Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

SINDROMA NEFROTIK

Oleh :
Annisa Kartika Edwar (2140312115)

Preseptor :
dr. Marhamah, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATANA ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR. ADNAAN WD PAYAKUMBUH
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang

paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika

Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan

prevalensi berkisar 12–16 kasus per 100.000 anak.2 Sedangkan di negara

berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per

tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun mengalami SN.12 Berdasarkan hasil

penelitian retrospektif di bagian IKA Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M.

Djamil periode 1997-2000, mendapatkan bahwa perbandingan kejadian sindrom

nefrotik antara anak laki-laki dan perempuan 1,7:1.3

Etiologi SN dibagi menjadi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan

sekunder. Adapun klasifikasi pada sindrom nefrotik berdasarkan respon terhadap

pengobatan steroid terdiri, yaitu: Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS). Pasien SN biasanya datang dengan

keluhan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi

pleura, dan edema genitalia. 12

Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang

menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerulus akan berakibat pada

hilangnya protein plasma dan menyebabkan proteinuria. Diagnosis SN dapat

dilihat dengan adanya proteinuria massif, hipoalbuminemia, edema, dan

hiperkolesterolemia. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

2
mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain: urinalisis, protein urin

kuantitatif,dan pemeriksaan darah. Tata laksana yang dapat dilakukan ada pasien

SN adalah tatalaksana umum dan khusus 12

1.2 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam kasus ini adalah membahas mengenai sindrom

nefrotik.

1.1 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini ialah menambah pengetahuan mengenai sindrom

nefrotik.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan dari presentasi kasus ini adalah dengan menggunakan

tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala yang terdiri dari

proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu > 2 atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, serta

dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1,2

Penyakit ini disebabkan oleh defek structural dan fungsional pada barier

filtrasi glomerulus, sehingga terjadi kebocoran protein pada urin. Secara fisiologis

hepar mencoba mengopensasi dengan meningkatkan sintesis protein dan

lipoprotein. Sindrom nefrotik ini berkembang ketika kebocoran protein melalui

urin melebihi sintesis hepar sehingga menghasilkan hipoalbuminemia dan edem.23

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris

adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12–

16 kasus per 100.000 anak.2 Sedangkan di negara berkembang insidensnya lebih

tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang

dari 14 tahun mengalami SN.12 Untuk insiden SN primer adalah 2 kasus per tahun

tiap 100.000 anak yang berumur kurang dari 16 tahun. Perbandingan SN terhadap

anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.12 Sedangkan berdasarkan hasil

penelitian retrospektif di bagian IKA Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M.

Djamil periode 1997-2000, mendapatkan bahwa perbandingan kejadian sindrom

nefrotik antara anak laki-laki dan perempuan 1,7 : 1. 3

4
2.3 ETIOLOGI

Sekitar 90% pasien anak dengan SN merupakan bentuk SN idiopatik.

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,

primer atau idiopatik, dan sekunder.5

1. Kongenital

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah11 :

 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)

 Denys-Drash syndrome (WT1)

 Frasier syndrome (WT1)

 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)

 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)

 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;

TRPC6)

 Nail-patella syndrome (LMX1B)

 Pierson syndrome (LAMB2)

 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

 Galloway-Mowat syndrome

2. Primer/idiopatik

Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau

idiopatik adalah sebagai berikut :

 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)

 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)

5
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)

 Nefropati Membranosa (GNM)

3. Sekunder

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain

sebagai berikut :

 Lupus erimatosus sistemik (LES)

 Keganasan, seperti limfoma dan leukemia

 Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis

dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis

eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis

mikroskopik, purpura Henoch Schonlein

 Immune complex mediated (seperti post streptococcal)

2.4 BATASAN

Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik 12:

 Remisi

Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3

hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.

 Relaps

Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut

dalam satu minggu, maka disebut relaps.

 Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis

6
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.

 Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis

penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.

 Sindrom nefrotik relaps jarang

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak

respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.

 Sindrom nefrotik relaps sering

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak

respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.

 Sindrom nefrotik dependen steroid

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis

prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan

terjadi 2 kali berturut-turut.

