Anda di halaman 1dari 31

NY.

SRIANTIN DENGAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS TIPE II


PADA USIA 97 TAHUN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Kesehatan Reproduksi Dasar

Dosen Pengampu:

Mia Ashari Kurniasari, S.ST., MPH

Disusun oleh

Nama : Elvanda Helzalia Putri

NIM : 10322029

S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN
NY. SRIANTIN DENGAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS TIPE 2
PADA USIA 97 TAHUN
Laporan Analisis kesehatan lansia ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
kesehatan reproduksi dasar.

Menyetujui,

Pembimbing
Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi Dasar

(Mia Ashari Kurniasari, S.ST., MPH)


NIDN.071207920

Ketua Program Studi


S1 Kesehatan Masyarakat

(Endah R. Wismaningsih, S. KM., M. Kes)


NIDN.072708704

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan laporan analisis ini dengan judul " Ny.
Sriantin Dengan Penyakit Diabetes Mellitus Pada Usia 90 Tahun".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan laporan analisis ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam laporan analisis ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki laporan analisis ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Kediri, 20 Juni 2023

Penyusun

iii
Daftar Isi

Cover..........................................................................................................................................1
Lembar Pengesahan...................................................................................................................ii
Kata Pengantar..........................................................................................................................iii
Daftar Isi...................................................................................................................................iv
BAB I (Pendahuluan).................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................2
1.4 Manfaat........................................................................................................................2
BAB II (Tinjauan Pustaka).........................................................................................................3
2.1 Pengertian Lansia........................................................................................................3
2.2 Klasifikasi Lansia........................................................................................................4
2.3 Perubahan pada lansia.................................................................................................4
2.4 Permasalahan pada lansia............................................................................................5
2.5 Pencegahan permasalahan pada lansia......................................................................10
2.6 Solusi dari masalah diabetes melitus.........................................................................12
2.7 Program lansia yang diikuti untuk mengatasi masalah diabetes melitus tipe 2........16
BAB III (Tinjauan Kasus)........................................................................................................18
BAB IV (Pembahasan).............................................................................................................19
5.1 Karakteristik Ny. Sriantin yang dapat menyebabkan diabetes melitus.....................19
5.2 Pola hidup Ny. Sriantin yang dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus..........21
5.3 Solusi dan cara pengobatan diabetes melitus tipee 2.................................................22
BAB V (Penutup).....................................................................................................................25
5.1 Kesimpulan................................................................................................................25
5.2 Saran..........................................................................................................................25
Daftar Pustaka..........................................................................................................................26
Dokumentasi............................................................................................................................27

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang muncul dengan sendirinya ketika tubuh
tidak dapat mengatur jumlah glukosa dalam darah dan ginjal mengeluarkan urin dalam
jumlah yang besar. Hal ini terjadi apabila tubuh tidak cukup memproduksi hormon
insulin. The World Health Organization (WHO) menyatakan, bahwa jumlah penderita
diabetes ini meningkat dari 108 juta pada tahun 1980 menjadi 442 juta pada tahun 2014.
Prevalensi penyakit ini terus meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah,
yang mana penduduknya tidak berperilaku yang sama dengan negara yang
berpenghasilan tinggi (Cigaroa et al., 1989; Bansal, 2020). Diperkirakan pada tahun 2019
penyakit ini menjadi penyebab langsung dari 1,5 juta kematian dan pada tahun 2012
sejumlah 2,2 juta orang meninggal karena hiperglikemia (WHO,2021).

Menurut International Diabetes Federation (2019) diprediksi adanya peningkatan


kasus diabetes melitus di Indonesia dari 10,7 juta pada tahun 2019 menjadi 13,7 juta
pada tahun 2030. Laporan Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
diabetes melitus yang terdiagnosis oleh dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah
2%. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan prevalensi diabetes di Indonesia
dibandingkan hasil Riskesdas 2013 yaitu 1,5%. Berdasarkan pengelompokan usia,
penderita DM terbanyak ada pada kelompok usia 55-64 tahun dan 65-74 tahun.

Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun disebut lansia. Populasi jumlah lansia
diperkirakan akan terus bertambah. Lansia yang sehat, produktif dan mandiri
memberikan dampak positif. Sebaliknya, bertambahnya jumlah lansia renta terhadap
penyakit akan menambah beban bagi penduduk usia kerja. Masalah yang paling sering
dihadapi lansia adalah masalah kesehatan, salah satunya adalah diabetes melitus.
Penderita diabetes pada usia lanjut dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit lain
seperti jantung, gangguan sistem kardiovaskular, obesitas, katarak, gangguan
ereksi, penyakit hati, kanker, dan penyakit infeksi.

Pradiabetes adalah kondisi gangguan metabolisme yang ditandai dengan kadar


glukosa darah berada di antara normal dan diabetes. Ciri-ciri pradiabetes mempunyai
kadar glukosa puasa (6,1 – 6,9 mmol/L), kadar glukosa toleransi (7,8 – 11,0 mmol/L),
dan kadar hemoglobin terglikasi atau hemoglobin yang berikatan dengan glukosa
(HbA1C) 6,0 – 6,4% (Punthakee et al. 2018). Intervensi dini dengan diet higienis dan
bahkan tindakan farmakologis pada pasien dengan "pradiabetes berhasil mengurangi
kejadian diabetes tipe 2 dan komplikasi kardiovaskular (Jacob et al., 2020,
D'Alfonso, 2020)

Ny. Sriantin adalah seorang lansia wanita berumur 97 tahun. Beliau mengidap
penyakit diabetes melitus semenjak usia 70 tahun. Lamanya beliau bertahan dari
penyakit tersebut karena beliau melakukan pemeriksaan rutin setiap bulannya yang

1
2

dilakukan oleh salah satu keluarganya, menjaga pola makan dan juga gaya hidup. Ny.
Sriantin sudah tidak bekerja, dikarenakan menurunnya fungsi tubuh dan mengharuskan
untuk memakai alat bantu jalan (walker). Dalam menjaga pola makan dan pola tidur
beliau dibantu oleh anak-anaknya.

Saat gula darah mulai naik beliau akan sering ke kamar mandi untuk buang air kecil,
sering merasa haus dan lapar. Anggota keluarga beliau yang menjaga sudah dibekali
pengetahuan oleh salah satu anggota keluarga yang berprofesi sebagai nakes tentang
penyakit yang diderita olwh Ny. Sriantin, sehingga ketika gejala tersebut maka anggota
keluarga akan menghubungi nakes tersebut untuk dilakukan perawatan secara intensif.
Namun untuk 2 bulan terahir ini gula darah beliau cukup rendah dikarenakan setiap pagi
beliau diwajibkan untuk melakukan aktivitas fisik seperti jalan jalan dan juga
menerapkan diet untuk penyakit diabetes.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut, terdapat beberapa rumusan masalah :

1. Bagaimana karakteristik Ny. Sriantin dalam menghadapi penyakit diabetes melitus?


2. Bagaimana pola hidup Ny. Sriantin penyebab diabetes melitus?
3. Bagaimana cara atau solusi pengobatan yang tepat untuk dijalankan Ny. Sriantin
dalam mengatasi diabetes melitus?

1.3 Tujuan
Tujuan dari analisis ini yaitu untuk mengetahui karakteristik, pola hidup penyebab
diabetes melitus, dan juga cara penanganan diabetes melitus.

