Anda di halaman 1dari 47

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun Referat yang
berjudul Sindroma Nefrotik. Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun
penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar
dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A, dr.
Gebyar T.B, Sp.A, dr. Ramzy Syamlan, Sp.A, dr. Saraswati Dewi, Sp.A, dan dr. Lukman O, Sp.
A serta berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan penyususunan referat ini. Semoga
tugas ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Jember, 13 Maret 2015

Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7
kasus baru per 100.000 anak pertahun,dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per
tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (SLE), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai
asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi,
nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya peritonitis atau hipovolemia.
Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara. Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%,
glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM)
1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi
total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5
tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi.
penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan
untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu
pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu Sindrom nefrotik sensitif
steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). 6 | P a g e
1. DEFINISI

Sindrom nefrotik adalah suatu sndrom yang mengenai glomerulus yang ditandai oleh ciri-ciri
sebagai berikut:
- Edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
- Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik, dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2
lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg,
atau dipstik ≥ +2. Proteinuria pada sindrom nefrotik idiopatik kelainan minimal relatif selektif,
yang terbentuk terutama oleh albumin.
- Hipoalbuminemia, albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak
dengan gizi baik antara 3,6 – 4,4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru
akan terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2,5 – 3,0 g/dl, bahkan sering dijumpai
kadar albumin plasma dibawah kadar tersebut.
- Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolem, pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami
hiperkolesterolemia ( kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl).
- Lipiduria; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung lemak (“oval fat
bodies”), torak lemak.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yang berpendapat bahwa
proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta hipoalbuminemi sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.
2. EPIDEMIOLOGI

Secara keseluruhan prevalensi SN pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi
rata-rata secara kumulatif berkisar 16/100.000. sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari
sindrom nefrotik pada anak dan sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi
sindrom 7 | P a g e
nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di Indonesia sekitar 6 per 100.000 anak
dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1 dan 2/3 kasus terjadi pada
anak dibawah 5 tahun.
Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibandingkan pada dewasa, dan kebanyakan
sindrom nefrotik primer pada anak merupakan kelainan minimal. Prevalensi penyakit lesi
minimal berkurang secara proporsional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal
segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori sindrom nefrotik kedua tersering
pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proliferatif
glomerulonefritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada
anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1% dari sindrom nefrotik pada anak dan
adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.
3. ETIOLOGI

Sebab yang pasti belum diketahui dengan pasti, akhir-akhir ini dianggap sebagai satu penyakit
autoimun. Jadi, merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi
etiologinya menjadi:
a. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal, resisten terhadap semua
pengobatan, gejala adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus
telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupan.
b. Sindrom nefrotik sekunder

- Malaria kuartana atau parasit lain.

- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

- Glomerulonefriitis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.


8|Page
- Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun
otak, air raksa.

- Amilodisosis,penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementamik.

c. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya)

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan elektron membagi 4 golongan yaitu:
- Kalainan minimal (Minimal Change Disease/Nefrosis Lipoid)

- Nefropati membranosa (Glomerulonefritis membranosa)

- Glomerulosklerosis Segmental Fokal

- Glomerulonefritis Membranoproliferatif

4. PATOFISIOLOGI
9|Page
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap
sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat” untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama
atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar
glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albimin dan disebut
sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana
dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma
transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif.
Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk membedakan
jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe kelainan
glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat
molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat
perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. Proteoglikan sulfat
heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan
sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, 10 | P a g e
seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan
timbulnya albuminaria. Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat
pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang
penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu
protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung
asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid.
Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat
degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis
albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat
hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan
ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan
atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan
seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun apabila
dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool fraksional
yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal
dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut
yagn normal albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi
albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan
karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus 11 | P a g e
renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah
menurunnya α - 1 globulin, (normal atau rendah), dan α - 2-globulin, B globulin dna figrinogen
meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya α - 2 globulin disebabkan oleh retensi
selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal.
Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada
pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara konsentrasi albumin serum dan
kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan
hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul
hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti
ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan
lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein
densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun
rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang
menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di
hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui
jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis
albumin yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-
glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini
menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena
ofek 12 | P a g e
yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa mengubah
keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi
remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi
yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik
lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang
berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang
di tengah apbila dilihat dengan cahaya polarisal.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah dianggap jelas dan secara
fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak
memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini
(underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan
merembes keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus, albumin
keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma intravaskular.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruagn
intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran
menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium
dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar
tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma
13 | P a g e
dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak
cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat
keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini
retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume
plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang
tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia.
Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe
nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer denan kadar renin
plasma danaldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar
albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok
ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena
sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma
tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat
sesudah persediaan natrium habis. kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik
dengan LFG yang relatif lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama.
Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal. 14 | P a g e
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja kedua
proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama,
karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non osmotik untuk
keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium.
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya menderita
penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah normal atau
meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak
responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai
seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM. Namun
derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua
kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP)
dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. 15 | P a g e
5. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGIS

a. Minimal Change Disease (Nefrosis Lipoid)