2.5 KLASIFIKASI5

Ada beberapa klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai

penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk

menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal

tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :

1. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)

2. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)

2.6 MANIFESTASI KLINIS DAN PATOFISIOLOGI 4,21,22

7
Pasien SN biasanya datang dengan keluhan edema palpebra atau pretibia.

Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia.

Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang

menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerulus akan berakibat pada

hilangnya protein plasma dan menyebabkan proteinuria. Selanjutnya proteinuria

akan menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunya albumin, tekanan

osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke dalam

intersisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume intravaskular

berkurang sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemi.

Karena terjadi penurunan aliran darah ke renal maka ginjal melakukan

kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan peningktan

sekresi Anti Diuretic Hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemdian

terjadi retensi kalium dan air. Dengan adanya retensi natrium dan air tersebut akan

menyebabkan terjadinya edema.

Pada SN terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari

peningkatan stimulasi produksi liporotein karena penurunan plasma albumin dan

penurunan onkotik plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya

produksi liporotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya

protein dan lemak yang banyak dalam urin (lipiduria). Adapun SN juga dapat

disertai dengan gejala menurunnya reson imun karena sel imun tertekan, yang

kemungkinan disebabkan oleh hipoalumin. Hipoalumin disebabkan oleh

hilangnua albumin memlalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal.

8
Sintesis protein biasanya meningkat namun tidak memadai untuk menggantikan

kehilangan albumin dalam urin. Tetai mungkin normal atau menurun.

9
 Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia merupakan gejala yang penting dalam

menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.

Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari

(130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang

dikatabolisme.

Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting

pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan

merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju

sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu

dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya

albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai

kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya

mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus

ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan

peningkatan katabolisme albumin.

Tekanan onkotik plasma merupakan regulator mayor sintesis protein.

Penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis

albumin di hati.

Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis

mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika

diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang

diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin serum tidak

mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan

konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria.

10
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari

perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi

dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme

albumin tubulus ginjal.

 Edema

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema

pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang

pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh

menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan

merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler

glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan

hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari

albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi

hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma

intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding

kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan

air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme

intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi

volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang

interstisial menyebabkan terbentuknya edema.

 Hiperkolesterolemia

Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein

serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan

penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang

11
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.

Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar

lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari

plasma.

2.7 DIAGNOSIS12

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,

perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang disertai dengan penurunan jumlah urin.

Keluhanlain yang juga dapat ditemukan adalah hematuri.24

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,

tungkai, asites, atau edema skrotum/labia, dan terkadang ditemukan hipertensi

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis

sindrom nefrotik, antara lain :

 Urinalisis dan bila perlu biakan urin

Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah

pada infeksi saluran kemih (ISK).

 Protein urin kuantitatif

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.

 Pemeriksaan darah

 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,

trombosit, hematokrit, LED)

12
 Albumin dan kolesterol serum

 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

 Kadar komplemen C3

Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,

pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear

antibody), dan anti ds-DNA.

Edema merupakan manifestasi yang terjadi pada sekitar 95% anak dengan

SN. Pada mulanya, edema bersifat intermiten dan tiba-tiba. Edem biasanya

muncul di tempat dengan resistensi jaringan yang rendah sepert periorbital,

skrotum, dan labia. Keluhan utama anak datang biasanya dengan edema

periorbital. Selama masa ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca

dingin dan alergi. Kemudian akan berlanjut secara cepat ataupun lambat atau

dapat menghilang dan timbul kembali kemudian dapat menjadi generalisata dan

dapat massif (anasarka). Sebelum mencapai keadaan ini, orang tua pasien sering

mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun iba-iba naik tanpa diikuti

dengan peningkatan nafsu makan.25,26

2.8 DIAGNOSIS BANDING

 Acute kideny injury

 Acute post streptococcal glomeruloephritis

 Angioedema

 Childhood polyarteritis nodosa

 Eosinophilic granulomatosis dengan polyangitis (churg-strauss

syndrome)

13
2.9 TATALAKSANA

2.9.1 Tata Laksana Umum

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di

rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi

pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi

orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan berikut:

 Pengukuran berat badan dan tinggi badan.