1.4 Manfaat
Hasil Analisa ini diharapkan dapat memberi informasi lebih mengenai diabetes
melitus bagi pengidap penyakit tersebut, dan juga dapat menjadi pandangan terhadap
keluarga tentang pentingnya pola hidup sehat bagi lansia penderita diabetes melitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lansia


Setiap manusia pasti akan mengalami proses penuaan. Menua didefinisikan sebagai
proses yang mengubah seseorang dewasa sehat menjadi seseorang yang lemah dan
rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai macam penyakit (Setiati, 2014). Mekanisme
penuaan berdasarkan masingmasing teori adalah sebagai berikut :

A. Teori radikal bebas


Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat
reaktif yaitu radikal bebas dapat bereaksi dengaan berbagai komponen penting sel,
termasuk protein, DNA dan lipid yang akan mengakibatkan komponen sel tersebut
menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun dapat bertahan lama dan
mengganggu fungsi lainnya (Setiati, 2014).
B. Teori “Genetic Clock”
Teori ini mengungkapkan bahwa menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Setiap spesies mempunyai inti sel yang memiliki jam genetik
yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan mengatur mitosis
dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Menurut konsep ini, bila jam telah
berhenti maka spesies tersebut akan meninggal meski tanpa disertai kecelakaan
lingkungan atau penyakit terminal. Walaupun secara teoritis, jam ini dapat diputar
ulang kembali meski hanya untuk beberapa waktu dengan syarat terdapat pengaruh-
pengaruh dari luar berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan obat-
obatan atau dengan tindakan-tindakan tertentu (Darmojo, 2015).
C. Teori imunitas
Teori ini mnggambarkan tentang menurunnya imunitas tubuh yang berhubungan
dengan proses penuaan. Semakin menua seseorang, maka semakin banyak pula sel
yang telah mengalami mutasi berulang sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh untuk mengenali dirinya sendiri. Mutasi ini
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel yang menyebabkan
sistem imun tubuh menganggap sel yang telah mengalami mutasi tersebut sebagai
benda asing dan kemudian menghancurkannya. Sudah terdapat banyak bukti bahwa
terjadi peningkatan prevalensi auto-antibodi pada orang lanhjut usia. Disisi lain,
sistem imun sendiri mengalami penurunan pertahanan tubuh, sehingga daya serang
terhadap penyakit sangat mudah (Darmojo,2015).

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Proses menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jarinagn untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Kumboyono, 2013) Lanjut usia adalah seseorang

3
4

yang memiliki usia lebih dari atau sama dengan 55 tahun (WHO, 2013). Lansia dapat
juga diartikan sebagai menurunnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap
jejas (Darmojo, 2015).

Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1
Pasal 1 Ayat 2, bahwa yang disebut dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Nugroho, 2014).

Diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk lanjut usia.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa presentase penduduk lanjut usia akan mencapai
9,77% dari total penduduk pada tahun 2010 dan menjadi 11,34% pada tahun 2020
jumlah penduduk diperkirakan menjadi sebesar 28,8 juta jiwa. (DepKes, 2012).

2.2 Klasifikasi Lansia


A. The World Health Organization
Ada 4 tahapan lansia, yaitu :
1. Usia pertengahan (middle age) pada usia 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderlyI) pada usia 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) pada usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) pada usia lebih dari 90 tahun
B. Depkes RI (2019)
Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Pra lansia adalah seseorang pada usia 45-59 tahun
2. Lansia adalah seseorang pada usia 60 tahun atau lebih
3. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan
4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

2.3 Perubahan pada lansia


Menurut Potter & Perry (2013) proses menua mengakibatkan terjadinya banyak
perubahan pada lansia yang meliputi :
A. Perubahan fisiologis
Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada persepsi pribadi
atas kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki kegiatan harian atau rutin
biasanya menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang memiliki gangguan fisik,
emosi, atau sosial yang menghambat kegiatan akan menganggap dirinya sakit.
Perubahan fisiologis pada lansia beberapa diantaranya, kulit kering, penipisan
rambut, penurunan pendengaran, penurunan refleks batuk, pengeluaran lender,
penurunan curah jantung dan sebagainya. Perubahan tersebut tidak bersifat patologis,
5

tetapi dapat membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa penyakit. Perubahan
tubuh terus menerus terjadi seiring bertambahnya usia dan dipengaruhi kondisi
kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan.
B. Perubahan fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan sosial.
Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit
dan tingkat keparahannya yang akan memengaruhi kemampuan fungsional dan
kesejahteraan seorang lansia.
Status fungsional lansia merujuk pada kemampuan dan perilaku aman dalam
aktivitas harian (ADL). ADL sangat penting untuk menentukan kemandirian lansia.
Perubahan yang mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau
perburukan masalah kesehatan.
C. Perubahan kognitif
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan dengan gangguan
kognitif (penurunan jumlah sel dan perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada
lansia yang mengalami gangguan kognitif maupun tidak mengalami gangguan
kognitif. Gejala gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan keterampilan
berbahasa dan berhitung, serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses
penuaan yang normal.
D. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan proses transisi
kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia seseorang, maka akan semakin
banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi hidup, yang
mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan,
kemampuan fungsional dan perubahan jaringan sosial

2.4 Permasalahan pada lansia


Usia lanjut rentan terhadap berbagai masalah kehidupan. Masalah umum yang
dihadapi oleh lansia diantaranya:

A. Masalah ekonomi
Usia lanjut ditandai dengan penurunan produktivitas kerja, memasuki masa
pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Disisi lain, usia lanjut dihadapkan pada
berbagai kebutuhan yang semakin meningkat seperti kebutuhan akan makanan yang
bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, kebutuhan sosial dan rekreasi.
B. Masalah sosial
Memasuki masa lanjut usia ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik
dengan anggota keluarga atau dengan masyarakat. kurangnya kontak sosial dapat
menimbulkan perasaan kesepian, terkadang muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika bertemu dengan orang lain
sehingga perilakunya kembali seperti anak kecil (Kuncoro Mudrajat, 2014).
6

C. Masalah kesehatan diabetes melitus


1. Pengertian
Peningkatan usia lanjut akan diikuti dengan meningkatnya masalah
kesehatan. Usia lanjut ditandai dengan penurunan fungsi fisik dan rentan terhadap
penyakit (Suardiman, 2011).
Salah satu peyakit yang banyak diderita oleh seorang lansia adalah
penyakit diabetes melitus. Diabetes Mellitus termasuk kelompok gangguan
metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan insulin
yang disebabkan gangguan kerja dan atau sekresi insulin. Diabetes mellitus
merupakan permasalahan kesehatan yang dianggap penting karena termasuk
penyakit tidak menular yang menjadi target tata laksana oleh para pemipin dunia.
2. Jenis Diabetes melitus
Ada 3 jenis diabetes melitus, yaitu
a Diabetes melitus tipe 1
Merupakan penyakit kronis yang sering terjadi pada masa anak anak,
yang jumlah kejadiannya meningkat pada anak dibawah 5 tahun. Ini secara
signifikan akan mempengaruhi kesehatan penduduk, terutama melalui
komplikasi kronis jangka panjang. Hal itu menyebabkan morbiditas sehingga
dapat mengurangi angka harapan hidup (Fischli et al. 1998).
Pada diabetes tipe I, sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun, sehingga insulin tidak dapat diproduksi. Hiperglikemia puasa
terjadi karena produksi glukosa yang tidak dapat diukur oleh hati. Meskipun
glukosa dalam makanan tetap berada di dalam darah dan menyebabkan
hiperglikemia postprandial (setelah makan), glukosa tidak dapat disimpan di
hati. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan
dapat menyerap kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh karena itu
ginjal tidak dapat menyerap semua glukosa yang disaring. Akibatnya,
muncul dalam urine (kencing manis). Saat glukosa berlebih diekskresikan
dalam urine, limbah ini akan disertai dengan ekskreta dan elektrolit yang
berlebihan. Kondisi ini disebut diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang
berlebihan dapat menyebabkan peningkatan buang air kecil (poliuria) dan
haus (polidipsia).
b Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin karena kelainan fungsi sel β. Resistensi insulin ditandai
dengan berkurangnya kemampuan insulin untuk menyeimbangkan kadar
glukosa darah karena berkurangnya sensitivitas jaringan sehingga
meningkatkan produksi insulin oleh sel β pankreas (Baynest 2015, Kumar et
al. 2017, Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Diabetes melitus tipe 2 yangmana disebabkan oleh kombinasi faktor
genetik yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin
dan faktor lingkungan seperti obesitas, makan berlebihan, kurang makan,
olahraga dan stres, serta penuaan (Ozougwu et al., 2013)
7

