Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat TUHAN Yang Maha Esa atas kekuatan,
pertolongan dan kasih-Nya yang kekal, sehingga kami sebagai penyusun dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul HIV AIDS dengan baik dan
lancar, terimakasih kami sampaikan pada dr. Farid AL Hasan Sp.PD. yang
telah sabar mendidik dan membimbing kami selama pembuatan lapsus dan
mohon maaf jika selama proses pembuatan dan pembimbingan banyak
kesalahan dan ketidak mengertian kami.
Laporan kasus ini dimkasudkan untuk memenuhi persyaratan akademis
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam DR. R. SOSODORO
DJATIEKOESOMO BOJONEGORO serta memberikan ilmu pengetahuan
Tentang HIV-AIDS serta cara penatalaksanaanya.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua,
terutama perkembangan pengetahuan dunia kesehatan.

Bojonegoro, Mei 2015

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia


dan banyak Negara diseluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi
masalah AIDS, pernah memperkiraan jumlah ODHA diseluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35, 9- 44, 3juta orang. Saat ini tidak ada Negara yang
terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidemensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respon dari masyarakat dan memerlukan layananan pengobatan
dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. (1)
Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health
Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS
telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari
populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000
adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk
kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.(1,2)
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak
menyerang sel saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan
kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkan dapat merusak otak dan
saraf tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi HIV secara
bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam proses
belajar dan pengelolaan informasi.(1)
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf,
menyebabkan kerusakan neurologis. 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan
neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi
oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita

HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit


infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah
terkena penyakit keganasan.(2)

BAB II
LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Js
Umur
: 31 Tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penjual Makanan
Status
: Menikah
Alamat
: Bojonegoro
MRS
: 2 Maret 2015

II.

KELUHAN UTAMA
Sariawan

III.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Pasien mengeluhkan sariawan sejak 5 bulan yang lalu, tampak
berwarna kemerahan sampai putih pada permukaan lidah, dan
menjalar ke seluruh rongga mulut. Awal mula sariawan berukuran
kecil lama kelamaan melebar dan membesar. Terasa nyeri bila
dibuat makan dan minum. Sariawan hilang timbull dalam 5 bulan

ini.
Pasien mengeluhkan batuk yang telah berlangsung sejak 4 bulan
yang lalu, batuk kumat-kumatan berdahak kental putih kekuningan,
meningkat jika hawa dingin, biasanya malam dan pagi hari. Dahak

tidak ada darah (-).


Pasien mengeluhkan perut bagian ulu hati terasa nyeri sejak 5 hari

yang lalu, nyeri hilang timbul, dan nyeri seperti di tusuk-tusuk.


Badan dirasakan lemas sejak 2 minggu terakhir ini. Nafsu makan

menurun sejak 10 hari.


Berat badan turun secara drastis
Mual (-), muntah (-)
BAB normal kuning padat ( tidak ada keluhan saat BAB )
BAK warna kuning ( tidak ada keluhan saat BAK )

Sesak nafas (-), nderedeg (-), pilek (-), demam (-)

IV.

Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini.
Darah tinggi (-) disangkal.
Kencing Manis (-) disangkal.

V.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Penderita bekerja sebagai pelayan makanan di rumah makan di

sulawesi selama 2 Tahun.


Penderita mempunyai seorang istri dengan 2 orang anak yang

tinggal di bojonegoro
Lama perkawinan 12 tahun.
Istri penderita adalah seorang petani
Penderita menyangkal mengkonsumi NAPZA
Penderita memiliki riwayat merokok sudah 20 tahun, 1 hari 1 pak
Penderita menyangkal melakukan seks dengan PSK

VI.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Di keluarga pasien tidak ada yang seperti ini
Hipertensi (-) disangkal
Kencing manis (-) disangkal
Alergi obat (-) disangkal

VII.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum dan vital sign
Keadaan umum
: Sakit berat
Kesadaran u
: Compos Mentis
Tekanan darag
: 110/70 mmHg
Nadi
: 94x/menit, teratur, kuat
RR
: 26x/menit, reguler
Temperatur
: 36,70 C
Gizi
: Buruk
TB
: 150 cm
BB
: 40 kg
Kepala leher
: A/I/C/D = +/-/-/- Facies leonina (-), full moon face (-)
- Kulit muka anemis (+)
- Rambut normal
- Benjolan di kepala (-)
- Nyeri tekan kepala

