SIROSIS HEPATIS
DISUSUN OLEH:
1. Rista Putri Soewantrijaya 10/296665/KG/08594
2. Cornita Ayu Sulistiani 10/296735/KG/08597
Dalam menjalankan profesinya, dokter gigi tidak terlepas dari kemungkinan untuk
berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah
pasien. Kedokteran gigi merupakan salah satu bidang yang rawan untuk terjadinya kontaminasi
silang antara pasien-dokter gigi, pasien-pasien dan pasien-perawat, adanya medical history pada
rekam medis dapat mempermudah dokter gigi untuk mencurigai adanya penyakit infeksi yang
diderita pasien. Namun, tidak semua pasien dengan penyakit infeksi dapat langsung diidentifikasi
oleh medical history, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium. Keterbatasan ini lah yang
mengantar para pelaku medis untuk menerapkan konsep pencegahan universal. Pencegahan
universal mengacu pada metode kontrol infeksi pada semua darah manusia dan cairan tubuh (pada
bidang kedokteran gigi: saliva) dan proteksi diri yang dilakukan dokter gigi. Pencegahan universal
adalah prosedur kontrol infeksi dan proteksi dokter gigi yang diterapkan pada semua pasien (ADA,
2015).
Pada klinik gigi, saliva pasien, plak gigi, darah, pus, dan cairan krevikular dapat teraerosol
dan meninggalkan noda. Mikroorganisme dapat menyatu dengan material-material tersebut dan
menyebabkan infeksi hingga dapat menularkan penyakit. Beberapa penyakit yang paling umum
adalah influenza, penumonia, TBC, herpes, hepatitis dan AIDS. Salah satu upaya pencegahan
terhadap infeksi silang adalah dengan penerapan proteksi diri yang baik dan benar oleh dokter gigi
(ADA, 2015).
Dewasa ini jumlah pasien medical compromised yang menginginkan dan atau
membutuhkan perawatan dental semakin bertambah. Contohnya adalah pasien-pasien dengan
kelainan hematologi, autoimmune, dan infeksi. Mengetahui patofisiologi penyakit-penyakit yang
sering terjadi dan resiko yang mungkin terjadi pada saat perawtan dental sangat diperlukan untuk
mencapai perawatan dental yang optimal (Little, 2008).
BAB II
ISI
A. HEPATITIS B
1. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatit is B”
(HBV), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi hati atau kanker hati.
2. Perjalanan penyakit
Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan
tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang
diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika
tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh.
Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier
inaktif. Ke tiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka
penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis. Pada kemungkinan pertama, tubuh
mampu memberikan tanggapan adekuat terhadap virus hepat it is B (HBV), akan terjadi 4
stadium siklus HBV, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3 dan
4). Pada fase replikasi, kadar HBsAg (hepatitis B surface antigen), HBV DNA, HBeAg
(hepatitis B antigen), AST (aspartate aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase)
serum akan meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif. Pada fase
integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, HBV DNA, HBeAg dan
ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi terhadap antigen yaitu : anti HBs dan
anti HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita
hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut
akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat. Sebaliknya 3-5%
penderita dewasa dan 95% neonatus dengan sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang
dari 6 tahun masuk ke kemungkinan ke dua dan ke tiga; akan gagal memberikan tanggapan
imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier inaktif
atau menjadi hepatitis B kronis.
Menurut Suharjo (2006) tanggapan imun yang tidak atau kurang adekuat mengakibatkan
terjadinya proses inflamasi jejas (injury), fibrotik akibat peningkatan turnover sel dan stres
oksidatf. Efek virus secara langsung, seperti mutagenesis dan insersi suatu protein x dari virus
hepatitis B menyebabkan hilangnya kendali pertumbuhan sel hati dan memicu transformasi
malignitas, sehingga berakhir sebagai karsinoma hepa-toseluler (Suharjo, 2006).
Kontak dengan penderita melalui parenteral yang berasal dari produk-produk darah
secara intravena, kontak seksual, dan perinatal secara vertikel (dari ibu ke janin). Ada beberapa
hal yang dapat menyebabkan virus hepatitis B ini menular yaitu secara vertikal dan horisontal.
Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus hepatitis B kepada
bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan manakala secara
horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik telinga, tusuk
jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-sama serta
hubungan seksual dengan penderita.
B. SIROSIS HEPATIS
1. Definisi
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros
yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodulnodul yang
terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan
disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang
dikelilingi jaringan mengalami fibrosis (Sutadi, 2003). Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu
penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur
hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis)
disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasin (Widjaja dan Karjadi, 2011).
Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 783.000
pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak
dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih
jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi
hepatitis B atau C.
Pada tahun 2011, South East Asia Regional Office (SEARO) melaporkan sekitar 5,6
juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang
pembawa hepatitis C. Di Indonesia, pada tahun 1995 prevalensi hepatitis B dan C pada dewasa
sehat yang mendonorkan darah masing-masing adalah 2,1% dan 8,8% (Widjaja dan Karjadi,
2011).
2. Etiologi
a. Virus hepatitis (B,C,dan D)
b. Alkohol
c. Kelainan metabolik :
Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
Defisiensi Alphal-antitripsih
Glikonosis type-IV
Galaktosemia
Tirosinemia
d. Kolestasis Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah akibat
tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary atresia. Pada penyakit ini
empedumemenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang
menderita Biliary berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa
diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan
hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita penyakit hati
stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat mengalami peradangan,
tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis.
Secondary Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran
empedu
e. Sumbatan saluran vena hepatica - Sindroma Budd-Chiari - Payah jantung
f. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
g. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lainlain)
h. Operasi pintas usus pada obesitas
i. Kriptogenik
j. Malnutrisi
k. Indian Childhood Cirrhosis
(Sutadi, 2003)
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut
di bawah ini :
a. Kegagalan Prekim hati
b. Hipertensi portal
c. Asites
d. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
e. Perdarahan saluran cerna bagian atas
f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic Enchephalopathy)
g. Perasaan gatal yang hebat
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang
mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan perenkym hati yang masingmasing
memperlihatkan gejala klinis berupa :
a. Kegagalan sirosis hati
edema
ikterus
koma
spider nevi
alopesia pectoralis
ginekomastia
kerusakan hati
asites
rambut pubis rontok
eritema palmaris
atropi testis
kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)
b. Hipertensi portal
varises oesophagus
spleenomegali
perubahan sum-sum tulang
caput meduse
asites
collateral veinhemorrhoid
kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
(Sutadi, 2003)
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) dibawah
ini :
a) Sarung Tangan
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan sarung tangan ketika melakukan
suatu perawatan. Namun penggunaan sarung tangan ini tidak sepenuhnya dapat melindungi
dari bahaya infeksi sehingga prosedur pencucian tangan yang sesuai protocol perlu dilakukan
sebelum maupun sesudah menggunakan sarung tangan. Pada klinik dokter gigi, sarung tangan
dipakai pada saat :
d) Gaun/baju Pelindung
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan gaun/baju pelindung yang
digunakan untuk mencegah kontaminasi pada pakaian dan melindungi kulit dari
kontaminasi darah dan cairan tubuh. Gaun pelindung ini harus dicuci setiap hari. Gaun
pelindung terbuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat
juga terbuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat sekali pakai (disposable). Gaun
pelindung digunakan selama prosedur perawatan gigi, dan tidak diperbolehkan untuk
digunakan diluar ruangan. Lepaskan gaun/baju pelindung jika tindakan telah selesai.
(Matthews, 2008)
3. Hand Hygiene
Mencuci tangan dengan sabun perlu dilaku kan setiap sebelum dan sesudah merawat
pasien. Setiap kali selesai perawatan, sarung tangan harus dibuang dan tangan harus dicuci
lagi sebelum mengenakan sarung tangan yang baru. Prosedur mencuci tangan yang benar
adalah sebagai berikut :
a. Tangan dibasahkan dengan air di bawah kran atau air mengalir.
b. Sabun cair yang mengandung zat antiseptik dituang ketangan dan digosok sampai berbusa.
c. Kedua telapak tangan digosok sampai ke ujung jari. Selanjutnya, kedua bagian punggung
tangan digosok. Jari dan kuku serta pergelangan tangan juga dibersihkan. Semua ini dilakukan
selama sekitar 10-15 detik.
d.Tangan dibilas bersih dengan air mengalir.
e. Tangan dikeringkan dengan menggunakan tisu. Mengeringkan tangan dengan kertas tisu
adalah lebih baik dibandingkan mengeringkan tangan menggunakan mesin pengering tangan,
karena mesin pengering tangan umumnya menampung banyak bakteri.
1. Sterilisasi
- Pemanasan/vakum(conditioning)
- Fase Pemaparan uap (exposure)
132oC selama 2 menit
121oC selama 12 menit
116oC selama 30 menit
- Pembuangan uap (exhaust)
- Fase pengeringan (Drying)
Metode ini paling banyak digunakan karena hampir 80% alat dan bahan dapat disterilkan
dengan metode ini (Entjang, 2003).