Pada tipe 2 ini umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Yang mana
terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin
masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada
pemberian insulin. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-
2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
c Diabetes dalam kehamilan
Diabetes melitus dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM)
adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan
pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni
riwayat keluarga diabetes melitus, kegemukan dan glikosuria. GDM
meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,
polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM
mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan
makrosomia. Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para ibu tersebut
meningkat risikonya untuk menjadi diabetes melitus di kehamilan
berikutnya.
3. Gejala diabetes melitus
 Poliuri (sering buang air kecil)
Buang air kecil lebih sering dari biasanya terutama pada malam hari
(poliuria), hal ini dikarenakan kadar gula darah melebihi ambang ginjal
(>180mg/dl), sehingga gula akan dikeluarkan melalui urine. Guna
menurunkan konsentrasi urine yang dikeluarkan, tubuh akan menyerap air
sebanyak mungkin ke dalam urine sehingga urine dalam jumlah besar dapat
dikeluarkan dan sering buang air kecil. Dalam keadaan normal, keluaran
urine harian sekitar 1,5 liter, tetapi pada pasien DM yang tidak terkontrol,
keluaran urine lima kali lipat dari jumlah ini. Sering merasa haus dan ingin
minum air putih sebanyak mungkin (poliploidi). Dengan adanya ekskresi
urine, tubuh akan mengalami dehidrasi atau dehidrasi.Untuk mengatasi
masalah tersebut maka tubuh akan menghasilkan rasa haus sehingga
penderita selalu ingin minum air terutama air dingin, manis, segar dan air
dalam jumlah banyak.
 Polifagi (cepat merasa lapar)
Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. Insulin
menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula ke dalam
sel-sel tubuh kurang dan energi yang dibentuk pun menjadi kurang. Ini
adalah penyebab mengapa penderita merasa kurang tenaga. Selain itu, sel
juga menjadi miskin gula sehingga otak juga berfikir bahwa kurang energi itu
karena kurang makan, maka tubuh kemudian berusaha meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan alarm rasa lapar
 Berat badan turun
Ketika tubuh tidak mampu mendapatkan energi yang cukup dari gula
karena kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengolah lemak dan protein
8

yang ada di dalam tubuh untuk diubah menjadi energi. Dalam sistem
pembuangan urine, penderita DM yang tidak terkendali bisa kehilangan
sebanyak 500 gr glukosa dalam urine per 24 jam (setara dengan
2000 kalori perhari hilang dari tubuh). Kemudian gejala lain atau gejala
tambahan yang dapat timbul yang umumnya ditunjukkan karena komplikasi
adalah kaki kesemutan, gatal-gatal, atau luka yang tidak kunjung sembuh,
pada wanita kadang disertai gatal di daerah selangkangan (pruritus vulva)
dan pada pria ujung penis terasa sakit (balanitis) (Simatupang, 2017).
Pada beberapa penderita diabetesmtidak ada gejala sehingga memperburuk
kondisi penderita diabetes dan diperkirakan 30-80% penderita diabetes tidak
terdiagnosis. Penderita diabetes yang tidak diobati dengan tepat dapat
menyebabkan pingsan, koma, dan kematian (Kharroubi dan Darwish 2015).
4. Diagnosis diabetes melitus

Diabetes dapat didiagnosis dengan 4 jenis pemeriksaan, yaitu:


1. Pemeriksaan glukosa plasma saat puasa
2. Pemeriksaan glukosa plasma setelah 2 jam pemberian glukosa oral 75 g atau
pemeriksaan toleransi,
3. Pemeriksaan HbA1C
Pemeriksaan HbA1C berfungsi untuk mengukur jumlah hemoglobin
yang berikatan dengan glukosa selama 3 bulan terakhir. HbA1C kurang
sensitif untuk mendiagnosis diabetes dibandingkan dengan pemeriksaan
glukosa tradisional karena beberapa penyakit, ketinggian tempat tinggal, etnis,
usia, dan penyakit tertentu dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan HbA1C.
Pemeriksaan HbA1C tidak dapat digunakan pada individu dengan
hemoglobinopati, anemia defisiensi besi atau hemolitik, anemia tanpa
defisiensi besi, penyakit hati, dan gangguan ginjal yang parah.
Hubungan antara kadar glukosa dan HbA1C bervariasi antara orang
yang hidup di lokasi dengan ketinggian ekstrim. Beberapa etnis menunjukkan
bahwa Afrika Amerika, Indian Amerika, Hispanik, dan Asia memiliki nilai
HbA1C sampai 0,4% lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih non
Hispanik pada tingkat glikemia yang sama. Nilai A1C dipengaruhi oleh usia,
naik hingga 0,1% per dekade kehidupan. HbA1C tidak direkomendasikan
digunakan untuk diagnosis pada anak-anak dan remaja, wanita hamil,
penderita fibrosis sistik atau DMT1 (Punthakee et al. 2018). Pengujian HbA1C
mempunyai keunggulan antara lain adalah kenyamanan karena tidak
mengharuskan pasien untuk puasa (pemeriksaan glukosa saat puasa).
4. pemeriksaan glukosa darah acak
Individu dengan nilai glukosa plasma saat puasa > 7,0 mmol/L (126
mg/dL), glukosa plasma setelah 2 jam atau setelah test toleransi glukosa oral
9

75 g > 11,1 mmol/L (200 mg/dL), hemoglobin A1C (HbA1C) > 6,5% (48
mmol/mol), dan glukosa darah acak ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) dengan
adanya tanda dan gejala dianggap memiliki diabetes (Baynest 2015, Punthakee
et al. 2018, WHO
2019).
Jika nilai tinggi terdeteksi pada individu tanpa gejala, harus diulang dengan
pemeriksaan yang sama pada hari berikutnya untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Diagnosis diabetes memiliki implikasi penting bagi individu, mempengaruhi
pekerjaan, asuransi kesehatan dan jiwa, status mengemudi, peluang sosial dan
budaya, konsekuensi etis dan hak asasi manusia (WHO 2019).
5. Faktor faktor yang mempengaruhi kualitas hidup lansia penderita diabetes tipe 2
1. Pengaruh peran petugas kesehatan
Peran petugas kesehatan adalah suatu kegiatan yang diharapkan dari
seorang petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peran petugas
kesehatan dapat dideskripsikan sebagai informasi atau nasehat verbal maupun
non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran
petugas kesehatan dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi
pihak penerima, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ”raction with
other people”.
Petugas kesehatan harus dapat berperan sebagai edukator, screener dan
konselor bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Peran
petugas kesehatan sebagai konselor merupakan tempat bertanya bagi
masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatan. Petugas kesehatan harus
membuka layanan konsultasi, membentuk kelompok kerja di fasilitas
kesehatan dan menyediakan fasilitas seperti pemeriksaan gula darah, tanda-
tanda vital bagi penderita diabetes melitus tipe 2.
Hal ini juga sejalan dengan Akmal (2012) yang menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan
dalam pengelolaan diet pasien DM dengan persentase pengaruh sebesar
93,3%. Dukungan tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan
kepatuhan, misalnya dengan adanya komunikasi. Hal ini sesuai dengan teori
yang ada, dimana petugas kesehatan merupakan orang pertama yang
mengetahui tentang kondisi kesehatan pasien sehingga mereka memiliki peran
yang besar dalam menyampaikan informasi mengenai kondisi kesehatan dan
hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien untuk proses kesembuhannya.
Komunikasi ini dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan berupa
penyuluhan.
Menurut penelitian Saiful (2018), Indikator peran petugas kesehatan
memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan indikator-indikator
pada variabel yang lain. Nilai indikator peran petugas kesehatan sebagai
konselor memiliki tingkat signifikan yang paling tinggi dibandingkan indikator
lainya pada peran petugas kesehatan, sehingga patut mendapatkan intervensi
sesuai harapan lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia penderita
10

diabetes melitus tipe 2. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di


Taiwan menyatakan bahwa peran petugas kesehatan sebagai perawatan
pemberdayaan adalah prediktor yang paling penting dari kualitas hidup.