 Pengukuran tekanan darah.

 Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,

seperti lupus eritematosus sistemik

 Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap

infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

 Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis 5. INH

selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis

diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema

anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,

atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan

dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

2.9.2 Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena

akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein

(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah

14
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan

pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA

(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2

g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

2.9.3 Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan

loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan

dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4

mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan

hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan

pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi

karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus

albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari

jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2

mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20

ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya

komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat

diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-

gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu

pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang

15
Gambar 2.1 Algoritma Pemberian Diuretik

2.9.4 Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/

hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien

imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah

obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated

polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan

vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak

dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela.12

Pengobatan Dengan Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali

bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau

prednisolon.

 Terapi Insial

16
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan

prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)

dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung

sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).

Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila

terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu

kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5

mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi

remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 2.2 Pengobatan Inisial Kortikosteroid

 Pengobatan SN Relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan

prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan

dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang

mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum

pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi

saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan

17
bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan

relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka

diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

2.9.6 Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

 Pemberian steroid jangka panjang

 Pemberian levamisol

 Pengobatan dengan sitostatik.

 Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi 4.

terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,

radang telinga tengah, atau kecacingan.

a. Steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,

setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid

dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut

dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu

18
antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan

dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5

mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara

alternating.

b. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol

diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama

4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik,

vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

c. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN

anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari

dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls

diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250

ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan

sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA

puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi

sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka

panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan

pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap

1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL,

hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan

19
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit

>100.000/uL.

20
d. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid

atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5

mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat

mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.

Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan

mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau

dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali

(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA

dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau

sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200

mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis

steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri

abdomen, diare, leukopenia.

21
Gambar 2.6 Diagram Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

2.9.7 Pengobatan SN Dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,

seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,

maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat

diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara

intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan

dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL

0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan

interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

2.9.8 Pengobatan SN Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

22
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan

biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi

anatomi mempengaruhi prognosis.

 Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat

menimbulkan remisi.13 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi

dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian

prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif

kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi

remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,

dapat diberikan siklosporin.

 Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. 18 Efek

samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi

gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi

tubulointerstisial.

 Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil

prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid

atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb

(maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan

dalam 2-4 jam.14

23
2.9.9 Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS

adalah vinkristin,20 takrolimus,21 dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam


12

literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat

ini belum direkomendasi di Indonesia.

2.9.10 Pemberian Obat Non-Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor

blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja

kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga

mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth

factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya

merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.

Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,

berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai

risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam

kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan

hasil penurunan proteinuria lebih banyak.15,16

Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan

untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan

steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:

 Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril

0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

 Go2. longan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

24
2.10 PROGNOSIS

Penentu prognosis dilakukan dengan penilaian respon terhadap steroid, 60-

80% dari SN sensitif steroid akan mengalami relaps dan 60% dari itu akan

mengalami 5 kali atau lebih relaps. Usia onset lebih dari 4 tahun dan remisi 7-9

hari pada saat terapi steroid dan tidak adnya mikrohematuri diperkirakan akan

mengalami relaps yang leih sedikit.21,22

25
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Akhtar Daniyal Zikri
MR : 15.45.64
Jenis Kelamin: Laki-laki
Umur : 3 tahun 8 bulan
Pekerjaan :-
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Toboh Nagari, Malalak Timur, Agam.

Alloanamnesis
Diberikan oleh: Ayah Kandung
Keluhan Utama
Sembab pada tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Demam 3 hari yang lalu, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak, pada
saat diukur suhu pasien mencapai 38,4°C, demam turun setelah pasien
berobat, demam turun setelah minum obat.
 Batuk sejak 3 hari yang lalu dengan frekwesi 10x/hari. Batuk tidak
berdahak dan berkurang setelah dibawa berobat dan mendapatkan obat
 Sembab sejak 7 hari yang lalu, awalnya sembab dirasakan pada mata, pipi.
Sembab pada mata dan pipi semakin terlihat jelas sejak 3 hari yang lalu.
Sembab menjalar ke tangan dan tungkai hingga ke buah zakar pasien
 BAK ada dengan frekwensi 2x/hari sejak …., warna Kuning pekat, jernih,
nyeri saat buang air kecil tidak ada, biasanya 6x hari,
 Sesak napas tidak ada
 Mual dan muntah tidak ada
 BAB ada, lunak konsistensi lunak, warna kuning, lendir dan darah tidak
ada.

