Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

DIABETES MELITUS JUVENILE


(Keperawatan Anak I)

Oleh :
Kelompok 1, Kelas A Sarjana Keperawatan Tingkat III

Anggota Kelompok :
1. I Gede Juli Bisma Supradnyana 17C10001
2. Carolina Febrianty P. Manuputty 17C10002
3. Agung Ayu Putu Sarita Dewi 17C10004
4. Ni Made Seftia Antari 17C10005
5. Laura Alcina Da Costa E Silva 17C10006
6. Ni Made Gita Ayu Sanjiwani 17C10007
7. I Gede Gita Pradnyana 17C10008
8. Dwi Ariati 17C10009
9. Kadek Dian Rastika Dewi 17C10010
10. Putu Sri Prisilia Wikrama Wardani 17C10011

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI


2019 / 2020
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan
Keperawatan Pada Anak Dengan Diabetes Melitus Juvenile ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Anak I.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Pihak – pihak tersebut terutama ibu Ns. AA Istri Wulan Krisnandari, S.Kep,M.S
selaku pengampu mata ajar Keperawatan Anak I.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat menerima dengan senang hati kritik
dan saran yang dapat membangun dari berbagai pihak. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 19 September 2019

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantas ......................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................. iii

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang ...................................................................................


1
1.2. Rumusan Masalah ..............................................................................
2
1.3. Tujuan ................................................................................................
2

Bab II Pembahasan

2.1. Konsep Medis ....................................................................................


3
2.1.1. Pengertian Diabeter Melitus Juvenile ...................................... 3
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi ............................................................. 4
2.1.3. Etiologi .................................................................................... 6
2.1.4. Patofisiologi ............................................................................. 7
2.1.5. WOC ........................................................................................ 10
2.1.6. Manifestasi Klinis .................................................................... 11
2.1.7. Komplikasi ............................................................................... 11
2.1.8. Penatalaksanaan ....................................................................... 13
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 18
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................
20
2.2.1. Pengkajian ............................................................................... 20
2.2.2. Diagnosa Keperawatan ............................................................ 23
2.2.3. Perencanaan ............................................................................. 24

Bab III Penutup

iii
3.1. Kesimpulan ........................................................................................
31
3.2. Saran ...................................................................................................
31

Daftar Pustaka .......................................................................................... 32

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik dengan insiden yang
semakin meningkat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang
orang dewasa, tetapi juga pada anak. Diabetes mellitus ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah akibat gangguan produksi insulin, gangguan
kerja insulin, atau keduanya. Berdasarkan penyebabnya, DM dikelompokkan
menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-1, DM tipe-2, DM tipe lain dan diabetes
pada kehamilan atau gestasional. Pada anak, jenis DM tersering adalah tipe-1,
terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel kelenjar pankreas oleh
proses autoimun.1 Masalah utama DM tipe-1 di Indonesia adalah kesadaran
masyarakat dan tenaga kesehatan yang kurang sehingga banyak pasien tidak
terdiagnosis dan tidak mendapatkan tata laksana adekuat.
Diabetes mellitus pada anak bukanlah sebuah kelainan yang sering di
temui dalam praktek klinis sehari - hari prevalensinya hanya 3% di Inggris,
dan menurut beberapa literatur lain hanyalah 2- 5 % dari seluruh populasi,
diabetes pada anak melibatkan beberapa faktor namun kelainan genetis dan
kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi autoimmun pada islet sel B pankreas
yang mengakibatkan defisiensi yang cukup besar pada produksi insulin
( insulin endogen ) merupakan faktor utama dalam penyebab diabetes pada
anak, kerusakan sel B pulau langerhans pankreas ini menyebabkan
ketergantungan individu secara absolut terhadap insulin dari luar( insulin
eksogen ) “insulin dependent diabetes mellitus” ( IDDM ) dan kebutuhan akan
pemantauan kadar glukosa darah rutin, serta perubahan pola konsumsi sehari -
hari yang cukup ekstrem.
(IDAI) pada tahun 2018, tercatat 1220 anak penyandang DM tipe-1 di
Indonesia. Insiden DM tipe-1 pada anak dan remaja meningkat sekitar tujuh
kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2000 dan
2010. Data tahun 2003-2009 menunjukkan pada kelompok usia 10-14 tahun,

1
proporsi perempuan dengan DM tipe 1 (60%) lebih tinggi dibandingkan laki-
laki (28,6%).4 Pada tahun 2017, 71% anak dengan DM tipe-1 pertama kali
terdiagnosis dengan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), meningkat dari tahun
2016 dan 2015, yaitu 63%.2 Diduga masih banyak pasien DM tipe-1 yang
tidak terdiagnosis atau salah diagnosis saat pertama kali berobat ke rumah
sakit. Insiden DM tipe-1 pada anak di Indonesia tidak diketahui secara pasti
karena sulitnya pendataan secara nasional.
Sampai saat ini, Unit Kelompok Kerja (UKK) Endokrinologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) berusaha mengumpulkan data pasien anak DM
di Indonesia. Data ini diperoleh melalui kerjasama berbagai pihak, termasuk
dokter anak endokrinologi, spesialis penyakit dalam, perawat, edukator DM,
data Ikatan Keluarga Penyandang DM Anak dan Remaja (IKADAR),
penelusuran rekam medis pasien, dan kerjasama dengan perawat edukator
National University Hospital Singapura untuk memperoleh data penyandang
DM anak Indonesia yang berobat di Singapura.
Berdasarkan sensus penduduk 2010, total populasi penduduk Indonesia
adalah sekitar 267.556.363, dan lebih dari 83 juta adalah anak-anak. Dengan
tingginya angka penduduk anak dan remaja, data saat ini hanya permukaan
gunung es yang belum menggambarkan kondisi sebenarnya. Angka
sesungguhnya diduga lebih tinggi.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep medis pada Diabetes Melitus Juvenile?
1.2.2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan Diabetes
Melitus Juvenile?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui konsep medis pada Diabetes Melitus Juvenile.
1.3.2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dengan
Diabetes Melitus Juvenile.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Medis


