Anda di halaman 1dari 63

TINJAUAN KASUS PEMENUHAN KEBUTUHAN

NYAMAN : NYERI DENGAN DIABETES MELITUS


DI RUANG MAWAR RSUD Dr.R SOETIJONO
BLORA

DISUSUN OLEH
MENIK PUJIANTI,S.Kep.
NIP. 19680526 1988803 2 004

RSUD Dr. R. SOETIJONO BLORA


Jl. Dr.Soetomo No. 42 Telp. (0296) 531118, 531839 Fax 531504
E-Mail : rsublora@yahoo.co.id

2018
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “TINJAUAN KASUS PEMENUHAN KEBUTUHAN NYAMAN
: NYERI DENGAN DIABETES MELITUS DI RUANG MAWAR RSUD Dr.R
SOETIJONO BLORA”
Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kami, kami juga mengambil
beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam
proses pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penulisan maupun pembahasan dalam makalah ini, sehingga belum begitu
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki kekurangan- kekurangan tersebut
sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Blora Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DATAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................... 5
C. Manfaat ................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori ........................................................................... 7
B. Konsep Asuhan Keperawatan............................................ 16
C. Konsep Nyeri...................................................................... 23
D. Perawatan Luka Modern Dengan Hidrogel ........................ 32
BAB III LAPORAN KASUS
A. Pengkajian........................................................................... 37
B. Diagnosa............................................................................. 38
C. Intervensi............................................................................. 38
D. Evaluasi.............................................................................. 40
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pembahasan....................................................................... 43
B. Pengkajian.......................................................................... 44
C. Diagnosa............................................................................ 45
D. Intervensi............................................................................ 46
E. Evaluasi.............................................................................. 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................... 50
B. Saran................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA 67

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan
yang besar. Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita
diabetes mellitus pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika
tidak ada tindakan yang dilakukam, jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030. Diabetes mellitus telah
menjadi penyebab dari 4,6 juta kematian. Selain itu pengeluaran biaya
kesehatan untuk diabetes mellitus telah mencapai 465 miliar USD.
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan bahwa sebanyak
183 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Sebesar
80% orang dengan DM tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Pada tahun 2006, terdapat lebih dari 50 juta orang yang
menderita DM di Asia Tenggara. Jumlah penderita DM terbesar berusia
antara 40-59 tahun (IDF, 2011).
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM
adalah masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya
peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki diabetes,
kenaikan 4 kali lipat darI 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada
tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada
penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta
penderita (IDF, 2015).
Menurut WHO tahun 2013 sebanyak 80% penderita DM di dunia
berasal dari negara berkembang salah satunya adalah Indonesia.
Peningkatan jumlah penderita DM yang terjadi secara konsisten
menunjukkan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang
perlu mendapat perhatian khusus dalam pelayanan kesehatan di
masyarakat.
Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia sebesar 10,0 juta jiwa,
dimana peringkat pertama diduduki oleh China dengan jumlah penderita
DM 109,6 juta jiwa (IDF, 2015). Berdasarkan hasil rekapitulasi data
penyakit tidak menular dinas kesehatan Jawa Tengah tahun 2015, DM
menempati urutan kedua terbanyak yaitu sebesar 18,33% dari 603.840

1
kasus. Di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 Diabetes Melitus
sebesar 18,33% mengalami peningkatan di banding pada tahun 2014
sebesar 16,53%. Prevalensi untuk jawa tengah menurut diagnosis
tenaga kesehatan sebesar 1,3% secara keseluruhan adalah 1,9%,
prevalensi terbesar terjadi di Kabupaten Cilacap (3,9 %), diikuti Tegal
(3,1%), Surakarta (2,8%), Pemalang (2,1%) dan terendah Kota Salatiga
(0,8%) (Dinkes Jateng, 2015). Berdasarkan data rekam medis RSUD
Dr.Moewardi, jumlah pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang menjalani
rawat jalan pada tahun 2013 sebanyak 8.118 pasien. Pada tahun 2014
sebanyak 8.091 pasien, pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai
Oktober pasien Diabetus Melitus rawat jalan di RSUD Dr.Soetijono Blora
sebanyak 850 pasien.
Pertambahan jumlah pasien DM dan komplikasinya disebabkan oleh
perubahan pola hidup masyarakat yang semakin tidak sehat (Soegondo
dkk,2009). Menurut Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
prevalensi penderita DM pada tahun 2013, (2,1%) mengalami
peningkatan dibandingkan pada tahun 2007 (1,1%). Angka kejadian DM
di Jawa Tengah sebesar 1,6 % dan menempati urutan kelima dari
seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
Upaya pemerintah dalam menangani penyakit DM lebih
memprioritaskan upaya preventif dan promotif, dengan tidak
mengabaikan upaya kuratif, serta dilaksanakan secara integrasi dan
menyeluruh antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1575 tahun 2005, dibentuk Direktorat
Pengendalian Penyakit Menular yang mempunyai tugas pokok
memandirikan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor
risiko penyakit tidak menular (Depkes, 2010).
Melihat bahwa diabetes mellitus akan memberikan dampak terhadap
kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang
cukup besar, maka sangat diperlukan program pengendalian diabetes
mellitus tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2 bisa dicegah, ditunda
kedatangannya atau dihilangkan dengan mengendalikan faktor resiko
(Kemenkes, 2010). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya menyatakan bahwa demografi, faktor perilaku dan gaya
hidup, serta keadaan klinis atau mental berpengaruh terhadap kejadian
DM Tipe 2 (Irawan, 2010). Berdasarkan analisis data Riskesdas tahun
2007 yang dilakukan oleh Irawan, didapatkan bahwa prevalensi DM

2
tertinggi terjadi pada kelompok umur di atas 45 tahnun sebesar 12,41%.
Analisis ini juga menunjukan bahwa terdapat hubungan kejadian DM
dengan faktor risikonya yaitu jenis kelamin, status perkawinan,
tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang, dan umur.
Sebesar 22,6 % kasus Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1); Jan 2013 7 DM
Tipe 2 di populasi dapat dicegah jika obesitas sentral diintervensi
(Irawan, 2010).
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduaduanya dan jika glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl, glukosa plasma puasa >140 mg/dl (PERKENI, 2011).
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah (hyperglikemia) sebagai akibat dari
kekurangan sekresi insulin atau keduanya (Smeltzer, et al.2008).
Diabetes tipe 1 adalah tubuh sangat sedikit atau tidak mampu
memproduksi insulin akibat kerusakan sel beta pankreas ataupun
adanya proses autoimun. Umumnya DM tipe 1 menyerang di usia anak-
anak dan remaja. Diabetes tipe 2 adalah hasil dari gangguan sekresi
insulin progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. DM tipe
spesifik lain terjadi sebagai hasil kerusakan genetik spesifik sekresi
insulin dan pergerakan insulin ataupun pada kondisi-kondisi lain.
Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi selama kehamilan
(ADA, 2013)
DM terjadi bila insulin yang dihasilkan tidak cukup untuk
mempertahankan gula darah dalam batas normal atau jika sel tubuh
tidak mampu berespon dengan tepat sehingga akan muncul keluhan
khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, penurunan berat badan,
kelemahan,kesemutan, pandangan kabur, dan disfungsi ereksi pada laki-
laki dan pruritus vulvae pada wanita (Soegodo, Soewondo & Subekti,
2009). Di Indonesia, angka kematian akibat luka pada penderita
Diabetes Mellitus berkisar antara 17-32%, sedangkan angka amputasi
berkisar antara 15-30% (Maidina, 2012). Ulkus diabetika adalah salah
satu bentuk komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan
kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Prevalensi
penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, dengan angka
amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan

3
sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% (Oktoberlani,
2013). Bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada luka diabetik adalah
bakteri yang menghasilkan biofilm. Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa. Adanya biofilm
pada dasar luka dapat menghambat aktivitas fagositosis neutrofil
polimorfonuklear dalam proses penyembuhan luka (Abidin, 2013).
Hidrogel adalah jaringan polimer hidrofilik yang terikat silang dan
memiliki kapasitas mengembang (swelling) dengan menyerap air atau
cairan biologis namun tidak larut karena adanya ikatan silang. Sesuai
dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan akan bahan baru yang
dapat diaplikasikan di bidang kesehatan, aplikasi hidrogel pada beberapa
tahun belakangan ini diteliti dan dikembangkan untuk aplikasi di bidang
biomedis. Salah satu aplikasi hidrogel dengan prospek yang menjanjikan
adalah untuk pembalut luka. Hal ini didasarkan pada sifat fisik dari
hidrogel yaitu
kemampuannya dalam menahan air dan bersifat sebagai pembasah
permukaan (Erizal, 2008).
Penatalaksanaan luka merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka. Dimana penatalaksanaan
luka yang tepat dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
luka serta membantu luka untuk beregenerasi. (Wahyuni, 2018). Dalam
perawatan luka ada 3 hal yang harus diperhatikan : mencuci area luka,
mengambil jaringan mati atau autolitik dan memilih topikal/dressing yang
tepat. Kelembaban akan mempercepat proses reepitelisasi pada ulkus.
Keseimbangan kelembaban ulkus meningkatkan proses autolisis dan
granulasi. Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang menjaga
kelembaban kulit (Tarwoto, 2012).
Lingkungan fisiologis yang kondusif dapat diperoleh dari bentuk
sediaan yang digunakan untuk perawatan luka. Bentuk sediaan
perawatan luka sebaiknya mampu memberikan lingkungan yang lembab.
Lingkungan yang lembab akan mencegah dehidrasi jaringan dan
kematian sel, dan mempercepat angiogenesis. Oleh karena itu,
diperlukan tambahan terapi dengan bentuk sediaan yang ditujukan untuk
luka hiperglikemia salah satunya adalah sediaan hidrogel. Hidrogel untuk
penggunaan dermatologi secara umum mempunyai sifat tidak
berminyak, mudah menyebar, dan mudah dibersihkan (Yuliana, 2012).

4
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menyusun
Karya Tulis Ilmiah dengan judul “TINJAUAN KASUS PEMENUHAN
KEBUTUHAN NYAMAN : NYERI DENGAN DIABETES MELITUS DI
RUANG MAWAR RSUD Dr.R SOETIJONO BLORA”
”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.

2. Tujuan Khusus
1) Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.
2) Menetapkan diagnosis keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.
3) Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.
4) Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.
5) Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien diabetes
mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri
diRSUD Dr.Soetijono Blora.

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam praktik
keperawatan tentang penanganan pasien dengan diabetes
mellitus dan juga sebagai informasi atau penjelasan tentang
asuhan keperawatan diabetes mellitus.
2. Manfaat Praktis

5
1) Bagi Perawat
Meningkatkan kompetensi dan kemampuan perawat dalam
mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien diabetes
mellitus.
2) Bagi Rumah Sakit
Penerapan teori dalam bentuk pelayanan kesehatan yang
dapat digunakan sebagai masukan dalam mengambil
kebijakan untuk meningkatkan kualitas atau mutu asuhan
keperawatan di rumah sakit.
3) Bagi Klien
Dapat meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang
bagaimana menangani masalah diabetes mellitus dengan
tindakan yang benar sehingga masalah diabetes mellitus
teratasi dan kebutuhan kenyamanan pasien terpenuhi.