26
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pesien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

Riwayat Persalinan
Lama hamil : 41 minggu
Cara lahir : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Indikasi :-
Berat lahir : 3900 gram
Panjang lahir : 48cm
Kesan : Riwayat kelahiran normal

Riwayat Makan dan Minuman


 Bayi
ASI : 0-20 bulan
Bubur Susu : 8 bulan
Nasi Tim : 8 bulan
Buah, biskuit : 8 bulan
Susu Formula : >20 bulan
 Anak
Makanan utama : 3x/hari menghabiskan 1/2 porsi
Daging : 2x/ minggu
Ikan : 2x/minggu
Telur : 5x/minggu
Sayur : 0x/minggu ( berhenti/ tidak suka makan sayur sejak 21/2
tahun
Buah : 7x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas cukup

27
Riwayat Imunisasi
- BCG : tidak ada
- DPT
o DPT 1 : tidak ada
o DPT 2 : tidak ada
o DPT 3 : tidak ada
- Hepatitis B
o Hepatitis B0 : ada
o Hepatitis B1 : tidak ada
o Hepatitis B 2 : tidam ada
o Hepatitis B 3 : tidak ada
- Polio
o Polio 0 : ada
o Polio 1 : tidak ada
o Polio 2 : tidak ada
o Polio 3 : tidak ada
- Campak : tidak ada
Kesan : Imunisasi dasar dan booster tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Umur Riwayat Gangguan Umur
Pertumbuhan dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Ketawa 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 5 bulan Sering mimpi -
Duduk 8 bulan Mengompol -
Merangkak 9 bulan Aktif sekali -
Berdiri 10 bulan Apatik -
Lari 1,5 tahun Membangkang -
Gigi pertama 2 bulan Ketakutan -

28
Bicara 2 tahun Pergaulan jelek -
Membaca 6 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di sekolah Sedang

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkambangan normal

29
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Zikri Friska
Umur 38 tahun 32 tahun
Pendidikan D3 S1
Pekerjaan Pelaut IRT
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita

Saudara kandung
1. -

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : Air kemasan
Buang air besar : Jamban didalam rumah
Pekarangan : Luas
Sampah : Dibakar
Kesan : Higienitas dan sanitasi baik

PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Composmentis Kooperatif
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit
Frekuensi nafas : 25 x / menit
Suhu : 36,0 °C
Edema : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Kulit : Teraba hangat, turgor baik

30
BB : 16.8 kg
TB : 98 cm
BB/U : 0 s/d +2 ( BB cukup)
TB/U : -2 s/d 0 ( normal)
BB/TB : 1 s/d 2 ( gizi buruk)
Status gizi : baik
Anemia : tidak anemis
Sianosis : tidak sianosis

Status Internus
 KGB : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
submandibula, colli, axial, inguinal dextra dan sinistra.
 Kepala : Bulat, simetris, tidak ada deformitas, rambut hitam tidak
mudah rontok, distribusi rambut merata
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, diameter 2mm/ 2 mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea+/+, edema
palpebra (-), eksoptalmus (-)
 Telinga : Nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri ketok
mastoideus (-), liang telinga lapang, serumen (-)
 Hidung : Deviasi septum (-), secret (-), napas cuping hidung (-)
 Gigi dan mulut : Tidak ada gigi berlubang, mukosa mulut dan bibir basah
 Tenggorok : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
 Leher : JVP 5-2 cmH2O
 Torak
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan (statis dan dinamis),
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara napas vesikular, ronkhi -/-, wheezing -/-

31
Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas; RIC 2, kanan; LSD, kiri; 1 jari medial LMCS
RIC 5
Auskultasi : Irama teratur, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, lingkar perut 66 cm.
Perkusi : shiftingdullnesd (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Punggung : Tidak ada kelainan
 Genitalia : edema skrotum (+)
 Anggota gerak: Udema pretibia (+), akral hangat, CRT < 2 detik

