa kelenjar saliva dari kelenjar saliva mayor atau untuk
evaluasi patologi
• meliputi submandibular space.
• Aman dan akurat, mampu menginvestigasi cervical lymphadenopathy.

7. Pemeriksaan Serologi

• Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi keluhan mulut kering; cocok untuk


kasus yang dicurigai sebagai SS
• Kombinasi abnormal dari nilai sedimentasi eritrosit, mild normochromic,
normocytic anemia, leukopenia, dan polyclonal hypergammaglobulinemia à
indikasi SS
• Autoantibodi yang nampak pada kasus SS: rheumatoid factor (RF), antinuclear
antibodies (ANA), dan anti-SSA/Ro dan Anti-SSB
• Marker serologi yang juga digunakan untuk kelainan kelenjar saliva : serum
amylase.
o Meningkatnya serum amilase à indikasi inflamasi kelenjar saliva

Reactive Lesion
Dibuat oleh Denia Alya , Daniel Seteven

Sumber: Nevile 2nd Edition (389-437)

Dibagi menjadi 6 jenis:

• Mucocele/Mucus Exttravasation Phenomenon


• Obstructive Sialadenitis
• Ranula
• Necrotizing Sialometaplasia
• Adenomatoid Hyperplasia
• Maxillary Sinus Retention Cyst

Klasifikasi .........(Semoga membantu)

Tanda(*) = pemisah

Mucus Obstructive Ranula Necrotizing Adeno Maxillary


Extravasation Sialadenitis Sialometapla matoid Sinus
Phenomenon sia Hyperplasia Retention
(MUCOCELE) Cyst
Etiol Trauma Lokal (Sialolith) Obstruksi Iskemia Trauma Terhalang
ogi menyebabkan Sumbatan Sbgian kelenjar lokalis kelenjar
Pecahnya pada batu ujung saliva minor Seromukus

kelenjar saliva kelenjar distal antra


saliva saluran
dengan
dilatasi
*
Tergang
gunya
jaringan
pada
lapsian
jaringan
ikat

perj Terbentuk Sama Faktor Perjalanan Infeksi atau


alan Reaksi karena seperti predisposisi penyakit alergi
anp inflamasi adanya mucocele (Injuri,Dental /Photogene menyebab
eny Netrofil diikuti akumulasi injection,Ill sis masih kan
akit makrofag garam fitting kurang merembes
disekitar denture,pern dapat protein ke
nidus dalam afasan atas dimengerti jar lunak di
kelenjar infeksi sekitarnya
saliva ,Adjacent serta
Tumor , meningkatk
surgery) jadi an tekanan
tergangguny osmotik
a pasokan ekstravasku
darah ler diikuti
sehingga dengan
iskemia cairan
dapat terjadi

Kli Berbentuk Sialadentis Bewarna Junction Pembengka Asimptomat


nis menyerupai didapatkan Biru palatum kan ik degnan
kubah ,besar Xerostomia ,berbentu lunak dan Unilateral rasa sedikit
1-2mm hingga TIDAk k keras dengan pada nyeri
bbrp Cm * menyeru pembengkak palatum pada
Dewasa pai an unilateral lunak atau lipatan
* L/P kubah,Be atau keras mukobukal
Superficial 2:1 ngkak bilateral,erite * ekspansi
Mucocele Unilateral fluktutatif m,Bengkak,a Asimptomati bukal regio
vesikel tunggal Mayoritas di dasar da ulserasi k dasar saat
hingga multiple klnjr.Sub mulut luas dipalpasi
berdiameter 1- mandibular ditutupi *
4mm dapat * Lbih dengan Gambar
pecah akhirnya Rasa sakit besar mukosa radio sinus
meninggalkan secara dari warna maksilaris
ulser sakit intermitten mucocele kualitas berbentuk
yang dangkal dan berada normal setengah
sembuh dalam pembengka di dasar lingkaran ,
beberapa hari kan dapat mulut opak
dirasakan dapat homogen
* mengang jelas
Asimptomati kat
s LIDAH
*
Batu dapat
terdeteksi
dengan
sinar X
Are Bibir bawah Glandular Berada Kelenjar Palatum Sinus
a (60% kasus) saliva pada saliva area Lunak dan Maksilaris
Lesi daerah lateral mayor dan dasar Posterior Keras dengan
ke midline Glandular mulut palatal(75%) keterlibata
* saliva Minor (Bukan di dengan n kelenjar
Bisa juga bibir) tingkat Eksokrin
berada pada Sublingu frekuensi

Mukosa(jarang al palatum
) bukal Gland(p keras lebih
,anterior enyebab dibanding
ventral lidah utama),S lunak
,dan dasar ubmandi
mulut bular
dan
kelenjar
Superficial saliva
mucocele lokasi minor
terjadi dapat pada
di daerah dasar
palatum molle mulut

Hist Jar.granulasi di Nidus berisi jaringan Acinar Hiperplastik Kista


olog sekitar mucin jaringan granula Necrosis lobular dilapisi
i pool ada desquamatif ada dengan kelenjar Pseudostrat
jaringan parut ,musin Foamy struktur mukus ified
disekitarnya dalam Histiocyte kelenjar melewati Clolumnar
* jumlah s lobular masih submukosa diselilingi
Jar saliva besar atau dapat dan lamina sel mukosa
berdekatan bakteri diidentifikasi propia *
memiliki * * Pada
banyak sel Skuamosa Mukosa pseudokist
inflamasi kronis mengalami asini lebih a kumpulan
metaplasia banyak dari cairan
dapat secara biasanya mukus
tidak sengaja dikelilingi
diidentifikasi oleh
dengan jaringan
Skuamosa sel konektif

Karsinoma *
Infiltrat
Radang
campuran
berada
dalam
dinding
jarinngan
granulasi
ada
makrofag
banyak di
mucin pool
Dife 1.Kelenjar Neoplasma - Karsinoma Neoplasma Polip
renti liur kelenjar Sel Skuamosa Saliva Inflamatori
al 2.neoplasm Ludah * * *
diag Malformasi * Neoplasma Limfoma Hiperplasia
nosis vaskular Kista ganas * Lapisan
3.Neurofibro Dermoid kelenjar Perluasan sinus
ma saliva Penyakit akibat
* Nasopharyn Odontogen
Pada mucocele geal atau *
gingiva : sinosal Neoplasma
Kista Erupsi jaringan
lunak
lapisan
antral
Pra Dapat sembuh Untuk kista Pengank Self Limiting Biopsi Tidak
wat dengan sendiri pada atan Sembuh dapat dirawat
an apabila daerah kelenjar dalam 6-10 digunakan karena
kej.minor terisolasi subling- minggu dalam pertumbuh
* Eksisi ual dan menegakan annya
Kalau Kronis konservatif /atau diagnosa terbatas
dapat * marsupili * dan tidak
dilakukan eksisi Untuk kista asi Tidak ada destruktif,

,terutama di perawtan
pada daerah Glandular khusus
dicurigai Mayor
Eksisi pada pemindahan
daerah saliva sebagian
minor dekat kelenjar
mucocele agar *
tidak rekuren Penggunaan
Eritromisin
dan CHX
dapat
digunakan
untuk
mengurangi
rasa sakit di
mulut
*
Sialogogues
dapat
digunakan
dalam
menaikan
salivary
flow

Infectious Sialadenitis
Dibuat oleh Kartika Devy

Sumber: Regezi J.A., Sciubba J.J. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations. Jordan
R.C.K. 6th Ed. Saunders, 2012.

1. MUMPS (Paramyxovirus/Epidemic Parotitis)


Merupakan gangguan yang paling umum terjadi pada kelenjar saliva. Bentuk
noninfeksi langka dari mumps atau pembesaran kelenjar parotid adalah iodide mumps

(diasosiasikan dengan administrasi material kontras radiografi yang mengandung


iodida)
a. Etiologi dan Patogensesis
Disebabkan oleh paramyxovirus. Inkubasi selama 2 sampai 3 minggu sampai
munculnya gejala klinis. Transmisi terjadi melalui kontak langsung tetesan
saliva.
b. Gambaran Klinis
• Muncul demam, rasa tidak enak, sakit kepala, panas dingin, sebagai
tambahan rasa sakit pada area preauricular.
• Pembengkakan kelenjar parotid cenderung asimetri awalnya dan
mencapai proporsi maksimal pada hari ke 2 atau 3.
• Rasa sakit lokal parah sering ditemukan, terutama ketika digunakan
untuk menelan dan mengunyah.
• Duktus Stensen mungkin tertutup sebagian karena kelenjar bengkak,
dengan rasa sakit tajam akibat stimulasi dari mekanisme sekresi oleh
makanan dan minuman.
• Pembengkakan berkurang kira-kira 10 hari setelah onset gejala.
• Penyakit ini menginfeksi wanita dan pria, terutama anak-anak dan
dewasa muda. Komplikasi serius (orchitis/oophoritis) dapat saja terjadi
pada orang dewasa.
• Merupakan infeksi sistemik yang dibuktikan oleh penyebarluasannya
yang sampai ke jaringan lain termasuk ke hati, pancreas, ginjal, dan
sistem saraf.
c. Perawatan dan Prognosis
Perawatan simptomatis, termasuk bed rest. Analgesik dan kortikosteroid
di resepkan pada kasus parah. Pada umumnya akan sembuh total, walaupun
kematian diasosiasikan dengan viral ensefalitis, myocarditis, dan nefritis,
dapat terjadi atrofi testicular bilateran dan ketulian saraf, namun hal ini
jarang terjadi.
Pencegahan dilakukan dengan vaksin. Walaupun mumps merupakan
sialadenitis menular yang paring sering terjadi, parotitis mungkin saja
disebabkan oleh agen viral lainnya, seperti virus Coxsakie A, echovirus,
choriomeningitis virus, dan parainfluenza virus tipe 1 dan 2.

2. Cytomegaloviral Sialadenitis
Kondisi infeksi kelenjar saliva yang jarang terjadi dan mengenai bayi baru
lahir. Penyebaran infeksi transplasental. Merupakan penyakit sistemik yang
menyebabkan kelemahan, keterbelakangan perkembangan, dan kelahiran
premature.
Ketika ditemukan pada pasien immunosuppressed (pada pasien HIV atau
transplantasi organ), infeksi dapat menyebabkan demam, pembesaran kelenjar
saliva, hepatosplenomegaly (pembengkakan hati dan limpa), pneumonitis, dan
limfositosis. Renitis dapat menjadi komplikasi serius dari infeksi ini. Ulser di mulut,
terutama pada mereka yang immunosuppressed, dapat mengandung virus CMV
(dapat diperiksa dengan material biopsi). Pada pasien immunosuppressed yang
terinfeksi parah, dapat diberikan ganciclovir untuk mengontrol infeksi CMV. Pasien
dewasa yang tidak immunosuppressed juga dapat terinfeksi. Gejala tidak terlihat,
atau sedikit demam dan rasa tidak enak.
3. Bacterial Sialadenitis
a. Etiologi dan pathogenesis
Umumnya diasosiasikan dengan terlalu berkembangnya mikroba akibat
berkurangnya aliran saliva. Secara tradisional, bacterial sialadenitis
merupakan komplikasi post operatif bedah yang hidrasinya tidak mencukupi.
Beberapa obat-obatan yang mengurangi aliran saliva berkontribusi terhadap
munculnya infeksi ini, terutapa pada kelenjar mayor seperti kelenjar parotid.
b. Gejala klinis
• Rasa sakit tiba-tiba pada pembengkakan lateral wajah, demam, rasa
tidak enak, dan sakit kepala.
• Hasil laboratorium menunjukan meningkatnya Erythrocyte Sedimentation
Rate (ESR) dan leukositosis, sering dengan jumlah neutrofil yang
meningkat, menandakan inflamasi akut.
• Kelenjar yang terpengaruh biasanya lunak saat dipalpasi. Sering
ditemukan trismus, dan purulent pada orifis mungkin diproduksi oleh
tekanan lunak pada kelenjar yang terpengaruh.
• Jika infeksi tidak dieliminasi secara dini, supurasi dapat melebar
melewati kapsul yang membatasi kelenjar parotid. Ekstensi ke
sekeliling jaringan sepanjang bidang fasial di leher atau ekstensi
secara posterior ke kanal eksternal auditori dapat muncul kemudian.

c. Perawatan dan Prognosis


• Eliminasi langsung dari organisme kausatif dikombinasikan dengan
rehidrasi pasien dan drainase purulen jika ada.
• Culture and sensitivity dari eksudat yang ada di orifis ductus merupakan
langkah pertama dalam menentukan antibiotic (biasanya antibiotic
penicillinase-resistant).
• Medikasi yang mengandung agen parasympathomimetic, yang
mengurangi aliran saliva, harus dikurangi atau dihindari.
• Bersamaan dengan usaha untuk rehidrasi dan meningkatkan aliran
saliva, pasien diberikan analgesic, kompres lembab hangat, dan
pasien diminta untuk beristirahat.
• Biopsi dan retrograde sialography dihindari, terutama pada infeksi akut
dan subakut karena bentuk sebelumnya dapat menyebabkan
pembentukan sinus tract dan bentuk sesudahnya dapat menyebabkan
infeksi menyebar melewati batas kelenjar ke jaringa lunak di
sekitarnya.
• Dengan perawatan efektif dan cepat dari infeksi akut, infeksi berulang
dapat dihindari. Pada kasus infeksi parotitis kronis dengan
kemungkinan perubahan destruksi kelenjar, pembesaran berulang yang
sakit, dan xerostomia, dapat dipertimbangkan untuk dilakukannya
sialadenectomy – terutama jika kelenjar submandibular terlibat,
walaupun ligase kelenjar dan parotidectomy tetap menjadi pilihan
perawatan.

