Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Medical Bedah
Disusun oleh :
Kelompok 2
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
Ruangan Kemuning Lantai III di RSUP Dr. Hasan Sadikin Kota Bandung "
laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
membantu, sehigga laporan ini selesai sesuai dengan waktu nya. peyusun
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna oleh karea itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun khususnya dari dosen mata kuliah
acuan dalam bekal pengalaman bagi penyusun untuk lebih baik di masa yang
akan datang.
Bandung, 11 Desember
2021
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan masalah.............................................................................................
C. Tujuan penelitian..............................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI.......................................................................................
A. Pengertian..........................................................................................................
B. Etiologi...............................................................................................................
C. Patofisiologi.......................................................................................................
E. Manifestasi Klinis.............................................................................................
F. Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................
G. Penatalaksanaan.........................................................................................
H. Asuhan Keperawatan Teori.......................................................................
I. INTERVENSI KEPERAWATAN................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................
A. KASUS.............................................................................................................
B. PENGKAJIAN................................................................................................
BAB IV PENUTUP......................................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................................
B. Saran..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
melitus tipe 2 terjadi karena akibat adanya resistensi insulin yang mana
1
kadar gula darah anteprandial, kadar gula darah post prandial, kadar gula
darah dengan HbA1c saat ini tidak digunakan lagi sebagai alat diagnosis
pemeriksaan kadar gula darah anteprandial ≥ 126 mg/dl, dua jam setelah
makan ≥ 200 mg/dl dan kadar gula darah acak ≥ 200 mg/dl.
jiwa pada tahun 2019 dan jumlah kematian pada kasus ini yaitu 4,2 juta
2045 kasus diabetes akan meningkat menjadi 700 juta. Selain itu, Menurut
dibandingkan pada tahun 2013 dengan prevelensi 1.5% . Selain itu, jumlah
melitus akan berdampak pada tingginya resiko ulkus kaki yang sulit
2
jaringan pada bagian distal (D. Wahyuni et al., 2016). Hal ini sejalan
hubungan kadar gula darah dengan derajat ulkus diabetik. Hasil penelitian
gula darah < 3 5 kali perbulan. Selain itu, prevelensi aktivitas fisik di
Indonesia pada tahun 2018 yaitu 66,5 % yang mana mengalami penurunan
2020).
makan dapat dilakukan dengan prinsip 3J ( jenis, jumlah, jadwal). Hal ini
asupan nutrisi, melakukan aktivitas fisik juga dapat mengontrol kadar gula
insulin secara teratur untuk mencegah tingginya kadar gula darah yang
juga diwajibkan melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur. Hal ini
3
memutuskan pencegahan atau penatalaksanaan yang sesuai dengan status
kadar gula darah dalam tubuhnya. Maka dari itu, pentingnya mengetahui
status kadar gula darah pada pasien DM, karena dapat membantu tenaga
pemeriksaan pertama kali, karena dengan hal itu dapat mengetahui status
macam-macam kategori kadar gula darah pada penderita DM. Maka dari
B. Rumusan masalah
4
3. Mengetahui Etiologi Diabetes Melitus
4. Mengetahui Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
5. Mengetahui Patofisiologi Diabetes Melitus
6. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus
7. Mengetahui Penatalaksanaan Diabetes Melitus
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Penyakit diabetes melitus (DM) banyak dikenal orang sebagai
penyakit yang erat kaitannya dengan asupan makan. Asupan makan
seperti karbohidrat atau gula, protein, lemak, dan energi yang
berlebihan dapat menjadi faktor risiko awal kejadian DM. Semakin
berlebihan asupan makan maka semakin besar pula kemungkinan akan
menyebabkan DM (Susanti dan Bistara, 2018:30). Diabetes Melitus
merupakan sekumpulan gejala gangguan metabolik yang ditandai
dengan kadar gula darah diatas standar sehingga mempengaruhi
metabolisme zat gizi karbohidrat, lemak dan protein dengan disertai
etiologi multi faktor (Nurayati dan Adriani, 2017).
6
Diabetes melitus tipe 1 dapat mulai terjadi pada usia 4 tahun dan
dapat meningkat pada rentan usia 11-13, sebagian besar merupakan
proses autoimun. Faktor genetik multifaktorial tampaknya menjadi
kerentanan menderita penyakit ini namun hanya 10-15% pasien
yang memiliki riwayat diabetes didalam keluarganya.
3. DM tipe lain
7
C. Etiologi
Diabetes mellitus terjadi karena adanya kelainan sekresi insulin
yang progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan
Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. 8 NIDDM ditandai dengan adanya
kelainan dalam dalam sekresi insulin mmaupun dalam kerja insulin.
Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap
kerja insulin. Insulin ini mula-mula mengikat dirinya kepada resptor-
resptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler
yang meningkatkan transport glukosa mmenembus membrane sel. Pada
pasien-pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam peningkatan
insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor yang responsive insulin pada membrane sel. Akibatnya,
terjadi penggabungan abnormal antar kompleks reseptor insulin dengan
system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin,
tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia
(Manurung, 2018).
Faktor risiko :
a. Jenis kelamin
Diabetes melitus tipe 2 banyak diderita oleh wanita,
dikarenakan faktor hormonal yang menyebabkan
indeks masa tubuh pada wanita lebih meningkat
(Trisnawati and Setyorogo, 2013).
b. Umur
Pada diabetes melitus tipe 2 banyak dan rentan
terjadi pada usia >45 tahun (Fatimah, 2015).
8
c. Faktor genetik
Diabetes melitus bukan lah penyakit menular namun,
cenderung diturunkan jika orang tua atau saudara
kandung mengalami diabetes melitus dan akan
diturunkan kepada anaknya (Fatimah, 2015).
a. Merokok
Asap rokok dapat merangsang kelenjar adrenal dan
tentunya merangsang hormon kortisol yang
menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat
(Trisnawati and Setyorogo, 2013).
b. Konsumsi alkohol
Mengonsumsi alkohol biasanya pada lingkungan
kebarat-baratan. Perubahan gaya hidup juga akan
meningkatkan prevalensi terjadinya penderita
diabetes melitus. Dengan mengonsumsi alkohol
dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah
yang nantinya akan mengganggu metabolisme gula
dalam darah. Tekanan darah akan meningkat ketika
seseorang mengkonsumsi etil alkohol >60 ml/ hari
(Fatimah, 2015).
c. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Nilai IMT yang meningkat atau >23 dapat
meningkatkan kadar glukosa dalam tubuh sebesar
200 mg% (Fatimah, 2015).
d. Lingkar pinggang
Ukuran lingkar pinggang yang berlebihan juga tidak
baik untuk kesehatan, salah satunya pada penderita
diabetes melitus lingkar pinggang pada wanita tidak
boleh >80 cm dan pada pria tidak boleh >90 cm
(Fatimah, 2015).
9
e. Hipertensi
Faktor risiko terjadinya diabetes melitus salah
satunya adalah dengan tingginya tekanan darah atau
tekanan darh >140/90 mmHg (Perkumpulan
Endrokrinologi Indonesia (PERKENI), 2015).
f. Dislipidemia
Terjadinya peningkatan atau penurunan kadar lemak
atau lipid di dalam darah disebut dengan
dislipidemia. Pada dislipidemia akan terjadi
peningkatan kadar trigliserida dan peningkatan kadar
Low Density Lipoprotein (LDL), sedangkan kadar
High Densiti Lipoprotein (HDL) menurun (Asysyifa
et al., 2018).
D. Manifestasi Klinis
Gaya hidup yang tidak baik menyumbang
terjadinya faktor risiko terjadinya diabetes melitus.
Secara umum, penderita diabetes melitus ditandai
dengan merasakan haus, lapar, buang air kecil yang
berlebihan hingga menurunnya berat badan secara
drastis (Fox dan Kliven, 2011). Ini menjadikan
masyarakat dapat melakukan identifikasi pada gejala-
gejala yang timbul. Lebih lanjut dikemukakan, diabetes
melitus tipe 2 dominan penyakit yang bersifat bawaan
(genetik), terutama pada anggota keluarga yang
mempunyai riwayat obesitas dan diabetes melitus
sebelumnya. (Askandar, 2013). Askandar (2013)
mengklasifikasi gejala diabetes menjadi dua, yaitu gejala
akut dan gejala kronik. Masing-masing diuraikan
sebagai berikut:
1. Gejala Akut
Gejala ini umum ditemui pada mayoritas penderita
10
DM, dan porsinya tidak selalu sama. Bahkan ada
penderita DM yang tidak menunjukkan gejala ini.
