Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPANITERAAN

STASE KERUMAHSAKITAN RSUP DR SARDJITO


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

SIROSIS HEPATIS

DISUSUN OLEH:
1. Rista Putri Soewantrijaya 10/296665/KG/08594
2. Cornita Ayu Sulistiani 10/296735/KG/08597

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam menjalankan profesinya, dokter gigi tidak terlepas dari kemungkinan untuk
berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah
pasien. Kedokteran gigi merupakan salah satu bidang yang rawan untuk terjadinya kontaminasi
silang antara pasien-dokter gigi, pasien-pasien dan pasien-perawat, adanya medical history pada
rekam medis dapat mempermudah dokter gigi untuk mencurigai adanya penyakit infeksi yang
diderita pasien. Namun, tidak semua pasien dengan penyakit infeksi dapat langsung diidentifikasi
oleh medical history, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium. Keterbatasan ini lah yang
mengantar para pelaku medis untuk menerapkan konsep pencegahan universal. Pencegahan
universal mengacu pada metode kontrol infeksi pada semua darah manusia dan cairan tubuh (pada
bidang kedokteran gigi: saliva) dan proteksi diri yang dilakukan dokter gigi. Pencegahan universal
adalah prosedur kontrol infeksi dan proteksi dokter gigi yang diterapkan pada semua pasien (ADA,
2015).
Pada klinik gigi, saliva pasien, plak gigi, darah, pus, dan cairan krevikular dapat teraerosol
dan meninggalkan noda. Mikroorganisme dapat menyatu dengan material-material tersebut dan
menyebabkan infeksi hingga dapat menularkan penyakit. Beberapa penyakit yang paling umum
adalah influenza, penumonia, TBC, herpes, hepatitis dan AIDS. Salah satu upaya pencegahan
terhadap infeksi silang adalah dengan penerapan proteksi diri yang baik dan benar oleh dokter gigi
(ADA, 2015).
Dewasa ini jumlah pasien medical compromised yang menginginkan dan atau
membutuhkan perawatan dental semakin bertambah. Contohnya adalah pasien-pasien dengan
kelainan hematologi, autoimmune, dan infeksi. Mengetahui patofisiologi penyakit-penyakit yang
sering terjadi dan resiko yang mungkin terjadi pada saat perawtan dental sangat diperlukan untuk
mencapai perawatan dental yang optimal (Little, 2008).
BAB II
ISI

A. HEPATITIS B
1. Definisi

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatit is B”
(HBV), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi hati atau kanker hati.

2. Perjalanan penyakit

Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan
tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang
diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika
tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh.
Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier
inaktif. Ke tiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka
penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis. Pada kemungkinan pertama, tubuh
mampu memberikan tanggapan adekuat terhadap virus hepat it is B (HBV), akan terjadi 4
stadium siklus HBV, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3 dan
4). Pada fase replikasi, kadar HBsAg (hepatitis B surface antigen), HBV DNA, HBeAg
(hepatitis B antigen), AST (aspartate aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase)
serum akan meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif. Pada fase
integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, HBV DNA, HBeAg dan
ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi terhadap antigen yaitu : anti HBs dan
anti HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita
hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut
akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat. Sebaliknya 3-5%
penderita dewasa dan 95% neonatus dengan sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang
dari 6 tahun masuk ke kemungkinan ke dua dan ke tiga; akan gagal memberikan tanggapan
imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier inaktif
atau menjadi hepatitis B kronis.
Menurut Suharjo (2006) tanggapan imun yang tidak atau kurang adekuat mengakibatkan
terjadinya proses inflamasi jejas (injury), fibrotik akibat peningkatan turnover sel dan stres
oksidatf. Efek virus secara langsung, seperti mutagenesis dan insersi suatu protein x dari virus
hepatitis B menyebabkan hilangnya kendali pertumbuhan sel hati dan memicu transformasi
malignitas, sehingga berakhir sebagai karsinoma hepa-toseluler (Suharjo, 2006).

Kontak dengan penderita melalui parenteral yang berasal dari produk-produk darah
secara intravena, kontak seksual, dan perinatal secara vertikel (dari ibu ke janin). Ada beberapa
hal yang dapat menyebabkan virus hepatitis B ini menular yaitu secara vertikal dan horisontal.
Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus hepatitis B kepada
bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan manakala secara
horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik telinga, tusuk
jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-sama serta
hubungan seksual dengan penderita.