2. Desinfeksi
Desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau
secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan jalam membunuh
mikroorganisme patogen.
- Desinfeksi termal
Desinfeksi termal menggunakan uap dengan suhu tertentu yang dapat menghancurkan
organisme pathogen non-spora. Penggunaan umum disinfeksi termal di kedokteran gigi adalah
untuk mendesinfeksi beberapa instrument prostetik, misalnya alat polishing dan brush.
Kebanyakan intrumen yang digunakan di kedokteran gigi yaitu semi-kritikal dan non-kritikal dan
banyak yang dapat didesinfeksi menggunakan uap dan air dengan dinsinfektor termal. Namun
sekarang sudah banyak instrument disposable sehingga penggunaan disinfector termal jarang
digunakan.
Proses disinfeksi termal yaitu dengan membersihkan alat terlebih dulu sebelum di
desinfeksi. Jika alat tidak bersih maka tidak bisa didesinfeksi. Instrument yang basah dapat
ditempatkan di disinfector termal. Disinfector termal harus dibersihkan secara teratur dan air harus
rutin diganti tergantung penggunaan.
- Disinfeksi kimia
Desinfeksi tingkat tinggi dilakukan dengan merebus instrument selama 20 menit. Metode
yang paling simple untuk menginaktivasi mikroba patogenik, termasuk HIV. Metode ini dilakukan
hanya ketika sterilisasi uap tidak tersedia. Virus hepatitis B dan HIV akan diinaktivasi setelah
direndam dalam beberapa menit. Namun untuk memastikan, perendaman instrument dilakukan
selama 20 menit (WHO, 1992).
Beberapa aspek pada alat-alat dental perlu dilakukan kontrol infeksi karena dapat berpotensi
menyebarkan infeksi, yaitu :
1. Ruang Radiologi
Pada saat pengambilan radiograf dan memegang film atau sensor perlu menggunakan sarung
tangan. Alat pelindung yang lain seperti masker atau kaca pelindung juga perlu digunakan untuk
mencegah kontaminasi dari darah ataupun saliva. Jika memungkinkan, direkomendasikan
penggunaan film intraoral disposabel (kecuali radiografi digital).
Film yang sudah digunakan,segera dicuci dan dikeringkan menggunakan handuk untuk
menghilangkan darah atau saliva dan simpan di tempat penyimpanan khusus. Alat-alat
radiograf seperti tubehead dapat juga terkontaminasi sehingga harus senantiasa dibersihkan
setelah pemakaian.
Nama : Suprapto
Umur : 64 tahun
Tanggal Masuk : 26 Oktober 2015
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kotengan Baru Kranggan RT 02/30 Jogotirto Berbah, Sleman, DIY
No RM : 01.64.32.45
No Kamar : Dahlia 1 Penyakit Dalam (JKN PBI)
Keluhan Utama:
Lemas disertai mata kuning sejak 2 minggu sebelum masuk RS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
26/10/2015 Mata kuning sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Buang air kecil pekat seperti
teh. BAB hitam (-), mimisan (-). Riwayat melena (+) 1 tahun yang lalu. OS mempunyai riwayat
sirosis hepatis sejak 2 tahun sebelum masuk RS, hanya kontrol 3 kali kemudian berhenti
mengkonsumsi obat. Mulai berobat kembali karena merasa lemas
Riwayat Pribadi:
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 64 tahun yang sudah menikah. Bekerja sebagai
buruh dan memiliki kesulitan biaya, biaya ditanggung JKN PBI.
Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan Penunjang
Faal Hati
Bilirubin total : 19,61 mg/dL
Bilirubin direct : 15,14 mg/dL
Protein total : 10,27 g/dL
Albumin : 3,08 g/dL
SGOT/AST : 186 U/L
SGPT/ALT : 117 U/L
Elektrolit
Natrium : 135 mmol/L
Kalium : 3,90 mmol/L
Klorida : 100 mmol/L
Hemostasis
PPT : 21,8 detik
INR : 1,73
Kontrol PPT : 14,8
APTT : 45,2 detik
Kontrol APTT : 28,4
Darah Rutin
Hb : 14,2 S : 58 MCV : 84,2
AL : 8,78 L : 25,7 MCH : 30,3
AT : 206 M : 12,3
AE :4,69 E : 3,1
HMT : 39,5 B : 0,9
Assesment
R/ vitamin K 3x1 Po pc
Furosemide 40 mg 1x1 Po ac
Propanolol 10 mg 2x1 Po
Spirolonakton 100 mg 1 x 0,5 Po
Temuan Oral :
1. Status Oral
P. Subyektif : Mulut kering
P. Obyektif :
Intra oral:
V IV III II I I II III IV V
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
o v o o o o o
o v
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
V IV III II I I II III IV V
Diagnosis Oral :
1. Radix 15, 34
2. Nekrosis disertai luksasi gigi 17
3. Karies dentin 11,12,13,14 23, 33
4. Macula
5. Coated tongue
6. Torus palatinus
7. Edentulus
Rencana Perawatan :
1. DHE kepada pasien untuk mengatasi xerostomia dengan sering berkumur air mineral
kemudian pasien dianjurkan untuk menyikat gigi minimal 2 kali sehari untuk membantu
membersihkan debris yang timbul karena tidak adanya self cleansing karena xerostomia.