2.1.1. Pengertian Diabetes Juvenile
Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang
ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula darah atau hiperglikemia.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya
adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon
insulin atau gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005).
Menurut American Diabetes Association atau ADA (2010), diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan insulin, kerja
insulin atau kedua – duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah.
Diabetes mellitus (DM) tipe-1 adalah DM akibat insulin tidak cukup
diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga terjadi hiperglikemia (WHO,
2017). Tipe -1 ini ditandai dengan berkurangnya sel beta pankreas yang
diperantarai oleh imun atau antibodi, sehinga sepanjang hidup penderita ini
tergantung pada insulin eksogen (Chiang JL, 2014).
Penyakit DM dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya produksi
insulin karena penurunan fungsi pada sel - sel beta pankreas yang dikenal
dengan DM tipe 1 atau tidak efektifnya kerja insulin di jaringan yang
dikenal dengan DM 2. DM tipe 1 sering disebut Juvenile Diabetes atau
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dengan jumlah penderita 5 –
10% dari seluruh penderita DM dan biasanya terjadi pada anak-anak dan
usia muda. DM tipe 2 disebut juga Adult Diabetes atau Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Jumlah penderita ini mencapai 90
– 95 % dari seluruh penderita DM.

3
Diabetes Mellitus tipe 1 yang menyerang anak-anak sering tidak
terdiagnosis oleh dokter karena gejala awalnya yang tidak begitu jelas dan
pada akhirnya sampai pada gejala lanjut dan traumatis seperti mual,
muntah, nyeri perut, sesak nafas, bahkan koma. Dengan deteksi dini,
pengobatan dapat dilakukan sesegera mungkin terhadap penyandang
Diabetes Mellitus sehingga dapat menurunkan risiko kecacatan dan
kematian (Pulungan, 2010).

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (International Society of


Pediatric and Adolescence atau ISPAD, 2009), antara lain :
1. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
2. DM tipe-2
3. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pankreas
Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasia; Kistik fibrosis;
Haemokhromatosis; Fibrokalkulus pankreatopati; dll.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukagonoma; Feokromositoma;
Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; dll.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam Nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin;
-interferon; dll.
4. Diabetes mellitus kehamilan
Sumber: ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009.

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi


Membahas fisiologi insulin tidak lepas dari pankreas sebagai
produsen insulin, secara anatomis pankreas merupakan glandular

4
retroperitonial yang terletak dekat dengan duodenum, memiliki 3 bagian
yaitu kepala badan dan ekor. Vaskularisasi pankreas berasal dari arteri
splenica dan arteri pancreaticoduodenalis superior dan inferior sedangkan
islet sel pankreas dipersyarafi oleh syaraf sympatis,syaraf parasympatis dan
syaraf sensoris serta neurotransmiter dan meuropeptida yang dilepaskan
oleh ujung terminal syaraf tersebut memegang peranan penting pada sekresi
endokrin sel pulau langerhans. Aktivasi nervus vagus akan mengakibatkan
sekresi insulin, glukagon dan polipetida pankreas. Sebagian besar pankreas
tersusun atas sel eksokrin yang tersebar pada lobulus ( acinus ) dipisahkan
oleh jaringan ikat dan dihubungkan oleh ductus pancreatikus yang
bermuara pada duodenum.
Bagian eksokrin pankreas memproduksi enzim - enzim bersifat basa
yang membantu pencernaan. Bagian endokrin pankreas merupakan bagian
kecil dari pankreas dengan massa sekitar 1 - 2 % massa pankreas dengan
bentuk granula - granula yang terikat pada acinus oleh jaringan ikat yang
kaya akan pembuluh darah dengan 2 jenis sel yang predominan yaitu sel A
dan Sel B, sel B membentuk 73% - 75% bagian endokrin pankreas
merupakan dengan insulin sebagai hormon utama yang di sekresikan. Sel A
membentuk 18 - 20 % massa endokrin dengan glukagon sebagai hormon
sekresi utama, sedangkan sel D membentuk 4 - 6% massa endokrin
pankreas dengan sekresi hormone somatostatin. 1% bagian kecil dari
pankreas mensekresikan polipeptida pankreas. Secara khusus tulisan ini
hanya membahas 2 hormon regulator kadar glukosa diatas yaitu Insulin dan
Glukagon.
Secara singkat kerja fisiologis insulin adalah mentransportasi
glukosa kedalam sel otot dan hati terkait dengan kadar glukosa didalam
darah, efek kerja insulin berlawanan dengan glukagon sebuah polipeptida
hormone yang dihasilkan pula oleh sel B pankreas yang akan memicu
proses pembentukan glukosa di dalam hati melalui proses glikolisis dan
glukoneogenesis.
Insulin dilepaskan oleh sel beta pankreas setelah terjadi transport
glukosa oleh GLUT-2 masuk kedalam sel beta, glukosa yang masuk