Mata :
-

Alis normal
Bola mata normal,Exophatalmus (-), Nystagmus (-)
Kelopak
: Edema (-), ptosis (-)
Konjuctiva
: Anemi +/+, Hiperemi -/-, kering -/Sclera
: Icterus -/-, Pterygium -/Pupil
: Bulat (+), Isokor (+), refleks cahaya +/+
Lensa
: Katarak -/Visus
: Counting Finger

Telinga

: Bentuk Normal ,Serumen -/-, Pendengaran


normal

Hidung

: Deviasi septum (-), sekret -/-, Epistaksis -/pernapasan cuping hidung

Mulut

: Bibir Cyanosis (-), Sariawan (+) (lidah dan


rongga mulut)

Gigi

: Carries (+), gigi goyang (-) bekas tembahan (-),


gigi warna kuning

Gusi

: Hiperemi (+), Hiperplasi Gingiva (+),


pendarahan (-)

Mucosa

: Pucat (+)

Lidah

: Lidah Tifoid (+)

Faring

: Hiperemis (-)

Palatum

: Anemia (-), Ikterus (-)

Leher

: Simetris, kaku kuduk (-)

JVP tidak meningkat, pembesaran tiroid (-)


pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-) tidak ada
massa

Thorax

Payudara

: Ginekomasti (-)

Pulmo

: Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, retraksi ics


(+), tidak ada jejas
Palpasi : Simetris, fremitus raba : teraba normal,
fremitus vocal (+)
Perkusi :

sonor

sonor

sonor

sonor

sonor

sonor

Auskultasi : Rhonchi :

Wheezing

Cor :

Inspeksi : Ictus Cordis nampak di ICS V MCL sinistra


Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Inspeksi : Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra
Batas jantung kanan ICS V parasternal kanan
Auskultasi : S1 / S2 tunggal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
7

Abdomen : Inspeksi

: Distended(-),Vena collateral (-), Acites (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Meteorismus (-) pemeriksaan Shifting

Palpasi

: Hepar / lien : tak teraba

Ginjal

: tak ada pembesaran


Nyeri tekanan :

Estremitas : Extremitas atas

: Capillary refill time < 2 detik


Akral hangat (+)
Edema (-)
Erytema Palmaris (-)

Extremitas bawah

: Capillary refill time < 2 detik


Akral hangat (+)
Edema (-)
Gangren (-)

Tulang belakang

: Normal
Kifosis (-)
Skoliosis (-)
Spin Bifida (-)

VIII.

Problem List :
Sariawan

IX.

Batuk berdahak
Nyeri perut
Badan lemas
Nafsu makan menurun
Kurang Gizi (Kurus)

Assesment :

HIV AIDS
Anemia
Gastritis
Kandadiasis
TB paru

X.

Usul pemeriksaan penunjang :


Darah lengkap SE, LFT RFT
Anti HIV
Foto Rontgen Thorax PA
Kultur Sputum

XI.

Planing terapi :
- Infus RL : D5 1:2 (1,5 L/24 jam)
- Injeksi Ranitidin 2x1
- Syrup Antacyda 3x C1
- Injeksi Ceftriaxone 2x 1
- Nystatin drop 3x 2gtt
- Tablet Cotrimoxazole 2x 960mg
- Bila Hb <8 g/dl, transfusi PRC 2 kolf/hari sampai Hb > 10 g/dl

2.1 Follow up
NO
TGL
1 3/3/2015

DATA SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF


S. Pasien mengeluh sariawan pada lidah
dan mulut batuk berdahak kuning
Nafsu makan menurun dikarenakan
sariawan
Perut bagian atas terasa nyeri Mual (-),
muntah (-) pusing (-) panas (-)
BAK : (+) kuning BAB : (+) normal
kuning padat