Alternatif lainnya adalah mengunyah permen karet non gula untuk membantu
menstimulasi saliva.
2. DilakukansScaling, penambalan gigi berlubang dan ekstraksi sisa akar gigi bila kondisi
pasien telah membaik.
3. edukasi pasien untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan berkumur
setelah makan dan sikat gigi minimal 2 kali sehari.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien merupakan penderita sirosis hepatis dengan HbsAg +, tidak tampak kelainan pada
lien, pankreas, ren, vesika urinari dan prostat. Permasalahan kondisi oral pasien berupa xerostomia,
nekrosis, karies dentin, petechie dan edentulous. Rekomendasi oral yang dilakukan adalah edukasi
pasien mengenai keadaan oral pasien. Pasien diedukasi untuk menjaga OHI dengan menyikat gigi
rutin sehari 3 kali, namun bila pasien merasa kesulitan bisa diganti dengan obat kumur tanpa
alkohol. Pasien diinstruksi untuk mengunyah agen peningkat saliva berupa permen karet non-gula
untuk mengatasi xerostomia. Pada oral pasien terdapat nekrosis dan radix, namun perawatan
pencabutan tidak dapat dilakukan berhubung dengan kondisi kesehatan umum pasien.
Hal yang perlu diperhatikan oleh dokter gigi ketika melakukan penatalaksanaan dental
terhadap pasien dengan kondisi seperti ini adalah memperhatikan riwayat kesehatan pasien. Pasien
menderita sirosis hepatis dengan HbsAg + dengan pemeriksaan lab PT dan APTT mengalami
pemanjangan. Kondisi umum pasien yang tampak lemas dan mengalami keterbatasan gerak juga
perlu diperhatikan.
Menurut Pedersen (1996), batas aman untuk dilakukan tindakan pencabutan pada pasien
dengan pemanjangan PT adalah apabila PT berkisar antara 2-2,5 kali nilai kontrol dan PTT
terdapat pada kisaran normal sehinggan perdarahan pasaca bedah mulut dapat dikontrol. Menurut
Ord dan Blanchaert (2000), batas aman untuk pasien bedah mulut dengan penurunan jumlah
trombosit yaitu untuk injeksi blok regional dapat diberikan jika trombosit >30.000/mm3, untuk
bedah dentoalveolar jikat trombosit >50.000/mm3 sedangkan pada bedah mayor >75.000/mm3.
Pada pasien ini tidak dapat dilakukan tindakan pencabutan gigi karena terjadinya pemanjangan PT
dan PTT sehingga dapat menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi. Penatalaksanaan untuk
pasien dengan sirosis hepatis ini berupa edukasi saja, sedangkan untuk tindakan invasif perlu
dilakukan penundaan hingga kondisi kesehatan umum pasien membaik, kecuali pada pasien
dengan kondisi yang emergency. Pemberian obat-obatan perlu diperhatikan, hindari obat-obatan
yang dimetabolisme di hati.
DAFTAR PUSTAKA
Little, J.W., Falace, D.A., Miller, C.S., dan Rhodus, N.L., 2008, Dental Management of the
Medically Compromised Patient 7th Edition, Missouri, Mosby Elsevier
Matthews, JE. 2008. ADA Guidelines for Infection Control. Australia : Australian Dental
Association Inc.
Ord, R.A., dan Blanchaert, R.H., 2000, Oral Cancer: The dentist role in diagnosis, management,
rehabilitation, and prevention, Quintessence Publishing Co. Inc., Illinois.
Pedersen, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Widjaja, F.F. dan Karjadi, T., 2011, Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien Sirosis Hati,
Indon Med Assec, vol 61 (10): 417-24.