Anda di halaman 1dari 26

KELOMPOM 7: PARALITIK

Paralitik juga dikenal dengan nama lain yaitu agen penghambat neuromuskuler
(neuromuscular blocking agent), obat ini digunakan untuk mencegah kontraksi otot.
Obat paralitik tidak mengandung sedative, amnesthic, anestethic, atau analgesik. Jadi obat ini
hanya mencegah kontraksi otot.
Indikasi jangka pendek dan jangka panjang
1. Membantu menfasilitasi intubasi endotrakheal
Obat ini melakukannya dengan merelaksasikan rahang pasien dan otot saluran
pernafasan.
2. Operasi
Kadang operasi membutuhkan relaksasi otot.
3. Membantu pemantauan hemodinamik
Membantu pemantauan hemodinamik yang lebih akurat
4. Menilai tekanan abdomen
Pasien dengan kondisi paralisis atau lumpuh otot akan menghasilkan pengukuran
yang benar-benar akurat
5. Membantu kebutuhan ventilasi
Sangat membantu untuk mengurangi sinkronisasi ventilasi
6. Manfaat positif untuk pasien ARDS
Merelaksasikan dinding dada pasien dan akhirnya mengurangi tekanan intratoraks,
digunakan juga ketika tekanan intrakranial tinggi dan menurunkan konsumsi oksigen
7. Hipotermia
Mengobati menggigil yang sulit disembuhkan dan pasien yang mengalami hipoermia
Obat paralitik terbagi menjadi 2 yaitu
1. Depolarisasi (agonis) obat-obatan yang akan mengikat reseptor asetilkolin yang awalnya
aktif menjadi menjadi terikat dan mencegah aktivasi
Contoh obatnya succinylcholin (short acting) bisa dipakai untuk intubasi
2. Nondepolarisasi(antagonis) mereka akan mengikat lagi ke reseptor asetilkolin tetapi
sebenernya tidak dan mereka terus mencegah aktivitasi oleh asetilkolin tubuh kita
sendiri.
Contoh obatnya
1) Short acting Rocuronium durasi 30 menit
2) Intermediet vecuronium, atracurium, Kista atracurium (NIM X) durasi 35-45 menit
3) Longacting Pancuronium durasi 60-120 menit
KELOMPOK 8: MONITORING PARALITIK
Tujuan memonitor paralitik ini yaitu memberikan sedikit obat yang kita butuhkan untuk
mencapai efek yang diinginkan dengan harapan ketika obat-obatan dihentikan pasien akan
pulih secepat mungkin. Jadi untuk dapat melakukan ini kita harus memiliki beberapa cara
untuk memonitor nya yaitu memonitor kelumpuhan pasien akibat dari obat-obatan ini yaitu
dengan memonitor Periferal Stimulasi Saraf atau yang biasa disebut juga “Train of Four”
digunakan untuk menilai fungsi saraf pada pasien yang menerima agen penghambat
neuromuskuler (obat paralitik) yang biasanya digunakan di unit perawatan kritis atau ICU.
Train of Four adalah alat yang membantu untuk memantau tingkat kelumpuhan pasien
agar tidak terlalu melumpuhkan dan menyebabkan atrofi. Dinamakan train of four karena
mesin tersebut mengirimkan 4 sinyal listrik cepat kepada pasien biasanya dengan jeda
setengah detik dan kemudian berdasarkan penempatan yang tepat dari elektroda tersebut akan
terlihat semacam otot berkedut.

Terdapat berbagai area untuk mengatur stimulasi saraf, adalah sebagai berikut.
1. Saraf ulnaris yang terletak di sisi ulnaris pergelangan tangan dengan merangsang saraf
ini kita akan melihat pasien menekukkan ibu jari mereka.
2. Saraf wajah pasien tepatnya di bagian luar mata yang akan menimbulkan efek kelopak
mata tertutup atau mengerutkan alis.
3. Dengan menggunakan saraf tibialis posterior akan terjadi pelenturan jempol kaki.
Tetapi biasanya yang paling umum adalah ulnar atau saraf wajah.

4 sinyal yg dapat memberikan gambaran dan indikasi seberapa banyak penyumbatan.


 Jika hanya melihat 1 kedutan mungkin memblokir sekitar 90% reseptor pada pasien.
 Jika hanya melihat 2 kedutan mungkin memiliki sekitar 80% dari reseptor yang
diblokir.
 Jika melihat 3 kedutan mungkin sekitar 75% diblokir untuk pasien.
 Jika melihat 4 dari kedutan akan sulit untuk mengukur seberapa banyak yang telah
diblokir karena bisa jadi dimana saja mulai dari <75%.
Note:
Untuk memonitor paralitik jika tidak ada Train Of Four dengan refleks2 yaitu menilai muscle
weakness
Hal-hal yang harus diperhatikan:
- Gerakan peristaltik dengan cara di auskultasi
- Merangsang kedutan

