Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN AN.

N DENGAN DIAGNOSA MEDIS

SINDROM NEFROTIK DI RUANGAN LUKMANUL HAKIM

Diajukan untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Anak Holistik Islami

Dosen pengampu :

Disusun oleh.
Shalma Fauziah Sutisna
402021017

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang sering terjadi pada
anak dimana dikatakan bahwa anak dengan rentang usia 2-6 tahun lebih
rentan untuk terjadi suatu sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Manado et al., 2020).
Angka kejadian sindrom nefrotik di dunia sekitar 2-7 kasus per 100.000
pada anak usia di bawah 16 tahun.
Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak ( usia 2-14
thn) adalah sindrom nefrotik primer, yaitu jenis SN kelainan minimal yang
mencapai 85%. Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom nefrotik
berkaitan dengan sindrom nefrotik kongenital, sedangkan pada anak usia
lebih dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder. Namun,
pada umumnya klasifikasi yang sering digunakan adalah berdasarkan
respon terapi terhadap steroid yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
(SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS).
Sindrom nefrotik di tandai dengan adanya pucat, edema, penurunan
Haluan urine dengan warna gelap dan berbusa, intoleransi aktivitas
(Wahyuni, 2017). Komplikasi yang timbul pada sindrom nefrotik ini
menyebabkan nitrogen menjadi negative. Penurunan massa otot sering
ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarca dan baru
tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa tubuh tidak jarang
dijumpai pada sindrom nefrotik (Arsita, 2017).
Peran perawat pada keperawatan anak ini mempunyai kontak kepada
anak dan keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan yang berlandaskan
pada proses keperawatan sesuai dengan moral (etik) dan aspek hukum
(legal). Kemudian berperan sebagai pemberian keperawatan, advokat
keluarga,educator atau pendidik , konseling, kolabolator dan peneliti
(Usman, 2020).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi sindrom nefrotik?
2. Bagaimana etiologi sindrom nefrotik?
3. Bagaimana patofisiologi sindrom nefrotik?
4. Bagaimana tanda gejala sindrom nefrotik?
5. Bagaimana Penatalaksanaan medis sindrom nefrotik?
6. Bagaimana Pemeriksaan penunjang sindrom nefrotiik?
7. Bagaimana konsep keperawatan anak sindrom nefrotik?

C. Tujuan Umum dan Khusus


1. Tujuan Umum
Melalui perbuatan laporan ini mengenai sindrom nefrotik diharapkan
mahasiswa memapu memahami konsep penyakit sindrom nefrotik.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi sindrom nefrotik
b. Untuk mengetahui etiologi sindrom nefrotik
c. Untuk mengetahui patofisiologi sindrom nefrotik
d. Untuk mengetahui tanda gejala sindrom nefrotik
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan sindrom nefrotik
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik
g. Untuk mengetahui konsep keperawatan anak sindrom nefrotik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang terdiri atau
proteinuria massif, hypoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema, dan
hiperkolesterolemia (Pardede, 2017). Sindrom nefrotik merupakan
penyakit ginjal yang sering terjadi pada anak. Terapi utama yang
diberikan pada penderita sindrom nefrotik adalah kortikosteroid, yaitu
prednisolone dosis penuh (full dose). Secara klinis sindrom nefrotik
dibagi menjadi sindrom nefrotik responsive steroid, sindrom nefrotik
relaps jarang, sindrom nefrotik relaps sering dan dependen steroid, dan
sindrom nefrotik resisten steroid.
Pada SN terjadi penurunan albumin serum, yang merupakan
akibat proteinuria dan ketidakmampuan hati dalam meningkatkan
sintesis albumin. Hati meningkatkan sintesis albumin empat kali lipat
dengan cara meningkatkan transkripsi messenger RNA, dan
menurunkan katabolisme protein di seluruh tubuh. Tetapi setiap
albumin yang dibentuk akan dikatabolisme setiap saat terjadi
peningkatan albumin, akibat respon epitel tubulus ginjal terhadap
albuminuria
2. Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui, keberhasilan awal dalam
mengendalikan nefrosis dengan obat-obatan “imunosupresif” memberi
kesan bahwa penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunoloogis,
tetapi bukti adanya mekanisme jejas imunologis yang klasik belum ada
(Amalia, 2018).
Umumnya, berdasarkan etiologinya para ahli membagi sindrom
nefrotik menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Syndrome nefrotik kelainan minimal (SNKM)/ minimal change
diseases (MCD). Ditemukan pada sekitar 80% kasus SN idiopatik.
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun,
menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal.
b. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-
8% kasus SN idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang
berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis buruk. Pada
GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal selama pengamatan 5
tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi
ginjal.
c. Glomerulonephritis membrano-proliferatif (GNMP). Ditemukan 4-
6% dari kasus SN, sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini
berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis tidak baik
d. Lain-lain: proliferasi yang tidak khas.