4. Sarcoidosis

• Histopatologi
- Ditemukan adanya noncaseating granulomas. Granuloma bisa berbatas
tegas dan menyebar atau bermuara (diskrit atau konfluen).
- Dalam granuloma terdapat makrofag epiteloid dan multinucleated
giant cells, yang mungkin mengandung stellate (badan asteroid) dan
badan Schaumann.
- Infitrasi limfositik difus mungkin terlihat di sekitar pinggiran granuloma.
5. Kondisi Metabolik (Sialadenosis/ Sialosis)
Kondisi ini biasanya mempengaruhi kelenjar parotid secara bilateral, secara
tipikal tanpa gejala inflamasi. Kondisi metabolic yang dihubungkan dengan
pembengkakan kelenjar saliva adalah: alkolisme kronis, diabetes mellitus, obesitas,
defisiensi diet, obesitas, hipertensi, bulimia, anoreksia nervosam dan hyperlipidemia.
Alterasi dari fungsi kanal air aquaporin sudah diimplikasikan pada pembentukan
sialadenosis akhir-akhir ini.

Pembesaran asimptomatik dari kelenjar parotid terjadi pada 30%-80%


pasien dengan cirrhosis alkoholik atau alkoholik kronis. Pembesaran kelenjar saliva
sudah di atribusikan dengan defisiensi protein kronis. Pada diabetes mellitus
berkurangnya rerata aliran saliva sudah dilaporkan sebagai tambahan pada
pembesaran bilateral kelenjar parotid. Mekanisme dari hipertropi asinar pada
kondisi ini tidak diketahui. Berkurangnya aliran saliva dari kelenjar parotid dan
kelenjar saliva mayor lainnya dapat meningkatkan risiko dari bacterial sialadenitis.
6. Sjögren’s Syndrome
Sindroma dari proses autoimun yang menghasilkan mata kering
(keratoconjunctivitis sicca) dan mulut kering (xerostomia) karena destruksi lymphocyte-
mediated dari parenkim kelenjar air mata dan saliva. Kondisi autoimun lainnya,
terutama rheumatoid arthritis, lupus erythematosus, dan scleroderma, dapat terlihat
sebagai komponen dari sindroma ini.

• Histopatologi
- Pada pasien dengan sindroma ini, infiltrasi benign limfosit mengantikan
parenkim kelenjar saliva mayor.
- Pada lesi awal, terdapat agregasi fokal limfosit di sekitar ductus dan
terkadang sel plasma.
- Foci inflamasi membesar, sebagai respon dari level degenerasi. Dengan
bertambahnya infiltasi limfosit, terbentuk kumpulan foci inflamasi.
Terdapat epimyoepithelial islands di kelenjar mayor pada 40% kasus
dan hanya jarang terlihat pada kelenjar minor.
7. Salivary Lymphoepithelial Lesion/ Myoepithelial Sialadenitis/ Immunosialadenitis

Gejala klinisnya terlihat sebagai massa bilateral atau unilateral, persisten,


tidak sakit, dan tegas pada kelenjar saliva mayor. Meskipun umumnya lesi bagian
dari Sjorgen’s Syndrome, terdapat laporan adanya lesi ini tanpa penyakit tersebut.

Histopatologinya menunjukan penghapusan jaringan saliva oleh infiltrasi


limfosit padat dan sel plasma. Hal ini diasosiasikan dengan proliferasi komponen

duktus untuk memproduksi pulau epitel ireguler yang disebut sebagai epimyoepithelial
islands.

8. Scleroderma
Scleroderma merupakan penyakit kronis yang penyebabnya tidak diketahui,
meskipun secara general dianggap sebagai kondisi disfungsi imun. Terdapat 2 bentuk
scleroderma: morphea (bentuk kutanous terlokalisasi merusak yang relatif ringan) dan
sistemik scleroderma (bentuk yang berpotensi mengancam jiwa, focus bahasan).
Scleroderma sering terjadi bersamaan dengan kondisi autoimun lainnya, seperti
rheumatoid arthritis, lupus erythematosus, dermatomyositis, dan sindroma Sjogren.
Perubahan inflamasi dan obstruktif terlihat secara mikroskopis pada arteriola dan
kapiler, menunjukan bahwa perubahan pembuluh darah merupakan hal yang penting
pada pathogenesis scleroderma. Selain itu, fenomena Raynaud, kondisi pembuluh
darah perifer, sering melanjutkan manifestasi dari penyakit. Scleroderma sistemik
biasanya muncul selama paruh baya (30-50 tahun) dan dominan pada wanita (4:1).
a. Gejala Klinis
- Kulit yang biasanya terpengaruh pertama kali, meskipun keterlibatan
sendi mungkin saja menyediakan tanda inisial.
- Seiring berjalannya waktu, terjadi fibrosisi organ, sehingga mulai
muncul tanda-tanda kegagalan organ.
- Manifestasi kutan ditandai oleh edema pada awal perjalanan
penyakit, diikuti oleh keketatan dan kekakuan kulit.
- Kulit akhirnya akan menjadi kerasm halus, atrofi, dengan telangiectasia
(dilatasi kronis dari sekelompok kapiler yang menyebabkan garis
merah atau bintik pada kulit).
- Wajah akan terlihat tidak berekspresi atau seperti memakai topeng.
- Fibrosis jari mengarah ke kekakuan dan atrofi di ruas-rusanya.
- Vascular compromise, dapat menghasilkan iskemia dan ulserasi jari
jemari, fenomena yang sering terlihat pada scleroderma dan fenomena
Raynaud.
- Kekakuan dari kulit di sekitar mulut akan menyebabkan restriksi dari
lubang oral. Menjaga OH dan perawatan dental rutin menjadi sulit.
- Fibrosis dari kelenjar saliva akan menyebabkan xerostomia dan karies
servikal.
- Terdapat resorpsi tulang mandibular dan pelebaran membran
periodontal yang seragam.

b. Histopatologi
- Ciri primer dari scleroderma adalah deposisi kolagen relative aselular
dalam jumlah banyak.
- Infiltrasi limfosit perivaskuler juga sering ditemui.
- Perubahan kelenjar saliva minor termasuk fibrosis interstitial menonjol
dan atrofi asinar.
c. Perawatan
- Selain terapi suportif belum ada peratwan yang memuaskan.
- Kortikosteroid mungkin memberikan keuntungan di awal tetapi tidak
memberikan kontrol berkelanjutan pada kasus progresif.

- Obat-obatan immunosuppressive seperti azathioprine menunjukan hasil


yang menjanjikan.
9. Xerostomia

Mulut kering sebagai pengurangan output saliva secara keseluruhan.

*palliation: peringanan

• Gejala Klinis
- Gambaran klinis dari xerostomia sama apapun penyebabnya.
- Pasien mengeluhkan berbagai gejala, terutama kesulitan berbicara
atau menelan, perubahan pengecapan, rasa tidak nyaman di mulut
secara keseluruhan, dan jika menggunakan, retensi gigi tiruan yang
buruk.
- Biasanya pengurangan aliran saliva hingga 50% dibutuhkan sebelum
gejala klinis muncul.
- Pemeriksaan akan menunjukan kurangnya saliva di dasar mulut, dan
usaha untuk mengeluarkan saliva dari bukaan ductus kelenjar saliva
mayor gagal.

- Saliva yang ada mungkin saja berupa busa.


- Berkurangnya saliva akan menghasilkan eritema mukosa oral secara
keseluruhan dan tampilan lobules pada dorsum lidah. Mungkin
terdapat kandidiasis dan angular cheilitis.
- Gigi akan rawan terhadap karies servikal dan restorasi yang sudah
ada dapat gagal akibat karies rekuren.
- Pasien dengan xerostomia merupakan prediposisi bagi episode
rekuren dari sialadenitis supuratif, terutama kelenjar parotid.
- Dampak dari xerostomia kronis signifikan secara klinis karena
diasosiasikan dengan kesulitan untuk makan, berbicara, dan menelan,
serta perubahan pengecapan. Hal ini menyebabkan menurunnya status
nutrisi, malnutrisi, dan berkurangnya interaksi sosial.
- Terlihat juga asosiasi xerostomia dengan rasa terbakar pada mulut
dan rasa sakit mukosa.
10. Gangguan Pengecapan
Jenis-jenis gangguan pengecapan:
- Hypogeusia: tumpulnya rasa, contohnya pada orang yang memiliki
kebiasaan merokok.
- Ageusia: hilangnya rasa
- Cacogeusia: rasa tidak enak atau buruk yang sebelumnya dapat
diterima
- Dysgeusia: persepsi rasa yang dialihkan atau tidak sesuai dengan
sensasi rasa normal

Perubahan pengecapan hanya sedikit mengganggu, dengan kemungkinan


munculnya depresi dan anoreksia sebagai kejadian klinis sekunder.

Walaupun praktisi dental tidak


secara rutin melakukan tes kualitatif dari
modalitas pengecapan dasar, melalui
riwayat medis dan bedah pasien, serta
pemeriksaan oral dengan hati-hati, maka
dapat ditemukan kemungkinan penyebab
dari terganggunya pengecapan pasien.
Penyakit mukosa oral, termasuk oral
candidiasis, merupakan factor etiologi

potensial yang paling penting. Bedah saluran nafas atas (prosedur sinus paranasal),
infeksi virus, atau neoplasma dapat mengubah fungsi olfaktori, yang secara tidak
langsung menggangu pengecapan. Prosedur bedah orofasial-ortognatik dan
tonsiektomi dapat melukai korda timpani, yang mempengaruhi setidaknya fungsi
pengecapan pada satu sisi.

Manajemen dari masalah ini masih


sulit dan terlimitasi. Berhubungan dengan
perubahan rasa akibat obat-obatan,
penggunaan vitamin dan mineral telah
diadvokasi. Pengubahan obat dengan
alternatifnya juga membantu. Apabila
kehilangan pengecapan diakibatkan oleh
xerostomia maka pasien distimulasi
salivanya.

BENIGN SALIVARY GLAND TUMOR


Dibuat oleh Ana Mardlianah

Regezi Oral Pathology Clinical Pathologic Correlation 6th ed.

1. Mixed Tumor (Pleomorpic Adenoma)


Sel myoepithelial-differentiated mengasumsikan peran penting dalam menentukan
keseluruhan komposisi dan tampilan tumor campuran. Berbagai jenis sel dan pola mikroskopik
terlihat pada tumor campuran, seperti sel-sel epitel yang hampir seluruhnya terdiri dari satu
sisi spektrum dan sel-sel myoepithelial hampir seluruhnya terbentuk di ujung yang lain. Sel
tunggal yang berpotensi untuk berdiferensiasi ke sel epitel atau myoepithelial mungkin
berperan dalam tumor ini.
• Gejala Klinis
− Pleomorphic adenoma lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan.
− Umumnya tumor ini bersifat mobile (dapat digerakan), kecuali apabila muncul
pada palatum durum.
− Tumor ini muncul sebagai pembengkakan yang keras (firm), tidak nyeri, dan
tumor ini tidak meyebabkan ulserasi pada pada mukosa di bawahnya.
− Predileksi utama dari tumor ini adalah palatum,dan diikuti oleh labial
superior serta mukosa bukal.

− Ketika terjadi pada kelenjar saliva parotid, tumor ini umumnya bersifat tidak
nyeri dan berkembang secara perlahan.
− Umumnya pleomorphic adenoma ini terletak inferior dari telinga dan
posterior dari mandibula.
− Beberapa tumor dapat menghasilkan tekanan atrofi pada tulang ramus
mandibula.
− Ketika berada pada ujung atau kutub inferior dari kelenjar saliva parotid,
pleomorphis adenoma muncul di inferior angulus mandibula dan di anterior
otot sternocleidomastoid.
− Ketika muncul pada lobus dalam kelenjar parotid, tumor ini tidak dapat
dipalpasi dan umumnya muncul sebagai masa di dalam region lateral
faringeal.
− Jika terbentuk di kelenjar mayor umumnya terlobulisasi dan dilapisi oleh
jaringan ikat pseduocapsule.
− Jika tebentuk didalam kelenjar saliva minor, tumor ini akan memiliki kapsul
yang terbentuk kurang baik (poorly defined) atau bahkan tidak ada.

• Histopatologi
− Sekitar 1/3 tumor ini menunjukkan rasio yang seimbang antara elemen
epitelial dan mesenkimal.
− Komponen epitelial umumnya tampil sebagai duktus,
tubulus, pita (ribbons), dan lembaran yang solid.
− Komponen mesenkimal umumnya tampil sebagai jaringan ikat yang
terhialinisasi dan miksoid.
− Ciri khasnya yaitu sel myoepitelial umumnya akan muncul sebagai sel
plasmatoid atau sel spindeled.

• Perawatan
− Perawatan pilihan dari tumor ini adalah pembedahan eksisi.
− Enukleasi tidak direkomendasikan à risiko terjadi rekuren.
− Manajemen pleomorphic adenoma dalam kelenjar parotid adalah
parotidectomi superfisial (lateral lobectomi) dan penjagaan terhadap saraf
fasial.