6
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori
1. Konsep Diabetes Melitus
a. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya dan jika
glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa plasma puasa >140
mg/dl (PERKENI, 2011).
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah (hyperglikemia)
sebagai akibat dari kekurangan sekresi insulin atau keduanya
(Smeltzer, et al.2008).
b. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut Rohmad (2015), berdasarkan pengetahuan mengenai
patogenesisnya, yaitu diabetes mellitus tipe I dan tipe II.
1) Diabetes mellitus tipe I
Merupakan diabetes mellitus yang bergantung pada
insulin. Pasien diabetes mellitus tipe I menghasilkan sedikit
insulin atau tidak sama sekali menghasilkan insulin. Diabetes
mellitus tipe I disebabkan oleh destruksi sel beta pula
Langerhans akibat proses autoimun. Pada diabetes mellitus tipe
I terjadi kerusakan pada sel beta pankreas yang diperkirakan
terjadi akibat kombinasi faktor genetik, imunologi dan
mungkin infeksi. Sebagian besar diabetes tipe I terjadi sebelum
usia 30 tahun, tetapi bisa terjadi pada semua usia. Faktor
lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi pada masa anak-
anak atau dewasa awal menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkan sel penghasil insulin. Pada diabetes tipe I ini,
90% sel beta penghasil insulin mengalami kerusakan permanen.
Terjadi kekurangan insulin yang berat dan pasien harus
mendapatkan insulin secara teratur.

7
2) Diabetes mellitus tipe II
Diabetes mellitus tipe II disebabkan karena kegagalan relatif
sel beta pulau Langerhans dan turunya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta
tidak mampu mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya.
Pasien diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan
sensitivitan terhadap kadar glukosayang berakibat pada
pembukaan kadar glukosa tinggi. Diabetes mellitus tipe II dapat
terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi
setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes mellitus tipe
II adalah obesitas dan diabetes mellitus tipe II cenderung
diturunkan.

c. Diabetes mellitus tipe lain


Diabetes mellitus tipe lain ini merupakan diabetes yang
berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain, misalnya
defek genetik sel beta pankreas, penyakit infeksi seperti
pankreasitis, kelainan hormonal, atau penggunaan obat-obat
seperti glukokortiloid.

3) Diabetes mellitus gestasional


Diabetes mellitus gestasional terjadi pada wanita yang
tidak mengalami diabetes mellitus sebelum keehamilan.
Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Setelah melahirkan kadar glukosa
darah pada wanita yang menderita diabetes mellitus
gestasional akan kembali normal.

3. Etiologi Diabetes Mellitus


Merurut Sudoyo dkk (2009) penyebab DM diantaranya:
a. DM tipe I
Diabetes yang tergantung pada insulin ditandai dengan
penghancuran sel beta pankreas yang disebabkan oleh:

8
1) Faktor genetik penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu
sendiri, tetapi mewarisi predisposisi atau kecenderungan
genetik kearah terjadinya diabetes tipe I.
2) Faktor imunologi (autoimun).
3) Faktor Lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang menyebabkan ekstruksi sel
beta.

b. DM tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin.
Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya
diabetes tipe II : usia, obesitas riwayat keluarga.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembedahan
dibagi menjadi 3 yaitu:
• <140 mg/dL (normal)
• 140-<200 mg/dL (toleransi glukosa terganggu)
• ≥200 mg/dL (diabetes)

4. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Beberapa Gejala klasik diabetes sebagai berikut (PERKENI, 2011) :
a. Sering berkemih/buang air kecil terutama pada malam hari
(poliuria).
Hal ini terjadi karena ginjal ingin membersihkan kelebihan
glukosa dalam sirkulasi darah sehingga seseorang dengan
gejala seperti ini menjadi lebih sering buang air kecil dan dalam
jumlah yang besar.
b. Merasakan haus berlebih (polidipsia).
Hal ini dikarenakan banyaknya cairan yang dikeluarkan oleh
tubuh sehingga memudahkan seseorang untuk merasakan
haus/dehidrasi.
c. Merasakan lapar yang berlebih (polifagia).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air seni, penderita
mengalami penurunan berat badan. Untuk
mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan
lapar yang luar biasa sehingga menyebabkan penderita DM
dengan gejala ini merasakan lapar yang berlebih.
d. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

9
Geala ini disebabkan karena pankreas mulai rusak. Pankreas
memiliki tugas memproduksi insulin yang digunakan
mengolah glukosa menjadi sumber energi. Karena pankreas
pada penderita diabetes gagal mengolah gula menjadi energi,
maka terjadilah resistensi insulin. Tubuh kemudian akan
mencari sumber energi alternatif dengan membakar cadangan
lemak dalam tubuh. Jika cadangan lemak habis, maka
sasaran selanjutnya adalah otot. Akibatnya bobot tubuh akan
terus menyusut.
e. Lemah badan.
Seseorang dengan gejala seperti ini disebabkan karena
tubuh yang tidak mampu memproses glukosa menjadi
energi.
f. Kesemutan.
Gejala ini terjadi karena pembuluh darah yang rusak,
sehingga darah yang mengalir di ujung–ujung saraf pun
berkurang.
g. Gatal-gatal pada kulit
Jika kadar gula dalam darah tinggi, tubuh akan kehilangan
cairan sehingga kulit mengering. Ini karena tubuh mencoba
mengeluarkan gula melalui air seni. Kulit kering yang
mengelupas menimbulkan rasa gatal pada kulit ini dapat
menyebabkan luka garukan dan infeksi. Selain itu kulit kering
juga dapat nyeri, kemerahan, dan pecah-pecah sehingga
kuman mudah masuk.
h. Penglihatan kabur
Hal ini dikarenakan adanya penyempitan pembuluh darah
kapiler yang disertai dengan perdarahan pada bagian retina.
i. Luka sukar sembuh.
Luka sukar sembuh adalah efek lain dari kerusakan pembuluh
darah dan saraf selain kesemutan. Kerusakan ini
mengakibatkan penderita diabetes tidak merasakan sakit jika
mengalami luka. Mereka bahkan kadang tidak sadar telah
terluka. Gabungan kadar gula darah yang tinggi dan tidak
adanya rasa nyeri, maka luka yang awalnya kecil dapat
membesar menjadi borok dan bahkan membusuk. Jika sudah

10
sampai tahap ini, amputasi merupakan satu-satunya jalan keluar
atau solusi untuk menyembuhkannya.

5. Patofisiologi
Pankreas, yang disebut kelenjar ludah parut, adalah
kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang lambung.
Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans
yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin yang
sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya
glukosa kedalam sel. Untuk kemudian didalam sel glukosa
dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada,
maka glukosa tidak dapat masuk kedalam sel yang akan
mengakibatkan glukosa tetap berada dipembuluh darah yang
artinya kadar glukosa dalam darah meningkat. Dalam keadaan
ini badan akan menjadi lemah karean tidak ada energi didalam
sel. Inilah yang terjadi pada penderita penyakit diabetes
melitus tipe I.
ada keadaan diabetes melitus tipe 2, jumlah insulin bisa
normal, bahkan lebih banyak, tetapi jumlah reseptor
(penangkap) insulin dipermukaan sel kurang. Reseptor insulin
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam
sel. Pada keadaan diabetes tipe 2, jumlah lubang kuncinya
kurang sehingga walaupun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka
glukosa yang masuk kedalam sel sedikit sehingga sel
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam
darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan
keadaan DM tipe I, bedanya adalah pada DM tipe 2 juga bisa
ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih tetapi kualitasnya
kuraang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk ke
dalam sel. Di samping penyebab sel sehingga gagal
digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolisme energi
(Alfiyah, 2011).

11
6. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
a. Menurut Smeltzer, et al, (2008) penatalaksanaan diabetes
melitus adalah :
1) Manajemen Diet
Tujuan umum penatalksanaan diet pasien DM antara
lain :mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
dan lipid mndekati normal, mencapai dan mempertahankan
berat badan dalam batas – batas normal atau ± 10 % dari
berat badan idaman, mencegah komplikasi akut dan kronik,
seta meningkatkan kualitas hidup (Sudoyo, 2009).

2) Latihan Fisik (Olahraga)


Olahraga mengaktifasi ikatan ikatan insulin dan
reseptor insulin di membran plasma sehingga dapat
menurunkan kadar glukosa darah. Latihan fisik yang rutin
memelihara berat badan normal dengan indeks massa tuguh
(BMI) ≤25. Manfaat latihan fisik adalah menurunkan kadar
glikosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa
oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki
sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah
yaitu meningklatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan
kadar kolesterol total serta trigliserida (Sudoyo, 2009).
Semua maafaat ini penting bagi pasien DM mengingat
adanya peningkatan rasio untuk terkena penyakit
kardiovaskuler pada diabetes (Smeltzer, et al, 2008). Pada
studi yang lain di katakan bahwa pada pasien DM tipe II
terjadi penurunan kapasitas mitokondria pasda otot skeletal
yang menyebabkan resiko gangguan fisik dan aktivitas fisik
atau olahraga dapat memperbaiki kondisi tersebut
(Damayanti, 2015).

3) Pemantauan (Monotoring) kadar gula darah


Pemantauan kadar gula darah secara mandiri atau
self – monitoring blood glukosa (SMGB) memungkinkan
untuk mendeteksi dan mencegah hiperglikemia atau
hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi komplikasi

12
diabetik jangka panjang. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan
bagi pasien dengan penyakit DM yang tidak stabil,
kecenderungan untuk mengambil ketosis berat,
hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa gejala ringan.
Kaitannya dengan pem,berian insulin, dosis insulin yangt
diperlukan pasien ditentukan oleh kadar glukosa darah yang
akurat. SMBG telah menjadi dasar dalam memberikan terapi
insulin (Smeltzer, et al, 2008).
Beberapa hal harus di monitir secara berkala adalah glukosa
darah, glukopsa urine, keton darah,. Selain itu juga,
pengkajian tambahan seperti cek brat badan secara reguler;
pemeriksaan fisik tratur, dan pendidikan tentang diit,
kemampuan monitoring diri, injeksi, pengetahuan umum
tentang diabetes dan perubahan – perubahan tentang
diabetes (Damayanti, 2015).

4) Terapi Farmakologi
Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula
darah normal atau mendekati normal. Pada DM tipe II,
insulin terkadang diperlukan sebagai terapi jangka panjang
untuk mengendalikan kadar glukosa drah jika dengan diet,
latihan fisik dan obat hipoglikemia oral (OHO) tidak dapat
menjaga gula dalam rentang normal. Pada pasien DM tipe II
kadang membutuhkan insulin secara temporer selama
mengalami sakit, infeksi, kehamilan,pembedahan atau
beberapa kejadia stess lainnya (Smeltzer, et al, 2008).

5) Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan pada pasien DM diperlukan
karena penatalaksanaan DM memerlukan perilaku
penanganan yang khusus seumur hidup. Pasien tidak belajar
ketrampilan untuk merawat diri sendiri guna menghindari
fluktural kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga
harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Pasien
harus mengerti mengenai nutrisi, manfaat dan efek samping
terapi, latihan, perkembangan penyakit, strategi

13
pencegahan, teknik pengontrolan gula darah dan
penyesuaian terhadap terapi (Smeltzer, et al.2008).

b. Menurut Wijaya & Putri (2013) penatalaksanaan pada luka atau


gangren diabetikum antara lain:
1) Pengobatan
Pengbatan dari gangrene diabetik sangat dipengaruhi oleh
derajat dalamnya ulkus, apabila dijumpai ulkus yang dalam
harus dilakukan pemeriksaan untuk memeriksa kondisi ulkus
dan besar kecilnya debridemen yang akan dilakukan.