Adapun Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh


glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan,
penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sitemik.
Penyebab sindrom nefritik pada dewasa dihubungkan dengan penyakit
sistemik seperti diabetes mellitus, amiloidosis atau lupus eritemtosis
sistemik. Berikut merupakan klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik
(Ayu, 2019).
3. Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik
plasma menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke dalam
interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke
renal karena hipovolemia. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal
akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin
angiotensin dan peningkatan sekresi hormon ADH dan sekresi
aldosteron yang kemudian terjaddi retensi natrium dan air. Dengan
retensi natrium dan air, akan menyebabkan edema. Terjadi
peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau
penurunan onkotik plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari
meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena
kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam urin atau
lipiduria. Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan,
kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia,
hiperlipidemia.
4. Tanda dan Gejala Diagnosa Medis
a. Pembengkakan (edema) pada mata, kaki dan pergelangan tangan
b. Urine berbusa
c. Berat badan bertambah
d. Kelelahan
e. Kehilangan nafsu makan
f. Diare
g. Pucat

Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan


pretibial. Edema palpebra timbul pada saat bangung tidur, semakin
siang edema palpebra akan semakin berkurang namun akan tampak
edema pretibial. Apabila lebih berat akan disertai asites, edema
skrotum/labia, dan efusi pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura
dapat timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering
menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau makan, tampak lemah,
nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat dalam urin
menyebabkan urin menjadi berbuih. Gejala lain yang dapat timbul
namun jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare, dan lain-
lain. Pada sindrom nefrotik sekunder akan disertai gejala penyakit
dasarnya.
Gejala Diagnosa Medis
Hipervolemia
a. Definisi
Peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan atau
intraselular. (Tim Pokja DPP PPNI SDKI, 2017)
b. Penyebab
Penyebab hipervolemia menurut Tim Pokja DPP PPNI SDKI
(2017):
1. Gangguan mekanisme regulasi
2. Kelebihan asupan cairan
3. Kelebihan asupan natrium
4. Gangguan aliran balik vena
5. Efek agen farmakologis
(Hormon kartikosteroid,chlorpropamide, tolbutamide,
vincristine, tryptilinescarbamazepine)

c. Gejala dan Tanda Mayor


Gejala dan Tanda Mayor menurut Tim Pokja DPP PPNI SDK
(2017):
Subjektif
1. Ortopnea
2. Dyspnea
3. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)

Objektif

1. Edema anasarka dan atau edema perifer


2. Berat badan meningkat dalam waktu singkat
3. Jugular Venous Pressure (JVP) dan Cenral Venous
Pressure (CVP) meningkat
4. Reflex hepatojugular positif
5. Sulit tidur
d. Gejala dan Tanda Minor
Gejala dan Tanda Minor menurut Tim Pokja DPP PPNI SDKI
(2017):
Subjektif: Tidak ada
Objektif
1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara nafas tambahan
3. Olyguria
4. Intake lebih banyak dari output (balance cairan
positif)
5. Hepatomegaly
6. Kadar Hb/Ht turun
7. Kongesti paru
e. Kondisi klinis tekait
Kondisi klinis tekait menurut Tim Pokja DPP PPNI SDKI (2017)

1. Penyakit ginjal : Gagal Ginjal akut/kronis, Sindrom


Nefrotik
2. Hypoalbuminemia
3. Gagal jantung kongestif
4. Kelainan hormone
5. Penyakit hati ( missal sirosis, asites, kanker hati)
6. Penyakit vena perifer (misal varises vena, thrombus
vena phlebitis)
7. Imobilitas

Nyeri akut
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab:
1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedra kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencidra fisik (mis. Abses, trauma, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat,prosedur operasi,trauma, latihan
fisik berlebihan

Gejala dan tanda mayor


Subjektif : Mengeluh nyeri

Objektif

1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur

Gejala dan tanda minor

Subjektif : tidak ada

Objektif :

1. Tekanan darah meningkat


2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis

Kondisi klinis terkait:

1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom coroner akut
5. Glaucoma
5. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk sindrom nefrotik (Wahyuni, 2017) :
a. Pemberian kortikosteroid seperti prednison atau prednisolon untuk
menginduksi remisi. Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8
minggu terapi. Jika pasien mengalami kekambuhan, maka perlu
diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi untuk beberapa hari.
b. Penggantian protein, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian
albumin melalui makanan atau melalui intravena.
c. Pengurangan edema
- Terapi diuretik, hendaknya terapi ini diberikan lebih cermat
guna mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler,
pembentukan trombus maupun ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
- Membatasi pemberian natrium.
- Mempertahankan keseimbangan elektrolit.
- Pengobatan nyeri untuk mengatasi ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan edema maupun tindakan medis yang
dilakukan kepada pasien.
- Pemberian antibiotik seperti penisilin oral atau jenis lain,
mengingat pasien dengan sindroma nefrotik rentan terkena
infeksi akibat daya tahan tubuhnya yang rendah.
- Terapi Imunosupresif untuk anak yang gagal berespon dengan
terapi steroid.
d. Manajemen Non-Farmakologis
1. Manajemen nutrisi dan cairan
Karena adanya mekanisme retensi natrium pada sindrom
nefrotik, maka beberapa literatur merekomendasikan diet
natrium yang dibatasi agar kurang dari 3 gram/hari dan diet
cairan < 1500 ml/hari. Diet rendah garam diberikan untuk
menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35%
kalori berasal dari lemak untuk mencegah obesitas selama
terapi steroid dan mengurangi hiperkolesterolemia.(Kodner,
2016) Pasien disarankan untuk istirahat, retriksi asupan protein
dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari serta ekskresi protein
urin/24 jam dan jika fungsi ginjal menurun maka diet
disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB/hari disertai ekskresi
protein dalam urin/24 jam kemudian diet rendah kolesterol.
2. Manajemen Farmakologis
- Diuretic
Pasien dengan nefrosis resisten terhadap diuretik, bahkan jika
filtrasi glomerulus tingkat normal. Loop diuretik bekerja pada
ginjal tubulus dan harus terikat protein agar efektif. Protein
serum yang berkuran pada sindrom nefrotik akan membatasi
efektivitas loop diuretik, dan pasien mungkin

