Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

T DENGAN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI RUANG 5D06 RS UMUM SILOAM
KARAWACI

DISUSUN OLEH:

AGNES ARDHIA GARINI 01501180286


BETHA ABIGAIL ARASTAMI 01501180289
GISELLA OHOIWIRIN 01501180190
ROSARI LISA ELIA RUMONDOR 01501180149
TASYA F TUTUARIMA 01501170442
VANESSA JANTI KAMBEY 01501180152

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan kasih karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus
pendahuluan tentang Asuhan Keperawatan Kepada Tn. H dengan Diabetes
Melitus Tipe 2 di ruangan 5A06 RSUS . Kami juga berterima kasih kepada
clinical educator yang telah membimbing kami dalam mengerjakan laporan
pendahuluan ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan pendahuluan ini
tidak sempurna baik dari segi bahasa, penyusunan, dan penulisan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan koreksi bagi kami untuk lebih baik lagi.
Laporan ini diharapkan membantu kelompok dalam meningkatkan
kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa Diabetes Melitus.
Karawaci, 17 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 3
1.1 Latar Belakang................................................................................. 3
1.2 Tujuan Penulisan.............................................................................. 4
1.2.1 Tujuan Umum..................................................................... 4
1.2.2 Tujuan Khusus................................................................... 4
1.3 Manfaat Penulisan ......................................................................... 4
1.3.1 Manfaat Bagi Mahasiswa ................................................ 4
1.3.2 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan................................... 5
1.3.3 Manfaat Bagi Penulis...................................................... 5
1.4 Sistematika Penulisan.................................................................... 5
BAB II KONSEP TEORI........................................................................ 6
2.1 Tinjauan Teoritis Medis............................................................... 6
2.1.1 Definisi........................................................................... 6
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus........................................... 7
2.1.3 Etiologi............................................................................. 9
2.1.4 Anatomi dan Fisiologi...................................................... 12
2.1.5 Patofisiologi...................................................................... 16
2.1.6 Manifestasi Klinis............................................................ 22
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik................................................... 25
2.1.8 Penatalaksanaan Medis.................................................... 27
2.1.9 Komplikasi ...................................................................... 34
2.1.10 Prognosis ......................................................................... 37
2.1.11 Tinjauan Teoritis Keperawatan........................................ 37
a. Pengkajian Keperawatan........................................... 37
b. Diagnosa Keperawatan.............................................. 40
c. Rencana Asuhan Keperawatan.................................. 40
BAB III TINJAUAN KASUS................................................................. 48
3.1 Pengkajian Keperawatan........................................................... 48

1
3.2 Diagnosa Keperawatan............................................................... 63
3.3 Implementasi Keperawatan........................................................ 68
BAB IV PEMBAHASAN KASUS....................................................... 74
BAB V PENUTUP................................................................................. 76
5.1 Kesimpulan................................................................................ 76
5.2 Saran.......................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 77

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya (Perkeni, 2015).
Secara global, diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes
pada tahun 2014, dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980. Prevalensi
diabetes di dunia (dengan usia yang distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali
lipat sejak tahun 1980, meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang
dewasa. Hal ini mencerminkan peningkatan faktor risiko terkait seperti kelebihan
berat badan atau obesitas. Selama beberapa dekade terakhir, prevalensi diabetes
meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan rendah dan menengah daripada di
negara berpenghasilan tinggi (WHO Global Report, 2016).
Menurut data WHO Indonesia menempati urutan keempat pada tahun 2000
dengan total 8,4 juta penduduk yang menderita diabetes melitus setelah India,
China, dan Amerika Serikat, dan di estimasikan pada tahun 2030 total penduduk
yang akan menderita diabetes di Indonesia akan mencapai 21,3 juta. Berdsarkan
hasil Riskesdas tahun 2018 prevalensi diabetes melitus berdasarkan pemeriksaan
gula darah pada penduduk umur lebih dari 15 tahun mengalami peningkatan dari
tahun 2013-2018 meningkat dari 6,9% hingga 8,5%. Prevalensi diabetes melitus
berdasarkan diagnosis dokter meningkat dari umur 25-24 tahun hingga 65-74 tahun
dan menurun setelah umur 65-74 tahun. Perempuan memiliki prevalensi yang lebih
besar dibanding laki-laki yaitu 1,8 %, sedangkan laki-laki hanya 1,2 %. Prevalensi
penduduk perkotaan 1,9% sedangkan pedesaan 1,0%.
Pada tahun 2018, prevalensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter
pada Penduduk Umur ≥15 Tahun menurut Provinsi, tercatat prevalensi diabetes