2. Pengaruh fungsi keluarga


Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan
sikap dan perilaku individu. Hal ini karena pola asuh orang tua akan
membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola
hidupnya.21 Keluarga merupakan konteks sosial primer untuk promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit. Kepercayaan nilai dan praktik dalam
keluarga sangat mempengaruhi tingkah laku promotif bagi kesehatan
anggotanya. Dengan hal ini status kesehatan keluarga akan mempengaruhi
fungsi unit keluarga dan kemampuannya memcapai tujuan. Jika mereka dapat
berfungsi dan memenuhi tujuannya dengan memuaskan, anggota keluarga
akan berfikir positif mengenai dirinya dan keluarganya, sebaliknya jika
kebutuhan tidak terpenuhi, keluarga akan memandang dirinya sebagai
keluarga yang tidak efektif.
3. Pengaruh motivasi diri
Motivasi diri dapat merubah prilaku seseorang. Lansia penderita
diabetes mellitus di wilayah Puskesmas Ciracas memiliki motivasi diri untuk
sembuh yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada jadwal control yang rutin
dilakukan. Dengan demikian motivasi diri lansia penderita diabetes mellitus di
Ciracas dapat merubah prilaku hidup sehat sehingga meningkatkan kualitas
hidup ( Saiful et al. 2018).
4. Pengaruh gaya hidup
Memiliki gaya hidup yang sehat memiliki keuntungan akan merasa
tentram, aman dan nyaman, memiliki rasa percaya diri, hidup seimbang, tidur
nyenyak, penampilan lebih sehat dan ceria, bisa lebih sukses dalam pekerjaan,
bisa menikmati kehidupan sosial di lingkungan keluarga, saudara dan
tetangga.
Beberapa peneliti menunjukan bahwa seseorang yang memiliki
motivasi yang tinggi akan menunjukan hasil yang positif dalam pengelolaan
DM. Seperti, peningkatan partisipasi dalam program latihan fisik dan
melaporkan gejala depresi yang rendah (Talbot & Nouwen, 1999 dalam Wu,
2007).

2.5 Pencegahan permasalahan pada lansia


A. Masalah ekonomi
Lansia yang memiliki pensiun kondisi ekonominya lebih baik karena memiliki
penghasilan tetap setiap bulannya. Lansia yang tidak memiliki pensiun, akan
membawa kelompok lansia pada kondisi tergantung atau menjadi tanggungan
anggota keluarga (Suardiman, 2011).
B. Masalah sosial
11

Hal ini dapat dicegah dengan dukungan keluarga sehingga perasaan kesepian,
mengurung diri, serta merengek tidak menjadi suatu masalah serius.
C. Masalah kesehatan pada penyakit diabetes melitus tipe 2
Pencegahan untuk DMT1 masih sulit karena terbatasnya pengetahuan proses
metabolisme, genetik, dan imunologi pada perkembangan diabetes melitus tipe 1
(Chatterjee dan Davies 2015). Pencegahan diabetes melitus tipe 2 dapat dilakukan
dengan intervensi gaya hidup dan intervensi farmakologi (Chatterjee dan Davies
2015, Messina et al. 2017, Wang et al. 2018, Uusitupa et al. 2019).
1. Perubahan gaya hidup
Pencegahan diabetes melitus tipe 2 dilakukan dengan gaya hidup atau perilaku
hidup sehat dengan diet dan olah raga. Diet dilakukan dengan penurunan kalori
individu dan memonitor penanda kardiometabolik seperti tekanan darah, lemak,
dan peradangan. Diet dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah, menjaga
tekanan darah, kadar lemak darah dan berat badan normal, tidur yang cukup, dan
meningkatkan kualitas kesehatan (MarinPenalver et al. 2016, Russell et al. 2016).
Olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mengontrol kadar glukosa
darah, memperbaiki profil lemak dan tekanan darah, menurunkan berat badan,
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, dan mengurangi depresi (Marin-
Penalver et al. 2016).
Penurunan berat badan terstruktur, aktivitas fisik, dan diet sangat penting
untuk mereka yang berisiko tinggi menderita diabetes melitus tipe 2 dengan
memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Pola makan bermanfaat bagi
penderita pradiabetes meliputi pola makan rendah kalori dan rendah lemak.
Penelitian tambahan diperlukan untuk rencana pola makan rendah karbohidrat
bagi penderita pradiabetes. Pola makan yang terukur dengan mengkonsumsi
makanan berserat tinggi, biji-bijian, kacang-kacangan, buahbuahan dan sayuran,
dan mengurangi makanan olahan juga penting. Asupan kacang, beri, yogurt, kopi,
dan teh dapat menurunkan risiko diabetes melitus tipe 2, tetapi daging merah dan
gula meningkatkan risiko obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Pola makan yang
menurunkan kadar HbA1C penting bagi penderita pradiabetes (Olokoba et al.
2012, Kolb dan Martin 2017).
Berikut ini adalah gaya hidup yang berhubungan dengan tingkat risiko
diabetes menurut ahli epidemiologi (Kolb dan Martin 2017):
 Rutin memakan makanan yang tidak atau kurang berserat meningkatkan
risiko diabetes 3 kali lipat
 Konsumsi minuman manis dengan gula meningkatkan risiko diabetes
sebesar 20-30%, (3) sedikit aktivitas fisik meningkatkan risiko 40%
 Menonton TV berkepanjangan (meningkatkan risiko 3% per jam
menonton televisi)
 Paparan lalu lintas (kebisingan dan partikel halus) meningkatkan risiko
20- 40%, untuk kebisingan lebih dari 10 dB atau 10 μg/m3 lebih banyak
debu halus
12

 Merokok meningkatkan risiko 30-60% untuk perokok berat, (7) durasi


tidur yang pendek meningkatkan risiko 9% per jam durasi tidur singkat
 Stres atau depresi rendah meningkatkan risiko diabetes tergantung pada
tingkat stres atau depresi
 Posisi sosial ekonomi rendah meningkatkan risiko sebesar 40-100%
 Pertambahan berat badan dan lingkar pinggang meningkatkan risiko
diabetes.

2. Intervensi medis
Salah satu faktor utama penyebab DMT2 adalah obesitas. Pencegahan dan
pengobatan obesitas dapat mencegah terjadinya DMT2 (Bolla et al. 2015, Kabel
et al. 2017). Penggunaan obat-obatan dan operasi bariatrik pada penderita
obesitas dapat mengurangi terjadinya DMT2 (Aktar et al. 2017, Akcay et al.
2019).
Obat-obatan untuk obesitas seperti: orlistat, sibutramin, lorkaserin, fentermin,
bupropion dan naltrekson. Orlistat mempunyai mekanisme kerja berikatan
dengan lipase sehingga menghambat aktivitas lipase hingga 30%. Hasil uji klinis
orlistat menurunkan 3 kg atau 3% dibandingkan dengan plasebo. Mekanisme
kerja sibutramin melaluI penghambatan norepinefrin dan serotonin. Obat ini
dapat menurunkan 5 kg atau 4% dibandingkan dengan plasebo. Lorkaserin
merupakan agonis reseptor serotonin 2C dengan efek hipofagia (meningkatnya
rasa kenyang). Obat ini mampu menurunkan berat badan sampai 5% setelah 12
minggu pemakaian. Fentermin merupakan agonis norepinefrin yang mempunyai
mekanisme kerja menekan nafsu makan pada sistem saraf pusat. Kombinasi
bupropion dan naltrekson dapat menurunkan berat badan. Bupropion merupakan
inhibitor nonselektif terhadap dopamin dan norepinefrin, sedangkan naltrekson
merupakan antagonis reseptor opioid. Kombinasi obat ini dapat menstimulasi
pelepasan melanosit hormon sehingga dapat menekan rasa lapar dan mengontrol
berat badan (Aktar et al. 2017).
Operasi bariatrik adalah operasi mengubah sistem pencernaan sehingga
mengurangi penyerapan makanan. Operasi ini terbukti efektif menurunkan berat
badan dan meningkatkan kontrol kadar glukosa darah (Akcay et al. 2019)

2.6 Solusi dari masalah diabetes melitus


Selain dari pencegahan diabetes melitus, salah satu solusi adalah dengan tindakan
kuratif atau pengobatan. Tujuan dari pengobatan diabetes adalah mengendalikan glukosa
darah untuk mencegah terjadinya komplikasi yang menyebabkan kematian. Pengobatan
diabetes dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu: penggunaan obat danpengunaan non obat
(Harikumar et al. 2015).

