Anda di halaman 1dari 42

GAMBARAN NILAI HEMATOKRIT PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH KOTA KENDARI

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Melakukan Penelitian

Oleh :

AGUNG DWI WICAKSONO


P00341016001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

GAMBARAN NILAI HEMATOKRIT PADA PASIEN


DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH KOTA KENDARI

Disusun dan Diajukan Oleh :

AGUNG DWI WICAKSONO


P00341016001

Telah Mendapat Persetujuan Tim Pembimbing


Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Ruth Mongan,B.Sc.,S.Pd.,M.Pd Reni Yunus, S.Si.,M.Sc


NIP. 195601041982122001 NIP. 198205162014022001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Analis Kesehatan

Hj. Anita Rosanty, S.ST.,M.Kes


NIP. 196711171989032001
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Tentang Diabetes Melitus ............................................ 5
B. Tinjauan Tentang Hematokrit ..................................................... 13

BAB III KERANGKA KONSEP


A. Dasar Pemikiran .......................................................................... 26
B. Kerangka Pikir ............................................................................ 27
C. Variabel Penelitian ...................................................................... 27
D. Definisi Operasional ................................................................... 27
E. Kriteria Objektif .......................................................................... 28

BAB IV METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian ........................................................................... 29
B. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 29
C. Populasi dan Sampel ................................................................... 29
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...................................................... 30
E. Instrumen Penelitian ................................................................... 31
F. Prosedur Pengumpulan Data ....................................................... 31
G. Jenis Data .................................................................................... 32
H. Pengolahan Data ......................................................................... 33
I. Analisis Data ............................................................................... 33
J. Penyajian Data ............................................................................ 33
K. Etika Penelitian ........................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
No Hal
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus ....................................................... 9
Gambar 2. Komposisi darah ............................................................................. 16
Gambar 3. Pengaruh hematokrit terhadap viskositas ....................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan metabolisme yang
ditandai dengan meningkatnya glukosa darah (hiperglikemi) disebabkan
karena ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan untuk memfasilitasi
masuknya glukosa dalam sel, agar dapat dapat digunakan untuk metabolisme
dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa
bertahan didalam darah dan menimbulkan gula darah, sementara sel
kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi
sel (Izzati & Nirmala, 2015)
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
banyak dialami oleh penduduk didunia. World health organization
menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus dapat diperkirakan akan terus
bertambah dari tahun ketahun hingga 415 juta orang diseluruh dunia yang
mengidap penyakit diabetes melitus (WHO, 2016). Berdasarkan data
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2015, Indonesia
menduduki peringkat ke-7 dunia dari 10 besar negara dengan diabetes melitus
tertinggi. Populasi penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 5,8% atau sekitar 8,5 juta orang. (Lestari, 2018).
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa DM
merupakan penyakit degeneratif atau tidak menular yang selalu ada dalam
daftar 10 penyakit tidak menular. Pada tahun 2015 penyakit DM menempati
urutan ke-9, dan pada tahun 2016 menempati urutan ke-4 dengan jumlah kasus
sebesar 2.983. Hal tersebut secara eksplisit menunjukkan meningkatnya jumlah
penderita DM setiap tahunya yang dikarenakan adanya fenomena global yang
timbul akibat pola makan dan gaya hidup masyarakat yang berubah makin
praktis dan serba cepat (DINKES Provinsi Sulawesi Tenggara, 2017). Data
yang diambil di RSUD kota kendari menunjukkan jumlah kasus diabetes
melitus pada tahun 2017 sebanyak 155 kasus dan pada tahun 2018 sebanyak
165 kasus. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan angka kejadian diabetes
melitus pada pasien rawat jalan di RSUD Kota Kendari (RSUD Kota Kendari,
2018).
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, 2008).
Diabetes tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen genetik
dan lingkungan yang sama kuat dalam proses timbulnya penyakit tersebut.
Pengaruh faktor genetik terhadap penyakit ini dapat terlihat jelas dengan
tingginya penderita diabetes yang berasal dari orang tua yang memiliki riwayat
diabetes melitus sebelumnya. Diabetes melitus tipe 2 sering juga di sebut
diabetes life style karena penyebabnya selain faktor keturunan, faktor
lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan, dan gaya hidup
penderita yang tidak sehat juga bereperan dalam terjadinya diabetes ini.
Perkembangan diabetes melitus tipe 2 yang lambat, seringkali membuat gejala
seperti sering merasa haus, sering buang air kecil terutama pada saat malam
hari dan lainnya (Richardo, 2014).
Hematokrit (Ht) adalah volume sel-sel darah merah dalam 100 mL (1 dL)
darah, dihitung dalam persen. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah
untuk mengukur konsterasi sel-sel darah merah (eritrosit) dalam darah. (Kee.
Joyce LeFever, 2008).
Pada diabetes melitus terjadi peningkatan osmolaritas darah akibat
tingginya kadar glukosa darah yang menyebabkan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi diuresis osmotik. Hal ini akan menurunkan volume
plasma dan meningkatkan hematokrit serta viskositas darah (Irace C, 2013).
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma
sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis
merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi
larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya
hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang
notabene komposisi terbanyak adalah zat cair) (Irawati L, 2010).
Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya peningkatan
kemampuan pembuluh darah untuk menahan partikel-partikel pengisinya
(peningkatan permeabilitas kapiler) serta kelebihan ambang pada ginjal untuk
memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/menit).
Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis
menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik), serangkaian
kejadian diatas juga akan menyebabkan volume plasma menurun dan akan
meningkatkan kekentalan darah (viskositas darah) dan karena menurunnya
oksigen dalam darah akibat konsentrasi glukosa dan insulin serta meningkatkan
konsentrasi sel darah merah sehingga meningkatkan nilai hematokrit (Irawati
L, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Gambaran Nilai Hematokrit Pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah Bagaimanakah gambaran nilai hematokrit pada penderita diabetes
melitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum,
Untuk mengetahui kadar hematokrit pada penderita diabetes melitus tipe 2
Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan informasi dan masukkan dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan khususnya Jurusan Analis Kesehatan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kendari.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber
informasi atau bahan masukkan terkait pemeriksaan nilai hematokrit pada
penderita diabetes melitus tipe 2.
3. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan,wawasan dan pengalaman terkait
penelitian yang dilakukan.
4. Bagi Masyarakat
Sebagai salah satu informasi kepada masyarakat tentang penyakit
diabetes melitus tipe 2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Diabetes Melitus


1. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smeltzer, 2008). Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun
2013 diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik menahun yang
terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tubuh
tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Penyakit diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Diabetes
melitus merupakan salah satu penyakit degeratif dengan sifat kronis yang
jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun (Subekti, 2007)
2. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut International Diabetes
Federation (IDF) tahun 2013 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Diabetes
gestasional, Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2.
a. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang disebabkan karena
kondisi kehamilan. Pada kondisi gestasional, pankreas penderita tidak
dapat menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah
pada tingkat yang aman bagi ibu dan janin (Sutanto, 2013). Diabetes
ini disebabkan oleh hormon yang disekresikan plasenta dan
menghambat kerja insulin (Ernawati, 2013). Diabetes gestasional
yang tidak terkontrol dapat berisiko pada bayi seperti tubuh bayi
menjadi gemuk, masalah pernapasan karena potensi hipoglikemia
pada ibu dan diabetes gestasional, bayi berisiko terserang penyakit
kuning dan risiko paling tinggi adalah bayi meninggal saat lahir
(Sutanto, 2013)
b. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes (Ernawati, 2013). Diabetes tipe 1 dikenal
juga sebagai juvenile diabetes, diabetes anak-anak. Penyebutan ini
didasarkan karena pada umumnya penderita berasal dari kelompok
anak-anak dan dewasa muda. Namun diabetes ini bisa saja menyerang
semua umur. Nama lain dari diabetes ini adalah Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM). Yaitu diabetes yang bergantung pada
insulin. Diabetes tipe 1 adalah penyakit diabetes yang terjadi karena
gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu
memproduksi insulin dengan optimal. Akibatnya, penderita diabetes
tipe 1 harus mendapatkan injeksi insulin dari luar. tidak optimalnya
fungsi pankreas disebabkan oleh hancurnya sel beta dalam pankreas
yang berperan dalam memproduksi hormon insulin. Penyebab sel beta
pankreas yang hancur diduga karena adanya autoimun, yaitu sistem
kekebalan tubuh yang salah mengenali sel beta sebagai benda asing.
Sistem kekebalan tubuh yang seharusnya menghancurkan bakteri dan
virus malah menghancurkan sel beta yang memproduksi hormon
insulin. Penyebab lain diduga karena adanya faktor genetik dan infeksi
virus. Gejala penderita diabetes tipe 1 termaksud sering buang air
kecil, rasa haus, lapar dan berat badan menurun (Sutanto, 2013).
c. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes.
Biasanya terjadi pada orang dewasa, tapi semakin terlihat pada anak-
anak dan remaja. Pada diabetes tipe 2, tubuh mampu memperoduksi
insulin tetapi menjadi resisten sehingga insulin tidak efektif. Seiring
waktu, kadar insulin kemudian menjadi tidak cukup. Kedua resistensi
insulin dan defisiensi menyebabkan kadar glukosa darah tinggi.
Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe 2,
yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe 2 terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (yang disebut resistensi
insulin) atau penurunan jumlah produksi insulin.
Diabetes tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat introleransi glukosa
yang berlangsung lambat selama bertahun-tahun dan progresif, maka
diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencangkup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama
sembuh-sembuh, luka pada vagina atau pandangan yang kabur (Jika
kadar glukosanya sangat tinggi).
Pada diabetes tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intra sel ini. Deengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
(Smeltzer, 2002).
3. Gejala Diabetes Melitus Tipe 2
Beberapa gejala DM tipe 2 yaitu : sering berkemih (poliuria),
meningkatnya rasa haus (polidipsia), banyak makan (polifagia),
kehilangan berat badan secara drastis, pandangan kabur, dan merasa
kelelahan (fatigue). Selain itu, ditandai dengan sering buang air kecil pada
malam hari (nokturia) dan lesu (lethargy) (Dipiro et al, 2015). Gejala
yang dikeluhkan pada penderita antara lain kesemutan, penurunan
berat badan, serta 3 gejala khas DM yaitu polidipsia, poliuria, dan
polifagia (Hakim et al., 2010 dalam Fatimah, 2015).
4. Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2
Peningkatan jumlah penderita diabetes setiap tahunnya diakibatkan
oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Usia
Usia merupakan salah satu karakteristik yang melekat penderita
penyakit. Usia mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan,
besarnya fisik, serta sifat resistensi tertentu. Usia juga berhubungan
erat dengan jenis kelamin, sikap dan prilaku, juga karakteristik tempat
dan waktu.Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut usia
sangat berhubungan dengan perbedaan tingkat keterpaparan dan
proses pathogenesis (Masriadi, 2012).
b. Jenis Kelamin
Peluang wanita terkena diabetes lebih tinggi dibanding laki-laki.
Penderita diabetes mellitus paling banyak ditemukan pada perempuan
dengan proporsi 1,7% dibanding laki-laki yang hanya 1,4% .
c. Riwayat Keluarga
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor
mental penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan
agregasi familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan
meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara
kandung mengalami penyakit ini (Fatimah, 2015).
d. Ras dan Etnik
Ras dan Etnik adalah kebiasaan-kebiasaan yang termasuk di
dalamnya tentang kebudayaan setempat yang dapat meningkatkan
risiko DM, misalnya makanan,faktor lingkungan dan faktor genetic
(Masriadi, 2012).
5. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu:
a. Resistensi insulin
b. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik
yang berlebihan namun tidak terjadi kerusakan sel-sel B langerhans
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif
dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B
menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila
tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan
terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pancreas
akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan
kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Fatimah, 2015).

Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus


(sumber : Fatimah, 2015)
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi Akut
1) Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah
nilai normal (< 50mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada
penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali perminggu, Kadar
gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.
2) Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,
KomaHiperosmoler Nonketotik (KHNK) dan kemolaktoasidosis.
b. Komplikasi Kronis
1) Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang
umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit
jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
2) Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama
terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik
retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (Restyana, 2015).
7. Cara Pencegahan Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2
Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum
yang meliputi: pencegahan tingkat dasar (primordial prevention
pencegahan tingkat pertama primary prevention yang meliputi promosi
kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary
prevention yang meliputi diagnosa dini serta pengobatan yang tepat,
pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention yang meliputi pencegahan
terhadap terjadinya cacat dan rehabilitasi.
a. Pencegahan Tingkat Dasar
Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha
mencegah terjadinya resiko atau mempertahankan keadaan resiko
rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum.
Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan
kebiasaan atau perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang
dapat mencegah resiko terhadap penyakit dengan melestarikan
perilaku atau kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau
mengurangi tingkat resiko terhadap suatu penyakit tertentu atau
terhadap berbagai penyakit secara umum. Umpamanya memelihara
cara masyarakat pedesaan yang kurang mengonsumsi lemak hewani
dan banyak mengonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan
kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang
rendah terhadap penyakit.
b. Pencegahan Tingkat Pertama .
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya
mencegah agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang
berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor
kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi
berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor
keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus.
Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua
orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya
untuk mengidap diabetes daripada orang normal). Demikian pula
saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100% dapat
dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya.
c. Pencegahan Tingkat Kedua
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang
terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta
pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Salah satu kegiatan
pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif
pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala,
penyaringan (screening) yakni pencarian penderita dini untuk
penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara
umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau
keterangan sehat.
d. Pencegahan Tingkat Ketiga
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan
pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit
tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau
mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utama
adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan
pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus, tekanan darah
tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun
kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas. Upaya ini
dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau
penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat
penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu:
1) Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.
2) Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
3) Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan
tindakan cuci darah.
4) Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai
bawah.
Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai
dengan deteksi dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat
dikelola dengan baik disamping tentu saja pengelolaan untuk
mengendalikan kadar glukosa darah (Hasnah, 2009).
8. Pemeriksaan Diabetes Melitus
a. Tes Saring
Tes saring digunakan untuk mendeteksi kasus diabetes sedini
mungkin sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi
kronik akibat penyakit ini. Tes saring biasanya mengambil glukosa
darah swaktu sebagai sampel pemeriksaan.
b. Tes Diagnostik
Tes diagnostik bertujuan untuk memastikan diagnosis diabetes
mellitus pada individu dengan keluhan klinis khas diabetes mellitus,
atau mereka yang terdiagnosis pada tes saring. Tes diagnostik ini
biasanya mengambil glukosa darah puasa dan glukosa darah puasa dan
glukosa darah 2 jam post prandial sebagai sampel pemeriksaan.
c. Tes Pengendalian
Tes ini bertujuan untuk memantau keberhasilan keberhasilan
pengobatan untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik. Tingkat
keberhasilan proses terapi pengobatan dapat diketahui dengan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu, glukosa darah puasa dan glukosa
darah 2 jam post prandial, apabila pemeriksaan glukosa darah 2 jam
post prandial abnormal maka dapat dilakukan pemeriksaan tes
toleransi glukosa oral (Hardjoeno, 2003).
Menurut Hardjoeno (2003) hal penting mengenai tes glukosa
darah adalah :
1) Menggambarkan faktor risiko penyakit kardiovaskuler (penyakit
gangguan pada jantung dan pembuluh darah).
2) Glukosa post prandial merupakan pemeriksaan yang lebih akurat
dan baik dibandingkan dengan glukosa darah puasa.
B. Tinjauan Tentang Hematokrit
1. Definisi
Hematokrit dalam kamus kedokteran Webster’s new world (2010)
didefinisakn sebagai jumlah volume darah merah terhadap volume seluruh
darah yang dinyatakan dalam % yang tergantung pada jenis kelamin.
Hematokrit adalah perbandingan bagian dari darah yang mengandung
eritrosit terhadap volume seluruh darah yang dihitung dalam % (Sutedjo,
2009).
Hematokrit (Ht) adalah volume sel-sel darah merah dalam 100 ml (1
dL) darah, dihitung dalam persen. Tujuan dari pemeriksaan tersebut
adalah untuk mengukur konsterasi sel-sel darah merah (eritrosit) dalam
darah (Kee. Joyce LeFever, 2008).
Pemeriksaan hematokrit merupakan salah satu metode yang paling
teliti dan simpel dalam mendeteksi derajat anemia dan polisitemia. Kadar
hematokrit juga digunakan untuk menghitung nilai eritrosit rata-rata.
Penetapan nilai hematokrit dapat dilakukan dengan cara makro dan mikro
(Ganda S, 2007)
Nilai hematokrit disebut dengan %. Normal untuk pria 40-48 vol %
dan untuk wanita 37-43 vol %. Penetapan hematokrit dapat dilakukan
sangat teliti, kesalahan metodik rata-rata ± 2%.
Pemeriksaan hematokrit dalam klinik mempunyai fungsi utama yaitu
sebagai tes penyaring yang umumnya digunakan untuk mengukur dan
mendeteksi derajat anemia dan polisitemia. Pada anemia nilainya kurang
dari normal dan pada polisitemia nilainya lebih dari normal . Hematokrit
digunakan untuk mengukur sel darah merah. Pengukuran ini dilakukan bila
ada kecurigaan penyakit yang mengganggu sel darah merah, baik
kelebihan ataupun kekurangan. Beberapa contoh penyakit yang
menyebabkan hematokrit menurun, antara lain :
a. Anemia (kekurangan sel darah merah)
b. Perdarahan
c. Penghancuran sel darah merah
d. Kekurangan gizi atau malnutrisi
e. Komsumsi air yang berlebihan.
Beberapa contoh penyakit atau kondisi yang dapat meningkatkan
hematokrit, yaitu:
a. Penyakit jantung atau paru
b. Penyakit demam berdarah (dengue)
c. Dehidrasi atau kekurangan cairan.
d. Hipoksia (keadaan rendah oksigen sehingga tubuh berupaya dengan
meningkatkan sel darah merah)
e. Diabetes
f. Polisitemia vera
Eritrosit merupakan faktor yang sangat penting pada pemeriksaan
karena sel tersebut yang diukur dalam pemeriksaan hematokrit.
Hematokrit dapat meningkat pada polisitemia yaitu peningkatan jumlah sel
darah merah dan dapat menurun pada anemia yaitu penurunan kuantitas
sel – sel darah merah dalam sirkulasi (Corwin, 2009).
2. Darah
1. Definisi
Darah merupakan gabungan dari cairan, sel-sel dan partikel yang
menyerupai sel, yang mengalir dalam arteri, kapiler dan vena, yang
mengirimkan oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membawa
karbon dioksida dan hasil limbah lainnya. (Endah Kusumawardani,
2010).
2. Fungsi Darah
a. Alat transpor O2, yang diambil dari paru-paru atau insang
untuk dibawa ke seluruh tubuh.
b. Alat transpor makanan, yang diserap dari saluran cerna dan
diedarkan ke seluruh tubuh.
c. Alat transpor bahan buangan dari ke jaringan ke alat-alat ekskresi
seperti paru- paru (gas), ginjal dan kulit (bahan terlarut dalam air)
dan hati untuk diteruskan ke empedu dan saluran cerna sebagai
tinja (untuk bahan yang sukar larut dalam air).
d. Alat transpor antar jaringan dari bahan-bahan yang diperlukan
oleh suatu jaringan dibuat oleh jaringan lain. Hal ini tampak jelas,
misalnya dalam transpor lipoprotein seperti lipoprotein densitas
tinggi atau High Density Lipoprotein (HDL), lipoprotein densitas
rendah atau Low density Lipoprotein (LDL) dan hormon.
e. Mempertahankan air, elektrolit dan keseimbangan asam basa dan
juga berperan dalam hemostatasis.
f. Regulasi metabolisme, hormon dan enzim yang memupnyai efek
dalam aktivitas metabolisme sel, dibawa dalam plasma.
g. Mempertahankan keseimbangan dinamis (homeostatis) dalam
tubuh, termasuk didalamnya ialah mempertahankan suhu tubuh,
mengatur keseimbangan asam-basa sehingga pH darah dan
cairan tubuh tetap dalam keadaan yang seharusnya.
h. Proteksi terhadap cedera dan pendarahan, proteksi terhadap
respon peradangan lokal terhadap cedera jaringan. Pencegahan
peradangan merupakan fungsi dari trombosit karena adanya
faktor pembekuan, fibrinolitik yang terdapat dalam plasma.
i. Mempertahankan tubuh dari agresi benda atau senyawa asing
yang umumnya selalu dianggap punya potensi menimbulkan
ancaman (Sadikin. M, 2013).
3. Komposisi Darah
Meskipun darah secara miksroskopis berbentuk cair, sebenarnya
darah terdiri dari bagian yang cair dan padat. Darah yang diperiksa
dibawah mikroskop, tampak banyak benda bundar kecil didalamnya,
yang dikenal sebagai sel darah. Sel-sel darah merupakan bagian yang
padat, sedangkan cairan tempat sel-sel ini berada merupakan bagian
cair yang disebut plasma. Sel-sel darah membentuk 45% seluruh
volume darah dan plasma membentuk 55% seluruh volume darah
(Tarwoto dan Wartonah, 2008).