3
melitus di provinsi Banten sebesar 2,2 %, meningkat dari tahun 2013 yang hanya
1,5 % (Riskesdas, 2018). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi
maupun yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di empat
kabupaten/kota yang sama, yaitu Kota Cilegon 2,2% dan 2,8%, Kota Tangerang
1,8% dan 2,5%, Kota Tangerang Selatan 1,7% dan 1,9% dan Kabupaten Tangerang
1,4% dan 1,7% (Riskesdas, 2013).
Masalah Diabetes Melitus memerlukan perhatian dan penanaganan yang tepat,
maka dari itu penulis merasa mahasiswa keperawatan perlu mengetahui dan
memahami konsep dan ketrampilan dalam menangani pasien Diabetes Melitus.
Sehingga penulis mengharapkan dengan makalah ini dapat membantu pemahaman
mahasiswa keperawatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam
penyakit Diabetes Melitus.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan pada Ny.
T usia 53 tahun dengan diagnosa medis Diabetes Melitus tipe II yang
dirawat di ruang D04 lantai 5 RSU Siloam Karawaci.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar teori Diabets Melitus
mulai dari definisi, klasifikasi, etiologi, anatomi dan fisiologi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan medis dan keperawatan,
komplikasi, prognosis, serta patofisiologi dari Diabetes Melitus.
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan
Diabetes Melitus.
3. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan yang tepat
pada pasien Diabetes Melitus.
4. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan yang tepat
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang diangkat pada pasien
Diabetes Melitus.
5. Mahasiswa mampu mengimplementasikan dan mengevaluasi
asuhan keperawatan yang diberikan.

4
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui, membantu serta
mengembangkan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
Diabetes Melitus.
1.3.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan Institusi Pendidikan dapat bermanfat dalam menambah
ilmu tentang Diabetes Melitus.
1.3.3 Bagi Penulis
Diharapkan dari hasil penulisan ini dapat menambah pengetahuan
yang baru mengenai Diabetes Melitus.
1.4 Sistematika Penulisan
Bab I berisi tentang pendahuluan yang di dalamnya menguraikan
latar belakang masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II tentang konsep dasar teoritis menguraikan tentang landasan
teori medis dan teori keperawatan.
Bab III tinjauan kasus berisi hasil pengkajian yang telah dilakukan
di RS.
Bab IV penutup berisi kesimpulan dan saran yang sifatnya
membangun untuk bahan peninjauan selanjutya.

5
BAB II

KONSEP DASAR TEORITIS


2.1 Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1 Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), diabetes melitus
merupakan penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari
insulfisiensi fungsi insulin, yang dapat disebabkan oleh gangguan
produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2013,
diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
adanya hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak mampu
mensekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya. Dapat
terjadi kerusakan jangka panjang dan kegagalan pada berbagai organ
seperti mata, ginjal, saraf, jantung, serta pembuluh darah apabila dalam
keadaaan hiperglikemia kronis.
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing
manis. DM adalah penyakit gangguan metabolik yang terjadi secara
kronis atau menahun karena tubuh tidak mempunyai hormon insulin
yang cukup akibat gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin yang
tidak bekerja sebagaimana mestinya atau keduanya (Kemenkes RI, 2014)
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit menahun atau kronis
yang ditandai oleh hiperglikemia, yaitu kadar glukosa darah melebihi
nilai normal. Kata “diabetes” artinya mengalir terus, sedangkan

6
“Melitus” artinya manis. Disebut diabetes karena penderitanya selalu
minum dalam jumlah banyak (polidipsia), kemudian mengalir terus
berupa urin. Disebut “Melitus” karena urin penderita penyakit ini
mengandung gula (glukosa). (Dr. Ir Diah Krisnatuti, 2014)
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
karena adanya masalah pada produksi atau aksi dari insulin, ataupun ke-
2 nya sebagaimana mestinya. Dengan penderita yang mengalami
polidipsia dan produksi urin yang mengandung glukosa.
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Berdasarkan WHO (1980) Diabetes Melitus (DM) dibagi menjadi 2:
1) Insulin-Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
IDDM disebut juga Juvenile Diabetes merupakan penyakit
autoimun yang menyangkut infiltrasi sel mononuclear dari pulau
kecil pankreas (insulitis), kerusakan dari sel β dan tidak
memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup.
2) Non Insulin-Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
Pada NIDDM ini Insulin dalam tubuh penderita tidak bekerja
dengan baik.

b. Berdasarkan Perkumpulan Endokrin Indonesia (2002) DM dibagi


menjadi:

1) DM tipe 1
Diabetes Melitus Tipe 1 ini merupakan diabetes yang pertama kali
dikenal dulu disebut Insulin- de umumnya timbul sebelum
penderita berumur 40 tahun. Presentasi kejadian DM tipe 1 ini
sekitar 5-10 %. Pada tipe ini penderita mengalami kerusakan sel-
sel pulau langerhans pada pankreas yang memproduksi insulin dan
umumnya disebabkan oleh gangguan sistem kekbalan tubuh yang
disebut autoimun dan juga diduga berhubungan dengan faktor
genetik. Tingkat glukosa rata- rata untuk pasien DM tipe 1 ini harus