Agen Pembalik Pemblokiran Neuromuskuler


Agen pembalik pemblokir neuromuskuler akan meningkatkan pengeluaran asetilkolin,
sehingga obat yang diberikan akan menghambat kerja enzim asetilkolineterase yang akan
berhenti memecah asetilkolin. Untuk peningkatan asetilkolin maka harus bersaing dengan
reseptor penghambat neuromuskuler. Untuk mengaktifkan reseptor tersebut maka obat yang
digunakan biasanya adalah neostigmine, pyrlostigme, dan endrophonium. Enzim
asetilkolineterase akan merusak sel otot dalam tubuh, sehingga berdampak pada seluruh
tubuh. Jika terlalu banyak asetilkolin didalam tubuh maka aktivasi sistem saraf parasimpatis
akan lebih aktif, yang akan mengakibatkan terjadinya bradikardi, dan asistol, peningkatan
penyempitan saliva pada pupil, bronkokonstriksi dan peningkatan peristaltik.
Melihat bahaya yang ditimbulkan seperti bradikardi dan asistol dapat menjadi masalah
yang serius pada pasien, maka untuk mencegah hal ini harus dilakukan penghambatan
asetilkolineterase dengan pemberian obat antimuskarinik dalam satu waktu untuk mencegah
efek yang akan terjadi (anticholinergics).
1. Scopolamine
Hyoscine butylbromide atau scopolamine adalah obat untuk mengatasi kram perut.
Scopolamine bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menciptakan efek
menenangkan di lambung dan usus. Diberikan melalui intravena (IV) karena sifat
antiemetiknya.
Dosis
Oral: 10mg (dewasa yang memiliki kondisi kram perut akibat gangguan saluran
pencernaan atau saluran kemih)
Injeksi: 20mg disuntikkan ke otot (intramuskular/IM) atau ke pembuluh darah
(intravena/IV).
Dosis penggunaan scopolamine harus disesuaikan dengan anjuran dokter dan dapat
berbeda dari satu orang ke orang lainnya.
2. Glycopirolate
Obat ini tidak melewati sawar darah otak, sering digunakan untuk mengurangi sekresi
pada pasien, mengurangi bradikardi yang diinduksi vagal dan bila dberikan melalu IV
obat ini memiliki onset sangat cepat sekitar 1 menit. Harus memberikan obat ini pada
waktu yang bersamaan sebagai penghambat asetilkolineterase.
Dosis
Tablet: 1mg, 1,5mg, 2mg.
Oral solution: 1mg/5mL.
Injectable solution: 0,2mg/mL
3. Atropine
Mengurangi perdarahan di otak, memiliki efek samping yaitu terjadi takikardi sehingga
tidak digunakan untuk sekresi, digunakan untuk mengobati bradikardi dalam gawat
darurat. ketika glycopirolate tidak dapat bekerja maka atropine dapat bekerja dengan
cepat dimana memiliki onset 45 detik.

KELOMPOK 9: SEDASI ICU


Sedasi adalah penurunan iritabilitas atau hilangnya agitasi yang dilakukan melalui
pemberian obat sedativa, pada umumnya untuk mendukung prosedur medis atau prosedur
diagnostik. Sedangkan agitasi merupakan derajat keterjagaan yang bertolak belakang dari
spektrum Sedasi-Agitasi.

1. 6 alasan melakukan sedasi ICU ?


- Amnesia - Safety and Agitasi
- Pasien yang Menggunakan - Sulit Tidur
Ventilator - Delirium
- Anxiety

2. Tujuan Sedasi ?
- Memastikan bahwa kami menggunakan obat yang tepat dan dosis yang tepat.
- Memberikan hasil positif kepada pasien
- Memperhankan keadaan sadar yang tenang atau pasien yang mudah terangsang.

3. Monitoring sedasi
RASS terdiri dari 10 poin skala terdiri dari skala agitasi ( + 1 sampai +4) dan
kesadaran (skala -1 sampai -5) serta skala 0 untuk sadar baik. Sedasi dalam diukur
dengan 2 tahap yaitu tes respon terhadap instruksi verbal seperti buka mata dan diikuti
tes respon kognitif seperti penderita dapat fokus melihat mata pemberi perintah. Skala
pengukuran tersebut memiliki korelasi yang baik dengan proseselektroensefalografi,
sama baiknya dengan akselerasi dan gerakan ekstremitas.

Skor Terminologi Keterangan


+4 Combative Sangat melawan, tidak terkendali,
membahayakan petugas
+3 Very Agitated Menarik atau melepas selang atau kateter,
agresif
+2 Agitated Gerakan berulang tanpa tujuan, melawan
ventilator
+1 Restless Gelisah tetapi gerakan tidak agresif
berlebihan
0 Alert & Calm Terjaga dan tenang
-1 Drowsy Tidak sepenuhnya terjaga, tetapi
terbangun perlahan (>10 detik), dengan
kontak mata, terhadap suara
-2 Light Sedation Terbangun (<10 detik), dengan kontak
mata, terhadap suara
-3 Moderate Sedation Ada gerakan (tetapi tidak ada kontak
mata) terhadap suara
-4 Deep sedation Tidak ada respon terhadap suara, tetapi
ada gerakan dengan stimulus fisik
-5 Unarousable Tidak ada respon terhadap suara atau
stimulus fisik
KELOMPOK 10: NUTRISI PADA PASIEN KRITIS