Gambar 2. Komposisi darah


(sumber : Tarwoto dan Wartonah, 2008)
a. Plasma
Plasma adalah cairan yang berwarna kuning yang dalam
reaksi bersifat alkali. Plasma bekerja sebagai medium (perantara)
untuk menyalurkan makanan, mineral, lemak, glukosa dan asam
amino ke jaringan. Plasma juga merupakan medium untuk
mengangkat bahan buangan yaitu urea, asam urat dan karbon
dioksida (Pearce, 2009).
Plasma adalah bagian darah yang encer tanpa sel-sel
darah, warnanya bening kekuningan-kuningan. Hampir 90% dari
plasma darah terdiri atas air.
Plasma bekerja sebagai medium (perantara) untuk
penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa, dan asam amino
ke jaringan, juga merupakan medium untuk mengangkat bahan
buangan seperti urea, asam urat, dan sebagian dari karbon
dioksida (Evelyn C, 2010).
b. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Merupakan sel yang paling banyak dibandingkan dengan 2
sel lainnya. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang
memungkinkan sel darah merah membawa oksigen dari paru-paru
dan mengantarkannya ke seluruh jaringan tubuh (Endah
Kusumawardani, 2010).
Sel darah merah merupakan sel yang terbanyak beredar
dalam darah dengan jumlah ±5x1012 per liter darah. Sel darah
merah yang matang berbentuk non-nuncleated biconcave disc,
berdiameter ±7-8 𝜇m dengan ketebalan pada bagian yang paling
tebal 2,5𝜇 dan pada bagian tengah (central pallor) 1 𝜇m
mempunyai kemampuan mengubah bentuk membran, tidak
mengandung organel didalamnya, tetapi mengandung
640.000.000 molekul hemoglobin. Volume rata-rata sel darah
merah adalah 90-95 𝜇𝑚. Bentuk sel darah merah yang bikonkaf
ini mempermudah sel darah merah merubah bentuk, sehingga
dapat melewati pembuluh darah dengan mudah walaupun
diameter pembuluh darah tersebut lebih kecil dari sel darah
merah, sel darah merah akan merubah bentuknyamejadi bulat atau
sferis dan kemudian mengembalikan bentuknya menjadi
bikonkaf.
Faktor yang mempengaruhi sel darah merah untuk dapat
mempertahankan bentuknya masih belum jelas karena sel darah
merah dipengaruhi oleh berbagai kemampuan. Sel darah merah
dalam keadaan normal, bila disimpan pada suhu 4oC akan berubah
bentuk menjadi relatif sferosit. Perubahan bentuk sel darah merah
ini tidak diikuti oleh perubahan pada volume sehingga dengan
metabolisme yang aktif dapat normal kembali. Umur sel darah
merah manusia kurang lebih 120 hari, setelah itu akan
dihancurkan. Penghancuran sel darah merah ini didahului dengan
adanya senescence atau tanda-tanda ketuaan dari sel darah merah
dan terjadi beberapa tahapan penghancuran sel darah merah.
Penghancuran sel darah merah dapat ekstravaskuler terjadi ± 80-
90% dari penghancuran sel darah merah di limpa. Sedangkan
penghancuran intravaskuler terjadi ±10-20% dari penghancuran
sel darah merah di dalam peredaran darah. Pada aliran darah
lambat, tampak adanya agregasi sel darah merah di dalam darah.
Dalam keadaan seperti ini, sel darah dapat bermacam-macam.
Agregasi sel darah merah dapat terjadi anter sel darah merah
sampai beratus-ratus sel darah merah. Pada aliran darah yang
sangat lambat, sel darah merah akna menumpuk dan berjalan
dengan perlahan-lahan. Bentuk seperti ini disebut rouleaux.
Didalam pembuluh darah yang besar, agregasi sel darah merah
tersebut akan terurai kembali oleh adanya peningkatan
kemampuan melepaskan diri dari sel darah merah yang lain. sel
darah merah mampu untuk mempertahankan kekuaran dan
fleksibilitas. Kemampuan ini tergantung pada struktur protein
sitoskeleton dan cara sitoskeleton berinteraksi dengan lapisan
lemak dan membran (Andriyani , 2018).
Komponen sel darah merah (eritrosit) terdiri dari beberapa
komponen yaitu sebagai berikut
 Memiliki membran eritrosit.
 Sistem enzim : enzim-enzim seperti G6PD (glucose 6-
phosphatedehydrogenase).
 Hemoglobin terdiri dari heme yang merupakan gabungan
protoporfirin denagn besi serta bagian protein yang terdiri
atas dua rantai alfa dan dua rantai beta.
Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin di dalam setiap sel
darah merah (eritrosit). Hemoglobin berfungsi untuk mengikat
oksigen pada setiap satu gram hemoglobin akan bergabung
dengan 1,34 ml oksigen, serta hemoglobin juga berfungsi untuk
menyerap kanbondioksida dan ion hidrogen serta membawanya
ke paru-paru tempat zat-zat tersebut dilepaskan dari hemoglobin
(Handayani & Haribowo, 2008).
c. Sel Darah Putih (Leukosit)
Terdapat 5 jenis utama (Neutrofil, Limfosit, Monosit,
Eosinofil, dan Basofil) dari sel darah putih yang bekerja sama
untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan
infeksi, termasuk menghasilkan antibodi (Endah, 2010).
Leukosit merupakan komponen darah yang berperan dalam
memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun
proses metabolik toksin, dan lain-lain. Nilai normal leukosit
berkisar 4.000-10.000 sel/𝜇I darah.
d. Platelet (Trombosit)
Trombosit Merupakan partikel yang menyerupai sel, dengan
ukuran lebih kecil dari pada sel darah merah atau sel darah putih.
Sebagai bagian dari mekanisme perlindungan darah untuk
menghentikan pendarahan (Endah, 2010).
Trombosit berperan penting dalam pembentukan bekuan
darah. Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh
tubuh melalui aliran darah, namun dalam beberapa detik setelah
kerusakan suatu pembuluh, trombosit tertarik ke daerah
tersebut sebagai respon terhadap kolagen yang terpajan di
lapisan subendotel pembuluh (Lita, 2018).
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemeriksaan Hematokrit
a. Faktor Pra analitik
1) Eritrosit
Faktor eritrosit sangat penting pada pemeriksaan hematokrit
karena eritrosit merupakan sel yang diukur dalam pemeriksaan
tersebut. Hematokrit dapat meningkat pada polisitemia yaitu
peningkatan jumlah sel darah merah dan nilai hematokrit dapat
menurun pada anemia yaitu penurunan kuantit sel-sel darah
merah dalam sirkulasi (Corwin, 2009).
2) Vikositas darah
Pengaruh hematokrit terhadap viskositas darah adalah makin
besar presentase sel darah merah maka makin tinggi
hematokritnya dan semakin banyak pergeseran diantara lapisan-
lapisan darah, pergeseran inilah yang menentukan viskositas.
Oleh karena itu, viskositas darah meningkat secara drastis ketika
hematokrit meningkat (Andriyani , 2018).
3) Plasma
Pemeriksaan hematokrit plasma harus diamati terhadap
adanya ikterus atau hemolisis. Keadaan fisiologis atau
patofisiologis pada plasma dapat mempengaruhi pemeriksaan
hemotokrit.
b. Faktor Analitik
1) Centrifuge
Penempatan tabung kapiler pada lubang jari-jari centrifuge
yang kurang tepat dan penutup yang kurang rapat dapat
menyebabkan hasil pembacaan hematokrit tinggi palsu.
Kecepatan putaran centifuge dan pengaturan waktu dimaksudkan