- ACE-Inhibitor
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan
dapat menurunkan proteinuria dengan menurunkan tekanan
darah, mengurangi tekanan intraglomerular dan aksi langsung
di podosit, dan mengurangi risiko progresifitas dari gangguan
ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder. Dosis yang
direkomendasikan masih belum jelas, tapi pada umumnya
digunakan enalapril dengan dosis 2,5 – 20 mg/hari
- Terapi kortikosteroid
Yang digunakan sebagai immunosupressan pada sindrom
nefrotik adalah golongan glukokortikoid yaitu prednison,
prednisolon dan metilprednisolon. Penatalaksanaan sindrom
nefrotik dengan kortikosteroid yaitu :
a. Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan skrining
untuk menentukan ada tidaknya TBC
b. Pengobatan dengan prednison secara luas
- Terapi Hiperlipidemia
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan risiko
atherogenesis atau miokard infark pada pasien dengan sindrom
nefrotik yang berkaitan dengan peningkatan level lipid.
Sehingga disarankan untuk pemberian hipolipidemic agents
pada pasien sindrom nefrotik.
- Terapi Antibiotik
Terapi ini digunakan jika pasien sindrom nefrotik mengalami
infeksi, infeksi tersebut harus di atasi dengan adekuat untuk
mengurangi morbiditas. Jenis antibiotik yang banyak dipakai
yaitu golongan penisilin dan sefalosporin
- Antikoagulan
Tidak ada rekomendasi dari studi terbaru mengenai
antikoagulan sebagai profilaktik untuk mencegah adanya
tromboemboli pada pasien sindrom nefrotik yang tanpa riwayat
tromboemboli sebelumnya. Sedangkan terapi antikoagulan
dapat diberikan pada pasien sindrom nefrotik dengan riwayat
tromboemboli sebelumnya sebagai profilaksis
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan Urine
1.) Urinalisis
- Proteinuria, dapat ditemukan sejumlah protein dalam urine
lebih dari 2 gr/m2/hari
- Ditemukan bentuk hialin dan granular
- Terkadang pasien mengalami hematuria
2.) Uji Dipstick, hasil positif bila ditemukan protein dan darah.
3.) Berat jenis urine akan meningkat palsu karena adanya
proteinuria ( normalnya 50-1.400 mOsm)
4.) Osmolaritas urine akan meningkat
b. Uji darah
1.) Kadar albumin serum akan menurun, dengan hasil kurang dari
2gr/dl (normalnya 3,5-5,5 gr/dl)
2.) Kadar kolesterol serum akan meningkat, dapat mencapai 450-
1000 mg/dl (normalnya <200 mg/dl)
3.) Kadar hemoglobin dan hematokrit akan meningkat atau
mengalami hemokonsentrasi ( normalnya Ht pada laki-laki 44-
52% dan pada Perempuan 39-47% ).
4.) Kadar trombosit akan meningkat, mencapai 500.000-
1.000.000/ µl (normalnya 150.000-400.000/µl)
5.) Kadar elektrolit serum bervariasi sesuai dengan keadaan
penyakit perorangan (normalnya K+ 3,5-5,0 mEq/L, Na+ 135-
145 mEq/L, Kalsium 4-5,5 mEq/L, Klorida 98-106 mEq/L )
c. Uji Diagnostik
Biopsi ginjal dapat dilakukan hanya untuk mengindikasikan status
glomerular, jenis sindrom nefrotik, respon terhadap
penatalaksanaan medis dan melihat proses perjalanan penyakit.
d. Pemeriksaan Radiologi ; dapat dilakukan USG ginjal untuk
mengidentifikasi trombosis vena renalis jika terdapat indikasi
curiga adanya keluhan nyeri pinggang (flank pain), hematuria atau
gagal ginjal akut.
7. Konsep Standar Keperawatan Anak
a. Pengkajian
1. Melakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya
edema
2. Observasi adanya menifestasi sindrom nefrotik:
- Penambahan berat badan
- Edema
- Wajah sembab : khususnya di sekitar mata, timbul pada saat
bangun pagi, berkurangnya di siang hari.
- Pembengkakan abdomen (asites)
- Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
- Pembengkakan labiar (scrotal)
- Edema mukosa usus yang menyebabkan: diare, anoreksia,
absorbs usus buruk
- Peka rangsang
- Mudah Lelah
- Letargi
- Tekanan darah normal atau sedikit menurun
- Kerentanan terhadap infeksi
- Perubahan urin : penurunan volume, warna urine, berbau,
b. Diagnose
Berdasarkan diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada
sindrom nefrotik ini yaitu :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
tekanan osmotik koloid
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan.
3. Nyeri Kronis berhubungan dengan agen biologis.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan sekuder,imunosupresan.
5. Diare berhubungan dengan edema mukosa usus.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis.
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
imunologik
c. Intervensi
Rencana keperawatan pada pasien Sindrom Nefrotik  dengan
Hipervolemia
Observasi :  
a. Periksa tanda dan gejala hipervolemia (misal ortopnea,
dyspnea, edema, JVP/CVP meningkat,
refleks hepatojugular positif, suara npas tambahan)
b. Identifikasi penyebab hypervolemia
c. Monitor status hemodinamik (misal frekuensi jantung, tekanan
darah), jika tersedia
d. Monitor intake dan output cairan
e. Monitor tanda hemokonsentrasi (misal kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis urine)
f. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (misal
kadar protein dan albumin meningkat)
g. Monitor kecepatan infus secara ketat
h. Monitor efek samping diuretik (mis. Hypotensi ortostatik,
hipovolemia, hipokalemia, hiponatremia)

Terapeutik

a. Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama


b. Batasi asupan cairan
c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40°

Edukasi

 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg perhari


 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6
jam
 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran
cairan
 Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian diuretic


b. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
c. Kolaborasi pemberian Continuous Renal Replacement
Theraphy (CRRT) jika perlu.

Nyeri akut
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
Manajemen Nyeri
1. Observasi
- lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetic
2. Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

4. Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Resiko deficit Nutrisi

Manajemen nutrisi

Observasi :
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi makanan yang disukai
3. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
4. Monitor asupan makanan
5. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik
1. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
2. Beri makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
3. Berikan suplemen makanan, jika perlu
4. Hentikan pemberian makanan nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Kolaborasi : Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. Q. (2018). Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma


Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 1(2), 81–88.
Arsita, E. (2017). Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik.
Jurnal Kedokteran Meditek, 23, 73–82.
Manado, P. R. D. K., Suwontopo, L., Umboh, A., & Wilar, R. (2020). Analisis
Hubungan Angka Kejadian, Gambaran Klinik Dan Laboratorium Anak
Dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado. JKK (Jurnal Kedokteran Klinik), 4(1), 6–14.
Pardede, S. O. (2017). Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada
Anak. Sari Pediatri, 19(1), 53. https://doi.org/10.14238/sp19.1.2017.53-62
Usman, L. (2020). Pelaksanaan Atraumatic Care Di Rumah Sakit. Jambura
Health and Sport Journal, 2(1), 7–11.
https://doi.org/10.37311/jhsj.v2i1.4559
Wahyuni, B. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Sindroma Nefrotik
Di Ruangan Rawat Irna Kebidanan Dan Anak Rsup Dr. M. Djamil Padang.
Poltekkes Kemenkes Padang, 48–51.

Anda mungkin juga menyukai