5
kedalam sel beta akan mengalami proses glikolisis oleh glikokinase
menjadi glukosa- 6 Phospate, yang mengaktifkan pembentukan Asetyl-Co
A masuk kedalam siklus krebbs dalam mitokondria untuk dirubah menjadi
ATP ( Adenosine Tri Phospat ) sehingga meningkatkan jumlah ATP dalam
sel hal ini akan menginkativasi pompa kalium sensitif ATP, lalu
menginduksi depolarisasi dari membran plasma dan voltage dependent
calcium channel, menyebabkan influks calcium extrasel yang merangsang
pergerakan cadangan kalsium intrasel sehingga menginduksi terjadinya
pengikatan granula produsen insulin ke membran sel dan pelepasan insulin
kedalam peredaran darah.
Insulin disekresikan kedalam sistem pembuluh darah porta hepatik.
Pada individu normal kadar insulin setelah puasa semalam ( 8 jam )
berkisar antara 5 - 15 umol/L. Kadar insulin pada vena porta sekitar 3 kali
lipat dari kadar insulin pada plasma darah arteri. Sehingga kadar insulin
plasma darah pada sinusoid hati yang merupakan kombinasi dari 20%
campuran darah arteri dan 80% campuran darah dari vena porta berkisar
antara 15 - 45 umol/L. Sekresi insulin akan menurun pada keadaan
hipoglikemia, hiperinsulinemia, dan beberapa keadaan yang meningkatkan
pelepasan hormon katekolamin. Sekresi Insulin akan meningkat pada
keadaan hiperglikemia, hipoinsulinemia, peningkatan kadar asama amino
darah, asam lemak tidak teresterifikasi, seperti juga pada aktivasi sistem
syaraf parasympatis dan simpatis. Efek sistemik insulin sangat luas mulai
yang onset cepat seperti modulasi pompa ion Kalium dan transport glukosa
kedalam sel, onset moderat regulasi enzim pencernaaan sampai lambat
seperti modulasi dari sintesis enzim. Insulin berkerja dengan berikatan
dengan reseptor insulin pada berbagai sel, bentuk reseptor adalah
heterotetrametrik dengan ikatan 2 alpha dan 2 beta, rantai alpha adalah situs
pengikat insulin pada membran sel target. Walalupun efek insulin pada
berbagai sel begitu luas namun efek spesifik insulin adalah pada otot
rangka, insulin membuang 40% kelebihan gula tubuh dengan memasukan
gula kedalam otot rangka ( 80 % - 90 % ) dan sel - sel lemak melalui
reseptor insulin GLUT - 4.

6
2.1.3. Etiologi
Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab
diabetes tipe- 1. Namun yang pasti penyebab utama diabetes tipe 1 adalah
faktor genetik/keturunan. Resiko perkembangan diabetes tipe 1 akan
diwariskan melalui faktor genetik.
1. Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucosite antigen).
HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplantasi dan proses imun lainnya.
2. Faktor-faktor Imunologi
Adanya respons autotoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen.
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.

2.1.4. Patofisiologi
Walaupun secara genetis dan embriologi terdapat kesamaan pada
bagian islet sel beta pankreas dengan islet sel bagian lain yaitu sel alpha, sel
delta, dan sel PP namun hanyalah sel beta yang mengalami penghancuran
oleh proses autoimmunitas. Secara patologis islet sel beta pankreas di
infiltrasi oleh limfosit ( insulitis), hal ini mengakibatkan terjadinya
atopikasi dari sel beta pulau langerhans pankreas dan sebagian besar
penanda immunologis yang melindungi pankreas dari serangan limfosit
hilang.

7
Toeri yang menjelaskan kematian sel beta masih belum jelas sampai
sekarang namun ada perkiraan penghancuran ini melibatkan pembentukan
metabolit nitrit oksida,apoptosis, dan sitotoksisitas dari T limfosit CD8.
Sebenarnya penghancuran sel beta oleh autoantigen tidaklah spesifik pada
sel beta. Sebuah teori yang ada sekarang membantu menjelaskan bahwa
sebuah sel autoimmun menyerang 1 molekul sel beta pankreas lalu
menyebar pada sel beta lainnya menciptakan sebuah seri dari proses
autoantigen.
Penghancuran islet sel beta pankreas cenderung di mediasikan oleh
sel T limfosit, dibandingkan dengan antigen islet sel beta pankreas sendiri.
Pada klasifikasi diatas telah di jelaskan mengenai antigen serta agen
autoimmunitas yang berperan dalam proses penghancuran sel beta pulau
langerhans pankreas.(
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu:
1. Periode pra-diabetes
Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak
karena baru ada proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik
tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin
mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas
yang berfungsi.Kadar C-peptide mulai menurun.Pada periode ini
autoantibodi mulai ditemukan apabila dilakukan
pemeriksaanlaboratorium.
2. Periode manifestasi klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul.Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi
insulin sangat kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat.
Kadar gula darah yang melebihi 180 mg/dl akan menyebabkan diuresis
osmotik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan
elektrolit melalui urin (poliuria, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah
tidak dapat di-uptake kedalam sel, penderita akan merasa lapar
(polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini

8
penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-
uptakekedalam sel.
3. Periode honey-moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada
periode ini sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan
diproduksi insulin dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan
insulin dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kg
berat badan/hari. Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa
dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi ada
orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang menetap.
4. Periode ketergantungan insulin yang menetap.
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. Pada
periode ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar
tubuh seumur hidupnya

9
2.1.5. WOC

Reaksi autoimun Genetik Lingkungan

Kegagalan fungsi sistem imun

Kerusakan sel ꞵ pankreas Resiko


Ketidakseimbangan
Kadar Glukosa Darah
Defisiensi Insulin

Glukosa tidak diantar dari Glukoneogenesis ↑


permukaan sel ke internal
Pada mata Hiperglikemi
Rangkaian reaksi
metabolisme ↓
Retinopati Deuresis osmotik