3. Penegakan diagnosis (pemeriksaan penunjang)


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung oleh
pemeriksaan laboratorium. Riwayat ikterus pada para kontak keluarga, kawan-kawan sekolah,
pusat perawatan bayi, teman-teman atau perjalanan ke daerah endemi dapat memberikan
petunjuk tentang diagnosis.
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh
infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6
bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi
kronis hati. Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa
nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang di tandai
dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN).
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda
virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk
diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV
DNA. Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis B. Titer
HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya
antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses
infeksi.
Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus didalam
hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg
(negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita
terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant). Penelitian menunjukkan
bahwa pada seseorang HBeAg negatif ternyata memiliki HBV DNA >105 copies/ml. Pasien
hepatitis kronis B dengan HBeAg negatif yang banyak terjadi di Asia dan Mediterannea
umumnya mempunyai kadar HBV DNA lebih rendah (berkisar 104-108 copies/ml)
dibandingkan dengan tipe HBeAg positif. Pada jenis ini meskipun HBeAg negatif, remisi dan
prognosis relatif jelek, sehingga perlu diterapi.
Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis dan keadaan
carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya adalah titer HBV DNA, derajat
nekroinflamasi dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan hepatitis kronis B sendiri
dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B
kronis dengan HBeAg negatif. Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA
serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
Ada beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA:
a. Metode untuk mengukur kadar HBV DNA.
Saat ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu : Branched DNA, hybrid
capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam penelitian, umumnya titer HBV DNA diukur
menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1000
copies/ml.
b. Beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV DNA fluktuatif.
c. Penentuan ambang batas kadar HBV DNA
Penentuan ini mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan
lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis inaktif
dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar<105 copies/ml lebih menunjukkan
carrier hepatitis inaktif. Saat ini telah disepakati bahwa kadar HBV DNA>105 copies/ml
merupakan batas penentuan untuk hepatitis B kronis.
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi
adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi.
Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien
dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat
dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon
serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal
dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan
proses nekroinflamasi aktif.
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan
diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen
biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik
menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering
digunakan adalah dengan Histologic Activity Index score. Pada setiap pasien dengan infeksi
HBV perlu dilakukan evaluasi awal. Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105
copies/ml dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu dilakukan
pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS, jika perlu dilakukan biopsi hati.
Sedangkan bagi pasien dengan keadaan carrierHBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan
kadar ALT dan HBV DNA (Suharjo, 2006).

B. SIROSIS HEPATIS
1. Definisi
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros
yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodulnodul yang
terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan
disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang
dikelilingi jaringan mengalami fibrosis (Sutadi, 2003). Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu
penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur
hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis)
disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasin (Widjaja dan Karjadi, 2011).
Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 783.000
pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak
dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih
jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi
hepatitis B atau C.
Pada tahun 2011, South East Asia Regional Office (SEARO) melaporkan sekitar 5,6
juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang
pembawa hepatitis C. Di Indonesia, pada tahun 1995 prevalensi hepatitis B dan C pada dewasa
sehat yang mendonorkan darah masing-masing adalah 2,1% dan 8,8% (Widjaja dan Karjadi,
2011).
2. Etiologi
a. Virus hepatitis (B,C,dan D)
b. Alkohol
c. Kelainan metabolik :
 Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
 Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
 Defisiensi Alphal-antitripsih
 Glikonosis type-IV
 Galaktosemia
 Tirosinemia
d. Kolestasis Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah akibat
tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary atresia. Pada penyakit ini
empedumemenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang
menderita Biliary berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa
diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan
hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita penyakit hati
stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat mengalami peradangan,
tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis.
Secondary Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran
empedu
e. Sumbatan saluran vena hepatica - Sindroma Budd-Chiari - Payah jantung
f. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
g. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lainlain)
h. Operasi pintas usus pada obesitas
i. Kriptogenik
j. Malnutrisi
k. Indian Childhood Cirrhosis
(Sutadi, 2003)