2. Basal Cell Adenoma


Basal cell adenoma terdiri dari sekelompok neoplasma jinak (benign neoplasms) dengan
gambaran histologi yang serupa dan beberapa berhubungan dengan mixed tumor. Biasanya
ditemukan pada kelenjar parotid. Pada kelenjar saliva minor, biasanya ditemukan pada bibir
atas, palatum, mukosa bukal, dan bibir bawah.
• Gejala Klinis
− Secara umum pertumbuhannya lambat,
soliter, dan tidak terasa sakit.
− Pada saat palpasi terasa berbeda (keras
dan berbatas jelas)
− Range usia pasien 35-80 tahun, rata-rata
60 tahun (pria).
− Bersifat multinodular dan unifokal.
• Histopatologi
− Bentuk sel basal yang solid, bentuk seperti pagar dengan sel
pada daerah perifer yang berbentuk kolumnar atau kuboidal.
− Pada pola yang trabecular, akan terlihat trebakula tipis dan
tali epithelial yang dibatasi oleh stroma tervakularisasi.
− Bentuk tubular pada neoplasma ini menunjukkan struktur duktus sebagai
struktur dominan dengan lining cell yang berbentuk kuboidal yang dikelilingi
oleh satu atau multiplelayer dari sel basiloid.

− Membranous adenoma berkembang dalam bentuk nodular


dengan berbagai bentuk pulau jaringan tumor yang dikelilingi oleh thick
periodic-acid –Schiff (PAS) positive hyaline membrane.
− Besar lesi ini sekitar 1-5 cm pada bentuk yang paling besar dan
asimptomatik.

• Perawatan
Manajemen perawatan yang direkomendasikan yaitu dengan melakukan
pembedahan eksisi konservatif, termasuk pada tepi jaringan normal yang tidak
terlihat.

3. Canalicular Adenoma
Calanicular adenoma biasanya ditemukan pada bibir atas.
• Gejala Klinis
− Biasanya ditemukan lebih sering pada wanita diatas umur 50 tahun.
− Sering ditemukan pada bibir atas (81%)
− Lesi bersifat asimptomatik dan dapat bergerak bebas
− Lesi ini berukuran beberapa mm sampai 2-3 cm.

• Histopatologi
− Adanya untai bilayer dari sel basaloid yang bercabang dan anastomosisnya
berada di dalam stroma tervaskulariasi serta mengandung sedikit fibroblast
dan kolagen.
− Individual cell berbentuk kolumnar atau kuboidal, dengan jumlah sitoplasma
eosinofilik banyak.
− Adenoma ini tidak terkapsulisasi secara menyeluruh dan multifocal.

• Perawatan
Perawatan yang dilakukan adalah eksisi dengan pemotongan pada jaringan normal.

4. Myoepithelioma
Myoepithelioma tersusun seluruhnya dari sel myoepitel. Walaupun strukturnya terlihat seperti
smooth muscle, tetapi myoepithelioma ini sering muncul pada kelenjar parotid, kemudian pada
kelenjar saliva minor dan jarang terjadi pada kelenjar submandibula.
• Gejala Klinis
− Berbentuk bulat dan tidak terasa sakit.

• Histopatologi
− Terlihat massa yang berisi sel spindle dan terdiri
dari 20% sel plasmatoid.

• Perawatan
Perawatan yang dilakukan berupa eksisi konservatif pada lesi yang muncul di
kelenjar saliva minor, meliputi selapis tipis jaringan normal di sekelilingnya. Dan
dilakukan parotidektomipada lesi yang ada di kelenjar parotid.

5. Oncocytic Tumors
Oncocytoma biasanya ditemukan pada kelenjar parotid. Lesi ini tersusun dari oncocyt, yang
merupakan sel granular asidofilik besar dengan mitokondria. Sumber histogenik dari lesi ini
diduga merupakan epitelium duktus saliva, terutama striated duct.
• Gejala Klinis
− Oncocytoma yang solid
− Berbentuk ovoid dan tekapsulisasi. Berukuran kurang dari 5 cm pada kelenjar
saliva mayor.
• Histopatologi
− Sel onkositoma berbentuk polihedral dengan sitoplasma eosinofilik granula.
− Nukleus terletak pada pusat sel dan umumnya berbentuk vesikular.
− Diagnosis onkositoma dapat ditegakkan melalui histochemical stain
phosphotungsic acid hematoxylin, yang mewarnai mitokondria intratoplasmik.
− Pertumbuhan dari neoplasma ini lambat, dan jinak.

• Perawatan
Perawatan yang dilakukan dengan eksisi kelenjar saliva minor dan superficial
parotidektomi.

6. Papillary Cystadonema Lymphomatosum (Warthin’s Tumor)


Merupakan predileksi utama pada kelenjar parotid, biasanya menyerang laki-laki dengan
usia 50-80 tahun. Warthin’s syndrome dapat terjadi pada nodus limfe akibat terjebaknya
elemen dari kelenjar saliva pada masa awal perkembangan. Pada kelenjar parotid, tumor ini
berfisat lunak hingga keras pada bagian bawah kelenjar, dan pada posterior angulus
mandibular. Tumor ini juga merupakan tumor yang terkapsulisasi dan memiliki permukaan
yang halus hingga berlobus dengan outline bulat.

Secara mikroskopik, terlihat banyak ruang kista dari batas yang ireguler berisi papillary
rojection yang dibatasi oleh onkosit, sel eosinofilik kolumnar. Lining cell juga dibatasi oleh sel
kuboidal yang terletak diatas jaringan limfoid dengan pusat germinal.

7. Sebaceous Adenoma
• Gejala klinis
Biasanya terjadi pada kelenjar submandibular dan parotid.

• Histopatologi
Jaringan ini berasal dari duktus intralobular dan tersusun secara dominan atas sel
kelenjar sebasea. Pada sebaceous lymphadenoma, dapat terlihat komponen benign
lymphoma.

• Perawatan
Perawatan yang dilakukan dengan parotidektomi dan pembedahan eksisi pada kasus
neoplasma intraoral lainnya.

8. Ductal Papilloma
Ductal papilloma meliputi sialadenoma papiliferum, inverted ductal papilloma, dan intraductal
papilloma. Tumor ini jarang terjadi dan pada umumnya muncul di dalam interlobular dan
bagian duktus ekskretori kelenjar saliva.
a. Sialadenoma papiliferum
− Jarang terjadi dan jika terjadi biasanya pada kelenjar saliva mayor dan minor.
− Umumnya dapat terlihat secara intraoral, pada mukosa bukal dan palatum.
− Tumor ini tidak terasa sakit pada permukaan mukosa dan epitelium duktus saliva.
− Tumor ini berasal dari superfisial ductis ekstretori saliva.
− Perawatan yang dilakukan dengan pembedahan konservatif.

b. Inverted ductal papilloma


− Lesi ini berasal dari kelenjar saliva minor.
− Muncul sebagai masa nodular pada daerha submukosa yang menyerupai fibroma
dan lipoma.
− Secara mikroskopik terlihat adanya proliferasi epitelium ductal yang terletak
dibawah mukosa utuh.
− Ruang crypt dan cyst-like yang dibatasi oleh sel kolumnar dengan nuclei terpolarisasi
yang diselingi oleh sel goblet.

c. Intraductal papilloma
− Umumnya menyebabkan obstruksi kelenjar saliva yang disebabkan oleh
pertumbuhan intraluminal exophytic.
− Secara histologi, ditemui lapisan single atau double dari epitelium kolumnar ataupun
kuboidal tanpa adanya proliferasi ke dalam dinding kista.
− Perawatan yang dilakukan dengan eksisi sederhana.

MALIGNANT SALIVARY GLAND TUMOR


Dibuat oleh : Cynthia Pratiwi

Sumber: 1. REGEZI JA, SCIUBBA JJ, JORDAN RCK. Oral pathology : clinical pathologic
correlations 6th ed. Elsevier Saunders; 2012

Tumor ganas pada kelenjar saliva dapat terjadi pada kelenjar saliva mayor maupun
minor. Tumor yang terjadi pada kelenjar saliva mayor dapat dilihat pada table 8-16. tumor
ganas kelenjar saliva tumbuh dengan cepat, terjadi ulserasi, metastasis, dan facial nerve
palsy. Perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perawatan bedah.

Mucoepidermoid Carcinoma

Tumor ini terjadi pada lapisan epithelial


penghasil mucin. Ada tiga tingkatan keparahan low-
grade,intermediate-grade, dan high-grade. Tumor
ini berasal dari sel-sel yang terdapat pada
interlobular dan intralobular dari kelenjar ductus.
Sel-sel mucus neoplastic mengandung glycoprotein,
acidic mucins, dan sulfomucin. Sel epidermoid
mengandung filamen keratin intermediate. Dapat terjadi karena terjebaknya elemen
pembentuk kelenjar saliva atau terjadinya transformasi dari sel mucus pada kista
odontogenic. Mucoepidermoid carcinoma paling sering terjadi dan paling banyak pada
kelenjar parotid lalu submandibular dan minor.

Gambaran klinis à sering ditemukan pada pallatum berupa bengkak kebiruan yang
menetap dan terkadanag berfluktuasi. Pada gambaran radiografis terlihat lesi radiolusen
pada daerah gigi molar dan premolar. Pada low-grade terjadi pembengkakan yang terus
menerus dan tidak sakit. Pada high-grade terjadi keterlibatan nervus fasial bahkan
ditemukan tanda gangguan

Histopathologi à pada gambaran mikroskopik, tampak adanya percampuran dengan


jaringan sehat disekitarnya dengan berbatas jelas.

- Low grade à terdiri dari sel penghasil mucus berbentuk kubus hingga batang
dikelilingi oleh struktur microcystic. Terdapat percampuran antara sel epithelial
dan sebukan sel epidermoid. Yang menjadi ciri khas adalah adanya

penggabungan gambaran kisata-kista kecil menjadi ruang kista yang besar.


- High gradeà terdapat sel neoplastic berkluster yang tersusun dari sel-sel
epidermoid yang lebih solid dan mengandung sedikit mucin. Ada gambaran
pleomorfois sellular, hiperkrromatis nuclear, dan mitosis.

- Intermediate grade àsel mucus dan struktur microcystic ada namun lebih sedikit
dari low-grade. Atypia selular minimal.

Prognosis

Buruk jika terjadi rekuren yang tidak terkontrol.

- Low grade à sudah terjadi metastasis namun belum meluas. Perawatan yang
dapat dilakukan adalah perawatan bedah.
- High grade à metastasis biasanya sampai ke nodus limfa servikal. Presentasi
kesembuhan : 40%. Perawatan yang dapat dilakukan adalah perawatan bedah
dengan tambahan terapi radio setelah perawatan pada lokasi mucoepidermoid
carcinoma. Karena adanya metastasis ke bagian leher, perlu dilakukan neck
dissection.

Polymorphous Low-Grade Adenocarcinoma

Diduga berasal dari sel-sel paling proksimal dari ductus saliva. Perkembangannya
lambat dan jarang terjadi rekuren ataupun metastasis.

Gambaran klinis à banyak terjadi pada usia > 50 th.


Sering terjadi pada kelenjar minor dan ditemukan di
palatum. Biasanya keras, pembengkakan tidak disertai
ulserasi, terelevasi, dan berdiamter 1-4 cm. Tidak terjadi
gejala neurologic. Jarang terjadi metastasis, bila terjadi
pada nodus limfatik terdekat.

Histopatologi à memiliki pola-pola tertentu pola stream,jogsaw dan pseudocribiform. Terjadi


infiltrasi ke jaringan ikat dan kelenjar saliva sekitarnya. Melibatkan pallatum durum dan
tulang rahang. Tidak terdapat atypia, nekrosis dan mitosis.

Prognosis dan perawatan à eksisi konservatif.


Lakukan neck dissection bila terjadi pembengkakan pada nodus limfatik. Terapi radiasi tidak
diperlukan karena tidak adannya metastasis.

Adenoid Cystic Carcinoma

Termasuk high-grade malignancy. Terbentuk dari duct-type


epithelial cells dan sel myoepithelial.

Gambaran klinis à terjadi paling sering pada kelenjar saliva


minor di palatum, leher, dan kepala. Kelenjar mayor yang
sering terjangkit adalahh kelenjar parotid. Ciri khas Adenoid
Cystic Carcinoma adalah adanya infiltrasi, massa unilobular
yang tumbuh perlahan dan keras namun terkadang sakit.
Gejalanya adalah adanya nyeri, gangguan saraf fasial,
sampai kelumpuhan saraf fasial. Dapat menginvasi tulang
dan biasanya tidak ada perubahan radiografik. Metastasis
terjadi ke paru-paru. Terdapat lesi ulserasi pada palatum.

Histopathologià terdapat 3 pola yaitu tubular,


cribiform, solid. Pola cribiform terdapat lamina basal
multilayer. Pola tubular terdapat gambaran seperti
pulau-pulau kecil. Pola Solid terdapat pulau-pulau dari
sel dengan warna gelap. Bila sudah parah terdapat sel-
sel nekrosis.

Prognosis dan perawatan à dilakukan reseksi superfisial pada kelenjar parotid


(parotidektomi) atau reseksi superfisial pada lobus-lobus penghasil saliva (lobulektomi). Untuk
lesi intraoral lakukan eksisi dan pengambilan tulang disekitarnya. Dapat juga dilakukan
terapi radiasi. Prognosis 80-90 % pasien tidak selamat karena adanya rekurensi.