2) Perawatan Luka Diabetik


a) Mencuci luka
Cairan yang terbaik dan teraman untuk mencuci luka
adalah yang non toksik pada proses penyembuhan luka,
misalnya NaCl 0,9% (Wijaya & Putri 2013).
b) Debridement
Debridement adalah pembuangan jaringan nekrosis atau
slough pada luka (Wijaya & Putri 2013).
c) Terapi antibiotika
Pemberian antibiotika biasanya diberikan peroral yang
bersifat penghambat kuman gram positif dan gram negatif
(Wijaya & Putri 2013).
d) Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang penting
yang berperan dalam penyembuhan luka (Wijaya & Putri
2013).
e) Pemilihan Jenis Balutan
Jenis balutan yang digunakan dapat berupa balutan
modern atau konvensional tergantung kondisi luka. Jenis
balutan modern yang digunakan yaitu balutan alginat,
balutan foam, balutan hidropolimer, balutan hidrofiber,
balutan hidrokoloid, balutan hidrogel, balutan transparan
film, balutan absorben. Jenis balutan konvensional yang
digunakan yaitu kassa, antiseptik, dan antibiotik
(Kristianto, 2010).

14
7. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi yang terjadi pada pasien DM yaitu komplikasi akut
dan komplikasi menahun (ADA, 2013).
a. Makroangiopati
1) Penyakit arteri coroner
Perubahan ateroklerotik dalam pembuluhbn darah artei
coroner yang dapat menyebabkan peningkatan insiden
infark miokard (ADA, 2013).
2) Vaskuler periver
Mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan
klaudasio intermiten (nyeri pada pantat atau saat berjalan).
Gangguan veskuler periver lama kelamaan akan
menyebabkan ganggren (Parkeni, 2011).
Penderita diabetes beresiko dus kali lipat untuk terkena
penyakit cebrovaskuler seperti stroke dan TIA (transient
ischemic attack) (Parkeni, 2011).

b. Mikroangiopati
1) Ranitopati Diabetik terjadi karena perubahan dalam
pembuluh darah kecil pada retina retinopati diabetic (ADA,
2013).
2) Nefropati diabetik nefroti diabetik disebabkan oleh
huioertensi dan kadar glukosa plasma yang tinggi,
sehingga terjadi kerusakan kapiler glomerulus dan
peningkatan membrane (Parkeni, 2011).
3) Neuropati diabetic terjdi krena hilangnya sensasi pada
bagian terjauh. Terjadi karena adanya penambahan
membran bisalis kapiler (ADA, 2013).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Hidayat tahun 2014, pengkajian adalah langkah awal dari
tahap proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus
memperhatikan data dasar dari klien, untuk informasi yang diharapkan
dari klien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis
(individu, keluarga, komunitas) terdiri atas data subjektif dari

15
seseorang atau kelompok, dan data objektif dari pemeriksaan
diagnostik dan sumber lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat
kesehatan (data subjetif) dan pemeriksaan fisik (data objektif).
Menurut Padila (2012) fokus pengkajian pada pasien dengan
Diabetes Melitus meliputi :
a. Identitas pasien/biodata
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal
lahir, umur, asal suku bangsa, nama orangtua, pekerjaan
orangtua, penghasilan.
b. Keluhan utama
Keluhan yang di rasakan pertama kali oleh pasien
c. Riwayat penyakit sekarang
Kajian pertama kali klien merasakan sakit sampai dibawa kerumah
sakit, keluhan yang dirasakan klien
d. Riwayat Kesehatan keluarga
Adakah riwayat penyakit keturunanan pada generasi terdahulu
e. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berapa lama pasien menderita Diabetes Melitus, bagaimana
penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana
cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan pasien untuk menanggulangi penyakitnya.
f. Aktivitas/Istirahat
Terdapat gejala lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot,
tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat.
g. Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi, AMI, kebas, kesemutan pada
ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama,
takikardi, perubaha tekanan darah.

h. Integritas Ego
Stress, tergantung dengan orang lain, ansietas.
i. Eliminasi
Perubahan pola kemih (poliuria, nokturia, anuria), diare, pucat,
abdomen keras, adanya ansietas, bising usus lemah dan
menurun.
j. Makanan/cairan

16
Nafsu makan menurun, mual/muntah, tidak mengikuti diet, penurunan
berat badan, haus di tandai dengan kulit kering/bersisik, turgor
kulit jelek, muntah, nafas bau aseton.
k. Neurosensori
Adanya gejala pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan
pada otot, parestesia, gangguan penglihatan. Ditandai adanya
disorientasi, mengantuk, letargi.
l. Nyeri atau Kenyamanan
Abdomen tegang atau nyeri di tandai wajah meringis dengan
palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
m. Pernafasan
Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum,
frekuensi nafas meningkat.
n. Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus ditandai demam, menurunnya rentan
gerak, parestensial/paralis otot.
o. Seksualitas
Infeksi vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang manusia
terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau
kerentanan respon dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau
komunitas (Herdman, 2015).
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(00002)
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (00204)

c. Kerusakan integritas jaringan (00044)


d. Nyeri akut (00132)
e. Resiko infeksi (00004)

Intervensi keperwatan merupakan serangkaian tindakan untuk


mencapai setiap tujuan khusus. Intervensi keperawatan meliputi
:perumusan tujuan, tindakan dan penilaian rangkaian asuhan
keperawatan (Triyana, 2013).

17
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002).
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.

2) NOC :
a) Adanya peningkatan berat badan sesuai tujuan.
b) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
c) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
d) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
e) Meunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.
f) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.

3) NIC
a) Monitor status nutrisi
b) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
c) Ajarkan klien membuat catatan makanan harian yang
sesuai dengan kondisi klien.
d) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan nutrisi
yang sesuai dengan kondisi klien.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (00204)


: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1) Tujuan 3x24

jam, diharapkan sirkulasi perifer tetap normal.

2) NOC :

a) Denyut nadi perifer teraba kuat dan regular

b) Warna kulit sekitar luka tidak pucat dan sianosis

c) Sensorik dan motorik membaik

d) TTV dalam rentan normal

TD : 100-130/70-80 mmHg

N : 60-80 x/menit

RR : 16-24 x/menit

18
S : 36,5-37,50C

3) NIC
a) Monitor TTV
b) Inspeksi alat balutan, perhatikan jumlah dan karakteristik
balutan
c) Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa
hindari makanan tinggi kolesterol
d) Kolaborasi pemberian cairan parentral

c. Kerusakan intregritas jaringan (00044)


1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, diharapkan masalah kerusakan integritas jaringan
dapat berkurang.
2) NOC:
a) Perfusi jaringan normal
b) Tidak ada tanda-tanda infeksi
c) Ketebalan dan tekstur jaringan normal
d) Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

3) NIC
a) Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka,
jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi
fraktus
b) Mobilisasi pasiensetiap dua jam sekali
c) Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
d) Ajarkan ke keluarga tentang luka dan perawatan luka

e) Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKTP (tinggi kalori


tinggi protein)

d. Nyeri Akut (00132)


: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1) Tujuan 3x24

jam, diharapkan nyeri teratasi atau berkurang.

19
2) NOC :

a) Mampu mengontrol nyeri


b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakaan menejeman nyeri
c) Mampu mengenali nyeri
d) Menyatakan rasa nyaman setalah nyeri berkurang

3) NIC
a) Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan
rasa nyeri dada tersebut.
b) Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada
serangan dan istirahat.
c) Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, misal; nafas
dalam, pijat, perilaku distraksi, visualisasi, atau
bimbingan imajinasi.
d) Monitor tanda-tanda vital ( Nadi& tekanan darah ) tiap dua
jam.
e) Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian
analgetik.

e. Resiko infeksi (00004)


1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, diharapkan tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) NOC :
a) lien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b) Jumlah leukosit dalam rentan normal (4000-10.000/mm3)
c) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya
infeksi

3) NIC
a) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
b) Ajarkan cara menghindari infeksi
c) Lakukan perawatan luka jika terdapat ulkus diabetik
d) Dorng masukan nutrisi yang cukup, masukan cairan,
istirahat
e) Kolaborasi pemberian antibiotik

20
4. Implementasi
Setelah rencana keperawatan tersusun, selanjutnya
diterapkan tindakan yang nyata untuk mencapai hasil yang di
harapkan berupa berkurangnya atau hilangnya masalah. Pada
tahap implementasi ini terdiri atas beberapa kegiatan yaitu
validasi rencana keperawatan, menuliskan atau
mendokumentasikan keperawatan serta melanjutkan
pengumpulan data (Mitayani, 2009).

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan akhir dari proses
keperawatan dimana perawat menilai hasil yang diharapkan
terhadap masalah dan menilai sejauh mana masalah dapat
diatasi. Disamping itu, perawat yang memberikan umpan balik
atau pengkajian ulang seandainya tujuan yang di tetapkan
belum tercapai, maka dalam hal ini proses keperawatan dapat
di modifikasi (Mitayani, 2009).

C. Luka Diabetikum (Ulkus Diabetikum)


1. Definisi Ulkus
Ulkus dapat didefinisikan sebagai adanya luka atau rusaknya
bagian kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis
(Fortuna, 2018).Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau
selaput lendir dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai
invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan
ulkus yang berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala
klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer (Wijaya dan
Putri, 2013).

Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Wijaya dan
Putri, 2013).

2. Etiologi

21
Etiologi ulkus diabetik biasanya memiliki banyak komponen meliputi
neuropati sensori perifer, trauma, deformitas, iskemia, pembentukan
kalus, infeksi, dan edema. Sedangkan menurut Oguejiofor, Oli, dan
Odenigbo selain disebabkan oleh neuroati perifer (sensorik, motorik,
otonom) dan penyakit pembuluh darah perifer (makro dan mikro angiopati)
faktor lain yang berkontribusi terhadap kejadian ulkus kaki adalah
deformitas kaki (yang dihubungkan dengan peningkatan tekanan pada
plantar), gender laki-laki, usia tua, kontrol gula darah yang buruk,
hiperglikemia yang berkepanjangan dan kurangnya perawatan kaki
(Yunus, 2015)

3. Manifestasi Klinis
Menurut Wijaya & Putri (2013), gangren diabetikum akibat mikroangiopatik
disebut juga gangren panas walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah
dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian
distal . Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah,
sedangkan secara akut emboli membrikan gejala klinis 5 P yaitu :
1. Pain (nyeri)
2. Paleness (kepucatan)
3. Paresthesia (kesemutan)
4. Pulselessness (denyut nadi hilang)
5. Paralysis (lumpuh)

Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari
fontaine :
1. Stadium I : asimptomatis atau gejala
tidak khas (kesemutan)
2. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten

3. Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat


4. Stadium IV : terjadinya kerusakan
jaringan karena anoksia (ulkus)

1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka
atau ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan

22
sensasi vibrasi/rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri
dorsalis pedis menurun atau hilang (Yunus, 2015).
2. Pemeriksaan vaskular
Tes vaskuler noninvasive: pengukuran oksigen transkutaneus,
ankle brachial index (ABI), absolute toe systolic pressure. ABI: tekanan
sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan. (Wijaya dan Putri, 2013).
3. Pemeriksaan Penunjang : X-ray, EMG dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Yunus, 2015).
4. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah
puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil
dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis kuman.
(Wijaya dan Putri, 2013).

D. Konsep nyeri
1. Kebutuhan Rasa Nyaman Nyeri
Kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhi
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu
kepuasanyang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan
(kebutuhan telah terpenuhi),dan transenden (keadaan tentang sesuatu
yang melebihi masalah dan nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara
holistick yang mencakup empat aspek yaitu sebagai berikut.
1) Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
2) Sosial, berhubungan dengan interpersonal, keluarga, dan sosial.
3) Psikospiritual, berhubungan kewaspadaan internal dalam diri
sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna
kehidupan.

23
4) Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman
eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperature, warna, dan
unsur alamiah lainnya (Mubarak dkk, 2015).Meningkatkan
kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telahmemberikan
kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan.
Secara umum, dalam aplikasi pemenuhan kebutuhan rasa
nyaman adalah bebas dari rasa nyeri dan hipotermia/hipertermia.
Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri dan hipotermia/hipertermia
merupakan kondisi yang memengaruhi perasaan tidak nyaman
klien yang ditujukan dengan timbulnya gejala dan tanda pada klien
(Mubarak dkk, 2015).

2. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat
subyektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak &
Chayatin, 2008).
Secara umum, nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan tidak
nyaman baik ringan maupun berat (Mubarak & Chayatin, 2008).

3. Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan lama keluhan atau waktu kejadian, nyeri dibagi
menjadi : a. Nyeri akut
Menurut Federation of State Medical Boards of United
Staters, nyeri akut adalah respons fisiologisnormal yang
diramalkan terhadap rangsangan kimiawi, panas, atau
mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit
akut.
Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan
kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama
dengan proses penyembuhannya, terjadi dalam waktu singkat
dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan.

b. Nyeri kronis
The International Association for Study of Pain (IASP)
mendefinisikan nyeri kronis sebagai nyeri yang menetap
melampaui waktu penyembuhan normal yakni 6 bulan. Nyeri

24
kronis dibedakan menjadi dua yaitu : nyeri nonmaligna (nyeri
kronis persisten dan nyeri kronis intermitten ) dan nyeri kronis
maligna. Karakteristik nyeri kronis tidak dapat di prediksi
meskipun penyebabnya mudah ditentukan, namun pada
beberapa kasus, penyebabnya kadang sulit ditentukan
(Zakiyah, 2015).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


a. Usia
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan
variable penting yang akan mempengaruhi reaksi dan
ekspresi terhadap nyeri (Mubarak & Chayanti, 2008).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi nyeri. Secara umum pria dan wanita tidak
berbeda dalam berespon terhadap nyeri, akan tetapi
beberapa kebudayaan mempengaruhi pria dan wanita dalam
mengekspresikan nyeri, Misalnya seorang pria tidak boleh
menangis dan harus berani sehingga tidak boleh menangis
sedangkan wanita boleh menangis dalam situasi yang sama
(Zakiyah, 2015).
c. Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan
nyeri adalah suatu yang alamiah. Kebudayaan lain
cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup (introvert)
(Mubarak dkk, 2015).
d. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
peningkatan nyeri, sedangkan upaya untuk mengalihkan
perhatian dihubungkan dengan penurunan sensasi nyeri
(Zakiyah, 2015).
e. Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda
apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman, dan tantangan. Makna mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri (Mubarak dkk, 2015)

25
f. Ansietas
Ansietas sering sekali menyertai peristiwa nyeri terjadi.
Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan
mengontrol nyeri atau peristiwa disekelilingnya dapat
memperberat persepsi nyeri (Mubarak & Chayanti, 2008).
g. Mekanisme koping
Klien yang mempunyai lokus kendali internal
mempersiapkan diri mereka sebagai klien yang dapat
mengendalikan lingkungan mereka serta hasil akhir suatu
peristiwa seperti nyeri, klien tersebut juga melaporkan bahwa
dirinya mengalami nyeri yang tidak terlalu berat (Zakiyah,
2015).
h. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin
intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga
meningkatkan sensasi nyeri (Mubarak dkk, 2015).
i. Pengelaman sebelumnya
Seorang klien yang tidak pernah merasakan nyeri,
maka persepsi pertama dapat mengganggu mekanisme
koping terhadap nyeri, akan tetapi pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa klien tersebut akan
dengan mudah menerima pengalaman nyeri pada masayang
akan datang, apabila klien sejak lama mengalami
serangkaian episode nyeri tanpa pernahsembuh atau
menderita nyeri yang berat maka ansietas atau rasa takut
akan muncul (Zakiyah, 2015).

j. Dukungan keluarga dan sosial


Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi,
pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkungan
tersebut dapat memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari
keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu faktor
penting yang mempengaruhi persepsi nyeri individu
(Mubarak & Chayanti, 2008).

4. Pengukuran Skala Nyeri

26
1. Adapun beberapa cara untuk mengukur intensitas nyeri, antara
lain :
a. Menurut Hayward dalam Mubarak dkk (2015)
mengembangkan sebuah alat ukur nyeri (painometer)
dengan skala longitudinal yang pada salah satu ujung nya
tercsntum nilai 0 (untuk tanpa nyeri) dan ujung lainnya niali
10 (kondisi paling hebat). Untuk mengukurnya, penderita
memilih salah satu bilangan yang menurutnya paling
menggambarkan pengalaman nyeri terakhir kali ia rasakan,
dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah grafik yang dibuat
menurut waktu. Mubarakdkk,2015)

b. Skala nyeri McG


Tabel 2.1 Skala Longitudinal

Skala Keterangan

( 0
Skala Tidak nyeri

Skala 1-3 Nyeri ringan

Skala 4-6 Nyeri sedang


Sangat nyeri tapi dapat dikontrol
Skala 7-9 oleh pasien dengan aktivitas biasa

Skala 10 Sangat nyeri dan tidak terkontrol

27
ill (McGill Scale) mengukur intensitas nyeri dengan
menggunakan lima angka, yaitu 0 : tidak nyeri, 2 : nyeri
sedang, 3 : nyeri berat, 4 : nyeri sangat berat, 5 : nyeri hebat

Gambar 2.1 Skala Nyeri McGill (McGill Scale)


(Mubarak dkk, 2015)

c. Bayer,dkk. (1992) untuk mengukur intensitas nyeri pada


anak-anak mengembangkan “oucher”, yang terdiri atas dua
skala terpisah yaitu sebuah skala dengan nilai 0-10 pada sisi
sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dan skala
fotografik enam gambar pada sisi kanan untuk anak-anak
yang kecil

Gambar 2.2 Skala Fotografik


(Mubarak dkk, 2015)

d. Wong-Baker faces rating scale yaitu ditujukan untuk klien


yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan
intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-
anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan
lansia yang mengalami gangguan kognisi dan komunikasi

28
Gambar 2.3 Faces Rating Scale
(Mubarak dkk, 2015)

2. Menurut S. C. Smeltzer dan B. G. Bare dalam Mubarak (2015)


adalah sebagai berikut.
a. Skala intensitas nyeri deskriptif

Gambar 2.4 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif


(Mubarak dkk, 2015)

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat


keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal
(Verbal Descriptor scale - VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri atas tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini
di-ranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”.

b. Skala Penilaian Nyeri Numerik

Gambar 2.5 Skala Penilaian Nyeri Numerik


(Mubarak dkk, 2015)

29
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale-nrs)
lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klie menilai nyeri dengan menggunakan alat skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi terapeutik.

c. Skala analog visual

Gambar 2.6 Skala Analog Visual


(Mubarak dkk, 2015)

Skala analog visual (visual analog scale-vas) tidak


melabel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat mengidentifikasi setiap titip paada
raangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu
angka.

d. Skala nyeri menurut bourbanis

Gambar 2.7 Skala Nyeri Menurut Bourbanis


(Mubarak dkk, 2015)

Keterangan :
0 : tidak nyeri

30
1-3 : nyeri ringan, secara objektif dapat berkomunikasi
dengan baik : nyeri sedang, secara objektif klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukan lokasi nyeri,
dapat mendeskripsikannya dan dapat mengikuti perintah
dengan baik
7-9 : nyeri berat, secara objektif klien tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi (Mubarak dkk, 2015).

4. Penatalaksaan nyeri
1. Farmakologi
Analgesik narkotik : analgesik narkotik terdiri atas berbagai
derivat opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat
memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena
obat ini membuat ikatan dengan reseptor opiat dan
mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf
pusat. Analgesik nonnarkotik seperti aspirin, asitaminofen dan
ibuprofen selain memiliki anti nyeri juga memiliki antiinflamasi
dan antipiretik (Mubarak dkk, 2015).

a. Menurut Zakiyah tahun 2015 intervensi farmakologi untuk


menurunkan nyeri adalah sebagai berikut :
1) Analgesik non opoid
Mekanisme umum dari analgesic jenis ini adalah
memblokir pembentukan prostaglandin dengan jalan
menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka,
sehingga mengurangi mediator pembentukan nyeri.
2) Analgesik opioid
Analgesik opioid merupakan golongan obat yang memiliki
sifat seperti opium atau morfin. Sifat dari analgesik opioid
adalah menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan
fisik.

31
2. Non Farmakologi
Menurut Mubarak tahun 2015 penanganan nyeri
nonfarmakologis terdiri atas : relaksasi progresif (kebebasan
mental dan fisik dari ketegangan stress). stimulasi kutaneus
plasebo, dan tehnik distraksi (mengalihkan perhatian).

D. Perawatan Luka Diabetes Dengan Hidrogel


1. Definisi Hidrogel
Hidrogel adalah salah satu jenis makromolekul polimer
hidrofilik yang berbentuk jaringan berikatan silang, mempunyai
kemampuan mengembang dalam air (swelling), serta memiliki
daya diffusi air yang tinggi. Oleh karena sifat fisik yang khas
tersebut, pada awalnya hidrogel disintesis untuk digunakan
sebagai matriks pengekang/ pelepasan obat, kontak lensa,
immobilisasi enzim dan sel (Erizal, 2008).
Hidrogel dapat didefinisikan sebagai jejaring polimer tiga
dimensi yang dapat menyerap air maupun cairan biologis dan
memiliki kemampuan mengembang tanpa larut di dalam air
(Defader et al. 2009). Berdasarkan sifatnya yang dapat
menyerap air dalam jumlah yang besar dan
biokompatibilitasnya yang baik, hidrogel banyak dimanfaatkan
sebagai penutup luka, sistem pelepasan obat, kosmetik,
maupun pertanian. Hidrogel dapat dibuat menggunakan polimer
sintetik di antaranya polivinil pirolidon, asam poliakrilat, dan
polietilena glikol, maupun polimer alam seperti alginat, kitosan,
karaginan, dan selulosa (Gulrez et al. 2011).

2. Klasifikasi Hidrogel
Menurut Wijayanti tahun 2012 hidrogel dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan:
a. Muatan: netral atau ionik.
b. Struktur fisik jaringan: amorf, semikristalin, struktur
supermolekular, struktur ikatan hidrogen.

c. Metode preparasi: jaringan homopolimer atau kopolimer.


d. Ikat silang: fisika atau kimia.

32
3. Definisi Perawatan Luka
Penatalaksanaan luka merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka. Dimana
penatalaksanaan luka yang tepat dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan luka serta membantu luka
untuk beregenerasi (Wahyuni, 2018).
Dalam perawatan luka ada 3 hal yang harus diperhatikan :
mencuci area luka, mengambil jaringan mati atau autolitik dan
memilih topikal/dressing yang tepat. Kelembaban akan
mempercepat proses reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan
kelembaban ulkus meningkatkan proses autolisis dan granulasi.
Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang menjaga
kelembaban kulit (Tarwoto, 2012)

4. Prosedur Tindakan Rawat Luka


Menurut Kristianto (2010), prosedur tindakan rawat luka
secara umum terbagi menjadi beberapa langkah, yaitu: a.
Pengkajian kondisi luka
Pengkajian luka yang tepat sangat diperlukan dalam
menentukan pilihan intervensi pemilihan balutan dan metode
perawatan yang akan digunakan sehingga diperlukan
observasi secara hati-hati dan deskripsi luka secara akurat
(Kristianto, 2010).

b. Membersihkan luka
Pencucian bertujuan untuk membuang jaringan
nekrosis, cairan luka yang berlebihan, sisa balutan yang
digunakan dan sisa metabolik tubuh pada cairan luka.
Mencuci dapat meningkatkan, memperbaiki dan
mempercepat penyembuhan luka serta menghindari
terjadinya infeksi. Pencucian luka merupakan aspek yang
penting dan mendasar dalam manajemen luka, merupakan
basis untuk proses penyembuhan luka yang baik, karena
luka akan sembuh jika luka dalam keadaan bersih (Usiska,
2015).