Tanda rangsangan meningeal :


Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-)
Laseque : (-) Brudzunski I : (-)
Brudinski II : (-)

32
FISIOLOGIS Kanan Kiri
Biseps + +
Triseps + +
KPR + +
APR + +
PATOLOGIS
Lengan
Hoffman-Tromner - -
Tungkai
Babinski - -
Chaddoks - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 Darah (16 Desember 2017)
- Hb : 15,5 gr/dl
- Leukosit : 7.130/mm3
- Trombosit : 348.000/mm3
- Hematokrit : 46,8%
Kesan : Leukositosis
 Urine (16 Desember 2017)
- Makroskopis :
Fisik : warna kuning, kekeruhan (+)
- Sedimen: eritrosit (-), leukosit 3/ul, silinder {hialin (+), granular (+),
eri/leuko (-)}, epitel (+), kristal (-), bakteri (-), jamur (-)
- Kimia urine : protein (++++/positif 4), pH urin 6, BJ 1.020
- Darah samar : +2
Kesan : proteinuria

33
 Kimia klinik (18 Desember 2017)
- Albumin : 1,5 g/dl
- Kolesterol total : 678 mg/dl
- Total protein : 3,7 g/dl
Kesan : hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, total protein menurun.
 Urine (18 Desember 2017)
- Makroskopis :
Fisik : warna kuning, kekeruhan tidak ada
- Sedimen: eritrosit (-), leukosit 5/ul, silinder {hialin (-), granular (+),
eri/leuko (-)}, epitel (+), kristal (-), bakteri (-), jamur (-)
- Kimia urine : protein (+++/positif 3), pH urin 6.5, BJ 1.015
Kesan : proteinuria
 Urine (21 Desember 2017)
- Makroskopis :
Fisik : warna kuning, kekeruhan tidak ada
- Sedimen: eritrosit (-), leukosit 3/ul, silinder {hialin (-), granular (+),
eri/leuko (-)}, epitel (+), kristal (-), bakteri (-), jamur (-)
- Kimia urine : protein (+++/positif 3), pH urin 6.5, BJ 1.015
Kesan : proteinuria
 Urine (25 Desember 2017)
- Makroskopis :
Fisik : warna kuning muda, kekeruhan tidak ada
- Sedimen: eritrosit (-), leukosit (-), silinder {hialin (-), granular (-),
eri/leuko (-)}, epitel (+), kristal (-), bakteri (-), jamur (-)
- Kimia urine : protein (+/positif 1), pH urin 7.5, BJ 1.015
Kesan : proteinuria
 Urine (28 Desember 2017)
- Makroskopis :
Fisik : warna kuning muda, kekeruhan tidak ada
- Sedimen: eritrosit (-), leukosit (-), silinder {hialin (-), granular (-),
eri/leuko (-)}, epitel (+), kristal (-), bakteri (-), jamur (-)
- Kimia urine : protein (-), pH urin 7.0, BJ 1.020

34
Kesan : hasil dalam batas normal

Diagnosa Kerja : Sindroma nefrotik

Diagnosis Banding : Acute Kidney Injury, Acute Post Streptococcal


Glomerulonefritis

Pemeriksaan anjuran : Ureum – Kreatinin – Kreatinin Clearance,

Penatalaksanaan
1. Tatalaksana kegawatdaruratan

2. Nutrisi dan Medikamentosa


 Prednison tab
 Lasix 1 x 40 mg
 Kcl 3 x 500 mg
 Kalsium tab 3 x 1
 Captopril 3 x 12,5 mg

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

Catatan Perkembangan Pasien:

Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi


15 S/ - Ambil darah
februari - sembab seluruh tubuh (+) ( puasa 12 jam)
2022 - demam (-) - Edukadi diet
( 07.00) - nyeri perut (-) rendah garam
- BAK lancar, warna kekuningan, jernih, nyeri