Clear cell carcinoma

Terjadi karena adanya autolysis pada organel


sitoplasmik. Clear cell carcinoma, dikenal juga
hyalinizing clear cell carcinoma. Merupakan tumor
low-grade yang terjadi di kelenjar saliva minor.

Gambaran klinisà massa submucosal yang

ditemukan di palatum.

Histopatologià banyak terdapat gambaran sel bland. Sel


tumor tidak mengandung mucin.

Prognosis dan perawatanà perawatan dapat dilakukan


eksisi. Rekurensi jarang terjadi.

Acinic Cell Carcinoma

Terjadi pada kelenjar sliva mayor yaitu parotid. Terbentuk dari sel-sel pada kelenjar ductus.

Gambaran klinis à terjadi pada segala umur. Dapat terjadi


bilateral pada kedua kelenjar parotid secara bersamaan. Terjadi
pada lobus superfisial bawah dari kelenjar parotid. Pada intraoral
terdapat lesi nyeri pada palatum dan mukosa bukal dengan
diameter < 3cm dan berkembang dengan lambat.

Histopatologi à neoplasma berbentuk padat. Terkadang memiliki


cler cell area.

Prognosis dan perawatan à jarang terjadi metastasis namun


dapat terjadi rekurensi. Perawatan bedah menjadi pilihan pertama
dalam perawatannya.

Adenocarcinoma Not Otherwise Specified

Semua keganasan yang terjadi pada kelenjar saliva disebut adenocarcinoma. Namun bila
ada tumor dengan gamabran mikroskopik yang tidak spesifik, maka digolongkan menjadi not
otherwise specified “NOS”.

RARE TUMORS
Dibuat oleh : Cynthia Pratiwi

Sumber: 1. REGEZI JA, SCIUBBA JJ, JORDAN RCK. Oral pathology : clinical pathologic
correlations 6th ed. Elsevier Saunders; 2012

Carcinoma Ex-Mixed Tumor/Malignant Mixed Tumor/Metastasizing Mixed Tumor

Merupakan epithelial malignancy yang muncul pada kondisi mixed tumor yang pernah ada
dan tidak terawatt atau adanya rekurensi setelah beberapa tahun. Tanda yang munujukkan
adanya malignancy termasuk fiksasi massa ke jaringan sekitar, ulserasi dan regional
lymphoadenopathy. Perawatannya melalui bedah dan radical neck dissection.

Epimyoepithelial Carcinoma

Merupakan clear-cell-containing-malignancy kelenjar saliva, biasanya di kelenjar saliva


mayor dan dikarakteristikkan dengan morfologi yang biphasic. Pola pertumbuhan lobular
yang terdiri dari 2 tipe sel; abundant intercalated duct-like elements yang membentuk ductus
yang di kelilingi clear myoepithelial cells. Terjadi rekurensi dan memiliki lesi berdiameter > 3
cm.

Salivary Duct Carcinoma

Merupakan malignansi high grade dari kelenajr saliva mayor. Dikarakteristikkan secara klinis
pada kelenjar parotid. Lesi muncul sebagai massa yang padat, painless. secara microscopic,
papillary cribiform dan solid growth pattern dengan desmoplastic stroma dan necrosis central
atau comedo. Prognosis setelah perawatan buruk setelah 5-6 tahun perawatan. Karena
adanya metastasis pada paru-paru dan tulang.

Basal Cell Adenocarcinoma

Merupakan tumor langka dari major salivary gland,


memiliki pola pertumbuhan infiltrative dan memiliki
kemampuan untuk metastasis. Secara microscopic, terdiri
dari nests, cords dan solid zones of basaloid cells. Ada 2
tipe sitologi yang ditemukan: small, compact cells dan
larger, polygonal cells. Yang membedakan penyakit ini
dengan basal cell adenoma adalah temuan sarang kecil
neoplasma pada struktur normal yang berdekaran,
infiltrasi dari syaraf juga sering ditemukan. Tumor ini termasuk low-grade karena minimally

invasive malignancy dan dengan perawatan bedah pasien dapat sembuh kembali. Namun
rekurensi dan metastasis dapat terjadi.

Squamous Cell Carcinoma

Munculnya penyakit ini dari kelenjar saliva merupakan keajdian yang relative jarang dan
hanya pada major salivary gland, biasanya kelenjar submandibula terlibat. Kondisi
predisposisinya adalah obstructive sialadenitis pada kelenjar sub mandibula. Tidak ada
tanda produksi mucin, rekurensi local dan metastasis nodus limfa local sering di temui.
Perawatan bedah dipilih dan tingkat keselamatannya bergantung padatingkatan klinis
daripada differensiasi histologic.

1. KLASIFIKASI HALITOSIS
Dibuat oleh Fatiany Fadillah
Sumber :

1. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza's Cilinical
Periodontology. 11th ed. Missouri: Elsevier Saunders.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlations.
6th ed. Elsevier. Missouri; 2012.

“Halitus” = napas

“Oris” = abnormal atau penyakit

Halitosis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan napas berbau


tidak sedap yang berasal dari rongga mulut maupun luar rongga mulut. Disebut juga bad
breath / fetor ex oris / oral malodor / fetor oris / dragon breath. Berikut klasifikasi dari
halitosis :

2. ETIOLOGI HALITOSIS
Dibuat oleh Fatiany Fadillah
Sumber :
1. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza's Cilinical
Periodontology. 11th ed. Missouri: Elsevier Saunders.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlations.
6th ed. Elsevier. Missouri; 2012.
Halitosis melibatkan peningkatan metabolit tertentu dalam sirkulasi darah, yang nanti
akan melalui alveoli paru-paru saat bernapas. Halitosis biasanya berasal dari mulut,
tetapi juga bisa dari hidung, tonsil (tonsillitis, tonsiliths), dan berbagai sumber lainnya,
tetapi sangat jarang. Dalam mulut, penyakit-penyakit gingival dan periodontal
merupakan penyebab utama malodor, yang berasal dari bakteri pathogen periodontal,
Phorphyromonas gingivalis yang menghasilkan methyl mercaptan.

Melibatkan peningkatan jumlah bakteri pada permukaan rongga oropharyngeal,


saluran pernapasan, atau kerongkongan. Semua jenis infeksi, ulserasi, atau tumor juga
dapat menyebabkan bau mulut. Bakteri yang berperan antara lain :

• Prophyromonas gingivalis
• Prevotella intermedia
• Prevotella nigrescens
• Aggregatibacter actinomycetemcomitans
• Campylobacter rectus
• Fusobacterium nucleatum
• Peptostreptococcus micros

• Annerella forsythia
• Eubacterium spp
• Spirochetes
Selain itu, sumber-sumber halitosis lainnya adalah :

3. PATOGENESIS HALITOSIS
Dibuat oleh Fatiany Fadillah
Sumber :

1. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza's Cilinical
Periodontology. 11th ed. Missouri: Elsevier Saunders.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic
Correlations. 6th ed. Elsevier. Missouri; 2012.

Patogenesis halitosis sangat dipengaruhi oleh etiologinya. Komponen-komponen


mayor yang berperan dalam patogenesis halitosis :

• VSC’s – Methyl mercaptan, hydrogen sulfide, dimethyl sulfide & dimethyl disulfide
• Polyamides – Putrescein, cadavarine, skatole, indole
• Short chain FA – butyric, propionic, valeric & isovaleric acid

• Others : acetone, acetaldehyde, ethanol diacyl


Volatile Sulphur Compounds (VSC) merupakan komponen yang paling sering
menyebabkan halitosis. Peranannya dalam patogenesis halitosis adalah sebagai berikut :

• Meningkatkan permeabilitas mukosa oral dan crevicular epithelium. Menyebabkan


terganggunya pemakaian oksigen sel inang, dan bereaksi dengan sel-sel protein,
dan menghalangi pematangan kolagen
• Meningkatkan solubilitas kolagen
• Menurunkan sintesis DNA
• Meningkatkan sekresi kolagenase, prostaglandin dari fibroblast
• Menurunkan pH intraseluler; menghalangi pertumbuhan sel, dan migrasi sel
periodontal
Diet + bakteri + sel-sel epitel → peptides / proteins → amino acids → produk-produk
pembusukan → oral malodor

3. FAKTOR PREDISPOSISI HALITOSIS


Dibuat oleh Fatiany Fadillah
Sumber :

1. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza's Cilinical
Periodontology. 11th ed. Missouri: Elsevier Saunders.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlations.
6th ed. Elsevier. Missouri; 2012.

• Diabetes mellitus yang tidak terkontrol adanya bau keton


• Penyakit hepar adnya bau sulphur
• Gagal ginjal - adanya bau amis; disebabkan karena adanya dimethulamine dan
trimethylamine

PROSEDUR DIAGNOSIS HALITOSIS


Dibuat oleh Hasti Raissa
Sumber : Carranza’s Clinical Periodontology 12th Ed p.547

1. Anamnesis
• Tanyakan tentang bau mulut, kebiasaan makan, dan riwayat dental serta
medis.
• Tanyakan frekuensi halitosis (konstan, setiap hari), kapan munculnya halitosis
(setelah makan à indikasi hernia lambung
• Tanyakan jika bau mulut muncul, apakah orang lain juga merasakan (untuk
menghindari bau nafas imajiner)
• Riwayat Medis, tanyakan :
o Medikasi
o Penyakit sistemik (paru-paru, liver, ginjal, lambung, dan pancreas)
o Jika ada penyakit THT, perhatikan adanya obstruksi jalan nafas, mouth
breathing, postnasal drip, alergi, tonsillitis, disfagia.

• Riwayat Dental
o Frekuensi kunjungan ke dokter gigi
o Penggunaan obat kumur
o Penggunaan prosthesis
o Frekuensi dan instrument yang digunakan untuk membersihkan gigi,
interdental, dan lidah
• Kebiasaan Buruk
o Merokok, minum alcohol, dll.
2. Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium (PEMERIKSAAN PENUNJANG HALITOSIS)
a) Self-Examination
Melibatkan pasien dalam pemeriksaannya, pasien memantau hasil
terapi dengan pemeriksaan diri, terutama ketika penyebab intraoral telah
teridentifikasi. Hal ini dapat memotivasi 
melanjutkan
 instruksi dalam
menjaga kebersihan mulut.
Pengujian yang dapat dilakukan yaitu mencium salivanya sendiri
(saliva dikeluarkan ke dalam sesendok kemudian biarkan dry beberapa detik
à akan tercium bau busuknya atau dengan pasien jilat pergelangan tangan

tunggu dry nanti akan tercium), masukin tusuk gigi ke dalam interdental
kemudian dicium tusuk giginya, bisa juga dengan mencium sendok yang telah
discraping dibekang lidah
b) Oropharyngeal Examination
Pemeriksaan terhadap lesi karies yang dalam, impaksi makanan pada
interdental, wounds, perdarahan pada gingiva, poket periodontal, tongue
coating, kondisi mulut yang kering, tonsil, dan faring.
Permukaan lidah dapat diskor berdasarkan ketebalan dan lapisan.

Menurut Winkel and coworkers Menurut Miyazaki


• 0 = no coating • 0 = none visible
• 1 = light coating • 1 = < 1/3 dorsum lidah tercover
• 2 = severe coating • 2 = < 2/3
• 3 = > 2/3

c) Organoleptic Rating
Penguji (manusia) yang akan memeriksa/menguji breath malodor,
karena hidung manusia bisa mencium sampai 10.000 bau dan juga dapat
mengetahui situasi sehari-hari ketika pasien sedang halitosis. Penilaian
organoleptic merupakan gold standard for diagnosis of halitosis.

Penguji mencium serangkaian sampel udara yang berbeda (Gambar 52-5),


sebagai berikut:
i. Bau nafas: pasien bernafas dengan mulut kemudian penguji mencium
baunya.
ii. Bau nafas hidung: pasien bernafas dengan hidung dan menutup
mulutnya. Jika tercium bau maka udara yang dikeluarkan bisa dicurigai
bau dari nasal / paranasal

iii. Bau rongga mulut: pasien membuka mulut dan menahan nafas (1-20
detik), kemudian penguji meletakan hidung didekat mulut pasien
iv. Air liur: Pasien diminta menjilati pergelangan tangannya. Setelah
kering, penguji mencium dan memberi skor.
v. Lapisan lidah: penguji dan pasien mencium tongue scraping. Berguna
untuk mengevaluasi apakah bau ini mirip dengan bau yang dicium.

Kekurangan metode ini: Penilaian dapat, dipengaruhi oleh beberapa


aspek seperti posisi kepala, hunger, degree of subjectivity dan pengalaman
penguji. Penguji bau harus beristirahat beberapa menit antara test yang akan
di lakukan untuk mencegah avoid habituation.