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut
di bawah ini :
a. Kegagalan Prekim hati
b. Hipertensi portal
c. Asites
d. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
e. Perdarahan saluran cerna bagian atas
f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic Enchephalopathy)
g. Perasaan gatal yang hebat
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang
mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan perenkym hati yang masingmasing
memperlihatkan gejala klinis berupa :
a. Kegagalan sirosis hati
 edema
 ikterus
 koma
 spider nevi
 alopesia pectoralis
 ginekomastia
 kerusakan hati
 asites
 rambut pubis rontok
 eritema palmaris
 atropi testis
 kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)
b. Hipertensi portal
 varises oesophagus
 spleenomegali
 perubahan sum-sum tulang
 caput meduse
 asites
 collateral veinhemorrhoid
 kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
(Sutadi, 2003)

4. Penegakan Diagnosis (Pemeriksaan Penunjang)


Pemeriksaan laboratorium
 Darah
Pada sirosis hepatis bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom
normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom. makrositer. Anemia bisa akibat
hipersplenisme (lien membesar) dengan leukopenia dan trombositopenia (jumlah leukosit
dan trombosit kurang dari nilai normal). Kolesterol darah yang selalu rendah
mempunyai prognosis yg kurang baik.
 Kenaikan kadar Enzim transaminase/ SGOT, SGPT
Bukan merupakan petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan jaringan parenkim
hepar. Kenaikan kadarnya dalam serum
timbul akibat kebocoran dari sel yg mengalami kerusakan.Peninggian kadar gamma GT
sama dengan transaminase, ini lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan Lab
bilirubin, transaminase, dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
 Albumin
Kadar albumin yang menurun merupakan gambaran kemampuan sel hati
yang berkurang. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan
tanda kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stress seperti tindakan operasi.
 Pemeriksaan CHE (kolinesterase)
Penting dalam menilai kemampuan sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar
CHE akan turun. Pada perbaikan sel hepar,terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal.
Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai prognosis yang buruk.
 Pemeriksaan kadar elektrolit
Penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasangaram dlm diet. Pada
ensefalopati, kadar Natrium (Na) kurang dari 4 meq/lmenunjukkan kemungkinan telah
terjadi syndrome hepatorenal
 Pemanjangan PT (Protrombin Time)
Merupakan petunjuk adanya penurunanfungsi hati.Pemberian vitamin K parenteral
dapat memperbaiki PT (ProtrombinTime). Pemeriksaan hemostatik pada pasien sirosis
hepatis penting, dalam menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esofagus, gusi
maupun epiktasis (mimisan).
 Peninggian kadar gula darah
Pada sirosis hepatis stadium lanjut peninggian gula darah disebabkan kurangnya
kemampuan sel hati membentuk glikogen. Kadar gula darah yang tetap meninggi
menunjukkan prognosis kurang baik
 Pemeriksaan Marker serologi, penanda virus seperti HBsAg/HBsAb, HBeAg/
HBeAb, HBV DNA, HCV RNA
Penting dalam menentukanetiologi sirosis hepatis. Pemeriksaan AFP (Alfa
Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telahterjadi transformasi ke arah
keganasan. Nilai AFP yg terus meningkat mempunyainilai diagnostik, kearah
hepatoma/ kanker hepar primer. Nilai AFP > 500-1000mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer
C. MANAJEMEN DENTAL
Sebagian besar dokter gigi tidak akan memberikan peraatan pada pasien terinfeksi virus.
Pertimbangan medis - pasien dengan hepatitis virus :
• semua pasien dengan riwayat hepatitis harus dikelola dengan baik karena mereka berpotensi
menular
• American Dental Association merekomendasikan bahwa semua pekerja perawatan kesehatan
gigi menerima vaksinasi terhadap hepatitis B
• tidak ada perawatan gigi selain perawatan mendesak ( kerja mutlak diperlukan ) harus
diberikan untuk pasien dengan hepatitis virus akut
• aerosol harus diminimalkan dan obat-obatan dimetabolisme di hati dihindari sebisa mungkin.
Obat-obatan yang dimetabolisme di hati:
1. Anestesi lokal: lidokain, mepivakain, prilokain, buvipakain
2. Analgesik: aspirin, ibuprofen, kodein, asetaminofen
3. Sedatif: Barbiturates, diazepam
4. Antibiotik: Ampisilin, tetrasiklin, metronidazol, vancomycin