Tahapan gejala akut pada penderita DM
dikelompokkan menjadi beberapa fase, diantaranya:
a. Dimulai dengan gejala yang dikenal dengan 3P-
serba-banyak yaitu banyak makan (polifagia),
banyak minum (polidipsia), dan banyak kencing
(poliuria). Pada fase ini ditandai dengan berat badan
yang bertambah naik atau gemuk.
b. Fase selanjutnya merupakan dampak dari tidak
terobatinya fase pertama. Pada fase ini, penderita
tidak lagi mengalami 3P, melainkan hanya 2P, yaitu
polidipsia dan poliuria. Biasanya juga disertai
dengan berat badan yang turun drastis dalam kurun
waktu 2-4 minggu, mudah lelah, hingga timbul rasa
mual hingga rasa ingin jatuh.
2. Gejala Kronik
Gejala ini merupakan gejala yang timbul pada
penderita yang terdiagnosis DM setelah beberapa
bulan atau beberapa. Penderita cenderung menyadari
dirinya menderita DM setelah mengalami gejala.
Beberapa yang termasuk gejala kronik diantaranya
kesemutan lebih sering, kulit penderita terasa panas,
seperti tertusuk jarum, mudah lelah, mengantuk,
kulit merasa tebal, kram, pandangan mata mulai
kabur, gatal di area kemaluan, gigi mudah goyah,
kemampuan seksual yang menurun atau impoten,
hingga keguguran yang dialami oleh ibu hamil. Pada
fase awal penderita diabetes melitus sering kali tidak
menyadari gejala-gejala yang timbul. Ini karena
beberapa orang memiliki tingkat pengetahuan yang
berbeda. Beberapa gejala seperti mudah lelah sering
11
kali diartikan sebagai respon tubuh yang kurang
tidur atau depresi. Tandra (2017:27) menyebutkan
bahwa dalam mengidentifikasi gejala DM, penderita
hanya perlu mengenali dua kondisi utama yaitu
(1) gula darah tinggi akan membuat seseorang
mudah buang air kecil (poliuria), dan
(2) melalui poliuria, seseorang akan merasa mudah
haus (polidipsia).
E. Patofisiologi
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early
peak yang terjadi dalam 3- 10 menit pertama setelah
makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak
dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang
fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih
banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi
insulin sebagaimana pada orang normal.
Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi
insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah
turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati
meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2
untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan
demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan
gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan
selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa
darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar
glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa
meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah
12
puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak
mampu meningkat lebih tinggi lagi, pada tahap ini mulai
terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya
menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah
mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap
produksi glukosa hati khususnya glukomeogenesis mulai
berkurang sehingga produksi glukosa hati makin
meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa.
(Manurung, 2018).
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta
diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara
lain menurunnya sel beta, malnutrisi masa kandungan
dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek
toksik glukosa (glucose toxicity). Pada sebagian orang
kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain
sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa
tingkatan.
Pada sesorang penderita dapat terjadi respon
metabolik terhadap kerja tertentu tetap normal,
sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang
lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin
merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor
genetik dan lingkungan berperan penting pada
perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan
dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom
ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak
gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktivitas fisik,
makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan
dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan
resistensi insulin (Manurung, 2018).
13
14
F. Komplikasi
Berdasarkan (Wijaya, 2013) ada beberapa komplikasi diabetes
yaitu :
a. Komplikasi metabolik
1) Ketoasidosis diabetic
2) HHNK (Hiperglikemik Hiperosmoral Non Krtotik)
b. Komplikasi
1) Mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) dan
Neuropati
2) Makrovaskular (MCI, stroke, penyakit vaskuar perifer)
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien diabetes melitus yang mengalami hipoglikemia
antara lain (Black dan Hawks, 2021) :
15
d. Pemeriksaan Elektrolit
Biasanya tejadi peningkatan creatinin jika fungsi
ginjalnya telah terganggu
e. Pemeriksaan darah lengkap
Leukosit, terjadi peningkatan jika terdapat infeksi
pada pasien
H. Penatalaksanaan
16
untuk meningkatkan berat badan (DiPiro, 2015).
Dianjurkan diet dengan komposisi makan yang
seimbang dalam hal karbohidrat, lemak dan
protein sesuai dengan kecukupan gizi yang baik
sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik,
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI,
2005).
17
memperbanyak jumlah 14 Universitas
Muhammadiyah Surabaya dan meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI,
2005). Selain itu latihan aerobik dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol
glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, membantu untuk penurunan berat
badan atau pemeliharaan dan meningkatkan
kesehatan (DiPiro, 2015).
2. Terapi Farmakologi
Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita,
maka perlu dilakukan terapi farmakologi, baik
dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi
insulin, atau kombinasi keduanya.
a. Obat Antihiperglikemia
Oral Berdasarkan cara kerjanya, obat
antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan :
• Pemacu Sekresi Insulin (Insulin
Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
1. Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang
paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa
tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir
semua obat hipoglikemik oral merupakan
golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik
oral golongan sulfonylurea merupakan obat
pilihan (drug of choice) untuk penderita
diabetes dewasa baru dengan berat badan
normal dan kurang serta tidak pernah
18
mengalami ketoasidosis sebelumnya.
Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan
hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok
ini bekerja merangsang sekresi insulin
dikelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya
efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas
masih dapat berproduksi. Penurunan kadar
glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi
insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata
pada saat glukosa dalam kondisi
hiperglikemia gagal merangsang sekresi
insulin, senyawa-senyawa obat ini masih
mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh
sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea
sangat bermanfaat untuk penderita diabetes
yang kelenjar pankreasnya masih mampu
memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu
hal terhambat sekresinya.
2. Glinid
Mirip dengan sulfonilurea, glinid
menurunkan glukosa lebih rendah dengan
merangsang sekresi insulin pankreas, tetapi
pelepasan insulin tergantung glukosa dan
akan hilang pada konsentrasi glukosa darah
rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk
hipoglisemi yang buruk. Agen ini
menghasilkan pelepasan insulin fisiologis
19
lebih banyak dan lebih hebat menurunkan
glukosa post-prandial dibandingkan dengan
sulfonilurea durasi panjang. Obat-obatan ini
dapat digunakan untuk memberikan
peningkatan sekresi insulin saat makan (bila
diperlukan) dengan tujuan glikemik. Obat-
obat ini sebaiknya diberikan sebelum makan
(sampai 30 menit sebelumnya). Jika ada
waktu makan yang dilewatkan, maka obat
ini juga tidak diminum. Saat ini tidak ada
penyesuaian dosis yang diperlukan untuk
lansia.
a. Repaglinide (Prandin): dimulai pada 0,5-2
mg secara oral dengan dosis maksimum 4
mg tiap makan (Sampai empat kali sehari
atau 16 mg / hari).
b. Nateglinide (Starlix): diberikan 120 mg
secara oral tiga kali sehari sebelum makan.
Dosis awal dapat diturunkan sampai 60 mg
tiap makan pada pasien yang A1C
mendekati target terapi ketika terapi dimulai.
• Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin :
Metformin dan Tiazolidindion (TZD)
1. Metformin
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin
dari hati dan jaringan perifer (otot) untuk
meningkatkan penyerapan glukosa.
Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia
ketika digunakan sendirian. Metformin
digunakan dalam obesitas / kelebihan berat
badan DM tipe 2 pasien (jika ditoleransi dan
tidak kontraindikasi) karena satu-satunya
20
obat anti hiperglikemik oral yang terbukti
mengurangi risiko kematian total.
a. Metformin aksi cepat (Glucophage)
diberikan 500 mg dua kali sehari dengan
makan (atau 850 mg sekali sehari) dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850
mg tiap 2 minggu) sampai dicapai total 2000
mg/hari. Dosis harian maksimum yang
dianjurkan adalah 2550 mg/hari.
b. Metformin lepas lambat (Glucophage XR)
bisa dimulai dengan 500 mg dengan makan
sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap
minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika
kontrol suboptimal bisa didapat dengan
dosis sekali sehari pada dosis maksimum,
bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.