33
c. Mengganti balutan
Aplikasi teknik modern dan konvensional terletak pada
saat proses penggantian balutan. Ketika mengangkat balutan
primer dari dasar luka perlu dilakukan secara hati-hati agar
tidak menimbulkan trauma. Pemberian tindakan irigasi
dengan normal salin merupakan salah satu cara untuk
meminimalkan cidera pada luka saat mengganti balutan
(dalam Kristianto, 2010).

5. Perawatan Luka Modern Dengan Hidrogel (Hidrogel dressings)


1. Perbandingan Perawatan Luka Dengan Menggunankan
Hidrogel dan Nacl 0,9 %.
Teknik perawatan luka saat ini sudah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, dimana perawat luka sudah
menggunakan modern dressing. Produk perawatan luka
modern memberikan kontribusi yang sangat besar untuk
perbaikan pengelolaan perawatan luka khususnya pada luka
kronis seperti luka diabetes. Prinsip dari produk perawatan luka
modern adalah menjaga kehangatan dan kelembaban
lingkungan sekitar luka untuk meningkatkan penyembuhan luka
dan mempertahankan kehilangan cairan jaringan dan kematian
sel (Purnomo dkk, 2014).
Dalam penelitian Purnomo dkk, (2014), Romanelli pada
tahun 1998 mengungkapkan bahwa produk modern dressing ini
secara umum dapat dikelompokkan menjadi golongan alginate
foam dan foam film, hydrocolloid dan hydrogel. Pada balutan
lembab yang salah satunya hidrogel menurut penelitian
mengungkapkan tentang kemampuan hydrogel dalam
melakukan debridement jaringan nekrotik dibandingkan dengan
enzimatik debridemen, menunjukkan hidrogel lebih baik dalam
mendebridemen dan jaringan granulasi dapat tumbuh lebih
cepat.
Purnomo dkk, (2014) mengatakan balutan modern
(hidrogel) dapat mengendalikan infeksi lebih baik disbanding
balutan kasa, pada balutan modern dilaporkan rata-rata infeksi
luka adalah 2,6% sedang pada balutan kasa 7,1%. Penderita

34
dengan luka kaki diabetes membutuhkan perawatan jangka
Panjang sampai sembuh kembali.
Purnomo dkk, (2014) mengungkapkan dari hasil penelitian
balutan lembab, peneliti pertama kali dilakukan oleh Winter
(1962) berpendapat bahwa luka yang ditutup dengan balutan
lembab mempunyai laju epitelisasi dua kali lebih cepat dari
pada luka yang dibiarkan kering. Rowel (1970) menguatkan
bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke
pusat luka sehingga luka lebih cepat sembuh. Bahkan Thomson
(2000) mengambil kesimpulan bahwa tingkat kejadian infeksi
pada semua jenis balutan lembab sebesar 2,5%, sedangkan
balutan kering memiliki tingkat kejadian infeksi 9%
Penyembuhan luka dengan menggunakan Hidrogel.
Hydrogel merupakan salah satu balutan modern yang
sifatnya lembab dan dapat diaplikasikan selama 5-7 hari sangat
cocok digunakan pada jenis luka dengan drainase yang sedikit.
Gel sangat baik menciptakan dan mempertahankan lingkungan
penyembuhan luka yang moist/lembab (Purnomo dkk, 2014).
Tujuan dari perawatan luka menggunakan balutan yang bersifat
lembab adalah untuk mempertahankan isolasi lingkungan luka
yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan
kelembaban, oklusive dan semi oklusive, dengan
mempertahankan luka tetap lembab dan dilindungi selama
proses penyembuhan dapat mempercepat penyembuhan 45 %
dan mengurangi komplikasi infeksi dan pertumbuhan jaringan
parut residual (Purnomo dkk, 2014).
Pada penelitian Purnomo dkk, (2014), Ismail tahun 2006
menyatakan bahwa keseimbangan kelembaban pada
permukaan balutan luka merupakan faktor kunci dalam
mengoptimalkan perbaikan jaringan; mengeliminasi eksudat
dari luka yang berlebihan pada luka kronik yang merupakan
bagian penting untuk permukaan luka.

6. Efektifitas Penyembuhan Luka Menggunakan Hidrogel Dan Nacl


0,9%
a. Menurut Hasil penelitian Purnomo dkk (2014) dapat ditarik
kesimpulan:

35
1) Perbaikan luka ulkus dengan menggunakan NaCl
0,9% rata-rata menurun 3-4 poin (23,26 – 20,67).
Berdasarkan rentang status luka menurut Bates-
Jansen nilai tersebut termasuk dalam rentang
deregenerasi luka.
2) Perbaikan luka ulkus dengan hydrogel rata-rata
menurun 10-13 poin (23,63 – 10,00) lebih baik
karena lebih rendah yaitu dalam rentang regenerasi-
maturasi luka.
c) Penyembuhan luka ulkus diabetes mellitus dengan
hydrogel 3 x lebih efektif dibandingkan dengan NaCl
0,9% dengan mean rank 45,08:15,92 dengan nilai Z :
6,482 dengan ῥ value : 0,000 (α <0,05).

36
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Pengkajian
Berdasarkan tahapan awal proses keperawatan, maka langkah
pertama yang harus dilakukan adalah pengkajian. Studi kasus ini
pengkajian awal yang dilakukan berfokus pada rasa nyeri yang
dirasakan pasien dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman.

Berdasarkan hasil studi kasus, dapat diketahui saat pengkajian


awal pada tanggal 21 Oktober 2018 terhadap subyek dalam
pemenuhan rasa nyaman nyeri dapat dilihat pada tabel 4.1 dan
gambar 4.1.
Tabel 4.1 Hasil observasi awal subyek
Subyek Provokatif Quality Region Severity Timing
Nyeri Nyeri Nyeri skala Nyeri
Tn. W Nyeri saat seperti pada 6 hilang
ditusuk- (nyeri
bergerak tusuk kaki kiri sedang) timbul
(bagian
luka)
Selanjutnya untuk untuk memperjelas kualitas nyeri subyek
yang diobservasi sebelum intervensi keperawatan pemberian
hydrogel pada luka dengan mengkolaborasikan pemberian obat
dan teknik relaksasi nafas dalam dijelaskan pada gambar 4.1.

Tida Nyeri Nyeri Nyeri Nye


k ringan sedang berat ri
heb
nyeri at
Gambar 4.1 Skala nyeri numerik
(Mubarak dkk, 2015)

37
Keterangan gambar 4.1 :
• 0: Tidak nyeri
• 1-3 : Nyeri ringan
• 4-6 : Nyeri sedang
• 7-9 : Nyeri berat
• 10 : Nyeri hebat

Berdasarkan tabel 4.1 dan gambar 4.1 diketahui bahwa skala nyeri
subyek adalah 6, berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kualitas
nyeri yang dirasakan klien termasuk pada skala nyeri sedang.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis pada Tn.
W didapatkan data yaitu Tn. W mengatakan nyeri pada bagian kaki
kirinya Data subyektif yang didapatkan klien mengatakan P: nyeri saat
bergerak, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri pada luka kaki kirinya,
S: nyeri skala 6, T: nyeri hilang timbul. Data obyektif yang didapatkan
yaitu klien tampak gelisah, klien tampak kesakitan, klien tampak kurang
rileks, keadaan umum klien sedang, TD: 160/80 mmHg, N: 88 kali/menit,
RR: 20 kali/menit, T: 37,6 0C.
Berdasarkan kasus yang dialami Tn. W didapatkan masalah
keperawatan yaitu nyeri akut. Diagnosa tersebut masuk dalam
prioritas pertama dari keempat diagnosa. Diagnosa kedua yaitu
diagnosa kerusakan integritas jaringan, yang ketiga diagnosa resiko
ketidakstabilan kadar glukosa darah dan yang keempat yaitu
diagnosa resiko infeksi.

C. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan fokus diagnosa keperawatan yang akan dibahas yaitu
nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, maka penulis
menyusun rencana keperawatan dengan tujuan perencanaan
keperawatan yaitu Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
3x24 jam, masalah nyeri dapat teratasi. Kriteria hasil meliputi klien
mampu mengontrol nyeri, klien mampu melaporkan nyeri berkurang
menjadi skala ringan (skala 1-3) atau hilang, klien menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri berkurang. Intervensi yang dibuat penulis
berdasarkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan

38
agen cedera fisik adalah perencanaan yang pertama yaitu observasi
nyeri (P,Q,R,S,T) untuk mengetahui kualitas nyeri yang dirasakan klien.
Perencanaan yang kedua yaitu monitor tanda-tanda vital untuk
mengetahui keadaan umum klien. Perencanaan yang ketiga yaitu beri
posisi nyaman pada klien untuk mengurangi tekanan pada luka dan
memberi posisi nyaman. Perencanaan yang keempat yaitu beri hydrogel
diatas area luka setelah luka dibersihkan untuk mengurangi nyeri
dirasakan dan memberi rasa dingin diarea luka sehingga memberi rasa
nyaman pada luka. Perencanaan yang kelima yaitu ajarkan teknik
relaksasi nafas dalam kepada klien untuk mengontrol nyeri secara
mandiri. Perencanaan yang keenam yaitu kolaborasikan dengan dokter
ntuk pemberian obat analgesik ketorolac 30mg/8jam untuk mengontrol
nyeri secara farmakologi.

D. Implementasi Keperawatan
Setelah selesai merumuskan intervensi keperawatan dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 hari. Pada hari pertama tanggal 21
Oktober 2018 pada jam 08.00 WIB dilakukan tindakan pengkajian nyeri
(P,Q,R,S,T). Pada jam 09.10 WIB memberikan hydrogel diarea luka
setelah luka dibersihkan. Pada jam 09.15 WIB dilakukan tindakan
pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 09.25 WIB mengajarkan teknik
relaksasi napas dalam. Pada jam 10.00 WIB memonitor tanda-tanda vital
klien.
Pada hari kedua tanggal 22 Oktober 2018 pada jam 08.00
WIB mengkolaborasikan pemberian obat ketorolac 30mg/8jam.
Pada jam 09.05 WIB dilakukan tindakan pengkajian nyeri
(P,Q,R,S,T). Pada jam 09.20 WIB memberikan hydrogel diarea luka
setelah luka dibersihkan.Pada jam 09.30 WIB dilakukan tindakan
pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T).
Pada jam 09.45 WIB mengulang latihan teknik relaksasi napas
dalam.Pada jam 10.00 WIB memonitor tanda-tanda vital klien.Pada hari
ketiga tanggal 23 Oktober 2018 pada jam 08.10 WIB
mengkolaborasikan pemberian obat ketorolac 30mg/8jam. Pada jam
08.45 WIB dilakukan tindakan pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam
09.00 WIB menganjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi napas
dalam. Pada jam 09.45 WIB dilakukan tindakan pengkajian nyeri
(P,Q,R,S,T). Pada jam 10.00 WIB memonitor tanda-tanda vital klien.