agar eritrosit memadat secara maksimal. Oleh karena itu
harus diatur secara tepat. Pemakain microcentrifuge dalam waktu
yang lama mengakibatkan alat menjadi panas sehingga dapat
menyebabkan hemolisis dan nilai hematokrit menjadi rendah
palsu (Wirawan,R 2016).
2) Perbandingan Antikoagulan
Pemakaian antikoagulan berlebihan akan menyebabkan
eritrosit mengerut. Mengerutnya eritrosit sangat berpengaruh
terhadap hasil pemeriksaan terutama pemeriksaan
mikrohematokrit. (Ganda s, 2007)
3) Tabung hematokrit tidak bersih dan kering.
4) Kurang homogen
c. Faktor Pasca Analitik
Pembacaan yang tidak tepat
4. Pemeriksaan Hematokrit
a. Pemeriksaan Hematokrit Dengan Cara Konvensional
Pemeriksaan hematokrit secara konvensional adalah pemeriksaan
hematokrit yang dilakukan secara manual, pemeriksaan konvensional
memiliki 2 metode, yaitu metode makro dan metode mikro.
1) Metode Makrohematokrit
Metode makrohematokrit adalah salah satu pemeriksaan
hematokrit yang menggunakan tabung wintrobe dengan panjang
9,5 cm, berdiameter 0,6 mm, dan berskala 0-100 (Mahode, 2011).
Metode makro menggunakan sentrifuge yang cukup besar untuk
memadatkan sel-sel darah merah dan membutuhkan waktu ±30
menit (Ganda S, 2007).
Pemeriksaan hematokrit metode makro, bahan yang
digunakan adalah darah vena. Pemeriksaan hematokrit metode
mikro dapat menggunakan darah vena dan darah kapiler.
Pemeriksaan hematokrit baik metode makro mupun mikro
terdapat lapisan Buffy Coat yang letaknya diantara sel darah
merah dan plasma. Lapisan ini terdiri dari leukosit dan trombosit
yang berwarna kelabu kemerahan atau keputih-putihan. Keadaan
normal tingginya lapisan buffy coat 0,1 mm sampai dengan 1 mm.
Tingginya 0,1 mm kira-kira sesuai dengan 1000 leukosit/mm2.
Tinggi buffy coat yang masih dalam range normal belum berarti
benar, misalnya kalau ada limfosit yang pada umumnya lebih
kecil dari granulosit. Tingginya lapisan buffy coat merupakan
sebuah perkiraan terhadap ada tidaknya leukositosis (Mahode,
2011).
Pemeriksaan hematokrit metode mikro dan metode makro
memiliki prinsip pemeriksaan yang sama yaitu dimana darah
dengan antikoagulan disentrifus pada kecepatan tertentu dan
dalam waktu tertentu. Perbandingan volume eritrosit terhadap
volume spesimen darah dinyatakan dalam %.
Kekurangan dalam melakukan pemeriksaan hematokrit cara
konvensional metode makro adalah waktu yang diperlukan untuk
sentrifus rata-rata 30 menit da sampel darah yang digunakan juga
cukup banyak. Kelebihannya adalah tidak perlu menutup salah
satu ujung tabung dengan nyala api, karena metode makro
menggunakan tabung wintrobe (Ganda S, 2007).
2) Metode Mikrohematokrit
Metode mikrohematokrit adalah salah satu pemeriksaan
hematokrit yang menggunakan tabung kapiler dengan panjang 75
mm dan diameter 1,5 mm (Mahode,2011). Metode mikro
menggunakan sentrifuge mikrohematokrit yang mencapai
kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan sentrifuge yang
digunakan dalam metode makro, maka dari itu lamanya
pemusingan dapat diperpendek (Ganda S, 2007).
Kekurangan dalam melakukan pemeriksaan hematokrit
dengan cara konvensional metode mikro adalah penutupan ujung
tabung kapiler yang tidak rapat. Karena hal tersebut dapat
menyebabkan kebocoran tabung kapiler yang tidak rapat, karena
hal tersebut dapat menyebabkan kebocoran tabung kapiler saat
disentrifus dan dapat menyebabkan nilai hematokrit menurun.
Kelebihannya adalah tekniknya lebih sederhana, sampel yang
digunakan sedikit dan nilai hematokrit dari tabung kapiler
variabilitasnya hanya 1-2% (Mahode, 2011).
b. Pemeriksaan Hematokrit Dengan Cara Otomatis (Flow Cytometry)
Flow cytometry adalah metode pengukuran [= metri] jumlah dan
sifat-sifat sel [= cyto] yang dibungkus oleh aliran cairan [= flow]
melalui celah sempit. Ribuan sel dialirkan melalui tersebut sedemikia
rupa sehingga sel dapat lewat satu persatu, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah sel dan ukurannya. Ini adalah metode dimana sel
dalam suatu aliran melewati celah dimana berkas cahaya difokuskan
kesitu (sesing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, akan
dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah. Beberapa
detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan menangkap
berkas-berkas sinar sesudah melewati sel itu. Salah satu alat yang
menggunakan prinsip ini adalah hematology analize, hematology
analizer adalah alat yang digunakan untuk memeriksa darah lengkap
dengan cara menghitung dan mengukur sel-sel darah secara otomatis
berdasarkan variasi impedansi aliran listrik atau berkas cahaya
terhadap sel-sel yang diperiksa.
5. Hubungan Hematokrit Dengan Diabetes Melitus
Pada DM juga terjadi peningkatan osmolaritas darah akibat tingginya
kadar glukosa darah yang menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi diuresis osmotik. Hal ini akan menurunkan volume
plasma dan meningkatkan hematokrit serta viskositas darah (Irace C,
2013).
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada
plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan
osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan
konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus
terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam
darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair) (Irawati L,
2010).
Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya
peningkatan kemampuan pembuluh darah untuk menahan partikel-partikel
pengisinya (peningkatan permeabilitas kapiler) serta kelebihan ambang
pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang
lebih 225 mg/menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek
pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa
yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air
(diuresis osmotik), serangkaian kejadian diatas juga akan menyebabkan
volume plasma menurun dan akan meningkatkan kekentalan darah
(viskositas darah) dan karena menurunnya oksigen dalam darah akibat
konsentrasi glukosa dan insulin serta meningkatkan konsentrasi sel darah
merah sehingga meningkatkan nilai hematokrit (Irawati, 2010).
Hematokrit dan viskositas darah memiliki kaitan yang sangat kuat,
dalam kondisinya hematokrit dan viskositas darah saling mempengaruhi
satu sama lain. Semakin besar persentase sel dalam darah, artinya
semakin besar hematokrit semakin banyak gesekan yang terjadi antara
berbagai lapisan darah, dan gesekan ini menentukan viskositas. Karena itu,
viskositas darah meningkat hebat dengan meningkatnya hematokrit, Bila
kita menganggap viskositas darah lengkap pada hematokrit normal
adalah sekitar 3 (Guyton,2007).
Gambar 3. Pengaruh hematokrit terhadap viskositas
(sumber : Guyton, 2007)