2. Tiazolidindion (TZD)
Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin
pada jaringan otot, hati dan lemak secara
tidak langsung. Jarang terjadi, kenaikan
yang cepat dari sejumlah berat badan
sehingga bila terjadi mungkin memerlukan
penghentian terapi. Glitazones juga telah
dikaitkan dengan kerusakan hati,
peningkatan patah tulang, dan sedikit
peningkatan risiko kanker kandung kemih.
b. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi
penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel- sel β
Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,
sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.
21
Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe
I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal.
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2
tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir
30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik oral. Insulin
yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena
porta, yang kemudian akan di distribusikan ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek
kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam
sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa
darah tidak dapat atau terhambat masuk
kedalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak
dapat memproduksi energi sebagaimana
seharusnya. Disamping fungsinya membantu
transport glukosa masuk kedalam sel, insulin
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap
metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan
lipid, maupun metabolisme protein dan mineral.
Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport
asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi,
sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan
pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat
22
luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
23
penyembuhan yang lama.
Tanda : takikardia, perubahan TD postural, nadi menurun, disritmia,
krekels, kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung.
c. Integritas ego
Gejala : stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang
berhubungan dengan kondisi.
Tanda : ansietas, peka rangsang.
d. Eliminasi
Gejala : perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri terbakar,
kesulitan berkemih, ISK, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda : urine encer, pucat, kuning, poliuri, bising usus lemah, hiperaktif
pada diare.
e. Makanan dan cairan
Gejala: hilang nafsu makan, mual muntah, tidak mengikuti diet,
peningkatan masukan glukosa atau karbohidrat, penurunan berat badan,
haus, penggunaan diuretik.
Tanda: kulit kering bersisik, turgor jelek, kekakuan, distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid, napas bau aseton
f. Neurosensori
Gejala: pusing, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parastesia,
gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma, gangguan memori,
refleks tendon menurun, kejang.
g. Kardiovaskuler
Gejala :Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural,
hipertensi dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
h. Pernapasan
Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa sputum.
Tanda: pernapsan cepat dan dalam, frekuensi meningkat.
i. Seksualitas
Gejala: rabas vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
j. Gastrointestinal
Gejala : Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, anseitas,
wajah meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun.
24
k. Muskuloskeletal
Gejala : Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki,
reflek tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
l. Integumen
Gejala: Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek,
pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak,
lesi/ulserasi/ulkus
DIAGNOSA KEPERAWATAN
25
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
26
Defisit Nutrisi Setelah dilakukan Manajemenen Nutrisi (I.03119)
(D.0019) tindakan Observasi
keperawatan selama 3.1 Identifikasi status nutrisi
3 x 24 jam 3.2 Monitor asupan makanan
diharapkan defisit Terapeutik
nutrisi dapat 3.3 Berikan makanan tinggi serat
terpenuhi dengan untuk mencegah konstipasi
kriteria hasil : Edukasi
- Pasien 3.4 Ajarkan diet yang diprogramkan
tidak mengeluh Kolaborasi
mual dan muntah 3.5 Kolaborasi dengan ahli gizi
- Pasien untuk menentukan jumlah kalori
menghabiskan dan jenis nutrien yang
porsi dibutuhkan, jika perlu
makanannya
Kolaborasi
4.8 Kolaborasi pemberian
antibiotic
Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia
(D.0023) tindakan Observasi
keperawatan selama 5.1 Observasi tanda-tanda vital dan
3 x 24 jam gelaja hipovolemia
diharapkan defisit 5.2 Monitor intake dan output cairan
27
nutrisi dapat Terapeutik
terpenuhi dengan 5.3 Hitung kebutuhan cairan
kriteria hasil : 5.4 Berikan asupan cairan oral
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. KASUS
Kasus cardio :
Tn. O usia 75 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak
2 hari yang lalu dan nyeri dada menjalar hingga ke punggung. sesak
berkurang apabila klien tidur setengah duduk. sesak bertambah jika
beraktifitas, sesak dirasakan hilang timbul dan perasaan di timpa benda
berat. hasil tanda tanda vital tekanan darah 101/90 mmHg, nadi 90x/menit,
respirasi rate 28x/menit, suhu 36,1 OC. dilakukan pemeriksaan foto thorax
krdiomegali curiga dengan edema paru bronchopneumonia.
B. PENGKAJIAN
I. Identitas
A. Identitas Pasien
1) Nama inisial : Tn. O
2) No RM : 430556
3) Usia : 76 Tahun
4) Status perkawinan : Menikah
5) Pekerjaan : Petani
6) Agama : Islam
7) Pendidikan : SMP
8) Suku : Sunda
9) Alamat rumah : KP.Pareang Lio Rt 002/001
Mandalasari Cipatat Bandung Barat
10) Sumber biaya : BPJS
11) Tanggal masuk RS : 09 November 2021 (11.31)
28
12) Tanggal pengkajian : 09 November 2021
13) Diagnosa Medis : ADHF
B. Identitas Penanggungjawab
1) Nama : Ny. A
2) Umur : 56 Tahun
3) Hubungan dengan pasien : Anak
4) Pendidikan : SMA
5) Alamat : KP. Pareang Lio Rt 002/001
Mandalasari Cipatat Bandung Barat
29
d. Riwayat kesehatan keluarga
Genogram atau penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga
yang menjadi faktor resiko, 3 generasi.
Pasien mengatakan bahwa dalam keluarganya ada yang
mempunyai penyakit yang sama yaitu ayahnya.
e. Riwayat psikososial dan spiritual
1. Support sistem terdiri dari dukungan keluarga, lingkungan,
fasilitas kesehatan terhadap penyakitnya.
Klien berhubungan baik dengan keluarga dan lingkungan
sekitarnya maupun di masyarakat.
2. Komunikasi terdiri dari pola interaksi sosial sebelum dan saat
sakit
Sebelum sakit: klien mengatakan mengikuti aktivitas
dilingkungan rumahnya dan bersosialisasi
Saat sakit: klien mengatakan berinteraksi dengan
keluarganya petugas kesehatan yang ada di rumah sakit
3. Sistem nilai kepercayaan sebelum dan saat sakit
Sebelum sakit: klien mengatakan selalu beribadah dan shalat
5 waktu
Setelah sakit: klien mengatakan melaksanakan sholat di
tempat tidur serta klien mengatakan bahwa sakit yang
dideritanya adalah cobaan.
f. Lingkungan
1. Rumah
Kebersihan : klien mengatakan rumahnya bersih
Polusi : klien mengatakan bahwa rumahnya jauh dari polusi
2. Pekerjaan
Kebersihan : klien mengatakan dirinya bekerja sebagai petani
dengan lingkungan yang sedikit kotor
30
Polusi : klien mengatakan lingkungan pekerjaannya bebas dari
polusi
Bahaya : klien juga mengatakan lingkungannya aman serta
bebas dari bahaya
31
teratur, gaya
hidup yang
Klien mengatakan tidak pernah
dijalankan.
mengalami kecelakan
Riwayat penyakit
sebelumnya
(penyakit,
pembedahan,
penyakit
kronis)
Hal yang
dilakukan untuk
menjaga
kesehatan
Perilaku untuk
mengatasi
masalah
kesehatan: diet,
latihan dan olah
raga, pengobatan.
Berpartisipasi
dalam perawatan
kesehatan
Sedang dalam
masa pengobatan
penyakit
(mendapatkan
obat-obatan)
Kecelakaan
(dirumah, kerja
dan berkendara)
32
2. Pola Nutrisi
a. Asupan Oral Oral
b. Frekuensi makan 3 X/hari 1/2 porsi
c. Nafsu makan Baik Buruk
d. Makanan tambahan Buah-buahan ,sayuran Biskuit regalal, roti
e. Makanan alergi Tidak ada alergi Tidak ada alergi
f. Perubahan BB dalam 3
2 kg Tidak ada
bulan terakhir
3. Pola Eliminasi
BAK
BAB
33
pencahat obat pencahat
Kemampuan 0 1 2 3 4
Perawatan Diri
Makan dan V
minum
Mandi V
Toileting V
Berpakaian V
Berpindah V
0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung total.