7
sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl). Beberapa
dokter menyarankan samapai pada 140-150 mg/dl untuk yang
bermasalah dengan angka yang lebih rendah. Diabetes tipe 1 ini
hanya diobati dengan penggunaan insulin. Pengawasan tingkat
glukosa darah dilakukan secara teliti melalui alat monitor
pengujian darah. Tanpa insulin, akan terjadi ketoasidosis dan
diabetic ketoacidosis sehingga bisa menyebabkan koma, bahkan
kematian.
2) DM tipe 2
DM tipe 2 ini dulu disebut Non Insulin-Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM) atau diabetes yang tidak bergantung pada
insulin. DM tipe 2 ini lebih sering terjadi jika dibandingkan dengan
DM tipe 1. Diabetes jenis ini umumnya terjadi setelah berumur 40
tahun. Presentase kejadiannya sekitar 90-95%. Dm tipe ini awalnya
diatasi dengan meningkatkan aktivitas fisik, pengaturan makanan,
dan pengurangan berat bada. Tujuannya untuk mengembalikan
kepekaan hormon insulin. Dan jika diperlukan pemberian obat
antidiabetes.
3) Gestasional Diabetes
Diabetes ini adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang
timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya
sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui
menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua. 18 Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun
umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan
meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita
yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk

8
menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang
ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
4) Diabetes tipe lain
Ada juga diabetes sekunder atau akibat dari penyakit lain, yang
mengganggu produksi insulin atau memengaruhi kerja insulin.
Seperti diabetes neonatal, adanya penyakit cystic fibrosis,
pengaruh obat atau pasca transplantasi.

2.1.3 Etiologi
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat
bekerja secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan
atau keduanya. Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3
hal yaitu pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena
pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang
kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
(Fatimah, 2015).
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :

9
a. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM )
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran
sel-sel beta pankreas disebabkan oleh :
1) Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi
suatu predisposisi / kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM
tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen
HLA ( Human Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi
dan proses imun lainnya.
2) Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/ NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor
genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang
berhubungan yaitu :
1) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.
Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas untuk memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008,
hlm. 73).
2) Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami

10
hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi
insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban
metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi
energi sel yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin, 2008,
hlm.73).
3) Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada
kembar non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali
lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama)
yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak
seperti diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen
HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2
tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif, masing-masing
memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan. (Robbins, 2007, hlm. 67).
4) Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan
meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas.
Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga
berdampak pada penurunan insulin. ( Smeltzer and Bare,1996, hlm.
610).
5) Kebiasaan Merokok
Penelitian Will et al (2010) menemukan bahwa pria yang merokok
40 batang bahkan lebih per hari reikonya 45% lebih tinggi terkena
DM tipe 2 dibandingkan yang tidak merokok. Pada perempuan
resikonya sekitar 74 %. Merokok dapat mengakibatkan
peningkatan sementara kadar glukosa darah. Merokok dapat
merusak sensitivitas organ dan jaringan terhadap aksi insulin.

11
Nikotin dapat meningkatkan kadar hormon seperti kortisol yang
dapat mengganggu efek insulin (Ko dan Cockram, 2005)
6) Infeksi
Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas mengakibatkan
rusaknya sel-sel pankreas yang berakibat pada penurunan fungsi
pankreas. Infeksi virus tertentu dapat merangsang produksi hormon
tertentu yang dapat secara tidak langsung berpengaruh pada kadar
gula darah. (Tandra, 2008)
7) Pola Makan Yang Salah
Kurang gizi ataupun kelebihan berat badan sama-sama memiliki
resiko terkea DM. Malnutrisi dapat merusak Pankreas sendangkan
obesitas dapat meningkatkan gangguan kerja dan resistensi insulin.
Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga dapat
menyebabkan ketidakstabilan kerja pankreas.
c. Diabetes Gestasional
Diabetes pada ibu hamil ini terjadi karena produksi beberapa hormon
pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin.
d. Diabetes tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat
disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat
kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM.

2.1.4 Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi

12
1) Pankreas
Pankreas adalah kelenjar berwarna abu-abu yang beratnya
sekitar 60 gram. Panjangnya sekitar 12 hingga 15 cm, berada di
regio epigastrik dan hipokondriak rongga abdomen. Pankreas
terdiri atas bagian kepala yang luas, badan, ekor, yang sempit.
Kepala berada di lengkung duodenum, badan berada di belakang

13
lambung, sedangkan ekor berada di depan ginjal kiri dan
menyentuh limpa. Aorta abdomen dan vena kava inferior berada di
belakang kelenjar. (Nurachmah, 2017)
Pankreas memiliki kelenjar eksokrin dan endokrin. Pankreas
eksokrin terdiri atas banyak lobulus yang tersusun dari alveolus
berukuran kecil, yang dindingnya terdiri atas sel sekresi. Tiap
lobulus dialiri oleh duktus berukuran kecil dan lobus ini menyatu
akhirnya membentuk duktus pankreatik yang memanjang di
sepanjang kelenjar dan bersambung ke duodenum. Tepat sebelum
masuk ke duodenum, duktus pankreatik bergabung dengan duktus
biliaris komunis membentuk ampula hepatopankreatik. Pintu
ampula di duodenum dikendalikan oleh sfingter hepatopankreatik
(Oddi). (Nurachmah, 2017)