Kiri: MCN(Minimal Change Disease); Kanan: GN membranosa


Gangguan yang relatif jinak ini merupakan penyebab paling sering sindrom nefrotik pada anak.
Penyakit ini ditandai dengan glomerulus yang pada pemeriksaan mikroskop cahaya tampak
normal, tetapi di bawah 16 | P a g e
mikroskop elektron memperlihatkan hilangnyatonjolan-tonjolan kaki sel epitel visera. Walaupun
dapat timbul pada semua usia, penyakit ini paling sering ditemukan pada usia 2 sampai 3 tahun.
Patogenesis proteinuria pada nefrosis lipid masih belum jelas benar. Bukti yang ada
mengisyaratkan bahwa minimal change disease terjadi akibat gangguan sel T. melalui
mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya dipahami, sel T mengeluarkan suatu sitokin atau
faktor yang menyebabkan lenyapnya tonjolan kaki sel epitel dan proteinuria. Paa tikus, terdapat
berbagai kemungkinan faktor yang berasal dari sel T yang menimbulkan penyakit serupa. Faktor
tersebut antara lain interleukin 8, faktor nekrosis tumor, dan faktor permeabilitas lain yang belum
diketahui. Namun, belum satupun yang belum dibuktikan aktif pada sebagian besar pasien
dengan minimal change disease. Temuan terakhir bahwa mutasi di gen nefrin menyebabkan
sindrom nefrotikkongenital ( tipe Finnish) dengan morfologi minimal change menyebabkan folus
teralih ke nefrin sebagai sasaran cedera pada nefrosis lipoid. Dipostulasikan defek primer pada
sel T menyebabkan sel menghasilkan suatu faktor yang mempengaruhi sintesis nefrin. Yang
menunjang pandangan ini adalah ditemukannya penurunan ekspresi dan kelainan distribusi
nefrin pada sekelompok kecil pasien dengan minimal change disease.
Morfologi Dengan mikroskop cahaya, glomerulus tampak hampir normal. Sel tubulus kontortus
proksimal sering dipenuhi lemak, tetapi hal ini disebabkan oleh reabsorbsi lipoprotein yang lolos
melalui glomerulus yang sakit oleh tubulus. Gambaran di tubulus kontortus proksimal ini
merupakan dasar penamaan lama untuk penyakit ini, nefrosis lipoid. Bahkan dengan mikroskop
elektron, dinding kapiler glomerulus tampak normal. Satu-satunya kelainan glomerulus yang
nyata adalah lenyapnya tonjolan kaki (foot processes) podosit yang uniform dan difus. Oleh
karena itu, sitoplasma podosit tampak melapisi aspek eksterna GBM, menyebabkan obliterasi
jaringan alur antara podosit dan GBM. Juga terdapat vakuolisasi sel epitel, pembentukan
mikrovilus, dan kadang-17 | P a g e
kadang pengelupasan fokal. Perubahan pada podosit bersifat reversibel setelah proteinuria.
b. Glomerulonefritis Membranosa (Nefropati Membranosa)