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 di mana viskositas darah


keseluruhan ditentukan secara in vitro menggunakan viskometer, di mana
peningkatan hematokrit sel darah merah menyebabkan peningkatan
viskositas relatif. Perhatikan bahwa peningkatan ini nonlinear, sehingga
hematokrit lebih dari dua kali lipat viskositas relatif. Oleh karena itu,
viskositas darah sangat tergantung pada hematokrit. Pada hematokrit
normal 40-45%, relatif viskositas darah 4-5 mPa.s. Bila hematokrit
meningkat sampai 60 atau 70, yang sering terjadi pada polisitemia,
kapasitas transport oksigen lebih besar, viskositas darah menjadi 10 kali
lebih besar dari pada air, dapat berkembang menjadi thrombosis dan
emboli. Hal ini meningkatkan resistensi terhadap aliran darah sehingga
meningkatkan kerja jantung dan dapat mengganggu perfusi organ. Pasien
dengan anemia mempunyai hematokrit 30%, mempunyai viskositas darah
rendah dan kapasitas transport oksigen yang sedikit (Guyton, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran
Hematokrit (Ht) adalah volume sel-sel darah merah dalam 100 mL (1 dL)
darah, dihitung dalam persen. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah
untuk mengukur konsterasi sel-sel darah merah (eritrosit) dalam darah.
Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes. Biasanya
terjadi pada orang dewasa, tapi semakin terlihat pada anak-anak dan remaja.
Pada diabetes tipe 2, tubuh mampu memperoduksi insulin tetapi menjadi
resisten sehingga insulin tidak efektif. Seiring waktu, kadar insulin kemudian
menjadi tidak cukup. Kedua resistensi insulin dan defisiensi menyebabkan
kadar glukosa darah tinggi. Kurang lebih 90% hingga 95% penderita
mengalami diabetes tipe 2, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin.
Diabetes tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (yang
disebut resistensi insulin) atau penurunan jumlah produksi insulin.
Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya peningkatan
kemampuan pembuluh darah untuk menahan partikel-partikel pengisinya
(peningkatan permeabilitas kapiler) serta kelebihan ambang pada ginjal untuk
memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit).
Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis
menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik), serangkaian
kejadian diatas juga akan menyebabkan volume plasma menurun dan akan
meningkatkan kekentalan darah (viskositas darah) dan karena menurunnya
oksigen dalam darah akibat konsentrasi glukosa dan insulin serta meningkatkan
konsentrasi sel darah merah sehingga meningkatkan nilai hematokrit.
B. Kerangka Pikir