34
a. Lama tidur 7-8 jam 3-4 jam
b. Waktu
Siang 1 jam 4 jam
Malam 8 jam 2jam
c. Kebiasaan sebelum tidur
Penggunaan obat tidur Tidak ada Tidak ada
Kegiatan lain Tidak ada Tidak ada
d. Kesulitan dalam tidur
Menjelang tidur Tidak ada Susah tidur karena
sesak
Sering terbangun
merasa karena
Sering terbangun Tidak lingkungan yang
kurang nyaman
selama di rawat
Merasa tidak
nyaman karena
Merasa tidak nyaman setelah
Tidak kurang tidur
bangun tidur
35
menyebutkan
waktu dengan
benar dan
menyebuitkan
orang-oraqn
disekitarnya
Persepsi dan manajemen dengan benar
nyeri (tingkat, lokasi, Tidak ada
waktu/durasi, karakteristik)
tidak ada
Mengidentifikasi Baik
kehilangan/perubahan yang
besar dalam hidup.
Baik
Pemeriksaan: Baik
Test Orientasi: waktu, tempat dan
orang
Klien dapat
Klien mampunyai menyebutkan
orientasi waktu, tempat bahwa dirinya
dan orang secara baik sedang berada di
dan tepat rumah sakit, dapat
menyebutkan
waktu dengan
benar dan
menyebuitkan
orang-oraqn
36
disekitarnya
dengan benar
Test membaca dan berkomunikasi
Klien dapat
membaca papan
nama perawat
Klien mampu serta
membaca dengan baik berkomunikasi
dengan baik
Test hal yang baru dipelajari. Klien mampu
mempelajari hal-
hal baru dengan
Klien dapat baik
mempelajari hal-hal
baru dengan baik
Penampilan/keadaaan. … …
Tingkat kecemasan 3
(subjektive – skala 1-10),
4
(objektive – perubahan raut
muka, perubahan suara,
Identitas personal, Baik
Baik
menjelaskan tentang diri
sendiri.
Perubahan dalam tubuh Minim kegiatan Tidak ada
yang tidak dapat diterima. …
Masalah pada pasien.
37
kehilangan harapan. Klien merasa dihargai Klien merasa
Harga diri: penilaian diri dihargai
sendiri. Klien yakin
Klien berpandangan
Ancaman terhadap konsep bahwa
bahwa penyakitnya
diri: sakit, perubahan peran. penyakitnya akan
akan sembuh
sembuh dan
bukan suatu
ancaman baginya
Pemeriksaan:
38
sendiri keputusan yaitu
klien sendiri
Tidak
Berpartisipasi dalam
kegiatan sosial Tidak
Tidak
Apakah penyakit dapat
menyebabkan perubahan Tidak
yang sangat besar terhadap
pola peran dan hubungan. Klien merasa bahwa
Masalah dan/keprihatinan keluarganya selalu
dalam Keluarga memotivasi dirinya Klien mengatakan
bahwa keluarga
selalu
Klien membesarkan mendukungnya
anaknya dengan baik Klien
Pola membesarkan anak
membesarkan
anak-anaknya
Klien mempunyai dengan baik
hubungan yang baik Klien mempunyai
Hubungan dengan orang dengan keluarga hubungan yang
lain maupunn tetangga baik dengan orang
lainya lain
Klien merasa cukup Klien merasa
dengan kondisi cukup dengan
Merasa kecukupan akan
ekonominya kondisi
kondisi sosial ekonomi
ekonominya saat
(keuangan).
ini
Klien merasa bahwa Klien mengatakan
Merasa (terisolasi) oleh tetangganya sangat bahwa saat sakit
tetangga mendukung tetangganya
sekitar. mengunjunginyadi
rumah sakit
Pemeriksaan:
39
10.Seksualitas dan Reproduksi
40
Pemeriksaan:
Pemeriksaan genitalia, pa
41
Ketika mendapatkan masalah menangani setiap Baik, klien dapat
yang besar dalam hidup, masalah dengan baik menangani setiap
apakah dapat menanganinya? masalah dengan
klien tidak pernah baik
Persepsi tentang status mengalami kekerasan klien tidak
keamanan di rumah (episode fisik maupun emosional pernah
kekerasan fisik/emosional) mengalami
kekerasan fisik
maupun
emosional
42
pencegahan penyakit
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Sangat Nyeri Nyeri tak tertahan
□ 0-1 □ 2-3 4-5 □ 6-7 □ 8-9 □ 10
43
jatuh dalam 2 bulan terakhir ini?
apakah pasien delirium? (tidak Ya/ tidak 0
dapat membuat keputusan,
Status pola pikir tidak Salah satu
mental terorganisir, gangguan daya jawaban ya =
ingat) 14
apakah pasien disorientasi? Ya/ tidak
(salah menyebutkan waktu,
tempat, atau
orang)
apakah pasien mengalami Ya/ tidak
agitasi?
(ketakutan, gelisah, dan cemas)
apakah pasien memakai Ya/ tidak 0
Salah satu
Penglihatan kacamata?
apakah pasien mengeluh adanya Ya/ tidak jawaban ya
penglihatan buram? =1
apakah pasien mempunyai Ya/ tidak
glaukoma,
katarak, atau degenerasi makula?
apakah terdapat perubahan Ya/ tidak 0
Kebiasaan perilaku
berkemih ya = 2
berkemih? (frekuensi, urgensi,
inkontinensia, nokturia)
mandiri (boleh menggunakan alat 0 jumlahkan 0
Transfer bantu jalan)
(dari memerlukan sedikit bantuan (1 1 nilai transfer
tempat orang) dan mobilitas.
tidur ke / dalam pengawasan Jika nilai total
kursi dan memerlukan bantuan yang nyata 2 0-3, maka skor
kembali (2 = 0. jika nilai
orang) total 4- 6,
ke tempat tidak dapat duduk dengan 3 maka skor = 7
tidur) seimbang,
perlu bantuan total
mandiri (boleh menggunakan alat 0
Mobilitas bantu jalan)
berjalan dengan bantuan 1 orang 1
(verbal / fisik)
menggunakan kursi roda 2
Imobilisasi 3
Total skor 0
Keterangan skor:
44
0-5= risiko rendah
6-16 = risiko sedang 17-30 = risiko tingg
45
Mukosa lembab, simetris, tidak ada sianosis lidah tidak kotor, tonsil
tidak membesar, faring tidak hiperemis, gigi lengkap pengecapan
normal.
JVP tidak meningkat, kelenjar tiroid tidak membesar, tidak ada nyeri
saat menelan.
46
padat,warna kuning kecoklatan, bau khas feces, tidak terpasang
kateter.
11) Ekstremitas Atas dan Bawah : Warna, kesimetrisan, deformitas,
kontraktur, CRT, turgor kulit, kondisi luka /dekubitus, gangrene, luka
bakar (Rule of nine), ROM, Kekuatan otot, Krepitasi, nyeri pada sendi dan
tulang, penggunaan alat bantu (kruk, kursi roda, traksi, gips, ORIF,OREF)
Kaji Refleks Biceps, Triceps, Brachialis, Achiles, Patella, Baninski
5 5 kekuatan otot.
5 5
47
LDL Kolestrol 128 mg/dl nilai rujukan < 115
Pungsi hati
SGOT 14 u/l <38
SGPT 7 u/l < 41
Jantung
Troponin 0,04 ng/ml. <0,3
natrium 138 mmol/L nilai rujukan 126-145
kalium 3.8 mmol/L 3.6-5.2
II. Penatalaksanaan medis
1) Jelaskan tindakan medis yang sudah dilakukan contohnya operasi,
pemasangan alat invasif, dll) :
pemasangan infus
2) Pemberian obat dan jelaskan nama, dosis, cara, rute dan tujuan. :
infus Ringer Laktat (500cc/24 jam) : untuk memenuhi kebutuhan
cairan
furosemide 2x2 ampul per iv : untuk mengeluarkan kelebihan
cairan dari dalam tubuh melalui urine
candesartan 1x8 mg peroral : untuk mengobati tekanan darah tinggi
amlodipine 1x5 mg tab peroral : untuk mengobati tekanan darah
tinggi
spironolactone 1x25mg : untuk menurunkan tekanan darah pada
hipertensi dan obat ini juga dapat digunakan dalam pengobatan
gagal jantung.