Produksi energi ↓
Fungsi pengelihatan ↓ Poliuria

Intoleransi Aktivitas
Resiko Cedera Kekurangan Volume
Cairan
Lipolisis ↑

Asam – asam lemak ↑ Pada jaringan saraf

Badan keton ↑
Neuropati

Ketoasidosis diabetik
Parastesia
Lama sembuh dan tirah
↑ CO2 dalam darah baring
Rangsangan kulit ↓

Suplai O2 ke otak ↓ Port of entre


Luka

Hipoksia jaringan perifer Resiko Infeksi


Kerusakan Integritas
Kulit

Nyeri abdomen, mual


muntah

Anoreksia Ketidakefektifan Perfusi


Jaringan Perifer

Nutisi Kurang Dari Kebutuhan 10


Tubuh
2.1.6. Manifestasi Klinis

Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala


awalnya tidak terlalu khas dan mirip dengan gejala penyakit lain. Di
samping kemiripan gejala dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis
juga tidak menyadari kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian
DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1
pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi pitfalldalam diagnosis DM
tipe 1 pada anak di antaranya adalah:
1. Sering kencing: kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran
kemih atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini
adalah adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak
pernah enuresis lagi.
2. Berat badan turun atau tidak mau naik:kemungkinan diagnosis adalah
asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita.
Sering pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak.
3. Sesak nafas:kemungkinan diagnosisya adalah bronkopnemonia. Apabila
disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal
gejala sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe
Kusmaull (nafas cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe
nafas pada bronkopnemonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari
ketoasidosis.
4. Nyeri perut:seringkali dikira sebagai peritonitis atau apendisitis. Pada
penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
5. Tidak sadar:keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan
diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun
cedera kepala (Brink SJ, dkk. 2010).

2.1.7. Komplikasi
Komplikasi DM Tipe-1 mencakup komplikasi akut dan kronik.
Pada anak, komplikasi kronik jarang menimbulkan manifestasi klinis
signifikan saat masih dalam pengawasan dokter anak. Sebaliknya, anak
berisiko mengalami komplikasi akut setiap hari. Komplikasi akut terdiri

11
atas KAD dan hipoglikemia, Studi SEARCH menemukan bahwa sekitar
30% anak dengan DM tipe-1 terdiagnosis saat KAD. Kriteria KAD
mencakup hiperglikemia, asidosis, dan ketonemia. Gejala KAD antara lain
adalah dehidrasi, takikardi, takipnea dan sesak, napas berbau aseton, mual,
muntah, nyeri perut, pandangan kabur, dan penurunan kesadaran.31
Seringkali gejala-gejala ini disalahartikan oleh orangtua maupun tenaga
kesehatan sebagai usus buntu, infeksi, atau penyakit lainnya. Kelalaian ini
dapat menyebabkan kematian. Anak yang berkunjung secara rutin dan
menetap pada dokter keluarga atau dokter anak memiliki risiko yang lebih
rendah terdiagnosis DM tipe-1 saat KAD. Sebaliknya, KAD saat diagnosis
berhubungan signifikan dengan penghasilan keluarga yang rendah,
ketiadaan asuransi kesehatan, dan pendidikan orang tua yang rendah.
Pemantauan dan edukasi mengenai hipoglikemia merupakan salah satu
komponen utama tata laksana diabetes. Terapi hipoglikemia diinisiasi saat
kadar glukosa darah ≤70 mg/dL. Anak usia muda memiliki risiko tinggi
hipoglikemia karena tidak mampu mengomunikasikan keluhan. Gejala
hipoglikemia diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (berdebar, gemetar,
keringat dingin) dan neuroglikopenia (nyeri kepala, mengantuk, sulit
konsentrasi). Pada anak usia muda, gejala dapat berupa perubahan perilaku
seperti iritabilitas, agitasi, tantrum, atau kurang aktif. Selain pemantauan
komplikasi akut, perlu juga dilakukan skrining komplikasi kronik yang
dapat dibedakan menjadi komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
Komplikasi mikrovaskular mencakup nefropati, retinopati, dan neuropati.
Komplikasi yang mengenai pembuluh darah besar adalah penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer
(klaudikasio, infeksi/ gangrene, amputasi).

12
2.1.8. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi
pengobatan berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang
perlu diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas
hidup yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rustama
DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines. 2009)
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu:
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita
DM Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin,
dosis insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta
penyesuaian dosis yang diperlukan.
a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin
kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun
insulin campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja
menengah). Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang
digunakan.

b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
unit/kg beratbadan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini
selanjutnya akan diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada,
baik pada penyakitnya maupun penderitanya. Dosis insulin sisanya

13
disesuaikan untuk dosis preprandial dengan insulin kerja cepat atau
reguler. Penentuan dosis insulin kerja cepat dapat menggunakan
rasio insulin terhadap karbohidrat yang dihitung dengan
menggunakan rumus 500, yaitu 500 dibagi dosis insulin harian total.
Hasil yang didapatkan adalah berapa jumlah gram karbohidrat yang
dapat dicakup oleh 1 unit insulin. Penyesuaian dosis insulin
selanjutnya ditentukan berdasarkan pola kadar gula darah sewaktu
harian. Pada pemberian insulin kerja cepat disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu 1-2 jam setelah makan
untuk menentukan efikasi insulin. Peningkatan gula darah sebelum
sarapan memerlukan penyesuaian dosis insulin kerja menengah
sebelum makan malam atau sebelum tidur atau insulin kerja panjang.
Peningkatan gula darah setelah makan memerlukan peningkatan
dosis insulin kerja cepat atau reguler. Jika peningkatan gula darah
terjadi sebelum makan siang atau makan malam, perlu dilakukan
penyesuaian dosis insulin basal atau insulin kerja cepat/ pendek
sebelum makan. Dosis insulin sebaiknya ditentukan berdasarkan
konsumsi makanan atau karbohidrat dan hasil pemeriksaan GDS.