1. Obat
13

DMT1 merupakan diabetes yang disebabkan oleh kekurangan produksi insulin


akibat rusaknya sel β pankreas (sel yang berfungsi untuk memproduksi insulin)
sehingga diobati insulin dari luar tubuh seumur hidup (Sorli 2014, Janez et al. 2020).
Umumnya obat DMT2 diberikan secara oral. Metformin dan sulfonilurea
merupakan antidiabetes yang sudah digunakan sejaktahun 1950. Pilihan utama untuk
pengobatan DMT2 adalah metformin. Metformin menjadi pilihan utama karena
efektif dengan 2 mekanisme kerja, yaitu mengurangi sekresi glukosa hepatik dan
meningkatkan penyerapan glukosa, aman untuk penderita DM tanpa gangguan hati
dan ginjal, dan harganya murah. Pemilihan obat DM berdasarkan pada jenis
diabetes, usia, situasi, dan faktor lainnya (Olokoba et al. 2012, Chatterjee dan Davies
2015, Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015, MarinPenalver et al. 2016).

a. Insulin
Insulin biasanya diberikan secara subkutan dengan suntikan atau pompa
insulin. Insulin dapat diberikan juga secara intravena. Saat ini tersedia insulin
manusia dan analog insulin (Janez et al. 2020). Ada beberapa analog insulin, seperti:
 Analog insulin yang bekerja cepat (memberikan efek dimulai dari 4 sampai 20 menit
dan puncak antara 20 sampai 30 menit) seperti: Aspart (NovorapidTM, FiaspTM),
Lispro (HumalogTM, LiprologTM, AdmelogTM), Glulisine (ApidraTM),
 Analog insulin yang bekerja dalam jangka waktu pendek (efek mulai dari 30 menit
dan puncak 2-4 jam) seperti Insulin (ActrapidTM, Humulin STM, Insuman RapidTM),
 Analog insulin yang bekerja dalam jangka waktu menengah (onset puncak antara 4-
6 jam dan efek 14-16 jam) seperti: Insulin Isophane (InsulatardTM, Insuman BasalTM,
Novolin NTM, Humulin NTM,
 Analog insulin yang bekerja dalam jangka waktu panjang (efek 24-36 jam) seperti:
Glargine (LantusTM, AbasaglarTM), Detemir (LevemirTM)
 Dan analog insulin yang bekerja dalam jangka waktu sangat panjang (efek mulai
dari 30-90 menit dan berlangsung sampai 42 jam) seperti: Degludec (TresibaTM)
Tabel Farmakokinetik analog insulin (Patil et al. 2017
14

Penderita diabetes melitus tipe 2 diobati dengan obat hiperglikemik oral dan
perubahan gaya hidup (Patil et al. 2017, Stubbs et al. 2017, Pathak et al. 2019).
Penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya tidak memerlukan terapi dengan insulin
dan hanya diberi obat oral seperti sulfonilurea, biguanida, tiazolidinedion, inhibitor α
glikosidase (Tabel 3). Pengobatan dengan insulin diperlukan dalam kasus untuk
menurunkan glukosa darah sehingga tidak terjadi komplikasi kronis, memiliki
kontrol darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa puasa > 250 mg/dL),
riwayat pankreatomi, mengalami DMT2 selama 10 tahun, penderita hepatitis kronis,
TBC paru, patah tulang, kanker, dan mengurangi efek samping obat oral (Sorli 2014,
Bolla et al. 2015, Harikumar et al. 2015, Patil et al. 2017, Suprapti et al. 2017,
Pathak et al. 2019, Wondafrash et al. 2020). Insulin diberikan untuk menormalkan
kadar glukosa plasma sehingga mencegah komplikasi diabetes (Harikumar et al.
2015).

Tabel kelebihan dan kekurangan golongan obat anti diabetes (Olokoba et al. 2012,
Chatterjee dan Davies 2015, Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015, Marin-
Penalver et al. 2016)

b. Sulfonilurea
Sulfonilurea (glibenklamid, gliklazid, glimepirid, gliburid, glipizid,
tolbutamid) adalah obat antihiperglikemik oral yang pertama digunakan dan
merupakan obat pilihan kedua untuk DMT2. Obat ini biasanya digunakan untuk
DMT2 yang lanjut usia. Mekanisme kerjanya meningkatkan sekresi insulin dengan
bekerja langsung pada saluran KATP sel β pankreas. Pasien yang menggunakan obat
15

ini dapat mengalami hipoglikemia sehingga pasien harus mengetahui pola makan
yang baik dan gejala hipoglikemia (Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015,
MarinPenalver et al. 2016). Gliburid menyebabkan hipoglikemia lebih tinggi
dibandingkan dengan glipizid. Hipoglikimia yang terjadi pada penderita lanjut usia
akan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan fungsi ginjal (Olokoba et al. 2012)
c. Meglitinide
Meglitinide (Repaglinid dan Nateglinid) merupakan obat antihiperglikemik
oral dengan mekanisme kerja membantu pankreas untuk memproduksi insulin
dengan menutup saluran kalium dan membuka saluran dari sel β pankreas sehingga
meningkatkan sekresi insulin. Obat ini jarang digunakan karena kerja obat yang
singkat sehingga pemberian obat lebih sering (Harikumar et al. 2015, Marin-
Penalver et al. 2016, Stubbs et al. 2017). Repaglinid sebagian besar dimetabolime di
hati dan sisanya disekresikan melalui ginjal (Olokoba et al. 2012).

d. Biguanid
Biguanid (Metformin, Fenformin, Buformin) merupakan obat anti diabetes
dengan mekanisme kerja mengurangi sekresi glukosa hepatik dan meningkatkan
penyerapan glukosa perifer termasuk otot rangka. Metformin merupakan obat
hipoglisemik utama untuk penderita DMT2 pada anak-anak dan remaja serta sesuai
untuk pasien yang kelebihan berat badan (Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015,
Marin-Penalver et al. 2016, Stubbs et al. 2017). Obat ini sebaiknya tidak digunakan
oleh pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. Penggunaan pada penderita
lanjut usia dapat menyebabkan terjadinya asidosis (Olokoba et al. 2012).
e. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion (Rosiglitazon, Pioglitazon dan Troglitazon) dikenal dengan
sebutan glitazon. Obat ini bekerja membentuk ikatan dengan peroxisome
proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-γ) yang mengatur metabolisme
glukosa dan lemak serta mempengaruhi gen sensitivitas insulin sehingga
meningkatkan penggunaan glukosa oleh sel. Obat ini mengurangi komplikasi
mikrovaskular sebesar 2,6% (Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015). Pada
beberapa tahun terakhir, penggunaan obat ini dikurangi karena meningkatkan risiko
kematian pada penderita penyakit kardiovaskular, edema, patah tulang, gagal
jantung, dan kanker (Olokoba et al. 2012, Stubbs et al. 2017).
f. Inhibitor α-glikosidase
Inhibitor α-glikosidase (Miglitol, Akarbose, Voglibose) tidak memiliki efek
langsung pada sekresi atau sensitivitas insulin. Senyawa ini memperlambat
pencernaan pati di dalam usus halus sehingga glukosa dari pati lambat memasuki
aliran darah, menunda adsorpsi karbohidrat, dan mengurangi peningkatan glukosa
darah. Akarbose telah digunakan untuk pengobatan diabetes lebih dari 20 tahun yang
lalu. Manfaat dari akarbose adalah memperlambat perkembangan diabetes dan
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Gupta et al. 2015, Harikumar et al.
2015, Marin-Penalver et al. 2016, Stubbs et al. 2017). Penggunaan obat ini harus
dihindari bagi pasien dengan gangguan ginjal. Efek samping dari obat ini
menyebabkan diare dan kembung (Olokoba et al. 2012).
16