39
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik yang dilakukan pada Tn. W selama 3 hari,
pada hari pertama tanggal 21 Oktober 2018 adalah S: P : nyeri saat
bergrak, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R : nyeri dibagian kaki kiri, S :
skala berkurang dari 6 menjadi 4, T : nyeri hilang timbul, Klien
mengatakan lebih dingin dan nyaman di area luka yang diberi hydrogel.
O: klien tampak lebih relaks, klien tampak lebih nyaman, KU: sedang, TD
: 160/80 mmHg, N : 88 kali/menit, RR : 20 kali/menit, T : 37,6 0C. A:
masalah nyeri belum teratasi. P: lanjutkan intervensi, observasi nyeri
(P,Q,R,S,T), beri hydrogel diatas area luka setelah dibersihkan,
kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgetik.
Evaluasi pada hari kedua tanggal 22 Oktober 2018 adalah S: P :
nyeri saat bergrak, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R : nyeri dibagian kaki
kiri, S : skala berkurang dari 5 menjadi 3, T : nyeri hilang timbul, klien
mengatakan nyaman di area luka setelah diberi hydrogel. O: klien
tampak lebih relaks, klien tampak lebih nyaman, KU : sedang, TD :
171/91 mmHg, N : 80 kali/menit, RR : 22 kali/menit, T : 36,8 0C. A:
masalah nyeri belum teratasi. P: lanjutkan intervensi, observasi nyeri
(P,Q,R,S,T), beri hydrogel diatas area luka setelah dibersihkan,
kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgetik.
Pada evaluasi hari terakhir pada tanggal 23 Oktober 2018 adalah S:
P : nyeri saat bergrak, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R : nyeri dibagian
kaki kiri, S : skala berkurang dari 3 menjadi 2, T : nyeri hilang timbul, klien
mengatakan nyaman di area luka setelah diberi hydrogel. O: klien tampak
lebih relaks, klien tampak lebih tenang, KU : sedang, TD : 160/80 mmHg,
N : 80 kali/menit, RR : 20 kali/menit, T : 36,7 0C. A: masalah nyeri belum
teratasi. P: lanjutkan intervensi, observasi nyeri (P,Q,R,S,T), beri hydrogel
diatas area luka setelah dibersihkan, kolaborasikan dengan dokter untuk
pemberian obat analgetik.

Berdasarkan hasil studi, diketahui bahwa sesudah dilakukan tindakan


pemberian hydrogel pada luka dengan mengkolaborasikan pemberian
obat dan teknik relaksasi nafas dalam, maka dapat mengurangi skala
nyeri yang dirasakan klien dan melatih kemandirian klien dalam
mengontrol nyeri seperti tabel 4.2.

40
Tabel 4.2 Perbandingan skala nyeri sebelum dan sesudah tindakan
Severity
Hari/ Provokat
Tangg if Quality Region Sebelum Sesudah Timing
al
Tindakan Tindakan
Nyeri
Senin, Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri skala Nyeri skala Nyeri
21 saat kaki 6 4 hilang
Oktober ditusuk- kiri (bagian (nyeri (nyeri
bergerak luka) sedang) sedang) timbul
2018 tusuk
Nyeri
Selasa, Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri skala Nyeri skala Nyeri
22 saat kaki 5 3 hilang
Oktober ditusuk- kiri (bagian (nyeri (nyeri
bergerak luka) sedang) ringan) timbul
2018 tusuk
Rabu, Nyeri
23 Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri skala Nyeri skala Nyeri
Oktobe saat kaki 3 2 hilang
r ditusuk- kiri (bagian (nyeri (nyeri
bergerak luka) ringan) ringan) timbul
2018 tusuk
Selanjutnya untuk memperjelas hasil perbandingan skala nyeri

sebelum dan sesudah tindakan, dapat digambarkan pada diagram 4.1.

Hasil Penilaian Nyeri


sebelum tindakan sesudah tindakan

7
6
5
4
3
2
1
0
hari I hari II hari III

Gambar 4.2 Diagram perbandingan skala nyeri

41
Setelah dilakukan intervensi keperawatan pemberian hydrogel pada
luka dengan mengkolaborasikan pemberian obat dan teknik relaksasi nafas
dalam pada hari pertama sampai hari ketiga. Pada hari pertama terjadi
penurunan skala nyeri dari skala 6 (skala sedang) menjadi skala 4 (skala
sedang). Pada hari kedua terjadi penurunan skala nyeri lagi dari skala 5
(skala sedang) menjadi skala 3 (skala ringan). Pada hari ketiga juga
demikian terjadi penurunan skala nyeri dari skala 3 (skala ringan) menjadi
skala 2 (skala ringan). Hal tersebut menunjukan peningkatan yang baik,
terbukti dengan menurunnya skala nyeri yang dirasakan klien dan dapat
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan rasa nyaman.

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai asuhan keperawatan pada


pasien diabetes mellitus dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman nyeri yang
dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2018 sampai dengan 26 Oktober 2018
diRSUD Dr.Soetijono Blora. Pembahasan bab ini berisi tentang perbandingan
antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus yang disajikan untuk membahas
tujuan khusus pada 1 pasien. Setiap temuan perbedaan diuraikan dengan
konsep. Isi pembahasan sesuai tujuan khusus yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.

A. Pengkajian
Menurut Hidayat (2014), pengkajian adalah langkah awal dari tahap
proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan
data dasar dari klien, untuk informasi yang diharapkan dari klien.
Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis (individu,
keluarga, komunitas) terdiri atas data subjektif dari seseorang atau
kelompok, dan data objektif dari pemeriksaan diagnostik dan sumber
lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data subjektif)
dan pemeriksaan fisik (data objektif).
Hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis didapatkan data yaitu
Tn. W mengatakan nyeri pada bagian kaki kirinya Data subyektif yang
didapatkan klien mengatakan nyeri pada luka di kakinya, P: nyeri saat
bergerak, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri pada luka kaki kirinya,
S: nyeri skala 6, T: nyeri hilang timbul. Data obyektif yang didapatkan
yaitu klien tampak gelisah, klien tampak kesakitan, klien tampak kurang
rileks, keadaan umum klien sedang, TD: 150/80 mmHg, N: 88 kali/menit,
RR: 20 kali/menit, T: 37,6 0C.
Menurut Sukmasari (2013), jaringan pasien diabetes cenderung mati
sehingga tidak bisa meregenerasi jaringan baru. Terbatasnya persepsi
sensasi dapat menyebabkan trauma yang tanpa disadari. Pasien tidak
dapat merasakan rangsang nyeri dan kehilangan daya kewaspadaan
proteksi kaki terhadap rangsang yang kuat, berbagai hal yang sederhana
yang pada orang normal tidak mengalami luka, tetapi pada pasien DM
dapat menyebabkan luka kaki (Maryunani, 2013). Penderita Diabetes

43
melitus berisiko 29 kali terjadi komplikasi ulkus diabetika. Ulkus diabetika
merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neoropati
(Namgoong et al., 2015). Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi
infeksi karena masuknya bakteri dan adanya gula darah yang tinggi
menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman, ulkus
diabetika merupakan komplikasi yang paling di takuti dan mengesalkan
para penderita DM, baik di tinjau dari lamanya perawatan, biaya tinggi
yang di perlukan untuk pengobatan yang menghabiskan dana 3 kali lebih
banyak di bandingkan tampa ulkus (Yusrini, 2013). Tetapi berbeda
dengan pendapat Kristianto (2010), intervensi yang rutin dilakukan pada
ulkus kaki diabetik adalah perawatan luka. Saat seorang perawat
melakukan perawatan luka pasien sering mengeluhkan nyeri, bila nyeri
tidak teratasi akan mengakibatkan munculnya perasaan ansietas yang
dirasakan oleh pasien ketika dilakukan perawatan.
Studi kasus yang penulis lakukan, penulis sependapat dengan
pendapat Kristanto (2010) dimana pada pasien diabetes mellitus tidak
semua terjadi neuropati (kematian jaringan), ada beberapa pasien justru
merasakan nyeri bahkan hingga nyeri berat terutama pada penderita
diabetes mellitus dengan luka seperti subyek studi kasus penulis.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang manusia
terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan
respon dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas
(Herdman, 2015).
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis pada Tn.
W didapatkan data yaitu Tn. W mengatakan nyeri pada bagian kaki
kirinya Data subyektif yang didapatkan klien mengatakan P: nyeri saat
bergerak,nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri pada luka kaki kirinya, S:
nyeri skala 6, T: nyeri hilang timbul. Data obyektif yang didapatkan yaitu
klien tampak gelisah, klien tampak kesakitan, klien tampak kurang rileks,
keadaan umum klien sedang, TD: 160/80 mmHg, N: 88 kali/menit, RR:
20 kali/menit, T: 37,6 0C.
Berdasarkan kasus yang dialami Tn. W didapatkan masalah
keperawatan yaitu nyeri akut. Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman
yang sangat subyektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat

44
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin,
2008). Menurut Federation of State Medical Boards of United States,
nyeri akut adalah respon fisiologis yang diramalkan terhadap
rangsangan kimiawi, panas, atau mekanik menyusul suatu pembedahan,
trauma, dan penyakit akut. Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang
diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama
dengan proses penyembuhannya, terjadi dalam waktu singkat dari 1
detik sampai kurang dari 6 bulan (Zakiyah, 2015).

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah tindakan perawat yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan dan pengetahuan klinis untuk meningkatkan
perawatan klien (Potter & Perry, 2009). Intervensi keperwatan
merupakan serangkaian tindakan untuk mencapai setiap tujuan khusus.
Intervensi keperawatan meliputi :perumusan tujuan, tindakan dan
penilaian rangkaian asuhan keperawatan (Triyana, 2013).
Menurut Dermawan (2012) penulisan tujuan dan hasil berdasarkan
“SMART” meliputi specifik yaitu dimana tujuan keperawatan harus dapat
diukur, khususnya tentang perilaku pasien, achievable yaitu tujuan
harus dapat dicapai, dan hasil dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
tujuan dan hasil diharapkan singkat dan realistis dengan cepat
memberikan klien dan perawat suatu rasa pencapaian, time yaitu batas
pencapaian harus dinyatakan dalam penulisan kriteria hasil dan
mempunyai batasan waktu yang jelas.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah
nyeri dapat teratasi. Kriteria hasil meliputi klien mampu mengontrol
nyeri, klien mampu melaporkan nyeri berkurang menjadi skala ringan
(skala 1-3) atau hilang, klien menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang. Intervensi yang dibuat penulis berdasarkan diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik adalah
perencanaan yang pertama yaitu observasi nyeri (P,Q,R,S,T) untuk
mengetahui kualitas nyeri yang dirasakan klien. Perencanaan yang
kedua yaitu monitor tanda-tanda vital untuk mengetahui keadaan umum
klien. Perencanaan yang ketiga yaitu beri posisi nyaman pada klien
untuk mengurangi tekanan pada luka dan memberi posisi nyaman.
Perencanaan yang keempat yaitu beri hydrogel diatas area luka setelah
luka dibersihkan untuk mengurangi nyeri dirasakan dan memberi rasa

45
dingin diarea luka sehingga memberi rasa nyaman pada luka.
Perencanaan yang kelima yaitu ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
kepada klien untuk mengontrol nyeri secara mandiri. Perencanaan yang
keenam yaitu kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
analgesik untuk mengontrol nyeri secara farmakologi.
Penulis melakukan intervensi beri hydrogel diatas area luka setelah
luka dibersihkan yang bertujuan mengurangi nyeri dirasakan dan
memberi rasa dingin diarea luka sehingga memberi rasa nyaman pada
luka. Menurut Erizal (2008), Hidrogel adalah salah satu jenis
makromolekul polimer hidrofilik yang berbentuk jaringan berikatan
silang, mempunyai kemampuan mengembang dalam air (swelling),
serta memiliki daya diffuse r yang tinggi. Oleh karena sifat fisik yang
khas tersebut, pada awalnya hidrogel disintesis untuk digunakan
sebagai matriks pengekang/ pelepasan obat, kontak lensa, immobilisasi
enzim dan sel. Menurut Gulrez et al (2011), berdasarkan sifatnya yang
dapat menyerap air dalam jumlah yang besar dan biokompatibilitasnya
yang baik, hidrogel banyak dimanfaatkan sebagai penutup luka, sistem
pelepasan obat, kosmetik, maupun pertanian. Hidrogel dapat dibuat
menggunakan polimer sintetik di antaranya polivinil pirolidon, asam
poliakrilat, dan polietilena glikol, maupun polimer alam seperti alginat,
kitosan, karaginan, dan selulosa.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
Pada tahap ini, perawat sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu
melibatkan secara integrasi semua profesi kesehatan yang menjadi tim
perawatan (Setiadi, 2010).
Berdasarkan intervensi yang telah direncanakan, penulis melakukan
implementasi pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik yang dilaksanakan selama 3 hari. Pada hari
pertama tanggal 21 Oktober 2018 pada jam 08.00 WIB dilakukan
tindakan pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 09.10 WIB memberikan
hydrogel diarea luka setelah luka dibersihkan. Pada jam 09.15 WIB
dilakukan tindakan pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 09.25 WIB
mengajarkan teknik relaksasi napas dalam. Pada jam 10.00 WIB
memonitor tanda-tanda vital klien.Pada hari kedua tanggal 22