35
saat BAK (-) - Pantau balance
O/ cairan/ hari, TD/

KU KES TD Nadi RR T hari

Sakit CMC 165/11 90x/i 25x/i 36,2


sedang 0
mmHg

Kulit : teraba hangat, turgor kembali cepat


Mata : konjungtiva tidak anesmis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra ada
Paru : suara napas vesikular, rhonki dan weezing tidak
ada
Jantung : irama jantung teratur, murmur (-), galop (-)
Abdomen : shifting dullness (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema pretibia (+), CRT< 2
detik

36
16 /2/22 S/ P/
- sembab pada tungkai (+) - IVFD KaEN IB
- demam (-) 15 tpm
- nyeri perut (-) - Prednisone tab
- BAK lancar, warna kekuningan, jernih, nyeri - Lasix 2 x 40 mg
saat BAK (-) - KCl 2 x 500 mg
O/ - Kalsium tablet 3 x

KU KES TD Nadi RR T 1
- Captopril 3 x 12,5
Sakit CMC 110/70 85x/i 20x/i 36,7
mg
sedang mmHg

Kulit : teraba hangat, turgor kembali cepat


Mata : konjungtiva tidak anesmis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra tidak ada
Paru : suara napas vesikular, rhonki dan weezing tidak
ada
Jantung : irama jantung teratur, murmur (-), galop (-)
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, udem pretibia (-), CRT< 2
detik

37
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki, berusia 15 tahun 2 bulan dirawat di bangsal anak

RS Ahmad Mochtar sejak tanggal 16 Desember 2017 dengan keluhan utama

sembab pada tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sembab dirasakan

pertama kali pada paha, lalu 1 hari kemudian sembab juga dirasakan pada tungkai

bawah. Sembab juga dirasakan pada daerah genital.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya sembab/edema

pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang

pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh

menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke

ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus

menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai

penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan

onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat

melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian

timbul edema.

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak

bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal

primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan

cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan

terbentuknya edema.

38
Dua minggu sebelum muncul sembab pada tungkai pasien mengeluhkan

demam selama 2 hari, tidak tinggi,tidak menggigil, dan tidak disertai keringat

banyak. Demam turun setelah pemberian obat penurun panas. Demam pada ksusu

ini dapat disebabkan karena menurunnya respon imun. Pada sindroma nefrotik

dapat disertai dengan gejala menurunnya reson imun karena sel imun tertekan,

yang kemungkinan disebabkan oleh hipoalbumin. Hipoalbumin disebabkan oleh

hilangnua albumin memlalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal.

Sintesis protein biasanya meningkat namun tidak memadai untuk menggantikan

kehilangan albumin dalam urin.

Pasien tidak mengeluhkan batuk, sesak napas, mual dan muntah, tidak

memiliki riwayat keluar cairan dari telinga, menyingkirkan kemungkinan adanya

fokus infeksi lain yang menyebabkan demam. BAB pasien lancar, warna kuning,

konsistensi lunak, tidak terdapat lendir dan darah menyingkirkan infeksi

mikroorganisme sebagai penyebab demam. BAK pasien lancar, warna

kekuningan, jernih, dan tidak ada nyeri saat berkemih menyingkirkan adanya

infeksi saluran kemih yang menyebebkan demam. Penyebab infeksi pada pasien

perlu diketahui agar dapat diberikan tatalaksana sindroma nefrotik yaitu dengan

pemberian steroid. Setiap infeksi harus dieradikasi terlebih dahulu sebelum

pemberian kortikosteroid.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema pretibia, edema palpebra,

asites, dan edema skrotum yang disebabkan oleh hipoalbuminemia. Pada kasus ini

kadar albumin pasien adalah 1,5 g/dl. Pada sindroma nefrotik keadaan

hipoalbuminemia disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas glomerulus.

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerulus akan berakibat pada

39
hilangnya protein plasma dan menyebabkan proteinuria. Dengan menurunya

albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular

berpindah ke dalam intersisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume

intravaskular berkurang sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena

hipovolemi. Karena terjadi penurunan aliran darah ke renal maka ginjal

melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan

peningktan sekresi Anti Diuretic Hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang

kemdian terjadi retensi kalium dan air. Dengan adanya retensi natrium dan air

tersebut akan menyebabkan terjadinya edema.