g. Analog peptida
Inhibitor dipeptidil peptidase (Vildagliptin dan Sitagliptin) mempunyai
mekanisme kerja menghambat kerja dipeptidil peptodase sehingga meningkatkan
kadar inkretin darah. Fungsi enkretin meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon. Analog peptida yang lain adalah gastrik inhibitori peptida
(Eksenatida dan Liraglutida). Agonis GLP (glucagon-like peptide) mengikat reseptor
GLP pada membran sel β pankreas sehingga meningkatkan sekresi insulin. GLP
endogen mempunyai waktu paruh beberapa menit, demikian juga obat agonis GLP
ini sehingga kurang efektif (Harikumar et al. 2015, Marin-Penalver et al. 2016).
h. Anolog amilin atau analog agonis amilin
Anolog amilin atau analog agonis amilin mempunyai mekanisme memperlambat
pengosongan lambung, memperlambat proses pencernaan makanan, dan menekan
glukagon. Biasanya analog amilin diberikan melalui injeksi subkutan sebelum
makan dan dapat digunakan untuk diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe
2. Obat ini selain menurunkan kadar glukosa darah juga dapat menurunkan berat
badan (Gupta et al. 2015, Harikumar et al. 2015).
2. Non obat
Program pendidikan untuk meningkatkan motivasi, keterampilan, perubahan
gaya hidup, pemahaman diet, olah raga, dan pengobatan diabetes akan
meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Manfaat dari program ini adalah
memahami pentingnya pengurangan asupan kalori, peningkatan aktivitas fisik, dan
peningkatan pengetahuan tentang diabetes sehingga dapat menurunkan berat badan,
mengurangi stress, mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, dan mencegah
terjadinya komplikasi (Chatterjee dan Davies 2015).
Perubahan gaya hidup untuk pengontrolan diabetes, di antaranya dengan
mempelajari lebih banyak tentang diabetes, mendapatkan perawatan secara rutin,
mempelajari cara mengontrol diabetes diri sendiri, memantau kondisi diabetes, dan
memeriksa secara rutin untuk jangka panjang (Harikumar et al. 2015). Pasien secara
aktif mengendalikan diri, memanfaatkan teknologi pemantauan dan pengobatan, dan
berkomunikasi dengan dokter (Chatterjee dan Davies 2015)
Diet dengan mengkonsumsi makanan tinggi serat dan rendah lemak bertujuan
untuk menurunkan berat badan merupakan cara lain untuk meningkatkan sensitivitas
tubuh penderita diabetes terhadap efek insulin (Harikumar et al. 2015). Diet yang
tepat dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan mengurangi hemoglobin
terglikasi 1,0-2,0% dan jika dikombinasi dengan manajemen diabetes akan
mengurangi rawat inap penderita diabetes (Sievenpiper et al. 2018). Jenis dan
jumlah kalori yang terkandung dalam makanan merupakan hal penting untuk
memelihara kesehatan tubuh. Diet tinggi lemak jenuh menginduksi adaptasi
metabolisme dengan mengubah sensitivitas insulin perifer, mengurangi sirkulasi
lemak, dan menurunkan lipogenesis dan glikogenesis hati (Zierath 2019).
Olahraga secara rutin membantu mencegah dan mengontrol diabetes. Manfaat
dari olahraga antara lain membantu menurunkan berat badan, mengurangi kadar
glukosa darah, mengurangi kolesterol dan tekanan darah, mengurangi stres,
17

meningkatkan sensitivitas insulin, dan meningkatkan biogenesis mitokondria


(Harikumar et al. 2015, Zierath 2019).
2.7 Program lansia yang diikuti untuk mengatasi masalah diabetes melitus tipe 2
Beberapa program yang disediakan di pukesmas seperti :
1. Konsultasi medis
Pelaksanaan kegiatan konsultasi medis dilakukan dengan dokter dan tim yang
sudah ditentukan . Pelaksanaan konsultasi medis dapat dilakukan dengan
whatsapp. Jadi, peserta prolanis dapat menggunakan whatsapp untuk
menyampaikan keluhan yang dirasakan. Namun, didapatkan bahwa peserta
prolanis banyak yang sudah berusia lansia dan tidak dapat menggunakan
whatsapp.
2. Edukasi/penyuluhan
Program ini bertujuan ntuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya
memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta
meningkatkan status kesehatan bagi peserta.

3. Pemantauan status kesehatan


Progam ini dilaksanakan dalam bentuk pemeriksaan darah rutin dalam rangka
untuk mengevaluasi kondisi pasien melalui kadar beberapa parameter dalam
darah.
4. Senam diabetes
Senam diabetes ini merupakan program yang digunakan untuk meningkatkan
kepekaan tubuh terhadap insulin, meningkatkan efisiensi pemakaian gula darah
yang secara langsung akan menurunkan kadar gula darah tersebut.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Nama
Ny. Sriantin
3.2 Usia lansia
97 Tahun
3.3 Pemeriksaan terahir
April 2023
3.4 Tekanan darah
110/70 mmHg (normal)
3.5 Berat badan
50 Kilogram
3.6 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan diabetes dilakukan pada pemeriksaan terahir : 185 mg/dL
3.7 Kondisi pendengaran dan penglihatan
Kondisi pendengaran sangat buruk hanya bisa di ajak berbicara jika
berada dalam jangkauan tertentu. Sedang kondisi penglihatan masih bisa
melihat, namun terlihat kabur dan kurang jelas
3.8 Keluhan yang dirasakan
1. Sering merasa kelaparan dan kehausan dalam jangka yang tidak normal
2. Sering buang air kecil
3. Kaki sering kesemutan
4. Penyembuhan luka sangat lama.
3.9 Keikutsertaan dalam program posyandu lansia
Narasumber sama sekali tidak mengikuti program lansia, dikarenakan
umur yang sudah sangat tua dan juga keluarga bisa mengatasi masalah
kesehatan narasumber sendiri.
3.10 Pengobatan atau vitamin yang di konsumsi
Narasumber biasanya mengkonsumsi vitamin Escordia, Namun jangka
waktu tidak teratur.
3.11 Konseling tenaga medis
Konseling tenaga medis hanya dilakukan melalui anggota keluarga
yang berprofesi sebagai nakes.

18
BAB IV
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Ny. Sriantin yang dapat menyebabkan diabetes melitus
Menurut The World Health Organization, ada 4 tahapan lansia, yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) pada usia 45-59 tahun


2. Lanjut usia (elderlyI) pada usia 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) pada usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) pada usia lebih dari 90 tahun
Teori Imunitas mnggambarkan tentang menurunnya imunitas tubuh yang
berhubungan dengan proses penuaan. Semakin menua seseorang, maka semakin banyak
pula sel yang telah mengalami mutasi berulang sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh untuk mengenali dirinya sendiri. Mutasi ini
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel yang menyebabkan
sistem imun tubuh menganggap sel yang telah mengalami mutasi tersebut sebagai
benda asing dan kemudian menghancurkannya. Sudah terdapat banyak bukti bahwa
terjadi peningkatan prevalensi auto-antibodi pada orang lanhjut usia. Disisi lain, sistem
imun sendiri mengalami penurunan pertahanan tubuh, sehingga daya serang terhadap
penyakit sangat mudah (Darmojo,2015).
Proses menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jarinagn untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Kumboyono, 2013).
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan dengan gangguan kognitif
(penurunan jumlah sel dan perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia yang
mengalami gangguan kognitif maupun tidak mengalami gangguan kognitif. Gejala
gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan keterampilan berbahasa dan
berhitung, serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses penuaan yang normal.
Diabetes melitus tipe 2 yang mana disebabkan oleh kombinasi faktor genetik
yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan faktor
lingkungan seperti obesitas, makan berlebihan, kurang makan, olahraga dan stres, serta
penuaan (Ozougwu et al., 2013)
Pada tipe 2 ini umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Yang mana terjadi
gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam
batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.
Dari hasil tinjauan kasus, Ny. Sriantin merupakan lansia yang berumur 97 tahun
yang mana pada usia tersebut merupakan tahapan usia sangat tua, sehingga resiko
mengidap penyakit diabetes semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian
Trisnawati (2013) bahwa adanya hubungan yang signifikan pada kelompok umur lebih
dari 45 tahun yang lebih beresiko menderita DM tipe 2. Didapatkan hasil penderita DM
lebih banyak pada kelompok umur dewasa daripada lansia.

19
20

Beberapa keluhan yang dialami oleh Ny. Sriantin


 Poliuri (sering buang air kecil)
Buang air kecil lebih sering dari biasanya terutama pada malam hari
(poliuria), hal ini dikarenakan kadar gula darah melebihi ambang ginjal
(>180mg/dl), sehingga gula akan dikeluarkan melalui urine. Guna
menurunkan konsentrasi urine yang dikeluarkan, tubuh akan menyerap air
sebanyak mungkin ke dalam urine sehingga urine dalam jumlah besar dapat
dikeluarkan dan sering buang air kecil. Dalam keadaan normal, keluaran
urine harian sekitar 1,5 liter, tetapi pada pasien DM yang tidak terkontrol,
keluaran urine lima kali lipat dari jumlah ini. Sering merasa haus dan ingin
minum air putih sebanyak mungkin (poliploidi). Dengan adanya ekskresi
urine, tubuh akan mengalami dehidrasi atau dehidrasi.Untuk mengatasi
masalah tersebut maka tubuh akan menghasilkan rasa haus sehingga
penderita selalu ingin minum air terutama air dingin, manis, segar dan air
dalam jumlah banyak.
 Polifagi (cepat merasa lapar)
Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. Insulin
menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula ke dalam
sel-sel tubuh kurang dan energi yang dibentuk pun menjadi kurang. Ini
adalah penyebab mengapa penderita merasa kurang tenaga. Selain itu, sel
juga menjadi miskin gula sehingga otak juga berfikir bahwa kurang energi itu
karena kurang makan, maka tubuh kemudian berusaha meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan alarm rasa lapar

 Kaki kesemutan
Kesemutan pada kaki penderita diabetes dapat merupakan suatu kondisi
neuropati diabetik yang merupakan salah satu komplikasi diabetes. Kondisi
ini merupakan suatu gangguan saraf yang dapat ditandai dengan munculnya
kesemutan, nyeri ataupun mati rasa. Neuropati diabetik paling sering
menyerang pada saraf kaki.
Penyebab dari kerusakan saraf tersebut akibat kadar gula darah yang
tinggi. Adanya kadar gula darah yang tinggi dapat membuat dinding
pembuluh darah yang memberi asupan oksigen dan nutrisi sel saraf
mengalami kelemahan, kondisi tersebut dapat mengganggu fungsi saraf.
Selain itu juga kerusakan saraf juga dapat terjadi di bagian lain, seperti
saluran pencernaan, saluran kemih, pembuluh darah, dan jantung. Risiko
neuropati diabetik dapat meningkat bila kadar gula darah tidak terkontrol,
diabetes dalam waktu lama, obesitas, hingga mengidappenyakit ginjal.
 Luka sulit sembut
Luka kaki diabetes adalah luka yang disebabkan infeksi atau kerusakan
jaringan pada kaki orang yang menderita diabetes. Masalah kaki pada
penderita diabetes ini terjadi seiring waktu saat gula darah tinggi merusak
saraf dan pembuluh darah di kaki. Kerusakan saraf yang disebut neuropati
21

diabetik itu dapat menyebabkan nyeri, kesemutan bahkan hilangnya sensasi


rasa pada kaki. Pembuluh darah pasien diabetes juga kerap mengalami
penyumbatan yang menyebabkan aliran darah menjadi terhambat.
Gejala yang muncul berupa luka terbuka yang sering tidak disadari
penyebabnya dan luka kaki terus basah karena nanah. Infeksi pada kaki
penderita diabetes mungkin tidak bisa sembuh dengan baik karena pembuluh
darah yang rusak dapat menyebabkan aliran darah buruk pada kaki. Infeksi
dan aliran darah yang buruk bisa menyebabkan kematian jaringan tubuh
seperti otot, kulit dan jaringan lainnya. Jika luka kaki diabetes tidak sembuh
dengan berbagai pengobatan, maka ancamannya adalah kaki harus
diamputasi. Amputasi adalah operasi untuk memotong jari kaki, kaki atau
bagian kaki yang rusak untuk mencegah penyebaran infeksi.

5.2 Pola hidup Ny. Sriantin yang dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus
1. Aktivitas fisik
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan sosial.
Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit dan
tingkat keparahannya yang akan memengaruhi kemampuan fungsional dan kesejahteraan
seorang lansia. Status fungsional lansia merujuk pada kemampuan dan perilaku aman
dalam aktivitas harian (ADL). ADL sangat penting untuk menentukan kemandirian
lansia. Perubahan yang mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau
perburukan masalah kesehatan. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin karena kelainan fungsi sel β. Resistensi insulin ditandai
dengan berkurangnya kemampuan insulin untuk menyeimbangkan kadar glukosa darah
karena berkurangnya sensitivitas jaringan sehingga meningkatkan produksi insulin oleh
sel β pankreas (Baynest 2015, Kumar et al. 2017, Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko
independent untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan diperkirakan
menyebabkan kematian secara global (WHO, 2013).
Aktivitas fisik berdampak terhadap insulin pada orang yang beresiko Diabtes
Melitus. Olahraga mengaktifasi ikatan insulin di membran plasma sehingga dapat
menurunkan kadar glukosa darah. Latihan aerobik adalah latihan jenis ketahanan yang
meningkatkan detak jantung dan laju pernapasan seseorang dalam jangka waktu
yang lama. Latihan fisik teratur bersifat aerobik pada penderita diabetes dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan menurunkan risiko kardiovaskular. Jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan senam merupakan latihan yang bersifat aerobik.
Frekruensi latihan dilakukan minimal 3-4 kali perminggu selama 30 menit atau
secukupnya. Latihan fisik secara teratur dapat menurunkan kadar HbA1c. Klasifikasi
aktivitas fisik ringan, sedang, berat mengacu pada (Riskedas, 2013)

Melihat pada usia yang sangat tua, Ny. Sriantin kesusahan dalam melakukan kegiatan
fisik yang biasanya dilakukan pada saat umurnya masih muda. Seperti, memasak,
22

mencuci piring, membersihkan rumah. Hal itu menjadi penyebab tingginya resiko
mengidap diabetes melitus tipe 2.

2. Tingkat stress
Stres atau depresi rendah meningkatkan risiko diabetes tergantung pada
tingkat stres atau depresi (Kolb dan Martin 2017). Dampak psikologis dari diabetes
melitus mulai dirasakan oleh pasien sejak terdiagnosis diabetes melitus dan
penyakitnya telah berlangsung selama beberapa bulan atau lebih dari satu tahun.
Pasien mulai mengalami gangguan psikis diantara stress pada dirinya sendiri
berkaitan dengan pengobatan yang dijalani (Tjokoprawiro, dalam Jamaludin, 2011).
Pasien dibetes melitus yang mengalami stress dapat mengakibatkan gangguan
pada pengontrolan kadar glukosa darah. Pada keadaan stress akan terjadi
peningkatan ekresi hormon katekolamin, glucagon, glukokortikoid, endorphin, dan
hormon pertubuhan (Suherman,2009).

5.3 Solusi dan cara pengobatan diabetes melitus tipee 2


Perubahan pola hidup menjadi salah satu kunci untuk menangani diabetes melitus.
Pencegahan diabetes melitus tipe 2 dilakukan dengan gaya hidup atau perilaku hidup
sehat dengan diet dan olah raga. Diet dilakukan dengan penurunan kalori individu dan
memonitor penanda kardiometabolik seperti tekanan darah, lemak, dan peradangan. Diet
dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah, menjaga tekanan darah, kadar lemak
darah dan berat badan normal, tidur yang cukup, dan meningkatkan kualitas kesehatan
(MarinPenalver et al. 2016, Russell et al. 2016).

1. Pola makan

Penelitian oleh Sami et al di Sauda Arabia menyatakan bahwa peran sikap budaya
dan perilaku terhadap makanan dalam pengelolaan diabetes tidak dapat diabaikan,
karena sikap penyandang DM terhadap makanan dipengaruhi oleh budaya yang
kuat. Kebanyakan penyandang menyatakan bahwa pemilihan makanan, dampak
kesehatannya, pilihan sehat, pembatasan makanan, dan kategorisasi makanan tidak
penting bagi mereka. Faktor penghalang pada budaya di Saudi Arabia terhadap
pemilihan makanan dan konsumsi serta dampak kesehatannya juga telah didukung
oleh penelitian lokal. Mayoritas pasien menyatakan tidak suka makan makanan diet,
juga tidak suka menjauhi makanan mengandung gula, serta masih mengonsumsi
daging merah, nasi, produk susu, dan junk food. Sebagian besar pasien dalam
penelitian tersebut tidak menyadari kandungan kalori dalam makanan yang
dikonsumsi.