TERAPI
Inf PZ : D5 1:2
(1,51 L/24 jam)
inj. Ranitidin 2x1
Syr . Antacyda
3xC1
Inj. Ceftriaxone
2x1
Nystatin drop 3x
2 gtt
O:KU : sakit berat Kes : Composmentis
Transfusi PRC 4
K/L : A/I/C/D : +/-/-/- Candidiasis oris kolf / hr sampai
& lingua (+)
Hb > 10 g/dl
V.S : TD : 120/80
S : 36,8 C
N : 82 x /m RR: 18x/m
Thorax : Cor S1 S2 tunggal reguler
M (-) , G (-),
Pulmo : Rhonci : +
+
+
+
+
+
Wheezing

+
-

+
-

Abdomen : Distended (-), Acities (-), BU


(+), nyeri tekan
epigastrium(+)
Extr

: odem (-), akral hangat (+)


tampak kurus

A: HIV AIDS
Anemia
Gastritis
Kandidiasis
TB paru
2

4/3/15

S. Sariawan pada lidah mulut berwarna


putih batuk-batuk berdahak (+)
Badan terasa lemas dan kurus

10

Perut bagian atas nyeri


Mual (-) berkurang muntah (-) panas(-)
BAK : (+) kuning BAB : (+) kuning
O: KU : sakit berat Kes : Composmentis
K/L : A/I/C/D : +/-/-/- Candidiasis oris
& lingua (+)
V.S : TD : 110/70
S : 36,9 C
N : 70x/m RR: 18x/m
Thorax : ICS retraksi (+)
Cor S1 S2 tunggal reguler
M (-) , G (-),
Pulmo : Rhonci : +
+
+
+
+
+
Wheezing

+
+
-

+
+
-

Abdomen : Distended (-), Acities (-), BU


(+), nyeri tekan
epigastrium(+)
Extr

: odem (-), akral hangat (+)


seluruh tubuh kurus

A: HIV AIDS
Anemia
Gastritis
Kandidiasis
TB paru

Hasil Pemeriksaan Penunjang


Hasil Lab tanggal 2 3 -2015
Pemeriksaan
Darah Lengkap

Hasil

Nilai Rujukan

Keterangan

11

Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematrokit
MCV
MCH
MCHC
RDW CV
RDW SD
Trombosit
PDW
MPV
P LCR
PCT

5,9 g / dl
13,7 L
2,95x 106 L
22,6%
76,6fL
26,1pg
31,1 g/dL
17,1%
46 fL
330x 10 L
8,3 fL
8,1 fL
12,4 %
0,440%

13,0 18,0
4,0 11,0
4,50-5,50
40,0 50,0
82,0-92,0
27,0-37,0
32,0-37,0
11,5-14,5
35-47
150-400
9,0-13,0
7,2-11,1
15,0-25,0
0,150-0,400

Low
High
Low
Low
Low
Low
Low
High
N
N
Low
N
Low
High

Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Jumlah eosinofil

2,4%
0,7%
82,7%
8,6%
10,2%
0,5 x 103/L

0-3
0-1
50-70
20-40
2-8
0-0,8

N
N
High
Low
High
N

Jumlah Basofil
Jumlah Neutrofil
Jumlah Limfosit
Jumlah Monosit

0,1 x 103/L
17,6 x 103/L
1,3 x 103/L
1,74 x 103/L

0-0,2
1,5 7,0
1,0 3,7
0,16 1,00

N
High
N
High

Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (CI)
SGOT
SGPT
BUN
Ureum
Kreatinin
Gula Darah Sewaktu
Imunologi (3 Metode)

126 meq/L
4,8 meq/L
102 meq/L
27
13
31
14
0,6
96
Anti HIV

136-145
3,5-5,1
96-2017
15-40
10-40
18-50
6-20
0,61-1,17
<140
Reaktif

Low
N
N
N
N
N
N
N
N
Non Reaktif

12

Hasil foto Rontgen 3/3/15

13

Foto Rontgen Thorax PA :


Cor

: Besar dan bentuk normal

Pilmo

: tampak Fibroinfiltrate di parehiler kanan kiri, Vascularisasi kedua


paru tampak normal Sinus pkrenicocostalis kanan-kiri tajam

Kesimpulan

: TB Paru

14

Foto Pasien

15

BAB III
PEMBAHASAN

Penderita lakilaki 31 tahun ,mrs 2-3-2015 dirawat diruang Interna Isolasi.