Pada pasien ini terjadi peningkatan kadar kolesterol total 678 mg/dl.

Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum

meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan

antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis

protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme

lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem

enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien didiagnosis dengan sindroma nefrotik. Pengobatan yang diberikan pada

pasien ini adalah prednisone, lasix 2 x 40 mg, KCl 3 x 500 mg, Kalsium 3 x 1.

Prognosis secara keseluruhan pada pasien ini adalah dubia ad bonam.

Penentun prognosis dilakukan dengan penilaian respon terhadap steroid. Usia

onset lebih dari 4 tahun dan remisi 7-9 hari pada saat terapi steroid dan tidak

adnya mikrohematuri diperkirakan akan mengalami relaps yang leih sedikit.21,22

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Wirya WIGN. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,


(penyunting). Buku ajar nefrologi anak jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. hlm. 382-419.

2. Davis ID, Avner ED. Nephrotic syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics (17th ed). India:
Saunders Elsevier, 2006; p.1753-7.

3. Pratiwi, D,. Mayetti, Husnil K,. 2013. Hubungan Antara Proteinuria Dan
Hipoalbuminemia Pada Anak dengan Sindrom Nefrotik yang Dirawat
di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 2009-2012. Jurnal Kesehatan
Andalas. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

4. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res


2005;122:13-28.

5. Davin JC, Rutjes NW. Nephrotic syndrome in children: from bench to


treatment. Int J Nephrol 2011;2011:1-6.

6. Haycock G. The child with idiopathic nephritic syndrome. Dalam: Webb N,


Postlethwait R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke- 3.
New York: Oxford;2003.h.340-66.

7. Pais P, Avner ED. Fixed proteinuria. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. h.897-8.

8. Pais P, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. h.898-900.

9. Lowenberg EKM, Berg UB. Influence of serum albumin on renal function in


nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 1999;13:19-25.

10. Berg U, Bohlin AB. Renal hemodynamics in minimal change nephrotic


syndrome in childhood. Int J Pediatr Nephrol 1982;3:187-92.

11. Agarwal N, Phadke KD, Garg I, Alexander P. Acute renal failure in children
with idiopathic nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol 2003;18:1289-92.

12. Partini, P.T, dkk. 2012. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak Edisi kedua Cetakan kedua. Unit Kerja Koordinasi
Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia

41
13. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil and
prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic
syndrome. Am J Kidney Dis 2003;42:1114-20.

14. Mendoza SA, Reznick M, Griswold WR. Treatment of steroid resistant focal
segmental glomerulosclerosis with pulse methylprednisolone and
alkylating agents. Pediatr Nephrol 1990;4:303.

15. Rossing K, Christensen PK, Jensen BR, Parving HH. Dual blockade of renin
angiotensin system in diabetic nephropathy: a randomised double-blind
crossover study. Diabetes Care 2002;25:95-100.

16. Luno J, Barrio V, Goicoechea MA, Gonzales Z, De Vinuesa SG, Gomez F, et


al. Effects of dual blockade of the renin angiotensin system in primary
proteinuric nephropathies. Kidney Int 2002;62 (Suppl 82):47-52

17. Webb, Nicholas JA, Postlethwaite RJ. Clinical pediatric nephrology. New
York: Oxford University Press; 2003.

18. Alpers A. Sindrom nefrotik. Dalam: (terjemahan) Rudolph AM, Hoffman JI,
Rudolph CD, (penyunting). Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20.
Jakarta: EGC; 2006. hlm. 1503-8.

19. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi ke-3 (terjemahan). Jakarta:
EGC; 2008.

20. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin Ann M. Ilmu kesehatan
anak Nelson. Vol.3; editor edisi bahasa Indonesia, A. Samik Wahab.
Edisi ke- 15. Jakarta: EGC; 2000.

21. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

22. Betz, Cecily. 2002. Keperawatan Pediatrik Ed 3. Jakarta: EGC

23. Gbadegesin R, Smoyer We.2008 Comehencive Ediatricnephrology. Ed 1


Philadelphia Mosby Elsevier. Hal 205-18

42

Anda mungkin juga menyukai