alprazolam 1x1 tab peroral : untuk mengatasi gangguan kecemasan
B. ANALISA DATA
48
- Klien mengatakan Gagal pompa ventrikel kanan
dada nya terasa
berat
Do :
Tekanan diastole meningkat
- Klien tampak
terpasang O2 nasal
kanul 4 liter Bendungan atrium kanan
- skala sesak 3 (0-4)
- Klien tampak lelah
- Dispneu
- Irama nafas tidak Bendungan vena sistemik
teratur
- SPO2 : 96 %
Sesak nafas
Metabolisme anaerob
49
Merangsang hipotalamus
Nyeri akut
- pasien tampak
Penurunan suplai 02 kejaringan
berbaring, aktivitas
dilakukan ditempat
tidur
- terpasang infus Mudah Lelah dan letih
ditangan kiri
Intoleransi aktivitas
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
50
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA PERENCANAAN
NO
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan tindakan 1. monitor status 1. untuk mengetahui status
gangguan neuromuskular keperawatan 3x24 jam pola respirasi dan oksigenasi
nafas tidak efektif teratasi oksigenasi 2. untuk membebaskan jalan
2. pertahankan nafas
dengan kriteria hasil :
kepatenan jalan nafas 3. Membantu mempercepat
1. Respirasi dalam batas 3. Atur posisi klien penyembuhan
normal (18x/menit) (semi fowler) 4. untuk memenuhi kebutuhan
2. Tidak ada bunyi nafas 4. berikan terapi oksigenasi
tambahan oksigenasi sesuai
3. Pengembanagan dada kebutuhan
simstris
2. Nyeri akut b.d agen pencedera Setelah dilakukan tindakan 1. kurangi faktor 1. dengan berkurang nyeri
fisiologis keperawatan 3x 24 jam masalah presipitasi nyeri pencetus maka pasien tidak
keperawatan nyeri akut teratasi 2. kaji skala nyeri merasa nyeri
3. monitor TTV 2. untuk mengetahui tingkat
dengan kriteria hasil :
4. ajarkan Teknik nyeri yang dirasakan klien
1. mampu mengontrol relaksasi nafas dalam 3. untuk mengetahui keadaan
nyeri (tahu penyebab 5. tingkatka relaksasi umum klien dan untuk
sakit, mampu menentukan intervensi
menggunakan Teknik selanjutnya
non parfatika untuk 4. meningkatkan relaksasi
mengurangi nyeri terfokus kembali perhatian
51
2. mampu mengenali nyeri dan meningkatkan koping
3. TTV dalam batas normal 5. menurunkan penegangan
otot
3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. kaji keterbatasan 1. untuk menentukan batas
keperwatan 2x24 jam gerak sendi gerakan
diharapkan klien meningkatkan 2. kaji motivasi klien 2. untuk meningkatkan
untuk motivasi yang tinggi dari
aktivitas dengan kriteria hasil
memperahankan klien
1. mampu meningkatkan pergerakan sendi 3. agar dapat memberikan
aktivitas sehari-hari 3. monitor lokasi motivasi yang tepat
secara mandiri ketidak nyamanan 4. membantu mobilitas
2. pasien tampak segar 4. bantu klien 5. mempercepat
3. mempertahankan berjalan kesembuhan klien
kekuatan otot 5. anjurkan
4. mempertahankan melakukan Rom
fleksibilitas aktif dan pasif
52
E. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
DX. HARI/TGL/JAM IMPLEMENTASI RESPON PARAF
KEPERAWATAN
10.15 wib
1. mempertahankan kepatenan jalan
nafas 1. pasien mengikuti
2. memonitor status respirasi dan arahan
oksigenasi 2. SPO2 97 %
3. memberikan oksigenasi RR 21 x/ menit
Jumat, 12-11-2021
3. nasal kanul RPM
12.00
53
13.00
14.00
TD: 120/80
12.00 Rr : 21 x/ menit
54
12.30
Intoleransi aktifitas Kamis, 11-11-2021 1. Mengkaji keterbatasan gerak sendi 1. klien tampak lemas,
2. Mengkaji motivasi klien untuk mampu mengangkat kedua
12.00 wib mempertahankan pergerakan sendi tangan dan kaki kurang
3. Memonitor lokasi ketidak nyamanan dari 2 menit
12.10 wib 4. Menganjurkan melakukan rom aktif 2. klien mengatakan sudah
dan pasif melakukan aktivitas untuk
12.15 wib menggerakan sendi
3. klien masih merasakan
ketidak nyamanan masih
terasa nyari di dada
4. pasien sudah melakukan
gerakan
55
12.00
13.00
14.00
56
F. CATATAN PERKEMBANGAN
Jumat, 12-11 S:
2021 Klien mengatakan sesak tidak ada
14: 00 wib O:
Bernafas normal Rr 21x/ menit
A:
Pola nafas tidak epektif teratasi
P:
Hentikan intervensi
TD: 120/80
N : 73X/ menit
Rr : 21 x/ menit
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
1
Lanjutkan intervensi
2
Nyeri akut Jumat, 12-11 S:
2021 Klien mengatakan sudah tidak nyeri
14:00 wib dan merasa nyaman
O:
Skala nyeri 3 (0-10)
TD: 120/70
N : 81 X/ menit
Rr : 22x/ menit
A:
Nyeri akut teratasi
P:
Interpensi di hentikan
Intoleransi Kamis, 11 - S:
aktifitas 11-2021 Klien mengatakan masih lemas
14:00 wib O:
Pasien tampak berbaring di tempat
tidur
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
Jumat, 12-11 S:
2021 Klien mengatakan sudah tidak
14 : 00 wib lemas lagi
O: pasien tampak duduk di tempat
tidur dan beraktivitas
A: masalah teratasi
P : intervensi di hentikan
3
BAB IV
EBP
A. EBP
Nama dan
No Judul penelitian Metode Hasil Penelitian
Tahun
Penelitian
1. Nama: Pengaruh Relaksasi Otot Desain penelitian Dari hasil penelitian
Indah Juniarti, Progresif terhadap Kadar Gula adalah quasy yang telah dilakukan
Meta Nurbaiti Darah pasien Diabetes Melitus eksperimental didapatkan hasil
dan Raden Tipe II di RSUD Ibnu Sutowo dengan pendekatan bahwa terdapat
Surahmat one group pre test- pengaruh Relaksasi
Tahun: post test desaign. otot progresif
2021 terhadap kadar gula
darah pasien diabetes
melitus tipe II, dan
juga berdasarkan
hasil penelitian, teori
serta penelitian
terkait maka peneliti
berasumsi bahwa
latihan otot progresif
yang dilakukan
secara teratur dapat
memberikan efek
positif berupa
relaksasi berupa
menurunnya
ketegangan, stres
pada pasien,
4
memperbaiki laju
metabolik, dan
meningkatkan
gelombang alfa
diotak yang dapat
memberikan
berbagai manfaat
pada pasien yang
melakukannya secara
teratur. Sehingga
akan berimbas pada
penurunan kadar
gula darah pasien
secara berkala dan
membuat pasien
menjadi lebih bugar.
Hasil penelitian dan
pembahasan maka
kesimpulan pada
penelitian ini adalah
ada pengaruh
relaksasi otot
progresif terhadap
kadar glukosa darah
pasien Diabetes
Melitus Tipe 2
dengan p value
0,000.
2. Nama: Relaksasi Otot Progresif terhadap Penelitian ini Hasil penelitian ini
Devi Putriani & Kadar Gula Darah pada Pasien menggunakan menunjukkan dari 27
5
Dewi Setyawati Diabetes Mellitus Tipe 2 desain penelitian responden sampel
Tahun: deskriptif berupa yang mengalami
2018 mendeskripsikan penyakit diabetes
variabel terkait mellitus tipe 2 lebih
dengan banyak perempuan
menggunakan denga presentase
pendekatan (63,0%)
pendekatan dibandingkan dengan
correlation study laki-laki didapatkan
yaitu pengambilan nilai presentase
data atau (37,0%), dari 27
penelaahan responden
hubungan antara didapatkan usia
dua variabel pada termuda 50 dan usia
suatu situasi. tertua 70 tahun
dengan rata-rata usia
(58,93%), berat
badan responden
didapatkan nilai rata-
rata (62,67%), dari
27 responden
sebelum melakukan
relaksasi otot
progresif dengan
nilai rata-rata
sebanyak (188,85%)
dan sesudah
didapatkan nilai rata-
rata (179,22%).
3. Nama: Efektifitas Relaksasi OtotPenelitian quasi Hasil penelitian
6
Rini Meilani, Progresif Terhadaop Kadar Gula experiment pre test menunjukan paling
Fauzan Alfikrie, Darah: Penelitian Quasi and post test with banyak responden
dan Aryanto Eksperimen pada Penderita control group pada usia dewasa
Purnomo Diabetes Melitus Tipe 2 Usia design. Sebanyak akhir yaitu 10
Tahun: Produktif 24 responden yang responden (41,7%).