A. Konsep Nutrisi Pada Pasien


Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga mengalami
respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang dialami akan mengubah
metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis nutrisi.
Pasien kritis seringkali mengalami stress akibat trauma, cedera, pembedahan, sepsis
dan penyakitnya sehingga mengakibatkan peningkatan metabolisme dan katabolisme yang
berujung pada malnutrisi. Kondisi malnutrisi dapat meningkatkan kematian dan komplikasi
serta memperlama lama rawat, biaya dan waktu penyembuhan.
a. Makro dan mikro nutrien dalam nutrisi
1) Karbohidrat
Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet
sebaiknya berkisar 50% –60% dari kebutuhan kalori. Glukosa digunakan oleh sebagian
besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa
disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan hati terbatas dan habis
dalam 24 – 36 jam melakukan puasa. kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa
maksimal 5 mg/kgbb/menit.
2) Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral
sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% – 50% dari total
kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain
sebagai sumber energi, membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak,
menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ internal,
membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-jaringan tubuh. pemberian emulsi
lemak khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang
dari 0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT)/Long
Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15 gram/kgbb/jam.
Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan infus selalu disesuaikan
dengan hasil pengukuran.
3) Protein
Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau
kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli merekomendasikan pemberian
150 kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25 gram protein setara dengan 1 gram nitrogen).
Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk
kebanyakan populasi pasien di ICU direkomendasikan sebesar 0,15 – 0,2 gram/
kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1 – 1,25 gram protein/ kgbb/hari. Beratnya gradasi
hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat diberikan nitrogen
sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari.
4) Mikronutrien
Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6
(piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan
kebutuhan normal sehari-harinya. Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah
terjadi defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-
vitamin yang larut dalam air. Selain defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien sakit
kritis dapat juga terjadi defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper.
B. Penilaian Status Nutrisi pada Pasien Kritis
Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa metode
dalam penilaian, seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin,
magnesium dan fosfor. Pengukuran antropometrik termasuk ketebalan lapisan kulit (skin
fold) permukaan daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan
atas (midarm muscle circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada pasien sakit kritis
karena ukuran berat badan cenderung untuk berubah. Jenis protein yang paling sering diukur
adalah albumin serum.
Langkah pertama dalam penatalaksanaan nutrisi rumah sakit adalah mengidentifikasi
adanya malnutrisi. The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)
(2016) terdapat uji skrining malnutrisi atas semua pasien yang dirawat di rumah sakit.
Tahapan awal ini bertujuan untuk mengidentifiaksi pasien dengan malnutrisi dan pasien
dengan risiko malnutrisi, terutama untuk pasien dengan sakit kritis. Setiap pasien yang
dirawat di rumah sakit memerlukan penilaian penapisan nutrisi dalam 48 jam perawatan dan
penilaian status nutrisi lengkap pada pasien dengan penyakit kritis. Adapun alur penilaian ini
dapat dilihat pada bagan algoritma di bawah ini:
(sumber American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). J
Parenter Enteral Nutr. 2016)
C. Penilaian Status Gizi
a) NUTRIC score
Skor Risiko Gizi dalam Sakit Kritis (NUTRIC) adalah alat penilaian risiko nutrisi khusus
untuk pasien ICU. Pasien dengan risiko gizi tinggi lebih mungkin memperoleh manfaat
dari EN dini dengan hasil yang lebih baik (infeksi nosokomial berkurang, komplikasi
total, dan kematian) dibandingkan pasien dengan risiko gizi rendah. Sementara
penggunaan yang luas dan bukti pendukung agak kurang sampai saat ini, perbaikan
dalam sistem penilaian ini dapat meningkatkan penerapannya di masa depan dengan
memberikan panduan tentang peran EN dan PN di ICU.

b) NRS 2002
c) Malnutrition Screening Tool (MST)
Untuk menilai status gizi sendiri terdapat beberapa metode.  MST terdiri dari tiga
pertanyaan yang menilai berat badan terakhir serta ada tidaknya penurunan nafsu makan.
MST ini ada dua tahap, tahap pertama adalah tahap penapisan sedangkan tahap kedua
menilai risiko malnutrisi. Untuk pertanyaan MST ini dapat dilihat pada di bawah ini. MST
adalah metode penilaian gizi yang dipakai di RSCM.
Bagian 1: Penapisan
Apakah ada penurunan berat badan tanpa disengaja?
Tidak ada Skor : 0

Turun 1–5 kg Skor : 1

Turun 6–10 kg Skor : 2

Turun 11–15 kg Skor : 3


Turun > 15 kg Skor : 4

Ragu-ragu Skor : 2

Apakah ada penurunan nafsu makan atau sulit makan?


Tidak Skor : 0

Ada Skor : 1

Bagian 2: Penentuan resiko


Skor MST 0 atau 1, tidak ada risiko malnutrisi: Bila lama rawat lebih dari 7
hari, penapisan ulang dan dapat diulang tiap minggu
Skor MST 2 atau lebih, risiko malnutrisi: Lakukan intervensi nutrisi,
konsultasi gizi dalam 24–72 jam

d) Subjective Global Assessment (SGA)


Penilaian status nutrisi dengan SGA meliputi pengisian kuesioner mengenai data
perubahan berat badan, perubahan asupan diet, gejala gastrointestinal, perubahan
kapasitas fungsional yang bergubungan dengan malnutrisi. Selain itu, dinilai juga
simpanan lemak dan otot serta ada tidaknya edema dan asites. Selain diagnosis
malnutrisi, SGA juga membagi pasien menjadi tiga golongan yaitu golongan A, status
gizi baik; golongan B status gizi malnutrisi ringan/sedang; serta SGA C, malnutrisi berat.
D. Kebutuhan energi pasien kritis
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan terapi nutrisi.
Nitrogen secara kontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang bersifat
homeostatik pada jaringan protein tubuh. Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan
menggunakan formula yang mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen
urea urin (urine urea nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
Keseimbangan Nitrogen = ((dietary protein/6,25) - (UUN/0,8) + 4)
Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen dalam
makanan bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur. Faktor koreksi ditambahkan
untuk mengkompensasi kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit. Keseimbangan
nitrogen positif adalah kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi nitrogen, dan
menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan dapat
mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai dengan
ekskresi nitrogen yang melebihi asupan.
perumusan yang sederhana “Rule of Thumb” dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu
25-30 kkal/kgbb/hari. REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk
mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE
sering juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau
BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu mengurangi
komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati
dan pulmonary compromise.
E. Perhitungan Jumlah Kebutuhan Kalori
BEE dalam hal ini dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict. Untuk
praktisnya, BEE dikalikan faktor pengali yaitu faktor aktivitas (FA) dan faktor stress (FS).

Kebutuhan kalori = BEE x FA x FS

Faktor pengali aktivitas (FA) adalah 1,2 untuk aktivitas rendah, 1,3 sedang, dan 1,5 untuk
tinggi. Sedangkan faktor pengali untuk stress (FS) adalah 1–1,1 untuk stres ringan, 1,2–1,4
untuk stres sedang, dan 1,5–2 untuk stres berat. Adapun persamaan Rumus Harris-Benedict
adalah sebagai berikut :

BEE untuk laki-laki = 66 + 13,7 x (BB) + 5 x (TB) – 6,3 x (U)

BEE untuk wanita = 655 + 9,6 x (BB) + 1,7 x (TB) – 4,7 x (U)

Contoh soal BEE :


Seorang perempuan berumur 62 tahun BB 52 kg dan TB 158. Berapa kalori yang
dibutuhkan ?
Cara menghitung :
655 + 9,6 x 52 + 5 x 158 – 6,3 x 62 = 1. 554 kkal

Kebutuhan energi aktual (AEE) :

AEE = BEE x AF x IF x TF

AF = Activity Factor (faktor aktivitas)


IF = Injury Factor
TF = Termal Factor
TABEL FAKTOR KOREKSI
FAKTOR AKTIFITAS (AF) Koreksi
 Istirahat tidur (bed rest) 1,2
 Mobilisasi 1,3
FAKTOR PEMBEBANAN (IF) Koreksi
 Tanpa komplikasi 1,0
 Paska bedah 1,1
 Patah tulang 1,2
 Sepsis 1,3
 Peritonitis 1,4
 Multi trauma 1,5
 Multi trauma + sepsis 1,6
 Luka bakar 30 – 50% 1,7
 Luka bakar 50 – 70% 1,8
 Luka bakar 70 – 90% 2,0
FAKTOR SUHU (TF) Koreksi
 O
38 C 1,1
 39OC 1,2
 40OC 1,3
 41OC 1,4

F. Cara Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis


Pemberian secara enteral dapat berupa oral maupun artifisial. Artifisial dapat berupa
parenteral atau pemasangan selang atau tubing. Kontraindikasi pemberian enteral adalah
keadaan tidak stabil meliputi gangguan hemodinamik, obstruksi usus, perdarahan saluran
cerna yang masif, iskemia intestinal, malabsorpsi berat, serta inflamasi berat saluran cerna.
Adapun pemberian nutrisi parenteral juga tidak diindikasikan untuk pasien keganasan yang
bersifat terminal atau sudah ditentukan end of life care. Selama tidak ada kontraindikasi,
lebih diutamakan pemberian nutrisi lewat jalur enteral.
Pengkajian pasien saat masuk ke unit perawatan intensif (ICU) untuk risiko nutrisi, dan
hitung kebutuhan energi dan protein untuk menentukan tujuan terapi nutrisi :
a. Mulai nutrisi enteral (EN) dalam 24−48 jam setelah timbulnya penyakit kritis dan masuk
ke ICU, dan tingkatkan target selama minggu pertama rawat di ICU.
b. Lakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko aspirasi atau
meningkatkan toleransi terhadap pemberian makan lambung (gunakan agen prokinetik,
infus kontinu, obat kumur klorheksidin, angkat kepala tempat tidur, dan alihkan tingkat
pemberian makan di saluran pencernaan).
c. Menerapkan protokol pemberian makanan enteral dengan strategi khusus institusi untuk
mempromosikan pengiriman EN.
d. Jangan gunakan volume sisa lambung sebagai bagian dari perawatan rutin untuk
memantau pasien ICU yang menerima EN.
e. Mulai nutrisi parenteral sejak dini ketika EN tidak memungkinkan atau mencukupi pada
pasien berisiko tinggi atau gizi buruk

1. Nutrisi enteral
Pemberian nutrisi enteral diberikan dalam 24-48 jam setelah onset keadaan
kritis atau setelah masuk ruang rawat intensif. Langkah awal adalah pemberian jumlah
makanan hipokalori atau berupa nutrisi enteral inisial untuk mukosa usus yakni
pemberian sebanyak 10-20 kkal/kg/hari atau sampai 500 mL /hari. Jumlah tersebut
kemudian ditingkatkan secara bertahap dalam waktu satu minggu dengan
memperhatikan toleransi pasien terhadap nutrisi oral serta evaluasi risiko terjadinya
aspirasi.
Apabila keadaan hemodinamik tidak stabil, maka pemberian nutrisi suportif
harus ditunda. Inisiasi nutrisi juga harus dilakukan secara hati-hati pada pasien yang
sedang dilakukan titrasi turun dosis vasopresor. Risiko iskemia saluran cerna sehingga
gejala-gejala intoleransi harus dipantau. Gejala intoleransi tersebut seperti distensi
abdominal, peningkatan produksi selang nasogastrik (NGT), penurunan frekuensi
buang air besar, penurunan flatus, atau munculnya asidosis metabolik.
Untuk memonitor pemberian nutrisi suportif berupa tanda vital, berat badan,
keseimbangan cairan, elektrolit, glukosa darah, BUN/kreatinin, kalsium, fosfat,
magnesium, 24 jam urea urin, perkiraan jumlah asupan total, serta fungsi hati. Kadar
glukosa yang disarankan untuk pasien secara umum adalah 140 mg/dL atau diantara
150-180 mg/dL.
Cara pemberian sedini mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan
kejadian pneumonia, membantu memelihara epitel pencernaan, mencegah translokasi
kuman, mencegah peningkatan distensi gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi. Posisi
pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi. Diare Nutrisi pada
Penderita pasien sering terjadi pada pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral,
penyebabnya multifaktorial, termasuk terapi antibiotik, infeksi Clostridium difficile,
impaksi feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis. Komplikasi metabolik
paling sering berupa abnormalitas elektrolit dan hiperglikemia.
Pemberian nutrisi parenteral ini dapat diinisiasi seawal mungkin. Pemberian
nutrisi parenteral juga dapat dimulai apabila setelah 7–10 hari jumlah kalori yang dapat
diberikan dari jalur enteral < 60% kebutuhan kalori total.