Pasien Diabetes Melitus


Tipe 2

Darah Vena

Pemeriksaan Laboratorium

Hematokrit

Mikrohematokrit Flow cytometry Makrohematokrit

: Variabel yang tidak diteliti

: Variabel yang diteliti

C. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Variabel bebas (independen) pada penelitian ini yaitu nilai hematokrit.
2. Variabel terikat (dependen) pada penelitian ini yaitu pasien diabetes
melitus tipe 2.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional mencakup pengertian atau batasan-batasan kecepatan
yang digunakan untuk mendapatkan data serta memudahkan dalam
menganalisis data yang berhubungan dengan penarikan kesimpulan.
Beberapa definisi tersebut sebagai berikut :
1. Diabetes melitus tipe 2 yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pasien
yang telah didiagnosa menderita diabetes melitus tipe 2 oleh klinis yang
sedang melakukan pengobatan di poliklinik penyakit dalam di RSUD Kota
Kendari Provinsi Sulawesi tenggara.
2. Hematokrit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbandingan
jumlah sel darah merah dengan volume darah keseluruhan yang dihitung
dalam persentase (%), Hematokrit dalam penelitian ini diperiksa
menggunakan metode flow cytometri dengan alat hematology analizer.
F. Kriteria Objektif
Dalam penelitian ini pemeriksaan hematokrit dibagi menjadi dua yaitu pria
dan wanita dengan kriteria objektif :
1. Laki-laki
Hematokrit Normal : 40%-48%
Hematokrit Tidak Normal : < 40% dan > 48%
2. Perempuan
Hematokrit Normal : 37%-43%
Hematokrit Tidak Normal : < 37% dan > 43%
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif.
Yang bertujuan untuk mendapatkan nilai hematokrit pada penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 yang ada di RSUD Kota Kendari.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
a. Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Hematologi Jurusan
Analis Kesehatan Kemekes Kendari.
b. Tempat pengambilan sampel di RSUD Kota Kendari
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2019.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhaan atau totalitas objek yang diteliti yang
ciri-cirinya akan diduga atau ditaksir (estimated) (Nasir,2011). Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus yang datang
memeriksakan diri ke poliklinik penyakit dalam di RSUD kota kendari
pada tahun 2018 adalah sebanyak 165 orang.
2. Sampel
Sampel adalah wakil dari populasi yang cici-cirinya diungkapkan dan
akan digunakan untuk menaksir cri-ciri populasi (Nasir, 2011). Jumlah
populasi >100 maka besar sampel diambil minimal 15% dan jika populasi
<100 maka diambil sampel 25-50% (Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam
penelitian ini adalah sampel darah vena pasien diabetes melitus yang
kemudian dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
a. Besar Sampel
Besar sampel yang diambil dalam penelitian ini yaitu 20% karena
jumlah populasi >100. Besar sampel pada penelitian adalah sebanyak
19 sampel darah, yang didapatkan dari hasil perhitungan
menggunakan rumus perhitungan :
Jumlah Sampel = 20% x Jumlah Populasi
20
= 165x 100 = 33

b. Teknik Pengambilan Sampel


Sampel darah pasien yang telah didiagnosa menderita diabetes
melitus tipe 2 oleh klinis yang sedang melakukan pengobatan
dipoliklinik penyakit dalam di RSUD Kota Kendari diambil dengan
tehnik pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik
(provosifsampling) yaitu pengambilan sampel secara bertujuan
dilakukan dengan cara mengambil subjek didasarkan atas adanya
tujuan tertentu. Sampel penelitian ini diambil di RSUD Kota Kendari
dan kunjungan rumah pasien, kemudian dilakukan penelitian di
Laboratorium Hematologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
Kemenkes Kendari.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi. Adapun kriteria inklusi sampel yang akan diteliti adalah:
a. Pasien yang datang memeriksa diri di poli klinik penyakit dalam dan
yang telah didiagnosa menderita diabetes melitus tipe 2 oleh dokter di
RSUD Kota Kendari.
b. Pasien yang bersedia menjadi Responden dengan menandatangani
informed consent
c. Dapat berkomunikasi dengan baik
d. Lama menderita penyakit diabetes melitus tipe 2
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek
memenuhi kriteria inklusi namun tidak dapat diikut sertakan dalam
penelitian. Adapun kriteria inklusi sampel yang akan diteliti adalah:
a. Ibu hamil yang menderita (diabetes gestisional)
b. Responden tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
c. Pasien yang menderita penyakit infeksi lain, ditandai dengan nilai
LED normal.
E. Instrument Penelitian
1. Alat dan Bahan
a. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Spoit
2) Tabung EDTA
3) Turniket
4) Hematology Analizer
b. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Darah EDTA
2) Kapas alcohol 70%
3) Label
F. Prosedur Pengumpulan Data
1. Pra Analitik
a. Metode : Flow cytometry
b. Prnsip : suatu aliran melewati celah dimana berkas cahaya difokuskan
kesitu (sesing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, akan
dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah. Beberapa
detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan menangkap
berkas-berkas sinar sesudah melewati sel itu.
c. Persiapan Pasien : Tidak memerluka persiapan khusus
d. Persiapan Sampel :
Cara Pengambilan Darah Vena
1) Didesinfeksi lengan pasien dengan kapas alkohol 70% dan
biarkan sampai kering
2) Dipasang tali pembendung (turniket) pada lengan atas dan
mintalah pasien mengepal tanganya agar vena terlihat jelas,
dengan catatan pembendungan tidak lebih dari 1 menit.
3) Ditusukkan jarum pada vena median kubiti yang jelas lalu isap
darah pasien 2 ml untuk pemeriksaan menggunakan Hematology
Analizer
4) Dilepaskan tali pembendung (turniket) dari lengan pasien.
5) Diletakkan kapas alkohol diatas jarum dan tarik jarum keluar dari
venamedian kubiti pasien secara perlahan-lahan
6) Disarankan kepada pasien agar tempat tusukan ditekan dan tidak
ditekuk, sampai bekas tusukan tadi tidak mengeluarkan darah.
7) Dilepaskan jarum dari spoitnya dan alirkan darah ke dalam tabung
yang tersedia, melalui dindingnya.
8) Spoit bekas pakai dibuang pada tempat pembuangan khusus
(bahan infeksius).
2. Analitik
a. Hubungkan kabel power Hematologi Analyzer ke stabilisator (stavo)
b. Gunakan darah EDTA
c. Pada saat layar menampilkan menu utama, pastikan mode test “Whole
Blood” pada bagian bawah menu.
d. homogenkan sampel darah, kemudian masukkan probe kedalam
tabung berisi sampel darah.
e. Tekan “Count Button” (warna biru tua) untuk memulai penghisapan
sampel. selama proses penghisapan, pastikan ujung probe terendam
dalam sampel darah sehingga tidak ada udara yang terhisap, namun
ujung probe jangan menyentuh dasar tabung.
f. Selama mengisap sampel, indikator akan berwarna kuning.
g. jika sudah menghisap sampel, indikator akan berubah warna dari hijau
menjadi kuning, probe akan otomatis masuk ke alat dan memulai
proses perhitungan sampel.
h. hasil pemeriksaan akan di tampilkan dilayar dan otomatis tercetak apa
bila printer disetel “AUTO”
i. Mencatat hasil pemeriksaan bagian hematokrit.
3. Pasca Analitik
Nilai rujukan
a. Laki-laki
Hematokrit Normal : 40% - 48%
Hematokrit Tidak Normal : < 40% dan > 48%
b. Perempuan
Hematokrit Normal : 37% - 43%
Hematokrit Tidak Normal : < 37% dan > 43%
G. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer adalah data hasil pemeriksaan laboratorium pasien
diabetes melitus tipe 2 yang datang memeriksakan diri ke poliklinik
penyakit dalam di RSUD Kota Kendari. Data lainnya diperoleh dari hasil
pemeriksaan dilaboratorium Hematologi Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Kendari.
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan dari data penderita diabetes melitus,hasil
penelitian terdahulu, jurnal dan dari buku-buku yang dipublikasi kemudian
dijadikan landasan teoritis dalam penulisan proposal ini.
H. Pengolahan Data
1. Editing, yaitu pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan
2. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode pada setiap data yang terkumpul
di setiap isntrumen penelitian. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan
dalam penganalisisan dan penafsiran data.
3. Tabulating, yaitu memasukkan data yang sudah dikelompokkan ke dalam
tabel-tabel agar mudah dipahami.
I. Analisis Data
Analisa data di lakukan secara univariat dan di dapatkan hasil pemriksaan
hematokrit pada darah pasien diabetes melitus yang datang memeriksakan diri
ke poliklinik penyakit dalam di RSUD kota kendari yang kemudian di analisa
dan di kategorikan sesuai dengan interpretasi hasil yang di tetapkan.
Formula yang digunakan yakni :