Agar test ini dapat berjalan baik harus menggunakan dua penguji, dan
dilakukan standarisasi bau dengan menggunakan odor solution kit untuk
mengukur respons penciuman. Pelatihan juga dipertimbangkan untuk
mengurangi kesalahan para penguji bau.

d) Portable Volatile Sulfur Monitor

Merupakan perangkat elektronik


yang menganalisa konsentrasi
hydrogen sulfide dan methyl
mercaptan. Alat tersebut
terhubung dengan semacam
selang sedotan yang nantinya
pasien harus menghembuskan
nafasnya secara perlahan dengan
jarak 2 cm di depan selang sedotan. Sulfur meter ini menggunakan sensor
voltaetrik yang nanti akan memberi sinyal apabila terdeteksi gas yang
mengandung sulfur.
e) Gas Chromatography Machinery
Dapat menganalisa udara, saliva, dan cairan crevicular, juga dari keton,
alkane, senyawa yang
mengandung sulfur hingga
senyawa phenyl. Memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang
sangat tinggi. Thermal desorber
untuk melepas molekul yang
terperangkap, gas
chromatography untuk membagi
molekul, dan mass sprectrometer
untuk mengidentifikasi molekul.

f) Dark-Field or Phase-Contrast Microscopy


Bau mulut dikaitkan dengan adanya organisme dan soicochetes yang tinggi.
Dengan adanya pemeriksaan dengan mikroskop, pasien akan mengetahui
bakteri yang ada dakam plak, lapisan lidah, dan saliva.

g) Saliva Incubation Test


Saliva diinkubasi dengan gas chromatography untuk melihat VSC dan
senyawa lain. Namun tes ini kurang invasive.

h) Electronic nose
Mengidentifikasi komponen spesifik dari baud an menganalisis susunan

kimianya

i) Chair-Side Salivary Test


Mengidentifikasi tiga bakteri spesifik yaitu P. gingivalis, Bacteroides
forsynthus, dan Treponema denticola yang berhubungan dengan penyakit
peridontal

TATALAKSANA HALITOSIS
Dibuat oleh Hasti Raissa
Sumber:
• Regezi. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlation 6th ed. p.203
• Carranza’s Clinical Periodontology 12th Ed p.549
Menurut Regezi à management of halitosis of oral origin:

• Proper oral dan kebersihan protesa


• Perawatan gigi dan penyakit periodontal yang ada
• Penyikatan lidah sehari-hari dengan lembut
• Menghindari makanan yang mengandung senyawa sulfide
• Penggunaan obat kumur sehari-hari dengan kandungan antimikroba

Menurut Carranza :

• Reduksi Mekanis (Nutrien dan Mikroorganisme Intraoral)


o Tongue cleaning
Menggunakan sikat lidah dapat mengurangi tingkat halitosis 75%
setelah 1 minggu. Sikat lidah dengan lembut agar mencegah luka pada
jaringan lunak. Pembersihan dilakukan dari lidah bagian paling belakang dan
harus dilakukan sampai tidak ada lapisan asing diatas lidah. Membersihkan
lidah juga dapat meningkatkan taste sensation.

o Sikat gigi dan sikat daerah interdental


Menghilangkan sisa-sisa makanan dan organisme yang dapat
menyebabkan pembusukan, hal ini diperlukan sebagai kontrol plak gigi.

o Scaling dan root planning

Ketika bau mulut terjadi saat menderita periodontitis, diperlukan


perawatan periodontal seperti scaling dan root planning. 


o Mengunyah permen karet


Untuk menstimulasi salivary flow. Cairan saliva itu sendiri memiliki
kemampuan membersihkan secara mekanis.
• Reduksi Kimia (Jumlah Mikroba Mulut)
o Chlorhexidine
Merupakan agen antiplak dan antigingivitis yang paling efektif. Sifat
antibakterinya yaitu terganggunya membrane sel bakteri oleh molekul
chlorhexidine, meningkatkan permeabilitas sel hingga sel lisis dan mati.
Konsentrasi chlorhexidine lebih dari 0,2% dapat menyebabkan perubahan
warna pada gigi dan lidah, rasa pahit, dan terkadang perubahan saat
merasakan rasa.

o Essential Oils
Penggunaan larutan Listerine (yang mengandung essential oils) dapat
mengurangi tingkat bakteri odorigenic. Listerine memiliki keefektifan yang kuat
dalam mengatasi bau mulut

o Chlorine Dioxide
Agen oksidasi yang dapat mengurangi bau mulut yang disebabkan
oleh hydrogen sulfide, methylmercaptan, asam amino, methionine dan cysteine.
Chlorine Dioxide tergolong cukup baik mengatasi masalah bau mulut

o Two-Paste Oil Water Rinse


Digunakan dengan cara berkumur 2X sehari (sebelum tidur dan di pagi
hari) untuk menurunkan kadarr VSC. Lebih unggul dari listerine.

o Trichlosan
Agen antibakteri spectrum luas yang terbukti efektif dalam melawan
bakteri mulut dan memiliki kesesuaian yang baik dengan senyawa lain pada
perawatan kebersihan mulut sehar-hari

o Aminefluoride/Stannous Fluoride
Dapat mengurangi bau mulut pada saat pagi hari, bahkan pada saat
kesehatan mulut sedang tidak baik.

o Hydrogen Peroxide
Berkumur dengan 3% hydrogen peroxide dapat mengurangi kurang
lebih 90% gas sulfur dalam waktu 8 jam.

o Oxidizing Lozenges
Manghisap permen atau tablet hisap dengan sifat pengoksidasi yang
memiliki efek antimalodor yang dapat mengurangi bau mulut (tongue dorsum
malodor) dalam waktu 3 jam.

o Baking Soda
Pasta gigi dengan baking soda dapat mengurangi bau mulut untuk
jangka waktu 3 jam.

8. KLASIFIKASI SALURAN PERNAPASAN ATAS


Dibuat oleh Fira Farida

Sumber : Burkets Oral Medicine 12th ed - Michael Glick

1. Viral Upper Respiratory Tract Infections


• Etiologi : Disebabkan oleh infeksi virus (Adenovirus, Para-influenza virus)
• Prognosis :Umumnya sembuh dalam 5-10 hari (baik)
• Tanda klinis dan laboratorium
- Gejala yang biasanya terjadi misalnya rhinorrhea, nasal congestion, batuk,
demam, malaise, fatigue, sakit kepala
- CBC memunjukkan peningkatan mononukleus, limfosit, dan monosit

— Manajemen

Perawatan simptomatik, analgesik untuk sakit tenggorokan, antipiretik untuk demam,


oral atau topical decongestan untuk mengurangi nasal congestion, hidrasi yang
adekuat untuk demam

— Oral Health Consideration

Lesi macular eritemabulat kecil di palatum, tonsil lingual membesar, decongestan


dapat menyebabkan penurunan saliva dan mulut kering

2. Allergic Rhinitis and Conjunctivitis

Rhinitis alergi : Merupakan kelainan inflamasi pada mukosa nasal

Alergi konjungtiva : kelainan inflamasi yang melibatkan konjuctiva

Bila terjadi bersamaan disebut allergic rhinoconjuctivis

• Klasifikasi
- Perenial (alergen di dalam ruangan seperti kecoa, debu, bulu binatang)
- Seasonal (alergen di luar ruangan seperti rumput, pohon)

• Gejala
- Gejala yang timbul pada konjungtiva : sensasi terbakar, sensasi gatal,
lakrimasi
- Gejala padan nasal :bersin, sensasi gatal, hidung tersumbat
- Gejala lain : gatal pada telinga dan palatum, rasa lelah

• Oral Health Consideration


Penggunaan dekongestan dan antihistamin dapat menyebabkan mulut kering

• Prognosis
Baik jika ditangani dengan tepat dan kualitas hidup baik

• Perawatan
- Avoiding allerge : menghindari dari hal-hal yang menyebabkan alergi
- Farmakoterapi : antihistamin bagi sneezing, pruritus, dan rhoronea. Oral
dekongestan untuk mengurangi obstruksi nasal
- Immunotherapi : bagi pasien yang sulit menghindar dari alergen, pasien yang
memilih long therm medication, dan hamil

3. Otitis Media

• Etiologi : Inflamasi pada telinga tengah dan jaringan sekitarnya. Biasanya pada usia 8
tahun. Penyebabnya adalah Streptococcus pneunomiae, Haemophillus influenza
• Klasifikasi
- Akut : gejala terlihat cepat (1-3 minggu)
- With effusion : asimtomatik, 3-26 minggu setelah fase akut
- Rekuren : terjadi 6-12 bulan setelah akut
- Supuratif kronik : attorea (keluarnya cairan otak dari telinga)
• Gejala
- Umum : demam dan otalgia
- Gejala lain : iritabilitas, anoreksia, muntah
- Otitis media with effusion : telinga tersumbat
- Pada pemeriksaan : menunjukkan cairan serosa pada telinga tengah,
hilangnya mobilitas membrane timfani, mild moderate conductive hearing loss
• Prognosis
Pada otitis media akut prognosis excellent
• Perawatan
- Terapi inisial : amoxicilin, azithromisin, dan trimethoprim sulfamethoxazole
- Kasus yang parah : amoxicilin dan asal klavunalat, turunan seflosporin,
klindamisin
- Surgical modalities : myringotomy, tympanocentesis, adenoidectomy

• Oral Health Consideration

Bila anak sudah pernah diberikan antibiotik untuk otitis media rekuren maka saat infeksi
odontogenik dihindari untuk mencegah resistensi antibiotic

4. Sinusitis
• Etiologi

Inflamasi epitelial lining pada sinus paranasal. Menyebabkan edema mukosa dan
peningkatan sekresi mukosa

• Klasifikasi
- Akut : kurang dari 4 minggu
- Subakut : terjadi 4-8 minggu

- Kronis : terjadi 8-12 minggu


• Gejala
- Sinusitis akut : nyeri wajah, tenderness, sakit kepala terlokalisir
- Sinusitis kronis : gelaja samar
- Gejala lain : purulent nasal, demam, malaise, drainase postnasal
• Perawatan
- Antibiotik : amoxicilin, jika resisten maka cephalosporin, azithromisin, amoxicilin
dan clavulanat
- Sinusitis kronik : antibiotik sprektum lebih luas dengan perawatan jangka
panjang. Kortikosteroid topikal/oral untuk mengurangi pembengkakakn
• Prognosis
- Sinusitis akut : biasanya pulih kembali
- Sinusitis kronik : memiliki periode pemulihan jangka panjang dengan penurunan
kualitas hidup
• Oral Health Consideration
- Drg harus membedakan antara infeksi odontogenik atau sinusitis
- Infeksi sinus : rasa sakit pada lebih dari satu gigi pada kuardran yang sama
- Infeksi odontogenik : nyeri hanya melibatkan satu/dua gigi
- Decongestan menyebabkan oral dryness
- Antibiotik jangka panjang dapat menyebabkan resistensi antiobiotik

5. Laryngitis dan laryngotrchebronchitis

Laryngitis : inflamasi pada laring karena virus (parainfluenza virus, coxsackievirus, adenovirus,
HSV), terjadi biasanya pada dewasa

Laryngotracheobronchitis : inflamasi pada laring, trakea, dan bronkus. Biasanya karena virus
(parainfluenza virus, RSV, adenovirus)

• Gejala
Demam, sakit tenggorokan dan batuk apabila saluran napas bawah juga terlibat
• Prognosis
Dapat pulih dalam beberapa minggu jika penanganan maksimal
• Perawatan
- Kasus ringan dan self limited : hanya supportive care

- Kasus parah : penggunaan kortikosteroid, hospitalisasi, trakeotomi

6. Pharyngitis dan tonsillitis


Inflamasi pada faring dan tonsil. Biasanya disebabkan oleh infeksi baik virus maupun
bakteri.

• Etiologi
Rhinovirus, coronavirus, adenovirus, epstein barr, parainfluenza, HSV, influenza
• Gejala
- Gejala utama : sakit tenggorokan, temuan lainnya berdasarkan etiologi infeksi
- Pasien dengan infeksi epsteinbarr : virus berkembang menjadi infeksi
mononukleosis, tonsilophryngitis, linfadenopati, demam, kelelahan
- Infeksi coxsackievirus : dapat menyebabkan kelainan yang berhubungan
dengan tonsilopharyngitis seperti herpangina dan HFM disease

KLASIFIKASI SALURAN PERNAPASAN BAWAH


Dibuat oleh Fatin Fadillah

Sumber : Burkets Oral Medicine 12th ed - Michael Glick

1. Acute bronchitis
• Definisi
Infeksi saluran pernapasan besar (trakea dan bronkus). Manifestasi batuk dahak,
tanpa dahak selama 3 minggu
• Etiologi
- Virus : influenza B, influenza A, parainfluenza, RSV
- Bakteri : pnemonia, chlamydia, penumoniae, bordetella pertussis, bordetela
parapertusis
• Gejala
Onset tiba-tiba batuk dengan atau tanpa dahak, dyspnea, wheezing, chest
discomfort
• Perawatan
- Viral bronchitis : umumnya sembuh sendiri tanpa perawatan spesifik
(supportive care)

- Bacterial bronchitis : antibiotic amoksisilin, amoksisilin dan klavunalat, makrolid,


sefalosporin
• Prognosis
Baik, pada pasien HIV dapat berkembang jadivornchiectasis, pasien dengan
broncitis kronik dapat menyebabkan gagal pernapasan (hospitalisasi)
• Oral Health Consideration
Jika pasien infeksi odontogenik maka antibiotiknya adalah klindamisin agar tidak
resisten terhadap amoksisilin

PNEUMONIA

• Definisi: infeksi yang diikuti dengan inflamasi pada parenkim paru-paru.