2020 dibagi menjadi dua Sebagian besar
kelompok (12) berjenis kelamin
intervensi yang perempuan yaitu 18
diberikan terapi responden (75%).
relaksasi otot Pekerjaan terbanyak
progresif dan 12 yaitu PNS 9
kontrol). Sampel responden (37,5%).
penelitian dipilih Mayoritas responden
secara porpusive yang mempunyai
berdasarkan riwayat diabetes
kriteria yaitu melitus lebih dari 5
pasien diabetes tahun yaitu 16 orang
melitus tipe 2 usia (66,7%) dan status
produktif (15-64 IMT yang terbanyak
tahun), tidak yaitu obesitas 10
terdapat responden (41,7%).
komplikasi seperti Dan Hasil penelitian
gangguan kami menunjukan
penglihatan, bahwa ada perbedaan
penyakit jantung, yang bermakna antara
penyakit gagal kelompok yang
ginjal, hipertensi, diberikan terapi
atau penyakit ulkus relaksasi otot
diabetikum dan progresif dengan
tidak kelompok kontrol.
7
mengkonsumsi Pemberian terapi
obat-obatan relaksasi otot
sebelum menjalani progresif merupakan
terapi. salah satu aktivitas
fisik yang ringan,
mudah dilakukan
secara mandiri dan
dapat menurunkan
kadar gula darah pada
penderita DMT2.
4. Nama: Pengaruh Relaksasi Otot Jenis penelitian ini Hasil penelitian ini
Junaidin Progresif Terhadap Penurunan adalah kuasi menunjukkan bahwa
Tahun: Kadar Gula Darah pada Pasien eksperimen dengan pasien diabetes
2018 Diabetes Melitus di Wilayah pre and post melitus (DM) yang
Puskesmas Woha Bima control group, diberi latihan
yaitu suatu desain Relaksasi otot
yang memberikan progresif selama tiga
perlakuan pada dua hari dengan frekuensi
atau lebih latihan dua kali sehari
kelompok, dan durasi masing-
kemudian masing sesi ± 15
diobservasi menit
sebelum dan memperlihatkan
sesudah adanya perbedaan
implementasi. ratarata KGD baik
Desain ini KGD jam 08.00,
digunakan untuk 12.00, dan 17.00
membandingkan sebelum dan setelah
hasil intervensi dua latihan Relaksasi otot
kelompok, yaitu progresif, yaitu
8
kelompok mengalami penurunan
intervensi dan kadar glukosa darah.
kelompok kontrol Berdasarkan hasil
yang keduanya yang diperoleh dalam
diukur sebelum penelitian ini, terlihat
dan sedah bahwa latihan
melakukan. relaksasi otot
Kelompok kontrol progresif mempunyai
dalam penelitian pengaruh yang
ini penting untuk signifikan terhadap
melihat perbedaan penurunan kadar
perubahan variabel glukosa darah pada
terikat antara pasien diabetes
kelompok melitus (DM).
intervensi dan Peneliti meyakini
kelompok kontrol. bahwa relaksasi otot
progresif memberikan
pengaruh yang
signifikan dalam
menurunkan KGD
pasien diabetes
melitus (DM).
5. Nama: Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Metode Penelitian Hasil penelitian ini
Nengke Puspita Progresif Terhadap Kadar yang digunakan menunjukan bahwa
Sari dan Deno Glukosa Darah dan Ankle dalam penelitian rata-rata nilai ABI
Harmanto Brackia Index Diabetes Melitus ini adalah quasi sebelum dilakukan
Tahun: II eksperiment tindakan yaitu 0.762
2020 dengan pre dan sedangkan setelah
post test. Sampel dilakukan tindakan
penelitian ini yaitu menjadi 0.807.
9
sebanyak 10 orang hasil uji statistic
yang diambil menunjukan nilai p
dengan teknik total >0,05 maka tidak ada
sampling. perbedaan yang
Penilaian ABI signifikan nilai ABI
dengan sebelum dan sesudah
menggunakan dilakukan tindakan.
spygnomamonome Dan juga berdasarkan
ter aneroid dan hasil penelitian sangat
ascular dopler penting bagi pasien
ultrasound probe. DM tipe II untuk
Pengukuran kadar melakukan latihan ini
gula darah secara rutin agar gula
dilakukan dengan darah dapat terkontrol
glukometer yang dengan baik yang
sudah terkalibrasi. pada akhirnya dapat
Latihan otot mencegah terjadinya
progresif dilakukan komplikasi.
selama 15-20 Sedangkan untuk nilai
menit sebanyak 3 ABI tidak ada
kali sehari selama perbedaan
satu minggu. dikarenakan banyak
hal yang
mempengarui nilai
ABI seperti usia,
durasi menderita DM,
kontrol kadar gula
darah, peningkatan
HbA1c,
hipertrigliseridemia,
10
merokok, hipertensi,
dll.
B. Pembahasan Jurnal
11
progresif terhadap kadar gula darah pasien diabetes mellitus Tipe 2.
Dengan hasil penelitian yaitu Hasil penelitian menunjukkan kadar gula
darah sebelum perlakuan didapatkan rata-rata sebesar 173,07 mg/dL hasil
pengukuran kadar gula darah sesudah perlakuan didapatkan data rata-rata
sebesar 161,68 mg/dL. Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada,
peneliti berpendapat bahwa bahwa kadar gula darah pada responden
sebelum dilakukan relaksasi otot progresif sebagian besar memiliki kadar
gula darah yang tinggi.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa
terdapat pengaruh Relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah
pasien diabetes melitus tipe II, hal ini sejalan dengan teori yang
menyatakan bahwa dengan menerapkan latihan otot progresif pada pasien
diabetes melitus dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri
leher dan punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, dan laju
metabolik, mengurangi disritmia jantung dan kebutuhan oksigen,
meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak
memfokuskan perhatian serta relaks, meningkatkan rasa kebugaran dan
konsentrasi, memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress, mengatasi
insomnia, depresi, kelelahan, irritabilitas, spasme otot, fobia tingan, gagap
ringan, membangun emosi positif dari emosi negative. Berdasarkan hasil
penelitian, teori serta penelitian terkait maka peneliti berasumsi bahwa
latihan otot progresif yang dilakukan secara teratur dapat memberikan efek
positif berupa relaksasi berupa menurunnya ketegangan, stres pada pasien,
memperbaiki laju metabolik, dan meningkatkan gelombang alfa diotak
yang dapat memberikan berbagai manfaat pada pasien yang melakukannya
secara teratur. Sehingga akan berimbas pada penurunan kadar gula darah
pasien secara berkala dan membuat pasien menjadi lebih bugar. Maka
dapat disimpulkan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka
kesimpulan pada penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi otot progresif
terhadap kadar glukosa darah pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan p
12
value 0,000.
Hal ini dapat didukung oleh hasil penelitian dilakukan oleh Puspitasari
(2020) dengan topik penelitian yang berjudul pengaruh terapi relaksasi otot
progresif terhadap kadar glukosa darah dan ankle brachial index diabetes
melitus II, dengan hasil penelitian yaitu Terdapat perbedaan yang
signifikan nilai kadar gula darah sebelum dan setelah dilakukan tindakan
(pvalue 0,000). Sedangkan nilai ABI tidak memiliki perbedaan yang
signifikan baik sebelum dan setelah tindakan (0,187). Penelitian lainnya
yang juga sejalan dilakukan oleh Khusnaini (2019) dengan judul pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah pasien DM tipe 2 di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dengan hasil penelitian yaitu
berdasarkan hasil Wilcoxon t-test menunjukkan hasil pada kelompok
intervensi dengan nilaiAsymp. Sig (2-taileD)= .000 dan pada kelompok
kontrol dengan nilai Asymp. Sig (2- taileD)= .530. dan berdasarkan uji
Mann Whitnney menunjukkan nilai signifikasi lebih kecil dari 0,05(0,00).