Pelayan makanan di rumah makan di sulawesi. Penderita mengeluh sariawan pada
lidah dan mulut, yang telah berlangsung 7 bulan, disertai batuk berdahak putih
kekuningan yang berlangsung lebih dari 3 bulan, perut bagian atas terasa nyeri.
Nafsu makan menurun karena sariawan pada lidah dan mulut, juga berat badan
pasien menurun. Pada pemeriksaan fisik didapati TD: 110/70. S : 36,8C, N:
82x/m, RR : 18x/m. Suara jantung S1 S2 tunggal reguler.. terdengar ronchi pada
saluran lapang paru dan wheezing yang minimal pada paru atas. Nyeri perut
bagian tengah atas. Ektremitas tidak edem, CRT <2 detik. Berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan fisik diatas kami mencurigai pasien tersebut menderita HIV
AIDS. Maka dilakukan pemeriksaan laboratorium DL,SE,LFT,RFT, dan ANTI
HIV (1,2)
Kelainan laboratorium yang didapat adalah hasil anemia Hb : 5,9 g/dl/
leukosit : 13,7 uL dan anti HIV reaktif dengan 3 metode yang berbeda. Sehingga
kami mendiagnosa pasien tersebut menderita HIV-AIDS, Anemia, Gastritis,
Kandidiasis dan suspek TB Paru.
Pasien mendapat pengobatan O2 nasal 4L/menit karena sesak nafas, infus
PZ : D5 1:2 (5L/24jam), transfusi PRC 1 kolf / hr sampai Hb > 10 g/dl/ Inj.
Ceftriaxone 2x1 diberikan karena nilai leukosit dalam darah meningkat kami
curiga terdapat infeksi yang lebih lanjut. Nystatindrop 3x2 gtt untuk pengobatan
sariawan yang dialami pasien. Pasien juga diberi Cotrimoxazole 2x960 sebagai
profilaksis Infeksi Oportunistik (IO) pada ODHA (2)
Berdasar keluhan batuk berdahak putih kekuningan yang berlangsung
lebih dari 3 bulan. Kami melakukan pemeriksaan penunjang foto rontgen thorax
PA (3-3-2015) dan di dapatkan kesimpulan :

16

Cor

: Besar dan bentuk normal

Pulmo : tampak Fibroinfiltrate di parahiler kanan, vascularisasi kedua paru


tampak normal
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Kesimpulan : TB paru

Pasien dikonsulkan ke bagian paru-paru (3-3-2015). Jawaban Konsul (4-32015) : Saran untuk pemeriksaan SPS. Terapi sementara Ambroxol 3x1 dan
Ceforoxime 3x1. Hasil pemeriksaan SPS(6-3-2015) ketiga sampel (+). Maka
didapatkan diagnosa TB paru dengan BTA Positif (4)
Sehingga kami mendiagnosa pasien tersebut : HIV AIDS, Anemia,
Gastritis, Kandidiasis dan TB Paru. Pada prinsipnya pemberian OAT pada ODHA
tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Pada pasien ini pengobatan ARV belum
diberikan dikarenakan menunggu pengobatan TB Paru (secepatnya 2 minggu dan
tidak lebih dari 8 minggu) (2). Interaksi antara OAT dan ARV, terutama efek
hepatotoksiknya, harus diperhatikan. Pada ODHA yang telah mendapatkan obat
ARV sewaktu diagnosa TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan
evaluasi yang lebih ketat(1).
Pasien tidak koperatif, pasien tidak mau makan, pasien seakan tidak
semangat dengan menjalani hidupnya untuk melawan penyakitnya, semakin lama
kondisi pasien semakin memburuk. Setelah pasien menglami pengobatan selama
14 hari, pasien meninggal dunia pada tanggal (15-3-2015). Pasien meninggal
dunia diduga karena pasien mengalami kekurangan asupan makanan dan
minuman yang mengakibatkan badan pasien semakin kurus, lemas dan tidak
bertenaga selain dari pada gejala klinis penyakit HIV AIDS dan TB Paru (2)