Pemantauan Kecukupan EN
 Minimalkan NPO atau nihil per os/istirahat usus lengkap
 Volume sisa lambung tidak digunakan sebagai bagian dari perawatan rutin untuk
memantau pasien ICU di EN
 Jika digunakan untuk menahan EN untuk GRV <500mL maka harus dihindari.
 Penggunaan eritromisin dan metoklopramid bila sesuai
 Jaga HOB / dimana posisi bagian kepala dinaikan 30-45
 Obat kumur Chlorhexidine dua kali sehari
 Hentikan nutrisi enteral rutin jika terjadi diare
Poin penting lainnya :
Jangan gunakan formula khusus
Jika diare, pertimbangkan:
 Formulasi hiber campuran komersial
 Formulasi peptida kecil
2. Nutrisi parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat
dipenuhi dengan baik. Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan
dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada pasien ICU,
kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam. Monitoring
terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. yang paling
ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total Parenteral Nutrition)
melalui vena sentral adalah infeksi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan femoral.
b. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
c. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
d. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
e. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
f. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep antimikroba.
g. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.
G. Insiasi nutrisi pada pasien malnutrisi
Pada saat inisiasi pemberian nutrisi parenteral pada pasien malnutrisi, pemberian awal
diberikan secara hipokalorik berupa jumlah energi < 20 kkal/kg/hari atau < 80% jumlah total
kebutuhan kalori perhari. Pemberian ini harus disertai pemberian protein yang adekuat yaitu
≥1,2 g/kg/hari. Pemberian sediaan soy-based IV fat emulsion (IVFE) harus dibatasi pada satu
minggu pertama apabila tidak ada kekhawatiran defisiensi asam lemak esensial. Pembatasan
ini dilakukan sampai maksimal 100 g/minggu.
Pemberian nutrisi parenteral dikurangi apabila terdapat perbaikan toleransi nutrisi
enteral serta dihentikan apabila jumlah kalori yang diberikan secara enteral > 60% jumlah
total kalori yang dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya, pemilihan rute pemberian nutrisi ini dapat
dilihat pada bagan di bawah ini:
Sumber Heyland DK, et al. J Parenter Enteral Nutr. 2015;39(6):698-706.

H. Refeeding Syndrom
Refeeding syndrome merupakan suatu keadaan gangguan metabolisme yang terjadi
saat penderita malnutrisi diberikan nutrisi yang berlebih dalam waktu singkat.
Faktor risiko terjadi RFS, yaitu pasien anoreksia nervosa, puasa berkepanjangan,
alkoholik kronis, tanpa makan >7 hari, pasien postoperasi, menjalani terapi radiasi, pasien
keganasan, kurang gizi berat (marasmus/ kwashiorkor), kehilangan berat badan patologis,
stroke (kelainan neurologis), kelainan renal, HIV/AIDS, kelainan malabsorbsi (seperti
inflammatory bowel disease, pankreatitis kronik, fibrosis kistik, short bowel syndrome),
lanjut usia, diabetes mellitus tidak terkontrol, konsumsi diuretik secara kronik (kehilangan
elektrolit), konsumsi antasida secara kronik (garam Al/Mg mengikat fosfat).
PEMBAHASAN IBU
Nutric score menghitung berdasarkan rumus BEE di atas, monitor nutrisi harus menggunakan
score dan perawat harus tahu. Nilai normal untuk laki-laki dan perempuan cari?
Rute pemberian nutrisi pada pasien ICU
Enteral : rute oral formula nutrisinya melalui tube atau selang kedalam lambung atau
gastritube, nasogastritube atau jejenum secara manual maupun menggunakan bantuan pompa
mesin (siringe pomp) seperti gastrotomi dan jejenum. Gastrotomi tube oleh stoma di lambung
atau jejenum.
Parenteral : pemberian nutrisi langsung menggunakan pembuluh darah tanpa melalui
saluran pencernaan. Rute : vena Perifer (vena brachialis) dan vena sentral (vena jugularis
dan vena subclavia).

KELOMPOK 11:
KELOMPOK 12:
KELOMPOK 13: CRRT & ECMO
CRRT
A. Definisi CRRT
Terapi penggantian ginjal berkelanjutan (CRRT) adalah pemurnian darah ekstrasor-
pori kontinu yang mensimulasikan kesinambungan fungsi ginjal. CRRT biasanya
dilakukan selama 24 jam hingga beberapa hari dengan tujuan untuk menghilangkan
kelebihan cairan dan racun uremik berlebih secara perlahan.
B. Tujuan CRRT
1. Pembersihan toksin uremik
2. Koreksi gangguan elektrolit
3. Keseimbangan asam-basa
4. Stabilisasi hemodinamik
5. Keseimbangan cairan
6. Dukungan nutrisi
7. Pengangkatan atau modulasi mediator inflamasi pada pasien sepsis
C. Fungsi CRRT
Terapi penggantian ginjal berkelanjutan (CRRT) biasanya digunakan untuk memberikan
dukungan ginjal pada pasien sakit kritis dengan cedera ginjal akut, terutama pasien yang
secara hemodinamik tidak stabil
membandingkan CRRT dengan modalitas lain dari dukungan ginjal dan meninjau
indikasi untuk memulai terapi penggantian ginjal, serta dosis dan aspek teknis dalam
pengelolaan CRRT.