𝑓
𝑥= 𝑥𝐾
𝑛

Keterangan :
x = presentase variabel diteliti
f = jumlah sampel berdasarkan kriteria penelitian
n = jumlah sampel
k = konstanta ( 100% )
J. Penyajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
dan dijelaskan dalam bentuk narasi
K. Etika Penelitian
Etika penelitian bertujuan utuk melindungi hak-hak subyek. Dalam
penelitian ini menekankan masalah etika yang meliputi :
1. Ananomiti (Tanpa Nama)
Dilakukan dengan cara tidak memberikan nama responden pada
lembar alat ukur, hanya menuliska kode pada lembar pengumpulan data.
2. Confidentiality (Kerahasiaan)
Confidentiality yaitu menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Informasi yang dikumpulkan
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang
akan dilaporkan pada hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Sega Fajar, 2018. Pengaruh Penundaan dan Volume EDTA Terhadap
Nilai Hematokrit Metode Mikro. Semarang : UNIMUS.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC.

DINKES. 2017. Data Diabetes Melitus di Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Sulawesi
Tenggara : DINKES.

Dipiro J.t et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. USA : Mc


Graw-Hill Education.

Ernawati. 2013. Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Melitus Terpadu,


Jakarta : Mitra Wacana Medik.

Evelyn C. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, cetakan 34, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

Fatimah, Restyana Noor. 2015. “Diabetes Tipe 2.” J Majority Vol 4 No 5 (101-93)

Ganda, S, 2007. Penuntun Laboratorium Klinik, cetakan 13, Jakarta : Dian Rakyat.

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta
: EGC.

Hasnah. 2009. “Pencegahan Penyakit Diabetes Tipe 2” Media Gizi Pangan(7)1-4.

Hardjoeno, H. 2003. Interprestasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Jakarta :


EGC.
Handayani, W dan Haribowo, A.S 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi . Jakarta : Salemba Medika.

Irawati L, 2010. Viskositas darah dan aspek medisnya. Padang : Majalah


Kedokteran Andalas. 2010;34(2):107.

Irace C, Carallo C, Scavelli F, Maria SDF, Teresa E, Agostino G. 2013. Blood


viscosity in subjects with normoglycemia and prediabetes. California :
Diabetes Care. 2013;37:489.

Izzati,W.& Nirmala. 2015. “Hubungan Tingkat Stress Dengan Peningkatan Kadar


Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Wilayah Kerja Puskesmas
Perkotaan Rasimah Ahmad, Bukti Tinggi.” Jurnal Program Studi DIII
Keperawatan STIkes Yarsi Sumber Bukit tinggi.
Kee, Joyce LeFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik,
edisi 6. Jakarta : EGC.

Kusumawardani, Endah. 2010.Waspada Penyakit Darah Mengintai Anda, cetakan


1, Yogyakarta : Hanggar Kreator.

Lestari, Diska Dwi. 2018. “Kepatuhan Diet pada Klien Diabetes Melitus Tipe2
Ditinjau dari Dukungan Keluarga di Puskesmas Cipondoh Tangerang” Jurnal
Ilmiah Keperawatan Indonesia 1 (2) : 83-90 ISSN 2580-3077

Lita, Ester. 2018. Perbedaan Kadar Hematokrit Berdasarkan Waktu Penundaan.


Semarang : UNIMUS.

Masriadi. 2012. Epidemiologi. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Mahode, Albertus Agung . 2011. Pedoman Teknik Dasar untuk Laboratorium


Kesehatan. edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta : EGC.

Nasir, Abd. Dkk. 2011. Metodeologi Penelitian Kesehatan, Yogyakarta : Mulia


Medika.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Pearce. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta : PT Gramedia.

RSUD Kota Kendari. 2018. Data Kejadian Diabetes Melitus di Poli Penyakit
Dalam RSUD Kota Kendari. Kota Kendari : RSUD Kota Kendari.

Richardo, R. 2014.Diabetes Melitus. USA : International Book Of Health.

Restyana Noor Fatimah. 2015. Diabetes Melitus Tipe. Lampung : Universitas


Lampung.

Smeltzer, S.C. & Brenda, G.B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Bedah. ECG :
Jakarta.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2008. Textbook of medical surgical nursing,


eleventh edition. Philadelphia : Brunner & Sudarth.

Subekti,I. 2017. Apa Itu Diabetes : Patofisiologi, Gejala Dan Tanda. Dalam:
Soegondo,S., dkk., editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu
Sebagai Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Bagi Dokter
Maupun Edukator, Jakarta : FKUI.

Sutanto,T. 2013, Diabetes Deteksi, Pencegahan, Pengobatan,


Yogyakarta : Buku Pintar.
Sadikin. M. 2013. Biokimia Darah, cetakan 2013, Jakarta : Widiya Medika.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :


Alfabeta.CV.

Sutedjo, AY. 2009. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta : Penerbit Amara Books.

Tarwoto & Wartonah, 2008. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.

Wirawan, R. 2016.Hematologi Sederhana, cetakan2, Jakarta : FKUI-RSCM.

WHO. 2016. Global Report On Diabetes. France : World Health Organization.


42

Anda mungkin juga menyukai