D. PENCEGAHAN INFEKSI PADA PRAKTIK KEDOKTERAN GIGI


1. Imunisasi
Pelindung yang paling mudah digunakan dan yang paling jarang digunakan sebagai sumber
perlindungan untuk dokter gigi dan staf adalah imunisasi, misalnya heptavax-B untuk
perlindungan terhadap hepatitis B. Imunisasi hepatitis B terdiri atas tiga tahap, pertama pada hari
yang ditentukan, tahap kedua pada satu bulan kemudian, dan tahap ketiga pada enam bulan
kemudian. CDC sangat menganjurkan agar personil gigi diimunisasi hepatitis B.
Pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilakukan baik secara pasif maupun aktif. Imunisasi
pasif dilakukan dengan memberikan hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan
perlindungan sampai 6 bulan. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B. Dalam
beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita hepatitis B perlu diberikan HBIg
mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi
terhadap terhadap VHB diberikan secara intra muskular selambat lambatnya 24 jam setelah
persalinan.Vaksin hepatitis B diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan. Untuk
mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin hepatitis B diberikan segera
setelah persalinan.

2. Perlindungan Perorangan Bagi Dokter Gigi

Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) dibawah
ini :

a) Sarung Tangan
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan sarung tangan ketika melakukan
suatu perawatan. Namun penggunaan sarung tangan ini tidak sepenuhnya dapat melindungi
dari bahaya infeksi sehingga prosedur pencucian tangan yang sesuai protocol perlu dilakukan
sebelum maupun sesudah menggunakan sarung tangan. Pada klinik dokter gigi, sarung tangan
dipakai pada saat :

- Berkontak dengan membrane mukosa


- Tidak boleh menggunakan sarung tangan yang sama pada pasien yang berbeda
- Sarung tangan harus segera dipakai secepat mungkin sebelum dilakukan pemeriksaan
apabila pasien sudah terindikasi memiliki penyakit yang berisiko dapat menginfeksi sekitar.
- Sarung tangan harus segera dibuang secepat mungkin setelah pemeriksaan selesai, dan
segera lakukan pencucian tangan.
- Sarung tangan jangan dicuci ulang atau dipakai kembali
- Pemakaian sarung tangan ganda dianjurkan dalam beberapa prosedur spesifik, mencakup
penggunaan instrument tajam atau tindakan yang membutuhkan waktu lama. Namun, jika
memang harus menggunakan sarung tangan ganda, hal ini dikarenakan adanya prosedur
spesifik, bukan karena pasien yang spesifik. Hal ini terkait dengan pertimbangan hak asasi
pasien.
b) Masker
Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut wajib menggunakan masker pada saat
melakukan tindakan untuk mencegah potensi infeksi akibat kontaminasi aerosol serta
percikan saliva dan darah dari pasien dan sebaliknya. Masker harus sesuai dan melekat
dengan baik dengan wajah sehingga menutup mulut dan hidung dengan baik. Ganti masker
diantara pasien atau jika masker lembab atau basah dan terkontaminasi selama tindakan ke
pasien.
c) Kacamata pelindung
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan kacamata pelindung untuk
menghindari kemungkinan infeksi akibat kontaminasi aerosol dan percikan saliva dan
darah. Kacamata ini harus di dekontaminasi dengan air dan sabun kemudian di desinfeksi
setiap kali berganti pasien.

d) Gaun/baju Pelindung
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan gaun/baju pelindung yang
digunakan untuk mencegah kontaminasi pada pakaian dan melindungi kulit dari
kontaminasi darah dan cairan tubuh. Gaun pelindung ini harus dicuci setiap hari. Gaun
pelindung terbuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat
juga terbuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat sekali pakai (disposable). Gaun
pelindung digunakan selama prosedur perawatan gigi, dan tidak diperbolehkan untuk
digunakan diluar ruangan. Lepaskan gaun/baju pelindung jika tindakan telah selesai.

e) Alergi dan sensitivitas latex


Bahan dasar latex seringkali digunakan di berbagai alat kedokteran gigi, diantaranya
sarung tangan dan rubber dam. Iritasi pada kulit dapat terjadi jika seseorang mengalami
alergi latex. Reaksi yang sering terjadi yaitu dermatitis kontak iritan, reaksi hipersensitifitas
dalam jangka waktu lama, dan reaksi alergi. Untuk itu, diperlukan penggantian jenis sabun,
handuk atau sarung tangan yang digunakan oleh seorang dokter gigi apabila memiliki
alergi terhadap latex.

(Matthews, 2008)

3. Hand Hygiene
Mencuci tangan dengan sabun perlu dilaku kan setiap sebelum dan sesudah merawat
pasien. Setiap kali selesai perawatan, sarung tangan harus dibuang dan tangan harus dicuci
lagi sebelum mengenakan sarung tangan yang baru. Prosedur mencuci tangan yang benar
adalah sebagai berikut :
a. Tangan dibasahkan dengan air di bawah kran atau air mengalir.
b. Sabun cair yang mengandung zat antiseptik dituang ketangan dan digosok sampai berbusa.
c. Kedua telapak tangan digosok sampai ke ujung jari. Selanjutnya, kedua bagian punggung
tangan digosok. Jari dan kuku serta pergelangan tangan juga dibersihkan. Semua ini dilakukan
selama sekitar 10-15 detik.
d.Tangan dibilas bersih dengan air mengalir.
e. Tangan dikeringkan dengan menggunakan tisu. Mengeringkan tangan dengan kertas tisu
adalah lebih baik dibandingkan mengeringkan tangan menggunakan mesin pengering tangan,
karena mesin pengering tangan umumnya menampung banyak bakteri.

4. Pengendalian Infeksi pada Alat Kedokteran Gigi

1. Sterilisasi

Sterilisasi yaitu menghancurkan seluruh mikroorganisme, termasuk, bakteri, spora, dan


virus. Sterilisasi menggunakan uap (autokalf) merupakan metode yang direkomendasikan untuk
instrument medis yang dipakai ulang. Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah
tekanan berlangsung di dalam autoclave. Suhu yang digunakan yaitu 121oC selama 15-20 menit
tergantung bahan/prosedur sterilisasi.

Fase Siklus Sterilisasi :

- Pemanasan/vakum(conditioning)
- Fase Pemaparan uap (exposure)
132oC selama 2 menit
121oC selama 12 menit
116oC selama 30 menit
- Pembuangan uap (exhaust)
- Fase pengeringan (Drying)

Metode ini paling banyak digunakan karena hampir 80% alat dan bahan dapat disterilkan
dengan metode ini (Entjang, 2003).
2. Desinfeksi

Desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau
secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan jalam membunuh
mikroorganisme patogen.
- Desinfeksi termal
Desinfeksi termal menggunakan uap dengan suhu tertentu yang dapat menghancurkan
organisme pathogen non-spora. Penggunaan umum disinfeksi termal di kedokteran gigi adalah
untuk mendesinfeksi beberapa instrument prostetik, misalnya alat polishing dan brush.
Kebanyakan intrumen yang digunakan di kedokteran gigi yaitu semi-kritikal dan non-kritikal dan
banyak yang dapat didesinfeksi menggunakan uap dan air dengan dinsinfektor termal. Namun
sekarang sudah banyak instrument disposable sehingga penggunaan disinfector termal jarang
digunakan.

Proses disinfeksi termal yaitu dengan membersihkan alat terlebih dulu sebelum di
desinfeksi. Jika alat tidak bersih maka tidak bisa didesinfeksi. Instrument yang basah dapat
ditempatkan di disinfector termal. Disinfector termal harus dibersihkan secara teratur dan air harus
rutin diganti tergantung penggunaan.

- Disinfeksi kimia

Disinfektan kimia hanya digunakan ketika tidak memungkinkan dilakukan disinfektan


termal (misalnya beberapa alat prostetik dan laboratorium). Desinfektan yang berbeda jenis tidak
boleh dicampur dan harus digunakan sebelum masa berlaku habis. Penggunaan produk
(konsentrasi dan lama waktu penggunaan) harus sesuai dengan rekomendasi yang telah ditentukan.
Instrument tidak boleh di desinfektan secara kimia sebelum ataupun sesudah disinfeksi termal atau
sterilisasi (Matthews, 2008).

- Desinfeksi Tingkat Tinggi

Desinfeksi tingkat tinggi dilakukan dengan merebus instrument selama 20 menit. Metode
yang paling simple untuk menginaktivasi mikroba patogenik, termasuk HIV. Metode ini dilakukan
hanya ketika sterilisasi uap tidak tersedia. Virus hepatitis B dan HIV akan diinaktivasi setelah
direndam dalam beberapa menit. Namun untuk memastikan, perendaman instrument dilakukan
selama 20 menit (WHO, 1992).

Beberapa aspek pada alat-alat dental perlu dilakukan kontrol infeksi karena dapat berpotensi
menyebarkan infeksi, yaitu :

1. Ruang Radiologi
Pada saat pengambilan radiograf dan memegang film atau sensor perlu menggunakan sarung
tangan. Alat pelindung yang lain seperti masker atau kaca pelindung juga perlu digunakan untuk
mencegah kontaminasi dari darah ataupun saliva. Jika memungkinkan, direkomendasikan
penggunaan film intraoral disposabel (kecuali radiografi digital).

Film yang sudah digunakan,segera dicuci dan dikeringkan menggunakan handuk untuk
menghilangkan darah atau saliva dan simpan di tempat penyimpanan khusus. Alat-alat
radiograf seperti tubehead dapat juga terkontaminasi sehingga harus senantiasa dibersihkan
setelah pemakaian.

2. Alat-alat intraoral dengan teknologi tinggi


Alat intraoral yang digunakan diantaranya :
- Curing light
- CAD/CAM dan komponen komputernya
- Air abrasion
- Kamera intraoral
- Laser
- Apex locator
- Probe periodontal elektronik
- Occlusal analyser
- Unit electrosurgery
Alat-alat tersebut harus senantiasa dibersihkan dan disterilisasi. Jika alat-alat-alat yang
mengenai membran mukosa atau cairan darah dan tidak dapat disterilisasi menggunakan heat
sterilization, minimal harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dan sesudah digunakan
kepada pasien. Berikut cara pembersihan alat-alat intraoral :
- Hilangkan noda saat masih memakai sarung tangan
- Buang sarung tangan dan dekontaminasi/cuci tangan
- Jika masih terdapat kemungkinan kontaminasi saliva atau darah, alat harus dibersihkan
dengan cara mengusap dengan detergen netral
- Mencuci setiap alat setelah dipakai (jika memungkinkan)
3. Laboratorium dental dan prostetik
Semua material, cetakan, protesa denta, alat intra-ekstraoral harus dibersihkan sebelum dan
sesudah diinsersikan ke dalam mulut pasien.
4. Manajemen Handpiece
Semua handpiece termasuk handpiece ultrasonic scaler harus disterilisasi. handpiece harus
dalam keadaan bersih dan disterilisasi sebelum dan sesudah digunakan pasien. Permukaan
luar handpiece dibersihkan, sedangkan bagian dalam handpiece disterilisasi sesuai dengan
petunjuk pabrik (misalnya menggunakan spray aerosol). Setelah sterilisasi, handpiece
diletakkan ditempat dengan resiko kontaminasi minimal.
Prosedur yang dapat dilakukan dalam membersihkan handpiece :
- Lepaskan bur dari handpiece pada saat pembersihan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi dan kerusakan pada handpiece
- Bersihkan permukaan handpiece dengan detergen dan air - jangan merendam handpiece
pada larutan disinfektan atau pembersih ultrasonic
- Lumasi handpiece dengan minyak secara berkala
- Bersihkan sisa minyak
- Sterilisasi di dalam steam sterilizer
- Nyalakan handpiece sesaat sebelum digunakan untuk membuang kelebihan pelumas.
5. Spesimen
Setiap specimen yang digunakan untuk tes laboratorium harus ditempatkan di tempat khusus
dengan diberi label biohazard. Sarung tangan senantiasa digunakan. Jika terlihat kontaminasi
pada tempat specimen, maka bersihkan dan desinfeksi pada bagian luar tempat specimen
tersebut.
6. Instrument endodontik Nickel-Titanium (NiTi)
Cara membersihkan alat-alat endodontik :
- Segera setelah dipakai, lepaskan stopper dan letakkan file pada sponge yang telah dibasahi
larutan aqua glokunat chlorhexidine 0,2%
- Bersihkan file menggunakan 10 vigorous in-and-out strokes pada sponge
- Tempatkan file dalam tempat khusus dan rendam dalam larutan pembersih enzimatik selama
30 menit
- Lakukan ultrasonifikasi dalam larutan pembersih enzimatik
- Bilas pada air mengalir selama 20 detik
- Lakukan steam sterilization
7. Nursing Home Visit
Ada beberapa pasien dengan kondisi tidak memungkinkan untuk melakukan kunjungan ke
klinik dokter gigi sehingga diperlukan kunjungan dokter gigi terhadap pasien tersebut untuk
melakukan perawatan oral. Salah satu hambatannya adalah ketidaklengkapan fasilitas yang
ada dirumahsakit dimana pasien tersebut dirawat. Pada kasus ini, pencegahan standar tetap
harus dilakukan termasuk menggunakan sarung tangan dan alat pelindung diri yang lain.
Setelah intstrumen digunakan, letakkan pada tempat khusus sebelum dibawa kembali ke klinik
untuk dilakukan sterilisasi. Jika memungkinkan, alat tersebut dibersihkan segera setelah
digunakan dengan detergen dan air untuk mencegah menempelnya debris.
Material seperti cetakan harus dimasukkan ke dalam sebuah plastic sebelum dibawa ke klinik
karena cetakan dapat terkontaminasi oleh saliva atau darah. Limbah medis harus dipisahkan
dengan limbah umum. Begitu pula dengan sampah tajam yang harus dibuang pada kontainer
khusus (kontainer AS/NZ3816) (Matthews, 2008).
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : Suprapto
Umur : 64 tahun
Tanggal Masuk : 26 Oktober 2015
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kotengan Baru Kranggan RT 02/30 Jogotirto Berbah, Sleman, DIY
No RM : 01.64.32.45
No Kamar : Dahlia 1 Penyakit Dalam (JKN PBI)

Keluhan Utama:
Lemas disertai mata kuning sejak 2 minggu sebelum masuk RS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
26/10/2015 Mata kuning sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Buang air kecil pekat seperti
teh. BAB hitam (-), mimisan (-). Riwayat melena (+) 1 tahun yang lalu. OS mempunyai riwayat
sirosis hepatis sejak 2 tahun sebelum masuk RS, hanya kontrol 3 kali kemudian berhenti
mengkonsumsi obat. Mulai berobat kembali karena merasa lemas
Riwayat Pribadi:
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 64 tahun yang sudah menikah. Bekerja sebagai
buruh dan memiliki kesulitan biaya, biaya ditanggung JKN PBI.
Pemeriksaan Fisik:

Vital Sign : TD : 110/60


N : 60x/mnt
R : 20x/mnt
T : afebris
Keadaan umum: Kesadaran : CM
GCS : E 4, M 6, V 5
TB : 160 cm
BB : 55 kg
IMT : 21,48
Kepala : mata conjunctiva pucat (-), sclera interik +/+, atrofi m. temporalis (+)
Leher : JVP 5+2 OM H20, limfonodi tak teraba
Thorax
Pulmo : I : Simetris (+)
P : Soemitus ka=ki
P : Sonor +/+
A : Vesikuler +/+
COR : I : ictus coralis ren tampak
P : ictus coralis teraba do SIC V di LMCS
P : Cardiomegali (-)
A : sisa regular, bising (-)
Abdomen : I : DP // DD
A: bising usus (+)
P : Timpani (+)
P : nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari b.a.c, lien tak teraba, shifting dullness
(-)
Ekstremitas : edema

Diagnosis : Sirosis Hepatis dan Hepatitis B

Pemeriksaan Penunjang
Faal Hati
Bilirubin total : 19,61 mg/dL
Bilirubin direct : 15,14 mg/dL
Protein total : 10,27 g/dL
Albumin : 3,08 g/dL
SGOT/AST : 186 U/L
SGPT/ALT : 117 U/L
Elektrolit
Natrium : 135 mmol/L
Kalium : 3,90 mmol/L
Klorida : 100 mmol/L

Hemostasis
PPT : 21,8 detik
INR : 1,73
Kontrol PPT : 14,8
APTT : 45,2 detik
Kontrol APTT : 28,4
Darah Rutin
Hb : 14,2 S : 58 MCV : 84,2
AL : 8,78 L : 25,7 MCH : 30,3
AT : 206 M : 12,3
AE :4,69 E : 3,1
HMT : 39,5 B : 0,9

Assesment
R/ vitamin K 3x1 Po pc
Furosemide 40 mg 1x1 Po ac
Propanolol 10 mg 2x1 Po
Spirolonakton 100 mg 1 x 0,5 Po

Temuan Oral :
1. Status Oral
P. Subyektif : Mulut kering
P. Obyektif :
Intra oral:
V IV III II I I II III IV V

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
o v o o o o o
o v
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
V IV III II I I II III IV V

Diagnosis Oral :

1. Radix 15, 34
2. Nekrosis disertai luksasi gigi 17
3. Karies dentin 11,12,13,14 23, 33
4. Macula
5. Coated tongue
6. Torus palatinus
7. Edentulus
Rencana Perawatan :