17

DISKUSI
HIV merupakan virus jenis retrovirus, Limvosit CD+4 merupakan target
utama infeksi karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting.Hilangnya sirkulasi dala beberapa minggu stelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus menurun ke level
steady-state.Walaupun antibotik ini umumnya memiliki aktifitas netralisas yang
kuat melawan virus infeksi, namun ternyata tidak mematikan virus. Virus dapat
menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan adaptasi pada
amplopnya, termasuk kemampuan mengubah situs glikosilasinya sehingga
netralisasi yang diperantarai antibody idakk terjadi (1,4)

Stadim Klinis Infeksi HIV


Terdapat 4 stadium menurut Depkes RI- Pedoman Nasional Terapi
Antiretoviral Edisi II-2007 (6)
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadinopati Generalisata
Stadium 2 Sakit Ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terahir
Luka disekitar bibir
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit Sedang
Penurunan berat badan >10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1bulan
Kandidiosis oral atau vagina
Oral hairy leukoplakia
TB paru dalam 1 tahun terakhir
18

Infeksi bakterial yang berat (pnemoni, piomiositis,dll)


TB limfadinopati
Gingivitis/Periodonitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb,8%), netropenia (<5000/ml)


Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV


Pnemonia pnemosistis (pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidiasis esophageal
TB ekstraparu
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV
Abses otak Toksoplasmosis
Encelopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikrobakteria non- TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif (PML)
Penicillosis, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis,

meluas(histoplamosis ekstra paru, cocidiodomikosis)


Limfoma serebrat atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis

dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV)
Kanker serviks invasive
Leimaniasis atipik meluas

mikosis

Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi dan selalu
didahului dengan konseling prates atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan rengen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (<99%), sedang
untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas
tinggi (>99%) (2).

19

Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai ART
apbila sumber daya memungkinkan

Darahh lengkap
Jumlah CD4
SGOT / SGOT
Kreatinin Serum
Urinalisa
HbsAg
Anti HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
Profil lipid serum
Gula darah
VDRL / TPHA/PRP
Ronsesn dada (utamanya bila buriga ada infeksi paru)
Tes Kehamilan (perempuan usia reproduktif dan perluanamnesis mens

terakhir)
PAP smear / IFA - IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervisx

Catatan :

Adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV


karena berkaitan dengan pemilihan obat ART. Tentu saja hal ini perlu

mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.


Pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila
pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan.

Kriteria Diagnosa
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan anti body

20

atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh, juga disertai tanda
dan gejala klinis dimulai seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang
berkepanjangan dan tanpa sebab. Kelenjar-kelanjar getah bening dileher, ketiak,
pangkal paha dapat membengkak selama berbulan-bulan, nafsu makan menurun
atau hilang, demam yang terus menerus mencapai 39oC atau berkeringat pada
malam hari, diare terus menerus, berat badan turun tanpa sebab, luka-luka hitam
pada kulit atau selaput lender yang tidak bisa sembuh , batuk berkepanjangan dan
dalam kerongkongan mudah memar atau pendarahan tanpa sebab (1)
Sering kali orang tidak mengetahui status mereka apakah terinfeksi
HIV atau tidak. Oleh karena perlu dilakukan tes HIV bagi orang yang
menginginkanya setelah mendapatkan konseling pra tes. Indikasi lain untuk
ditawarkan tes HIV adalah adanya infeksi menular seksual (IMS), hamil,
tuberkulosis (TB) aktif, dan gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV.
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai

dengan panduan

Nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3
dan selalu didahului dengan konseling pra tes.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) biasanya digunakan tes cepat dengan
sensitifitas yang cukup tinggi, sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2
dan A3) digunakan tes kit dengan spesifitas yang lebih tinggi. Antibodi
biasanya baru dapat terdeteksi sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi
HIV (97%). Masa tersebut disebut masa jendela.
Oleh karenanya bila hasil tes HIV negatif yang

dilakukan dalam

masa 3 bulan setelah kemungkinan terinfeksi, perlu dilakukan tes ulang, terlebih
bila masih terus terdapat perilaku yang berisiko seperti sex yang tidak terlindung
pada pasien IMS, para penjaja seks dan pelanggannya, LSL dan pasangan ODHA,
dan pemakaian alat suntik secara bersamaan di antara para pengguna napza
suntikan.

21

Gambar 3.1. Diagram Pemeriksaan Laboratorium pada HIV.