D. Risiko Penggunaan CRRT


1. Akses vaskular sentral berdiameter besar (sumber risiko infeksi)
2. Hipotensi (penurunan perfusi organ)
Antikoagulan terus menerus

3. Ketidakseimbangan elektrolit (kalium, fosfor, dan magnesium)


4. Penghilangan obat (misalnya, antibiotik), dan imobilisasi pasien untuk waktu yang
lama
E. Indikasi CRRT
Indikasi utama CRRT dalam perawatan intensif adalah diagnosis gagal ginjal akut
dimana pasien secara hemodinamik tidak stabil.
Kriteria yang diusulkan untuk memulai pasien yang sakit kritis pada perawatan
CRRT meliputi:
1. Oliguria (200ml dalam 12 jam)
2. Anuria (kurang dari 50ml dalam 12 jam)
3. Hiperkalemia (Kalium> 6,5 mmol / L)
4. Asidemia berat (pH <7.1)
5. Azotaemia (urea> 30 mmol / L)
6. Edema organ yang signifikan (paru-paru atau jantung berlebih)
7. Ensefalopati uremik
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati / miopati uremik
10. Disnatremia berat (Sodium> 160 atau <115 mmol / L)
11. Hipertermia
12. Overdosis obat dengan toksin yang dapat didialisis.
13. Sepsis parah
14. Penyakit autoimun
15. Kelebihan Volume
16. Kelainan asam basa
17. Kelainan elektrolit parah
F. Manajemen Nutrisi
Pasien dengan AKI yang menjalani CRRT biasanya dalam keseimbangan nitrogen
negatif yang substansial karena tingkat katabolik protein yang tinggi. Selain itu, CRRT
menyebabkan hilangnya asam amino serta hilangnya vitamin yang larut dalam air dan
mikronutrien lainnya. Asupan kalori sekitar 35 kkal / kg per hari harus disediakan,
dengan target asupan protein 1,5 g / kg per hari dan dengan suplementasi vitamin yang
larut dalam air. Meskipun makan enteral lebih disukai, dukungan parenteral mungkin
diperlukan.
G. Komplikasi
1. Hipotensi
2. Low teperatur 
3. Akses problem 
4. Filter cloting
5. Coagulation problem
6. Fluid balance eror
7. Infeksi/sepsis
8. Air embolism
9. Dysconection
10. Arytmia
11. Berkurangnya pembersihan darah
H. Tipe CRRT
1. Tanpa menggunakan mesin
a. Slow Continuous Ultra Filtrasi (SCUF) 
Proses pengeluaran cairan secara continuous melalui membran semipermiable dengan
system yang sama dengan CAVH atau CVVH. Kecepatan filtrasi selalu ditetapkan < 8
ml/mnt, dan pada SCUF tidak memerlukan cairan pengganti ( Fluid replacement).
b. Continuous Arterio Venous Haemofitration (CAVH)
Proses continuous pengeluaran air dan zat-zat yang terlarut dari cairan intra vascular
dan memungkinkan komponen darah dan protein tetap tinggal dalam pembuluh
darah.Filter menerima darah dari pasien lewat kateter arteri dan kembali ke pasien
melalui kateter vena
c. Continuous Arterio Venous Haemodialysis (CAVHD) Continuous Haemofiltration
yang merupakan kombinasi dari difusi zat-zat yang digunakan dalam hemodialisis
dengan system transport zat-zat yang secara konvektif. Hal ini didapat dengan
menggunakan cairan dialisat pada filter yang berlawanan dengan cairan darah.
d. Continuous Arterio Venous Haemodiafitration (CAVHDF)
Prinsip sama dengan CAVHD hanya diperlukan dua cairan sekaligus yaitu Dialisat dan
replace.
2. Dengan menggunakan mesin
a. Continuous Vena Venous Haemofiltration (CVVH)
teknik venovenous dimana ultrafiltrasi yang dihasilkan selama transit membran diganti
sebagian atau seluruhnya dengan solusi pengganti yang tepat untuk mencapai
pemurnian darah dan kontrol volume. ultrafiltrasi digunakan untuk mengeluarkan
produk sampah. Konveksi adalah perpindahan zat terlarut di bawah tekanan melalui
membran bersama dengan gerakan air
b. Continuous Vena Venous Haemodialysis (CVVHD)
difusi dan ultrafiltrasi digunakan untuk mengeluarkan produk sampah. Cairan yang
digunakan dikenal sebagai cairan dialisat. Dialisat diinfuskan berlawanan dengan aliran
darah, ke kompartemen  luar hemofilter untuk memberikan difusi limbah  dari
darah.  Cairan dialisat tidak di alirkan ke dalam darah seperti dalam CVVH, melainkan
diinfuskan ke dalam kompartemen luar hemofilter atau dialyzer. Dalam  terapi difusi,
limbah molekul kecil dan elektrolit berdifusi dari konsentrasi tinggi dalam darah ke
dalam cairan dialisat steril di sisi lain membran
c. Continuous Vena Venous Haemodiafiltrasi (CVVHDF)
Prinsip sama dengan CVVHD hanya perlu dua cairan sekaligus
yaitucairan diallisadancairan replace .  Dalam kontinue venovenous hemodiafiltrasi   pri
nsip difusi, konveksi, dan ultrafiltrasi digunakan untuk menghilangkan limbah dan air.
Cairan  penggantian dan cairan dialisat yang digunakan secara bersamaan dalam
berbagai kombinasi . Tujuannya adalah untuk menawarkan baik terapi konvektif, untuk
clearance zat dengan berat molekul menengah, dan terapi difusif, untuk menghilangkan
zat yang lebih kecil. 
I. Antikoagulasi untuk CRRT
Tujuan untuk antikoagulasi di CRRT adalah untuk mengurangi pembekuan dalam
hemofilter untuk memaksimalkan hidup sirkuit CRRT.
Menghindari gangguan dalam CRRT dengan mencegah pembekuan sehingga terapi
berlanjut lama untuk pasien.