46
Oktober 2018 pada jam 08.00 WIBmengkolaborasikan berian
obat ketorolac 30mg/8jam. Pada jam 09.05 WIB dilakukan tindakan
pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 09.20 WIB memberikan hydrogel
diarea luka setelah luka dibersihkan. Pada jam 09.30 WIB dilakukan
tindakan pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 09.45 WIB mengulang
latihan teknik relaksasi napas dalam. Pada jam10.00 WIB memonitor
tanda-tanda vital klien. Pada hari ketiga tanggal 23 Oktober 2018 pada
jam 08.10 WIB mengkolaborasikan pemberian obat ketorolac
30mg/8jam. Pada jam 08.45 WIB dilakukan tindakan pengkajian nyeri
(P,Q,R,S,T). Pada jam 09.00 WIB menganjurkan klien untuk melakukan
teknik relaksasi napas dalam. Pada jam 09.45 WIB dilakukan tindakan
pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T). Pada jam 10.00 WIB memonitor tanda-
tanda vital klien.
Berdasarkan keluhan yang dirasakan Tn. W, menurut penulis
pemberian hydrogel pada area luka setelah dibersihkan sangat cocok
dilakukan karena dapat membantu mempercepat granulasi jaringan baru
dan menurunkan skala nyeri yang dirasakan klien. Menurut Hartono, dkk
(2013), Hydrogel merupakan salah satu material perawatan luka yang
sangat penting karena memiliki fungsi mempertahankan kelembaban
luka sehingga sehingga meningkatkan granulasi, selain itu dengan
kemampuan hidrasi yang optimum hydrogel dapat melisis jaringan
slough dan nekrotik oleh karena itu hydrogel memiliki kemampuan
autholitic debridement.
Selain itu menurut penulis ada kemampuan lain dari hydrogel yaitu
memberikan rasa lembab dan dingin diarea luka dengan dikolaborasikan
pemberian obat analgesik dan latihan relaksasi nafas dalam dapat
mengurangi skala nyeri yang dirasakan, sehingga selain untuk
mempercepat penyembuhan luka dan memiliki kemampuan autholitic
debridement, hydrogel dapat juga mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
dan memberi rasa nyaman diarea luka.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan akhir dari proses
keperawatan, dimana perawat menilai hasil yang diharapkan terhadap
yang diharapkan terhadap masalah dan menilai sejauh mana masalah
dapat diatasi (Mitayani, 2009). Menurut Dermawan (2012) penulisan
evaluasi berdasarkan pada SOAP. S (Subjective data atau data

47
subyektif), O (Objective data atau data objektif), A (Analysis atau
analisis), P (Plan of care atau rencana asuhan keperawatan).
Evaluasi pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik yang dilakukan pada Tn. W pada hari pertama
tanggal 21 Oktober 2018 adalah S: P : nyeri saat bergrak, Q : nyeri
seperti ditusuk-tusuk, R : nyeri dibagian kaki kiri, S : skala berkurang dari
6 menjadi 4, T : nyeri hilang timbul, Klien mengatakan lebih dingin dan
nyaman di area luka yang diberi hydrogel. O: klien tampak lebih relaks,
klien tampak lebih nyaman, KU: sedang, TD : 160/80 mmHg, N : 88
kali/menit, RR : 20 kali/menit, T : 37,6 0C. A: masalah nyeri belum
teratasi. P: lanjutkanintervensi, observasi nyeri (P,Q,R,S,T), beri
hydrogel diatas area luka setelah dibersihkan, kolaborasikan dengan
dokter untuk pemberian obat analgetik. Evaluasi pada hari kedua tanggal
22 Oktober 2018 adalah S: P : nyeri saat bergrak, Q : nyeri seperti
ditusuk-tusuk, R : nyeri dibagian kaki kiri, S : skala berkurang dari 5
menjadi 3, T : nyeri hilang timbul, klien mengatakan nyaman di area luka
setelah diberi hydrogel. O: klien tampak lebih relaks, klien tampak lebih
nyaman, KU : sedang, TD : 171/91 mmHg, N : 80 kali/menit, RR : 22
kali/menit, T : 36,8 0C. A: masalah nyeri belum teratasi. P: lanjutkan
intervensi, observasi nyeri (P,Q,R,S,T), beri hydrogel diatas area luka
setelah dibersihkan, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
analgetik. Pada evaluasi hari terakhir pada tanggal 23 Oktober 2018
adalah S: P : nyeri saat bergrak, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R : nyeri
dibagian kaki kiri, S : skala berkurang dari 3 menjadi 2, T : nyeri hilang
timbul, klien mengatakan nyaman di area luka setelah diberi hydrogel. O:
klien tampak lebih relaks, klien tampak lebih tenang, KU : sedang, TD :
160/80 mmHg, N : 80 kali/menit, RR : 20 kali/menit, T : 36,7 0C. A:
masalah nyeri belum teratasi. P: lanjutkan intervensi, observasi nyeri
(P,Q,R,S,T), beri hydrogel diatas area luka setelah dibersihkan,
kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgetik.
Penelitian yang dilakukan Purnomo dkk (2014) menyimpulkan bahwa
penyembuhan luka ulkus diabetes mellitus dengan hydrogel 3 x lebih
efektif dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Menurut pendapat Hartono, dkk
(2013), sifat lain yang dimiliki hydrogel yaitu tidak lengket sehingga dapat
menurunkan rasa nyeri saat perawatan luka.
Hasil penelitian yang penulis lakukan diRSUD Dr.Soetijono Blora
menunjukkan bahwa penderita diabetes mellitus skala nyeri yang

48
dirasakan pasien dapat berkurang. Hal ini menunjukkan ada pengaruh
pemberian hydrogel dalam menurunkan skala nyeri pada luka yang
dirasakan pasien. Tindakan pemberian hydrogel diarea luka kaki
diabetes mellitus selain mampu mengurangi nyeri diarea luka juga
mampu mencegah terjadinya infeksi dan membantu mempercepat
pertumbuhan jaringan baru (granulasi). Oleh karena itu pemberian
hydrogel merupakan salah satu cara yang efektif dalam mengelola luka
pada penderita diabetes mellitus. Berdasarkan data diatas maka penulis
dapat menarik keseimpulan bahwa tidak ada kesenjangan antara
tindakan yang telah dilakukan penulis dengan jurnal (Efektifitas
Penyembuhan Luka Menggunakan Nacl 0,9% dan Hydrogel Pada Ulkus
Diabetes Mellitus Di RSU Kota Semarang Tahun 2014) yang dijadikan
sebagai salah satu pedoman dalam melakukan tindakan perawatan luka.

Tabel 4.3 Evaluasi skala nyeri sebelum dan sesudah tindakan


Severity
Hari/
Provokatif Quality Region Sebelum Sesudah Timing
Tanggal
Tindakan Tindakan
Senin, Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri
Nyeri saat kaki Nyeri skala 6 Nyeri skala 4 hilang
21 Oktober ditusuk- kiri (bagian
bergerak luka) (nyeri sedang) (nyeri sedang) timbul
2018 tusuk
Selasa, Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri
Nyeri saat kaki Nyeri skala 5 Nyeri skala 3 hilang
22 Oktober ditusuk- kiri (bagian
bergerak luka) (nyeri sedang) (nyeri ringan) timbul
2018 tusuk
Rabu, 23 Nyeri seperti Nyeri pada Nyeri
Nyeri saat kaki Nyeri skala 3 Nyeri skala 2 hilang
Oktober ditusuk- kiri (bagian
bergerak luka) (nyeri ringan) (nyeri ringan) timbul
2018 tusuk

49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan
mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi tentang asuhan keperawatan pada
pasien diabetes mellitus dalam pemenuhan rasa nyaman nyeri
pada Tn. W diruang Mawar RSUD Dr.Soetijono Blora dengan
mengaplikasikan hasil studi kasus pemberian hydrogel pada luka
kaki dengan mengkolaborasikan pemberian obat dan teknik
relaksasi nafas dalam.pada pasien diabetes mellitus.

1. Pengkajian
Setelah penulis melakukan pengkajian pada pasien Tn. W,
didapat data subyektif klien mengatakan nyeri pada luka di
kakinya, P: nyeri saat bergerak, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R:
nyeri pada luka kaki kirinya, S: nyeri skala 6, T: nyeri hilang timbul.
Data obyektif yang didapatkan yaitu klien tampak gelisah, klien
tampak kesakitan, klien tampak kurang rileks, keadaan umum
klien sedang, TD: 150/80 mmHg, N: 88 kali/menit, RR: 20
kali/menit, T: 37,6 0C.
i. Diagnosa Keperawatan
Hasil perumusan masalah yang penulis angkat sesuai
dengan pengkajian keperawatan yang telah penulis lakukan yaitu
nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
2. Intervensi Keperawatam
Intervensi yang dilakukan pada pasien Tn. W dengan
diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik yang pertama yaitu observasi nyeri (P,Q,R,S,T) untuk
mengetahui kualitas nyeri yang dirasakan klien. Perencanaan
yang kedua yaitu monitor tanda-tanda vital untuk mengetahui
keadaan umum klien. Perencanaan yang ketiga yaitu beri posisi
nyaman pada klien untuk mengurangi tekanan pada luka dan
memberi posisi nyaman. Perencanaan yang keempat yaitu beri

50
hydrogel diatas area luka setelah luka dibersihkan untuk
mengurangi nyeri dirasakan dan memberi rasa dingin diarea luka
sehingga memberi rasa nyaman pada luka. Perencanaan yang
kelima yaitu ajarkan teknik relaksasi nafas dalam kepada klien
untuk mengontrol nyeri secara mandiri. Perencanaan yang
keenam yaitu kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
analgesik untuk mengontrol nyeri secara farmakologi.

3. Implementasi Keperawatan
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien Tn. W
yaitu observasi nyeri (P,Q,R,S,T), monitor tanda-tanda vital, beri
posisi nyaman pada klien, beri hydrogel diatas area luka setelah
luka dibersihkan, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam kepada
klien, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
analgesik.

4. Evaluasi Keperawatan
Hasil evaluasi akhir diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik pada pasien Tn. W yaitu setelah
dilakukan tindakan keperawatan pemberian hydrogel pada luka
dengan mengkolaborasikan pemberian obat dan teknik relaksasi
nafas dalam pada hari pertama sampai hari ketiga. Pada hari
pertama terjadi penurunan skala nyeri dari skala 6 (skala sedang)
menjadi skala 4 (skala sedang). Pada hari kedua terjadi
penurunan skala nyeri lagi dari skala 5 (skala sedang) menjadi
skala 3 (skala ringan). Pada hari ketiga juga demikian terjadi
penurunan skala nyeri dari skala 3 (skala ringan) menjadi skala 2
(skala ringan). Hal tersebut menunjukan peningkatan yang baik,
terbukti dengan menurunnya skala nyeri yang dirasakan klien dan
dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan rasa nyaman.