2) Pulau Pankreas
Sel yang menyusun pulau pankreas ( Langerhans )
ditemukan dalam kelompok yang tersebar tidak beraturan pada
substansi pankreas. Tidak seperti pankreas eksokrin yang
menghasilkan getah pankreatik, tidak ada duktus yang berasal dari
kumpulan sel Langerhans. Hormon pankreas disekresi secara
langsung ke aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Ada tiga
jenis sel di pulau Langerhans yaitu. (Nurachmah, 2017)
a) Sel α ( alfa ) yang menyekresi glukagon
b) Sel β (beta) yang menyekresi insulin
c) Sel ϒ (gama) yang menyekresi somatostatin
Kadar glukosa darah normal adalah 3,5-8 mmol/liter (63-
144 mg/100 ml). Kadar glukosa darah dikendalikan oleh hormon
insulin (menurunkan kadar glukosa darah) dan glukagon
(meningkatkan kadar glukosa darah). (Nurachmah, 2017)
a. Fisiologi
1) Pankreas

14
Fungsi kelenjar eksokrin adalah menghasilkan getah
pankreas yang mengandung enzim yang memecah karbohidrat,
protein, dan lemak. Seperti saluran cerna, stimulasi saraf
parasimpatis meningkatkan sekresi getah pankreas dan stimulasi
saraf simpatis bekerja sebaliknya. (Nurachmah, 2017)

Kelenjar pankreas yang tersebar berada dalam kelompok sel-


sel khusus yang disebut pulau pankreas (Langerhans). Pulau ini
tidak memiliki duktus (saluran) sehingga hormon berdifusi secara
langsung ke dalam darah. Kelenjar pankreas menyekresi hormon
insulin dan glukagon, yang pada dasarnya berhubungan dengan
pengendalian kadar glukosa darah. (Nurachmah, 2017)

2) Pulau pankreas
a) Insulin
Fungsi utama insulin adalah menurunkan kadar nutrien
darah, khususnya glukosa, tetapi juga asam amino dan asam
lemak. (Nurachmah, 2017) Insulin bekerja pada membran sel,
merangsang ambilan dan penggunaan glukosa oleh sel otot serta
jaringan ikat. Meningkatkan pengubahan glukosa menjadi
glikogen (glikogenesis), khususnya di hati dan otot rangka.
Mempercepat ambilan asam amino oleh sel dan sintesis protein.
Meningkatkan sintesis asam lemak dan penyimpanan lemak di
jaringan adiposa (lipogenesis). Mengurangi glikogenesis (
pemecahan glikogen menjadi glukosa). Mencegah pemecahan
protein dan lema, serta glukoneogenesis ( pembentukan gula
dari sumber selain karbohidrat, misal protein)
Sekresi insulin distimulus oleh peningkatan kadar glukosa
darah dan sedikit stimulasi parasimpatis, peningkatan kadar
asam amino dan asam lemak, serta hormon gastrointestinal,
misal gastrin sekretin, dan kolesistokinin. Sekresi diturunkan
oleh stimulasi saraf simpatis, glukagon, adrenalin, kortisol, dan

15
somatostatin (GHRIH) yang disekresi oleh pulau Langerhans.
(Nurachmah, 2017)
Insulin adalah hormon anabolik (pembentuk) utama tubuh
dan memiliki berbagai efek lain selain menstimulasi transpor
glukosa insulin juga meningkatkan transpor asam amino ke
dalam sel menstimulasi sintesis protein dan glukosa insulin yang
menghambat glukoneogenesis, sintesa glukosa ke tubuh kita,
membangun protein, dan mempertahankan kadar glukosa
plasma rendah. (Corwin, 2001, hlm. 620).
b) Glukagon
Glukagon yang di[roduksi oleh sel α di pankrean berfungsi
untuk perubahan glikogen menjadi glukosa di hati dan otot
rangka (glikogenolisis). Glikogen yang disimpan dalam hati bisa
bertahan 8-10 jam. Apabila tidak digunakan dalam tempo yang
ditentukan maka simpanan ini akan berubah menjadi lemak.
(Mahendra, 2008, hlm. 1). Untuk Glukoneogenesis,sekresi
glukagon distimulasi oleh kadar glukosa darah dan latihan fisik,
serta diturunkan oleh somatostatin dan insulin. (Nurachmah,
2017)
c) Somatostatin
Hormon ini berfungsi untuk menghambat sekresi hormon
insulin dan glukagon selain menghambat sekresi hormon
pertumbuhan (GH) dari hipofisis anterior (Nurachmah, 2017)
2.1.5 Patofisiologi
a. DM tipe 1
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi
otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan
lain sebagainya. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans
kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel

16
δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel δ memproduksi 14 hormon somatostatin. Namun
demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1.
Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan
lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD)
ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai
positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA,
titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD
merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi
risiko tinggi. Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di
atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan,
antara lain IAA (AntiInsulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar
40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat
dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin
inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM
Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas
pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita
DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel
α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan
sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1