Heparin adalah antikoagulan paling banyak digunakan. Pilihan lain termasuk sitrat,
inhibitor trombin langsun. Idealnya, antikoagulasi dilakukan tanpa menghasilkan
antikoagulasi sistemik pada pasien. Jenis terapi, antikoagulan yang digunakan, dan aliran
darah  merupakan komponen kunci dari menjaga sistem CRRT bebas dari gumpalan.

J. Prinsip CRRT
CRRT didasarkan pada empat prinsip fisiologis utama diantaranya:
1. Difusi
2. Ultrafiltrasi
3. Konveksi
4. Adsorpsi
K. Kerugian CRRT
1. Membutuhkan pemantauan hemodinamik dan keseimbangan cairan.
2. Infus dialisat reguler.
3. Antikoagulan yang kontinyu.
4. Pasien imobilisasi.
5. Lebih mahal dari hemodialisis intermiten

ECMO
ECMO merupakan singkatan dari Extracarporeal Membrane Oxygenation
(oksigenasi membran ekstrakorporeal) yang merupakan teknik bantuan hidup sementara.
Ekstrakorporeal berarti di luar tubuh, contoh lain dari terapi ekstrakorporeal adalah seperti
hemodialisis. Definisi paling dasar ECMO adalah darah yang beroksigen melalui oksigenator
membran yang berada di luar tubuh pasien.
Pertama yang akan dibicarakan adalah kanula dan pada dasarnya tugas kanula adalah
untuk mengalirkan atau mengembalikan darah dari pasien. Kanula terdapat berbagai ukuran
dan panjang yang berbeda yang tergantung pada lokasi kanula dan juga tujuannya. Tetapi
beberapa perbedaan utama yang bisa kita lihat pertama akan ada di vena kita, biasanya akan
ditemukan kanula yang lebih panjang dan itu memiliki beberapa lubang drainase sepanjang
sekitar 10 sampai 20 cm dari ujungnya. Lalu venus, dimana terdapat kanula yang lebih
pendek. Dan arteri, yang lebih pendek lagi dari kanula vena dan hanya dapat memiliki lubang
drainase tepat di ujung kanula. Kedua jenis kanula ini akan menjadi ukuran yang cukup besar
dan dan kawat yang diperkuat membantu agar tidak roboh. Selain itu ada juga kanula tunggal
yang memungkinkan drainase dan aliran balik khususnya pada pasien dengan VV ECMO.

Rangkaian ECMO yang merupakan salah satu bagian penting yaitu pompa. Pompa
bekerja untuk mengalirkan darah dari pasien dan membawanya melalui oksigenator. Ada dua
jenis pompa yang dapat ditemui; yaitu pompa gaya roller, ini seperti pada mesin CRRT yang
memiliki roller kecil yang masuk dan menekan pipa ke bawah untuk memindahkan darah di
sepanjang pompa roller yang tergantung pada beban awal. Sehingga penting memiliki preload
yang memadai untuk mencegah hal-hal seperti menarik udara keluar dari darah.

Oksigenator dan apa yang memberikan gas yang dibutuhkannya, untuk ini difusi akan
menjadi kombinasi blender dan flow meter. Flow meter adalah tempat kita akan mendapatkan
suplai oksigen dan pasokan gas medis yang terpasang akan memungkinkan untuk mengatur
fio2 di mana saja dari udara ruangan pada 21% hingga 100%. Dan ini terjadi di blender dan
kemudian flow meter yang akan mengontrol aliran gas dari 0 hingga 10 liter, dan ini yang
mengontrol jumlah gas yang kita miliki melalui oksigenator.

Heat Exchanger atau penukar panas yang tugasnya adalah menghangatkan dan
mendinginkan pasien. Pada dasarnya kita akan diisi dengan air dan tugasnya adalah untuk
mengatur suhu pasien naik atau turun. Cara yang dilakukannya adalah menggunakan air
hangat atau dingin untuk menghangatkan atau mendinginkan darah. Dan biasanya ini akan
diintegrasikan ke dalam sebagian besar oksigenator. Untuk mengikuti semua ini, kita akan
memiliki semacam sistem pemantauan terpisah atau dibangun di beberapa pompa ECMO.
Yang berkaitan kita bahas saat mengenai pompa sentrifugal, bahwa yang satu itu memerlukan
sensor aliran dan kita akan melihat bahwa sensor pada saluran yang kembali ke pasien setelah
oksigenator.
Selanjutnya tentang konfigurasi berbeda yang telah disiapkan untuk ECMO dan pada
dasarnya konfigurasi akan didasarkan pada jenis dukungan yang diperlukan untuk pasien. Hal
yang pertama adalah mengenai yang disebut VV ECMO yaitu singkatan dari Vino Venus. VV
ECMO sebagai alat bantu pernapasan, penting bagi pasien bahwa mereka telah menjaga
fungsi jantung karena itu yang akan mendorong darah ke seluruh tubuh. Dan sekarang di VV
ECMO akan mengalirkan darah dari vena dan kemudian mengembalikan darah beroksigen
kembali ke pembuluh darah lain sebelum sampai ke jantung dan kemudian akan
meninggalkan darah yang berlanjut melalui sisi kanan jantung dan akhirnya sirkulasi paru
dan akan bekerja kembali ke sisi kiri jantung, di mana dari jantung akan dipindahkan ke
seluruh tubuh. Jadi pada dasarnya akan memberikan bantuan dalam mengoksigenasi darah
bahkan sebelum masuk ke sistem jantung dan paru-paru. Inilah alasan mengapa kita perlu
memiliki fungsi jantung yang dipertahankan karena hati masih akan bertanggung jawab untuk
memindahkan darah beroksigen di sekitar hanya saja paru-paru tidak berfungsi jadi kita akan
menggunakan sirkuit ECMO untuk mengoksigenasi darah. Disana ada beberapa cara berbeda
yang dapat ditunjukkan sehingga dapat memiliki drainase yang terjadi di jugularis dan
mengembalikan darah ke vena femoralis, seperti yang dilihat dalam kedua kasus ini. Akan
memiliki darah beroksigen bahkan sebelum darah itu mengalir memasuki atrium kanan, jika
kita menggunakan salah satu kanula Lumen Ganda lalu akan mengembalikan darah tersebut
kembali melalui kanula yang sama di jugularis. Disini kita memiliki di dalam vena cava yang
akan menjadi kateter lumen ganda dan akan melewati lorong melewati atrium kanan.