c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen


konvensional serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-
split regimendapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga
kali suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian
regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara
insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis
bolus. Regimen insulin bersifat individual, yaitu menyesuaikan usia,
berat badan, lama menderita, target kontrol glikemik, pola hidup, dan
komorbiditas. Regimen yang disarankan adalah basal bolus yang
diberikan dengan pompa atau insulin subkutan minimal 2 kali/hari

14
dengan menggunakan insulin basal dan insulin kerja cepat atau
pendek karena paling menyerupai sekresi insulin fisiologis.8
Kebutuhan insulin basal harian adalah berkisar antara 30% (jika
menggunakan insulin reguler) sampai 50% (jika menggunakan
insulin kerja cepat) dari total kebutuhan insulin. Pada pasien dengan
insulin reguler, perbandingan insulin basal lebih kecil karena insulin
reguler juga memberikan efek basal.
d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik
dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik
absorpsinya), lengan atas, lateral paha. Daerah bokong tidak
dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga,
maupun usia pubertas terkadang kebutuhan meningkat hingga 2
unit/kg berat badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya
untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Nutrisi yang baik
dibutuhkan agar tumbuh kembang anak dengan DM tipe-1 optimal,
serta mencegah komplikasi akut dan kronik. Prinsip dari terapi nutrisi
adalah makan sehat. Pasien disarankan untuk mengonsumsi buah,
sayur, produk susu, gandumutuh, dan daging rendah lemak dengan
jumlah sesuai usia dan kebutuhan energi. Untuk itu pemberian diet
terdiri dari 50-55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada
anak DM tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena
terkait dengan dosis insulin yang diberikan selain monitoring
pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari sebagaimana kebutuhan
pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran pengaturan persentase
diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang serta 25% makan malam,
diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan
kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang

15
digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio
insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin.

3. Aktivitas fisik/exercise
Aktivitas fisik penting untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan
menurunkan kebutuhan insulin. Selain itu, aktivitas fisik dapat
meningkatkan kepercayaan diri anak, mempertahankan berat badan
ideal, meningkatkan kapasitas kerja jantung, meminimalisasi
komplikasi jangka panjang, dan meningkatkan metabolisme tubuh.
Rekomendasi aktivitas fisik pada anak dengan DM tipe-1 sama dengan
populasi umum, yaitu aktivitas ≥60 menit setiap hari yang mencakup
aktivitas aerobik, menguatkan otot, dan menguatkan tulang. Aktivitas
aerobik sebaiknya tersering dilakukan, sementara aktvitas untuk
menguatkan otot dan tulang dilakukan paling tidak 3 kali per minggu.
Beberapa kondisi yang harus diperhatikan sebelum aktivitas fisik adalah
1) peningkatan keton, kadar keton darah ≥1,5 mmol/L atau urin 2+
merupakan kontraindikasi aktivitas fisik
2) riwayat hipoglikemia,
3) pemantauan gula darah, anak sebaiknya mengukur gula darah
sebelum, saat, dan setelah aktivitas fisik,
4) ketersediaan karbohidrat jika terjadi hipoglikemia,
5) keamanan dan komunikasi, sebagai contoh anak sebaiknya
menggunakan identitas diabetes.

Asupan cairan juga perlu ditingkatkan sebelum, setelah, dan saat


olahraga. Memastikan kecukupan aktivitas fisik penting karena anak
DM tipe-1 kurang aktif dibandingkan teman sebaya tanpa DM. Mozzilo
dkk25 menemukan bahwa remaja dengan DM tipe-1 yang memenuhi
rekomendasi aktivitas fisik (60 menit/hari minimal 5 hari/minggu)
memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan mereka yang
tidak.

16
4. Edukasi
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1 karena
didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik dan
keluaran psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin yang
terdiri atas paling tidak dokter anak endokrinologi atau dokter umum
terlatih, perawat atau edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi tahap
pertama dilakukan saat pasien pertama terdiagnosis atau selama
perawatan di rumah sakit yang meliputi pengetahuan dasar mengenai
DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan,
penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan pertama
kedaruratan DM tipe-1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit),
sementara tahap kedua dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik.
Dalam penelitian oleh Pulgaron dkk,27 kemampuan berhitung dan
kepercayaan diri orang tua dalam menangani diabetes berhubungan
signifikan dengan kadar HbA1c anak. Edukasi pada masyarakat dan
tenaga kesehatan juga tak kalah penting dalam penatalaksanaan
diabetes. Studi oleh Vanelli dkk menemukan bahwa program
pencegahan KAD pada anak dengan diabetes melalui penyebaran poster
bermanfaat dalam menurunkan angka KAD.

17
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan
sudah baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan
gula darah berkala dalam sehari.Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di
samping itu, efek samping pemberian insulin, komplikasi yang terjadi,
serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau.