17
mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi
insulin.
Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi
glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula
dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita
DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada
penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun
defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,
namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin
yang diberikan.
Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari
lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di
dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan
perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain
akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin
juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan
sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang
membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di
jaringan adiposa.
b. DM tipe 2
Patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1) Resistensi Insulin
2) Disfungsi sel B pancreas

18
Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin
Substrate) sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama
GLUT 4 yang mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa
kejaringan yang menyebabkan penumpukan glukosa darah yang pada
akhirnya akan menimbulkan hiperglikemia atau meningkatnya kadar
gula darah dalam tubuh. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “resistensi insulin” (Cheng D, 2007). Resistensi insulin
banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta
penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-
sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari
DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi
lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM
tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
1) Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2) Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

19
3) Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1) Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2) Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa
keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
3) Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.
4) Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5) Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1

20
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6) Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-
α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7) Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-
2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa

21
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8) Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
dan bromokriptin.
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali
akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen.

2.1.6 Manifestasi Klinis


Tiga gejala klasik DM adalah 3P yaitu: Poliuria ( Sering kencing),
Polidipsia (Sering merasa kehausan), dan Polifagia (Sering merasa
lapar). Jika kadar gula darh lebih tinggi dari normal, ginjal akn
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa.
Oleh karena ginjal menghasilkan urin dalam jum;lah berlebihan makanya
penderitanya sering berkemih. Akibat lebih lanjutnya penderita
merasakan haus yang yang berlebihan sehingga banyak minum. Selain
itu penderita juga mengalami penurunan berat badan untuk
mengompensasikan hal tersebut penderita sering merasakan lapar yang
luar biasa sehingga banyak makan.
Gejala DM lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan
berkurangnya ketahanan dalam melakukan olahraga. Selain itu penderita
diabetes yang tidak terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Tanda-tanda

22
pasti DM adanya kenaikan kadar gula darah lebih dari normal. Pada
Individu normal kadar gula darah dalam keadaan puasa berkisar 60-80
mg/dl, sedangkan setelah makan (postprandial) 120-160 mg/dl.
a. Gejala Khusus Penderita DM tipe 1
Gejala yang timbul pada penderita DM tipe 1 secara tiba-tiba dan
bisa berkembang dengan cepat kedalam suatu keadaan yang disebut
ketoasidosis diabetikum. Penyebabnya adalah kadar gula dalam darah
yang tinggi namun, sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula
tanpa insulin sehingga sel mengambil energi dari sumber yang lain,
seperti lemak. Sel lemak yang dipecah akan menghasilkan keton yang
merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awalnya adalah:
1) Rasa haus berlebih
2) Berkemih yang berlebihan
3) Mual
4) Muntah
5) Lelah
6) Nyeri perut
7) Pernapasan dalam dan cepat
8) Bau napas seperti aseton

23
b.Gejala Khusus DM tipe 2

24
Penderita Dm tipe 2 pada awalnya tidak menunjukkan gejala sampai beberapa
tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah timbulah gejala berupa:
1) Sering berkemih
2) Sering Haus
3) Jika kadar gula darah sangat tinggi sampai 1.000 mg/dl bisa mengalami
dehidrasi berat yang menyebabkan:
a) Kebingungan mental
b) Pusing
c) Kejang
d) Koma hiperglikemik-hiperosmolar nonketotik
4) Kesemutan
5) Gatal
6) Mata kabur
7) Impoten (Pria)
8) Pruritus Vulvae (wanita)
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik
Dinyatakan DM apabila terdapat :
a. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena ) ≥ 200 mg/dl, ditambah
dengan gejala klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan
yang tidak jelas sebabnya
b. Kadar glukosa darah puasa ( plasma vena ) ≥ 126 mg/dl
c. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau
beban glukosa 75 gram pada TTGO.
Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria
diagnosis kadar glukosa darah puasa. Ketiga kriteria diagnosis tersebut
harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain atau esok harinya, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang
menurun cepat. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok
tersebut dibawah ini (Committe Report ADA-2006 ).
a. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )

25
b. Obesitas BB ( kg ) > 110% BB ideal atau IMT > 25 ( kg/m2 )
c. Tekanan darah tinggi ( > 140/90 mmHg )
d. Riwayat DM dalam garis keturunan
e. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus
berulang
f. Riwayat DM pada kehamilan
g. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl )
h. Pernah TGT ( Toleransi Glukosa Terganggu ) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT )

26
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik
ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: 1. Menjaga agar kadar
glukosa plasma berada dalam kisaran normal 2. Mencegah atau
meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. The
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan diabetes (Tabel 5).