• Etiologi:
o Bakteri : Staphylococcal pneumoniae (utama)
o Virus : influenza, parainfluenza, adenovirus, RSV
o Fungi : candida, histoplasma, cryptococcus, aspergillus
o Protozoa : Pneumocytis carinii, Nocardia, Mycobacterium tuberculosis
o Atypical organisms : M. pneumoniae, Legionella, Chlamydia
• Patofisiologi:

Bakteri masuk ke pneumocytes


bakteri membelah bakteri menginfeksi
dalam ruang alveolus kehilangan integritas
diri pneumocytes tipe I
melalui inhalasi struktural

Pneumocytes tipe II
nekrosis respon inflamasi proliferasi dan infiltrasi PMN
melapisi alveoli

PMN digantikan akumulasi eksudat jika terjadi healing ->


dengan makrofag dan debris seluler deposisi fibrin.

• Gejala Klinis
o Demam, malaise, nyeri dada pleuritic (nyeri dada bagian posterior dan lateral;
sifatnya tajam dan menusuk), batuk disertai sputum purulent, dyspnea, panas
dingin, dan kaku.

o Pemeriksaan fisik: terasa krepitasi pada area paru-paru yang terinfeksi,


berkurangnya bunyi nafas, dan tumpul saat dilakukan perkusi.
• Diagnosis
Ø Infeksi Community Acquired: pemeriksaan fisik dan penunjang berupa radiograf
dada, studi lab, dan kultur darah jika dibutuhkan
Ø Infeksi nosocomial: pemeriksaan radiograf yang meunjukkan infiltrasi pada paru-
paru dan ditemukannya setidaknya 2 dari 3 tanda klinis seperti demam >38°,
leukositosis/leukopenia, dan sekresi purulent.
Ø Pola infeksi pada pneumonia secara radiograf:
• Infeksi S. pneumoniae: tampak bercak infiltrasi nonhomogen pada
lobus, pleural effusion (penumpukan cairan pada pleura)
• Infeksi protozoa: lesi nodular dan kavitas
• Kultur darah memeriksa adanya cold aggulitinis (antibody) pada infeksi
Mycoplasma.

• Perawatan
• Community acquired pneumonia: beta lactams (amoxicillin + klavulanat),
makrolid, dan fluoroquinolon. Pasien yang menjalankan terapi antibiotik 3 bulan
sebelumnya, berisiko resisten sehingga diperlukan agen baru, yaitu extended
release amoxicillin-klavulanat, ketolide telithromycin, dan oxazolidinone
linezolid.
• Nosochomial pneumonia
a. Low risk infection: sefalosporin atau fluoroquinolon.
b. High risk infection (pasien rawat inap yang lama > 5 hari, atau pasien
yang terapi antibiotiknya diperpanjang baru-baru ini à lebih resisten):
terapi spectrum luas yang lebih agresif seperti antipseudomonal
sefalosporin, carbepenem, ataufluoroquinolone disertai linezolid atau
vancomycin
• Pertimbangan Oral
o Aspirasi pathogen dapat berasal dari kolonisasi pathogen pada dental
plak.
o OH yang buruk à faktor predisposisi untuk kolonisasi patogen respirasi à
meningkatkan risiko infeksi paru-paru à perlu kontrol plak

BRONKIOLITIS

• Definisi: inflamasi pada bronkiolus.


• Etiologi: RSV, human metapneumovirus, virus parainfluenza, virus influenza, adenovirus,
dan M. pneumoniae.
• Patofisiologi

edema dan nekrosis


invasi agen patogen
respon inflamasi infiltrasi PMN epitel yang melapisi
pada saluran napas
jalur nafas kecil

mikroetelaktasis,
emfisema,
penebalan mukosa,
penurunan kadar
hipersekresi mucus, lumen bronkiolus
oksigen dalam
dan spasme pada menyempit
darah, asidosis, dan
bronkus
kegagalan
pernapasan

• Gejala
Terdiri dari beberapa tahap:
Ø Gejala pertama: gejala infeksi saluran nafas atas, seperti demam ringan,
rhinorrhea jernih, profuse, dan batuk
Ø Gejala kedua: gejala infeksi saluran nafas bawah, seperti tachypnea, retraksi,
wheezing, penyempitan nasal dan terkadang sianosis, dapat terdengar
krepitasi dan hiperesonansi pada perkusi.
Ø Gejala tambahan: konjungtivitis, otitis media, dan faringitis.
• Diagnosis
o Pemeriksaan radiograf menunjukkan gambaran peribronkial cluffing,
hiperinflasi
o Pemeriksaan Lab: leukositosis ringan dengan leukosit PMN terlihat jelas
• DD: asma, penyakit jantung congenital, cystic fibrosis
• Manajemen
• Perawatan suportif: cool-mist oxygen tents untuk bayi, hidrasi untuk menambah
asupan air, dan aerosolized bronkodilatator.
• Antiviral (ribavirin), jarang digunakan dan biasanya untuk bronkiolitis yang
disebabkan oleh RSV dengan penyakit parah.
• Ventilasi mekanik: untuk bayi dengan kegagalan pernafasan.
• Antibodi monoklonal intramuskular terhadap protein RSV-F (palivizumab):
pencegahan penyakit RSV parah pada infant yang beresiko tinggi.

ASMA

• Definisi: penyakit inflamasi kronis pada jalan napas ditandai dengan adanya
peningkatan hiperesponsif airway yang reversible dengan adanya episode rekuren
dari dyspnea, batuk, dan wheezing.
• Etiologi dan Patofisiologi
Jenis-jenis asma:

1. Ekstrinsik (Alergi): karena menghirup bahan alergik yaitu berupa serbuk,


debu, dan bulu hewan à terjadi dose-response relationship antara paparan
allergen dengan IgE.

adanya respon inflamasi T helper tipe 2 sekresi


dari masuknya alergen interleukin & stimulasi
(dimediasi oleh sel T sel B untuk menghasilkan
helper tipe 2) IgE

melekat dengan sel


alergen berinteraksi mast, basofil, dan
dengan IgE eosinofil di
tracheobronchial tree

kompleks antigen-
antibodi mendegranulasi bronkokonstriksi &
leukosit dan produksi peningkatan
vasoactive autocooids permeabilitas vaskular
serta leukotrienes

pelepasan E-selectin,
molekul adhesi sel leukosit menuju dinding
endothelial, faktor jalan napas
neutrofil dan eosinofil

edema jaringan & sekresi


mukus

2. Intrinsik: Pembentukan asma terjadi pada middle-age dan berhubungan dengan


faktor endogen seperti stress, gastroesophageal acid reflux, instabilitas sel
Mast, dan hiperresponsif airway.

3. Drug-induced asma, misalnya karena aspirin, NSAID, beta blocker, ACE inhibitor,
anestesi local dengan epinefrin, dan beberapa bahan makanan seperti
strawberry, kacang, dan susu.
4. Exercise-induced asthma: karena aktivitas yang berlebihan à Perubahan suhu
selama inhalasi à iritasi mukosa dan hiperaktivitas airway.
5. Infectious asthma: adanya respon inflamasi terhadap infeksi bronkiolus.

• Tanda Klinis
o Dyspnea, wheezing, batuk parah di malam hari, ketegangan dada, dan
flushing.
o Biasanya muncul polip nasal terutama pada asma karena drug induced
berupa aspirin.
o Onset: 10-15 menit. Selesainya serangan ditandai dengan adanya batuk
disertai mucus yang tebal dan bau.
• Histopatologi
ü Penebalan membran basal epitel bronkus (akibat deposisi kolagen)
ü Edema
ü Hipertrofi kelenjar mucus dan hyperplasia sel goblet
ü Hipertrofi otot dinding bronkus
ü Akumulasi sel mast dan infiltrasi sel radang
ü Kerusakan dan detachment sel epitel
ü Proliferasi dan dilatasi pembuluh darah.
• Pemeriksaan Lab
ü 6-minute walk test
ü spirometry sebelum dan sesudah administrasi bronchodilator
ü radiograf dada
ü skin testing
ü tes bronchial provocation
ü pemeriksaan smear sputum dan hitung sel
ü determinasi arterial blood gas
ü ELISA.
• Klasifikasi lainnya + rekomendasi manajemen obat

• Medical Management
Tujuan dari terapi asma adalah:
ü Membatasi paparan allergen
ü Mengembalikan fungsi normal pernapasan,
ü Meminimalkan serangan yang parah
ü Kontrol gejala kronis harian
ü Mencegah efek alergi dari obat-obatan.
• Pemilihan obat antiasma
o Quick Relief Drugs
v Short acting bronchodilator à inhaled β-2 agonist.
v Contoh: Fast Acting Nonselective β-agonist (Epinefrin, Ephedrine), β2
Selective Agonist Inhaler (Albuterol, Fenoterol, dll).
v Indikasi: serangan asma akut atau intermittent asthma, gunakan 2 kali atau
lebih dalam seminggu (tergantung eksaserbasi serangan).
o Long Term Control Drugs
v Indikasi: persistent asthma
v First line drugs: Inhaled corticosteroid paling efektif. Dosis aerosol: 2
kali per hari untuk mild-moderate persistent asthma, dan 4 kali/hari untuk
severe asthma.
v Corticosteroid systemic digunakan apabila asma tidak responsive terhadap
inhaled corticosteroid.

v Long acting β-2 agonist inhaler (> 12 jam), contoh Salmeterol,


Formoterol. Biasanya kombinasi dengan inhaled corticostreroid.
v Antichollinergic Bronchodilator, contoh Ipratropium dan Tiotropium à
biasa digunakan sebagai kombinasi dengan obat anti asma lainnya.
o Phosphodiesterase Inhibitors, contohnya Theophylline à bekerja sebagai
mild-moderate bronchodilator.

• Dental Management

CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE (COPD/COAD)

• Definisi: penyakit yang ditandai dengan terbatasnya aliran napas kronis dari paru-
paru.
• Etiologi: merokok, polusi, debu, defisiensi faktor α1-antitrypsin dan paparan
terhadap bahan kimia.
• Klasifikasi:

1. Chronic bronchitis: kondisi produksi mucus trakeobronkial yang berlebihan à


menyebabkan batuk kronik dengan produksi sputum selama lebih dari 3 bulan.
2. Emfisema à dilatasi dari ruang distal bronkiolus diikuti dengan obstruksi dinding
alveolus à menyebabkan penurunan area untuk pertukaran udara atau septa
tanpa fibrosis.
• Patofisiologis
• Chronic bronchitis, melibatkan large airway (trakea, bronkus, bronkiolus) dan small
airway (terminal bronchioles, respiratory bronchioles, alveolus). Pada large airway,
asap tembakau dan iritan à penebalan dinding bronkiolus dengan infiltrasi sel
inflamasi, peningkatan ukuran kelenjar mucus, dan hiperplasia sel Goblet.
Penyumbatan di small airway disebabkan karena penyempitan, peningkatan
produksi sputum, perlekatan mucus, dan collapse pheriperal airway.
• Emfisema, epitel alveolar menjadi rusak dan menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi serta mengaktifkan makrofag dan neutrofil. Sel inflamasi ini akan
melepaskan enzim elastase untuk merusak dinding alveolus, sehingga adanya
pelebaran ruang udara distal menuju bronkiolus dan hilangnya elasitisitas paru-paru.

• Manajemen
ü berhenti merokok
ü vaksinasi influenza dan pneumococcal
ü penggunaan brokodilator
ü olahraga
ü nutrisi yang baik dan hidrasi yang adekuat
• Dental Management
• KIE à beritahu pasien dampak negative dari merokok dan anjurkan untuk berhenti
merokok.
• Pasien yang datang dengan karakteristik napas pendek, batuk
produktif/terus menerus, infeksi saluran pernapasan atas, dan kadar saturasi
oksigen < 91% (diukur dengan pulse oximetry) merupakan tanda COPD yang
tidak stabil. Perawatan dental perlu di-reschedule dan rujuk pasien ke THT.
• Jika kondisi pernapasan pasien stabil, perawatan dental boleh dilakukan
dengan memperhatikan faktor-faktor berikut:
o Posisi pasien !semisupine atau tegak. Hindari posisi supine untuk
mencegah dyspnea dan ketidaknyamanan saat bernapas.
o Monitor kadar saturasi oksigen ! bila kadar O2 < 95%, berikan oksigen 2-
3 liter/menit.
o Anestesi à sebenarnya tidak ada kontraindikasi penggunaan anestesi
lokal pada pasien COPD. Namun, anestesi mandibular blok atau
bilateral palatal blok dapat menyebabkan konstriksi jalur napas pada
beberapa pasien COPD.

o Kontrol kecemasan à agen sedasi seperti nitrous oxide-oxygen boleh


diberikan pada pasien dengan mild-moderate chronic bronchitis. Namun,
hindari penggunaan sedasi pada pasien severe COPD Alternatif: berikan
oral diazepam dosis rendah atau benzodiazepine.
o Obat-obatan à Hindari penggunaan obat narkotika dan barbiturate
karena bersifat respiratory depressant. Hindari pula penggunaan
antihistamin dan anticholinergic karena menyebabkan sekresi mucous
menjadi kering.
o Antibiotik à hindari pemberian eritromycin, makrolid, dan ciprofloxacin
pada pasien yang mengonsumsi theophylline à toksisitas, resistensi

TUBERKULOSIS à sudah dibahas di SK 4 J

1. MODIFIKASI DENTAL PADA PASIEN DENGAN KELAINAN


PERNAPASAN
Dibuat oleh Dewi Ghina NIsrina Aullia Tardan
Sumber: Little JW, Falace DA, Miler CS, Rhodus NL. Dental management of the
medically compromised patient. 8th edition. St. Louis: Mosby Elseevier; 2013.
p.94-116.