Penyakit yang progresif ini, tersering terjadi pada usia antara 30 dan 50 tahun, secara morfologis
ditandai dengan adanya endapan berisi imunoglobulin di subepitel sepanjang GBM. Pada awal
penyakit, glomerulus mungkin tampak normal dengan mikroskop cahaya, tetapi kasus yang
sudah terbentuk sempurna memperlihatkan penebalan difus dinding kapiler. GN membranosa
adalah suatu bentuk nefritis kompleks imun kronis. Meskipun kompleks (di dalam darah) yang
terbentuk dari antigen eksogen (mis.virus hepatitis B) atau endogen (DNA pada LES) dapat
menyebabkan MGN, tetapi kini diperkirakan sebagian besar vbentuk idiopatik dipicu oleh
antibodi yang bereaksi in situ dengan antigen glomerulus endogen atau antigen yang tersangkut
di glomerulus.
Lesi sangat mirip dengan lesi yang terjadi pada nefritis Heymann eksperimental yang dipicu oleh
antibodi terhadap kompleks antigenik megalin dan suatu antigen serupa juga terdapat pada
manusia. MGN idiopatik seperti nefritis Heymann dianggap sebagai suatu penyakit autoimun
yang berkaitan dengan gen kerentanan dan disebabkan oleh antibodi terhadap autoantigen ginjal.
Berkaitan dengan peran endapan imun, bagaimana dinding kapiler glomerulus menjadi bocor
karena neutrofil, monosit, atau trombosis tidak ditemukan, diisyaratkan adanya efek langsusng
dari C5b-C9, membrane attack complex komplemen, pada sel epitel glomerulus, memicunya
mengeluarkan protease dan oksidan yang dapat merusak dinding kapiler. Mediator sel epitel juga
tampaknya mengurangi sintesis dan distribusi nefrin. 18 | P a g e
c. Glomerulosklerosis Segmental Fokal

Glomerulosklerosis Segmental Fokal


Penyakit mula-mula hanya mengenai sebagian glomerulus (sehingga nama “fokal”)dan awalnya
hanya glomerulus jukstamedula. Seiring dengan perkembangan penyakit, akhirnya semua
tingkatan korteks terkena. Secara histologis, GSF ditandai dengan lesi yang terbentuk di sebagian
rumpun di dalam glomerulus dan tidak di glomerulus yang lain (sehingga timbul nama
“segmental”). Oleh karena itu, kelainan bersifat fokal dan segmental. Pada lesi tampak
peningkatan matriks mesangium, kolapsnya mempran basal, dan endapan masa hialin (hialinosis)
dan butir-butir lemak. Kedang-kadang glomerulus mengalami sklerosis total (sklerosis total). Di
glomerulus yang terkena, pemeriksaan mikroskop imunofluoresens memperlihatkan endapan
imunoglobulin, biasanya IgM, dan komplemen di bagian hialinosis. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron, sel epitel visera kehilanmgan tonjolan kaki, seperti pada nefrosis lipoid,
serta terelepasnya sel epitel (dengan derajat yang lebih parah) disertai penglupasan GBM di
bawahnya. Seiring dengan waktu, perkembangan penyakit menyebabkan sklerosis global
glomerulus-19 | P a g e
glomerulus disertai atrofi tubulus yang mencolok dan fibrosis interstisium. Gambaran tahap
lanjut ini sulit dibedakan dengan bentuk lain GN kronis yang akan dijelaskan kemudian.
d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif

Glomerulonefritis Membranoploriferatif
Dengan mikroskop cahaya Glomerulus besar memperlihatkan proliferasi sel mesangium serta
sebuka leukosit. Glomerulus tampak lobular. GBM menebal, dan dinding kapiler glomerulus
sering memperlihatkan gambaran kontur ganda atau “tram track”, terutama jelas pada
pewarnaan perak. Hal ini disebabkan oleh “pemisahan” GBM akibat adanya tonjolan sel
mesangium dan masuknya sel radang ke dalam gulungan kapiler perifer.
Manifestasi utama (pada 50% kasus) adalah sindrom nefrotik, walaupun MPGN juga dapat
berawal sebagai nefritis akut atau secara lebih perlahan, sebagai proteinuria. Prognosis MPGN
umumnya buruk. Pada satu penelitian, tidak satupun dari 60 pasien yang diikuti selama 1 sampai
20 tahun memperlihatkan remisi sempurna. 40 % berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir,
30% mengalami insufisiensi ginjal dengan derajat 20 | P a g e
yang bervariasi, dan 30 % sisanya mengalami sindrom nefrotik persisten tanpa gagal ginjal.
MPGN sering timbul dengan kaitannya penyakit lain seperti SLE, hepatitis B atau C, penyakit
hati kronis, dan infeksi bakteri kronis. Memang, banyak kasus yang disebut idiopatik
diperkirakan berkaitan dengan hepatitis C.
Meskipun banyak tumpang tindih, penyakit tipe 1 dan 2 memiliki mekanisme yang berbeda.
Sebagian besar kasus MPGN tipe 1 tampaknya disebabkan oleh kompleks imun dalam darah,
serupa dengan serum sickness kronis, tetapi antigen pemicunya tidak diketahui. MPGN tipe 1
juga ditemukan berkaitan dengan antigenemia hepatitis B dan C, SLE, infeksi pirau
atruoventrikel. Serum pasien dengan MPGN tipe 2 mengandung suatu faktor yang disebut
Factor nefritic C3 (C3NeF), yang dapat mengaktifkan jalur komplemen alternatif. Faktor ini
adalah suatu imunoglobulin yang bereaksi dengan C3 konvertase jalur komplemen alternatif dan
berfungsi menstabilkannya, sehingga jalur ini menjadi aktif yang menyebabkan pengeluaran
berbagai fragmen komplemen aktif-biologis. Oleh karena itu. C3NeF adalah suatu autoantibodi
yang menyebabkan MPGN. Hipokomplementemia yang lebih mencolok pada tipe 2 sebagian
disebabkan oleh konsumsi c# berlebihan dan sebagian oleh penurunan sintesis c3 di hati. Masih
belum jelas bagaimana kelainan komplemen menyebabkan perubahan glomerulus.
6. MANIFESTASI KLINIS