27
a. Terapi Tanpa Obat
1) Pengaturan Diet Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein
dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
a) Karbohidrat : 60-70%
b) Protein : 10-15%
c) Lemak : 20-25% 25

28
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c
sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM),
dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-
4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga
sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan,
namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak
diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung
lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat
membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita
DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar
umumnya kaya akan vitamin dan mineral.
2) Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga
kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan
adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,

29
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa
contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini
paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului
dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-
10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.

b.Terapi Obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah
raga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita,
maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan
terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi
insulin, atau kombinasi keduanya.
1) Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM
Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas
penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.
Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat
insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar
penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun
hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral.

30
(IONI, 2000 dan Soegondo, 1995b)

31
(IONI, 2000 dan Soegondo, 1995b)

2) Pemberian Hipoglikemik Oral

32
3) Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa
OHO atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah
antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan
mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan
kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua
golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap
sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya
mempunyai efek saling menunjang. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan obat hipoglikemik oral adalah:

33
a) Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
b) Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut.
c) Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
d) Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal
lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin.
e) Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut
usia, oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang
bekerja jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut
usia.
f) Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.
2.1.9 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Berikut beberapa komplikasi yang sering
terjadi dan harus diwaspadai.
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita
merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam
(pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung
meningkat, sampai hilang Gambar 2. Kurva toleransi glukosa normal
dan pada penderita DM Tipe 1. Garis titik-titik menunjukkan kisaran
kadar glukosa darah normal. DM Tipe 1 23 kesadaran. Apabila tidak
segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50
mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan
gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl.
Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak
tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan

34
dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes
tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang
pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada
penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada
penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi,
meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.
Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi
apabila penderita:
1) Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
2) Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh
dokter atau ahli gizi
3) Berolah raga terlalu berat
4) Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari
pada seharusnya
5) Minum alcohol
6) Stress
7) Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan
apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan
penyebabnya adalah:
1) Dosis insulin yang berlebihan
2) Saat pemberian yang tidak tepat
3) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga
anaerobik berlebihan
4) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu
terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak
secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress,
infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai

35
dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue),
dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia
dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat memperburuk
gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi,
dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,
antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan
(HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian.
Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang
ketat.
c. Komplikasi Makrovaskuler
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada
penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart
disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit
pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD).
Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe
1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini
adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi,
dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit
komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain
Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic
Syndrome, atau Insulin Resistance Syndrome
d. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes
tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang
terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah
menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada
pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong
timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain
retinopati, nefropati, dan neuropati.

36
Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang
yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko
komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat
untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi)
dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan
untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi
mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang
ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin
multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan
monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko
timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60%.

2.1.10 Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh
pasien dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol
glikemik ketat (HbA1c < 7%), tanpa disertai riwayat gangguan
kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan mikrovaskuler serta
makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika
pasien memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita
diabetes lama (≥ 15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih
singkat, walaupun telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun
(Khardori, 2017). DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas
karena dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit
ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati),
dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif
untuk pencegahan DM (Khardori, 2017).

2.1.11 Tinjauan Teoritis Keperawatan


a. Biodata

37
1. Identitas pasien : nama, usia, pekerjaan, pendidikan, alamat, suku,
2. diagnosa medis.
3. Identitas penanggung jawab : nama, usia, pekerjaan, pendidikan,
hubungan dengan pasien.
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama biasanya pasien mengeluh badan terasa lemas
disertai penglihatan yang kabur. Muncul keluhan banyak kencing
(poliuria) tetapi pasien belum menyadari kalau itu adalah tanda
penyakit diabetes melitus.
2. Riwayat penyakit biasanya yang dominan adalah poliuria, seering
lapar dan haus, dan sebelumnya penderita memiliki berat badan
berlebih.
3. Riwayat kesehatan dahulu : Diabetes dapat terjadi saat kehamilan
saja dan biasanya tidak dialami setelah melahirkan.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Diabetes dapat menurun menurut
silsilah keluarga yang mengidap diabetes karena kelainan gen yang
mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik
akan disampaikan informasinya pada keturunan berikutnya.
(Vitahealth, 2004:34).
c. Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi kesehatan : tanyakan riwayat kesehatan pasien dan
persepsi klien dan keluarga mengenai pentingnya kesehatan .
2. Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum pasien, jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi, nafsu makan.
3. Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama
sakit , mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari,
konstipasi, beser.
4. Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul
keringat dingin, kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah
aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.