1. DHE kepada pasien untuk mengatasi xerostomia dengan sering berkumur air mineral
kemudian pasien dianjurkan untuk menyikat gigi minimal 2 kali sehari untuk membantu
membersihkan debris yang timbul karena tidak adanya self cleansing karena xerostomia.
Alternatif lainnya adalah mengunyah permen karet non gula untuk membantu
menstimulasi saliva.
2. DilakukansScaling, penambalan gigi berlubang dan ekstraksi sisa akar gigi bila kondisi
pasien telah membaik.
3. edukasi pasien untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan berkumur
setelah makan dan sikat gigi minimal 2 kali sehari.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien merupakan penderita sirosis hepatis dengan HbsAg +, tidak tampak kelainan pada
lien, pankreas, ren, vesika urinari dan prostat. Permasalahan kondisi oral pasien berupa xerostomia,
nekrosis, karies dentin, petechie dan edentulous. Rekomendasi oral yang dilakukan adalah edukasi
pasien mengenai keadaan oral pasien. Pasien diedukasi untuk menjaga OHI dengan menyikat gigi
rutin sehari 3 kali, namun bila pasien merasa kesulitan bisa diganti dengan obat kumur tanpa
alkohol. Pasien diinstruksi untuk mengunyah agen peningkat saliva berupa permen karet non-gula
untuk mengatasi xerostomia. Pada oral pasien terdapat nekrosis dan radix, namun perawatan
pencabutan tidak dapat dilakukan berhubung dengan kondisi kesehatan umum pasien.
Hal yang perlu diperhatikan oleh dokter gigi ketika melakukan penatalaksanaan dental
terhadap pasien dengan kondisi seperti ini adalah memperhatikan riwayat kesehatan pasien. Pasien
menderita sirosis hepatis dengan HbsAg + dengan pemeriksaan lab PT dan APTT mengalami
pemanjangan. Kondisi umum pasien yang tampak lemas dan mengalami keterbatasan gerak juga
perlu diperhatikan.
Menurut Pedersen (1996), batas aman untuk dilakukan tindakan pencabutan pada pasien
dengan pemanjangan PT adalah apabila PT berkisar antara 2-2,5 kali nilai kontrol dan PTT
terdapat pada kisaran normal sehinggan perdarahan pasaca bedah mulut dapat dikontrol. Menurut
Ord dan Blanchaert (2000), batas aman untuk pasien bedah mulut dengan penurunan jumlah
trombosit yaitu untuk injeksi blok regional dapat diberikan jika trombosit >30.000/mm3, untuk
bedah dentoalveolar jikat trombosit >50.000/mm3 sedangkan pada bedah mayor >75.000/mm3.
Pada pasien ini tidak dapat dilakukan tindakan pencabutan gigi karena terjadinya pemanjangan PT
dan PTT sehingga dapat menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi. Penatalaksanaan untuk
pasien dengan sirosis hepatis ini berupa edukasi saja, sedangkan untuk tindakan invasif perlu
dilakukan penundaan hingga kondisi kesehatan umum pasien membaik, kecuali pada pasien
dengan kondisi yang emergency. Pemberian obat-obatan perlu diperhatikan, hindari obat-obatan
yang dimetabolisme di hati.
DAFTAR PUSTAKA

American Dental Association. Infection control routine for dental office,


http://www.healthmantra.com/hctrust/art4.shtml, diakses pada tanggal 8 November 2015
Pukul 21.00

Little, J.W., Falace, D.A., Miller, C.S., dan Rhodus, N.L., 2008, Dental Management of the
Medically Compromised Patient 7th Edition, Missouri, Mosby Elsevier

Matthews, JE. 2008. ADA Guidelines for Infection Control. Australia : Australian Dental
Association Inc.

Ord, R.A., dan Blanchaert, R.H., 2000, Oral Cancer: The dentist role in diagnosis, management,
rehabilitation, and prevention, Quintessence Publishing Co. Inc., Illinois.

Pedersen, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatitis, http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-


srimaryani5.pdf, diunduh: 11-11-2015

Widjaja, F.F. dan Karjadi, T., 2011, Pencegahan Perdarahan Berulang pada Pasien Sirosis Hati,
Indon Med Assec, vol 61 (10): 417-24.

Anda mungkin juga menyukai