Penyakit Pernapasan Oral Health Modifikasi Dental


Considerations
Upper Airway Disease
Viral Upper • Eritema Perawatan simptomatik dan self-
Respiratory Infection makular bulat limited
dan kecil- • Analgesik (mengurangi
kecil di myalgia dan sakit
palatum tenggorokan)
lunak. • Antipiretik (demam)
• Pasien • Anticholinergic (mengurangi
dengan tonsil rhinorrhea)
lingual yang • Dekongestan oral atau

besar dapat topikal, seperti phenylephrine


mengalami dan pseudo-phedrine
pembesaran (mengurangi nasal congestion)
jaringan • Hidrasi yang cukup
limfoid di
batas lateral
dasar lidah.
• Penggunaan
dekongestan
à
menurunkan
aliran saliva
à mulut
terasa kering.
Allergic Rhinitis & • Penggunaan • Menghindari alergen
Conjunctivitis dekongestan • Farmakoterapi:
dan ü Antihistamin à
antihistamin pruritus, bersin
à mulut rhinorrhea
terasa kering. ü Dekongestan (oral)
• Penggunaan à apabila pasien
kortikosteroid mengalami nasal
spray jangka congestion dan
panjang à obstruksi nasal
kandidiasis ü Kortikosteroid,
oral. cromolyn sodium nasal
spray à pada pasien
dengan daily nasal
symptom namun tidak
kunjung membaik
setelah pemberian
antihistamin-
dekongestan.
• Immunoterapi (pasa pasien
immunocompromised)

Otitis Media • Terapi inisial: antibiotik à


amoxicillin, azithromycin,
dan
trimethoprimsulfamethoxazole
.
• Kasus sulit à amoksisilin
dalam dosis tinggi,
• Myringotomy dengan atau
tanpa insersi tympanostomy
tube, tympanocentesis, dan
adenoidectomy

Sinusitis • Harus bisa • First line antibiotik: seperti


dibedakan amoxicillin biasanya efektif,
keluhan sakit walaupun second-generation
gigi karena seperti cephalosporins,
infeksi azithromycin, dan amoxicillin-
odontogenik clavulanate dapat
atau sinus membantu dalam kasus
pain! à Sakit resisten. Antibiotik disertai
karena pemberian dekongestan.
infeksi • Pasien yang memiliki sinusitis
odontogenik kronis dengan ostiomeatal
biasanya complex yang
hanya perawatannya gagal,
melibatkan 1 membutuhkan perawatan
gigi. bedah. Functional Emdoscopic
• Pasien Sinus Surgery (FESS)
dengan mengangkat atau membuang
infeksi sinus hambatan pada ostiomeatal
kronik melalui intranasal.
biasanya
disertai
dengan

kebiasaan
mouth
breathing à
oral dryness
• Penggunaan
dekongestan
à
menyebakan
oral dryness.
Laryngitis & • Kebanyakan kasus self-limited
Laryngotracheobronch à perawatan suportif.
itis • Manajemen
laryngotracheobronchitis
adalah menjaga airway.
Terapi standar: terapi
kabut, kortikosteroid, dan
racemic epinephrine
Pharyngitis & Tonsilitis • Infeksi ini self-limited.
• Terapi Tonsillopharyngitis à
Larutan kumur-kumur,
analgesik dan antipiretik
terkadang membantu.
• Faringitis streptococcal akut
dirawat dengan oral
penicillin V, cephalosporins,
makrolid, clindamycin, atau
injeksi intramuscular
benzhatine penicillin G.
Lower Airway Disease
Bronkitis Akut Pasien yang • Viral Bronchitis à self
sedang limiting à terapi suportif
mengonsumsi berupa diet tinggi kalori
amoxicillin protein
untuk • Bila terjadi obstruksi jalur

bronkitis napas à inhaled


akut, bronchodilators (contoh:
sebaiknya Albuterol).
diresepkan • Obat pereda batuk à
alternatif lain kodein
seperti • Bacterial Bronchitis à
klindamisin pemberian antibiotik, seperti
atau amoxicillin,
sefalosporin amoxicillin+klavulanat,
(jika makrolid,dan sefalosporin.
membutuhkan
• Bila muncul gejala pertusis
antibiotik
(batuk berat/batuk rejan),
untuk infeksi
berikan makrolid atau
odontogenik
trimethoprim-
untuk
sulfamethoxazole.
mencegah
resistensi).
Pneumonia Diperlukan
intervensi oral untuk
mengurangi atau
mengontrol plak.
Bronchiolitis • Perawatan suportif, berupa
cool-mist oxygen tents untuk
bayi, hidrasi untuk
menambah asupan air, dan
aerosolized bronkodilatator.
• Antiviral (ribavirin), jarang
digunakan dan biasanya
untuk bronkiolitis yang
disebabkan oleh RSV dengan
penyakit parah.
• Ventilasi mekanik, untuk bayi
dengan kegagalan
pernafasan.
• Antibodi monoklonal

intramuskular terhadap
protein RSV-F
(palivizumab), untuk
mencegah penyakit RSV
parah pada infant yang
beresiko tinggi.
Asthma Pemilihan obat anti-asthma
Quick Relief Drugs
Contoh : Fast Acting Nonselective
β-agonist (Epinefrin, Ephedrine),
β2 Selective Agonist Inhaler
(Albuterol, Fenoterol, dll).
Indikasi: serangan asma akut atau
intermittent asthma, gunakan 2 kali
atau lebih dalam seminggu
(tergantung eksaserbasi serangan).
Long Term Control Drugs
Indikasi: persistent asthma
First line drugs!Inhaled
corticosteroid paling efektif. Dosis
aerosol: 2 kali per hari untuk mild-
moderate persistent asthma, dan 4
kali/hari untuk severe asthma.
Long acting β-2 agonist inhaler
(> 12 jam), contoh Salmeterol,
Formoterol. Biasanya kombinasi
dengan inhaled corticostreroid.
Antichollinergic Bronchodilator,
contoh Ipratropium dan Tiotropium
à biasa digunakan sebagai
kombinasi dengan obat anti asma
lainnya.
Phosphodiesterase Inhibitors,
contoh Theophylline à bekerja
sebagai mild-moderate

bronchodilator.

Lihat Box 7-5 di bawah!


Chronic Obstructive Untuk COPD lihat Box 7-3
Pulmonary Disease
(COPD/COAD)
Tuberkulosis Lihat Box 7-9 Lihat Box 7-10
Pertimbangan untuk perawatan
dental dengan pengkonsumsian
obat TB

2. KEGAWATDARURATAN MEDIS YANG DAPAT TERJADI PADA


PASIEN DENGAN GANGGUAN PERNAPASAN
Dibuat oleh Dewi Ghina Nisrina Aulia Tardan
Sumber: Little JW, Falace DA, Miler CS, Rhodus NL. Dental management of the
medically compromised patient. 8th edition. St. Louis: Mosby Elseevier; 2013.
p.94-116.

Jenis Tanda dan Gejala Penyebab Perawatan


Kegawatdarurat
an
Hyperventilation • napas yang Kecemasan yang P (Positioning) à
cepat dan disebabkan Posisikan pasien
dangkal, hilangnya CO2 dengan posisi tegak lurus.
• bingung, yang berlebihan Jelaskan
• pusing, dari pernapasan masalah dan yakinkan
• parastesia, yang dalam dan pasien
• tangan dingin cepat dan A (Airway) à Jaga

• carpal-pedal respiratory terbukanya

spasm alkalosis jalan napas dengan

• Dapat berlanjut mengajak

menjadi seizure berbicara pasien


B (Breathing) à

Instruksikan pasien
untuk tenang dan
bernapas
perlahan pada paper
bag
C (Circulation) à tidak
diperlukan
perawatan
D (Dispense)
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital,
obat, dan respon pasien
terpantau
dan tercatat
F (Facilitate) à
Pertimbangkan
menjadwalkan pertemuan
dengan
diberikan antianxiety
presedation
Aspirasi atau • Batuk dan Adanya benda Pada korban sadar :
Menelan Objek muntah yang asing pada P (Positioning) à Jaga
Asing berhubungan laring pasien untuk tetap berdiri
dengan benda atau faring atau duduk.
asing, Bertanya apakah dia
• tidak bisa dapat berbicara, atau
berbicara, apakah ia
• kemungkinan tersedak.
cyanosis dari A (Airway) à Buka jalan
sumbatan jalan napas dengan memeluk
napas, pasien dari belakang dan
• sulit bernapas, melakukan Heimlich
• nadi cepat maneuver
B (Breathing) à Ulang
maneuver hingga benda

asing tersebut teratasi


dan napas kembali
normal
Pada korban tidak sadar
:
P (Positioning) à Posisikan
pasien dengan posisi
supinasi
C (Circulation) à Cek
nadi, mulai RJP bila tidak
terasa nadi
A (Airway) à Buka jalan
napas dengan dorongan
cepat pada abdomen
B (Breathing) àPeriksa
jalan napas
D (Dispense/administer)
• Oxygen at flow rate of
5-6 L/minute
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital, obat, dan
respon pasien terpantau
dan tercatat
F (Facilitate) à Jaga
posisi supinasi hingga ke
rumah sakit
Bronchial Asthma • Lemas, Dapat terjadi P (Positioning) à
• tekanan pada karena reaksi Posisikan pasien dengan
dada, alergi, olahraga, tegak dan nyaman
• batul-batuk, kecemasan A (Airway) à Pastikan
mendesah, sehingga jalan napas terbuka dan
• prolonged menyebabkan dengarkan suara napas
expiratory phase, bronchial B (Breathing) à Atur
• peningkatan inflammation, napas yang pelan dan
usaha untuk bronchoconstrictio tenang

bernapas, n, C (Circulation) à
• Dada permeabilitas Biasanya adekuat bila
mengembang, vascular, kontak pasien dalam keadaan
tebal, antara bronkiolus sadar. Komunikasikan
• cyanosis dengan mucus pasien atau staf untuk
tebal, mengambil bronchodilator
bronchopspasm untuk digunakan.
Tenangkan pasien
D (Dispense) à Inhalasi
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital, obat, dan
respon pasien terpantau
dan tercatat
F (Facilitate) à
Mempertahankan oksigen
dalam flow rate 5-6
L/menit
Mild ( delayed • Gatal Over reaksi dari P (Positioning) à
onset) Allergic • rash alergi obat- Posisikan pasien
reaction obatan , serbuk dengan tegak dan
sari bunga nyaman
(pollens), A (Airway) à Pastikan
makanan yang jalan
menyebabkan napas terbuka dan
sel mast dengarkan
degranulate dan suara napas
melepaskan B (Breathing) à pastikan
histamin. pernapasan cukup / kuat
Sering terjadi di C (Circulation) à tidak
kulit atau boleh ada takikardia ,
mukosa. hipotensi , pusing ,
dyspnea . Informasikan
kepada pasien jika akan
diberikan antihistamin
D (Dispense/administer)

à
• Diphenhydramine
(Benadryl) 25-50
mg PO, or IM (or
IV if dentist has
ACLS or advanced
training).
• ulangi dosis
sampai 50 mg
setiap 6 jam
secara oral dalam
2 hari (jika
diperlukan)
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital, obat, dan
respon pasien terpantau
dan tercatat
F (Facilitate/ensure next
steps in medical care.)
Severe Reaksi kulit yang cepat Over reaksi dari P: Positioning à
(Immediate seperti : alergi obat- Pasien sadar : Posisikan
Onset) • Severe pruritus ( obatan , serbuk pasien
Allergic Reaction gatal pada kulit , sari bunga dengan tegak dan
tenggorokan (pollens), nyaman
palatum) makanan yang Pasien tidak sadar :
• Severe urticaria menyebabkan posisikan pasien dengan
(rash) sel mast posisi supine
• Pembengkakan degranulate dan A (Airway) à Pastikan
bibir , alis , pipi, melepaskan jalan napas terbuka dan
faring & laring histamin di dengarkan suara napas
(angioneurotic sistem B (Breathing) à pastikan
edema) dan syok cardiopulmonary pernapasan cukup / kuat
anafilaktik C: Circulation à apply
• Respiratory à blood pressure cuff (
wheezing,terseda pulse oximeter ) untuk

k, cyanosis , mengakses sirkulasi


serak. selama 5 menit
• Sistem saraf D: Dispense/administer:
pusat à hilang • Epinephrine 0.3-
kesadaran , 0.5 mg 1 : 1000
pembesaan SC or IM, or IV if
pupil. dentist has ACLS
training
• Oxygen
maintained at flow
rate of 5-6
L/minute
• Repeat
epinephrine 0.3-
0.5 mg 1 : 000 SC
or IM , setiap 5-
10
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital,
obat, dan respon pasien
terpantau
dan tercatat. Monitoring
tekanan darah untuk
memastikan pasien tidak
terkena hipertensi
F (Facilitate/ensure next
steps in medical care.)
Respiratory • Henti napas, Sumbatan fisik P (Positioning) à
Arrest • cyanosis jalan napas Posisikan pasien dengan
(lidah posisi supinasi, dan
atau benda aktifkan SPGDT
asing), drug- A (Airway) à Jaga
induced terbukanya jalan napas
Apnea dengan melakukan head
tilt-chin lift