2. Relaksasi Otot Progresif terhadap Kadar Gula Darah pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes melitus di klasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes mellitus
tipe 1, dengan karakteristik ketidakadaan insulin; diabetes mellitus tipe 2,
ditandai dengan resistensi insulin disertai defek sekresi insulin; diabetes
gestasional, dan diabtes mellitus khusus.Diabetes Mellitus atau yang biasa
disebut kencing manis adalah gangguan metabolisme yang bersifat kronis
yang ditandai dengan hiperglikemiaakibat penurunan sekresi insulin secara
progresif (Corwin, 2013). Tingginya jumlah diabetes mellitus di sebabkan
oleh beberapa faktor-faktor yang dapat menyebabkan diabetes mellitus
yaitu faktor keturunan, obesitas, sering mengkonsumsi makanan instan,
kelainan hormon, hipertensi, merokok, stress, terlalu banyak
mengkonsumsi karbohidrat, dan, kerusakan sel pankreas. Angka kejadian
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia ±12.191.564 jiwa (Riskesdas, 2013).
Penanganan yang sering digunakan atau diterapkan untuk menurunkan
13
kadar gula darah yaitu terapi farmakologi. Penanganan farmakologi efektif
untuk menurunkan kadar gula darah. Tetapi agar pasien dapat mengontrol
kadar gula darah secara mandiri dibutuhkan kombinasi farmakologi dengan
terapi non-farmakologi (Soegondo dkk, 2015). Relaksasi otot progresif
merupakan salah satu cara dalam management stress kegiatan yang
diberikan kepada pasien untuk membantu seseorang menjadi rileks,
meningkatkan ketenangan, menurunkan cemas, stress atau marah. Metode
yang diterapkan dalam teknik relaksasi progresif ini dengan latihan
bertahap dan berkesinambungan(Moyad, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan dari 27 sampel yang menderita
penyakit diabetes mellitus berusia 50-68 tahun, jumlah perempuan lebih
banyak dengan rata-rata (66,7%) dibandingkan jumlah laki-laki dengan
rata-rata (33.3%), berat badan responden didapatkan nilai rata-rata
(66.44%). Nilai rata-rata responden sebelum diberikan intervensi relaksasi
otot progresif (185.57%) dan rata-rata sesudah (175.67). Berdasarkan
penelitian antara jenis kelamin dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2,
prevalensi kejadian diabetes mellitus tipe 2 lebih beresiko mengidap
diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstual
syndrome), pasca menopouse yang membuat akibat proses hormonal tubuh
akan menjadi lebih mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut
sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2. (Irawan, 2010). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Adnan (2013) di RS
Tugurejo Semarang, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan
lebih berisiko mengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2 dibanding dengan
laki-laki.
Dapat disimpulkan bahwa Hasil penelitian ini menunjukkan dari 27
responden sampel yang mengalami penyakit diabetes mellitus tipe 2 lebih
banyak perempuan denga presentase (63,0%) dibandingkan dengan laki-
laki didapatkan nilai presentase (37,0%), dari 27 responden didapatkan usia
14
termuda 50 dan usia tertua 70 tahun dengan rata-rata usia (58,93%), berat
badan responden didapatkan nilai rata-rata (62,67%), dari 27 responden
sebelum melakukan relaksasi otot progresif dengan nilai rata-rata sebanyak
(188,85%) dan sesudah didapatkan nilai rata-rata (179,22%).
3. Efektifitas Relaksasi Otot Progresif Terhadaop Kadar Gula Darah:
Penelitian Quasi Eksperimen pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Usia Produktif
Banyak pasien DMT2 tidak mampu mempertahankan kadar gula darah
normal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik, ketidakpatuhan
terhadap pengobatan dan obesitas. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi
pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah penderita
diabetes melitus tipe 2. Sulitnya mengendalikan kadar gula darah
merupakan masalah yang dialami setiap penyandang diabetes melitus tipe
2. Beberapa alasan penyebab tidak terkendalinya kadar gula darah seperti
pasien tidak mau olah raga, diit yang buruk dan lalai dalam pengobatan
(Dewi, 2013).
Penelitian quasi experiment pre test and post test with control group
design. Sebanyak 24 responden yang dibagi menjadi dua kelompok (12
intervensi yang diberikan terapi relaksasi otot progresif dan 12 kontrol).
Sampel penelitian dipilih secara porpusive berdasarkan kriteria yaitu pasien
diabetes melitus tipe 2 usia produktif (15-64 tahun), tidak terdapat
komplikasi seperti gangguan penglihatan, penyakit jantung, penyakit gagal
ginjal, hipertensi, atau penyakit ulkus diabetikum dan tidak mengkonsumsi
obat-obatan sebelum menjalani terapi.
Hasil penelitian menunjukan paling banyak responden pada usia
dewasa akhir yaitu 10 responden (41,7%). Sebagian besar berjenis kelamin
perempuan yaitu 18 responden (75%). Pekerjaan terbanyak yaitu PNS 9
responden (37,5%). Mayoritas responden yang mempunyai riwayat
diabetes melitus lebih dari 5 tahun yaitu 16 orang (66,7%) dan status IMT
yang terbanyak yaitu obesitas 10 responden (41,7%). Rata-rata kadar gula
15
darah sewaktu sebelum diberikan terapi relaksasi otot progresif pada
kelompok intervensi yaitu 240,5 mg/dl, rata-rata setelah diberikan terapi
kelompok intervensi yaitu 195,0 mg/dl. Rata-rata nilai kadar gula darah
sebelum perlakuan kelompok kotrol yaitu 209,5 mg/dl dan rata-rata setelah
perlakuan kelompok kontrol yaitu 210,9 mg/dl. Hasil analisis juga
menunjukan perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah diberikan
terapi pada kelompok intervensi.
Dan adapun Hasil penelitian ysng telah dilakukan ini menunjukan
bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kelompok yang diberikan
terapi relaksasi otot progresif dengan kelompok kontrol. Pemberian terapi
relaksasi otot progresif merupakan salah satu aktivitas fisik yang ringan,
mudah dilakukan secara mandiri dan dapat menurunkan kadar gula darah
pada penderita DMT2. Pada penelitian kami, rata-rata kadar gula darah
masih dalam rentang yang melebihi normal, pemberian terapi relakasi otot
progresif yang rutin dilakukan setiap hari dapat menjadi solusi agar kadar
gula darah penderita DMT2 dapat terkontrol.
4. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Kadar Gula
Darah pada Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Puskesmas Woha
Bima
Meningkatnya jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) dapat
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor
keturunan/genetik, obesitas, perubahan gaya hidup, pola makan yang salah,
obat-obatan yang mempengaruhi kadar glukosa darah, kurangnya aktifitas
fisik, proses menua, kehamilan, perokok dan stress. Penanganan Diabetes
Melitus (DM) di rumah sakit yang ada selama ini masih sebagian besar
berfokus pada pengobatan konvensional yang telah diprogramkan oleh
dokter, belum memperhatikan penanganan stress pasien, sedangkan faktor
psikologis sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien.
Harapannya setelah pemberian teknik relaksasi otot progresif dapat
menrunkan kadar gula darah pasien diabetes melitus.
16
Indonesia termasuk 10 besar negara dengan jumlah penderita Diabetes
Melitus (DM) terbanyak. Pada tahun 2000 jumlahnya 8.426.000 orang, dan
WHO memprediksi pada tahun 2030 jumlah ini akan meningkat menjadi
21.257.000 orang (WHO, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus (DM)
yang diberi latihan Relaksasi otot progresif selama tiga hari dengan
frekuensi latihan dua kali sehari dan durasi masing-masing sesi ± 15 menit
memperlihatkan adanya perbedaan ratarata KGD baik KGD jam 08.00,
12.00, dan 17.00 sebelum dan setelah latihan Relaksasi otot progresif, yaitu
mengalami penurunan kadar glukosa darah. Berdasarkan hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini, terlihat bahwa latihan relaksasi otot
progresif mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kadar
glukosa darah pada pasien diabetes melitus (DM). Peneliti meyakini bahwa
relaksasi otot progresif memberikan pengaruh yang signifikan dalam
menurunkan KGD pasien diabetes melitus (DM) dalam penelitian ini
dengan beberapa alasan, diantaranya penelitian ini menggunakan desain
kuasi eksperiman dengan pre and post with control group, variabel
karakteristik responden setara (homogen) antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol, dan variabel rata-rata kadar glukosa darah
sebelum intervensi setara antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. Mekanisme relaksasi otot progresif dalam menurunkan KGD pada
pasien diabetes melitus (DM) erat kaitannya dengan stres yang dialami
pasien baik fisik maupun psikologis. Selama stres, hormon-hormon yang
mengarah pada peningkatan KGD seperti epineprin, kortisol, glukagon,
ACTH, kortikosteroid, dan tiroid akan meningkat. Selain itu peristiwa
kehidupan yang penuh stres telah dikaitkan dengan perawatan diri yang
buruk pada penderita diabetes seperti pola makan, latihan, dan penggunaan
obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2010; Price & Wilson, 2012). Stres fisik
maupun emosional mengaktifkan sistem neuroendokrin dan sistem saraf
simpatis melalui hipotalamus-pituitari-adrenal (Price & Wilson, 2006;
17
Smeltzer, 2012; DiNardo, 2010). Relaksasi otot progresif merupakan salah
satu bentuk mind-body therapy (terapi pikiran dan otot-otot tubuh) dalam
terapi komplementer (Moyad & Hawks, 2013).