Jadi kita akan menggunakan ECMO pada pasien yang menderita gagal jantung atau
pernafasan parah yang memiliki risiko kematian tinggi. Kita akan mempertimbangkan
ECMO pada pasien yang memiliki kematian 50% dan akan diindikasikan untuk pasien
dengan 80% atau lebih. Dan kemudian pada pasien ini salah satu dari tiga situasi berbeda
harus ada baik menjadi;

1. Kondisi reversible
2. Atau menggunakan ECMO sebagai jembatan ke perangkat
3. Atau menggunakan ECMO sebagai jembatan untuk transplantasi
ECMO bukan jenis pengobatan yang akan memperbaiki masalah mendasar apapun,
namun hanyalah sebagai bentuk penyangga hidup yang akan memberikan waktu bagi
kesembuhan pasien untuk sembuh secara alami sehingga kita bisa lepas atau dalam kasus
perangkat semacam transplantasi untuk memberi kita waktu agar dapat melakukan implan
untuk bisa mendapatkan transplantasi organ.
Sekarang kita akan bahas beberapa alasan mengapa akan menggunakan ECMO untuk
dukungan pernafasan. Jadi dalam kasus VV ECMO tiga alasan utama mengapa akan
menggunakannya adalah untuk:
1. Gagal pernapasan hipoksemia
2. Gagal pernapasan hiperkapnia
3. Atau sebagai jembatan untuk transplantasi paru-paru
Jadi dalam kasus di mana jika memiliki pasien dalam gagal napas hipoksemia dapat
mempertimbangkannya jika kita melihat rasio pf kurang dari 150 dan akan diindikasikan
untuk mereka dengan rasio apf kurang dari 100.
Untuk kasus gagal napas hiperkapnia adalah pasien yang memiliki dampak pada pH
kurang dari dari 7,2 serta ketika jenis lain dari sistem ventilasi standar yang gagal dilakukan
untuk pasien ini.
Dan kemudian untuk kasus sebagai jembatan ke transplantasi paru-paru adalah pasien
yang memiliki penyakit parah, sindrom kebocoran udara seperti fistula bronkopulmonalis,
luka memar paru, status cedera pernafasan asma, serta kegagalan cangkok setelah
transplantasi paru.
Sekarang kita bahas mengenai beberapa alasan mengapa akan menggunakan ECMO
VA untuk dukungan jantung. Kita akan melihat hal ini untuk:
1. pasien yang mengalami syok kardiogenik
2. refraktori Serangan Jantung yang juga dikenal sebagai ECPR
3. juga merupakan jembatan ke salah satu perangkat atau transplantasi jantung
Kasus syok kardiogenik refrakter jika kita memiliki dua atau lebih inotropik dan atau
alat jantung.
Dalam kasus perawatan ECPR, jika kita tidak memiliki rosc yang muncul setelah 10
menit dan kita bisa mendapatkannya dikanulasi dalam waktu kurang dari 60 menit.
Dan kasus sebagai jembatan ke perangkat akan menjadi semacam alat bantu ventrikel
Dipenuhi oleh jantung buatan total, serta transplantasi jantung. Ini merupakan beberapa
kondisi umum yang akan membawa pasien menjadi syok kardiogenik, kardiomiopati
dekompensasi akut, pembaruan PE, depresan jantung, sepsis dengan depresi jantung yang
parah, syok anafilaksis dan gagal cangkok akut setelah transplantasi jantung. Jadi itu adalah
beberapa alasan mengapa akan diakukan ECMO.
Sekarang kita akan bahas beberapa hal yang akan menjadi kontraindikasi untuk
ECMO adalah seperti;
1. Usia lanjut
2. Memiliki semacam disfungsi neurologis yang parah
3. Penyakit penyerta yang signifikan seperti kanker metastasis, Sirosis, atau gagal ginjal
kronis
4. Pasien dalam gagal multi-organ
5. Memiliki semacam penyakit non-reversibel tanpa jembatan sebagai pilihan bagi mereka
6. Memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulasi
7. Obesitas morbid
Beberapa kondisi khusus yang akan mencegah pasien mendapatkan VV ECMO
adalah hal-hal seperti; hipertensi paru parah kronis jika sudah mengalami ventilasi mekanis
berkepanjangan dengan tekanan tinggi dan fio2 tinggi selama lebih dari 7 hari, serta suntikan
lanjutan dan untuk VA ECMO akan menjadi hal-hal seperti Advanced Syok, inkompentesi
katup aorta, diseksi aorta.

Anda mungkin juga menyukai