B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien
diabetes mellitus, penulis memberikan usulan dan masukan positif
pada bidang kesehatan antara lain:
1. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit)

51
Diharapkan asuhan keperawatan pada pasien diabetes
mellitus saat dilakukan perawatan dirumah sakit tetap
memperhatikan aspek bio psiko sosial pasien dan selalu
memberikan rasa nyaman pada pasien agar pasien merasa
nyaman saat dilakukan pemberian hydrogel pada luka kaki
dengan mengkolaborasikan pemberian obat dan teknik relaksasi
nafas dalam dan terapi yang diberikan menjadi efektif untuk
menurunkan intensitas skala nyeri pada pasien diabetes mellitus.

2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat


Diharapkan tenaga kesehatan melakukan pendekatan lebih
intensif sehingga dapat terjalin hubungan emosional dan
hubungan saling percaya antara pasien dengan perawat, sehingga
saat dilakukan pemberian hydrogel pada luka kaki dengan
mengkolaborasikan pemberian obat dan teknik relaksasi nafas
dalam dapat menurunkan intensitas skala nyeri yang efektif untuk
pasien diabetes mellitus.

52
DAFTAR PUSTAKA

Abidin RK. Faktor penghambat proses proliferasi luka diabetic foot ulcer pada
pasien diabetes mellitus tipe ii di klinik kitamura pontianak [internet].
[Tanjungpura]: Keperawatan Universitas Tanjungpura; 2013 [cited 13 April
2018]. Available from
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/download/3046
/3023

ADA (American Diabetes Asosiation). 2013. Position Statement Standart Of


Medical Care in Diabetes- 2013. Diabetes Care, 33 (Suppl. 1): S11
http:www.care.diabetesjournals.org diakses pada tanggal: 17 April 2018.

Agustina, Hana Rizmadewi. 2009. Perawatan Luka Modern. FIK: Unpad :


Bandung.

Alfiyah, Sri W.2011. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Penyakit Diabetes Melitus Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang Tahun 2010. Universitas Negeri
Semarang. Skripsi.

American Diabetes Association (ADA). 2013. Standards of medical care in


diabetes-2013. Diabetes Care, 36, S11-66.

Arisanty, Irma. 2014. Konsep Dasar: Manajemen Perawatan Luka. EGC: Jakarta.

Damayanti, Santi. 2015. Diabetes Mellitus Dan Penatalaksanaan


Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Defader NC, Ganguli S, Sattar MA, Haque ME, Akhtar F. 2009. Synthesis of
superabsorben acrylamide/kappa-carrageenan blend hydrogel by gamma
radiation. Malay Polym J 4(2): 27-45.

Depkes RI. 2010. Diabetes Mellitus dapat Dicegah. Dalam


http//www.depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/1314diabetesmellitu
s-dapat dicegah.html. diakses pada tanggal 28 Maret 2018.

53
Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publising.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
2015. Semarang:Dinas Kesehatan Jawa Tengah.

Erizal. 2008. Pengaruh Pembalut Hidrogel Kopolimer Polivinilpirrolidon (PVP)


Karaginan Hasil Iradiasi dan Waktu Penyembuhan pada Reduksi
Diameter Luka Bakar Tikus Putih Wistar. Indo J Chem, Vol 8, No 2:272.

Erizal dkk. 2008. The Effect of Hydrogel Dressing Copolymer


Poli(vinylpirrolidone) (PVP)-k-Carrageenan Prepared by Radiation and
Healing Times on the RadiusReductions Burn Injured Of WistarWhite Rat.
Indo J Chem, Vol 8, No 2:272.

Fortuna, Sandra. 2018. Studi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Diabetes


Mellitus Dengan Ulkus Dan Ganggren. Universitas Airlangga Surabaya.
Skripsi.

Gulrez SKH, Al-Assaf S, Phillips GO. 2011. Hydrogels: methods of preparation,


characterisation, and aplications, progress in molecular and environmental
bioengineering - Dari Analysis and Modeling to Technology Applications,
Prof. Angelo Carpi (Ed.), ISBN: 978-953-307-268-5, InTech, Tersedia
pada:
http://www.intechopen.com/books/progress-in-molecular-and-
environmental-bioengineeringfrom-analysis-and-modeling-totechnology-
applications/hydrogels-methods-of-preparation-characterisationand-
applications.

Gitarja, Widasari. 2008. Perawatan Luka Diabetes. Edisi 2. Bogor. Wocare


Publishing.

Hartono, dkk. 2013. Perbedaan Pemberian Gamat Jelly dan Hidrogel dalam
Penyembuhan Luka Kronik pada Tikus Putih. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Herdman, Heather. 2015. NANDA International 2015-2017. Jakarta: EGC.

54
Hidayat, A. 2014. Metode Penelitian Keperawatan Dan Tekhnis Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, A.A.A. 2011. Metode penelitian & Teknik Analisis Data. Jakarta :
Penerbit Salemba Medika.

IDF. 2015. Idf diabetes atlas sixth edittion. Diakses pada tanggal 25 Maret 2018
dari https://www.idf.org/sites/default/files/Atlas-poster-2015_EN.pdf.

International Diabetes Federation. 2011. Diabetes Evidence Demands Real Action

From The Un Summit On Non-Communicable Diseases.


[http://www.idf.org/diabetes-evidence-demands-real-action-un-
summitnoncommunicable-diseases] [Diunduh pada 18 Maret 2018 pukul
17.20 WIB]

International Diabetes Federation. 2011. One Adult In Ten Will Have Diabetes
By 2030. [http://www.idf.org/media-events/press-releases/2011/diabetes-
atlas-8th edition] [Diunduh pada 18 Maret 2018 pukul 17.45 WIB]

International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas 7th Edition.


Brussels: International Diabetes Federation. http://www. diabetes
atlas.org/. [Diakses pada 18 Maret 2018].

Irawan, Dedi. 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas
2007). Thesis Universitas Indonesia.

Kementerian Kesehatan. 2010. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor


Risiko Diabetes Melitus.

Kinanti AD, Permatasari DA, Shinta DC. 2015. Urgensi penerapan Mekanisme
Informed Consent untuk Mencegah Tuntunan Malpraktik dalam Perjanjian
Terapeutik. Privat Law;3(2):109-13.

55
Kristianto, Heri. 2010. Perbandingan Tekhnik Perawatan Luka Modern Dan
Konvesional Terhadap Transforming Growth Faktor Beta 1 Dan Respon
Nyeri Terhadap Luka Diabetes. Universitas Indonesia. Tesis.

Maidina TS. Hubungan kadar hba1c dengan kejadian kaki diabetik pada pasien
diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin [internet]. 2012 [cited 21 Maret
2018]. Available from
http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/bk/article/download/680/636.

Maryunani, A. 2013. Perawatan luka modern (Modern Woundcare). IN MEDIA.

Oktoberlani. 2013. “Gambaran distribusi faktor resiko pada penderita ulkus


diabetika di klinik kitamura pku muhamadiyah.” Naskah Publikasi.
Universitas TanjungPura Pontianak

Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

Miranti, Biltinova A. 2013. Perbedaan Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe II Obese Dan Normal Weight DiRSUD Dr.Soetijono
Blora. Universitas Sebelas Maret. Skripsi.

Mubarak & Chayatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan
Apliklasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC.

Mubarak dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Dasar Buku 2. Jakarta: Salemba
Medika.

Namgoong, S., Jung, S., Han, S. K., Jeong, S. H., Dhong, E. S., & Kim, W. K.
2015. Risk factors for major amputation in hospitalised diabetic foot
patients. International Wound Journal, 13–19. Dari:
http://doi.org/10.1111/iwj.12526.

Novitasari, Indah Devi. 2014. Upaya Guru Dalam Meningkatkan Keberanian


Siswa Untuk Bertanya Pada Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Naskah Publikasi.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

56
PERKENI. 2011. Konsesus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2. Jakarta:PB PERKENI.

PERKENI, 2011, Pengelolan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di


Indonesia, Perkumpulan Endkrinologi Indonesia. Jakarta: PERKENI.

PERKENI. 2011. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


Tipe 2 Di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI.

Purnomo, S.E dkk. 2014. Efektifitas Penyembuhan Luka Menggunakan NaCl


0,9% Dan Hydrogel Pada Ulkus Diabetes Mellitus Di Rsu Kota Semarang.

Putri, Ria H. 2015. Pengukuran ABPI Ankle Brachial Pressure Index. Diakses
pada tanggal 1 Oktober 2018 dari
http://www.perawatluka.com/pengukuran-apbi-ankle-brachial-pressure-
index/

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. www.Riskesdas.com. Diakses


pada 3 April 2018.

Rohmad, Hanif N. 2018. Pengaruh Senam Kaki Diabetes Pada Nilai Sensori
Neuropati Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Desa Nepen Kecamatan
Teras Boyolali. Stikes Kusuma Husada Surakarta. Skripsi

Setiadi. 2010. Konsep Dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Graham


Ilmu.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. 2008. Brunner &
Suddarth ”s: Textbook of medical- surgical nursing. 11th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. 2009. Penatalaksanaan diabetes


mellitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sudoyo, A. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,2,3, Edisi Keempat.
Internal Publishing. Jakarta.

57
Sukmasari , R. N. 2013. Luka yang Tidak Terasa Pada Pasien Diabetes dan
Cara Perawatannya. Dalam: https://health.detik.com/ulasan-
khas/2412004/luka-

yang-tidak-terasa-pada-pasien-diabetes-dan-cara-perawatannya. Diakses
pada tanggal: 2 Oktober 2018.

Tarwoto. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin : Dra.


Wartonah, dkk, editors, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi Pertama,
Penerbit CV. Trans Info Medika, Jakarta.

Usiska, Y.S. 2015. Pengaruh Metode Rawat Luka Modern Dengan Terapi
Hiperbarik Terhadap Proses Penyembuhan Luka Ulkus Diabetik Pada
Pasien Diabetes Mellitus Di Jember Wound Center (JWC) Rumah Sakit
Paru Jember. Universitas Jember. Skripsi.

Wahyuni, Lutfi. 2018. Effect Moist Wound Healing Technique Toward Diabetes
Mellitus Patients With Ulkus Diabetikum In Dhoho Room Rsud Prof Dr.
Soekandar Mojosari.

Wijaya & Putri. 2013. KMB ( Keperawatan Medikal Bedah) Keperawatan


Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wijayanti, Esti. 2012. Sintesis Dan Karakterisasi Hidrogel Poli(N-Vinil Pilloridon)


(PNVP) Terikat Silang Melalui Polimerisasi Radikal Bebas. Universitas
Indonesia. Skripsi.

WHO. 2013. Physical Activity. www.who.int Diakses Pada Tanggal 11 April


2018.

Yuliani, S.H. 2012. Formula Sediaan Hidrogel Penyembuh Luka Ekstrak Etanol
Daun Binahong. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

58
Yunus, B. 2015. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan Luka
Pada Pasien Ulkus Diabetikum Di Rumah Perawatan Etn Centre
Makassar Tahun 2014. UIN Allaudin Makassar. Skripsi.

Yusrini lubis Zis, 2013,Perbandingan penyembuhan luka kaki Diabetikum


antara menggunakan Balutan Madu dan Balutan Cairan NaCL 0,9% Di
RSUD Lubuk Sikaping. STIKesFDK Bukittinggi.

Zakiyah, Ana. 2015. Konsep Dan Penatalaksanaan Dalam Praktek


Keperawatan Berbasis Bkti. Jakarta: Salemba Medika.

59

Anda mungkin juga menyukai