Cara Penularan
Jalan utama untuk transmisi HIV adalah kontak seksual (Homoseksual
atau Heteroseksual) transmisi jarum suntik dan alat kesehatan lain, transmisi
perintal (dari ibu ke anak dalam persalinan), transmisi darah dan produk darah
serta transmisi dalam pelayanan kesehatan yaitu pada pekerja rumah sakit yang
kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dengan infeksi HIV. Sekalipun
penyelidikan secara epidemologi menunjukan bahwa darah dan semen nerupakan
jalur penularan utama virus AIDS, telah dilaporkan bahwa HIV juga ditemukan
dalam saliva, air mata, air susu ibu dan urin. Penularan melalui saliva sampai saat
ini memang diragukan karena jumlah virus dalam saliva amat kecil sehingga tidak
potensial untuk penularan.Hasil beberapa penyelidikan menunjukan bahwa
sebenarnya saliva dapat menghambat virus HIV agar tidak menginveksi limfosit
manusia disamping fungsi saliva sendiri sebgai pelindung karena mengandung

22

sejumlah protein saliva. Resiko penularan dalam tindak kedokteran diperkirakan


melalui saliva yang rercampur darah karena luka yang timbul dalam perawatan (5)

Infeksi Karena jamur (Oral Candidiasis)


Kandidiasis Oral sejauh ini merupakan tanda didalam mulut yang sering
dijumpai baik pada penderita AIDS. Esophagitis candida juga sering
ditemukan.Candidiasis Oral ditemukan sebagai bercak berwarna putih yang
konfluen dan melekat pada mukosa oral serta faring, khususnya didalam mulut
dan lidah. Flukonazol dengan dosis 100 200 mg / hari merupakan dosis efektif
untuk atasi candidiasis oral dan esofagus (1,3)

Tuberkulosis Paru
Tuberculosis Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobakterium tuberculosis.Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam

23

tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian kuman tersebut
dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya (5).
Gejala umum penderita TB Paru adalah sebagai berikut :
1. Bauk yang terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
2. Mengeluarkan dahak bercampur darah, sesak nafas, dan rasa nyeri pada
dada.
3. Lemah badan, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, rasa kurang
enak badan, berkeringat malam tanpa disertai kegiatan dan demam lebih
dari sebulan.
Terapi ARV untuk Ko-infeksi tuberculosis diketahui dapat menurunkan laju Tb
sampai sebesar 90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat
populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50% (2).

Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis

Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktiv, berapapun

jumlah CD4
Gunakan EFVsebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi

ARV selama dalam terapi TB.


Mulai terapi ARVsesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Seccepatnya 2minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.

Pilihan NNRTI pada Ko-Infeksi TBC


EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan
kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih kecil dan efek
hepatotoksik yang lebih ringa.pada keadaan TB terdiaknosis atau muncul dalam 6
24

bulan sejak memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu
mempertimbangkan subsitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi obat
TB khususnya rifampisin dengan NNRTI dan PI (2)

Prinsip dalam pemberian ARV (2)


Paduan ARV Lini Pertama yang dianjurkan
Prinsip Pemilihan obat ARV
1. Pilih lamivudin (3TC), ditambah
2. Pilih salah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase

25

Inhibitor (NRTI), zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T)


1. Paduan obat ARV harus mengunakan 3 jenis obat yang terserat dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektifitas
penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistic yang baik.

Anjuran pemilihan Obat ARV


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah :

26

2 NRTI + NNRT
Populasi Target

Pilihan yang

Catatan

Dewasa dan anak

direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC (atau

Merupakan pilihan paduan

FC) + EFV atau NVP

yang sesuai untuk sebagian


besar pasien

Perempuan hamil

AZT +TC + EFV atau NVPN

Gunakan FDC jika tersedia


Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertama

Ko-Infeksi HIV / TB

AZT atau TDF +3TC (FTC +


EFV)

TDF bisa merupakan pilihan


Mulai terapi ARV segera
setelah

terapi

TB

dapat

ditoleransi (antara 2 minggu


hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRT bila EFV tidak dapat
Ko-Infeksi HIV

TDF + 3TC (FTC) + EFV

/Hepatitis B Kronik

atau NVP

aktif

digunakan
Pertimbangan

pemeriksaan

HBsAg terutama bila TDF


merupakan
pertama.