Dan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan gula darah pada
pasien diabetes mellitus (DM) di lingkungan Puskesmas Woha tahun 2018.
5. Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Glukosa
Darah dan Ankle Brackia Index Diabetes Melitus II
Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang harus mendapatkan
penanganan secara berkelanjutan. Jika DM tidak diatngani dengan benar
maka akan menyebabkan berbagai komplikasi diantaranya penyakit arteri
perifer (PAP). PAP bisa menyebabkan dilakukan amputasi pada pasien
yang mengalami DM. Penyebab PAP yaitu aterosklerosis dimana arteri-
arteri perifer menyebabkan aliran terganggu. Pasien yang mengalami luka
pada kakai akan sulit untuk disembuhkan (Langi, 2011). International
Working Group on the Diabetic Foot 2019, menyatakan setiap 20 detik di
suatu tempat di dunia seseorang kehilangan kakinya karena komplikasi
diabetes. Setelah amputasi tersebut, lebih dari setengah dari orang-orang ini
akan meninggal dalam waktu 5 tahun. Saat ini, jutaan penderita diabetes
menderita ulkus kaki yang tidak dapat sembuh dengan baik, yang biasanya
berkembang karena beberapa factor. Kasus amputasi kaki Pasien DM
akibat PAP sekitar 50% dapat dihindari melalui tindakan preventif
(Smelther & Bare, 2008). Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu
mengontrol kadar gula darah dan juga melakukan pemeriksaan vaskular
non inasif seperti ankle brachial indek (ABI) secara teratur.
Relaksasi otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk
membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan.
Relaksasi otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk
membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan
dibandingkan dengan ketika otot dalam kondisi tegang, relaksasi otot
18
progresif bermanfaat untuk menurunkan resistensi perifer dan menaikkan
elastisitas pembuluh darah (Sucipto, 2014 dalam Shiela, 2016). Kondisi ini
dapat memperbaiki alirah darah yang ditunjukkan dengan ABI dalam
rentang normal. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaru
latihan relaksasi otot progresif dengan ankle brachial index dan kadar gula
darah pasien diabetes mellitus tipe II. Latihan relaksasi otot progresif
mempunyai manfaat langsung secara fisiologis maupun psikologis.
Relaksasi dapat menenangkan sistem syaraf sehingga membuat tubuh
penderita menjadi rileks. Manfaat relaksasi bagi penderita DM tipe II
begitu penting dengan mempertimbangkan tekanan fisik dan psikologis
yang dialami penderita. Relaksasi membuat tubuh melepaskan hormon
endorphin yang dapat menenangkan sistem syaraf. Tubuh yang rileks
membuat stress yang dihadapi penderita menurun sehingga produksi
hormon stress yang umumnya meningkatkan kadar glukosa darah menjadi
berkurang (Rose, 2014). Manfaat lain dari latihan relaksasi otot progresif
adalah meningkatnya sirkulasi darah akan membantu proses penyerapan
dan pembuangan sisa-sisa metabolisme dari dalam jaringan serta
memperlancar distribusi nutrisi. Peningkatan sirkulasi memungkinkan
penyerapan lebih efisien insulin oleh sel-sel karena sirkulasi darah
penderita DM sering terganggu karena efek dari peningkatan kadar gula
darah pada sel-sel tubuh (Thomson, 2012
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata nilai ABI sebelum
dilakukan tindakan yaitu 0.762 sedangkan setelah dilakukan tindakan yaitu
menjadi 0.807. hasil uji statistic menunjukan nilai p >0,05 maka tidak ada
perbedaan yang signifikan nilai ABI sebelum dan sesudah dilakukan
tindakan. Nilai ABI disebabkan banyak factor antara lain kontrol kadar
gula darah, dan peningkatan HbA1c berhubungan erat dengan
meningkatnya resiko mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler yang
ditandai dengan penurunan nilai ABI pada pasien DM. Pada pasien DM,
Penurunan HbA1c berbanding lurus dengan penurunan komplikasi mikro
19
vaskular dan makro vaskular. Peningkatan glukosa dalam darah
menyebabkan viskositas darah meningkat, sehingga aliran darah berkurang
dan terjadi peningkatan agregability trombosit, akan memacu terbentuknya
mikro trombus dan penyumbatan mikro vaskular, hal ini dikaitkan dengan
perkembangan komplikasi mikro vaskular dan makro vaskular pada pasien
DM. Faktor lain yang mempengaruhi nilai ABI adalah durasi menderita
DM. Hasil penelitian Simanjuntak (2016) mendapatkan bahwa ada
hubungan yang signifikan lama menderita DM dengan nilai ABI. Lamanya
seseorang menderita DM dapat memperburuk keadaaan pembuluh darah
(ADA, 2013). Hiperglikemia yang berkepanjangan akan berdampak pada
peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Meningkatnya ROS berefek
pada menurunnya Nitric Oxide (NO) pada sel endotel pembuluh darah. NO
merupakan stimulus yang penting dari vasodilatasi dan mengurangi
terjadinya peradangan melalui modulasi interaksi leukosit dan dinding
pembuluh darah dan lebih jauh NO membatasi migrasi dan proliferasi
vascular smooth muscle cell (VSMC) serta membatasi aktivasi dari sel
pembeku darah. Inilah sebabnya, hilangnya NO akan mengganggu
pembuluh darah yang menyebabkan aterosklerosis (Sihombing, 2008).
Komplikasi vascular pada penderita DM dipengaruhi oleh lamanya
menderita dan bagaimana mereka mengontrol gula darah (Sanchez, et al.,
2011). Semakin lama seseorang menderita DM, maka resiko terjadinya
aterosklerosis semakin meningkat dan kecenderungan nilai ABI akan
menurun.
Berdasarkan hasil penelitian sangat penting bagi pasien DM tipe II
untuk melakukan latihan ini secara rutin agar gula darah dapat terkontrol
dengan baik yang pada akhirnya dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Sedangkan untuk nilai ABI tidak ada perbedaan dikarenakan banyak hal
yang mempengarui nilai ABI seperti usia, durasi menderita DM, kontrol
kadar gula darah, peningkatan HbA1c, hipertrigliseridemia, merokok,
hipertensi, dan lain-lain.
20
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diabetes Melitus merupakan golongan penyakit kronis yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat
gangguan sistem metabolik dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak
mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik, ketidakpatuhan terhadap
21
pengobatan dan obesitas. Penatalaksanaan pasien dengan kadar gula
dalam darah yang tinggi dapat dilakukan secara farmakologi dan non
farmakologi. Secara farmakologi diberikan obat hiperglikemi oral
(OHO). Selain itu terapi non farmakologi salah satunya adalah teknik
relaksasi otot progresif yang diberikan kepada pasien. Terapi relaksasi
otot progresif dapat mengaktifkan sistem parasimpatis sehingga
bermanfaat dapat mempengaruhi hormon kortisol untuk menurunkan
kadar gula dalam darah. Pemberian terapi relaksasi otot progresif yang
rutin dapat menjadi solusi agar kadar gula darah dapat terkontrol.
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit untuk dapat menerapkan
terapi Relaksasi otot progresif ini pada intervensi untuk
penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 selama masa
perawatan di Rumah Sakit dan memberikan informasi kepada
keluarga pasien tentang manfaat relaksasi otot progresif.
2. Bagi Pasien dan Keluarga
Diharapkan dapat menerapkan dan mengikuti dalam pemberian
terapi otot progresif dengan rutin guna menjadi solusi agar kadar
gula darah dapat terkontrol
3. Bagi Pembaca
Penulis berharap agar pembaca tidak hanya terpaku pada makalah
ini tetap mencari sumber lain untuk mendapat wawasan yang lebih
luas. Mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan.
22
DAFTAR PUSTAKA
23