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dlakukan pada DM tipe 1 dan 2
umumnya tidak jauh berbeda.
a. Glukosadarah : meningkat 200-100mg/dL
b. Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
d. Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l
e. Elektrolit :
 Natrium : mungkin normal, meningkat, atau menurun

18
 Kalium : normal atau peningkatan semu ( perpindahan
seluler), selanjutnya akan menurun.
 Fosfor : lebih sering menurun
f. Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari
normal yang mencerminkan control DM yang kurang selama 4
bulan terakhir ( lama hidup SDM) dan karenanaya sangat
bermanfaat untuk membedakan DKA dengan control tidak adekuat
versus DKA yang berhubungan dengan insiden ( mis, ISK baru)
g. Gas Darah Arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan
penurunan pada HCO3 ( asidosis metabolic) dengan kompensasi
alkalosis respiratorik.
h. Trombosit darah : Ht mungkin meningkat ( dehidrasi) ;
leukositosis : hemokonsentrasi ;merupakan respon terhadap stress
atau infeksi.
i. Ureum / kreatinin : mungkin meningkat atau normal ( dehidrasi/
penurunan fungsi ginjal)
j. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan
adanya pancreatitis akut sebagai penyebab dari DKA.
k. Insulin darah : mungkin menurun / atau bahka sampai tidak ada
( pada tipe 1) atau normal sampai tinggi ( pada tipe II) yang
mengindikasikan insufisiensi insulin/ gangguan dalam
penggunaannya (endogen/eksogen). Resisten insulin dapat
berkembang sekunder terhadap pembentukan antibody .
( autoantibody)
l. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormone tiroid
dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
m. Urine : gula dan aseton positif : berat jenis dan osmolalitas
mungkin meningkat.
n. Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran
kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.
Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila
dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah

19
abnormal satu kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila
tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah
abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah:
1. Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dl atau
3. Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl.
Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang, yaitu C-peptide <0,85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu
penanda banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain
adalah adanya autoantibodi, yaitu Islet cell autoantibodies(ICA), Glutamic
acid decarboxylase autoantibodies(65K GAD), IA2( dikenal sebagai ICA
512 atau tyrosine posphatase) autoantibodiesdan Insulin
autoantibodies(IAA). Adanya autoantibodi mengkonfirmasi DM tipe 1
karena proses autoimun. Sayangnya pemeriksaan autoantibodi ini relatif
mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus
Guidelines 2009).

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk
membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin, umur dan
alamat dan lingkungan kotor dapat mempercepat atau memperberat
keadaan penyakit infeksi.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama

20
Polifagi, Poliuria, Polidipsi, penurunan berat badan, frekuensi
minum dan berkemih. Peningkatan nafsu makan, penururan tingkat
kesadaran, perubahan perilaku.
2. Riwayat penyakit sekarang
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,
mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya
apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk
menanggulangi penyakitnya.
3. Riwayat penyakit dahulu.
Diduga diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi atau toksin
lingkungan seperti oleh virus penyakit gondok (mumps) dan virus
coxsackie B4, oleh agen kimia yang bersifat toksik, atau oleh
sitotoksin perusak dan antibodi.
4. Riwayat kesehatan keluarga.
Terutama yang berkaitan dengan anggota keluarga lain yang
menderita diabetes melitus. Riwayat kehamilan karena stress saat
kehamilan dapat mencetuskan timbulnya diabetes melitus.
5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Meliputi usia, tingkat perkembangan, toleransi / kemampuan
memahami tindakan, koping, pengalaman berpisah dari keluarga /
orang tua, pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas / istrahat.
Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun. Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya
aktivitas. Letargi / disorientasi, koma.
2. Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada
ekstremitas dan tachicardia. Perubahan tekanan darah postural :
hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada. Disritmia, krekel : DVJ
ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan
tekanan darah

21
3. Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi /
tidak)
4. Neurosensori
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk,
lifargi, stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan,
kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan, gangguan
memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks fendo dalam
(RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
5. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah
meringis dengan palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
6. Keamanan
Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
7. Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare, Urine
encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat). Abdomen keras, bising usus
lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
8. Integritas Ego
Stress, ansietas
9. Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat
badan, haus, penggunaan diuretik.
d. Pemeriksaan Penunjang
- Glukosa darah : meningkat 200-100mg/dL
- Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
- Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
- Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l
- Elektrolit :
• Natrium : mungkin normal, meningkat, atau menurun

22
• Kalium : normal atau peningkatan semu ( perpindahan
seluler), selanjutnya akan menurun
• Fosfor : lebih sering menurun
- Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari
normal yang mencerminkan control DM yang kurang selama 4
bulan terakhir ( lama hidup SDM) dan karenanaya sangat
bermanfaat untuk membedakan DKA dengan control tidak adekuat
versus DKA yang berhubungan dengan insiden ( mis, ISK baru)
- Gas Darah Arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan
penurunan pada HCO3 (asidosis metabolic) dengan kompensasi
alkalosis respiratorik.
- Trombosit darah : Ht mungkin meningkat ( dehidrasi) ;
leukositosis : hemokonsentrasi ;merupakan respon terhadap stress
atau infeksi.
- Ureum / kreatinin : mungkin meningkat atau normal ( dehidrasi/
penurunan fungsi ginjal)
- Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya
pancreatitis akut sebagai penyebab dari DKA.
- Insulin darah : mungkin menurun / atau bahka sampai tidak ada
( pada tipe 1) atau normal sampai tinggi ( pada tipe II) yang
mengindikasikan insufisiensi insulin/ gangguan dalam
penggunaannya (endogen/eksogen). Resisten insulin dapat
berkembang sekunder terhadap pembentukan antibody .
( autoantibody)
- Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormone tiroid
dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
- Urine : gula dan aseton positif : berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat.
- Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran
kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.

2.2.2. Diagnosa Keperawatan

23
1. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
disfungsi pankreas dalam darah yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah GDS > 200 mg/dL.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampu dalam mengabsorbsi makanan karena faktor
biologi (defisiensi insulin) ditandai dengan lemas, berat badan pasien
menurun walaupun intake makanan adekuat, mual dan muntah.
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan ditandai dengan diuresis
meningkat, hiperglikemia, diare, muntah, poliuria, evaporasi.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungn dengan hipoksia
perifer yang ditandai dengan sianosis, akral dingin, CRT > 3 detik.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan energi, perubahan
kimia darah, insufisiensi insulin, hipermetabolik ditandai dengan
keletihan, RR meningkat, sianosis.
6. Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi sensori.
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer.
8. Resiko infeksi berhubungan pertahanan sekunder tidak adekuat
(penurunan fungsi limfosit).