B (Breathing) à Buka
mulut untuk melihat
apakah ada benda asing
lakukan.
Jika benda asing tidak
dapat diambil lakukan
Heimlich maneuver
C (Circulation) à
Mendukung tekanan
darah melalui posisi
pasien, cairan parenteral,
dan
vasopressor
D (Dispense) à Berikan
oksigen atau respirasi
artifisial, berikan
flumazenil bila digunakan
diazepam untuk sedasi
E (Ensure) à Pastikan
tanda vital, obat, dan
respon pasien terpantau
dan tercatat
F (Facilitate)

3. Farmakologi
a. Obat-obatan (penggolongan, mekanisme kerja, efek samping, interakti,
penulisan resep, dosis untuk anak dan dewasa)

b. Obat-obatan yang dapat memicu asma


• NSAID/Aspirin
Prostaglandin PGE2 memiliki peran penting pada asthma yang dipicu
aspirin. Prostaglandin yang berperan pada proses inflamasi, di paru-
paru mencegah terjadinya brokokonstriksi pada pasien yang
mengkonsumsi aspirin. Prostaglandin melakukan aktivitasnya dengan
cara berikatan dengan reseptor prostanoid EP3. Reseptor ini terdapat

pada bronchial epithelia dansel mast. Melalui reseptor EP3, PGE2


menghambat sintesis CysLTs, menghambat pelepasan mediator dari sel
mast, dan mengurangi influx sel inflamatoris. PGE2 disintesis oleh COX-
1 dan COX-2 di paru-paru. Pada paru-paru pasien dengan asthma
yang dipicu aspirin, ekspresi COX-2 dikurangi. Ketika COX-1
dihambat oleh aspirin atau NSAID, konsentrasi prostaglandin PGE2
berkurang. Biosintesis PGE2 oleh COX-2 tidak cukup untuk
mengkompensasi.
• Barbiturat
Barbiturat merupakan CNS depresan yang pada dosis tinggi dapat
mendepresi pernafasan dan tidak boleh diberikan pada pasien
dengan gangguan pernafasan misalnya asthma. Selain itu pemberian
barbiturate secara intravena (pembuluh darah) dapat meningkatkan
insiden komplikasi pernafasan seperti laryngospasm, batuk, dan bersin.
Hal ini disebabkan karena barbiturate merupakan obat yang
menyebabkan pelepasan histamine sehingga menyebabkan serangan
asthma.
• Opioid
Opioid khusunya morphine dan turunannya, merupakan obatobatan
yang menyebabkan pelepasan histamine sehingga dapat
menyebabkan brokokonstriksi, depresi pernafasan, dan memicu
serangan asthma. Morphine menyebabkan depresi volume tidal dan
laju respirasi. Pada manusia, morphine menyebabkan berkurangnya
respon pusat respiratoris pada batang otak terhadap tekanan CO2
dalam darah. Morphine juga secara signifikan menyebabkan depresi
medullary center yang melakukan regulasi frekuensi respiratoris.
• Beta blocker
Obat-obatan beta-adrenergic reseptor antagonist atau betablockers
menyebabkan blockade β2-adrenergik reseptor yang berasosiasi
denganotot halus di bronkiolus. Obat ini mencegah stimulasi simpatis
dari otot halus bronkiolus sehingga menyebabkan brokokonstriksi. Hal
ini dapat memicu serangan asthma pada pasien dengan asthma dan
gangguan pernafasan lain seperti bronchitis dan emphysema.
Propanolol dan obat-obatan β-blocker lain kontraindikasi pada pasien
gangguan pernafasan misalnya asthma.

• Antibiotik
o Penisilin adalah obat-obatan yang melepas histamine secara
langsung sehingga menstimulasi kontraksi otot halus pada
bronkiolis yang menyebabkan konstriksi bronchial sehingga
memicu serangan asthma.
o Antibiotik golongan makrolid, seperti Erythromycin tidak boleh
diberikan pada pasien asthma yang mengkonsumsi theopyline
karena meningkatkan toksisitas theopyline dalam darah
• Epinefrin atau Levonordefrin
Sulfite preservative pada larutan anestesi lokal yang mengandung
epinephrine atau levonordefrin bisa menyebabkan adanya serangan
asthma. Oleh karena itu, pada pasien asthma sebaiknya diberikan
anestesi lokal tanpa vasokonstriktor epinephrine

c. Obat-obatan yang dapat menyebabkan halitosis


Halitosis mungkin terkait dengan perawatan cysteamine, isoborbidedinitrat,
dimetilsulfoxida atau disulfiram meskipun obat-obatan yang dapat
menyebabkan xerostomia juga secara tidak langsung dapat memperberat
masalah ini.

d. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi kelenjar saliva


• Sakit pada Kelenjar Saliva
Bethanidine, bretylium, clonidine, methyldopa, dan beberapa sitotoksik
• Obat yang berhubungan dengan Sialorrhea(hipersalivasi)
Anticholinesterase dan clozapine
• Obat yang berhubungan dengan Xerostomia(hiposalivasi)
o Obat-obatan yang paling sering menyebabkan xerostomia
adalah tricyclic antidepresan, antipsychotic, atropinic dan
antihistamin.
o Pasien yang mengeluh mulutnya kering biasanya adalah pasien
dengan masalah hipertensi, psikiatri dan urinaria

PEMBAHASAN KUIS M2 S2
Oleh Hasti Raissa

1. Kelenjar liur mayor yang paling besar adalah kelenjar submandibula (SALAH)
*Pembahasan: kelenjar yang paling besar – terkecil à kelenjar parotis (Berat 20-30
gram; panjang ductus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm) – Submandibula (Berat 8-
10 gram; panjang ductus 40-50 mm, diameter kecil dari kelenjar parotis) –
Sublingual (Berat 2-3 gram)

Parotis
Sublingual
Submandibula

2. Kelenjar liur yang ductus kelenjarnya paling panjang adalah kelenjar parotis (SALAH)
*Pembahasan: kelenjar yang paling panjang – pendek à kelenjar parotis (panjang
ductus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm) – Submandibula (panjang ductus 40-50
mm, diameter kecil dari kelenjar parotis) – Sublingual (Berat 2-3 gram)

3. Penyakit kista retensi yang sering ditemukan pada bibir bawah adalah mucocele
(BENAR)
*Pembahasan:
Mucoceleà Lesi mukosa oral yang terbentuk akibat rupturnya duktus kelenjar saliva
minor dan penumpukan mucin pada sekeliling jaringan lunak. Umumnya oleh lip biting
dan dipisahkan di bawah permukaan mukosa. Paling sering ditemukan dalam
mukosa bibir bawah dan mukosa bukal. Pembentukan ini menyebabkan mukosanya
terelevasi, menipis, dan meregang yang terlihat seperti vesikel yang terisi oleh mukus
jernih dan kebiruan. Palpasi tidak sakit

4. Pada pasien dengan sialotit biasanya akan terasa nyeri saat makan (BENAR)
*Pembahasan:

Seorang anak usia 4 tahun mempunyai kebiasaan buruk menggigit bibir kiri bawah. Di
region tersebut dijumpai benjolan dengan diameter 2-3 mm, berwarna sama dengan
sekitarnya, tidak mudah berdarah, kosistensi kenyal, dan bertangkai.

5. Suspek diagnosis pasien di atas adalah


a. Mucocele d. Aphtae
b. Kista jaringan lunak e. Perembesan kelenjar
c. Blister
*Pembahasan

Mucoceleà Lesi mukosa oral yang terbentuk akibat rupturnya duktus kelenjar
saliva minor dan penumpukan mucin pada sekeliling jaringan lunak. Umumnya
oleh lip biting dan dipisahkan di bawah permukaan mukosa. Paling sering
ditemukan dalam mukosa bibir bawah dan mukosa bukal. Pembentukan ini
menyebabkan mukosanya terelevasi, menipis, dan meregang yang terlihat
seperti vesikel yang terisi oleh mukus jernih dan kebiruan. Palpasi tidak sakit 


6. Neoplasma yang berasal dari organ email adalah


a. Ameloblastoma d. Dentinoma
b. Adenomatoid e. Odontoma
c. Enameloma
*Pembahasan
Berasal dari epithelium yang terlibat dalam pembentukan gigi pada
mandibula atau maksila. Ameloblastoma terbentuk pada jaringan lunak di
dalam gingival tooth-bearing area. Sumber epithelial berasal dari organ
enamel, odontogenic rest (rests of Malassez dan rests of Serres), REE, dan
lapisan epitel kista odontogenik (contoh: kista dentigerous. Ameloblastoma
dianggap sebagai kelanjutan kista dentigerous).

7. Kemungkinan menenai asal ameloblastoma mirip dengan


a. Kista gingival b. Kista periapical

c. Kista dentigerosa e. Odontogenic keratocyst


d. Kista periodontal
*Pembahasan
Ameloblastoma berasal dari epithelium yang terlibat dalam pembentukan gigi
pada mandibula atau maksila. Ameloblastoma terbentuk pada jaringan lunak
di dalam gingival tooth-bearing area. Sumber epithelial berasal dari organ
enamel, odontogenic rest (rests of Malassez dan rests of Serres), REE, dan
lapisan epitel kista odontogenik (contoh: kista dentigerous. Ameloblastoma
dianggap sebagai kelanjutan kista dentigerous).

8. Tanda-tanda suatu tumor ganas adalah


a. Perbandingan sel : inti = c. Hyperkeratosis
1:1 d. Akantosis
b. Hiperkromatism inti sel e. Lisis sel
*Pembahasan
Perbedaan ganas dan jinak
• Malignan (ganas) :
o Size > 2cm
o Bermestastasis cepat
o Identik dengan Necrosis
o Komplikasi hingga organ vital (paru-paru, otak, ginjal, jantung)
• Beningn (jinak):
o Size 1-2 cm
o Terbungkus selaput
o Terlokaslisasi

9. Gambaran hispatologik kelainan pada kelenjar liur yang menunjukan gambaran


adanya komponen epitel dan mesenkhim adalah
a. Varisella d. Parotis epidemika
b. Sialadenitis e. Pleomorphic adenoma
c. Herpes labialis
*Pembahasan :

Histopatologi pleomorphic adenomaà Sekitar 1/3 tumor ini menunjukkan rasio


yang seimbang antara elemen epitelial dan mesenkim; Komponen epitelial
umumnya tampil sebagai duktus, tubulus, pita (ribbons), dan lembaran yang
solid; Komponen mesenkim umumnya tampil sebagai jaringan ikat yang
terhialinisasi dan miksoid; Ciri khas: Sel myoepitelial umumnya akan muncul
sebagai sel plasmatoid atau sel spindeled

10. Pathogenesis mucocele adalah


a. Trauma pada saluran c. Trauma pada kelenjar
keluar kelenjar liur minor kelenjar liur minor
b. Trauma pada saluran d. Trauma pada kelenjar liur
keluar kelenjar liur mayor mayor
e. Trauma
*Pembahasan
Lesi mukosa oral yang terbentuk akibat rupturnya duktus kelenjar saliva
minor dan penumpukan mucin pada sekeliling jaringan lunak

11. Yang temasuk neoplasma jinak


a. Ameloblastoma d. Osteogenic sarcoma
b. Carcinoma (asal epitel) e. Squamous cell carcinoma
c. Sarcoma (asal mesenkim)
*Pembahasan (dari ppt praktikum PA tanggal 16 maret 2018)

12. Gambaran radiografis ameloblastoma


a. Bentuk bervariasi d. Mendesak gigi
b. Batas jelas e. Betul semua
c. Struktur karena radiolucent
*Pembahasan radiografis ameloblastoma:
• Lokasi: Molar ramus mandibular (mandibular region posterior) tapi sering juga di M3
maksila dan meluas ke sinus maksila serta nasal floor
• Batas tepi: batas jelas dibatasi tulang kortikal (hyperostotic), batasnya biasanya
septa dengan bentuk kurva dan agak sulit dibedakan dengan kista jika berukuran
kecil (cyst like)
• Ukuran: bervariasi
• Bentuk: multilokular (dibatasi oleh septa), unilokular (kadang terjadi pada tahap
awal), honeycomb (beberapa kompartemen kecil / lokulasi) atau soap-bubble
(kompartemen yang lebih besar) atau multicystic (jarang)
• Struktur interna: bisa radiolusen total hingga radiolusen bercampur akibat adanya
keterlibatan tulang septa
• Efek: resorpsi akar meluas, perpindahan gigi, perluasan dan penipisan plat kortikal,
ekspansi ekstensif bisa ke jaringan lunak atau ruang anatomis lain ke ramus
mandibular dan kadang tepi anterior ramus sudah tidak terlihat

13. Secara radiografis ciri-ciri osteoma sebagai berikut


a. Lokasi sering di mandibular bagian tepi sklerotik dengan
trabekulasi ditengah
b. Bentuk bulat atau oval
c. Batas berbatas jelas
d. Radiopak
e. Betul semua 14. Epuis yang terjadi pada wanita

*Pembahasan hamil adalah epulis granulomatosa

• Paling banyak muncul di daerah


mandibular/kondilus, jika muncul
di body of mandible biasanya di
area posterior (lingual premolar
RB)
• Muncul sebagai massa sklerotik
yang berbatas jelas.
• Osteomas periosteal dapat
menunjukkan pola sklerotik
seragam atau dapat menunjukkan

(SALAH)
15. Gambaran klinis dari epulis adalah
massa pada gusi yang bertangkai
(BENAR

Anda mungkin juga menyukai