38
5. Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
6. Pola persepsi kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan
mengetahui tentang penyakitnya
7. Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau
perasaan tidak percaya diri karena sakitnya.
8. Pola reproduksi dan seksual
9. Pola mekanisme dan koping : emosi, ketakutan terhadap
penyakitnya, kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas.
10. Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis, interaksi ,
komunikasi, cara berkomunikasi
11. Pola keyakinan dan spiritual : agama pasien, gangguan beribadah
selama sakit, ketaatan dalam berdo’a dan beribadah.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tanda-tanda vital pasien (peningkatan suhu,
takikardi), kelemahan akibat sisa reaksi obat anestesi.
2. Sistem pernapasan Ada gangguan dalam pola napas pasien, biasanya
pada pasien post pembedahan pola pernafasannya sedikit terganggu
akibat pengaruh obat anesthesia yang diberikan di ruang bedah dan
pasien diposisikan semi fowler untuk mengurangi atau menghilangkan
sesak napas.
3. Sistem kardiovaskuler Denyut jantung, pemeriksaan meliputi
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada permukaan jantung,
tekanan darah dan nadi meningkat.
4. Sistem pencernaan Pada penderita post pembedahan biasanya ada
rasa mual akibat sisa bius, setelahnya normal dan dilakukan
pengkajian tentang nafsu makan, bising usus, berat badan.
5. Sistem muskuloskeletal Pada penderita ulkus diabetic biasanya
ada masalah pada sistem ini karena pada bagian kaki biasannya jika
sudah mencapai stadium 3 – 4 dapat menyerang sampai otot. Dan

39
adanya penurunan aktivitas pada bagian kaki yang terkena ulkus
karena nyeri post pembedahan.
6. Sistem intregumen Turgor kulit biasanya normal atau menurun
akibat input dan output yang tidak seimbang.
Menurut NANDA (2015) dan Kusuma (2015):
Diagnosa Keperawatan/ Rencana Keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervwnsi
Resiko ketidakseimbangan NOC NIC
elektrolit b/d gejala ❖ Fluid balance Fluid managemen
poliuria dan dehidrasi ❖ Hydration 1. Timbang popok atau
❖ Nutritional status : food and fluid pembalut jika
❖ Intake diperlukan
Kriteria hasil : 2. Pertahankan cacatan
❖ Mempertahankan urine intake dan output
output sesuai dengan usia yang akurat
dan BB, BJ urine normal, 3. Monitor status hidrasi
HT normal ( kelembapan
❖ Tekanan darah, nadi, suhu membran mukosa,
tubuh dalam batas normal nadi adekuat, tekanan
❖ Tidak ada tanda-tanda darah ortostatik ), jika
dehidrasi, elastisitas tugor diperlukan
kulit baik, membran mukosa 4. Monitor bital sign
lembab, tidak ada rasa haus 5. Monitor masukan
yang berlebihan. makanan atau cairan
dan hitung intake
kalori harian
6. Kolaborasikan
pemberian cairan IV
7. Monitor status nutrisi

40
8. Berikan cairan IV
pada suhu ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berika pengganti
nesogatric sesuai
output
11. Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
12. Tawarkan snek ( jus
buah, buah segar )
13. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul memrburuk
14. Atur kemungkinan
transfusi
15. Persiapan untuk
transfusi
Hipovolemia
managemant
1. monitor status
cairan termasuk
intake dan output
cairan
2. pelihara IV line
3. monitor tingkat Hb
dan hematokrit
4. monitor respon
pasien terhadap
penambahan cairan
5. monitor BB

41
6. dorong pasien
untuk menambah
intake oral
7. pemberian cairan
IV monitor adanya
tanda dan gejala
kelebihan volume
cairan
8. monitor adanya
tanda gagal ginjal
Ketidakseimbangan NOC NIC
nutrisi kurang dari ❖ Nutritional status : food and fluid 1. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh b/d intake makanan
gangguan keseimbangan ❖ Nutritional status : nutrien intake 2. Kolaborasi dengan
insulin, makanan dan ❖ Weight control ahli gizi untuk
aktivitas jasmani Kriteria hasil : menentukan junlah
❖ adanya peningkatan berat kalori dan nutris
badan sesuai dengan yang dibutuhkan
tujuan pasien
❖ BB ideal sesuai dengan 3. Anjurkan pasien
tinggi badan untuk meningkatkan
❖ Mampu mengidentifikasi intake FE
kebutuhan nutrisi 4. Anjurkan pasien
❖ Tidak ada tanda-tanda untuk meningkatkan
malnutrisi protein dan vitamin
❖ Tidak ada tanda-tanda C
malnutrisi 5. Berikan substansi
❖ Menunjukan peningkatan gula
fungsi pengecapan dari 6. Yakinkan diet yang
menelan dimakan
mengandung tinggi

42
❖ Tidak terjadi penurunan serat untuk
berat badan yang berarti mencegah
konstipasi
7. Berikan makanan
yang terpilih
1. ( sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi
8. Ajarkan pasien
bagaimana
membuat catatan
makanan harian
9. Monitor jumlah
nutrisi dan
kandungan kalori
10. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
11. Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition monitoring
1. BB pasien dalam
batas normal
2. Monitor adanya
penurunan BB
3. Monitor tipe dan
jumlah aktivitas
yang dilakukan

43
4. Monitor interaksi
anak dan orang tua
selama makan
5. Monitor lingkungan
selama makan
6. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam makan
7. Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
8. Monitor turgorkulit
9. Monitor kekeringan
rambut kusam dan
mudah patah
10. Monitor mual dan
muntah
11. Monitor kadar
albumin,Hb,dan
kadar HT
12. Monitor
pertumbuhan dan
perkembangan
13. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
14. Monitor kalori dan
intake nutrisi