2.2.3. Perencanaa

No Tujuan & Kriteria


Diagnosa Intervensi Rasional
. Hasil
1. Risiko NOC Hyperglikemia 1. Untuk
ketidakstabilan - Blood Glucose, management mengetahui
kadar glukosa darah Risk For Unstable 1. Memantau kadar kadar glukosa
- Diabetes Self glukosa darah, darah pasien.
Management seperti yang 2. Untuk
ditunjukkan mengetahui
Kriteria Hasil : 2. Pantau tanda-tanda tanda – tanda
1. Penerimaan dan gejala dari
kondisi kesehatan hiperglikemia : hiperglikemia
2. Kepatuhan Perilaku poliuria, polidipsia, 3. Memberikan rasa

24
: diet sehat polifagia, lemah, nyaman kepada
3. Dapat mengontrol kelesuan, malaise, pasien
kadar glukosa darah mengaburkan visi, 4. Agar keluarga
atau sakit kepala. turut serta dalam
3. Menyediakan proses
kebersihan mulut, penyembuhan
jika perlu pasien
4. Menginstruksikan 5. Memenuhi
keluarga pasien dan kebutuhan cairan
signifikan terhadap pasien
pencegahan, 6. Untuk segera
pengenalan mendapat
manajemen penanganan yang
5. Memberikan cairan tepat
IV sesuai kebutuhan
6. Konsultasikan
dengan dokter jika
tanda dan gejala
hiperglikemia
menetap atau
memburuk
2. Ketidakseimbangan NOC 1. Kaji adanya alergi 1. Agar makanan
nutrisi kurang dari Nutritional Status : makanan pasien tidak
kebutuhan tubuh - Nutritional Status : 2. Monitor jumlah membahayakan
food and Fluid nutrisi dan pasien
Intake kandungan kalori 2. Untuk
- Nutritional Status: 3. Bantu pasien untuk memastikan
nutrient Intake makan jumlah kalori
4. Edukasi mengenai yang telah masuk
Kriteria Hasil : nutrisi pasien 3. Membantu
1. Mampu dengan diet yang pasien makan
mengidentifikasi dijalani dengan mudah
5. Kolaborasi dengan 4. Agar pasien

25
kebutuhan nutrisi ahli gizi untuk memahami diet
2. Menunjukkan menentukan jumlah yang dilakukan
peningkatan fungsi kalori dan nutrisi 5. Agar pasien
pengecapan dan yang dibutuhkan mendapat nutrisi
menelan pasien. yang sesuai
dengan
kebutuhannya
3. Defisit volume NOC: 1. Monitor status 1. Untuk
cairan - Fluid belance hidrasi mengetahui
- Hydration ( kelembapan tanda – tanda

- Nutritional status: membrane mukosa, dari kekurangan

Food and fluid nadi adekuat, cairan dan dapat

Kriteria hasil: tekanan darah dengan segera

1. Tekan darah ≤ ortostatik) menerima

120/80 mmHg, nadi 2. Bantu pasien untuk penanganan

70 – 120 x/mnt, memenuhi cairan 2. Agar pasien dan

suhu tubuh ≤ tubuhnya seperti keluarga paham

37,5℃ minum. dan mampu

2. Tidak ada tanda- 3. Edukasi pasien & melakukannya

tanda dehidrasi, keluarga mengenai secara mandiri

elastisitas turgor kebutuhan minum 3. Untuk memenuhi

kulit baik, yang harus dipenuhi kebutuhan cairan

membrane mukosa 4. Kolabrorasi dari pasien

lembab tidak ada pemberian cairan IV

rasa haus yang 5. Kolaborasi dokter


berlebihan jikatanda cairan
berlebih muncul
memburuk
4. Ketidakefektifan NOC Peripheral Sensation 1. Untuk memantau
perfusi jaringan - Circulation status Management  adanya
perifer  (Manajemen sensasi perubahan status
Kriteria Hasil : perifer kesehatan pada
1. Tekanan systole 1. Monitor adanya pasien

26
dan diastole dalam daerah tertentu yang 2. Mencegah
rentang yang hanya peka terhadap infeksi silang
diharapkan ≤ rangsangan 3. Mengetahui CRT
120/80mmHg 2. Gunakan sarung pasien
2. Tidak ada tanda tangan untuk 4. Agar pasien
tanda peningkatan proteksi mampu
tekanan intrakranial 3. Periksa CRT melakukan
(tidak lebih dari 15 4. Edukasi pasien aktivitas ringan
mmHg) mengenai latihan
3. CRT ≤ 3dtk aktivitas ringan
4. Tidak terdapat 5. Kolaborasi
sianosis pemberian analgetik
5. Intoleransi aktivitas NOC 1. Pantau tanda – tanda 1. Untuk
- Energy vital sebelum mengetahui
conservation maupun sesudah apakah ada
- Activity tolerance beraktivitas perubahan TTV
- Self Care : ADLs 2. Bantu pasien untuk sebelum dan
mengidentifikasi
sesudah
aktivitas yang
mampu dilakukan beraktivitas
Kriteria Hasil : 3. Ajarkan keluarga
2. Membantu
1. Berpartisipasi untuk membantu
pasien untuk
dalam aktivitas fisik pasien dalam
beraktivtas
tanpa disertai beraktivitas
ringan dengan
peningkatan 4. Kolaborasikan
dibantu keluarga
tekanan darah, nadi dengan tenaga
3. Untuk
dan RR rehabilitasi medik
mengetahui jenis
2. Tanda-tanda vital dalam
terapi yang dapat
normal, TD ≤ merencanakan
dilakukan pasien.
120/80 mmHg, nadi program terapi yang
70 – 120 x/mnt, tepat
suhu tubuh ≤
37,5℃
6. Resiko cedera NOC 1. Identifikasi 1. Untuk mencegah