Maimunah dan Rahman mendapatkan adanya hubungan bermakna antara pola


makan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2. Individu yang mempunyai pola
makan buruk berisiko 3,8 lebih besar terkena diabetes melitus dibandingkan yang
mempunyai pola makan baik. Bila seseorang menjaga pola makan dengan baik
seperti konsumsi rendah gula dan tinggi serat (lebih banyak makan buah dan
sayuran), hal ini dapat memperkecil risiko menyandang diabetes melitus tipe 2.
Kementerian Kesehatan RI juga menyebutkan bahwa konsumsi makanan yang tidak
23

seimbang, tinggi gula, dan rendah serat juga merupakan faktor risiko diabetes
melitus.

Penelitian Hariawan et al4 menyatakan bahwa pola makan tidak sehat


menyebabkan ketidakseimbangan antara karbohidrat dan kandungan lain yang
dibutuhkan oleh tubuh. Akibatnya kandungan gula di dalam tubuh menjadi tinggi
melebihi kapasitas kerja pankreas dan berakibat terjadinya diabetes melitus.
2. Aktivitas fisik
Sehubungan dengan pengaruh pola aktivitas fisik terhadap diabetes melitus tipe 2,
Masi dan Mulyadi melaporkan bahwa aktivitas fisik yang kurang menyebabkan
resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2. Menurut Indonesian Diabetes
Association, selain faktor genetik, diaebtes melitus tipe 2 juga dapat dipicu oleh
lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat, seperti makan
berlebihan (berlemak dan kurang serat), kurang aktivitas fisik dan stres.
Diabetes melitus tipe 2 sebenarnya dapat dikendalikan atau dicegah melalui gaya
hidup sehat, seperti makanan sehat dan aktivitas fisik teratur. Hal ini didukung oleh
penelitian Leiva et al yang menyatakan bahwa aktivitas fisik dan gaya hidup
menetap (waktu duduk yang lama) berkontribusi terhadap risiko diabetes melitus
tipe 2 baik pada individu yang tidak aktif secara fisik dan mereka dengan gaya hidup
yang tidak banyak bergerak (≥ 4 jam sehari).
3. Peran tenaga kesehatan, keluarga, dan motivasi diri sendiri
 Peran tenaga kesehatan
Petugas kesehatan harus dapat berperan sebagai edukator, screener dan
konselor bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Peran
petugas kesehatan sebagai konselor merupakan tempat bertanya bagi
masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatan. Petugas kesehatan harus
membuka layanan konsultasi, membentuk kelompok kerja di fasilitas kesehatan
dan menyediakan fasilitas seperti pemeriksaan gula darah, tanda-tanda vital bagi
penderita diabetes melitus tipe 2.
Petugas kesehatan merupakan orang pertama yang mengetahui tentang
kondisi kesehatan pasien sehingga mereka memiliki peran yang besar dalam
menyampaikan informasi mengenai kondisi kesehatan dan hal-hal yang harus
dilakukan oleh pasien untuk proses kesembuhannya. Komunikasi ini dapat
dilakukan melalui pendidikan kesehatan berupa penyuluhan.
 Peran keluarga
Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap
dan perilaku individu. Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk
kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola
hidupnya.Keluarga merupakan konteks sosial primer untuk promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit. Kepercayaan nilai dan praktik dalam keluarga sangat
mempengaruhi tingkah laku promotif bagi kesehatan anggotanya. Dengan hal
ini status kesehatan keluarga akan mempengaruhi fungsi unit keluarga dan
kemampuannya memcapai tujuan. Jika mereka dapat berfungsi dan memenuhi
tujuannya dengan memuaskan, anggota keluarga akan berfikir positif mengenai
24

dirinya dan keluarganya, sebaliknya jika kebutuhan tidak terpenuhi, keluarga


akan memandang dirinya sebagai keluarga yang tidak efektif.
 Peran motivasi diri sendiri
Motivasi diri dapat merubah prilaku seseorang. Lansia penderita diabetes
mellitus di wilayah Puskesmas Ciracas memiliki motivasi diri untuk sembuh
yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada jadwal control yang rutin
dilakukan. Dengan demikian motivasi diri lansia penderita diabetes mellitus di
Ciracas dapat merubah prilaku hidup sehat sehingga meningkatkan kualitas
hidup ( Saiful et al. 2018).

Menurut pendapat penulis, solusi yang tepat untuk Ny. Sriantin adalah mengikuti
program lansia di daerahnya sendiri. Karena selain berdampak kepada kesehatan fisik,
program prolanis juga dapat menjadi ajang untuk menurunkan tingkat depresi lewat
berkumpul dengan orang-orang yang berumur sepadan. Untuk mengatasi keterbatasan
fisik, Ny. Sriantin dapat untuk selalu didampingi oleh keluarganya karena mengingat
umur beliau yang sudah sangat tua.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang muncul dengan sendirinya ketika tubuh
tidak dapat mengatur jumlah glukosa dalam darah dan ginjal mengeluarkan urin dalam
jumlah yang besar. Ny. Sriantin adalah seorang lansia 97 tahun penderita diabetes
melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin karena kelainan fungsi sel β. Beberapa keluhan yang Ny. Sriantin rasakan
seperti sering buang air kecil, sering merasa lapar dan haus, kaki kesemutan, dan luka
lama sembuh.

Dalam upaya mengatur kadar gula darah, Ny. Sriantin dapat melakukan beberapa
upaya yaitu dengan pola makan yang baik, melakukan aktivitas fisik. Upaya
penyembuhan Ny. Sriantin ini tentunya tidak jauh dari dukungan petugas kesehatan
sebagai edukator, screener dan konselor bagi klien, keluarga dalam mengurus segala
kebutuhan dan memberi dukungan moral kepada Ny. Sriantin, serta motivasi diri sendiri.

5.2 Saran
Puskesmas harus tetap menjalankan program posyandu lansia dengan baik. Agar
angka kesejahteraan lansia bertambah besar. Dan juga sebaiknya, Ny. Sriantin adalah
mengikuti program lansia di daerahnya sendiri. Karena selain berdampak kepada
kesehatan fisik, program prolanis juga dapat menjadi ajang untuk menurunkan tingkat
depresi lewat berkumpul dengan orang-orang yang berumur sepadan. Untuk mengatasi
keterbatasan fisik, Ny. Sriantin dapat untuk selalu didampingi oleh keluarganya karena
mengingat umur beliau yang sudah sangat tua.

25
Daftar Pustaka

Ariani, Y., Sitorus, R., & Gayatri, D. (2012). Motivasi dan Efikasi diri pasien diabetes
melitus
tipe 2 dalam asuhan keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(1), 29-38.
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/44/44

Gunardi, S., & Septiawan, C. (2018). Pengaruh Empat Variabel Terhadap Kualitas Hidup
Lansia Penderita Diabetes Melitus Tipe II. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, 8(03),450-461.
https://journals.stikim.ac.id/index.php/jiiki/article/download/128/109

Hardianto, D. (2020). Telaah Komprehensif Diabetes Melitus: Klasifikasi, Gejala, Diagnosis,


Pencegahan, Dan Pengobatan: A Comprehensive Review Of Diabetes Mellitus:
Classification, Symptoms, Diagnosis, Prevention, And Treatment. Jurnal
Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI), 7(2), 304-317.
https://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JBBI/article/view/4209

Hestiana, D. W. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam


pengelolaan
diet pada pasien rawat jalan diabetes mellitus tipe 2 di Kota Semarang. JHE (Journal
of Health Education), 2(2), 137-145.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/article/view/14448

Raraswati, A., Heryaman, H., & Soetedjo, N. (2018). Peran program Prolanis dalam
penurunan
kadar gula darah puasa pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas
Kecamatan Jatinangor. Jurnal Sistem Kesehatan, 4(2).
http://jurnal.unpad.ac.id/jsk_ikm/article/view/20687

Suryasa, I. W., Rodríguez-Gámez, M., & Koldoris, T. (2021). Health and treatment of
diabetes
mellitus. International Journal of Health Sciences, 5(1).
https://www.academia.edu/download/
87163549/2864_Article_Text_Editorial_Production_904_1_10_20211227.pdf

26
Dokumentasi

27

Anda mungkin juga menyukai