paduan

lini

Diperlukan

penggunaan 2 ARV yang


meiliki aktivitas anti HBV
Saat memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
Tergantung jumlah CD4 (bila fasilitas tersedia) dan stadium klinis infeksi HIV.
Agar lebih jelas dapat dketahui pada table dibawah ini :

Populasi
ODHA dewasa

Stadium Klinis
Jumlah sel CD4
Stadium klinis 1 >350 sel / mm3

Rekomendasi
Belum
mulai

atau 2

terapi,

< 350 sel / mm3

Monitor
27

gejala klinis dan


jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
Mulai terapi
Stadium kilinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi
dan 4
Pasien dengan Ko- Apapun

sel CD4
stadium Berapa jumlah sel Mulai terapi

infeksi TB
klinis
Pasien dengan ko- Apapun

CD4
stadium Berapapun jumlah Mulai terapi

infeksi

Hepatitis klinis

B kronis aktif
Ibu Hamil

sel CD4

Apaun

Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi

Klinis

sel CD4

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pegobatan profilaksis primer atau sekunder.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasil dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi
bacterial, parasite (Toxoplasma) danPneumocystis carinii pneumonia (sekarang
disebut P. Jiroveci, disingkat PCP). Pemberisn kotrimokdsdil untuk mencegah
(secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut
sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
PPK dianjurkan bagi :
ODHA yang bergejala (stadium klinis 2,3 atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan
kelainan kongenital, tetapi karena resiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil
dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atay gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2,3, atau 4), maka perempuan yang memerlukan korimoksasol dan
kemudian

hasil

harus

melanjutkan

profiklaksis

kotrimoksasol.

Takaran

28

kotrimoksazol diantara orang dewasa dan remaja HIV adalah satu tablet forte
atau dua tablet biasa sekali sehari; takaran total per hari adalah 960mg.
Ada pilihan lain untuk memberi satutablet biasa (480mg) dua kali sehari, karena
cara ini dapat membantu dalam menyiapkan orang untuk mulai regimen ARV da
kali sehari (2)

29

Pemberian kotrimoksasol sebagi profilaksis primer

Bila

Indikasi
Surat penghentian
tidak tersedia 2
tahun
setelah

Dosis

pemerksaan jumlah sel pengunaan


CD4, semua pasien kotrimoksasol
diberikan
setelah

jika

seperti demam, rash,


sindrom steven johson,

segera

tanda

dinyatakan

HIV positif
Bila
pemeriksaan
sel

tanda hipersensitivitas

mendapatkan ARV

kotrimoksasil

penekanan

sumsum tulang seperti

tersedia Bila sel CD4 naik


jumlah >200 sel/mm3 pada

CD4

Pemantauan
Efek samoing berupa

960 mg/ hari


dosis tungal

anemia,
trombositopeni,
lekopeni, pansitopeni

dan pemeriksaan dua kali

terjangkau

interval 6 bulan jika

kotrimosasil dberikan mendapatkan ARV


pada pasien
jumlah

dengan

CD4

<200

sel /mm3
Semua bayi lahir dari Dihentikan pada usia Trimetropim
ibu hamil HIV posotif 18 bulan

8-10

mg/kg

berusia minggu

BB

dosis

tunggal

30

Lampiran
ABC

abacavir

ARV

obat antiretroviral

ATV

atanzanavir

AZT

zixovudine

yang

sering

disingkat pula sebagai ZDV


BB

berat badan

CD4

Limfosit-T CD4+

CRO

cairan rehidrasi oraloralit

d4T

Stavudine

ddl

Didanosine

EFV

Efavirenz

ENF (T-20)

Enfuvirtide

Fasyankes

fasilitas Layanan Kesehatan

FDC

Fixed dode combination

ETC

Emitrictabine

HAART

Highly active antiretroviral


therapy

HLA

Human Leukocyte Antigen

IC

Infection Control

ICF

Intensive case finding


31

IDU

Injectingdrug

user

(Penguna NAPZA suntik)