27
         Risk Kontrol kebutuhan pasien cedera
keamanan pasien, 2. Untuk mencegah
Kriteria Hasil : sesuai dengan pasien jatuh dari
1. Klien mampu kondisi fisik dan atas tempat tidur
menjelaskan fungsi kognitif 3. Agar keluarga
cara/metode untuk pasien dan riwayat membantu
mencegah penyakit terdahulu mencegah cedera
injury/cedera pasien pada pasien
2. Klien mampu 2. Memasang side rail
menjelaskan faktor tempat tidur
resiko dari 3. Memberi edukasi
lingkungan/perilaku kepada keluarga
personal mengenai hal – hal
3. Mampu mengenali yang dapat
perubahan status membahayakan
kesehatan pasien dan cara
pencegahannya
7. Kerusakan integritas NOC NIC 1. Untuk mencegah
kulit          Tissue Integrity : Pressure Management timbulnya luka
Skin and Mucous 1. Monitor kulit akan baru, dan
Membranes adanya kemerahan memantau tanda

         Hemodyalis akses 2. Oleskan lotion atau – tanda infeksi


minyak/baby oil 2. Menjaga
pada daerah yang kelembaban kulit
Kriteria Hasil :
tertekan 3. Mempertahankan
1. Integritas kulit yang
3. Memandikan pasien kebersihan
baik bisa
dengan sabun dan pasien dan
dipertahankan
air hangat membuat pasien
(sensasi, elastisitas,
4. Mobilisasi pasien lebih nyaman
temperatur, hidrasi,
(ubah posisi pasien) 4. Mencegah
pigmentasi
setiap dua jam sekali terjadinya luka
2. Menunjukkan
5. Ajarkan keluarga tekan
pemahaman dalam
cara memobilisasi 5. Agar keluarga

28
proses perbaikan pasien dapat dengan
kulit dan mencegah mandiri
terjadinya cedera membantu
berulang pasien
3. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit
dan perawatan
alami

8. Resiko infeksi NOC NIC 1. Mengetahui


- Immune Status Infection Control tanda – tanda
- Knowledge : (Kontrol infeksi) infeksi
Infection control 1. Observasi ttv 2. Mencegah
- Risk control 2. Bersihkan infeksi
lingkungan setelah 3. Mencegah

Kriteria Hasil: dipakai pasien lain infeksi silang

1. Klien bebas dari 3. Batasi pengunjung antara

tanda dan gejala bila perlu pengunjung

infeksi, tidak ada 4. Instruksikan pada dengan pasien

kalor, dolor, rubor, pengunjung untuk

tumor dan fungsi mencuci tangan saat

leusa berkunjung dan

2. Menunjukkan setelah berkunjung

kemampuan untuk meninggalkan

mencegah pasien

timbulnya infeksi 5. Gunakan sabun

        antimikrobia untuk


cuci tangan
6. Cuci tangan setiap
sebelum dan
sesudah tindakan

29
keperawatan
7. Ajarkan pasien dan
keluarga mencuci
tangan dengan benar

30
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Menurut American Diabetes Association atau ADA (2010), diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin atau kedua –
duanya. Diabetes mellitus (DM) tipe-1 adalah DM akibat insulin tidak cukup
diproduksi oleh sel beta pankreas, sehingga terjadi hiperglikemia (WHO, 2017).
Tipe -1 ini ditandai dengan berkurangnya sel beta pankreas yang diperantarai oleh
imun atau antibodi, sehinga sepanjang hidup penderita ini tergantung pada insulin
eksogen (Chiang JL, 2014). Gejala DM tipe-1 pada anak sama dengan gejala
pada dewasa, yaitu poliuria dan nokturia, polifagia, polidipsia, dan penurunan
berat badan. Gejala lain yang dapat timbul adalah kesemutan, lemas, luka yang
sukar sembuh, pandangan kabur, dan gangguan perilaku.

Pengkajian yang dilakukan pada anak dengan penyakit diabetes juvenile


adalah identitas klien, riwayat keperawatan, keluhan utama, riwayat kesehatan
masa lalu, riwayat penyakit yang diderita, riwayat psikososial keluarga, kebutuhan
dasar, pemerikasaan fisik. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus ini
yaitu resiko ketidakseimbangan kadar glukosa darah, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, defisit volume cairan, ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer, intoleransi aktivitas, resiko cedera, kerusakan integritas kulit ,
dan resiko infeksi.

3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis sangat berharap kepada seluruh
pembaca agar mampu memahami dan mengetahui tentang “Konsep Dasar Asuhan
Keperawatan Anak Dengan Diabetes Melitus Juvenile”. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat membawa pengaruh yang baik dan bermanfaat bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

31
Daftar Pustaka

Hermayanti, Diah., Nursiloningrum Erlin. (2017). Hiperglikemia Pada Anak.


Hiperglikemia Pada Anak. Volume 13 Nomor 1 Juni 2017.
Maelyo, Annang Giri. (2011). Mengenal Diabetes Melitus Tipe 1 Pada Anak.
Mengenal Kasus – kasus Endokrin Anak.
Pulungan, Aman B., Annisa, Diadra., Imada, Sirma. (2019). Diabetes Melitus
Tipe-1 pada Anak : Situasi di Indonesia dan Tata Laksana. Sari Pediatri,
Vol. 20, No. 6, April 2019

32

Anda mungkin juga menyukai