44
15. Catat adanya
edema, hiperemik,
hipertonik, papila
lida dan kavitas oral
16. Catat jika lidah
berwarna magenta,
scarlet
Ketidakefektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer b/d ❖ Sirculation status Peripheral sensation
penurunan sirkulasi ❖ Tissue perfution : cerebra management
darah ke perifer, proses Kriteria hasil : 1. Monitor adanya
penyakit Mendemonstrasikan status sirkulasi daerah tertentu yang
yang ditandai dengan: hanya peka terhadap
❖ Tekanan sistole dan panas/ dingin/
diastole dalam rentang tumpul
yang diharapkan 2. Monitor adanya
❖ Tidak ada ortostatik paretese
hipertensi 3. Instruksikan
❖ Tidak ada tanda-tanda keluarga untuk
peningkatan tekanan intra mengobservasi kulit
kranial ( tidak lebih dari 15 jika ada isi atau
mmHg) laserasi
Mendemonstrasikan kemampuan 4. Gunakan sarung
kognitif yang ditandai dengan : tangan untuk
❖ Berkomunikasi dengan proteksi
jelas dan sesuai dengan 5. Batasi gerakan pada
kemampuan kepala, leher dan
❖ Menunjukan perhatian, punggung
konsentrasi dan orientasi 6. Monitor
❖ Memproses informasi kemampuan BAB

45
❖ Membuat keputusan 7. Kolaborasi
dengan benar pemberian analgetik
Menunjukan fungsi sensori 8. Monitor adanya
motorik kranial yang utuh : tromboplebitis
❖ Tingkat kesadaran 9. Diskusikan
membaik, tidak ada mengenai penyebab
gerakan involunter perubhan sensasi

Resiko ketidakstabilan NOC : NIC


- Glukosa darah tidak ada deviasi - Monitor kadar glukosa
kadar gula darah
dari kisaran normal darah sesuai indikasi
- Urin glukosa tidak mengalami - Monitor tanda dan
deviasi dari kisaran normal gejala hiperglikemia :
polyuria, polidipsi,
Kriteria Hasil : polifagia
• Hiperglikemia - Monitor tanda dan
- Peningkatan urin tidak ada gejala hipoglikemia :
- Kehilangan berat badan yang perubahan pada tingkat
tidak bisa dijelaskan tidak kesadaran, kulit lembab
ada dan dingin, nadi cepat,
- Mulut kering tidak ada adanya rasa lapar dan
- Peningkatan glukosa darah sakit kepala
tidak ada - Observasi tanda-tanda
• Hipoglikemia vital
- Gemetar tidak ada - Monitor status cairan
- Berkeringat tidak ada (intake-otput) sesuai
- Kelemahan tidak ada kebutuhan
- Kejang tidak ada - Identifikasi
- Koma tidak ada kemungkinan penyebab
❖ Penurunan kadar glukosa darah terjadinya
hiperglikemia dan
tidak ada hipoglikemia
Berikan cairan IV sesuai
indikasi
Kerusakan Integritas NOC : NIC
Kulit - Integritas jaringan : kulit dan - Anjurkan pasien
membrane mukosa memakai pakaian
Batasan karakteristik : - Akses hemodialysis longgar
- Kerusakan lapisan kulit Kriteria hasil : - Hindari kerutan pada
(dermis) - Integritas kulit yang baik bisa tempat tidur pasien
dipertahankan - Jaga kebersihan kulit

46
- Gangguan permukaan - Tidak ada luka pada kulit - Mobilisasi pasien (ubah
kulit (epidermis) - Perfusi jaringan baik posisi pasien) setiap 2
Faktor yang berhubungan - Terjadinya cedera berulang jam sekali
: - Mampu melindungi kulit dan - Oleskan lotion pada
• Eksternal mempertahankan kelembaban daerah yang tertekan
- Zat kimia, radiasi kulit Monitor status nutrisi
- Usia yang ekstrim ❖
pasien
- Kelembaban
- Hipertermia,
hipotermia
- Lembab
- Imobilitas fisik
• Internal
- Perubahan status
cairan
- Perubahan
pigmentasi
- Penurunan
imunologis
- Kondisi gangguan
metabolic
Gangguan sensasi
Resiko infeksi b.d NOC : NIC
- Status imun - Cuci tangan sebelum
diabetes mellitus
- Pengetahuan : kontrol infeksi dan sesudah tindakan
- Kontrol resiko keperawatan
Kriteria Hasil : - Pertahankan lingkungan
- Bebas dari tanda dan gejala yang aseptik selama
infeksi pemasangan alat
- Mendeskripsikan proses - Monitor tanda dan
penularan penyakit, faktor gejala infeksi sistemik
yang mempengaruhi penularan dan lokal
serta penatalaksanaannya 2 Kolaborasi memberikan
- Menunjukkan kemampuan terapi antibiotik
untuk mencegah timbulnya
infeksi
- Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukan perilaku hidup sehat

47

Anda mungkin juga menyukai