IDV

Indivanir

IMS

Infeksi Menular (secara)


seksual

IPT

Isoniazid

preventive

treatment

LPV

Lopinavir

MTCT

Mother-to-child
transmission

(of

HIV);

penularan HIV dari ibu ke


anak

NAPZA

Narkotik,

alcohol,

psikotropik dan zat adiktif


lain
NFV

Nelfinavir

NNRTI

Non-nucleoside

reverse

transcriptase inhibitor
NsRTI

Nucleoside analogue reverse


transcriptase inhibitor

NtRI

Nucleoside analogue reverse


transcriptase inhibitor
32

NVP

Nevirapine

RTI

Reverse

Transcriptase

inhibitor
RTV-PI

Ritonavir boosted protease


inhibitor (PI yang diperkuat
dengan ritonavir)

SMX

Sulfametoksasol

SQV

Saquinavir

SSP

Sistem Saraf pusat

TB

Tuberkulosis

TB EP

Tuberkulosis ekstraparu

TDF

Tenovosir

disoproxil

fumarate
Terapi ARV

Antiretroviral Therapy yang


biasanya disingkat sebagai
ART

TLC

Total

lymphocyre

count

(jumlah limfosit total)


TMP

Trimoetroprim

ULN

Upper Limit Normal (Nilai


Normal tertinggi)

33

UNAIDS

Joint

United

Natoins

Programme on HIV / AIDS


VCT

Voluntary counseling and


testing (tes HIV secara
sukarela disertai dengan
konseling)

WHO

World Helath Organization

ZDV

Zidovudine (juga dkenal


sebagai AZT)

34

BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan satu kasus HIV-AIDS yang mengalami TBC.


HIV didianosis bedasarkan gejala dan tanda;
Didapatkan keluhan sariawan pada lidah dan mulut, yang telah
berlangsung 7 bulan disertai batuk berdahak putih kekuningan yang berlangsung
lebih dari 3 bulan, perut bagian atas terasa nyeri, nafsu makan yang menurun
karena sariawan pada lidah dan mulut, disertai penurunan berat badan.
TD:110/70,S:36/8C, N:82x/m,RR:18x/m. ditemukan rhonci pada seluruh lapang
paru dan wheezing yang minimal ada paru atas. Nyeri perut bagian tengah atas.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium DL,SE,LFT,RFT dan anti HIV. Hasil
pemeriksaan anti HIV +. Dilakukan foto thorax dan SPS, dengan hasil TB paru.
Dari pemeriksaan yang menyeluruh baik anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang dari pasien tersebut kami mendiagnosa pasien
tersebut menderita HIV-AIDS, anemia, gastritis, kandidiasis dan TB paru yang
merupakan infeksi oportunistik.
Pada pasien ini pengobatan ARV belum diberikan dikarenakan
menunggu pengobatan TB paru (secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8
minggu).
Kasus ini merupakan kasus yang komplikatif dan sulit untuk
membaik.Pasien tersebut meninggal dunia setelah dirawat selama 14 hari RSUD
dr.R Sosodoro Djatokoesomo Bojonegoro.

35

DATAR PUSTAKA
1. Aru W.sudoyo Dkk. Zubairi Djoeran, Samsuridjal Djasuzi.[2009].
HIV/AIDS di Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V.
Jakarta:Interna Publishing 438:2861-2870
2. Dr. Yanri W. Subroto , Phd, SpPD. Dkk [2011]. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Tata Laksana Klinis Infeksi Hiv Dan Terapi
Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta: kementrian kesehatan RI
3. Kurt. J. Iseelbeacher..(et al.) editor edisi bahasa inggris. Ahmad H.
Asadie ; editor edisi bahasa Indonesia. [19999]. Harrison Prinsip-Prinsip
Penyakit Dalam. Ed 13 jakarta: EGC. Volume 2 halaman 911-918
4. Logmore, murray.. (et al.) Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th Ed.
New York : Oxford University Press Inc. Page 408-415.
5. Sondang Padede. (2010) Aids dan pencegahan penularannya pada praktek
dokter gigi.
http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/1147/1/fkg-sondang2.pdf
(diakses tanggal 14 Maret 2015)
http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/16725/4/chapter%20II.pdf.
(Diakses tanggal 14 Maret 2015)
http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/31678/5/chapter%201.pdf
(Diakses tanggal 14 Maret 201)
6. Depkes RI- Pedoman Nasional Terapi Antiretoviral Edisi II-2007

36

Anda mungkin juga menyukai