Edema
Di masa lalu orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan yang kurang.
Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan
keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala
ini sebagai akibat edema.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat dicegah pada
umumnya dengan pengobatan segera. Namun 21 | P a g e
edema persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi
mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi.
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau
anak yang besar sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan
ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan
timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau
alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah
sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema berpindah dengan perubahan
posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi
robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah
mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan
efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan
jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami pasien
dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun
diduga penyebabnya adalah edema submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan
pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau
keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada,
kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding
perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran 22 | P a g e
atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang
diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten.
Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka pernapasan sering
terganggu, bahkan kadang-kadang menjadigawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat umumnya
yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan dan
kepastian untuk mengatasinya.
7. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksaan


laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis. Anak
dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita penyakit lesi minimal
yang responsif terhadap kortikosteroid. Penyakit lesi minimal tetap lazim pada anak usia 8 tahun,
tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoproliferatif frekuensinya menjadi sering.
Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan untuk menegakkan diagnostik sebelum pertimbangan
terapi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada gejala-gjala yang mengarah ke sindrom
nefrotik adalah:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
23 | P a g e
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari

3. Pemeriksaan darah: dl (hb, leukosit, hirung jenis, trombosit, hct, led), albumin dan kolesterol
plasma, kadar ureum-kreatinin-klirens kreatinin dengan cara klasik atau rumus schwartz, kadar
komplemen c3 bila curiga sle ditambah pemeriksaan komplemen c4, ana (anti nuclear antibody)
dan anti ds-dna

4. Biopsi ginjal, indikasi:

- Pada presentasi awal

a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3 serum
yang rendah
c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
- Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4, mungkin ada hematuria mikroskopis, tetapi
jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens protein
melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan TG serum naik, kadar albumin serum biasanya
kurang dari 2 gr/24 jam. Kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat
albumin. Kada C3 biasanya normal.
8. DIAGNOSIS BANDING

- Glomerulonefritis akut
- Non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi (malnutrisi), edema hepatal (gagal
hepar), edema Quincke.
- Lupus sistemik eritematosus. 24 | P a g e
9. PENATALAKSANAAN

Batasan
- Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
- Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu.
- Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang
dari 4 x per tahun pengamatan.
- Relaps sering(frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥
4 x dalam periode 1 tahun.
- Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
- Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
- Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.

TATA LAKSANA UMUM


Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
- Pengukuran berat badan dan tinggi badan

- Pengukuran tekanan darah

- Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

- Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
25 | P a g e
- Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang
berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat, anak boleh sekolah.
Diitetik
Diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti
furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan 26 | P
age
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20
mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11 Pasien SN dalam
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela. 27 | P a g e
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi.
Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. TERAPI INSIAL

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai
dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari
(maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
B. PENGOBATAN SN RELAPS
Prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating
selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa
edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 28 | P a g e
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan,
dan prednison mulai diberikan.
Keterangan: Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD)
40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
a. Pemberian steroid jangka panjang
b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan dengan sitostatik
d. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah,
atau kecacingan.
a. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan
prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan 29 | P a g e
dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 –
0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating, maka relaps
tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai
terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb)
di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb
alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol
selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis.
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 12 minggu.
b. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan dengan dosis 2,5
mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel. 30 | P a g e
c. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid
(CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 –
750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,
sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh
karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu.
Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL,
trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 31 | P a g e
Keterangan:
Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8 minggu.
Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau alternating (AD) 40
mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan
prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison 32 | P a
ge
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan
untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN
relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya
akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan
MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan
dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia. 33 | P a g e
Bagan Pengobatan Relaps Sering dan Dependen
Keterangan:
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah
tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA
oral maupun 34 | P a g e
CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal,
maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS
sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi
anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN
resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba
pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali.
Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
b. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada
60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala 35 | P a g e
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena
harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan

• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.


Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan
selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan).
Kemudian prednison ditapering-off 36 | P a g e
dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82
minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam.
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison oral 60 mg.
Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama 8-12
minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian
metilprednisolon selama 10 minggu.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,20
takrolimus,21 dan mikofenolat mofetil.22 Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik
dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. 37 |
Page
RANGKUMAN TATALAKSANA SINDROM NEFROTIK 38 | P a g e
PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI
PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah
banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan
ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas
glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming
growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan
sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar
TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering
maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan
SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB
memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan
ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan
lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2
dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal

2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

10. KOMPLIKASI DAN TATALAKSANA

1. INFEKSI
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhaddap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan kerentanan
infeksi disebabkan oleh:
- Penurunan kadar imunoglobulin, kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat
menurun, dimana pada suatu penelitian didapatkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar
IgM
39 | P a g e
meningkat. Hal ini menunjukkan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang diperantarai sel
T pada sintesis IgG dan IgM.

- Cairan edema yang berperan sebagai media biakan.

- Defisiensi protein

- Penurunan aktivitas bakterisid leukosit.

- Imunosupresif karena pengobatan

- Penurunan perfusi limpa karena hipovolemia

- Kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B dalam urin yang mengoponisasi bakteri
tertentu.

Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteri tertentu seperti:
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan bakteri gram negatif
lain. Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya. Jenis
infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain sepsis, pneumonia, selulitis dan ISK. Terapi
profilaksis mencakup gram positif dan negatif dianggap penting untuk mencegah terjadinya
peritonitis.
Bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson
selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia
dan infeksi salurannapas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak
diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam.
Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena
(400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari
dibagi 3 dosis) atau 40 | P a g e
asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari,9 dan pengobatan
steroid sebaiknya dihentikan sementara.
2. KELAINAN KOAGULASI DAN TROMBOSIS
Kelainan hemostatik ini bergantung dari etiologi sindrom nefrotik, pada kelainan glomerulopati
membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal jarang menimbulkan
komplikasi tromboemboli. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII,
dan X yang disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan diikuti dengan peningkatan
sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunnya kadar
plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dalam plasma. Secara ringkas kelainan hemostatik
pada sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda.
- Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti trombin III,
protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.

b. Hipoalbuminemia mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatkan


sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan fibrinolisis.

- Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh
paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan
pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-
perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru
yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau
lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan. 41 | P a g e
3. HIPERLIPIDEMIA
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular
dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat
tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat
badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
4. HIPOKALSEMIA, PERUBAHAN HORMON DAN MINERAL
Pada pasien sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon
hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia.
Hipokalsemi pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum rendah dan
berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.
Penyebab lain hipokalsemia karena:
a. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia

b. Kebocoran metabolit vitamin D


Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).32
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.
42 | P a g e
5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia
dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas ingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien
harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes
per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena
6. HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat
toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil
7. PERTUMBUHAN ABNORMAL
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal
ini dapat disebabkan anoreksia hipoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat
komplikasi penyakit infeksi, malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal.
Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama dapat
menghambat meturasi tulang dan terhentinyapertumbuhan linier, terutama apabila dosis
melampaui 5 mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan
produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid
mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer,
melalui efeknya terhadap somatomedin. 43 | P a g e
8. EFEK SAMPING STEROID
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal
tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi
peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko
infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus
dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran
berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun
sekali.
9. ANEMIA

Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemanya
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi.
Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemianya terjadi karena pengenceran.
Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karen hilangnya protein ini
dalam urin dalam jumlah besar.
INDIKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI ANAK
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli nefrologi anak:
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di
dalam keluarga
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau
disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik steroid
4. Sindrom nefrotik resisten steroid
5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid 44 | P a g e
11. PROGNOSIS

Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur, jenis kelamin,
penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda
lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat
penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap
kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada
glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal
ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia). 45 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Cotran. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Vol 2. Jakarta: EGC
Nelson, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 3. Jakarta : EGC
Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Soraya, dkk. 2010. Berat Lahir, Usia Awitan, dan Jenis Kelamin sebagai Faktor Risiko Sindrom
Nefrotik Resisten Steroid. Jurnal Kedokteran Vol. 10 No.11. Bandung
Trihono, dkk. 2012. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi Kedua
Cetakan Kedua 2012. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Umboh, A, dkk. 2011. Kopendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai