Anda di halaman 1dari 30

KONSEP PENATALAKSANAAN TERAPI MODALITAS

Oleh: Sebastianus Banggut, SST., M.Pd

I. Pengertian
Copel (2007.6), Beragam terapi modalitas digunakan oleh perawat kesehatan jiwa
psikiatrik sebagai kerangka kerja untuk pengkajian keperawatan, intervensi, dan criteria hasil.
Perawat mungkin lebih suka menggunakan suatu pendekatan terapi yang spesifik atau kombinasi
dari beberapa pendekatan untuk mengarahkan asuhan kepada klien mereka. Tinjauan mengenai
beberapa terapi modalitas yang umum dilaksanakan a.l : terapi individu, terapi milieu
(lingkungan social), terapi biologis, terapi kognitif, terapi keluarga, terapi kelompok, thought
field therapy, terapi perilaku, terapi bermain, terapi pikiran-jasmani-rohani.

Askep Jiwa I (2000.225), Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.
Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku yang maladaptif
menjadi perilaku yang adaptif. Ada berbagai macam terapi modalitas. Terapi-terapi modalitas
tersebut adalah : Psikoanalisa psikoterapi, Terapi modalitas perilaku, Terapi Keluarga, Terapi
Kelompok, Terapi Lingkungan, Terapi Kognitif, Terapi rehabilitasi, Terapi psikodrama.

Ah. Yusuf, Risky Fitriasari,Hanik Endang Nihayati (2015.274), Terapi Modalitas adalah
berbagai macam alternatif terapi yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa. Konsep terapi
modalitas dalam keperawatan kesehatan jiwa terus mengalami perkembangan disesuaikan
dengan masalah yang dialai pasien, intervensi keperawatan disesuaikan dengan penyebab utama
terjadinya masalah keperawatan. Maramis, 1988 dalam Ahmad Yusuf, Risky Fitriasari,Hanik
Endang Nihayati (2015.274), mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari masalah
fisik, kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan). Apabila gangguan jiwa
disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan keseimbangan neurotransmiter yang
mengendalikan perilaku manusia, maka pilihan pengobatan adalah farmakologi. Apabila
penyebab gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara psikologis.
Apabila penyebab gangguan karena masalah sosial, maka pilihan terapi difokuskan pada
manipulasi lingkungan. Dengan demikian, berbagai macam terapi dalam keperawatan kesehatan
jiwa dapat berupa : Somatoterapi, psikoterapi, dan terapi lingkungan.

II. Dasar Pemberian Terapi


Patricia G.O’Brien,Winifred Z.Kennedy,Karen A.Ballard (2014.205-210), Modalitas
Komplementer dalam Praktik Keperawatan Holistik. Pada bagian ini, Anda akan mengeksplorasi
tinjauan beberapa modalitas komplementer yang paling sering digunakan, dengan anjuran
penggunaan di rumah sakit, perawatan di rumah, dan kesehatan komunitas. Ketika Anda,
mengeksplor bagian ini, ingat kembali pembelajaran berdasarkan pengalaman, partisipasi aktif,
pemberdayaan dan penyembuhan diri, caring dalam hubungan terapeutik, arti sakit, arti sehat,
teori keperawatan, serta keperawatan holistik.
Teori keperawatan, perspektif, kumpulan terapi, dan pandangan terhadap sakit,
penyembuhan diri, keutuhan, kesehatan, dan pemberdayaan ini direfleksikan dalam praktik kuno
dan modern antara lain : Penyembuhan-Diri dan Pengaturan-Diri, Relaksasi, Relaksasi Otot
Progresif, Pelatihan Otogenik, Latihan Biofeedback, Imajinasi, Meditasi khusus, Sentuhan
Terapeutik (therapeutik touch=TT).
Ah.Yusuf, Risky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.274), Gangguan jiwa merupakan
berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya,
diperlukan pengkajian secara mendalam untuk mendapatkan faktor pencetus dan pemicu
terjadinya gangguan jiwa. Selain itu, masalah kepribadian awal, kondisi fisik pasien, situasi
keluarga, dan masyarakat juga mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa.

MANUSIA

LINGKUNGAN
BADAN JIWA

Manipulasi
Somato Terapi Psikoterapi lingkungan dan
Gmbr.1. Terapi
Farmakoterapi Suportif sosioterapi
ECT Dinamika genetik
Pembedahan

Pada pemberian somatoterapi (terapi somatik), peran perawat difokuskan pada


pengenalan jenis farmakoterapi yang diberikan, mengidentifikasi efek samping, dan
kolaborasi penanganan efek samping obat. Pada pemberian terapi kejang listrik
(electroconvulsive therapy-ECT) peran perawat adalah menyiapkan pasien dan mengevaluasi
kondisi pasien setelah mendapatkan terapi kejang listrik.
Pada kelompok psikoterapi, perawat dapat memberikan berbagai upaya pencegahan
dan penanganan perilaku agresif, intervensi krisis, serta mengembangkan terapi kognitif,
perilaku, dan berbagai terapi aktivitas kelompok.
Pada kelompok terapi lingkungan, perawat perlu mengidentifikasi perlunya
pelaksanaan terapi keluarga, terapi lingkungan, terapi okupasi, dan rehabilitasi.

Bagan berikut ini menggambarkan sinkronisasi berbagai alternatif terapi medis dan
keperawatan, yang sering disebut dengan istilah terapi modalitas.

Somatoterapi Psikoterapi Manipulasi lingkungan dan


Sosioterapi
Farmakoterapi Suportif
ECT
Dinamika genetik.
Pembedahan

Psikofarmakologi Mencegah dan Menangani Perilaku Intervensi Keluarga


Agresif:
 Peran perawat  Teori tentang agresi  Fungsi keluarga
 Farmakokinetik  Intervensi keperawatan
 Intervensi nonklinis
 Antiansietas  Teknik manajemen kritis
Terapi Perilaku:  Terapi sistem keluarga
 Antidepresan  Terapi keluarga struktural
 Pengondisian klasik
 Obat antimanik  Pengondisian operan  Terapi keluarga strategis.
 Antipsikotik  Strategi perawatan
 Peran perawat. Terapi milleu (terapi lingkungan)
Somatoterapi
Terapi Kelompok: Okupasi dan rehabilitasi.
 ECT
 Fototerapi  Komponen kelompok kecil
 Terapi kurang tidur.  Perkembangan kelompok
 Perawat sebagai pemimpin
Gmbr.2. Terapi Modalitas

III. Jenis Terapi Modalitas

Ann Isaacs (2005.24), Kerangka Kerja untu Keperawatan Psikiatrik adalah:

A. Teori-Teori Psikobiologik.
Definisi Psikobilogik, merupakan studi ilmiah tentang hubungan antara struktur dan
fungsi otak, proses biokimia dan hormonal, genetika, pengalaman lingkungan dan perilaku
manusia. Perkembangan yang mempengaruhi psikobiologik antara lain :

1. Dekade otak. Pada 1990-an terdapat ledakan pengetahuan tentang fungsi otak.
2. Penelitian genetika. Telah membentuk hubungan antara genetika dan penyakit jiwa,
terutama skizofrenia dan gangguan depresi.
3. Penelitian psikofarmakologi. Obat-obat yang baru dikembangkan mempengaruhi
neurotransmiter dan area reseptor.

Neurotransmiter.

1. Serebrum. Adalah bagian paling superior dari otak dan terdiri dari dua hemisfer serebral,
setiap hemisfer terbagi menjadi empat lobus.
a. Lobus frontalis. Bertanggungjawab atas proses berpikir yang lebih tinggi, penalaran
abstrak, pengambilan keputusan, bicara dan gerak otot volunter. Disfungsi yang
terjadi pada bagian ini ditandai dengan cara berpikir yang tidak logis atau psikotik,
perilaku yang tidak terkendali, dan percakapan yang membingungkan.
b. Lobus parietalis.bertanggung jawab atas fungsi sensorik dan informasi posisi tubuh.
Disfungsi pada bagian ini ditandai dengan rusaknya kemampuan spasial (yang
berkaitan dengan ruang) dan citra tubuh, serta berkurangnya kemampuan perawatan
diri sndiri.
c. Lobus oksipitalis, bertanggung jawab atas fungsi visual. Disfungsi pada bagian ini
ditandai dengan ilusi visual dan halusinasi.
d. Lobus temporalis. Bertanggung jawab atas penilaian, memori, penciuman,
interpretasi sensorik, dan pemahaman bunyi. Disfungsi pada bagian ini ditandai
dengan perilaku agresif dan kekerasan, halusinasi olfactorius dan auditorius, serta
abnormalitas bahasa.
2. Diensefalon, tertanam di dalam serebrum dan terletak di atas batang otak. Bagian ini
terdiri dari beberapa struktur :
a. Talamus. Menerima dan memancarkan informasi sensorik dan berperan dalam
memori dan pengaturan mood.
b. Hipotalamus.adalah pusat kontrol viseral utama terhadap tubuh dan sangat penting
bagi homeostasis tubuh. Bagian ini mengatur sistem saraf otonom, suhu tubuh,
ataupun makanan, keseimbangan air, irama dan dorongan biologis, serta haluaran
hormonal dari kelenjar hipofisis anterior.
c. Sistem limbik. Terdiri dari lobus limbik dan berbagai struktur yang berfungsi
dengannya, termasuk korteks frontalis, hipotalamus, amandel, hipokampus, batang
otak, dan sistem saraf otonom. Disebut otak emosional, sistem limbik mengatur
respons-respons emosional.

Neurotransmiter dan Daerah Reseptor.

1. Ann Isaacs (2005.26) Neurotransmiter adalah pengantar kimiawi yang membawa pesan
menghambat atau menstimulasi dari satu neuron ke neruron lain melintasi ruang di antara
keduanya (sinaps). Banyak gangguan psikiatrik yang berkaitan dengan interaksi abnormal
antar sistem neurotransmiter. Derek Wood,dkk (2007.168), menjelaskan bahwa otak
bekerja secara kimiawi berdasarkan zat-zat yang disebut dengan “pentransmisi saraf”
(neurotransmitters). Zat kimia otak yang dinamakan “pentransmisi saraf” ini menimbulkan
berbagai macam kondisi emosional. Zat “petransmisi saraf” ini memiliki tingkatan normal
dalam otak dan dapat menjadi “rendah” atau “tinggi” bergantung dari kondisi yang kita
alami. Beberapa jenis neurotransmitter itu a.l :
a. Serotonin, terlibat dalam gangguan depresi dan ansietas, dan mungkin juga dalam
gangguan makanan. Banyak obat anti-depresan yang meningkatkan kadar serotonin
pada sinaps. Derek Wood,dkk (2007.168), serotonin berhubungan dengan depresi,
sakit kepala, gangguan tidur serta berbagai macam kejiwaan lainnya. Ketika
serotonin memiliki kadar yang rendah dalam otak, terjadilah depresi, dan masalah
jiwa lainnya. Rendahnya serotonin juga dihubungkan dengan penyakit bulimia, yakni
sejenis gangguan makan, dimana tubuh sangat membutuhkan karbohidrat dan gula.
Obat-obat antidepresan seperti Prozac dan Zoloft berkasiat untuk meningkatkan
serotonin di dalam otak. Setelah tingkatan kadar serotonin kembali normal, depresi
yang dialami akan hilang.
b. Dopamin, terlibat dalam gangguan skizofrenia. Banyak obat antipsikotik yang
menghalangi dopamin berikatan dengan reseptornya. Derek Wood,dkk (2007.169),
kadar tinggi dopamin di otak akan menyebabkan paranoia, kegelisahan, halusinasi
dan gangguan kejiwaan (skizofrenia). Sebaliknya kadar yang rendah menghasilkan
motorik atau gangguan gerak, seperti penyakit parkinson.
c. Norepinefrin, adalah neurotransmiter katekolamin dari sistem saraf simpatik, yang
mengantarkan respons-respons darurat. Perubahan kadar norepinefrin dapat
menyebabkan gangguan depresif, termasuk gangguan bipolar. Derek Wood,dkk
(2007.169), Zat ini berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Kadar yang tinggi di
otak menghasilkan gangguan fisik yang kuat, seperti gemetar, rasa tercekik, berdebar,
pusing, mulut kering, kencing terus menerus, dan masalah dengan konsentrasi.
Serangan rasa panik adalah sentakan tiba-tiba pada norepinephrine di otak.
d. Asam gamma aminobutirat (Gamma-aminobutryric acid=GABA), adalah
neurotransmiter inhibitor. Obat-obat antiansietas dapat meningkatkan efek GABA.
e. Asetilkolin, merupakan neurotransmiter utama dari sistem saraf parasimpatik, yang
mengendalikan otot-otot, memori dan koordinasi. Perubahan kadar asetilkolin
berkaitan dengan penyakit Alzheimer.
2. Daerah-daerah reseptor, adalah saluran-saluran yang terletak di membran sel
parasinaptik dan pascasinaptik. Saluran ini bervariasi dalam hal afinitasnya terhadap
neurotransmiternya masing-masing.
Lewis,2000 dalam Sheila L.Videbeck (2008.23), Neurotransmiter (NT) merupakan
zat kimia yang disintesis dalam neuron, yang membantu transmisi informasi ke seluruh
tubuh. NT memicu atau menstimulasi aksi di dalam sel (eksitasi) atau menghambat atau
menghentikaan aksi (inhibisi). NT cocok dengan sel reseptor khusus yang melekat di
membran dendrit, seperti halnya bentuk kunci tertentu yang cocok masuk ke lubang kunci.
Setelah NT dilepas ke dalam sinaps dan menyampaikan pesan ke sel reseptor, NT dibawa
kembali dari sinap ke akson untuk disimpan dan digunakan kemudian (reuptake) atau
dimetabolisme dan dibuat tidak aktif oleh enzim, terutama monoamin aksidase (MAO).

Tecott,2000 dalam Sheila L.Videbeck (2008.24), neurotransmiter utama terbukti


berperan dalam gangguan jiwa, begitu juga kerja dan efek samping obat psikotropika.
Dopamin dan serotonin mendapat perhatian yang paling besar dalam penelitian dan terapi
gangguan psikiatrik.

B. Teori-Teori Perkembangan.
Ann Isaacs (2005.35), Teori Perkembangan, termasuk teori dari Freud, Sullivan, Erikson
dan Piaget.
Sigmund Freud (teori Erikson (teori Sullivan (teori Erikson (teori
psikoseksual) psikososial) interpersonal) kognitif)

Masa Bayi (lahir Masa Bayi. Disebut Masa Bayi. Tahap


sampai 18 bulan). percaya versus tidak Belajar sensorikmotori
Disebut tahap oral, percaya, bayi belajar mempercayai k
bayi belajar mempercayai orang orang lain.
menghadapi ansietas lain
dengan mencari
kepuasan dari
pemenuhan kebutuhan
oral

Todler (18 bln -3 Todler. Disebut Masa kanak- Tahap


tahun). Disebut tahap otonomi versus malu kanak (18bln - 6 prakonseptual
falik, anak membentuk dan ragu-ragu, todler tahun). (2-4 thn).
identitas seksual. mempelajari kontrol Menerima Mengembangk
diri dan awal dari pengaruh dari an bahasa dan
kemandirian orang lain. permainan
simbolik).

Prasekolah (3-6 thn). Prasekolah. Disebut Masa kanak- Tahap intuisi


Disebut tahap falik, inisiatif versus rasa kanak (6-9 thn). (4-7 thn).
anak membentuk bersalah, anak Membentuk Belajar
identitas seksual. mempelajari asertifitas hubungan mengklasifikas
dan kemampuan dengan teman i dan
seseorang untuk sebaya. mengelompok
mempengaruhi kan; cara
lingkungan berpikir
interpersonal. egosentrik.

Usia sekolah (6-12 Usia sekolah. Disebut


thn). Disebut tahap industri versus rendah
laten, anak membentuk diri, anak belajar
hubungan dengan percaya diri dengan
sesama jenis. bekerja sama dan
berkompetisi.

Ann Isaacs (2005.28), Teori-teori perkembangan antara lain : teori Freudian


(psikodinamika), teori Sullivan, teori Erikson (psikososial), teori (Kognitif) Piaget.
1. Teori Freudian (Psikodinamika). Berfokus pada proses proses intrapsikis dan
perkembangan psikoseksual.
a. Teori Freudian menjelaskan tiga tingkat kewaspadaan
1) Sadar: pengalaman (mis, memori, perasaan, pikiran dan keinginan) dalam
kesadaran indiviu.
2) Prasadar: pengalaman yang dapat diingat kembali pada tingkat kewaspadaan
sadar.
3) Tidak sadar: pengalaman yang tidak terdapat pada tingkat kewaspadaan sadar.
b. Teori Freudian menjelaskan tentang struktur kepribadian
1) Id adalah komponen yang paling primitif dan bertanggung jawab atas insting
dan impuls, dioperasikan dengan prinsip kesenangan dan proses berpikir
primer (mis, cara berpikir yang mwerupakan karakteristik masa bayi, dan
berkhayal).
2) Ego adalah komponen “saya” yang berbasis realita, dan memvalidasi serta
menguji realitas; ego ini bekerja dengan cara berpikir proses sekunder (mis,
berpikir berlandaskan realisasi), menyeimbangkan tuntutan dari Id dan
tuntutan dari superego.
3) Superego adalah komponen prinsip moral, atau nurani; superego terdiri dari
nilai-nilai yang didapat melalui budaya, keyakinan, dan standar perilaku.
c. Psikodinamika adalah asumsi yang dibuat oleh Freud dan psikoanalisis secara
umum bahwa perilaku manusia – terutama masalah-masalah emosional – terjadi
karena konflik bawah sadar dan insting sadar.
1) Energi psikis (Kateksis) adalah kekuatan yang diperlukan untuk
memfungsikan jiwa, dan muncul dari dorongan (mis, insting).
2) Insting (dorongan) adalah gambaran atau keinginan psikologik yang sudah ada
sejak lahir dan mencakup pelestarian diri dan spesies. Freud berasumsi bahwa
manusia memiliki insting baik insting kehidupan maupun kematian.
3) Ansietas adalah respons terhadap konflik bawah sadar atau ancaman terhadap
ego.
4) Mekanisme defensi adalah mekanisme jiwa (sebagian besar di bawah sadar)
yang bekerja melindungi ego.
d. Konsep perkembangan (lih.tabel di atas, Freud)
e. Pandangan tentang penyakit jiwa dalam konteks Freudian
f. Pengobatan dalam konteks Freudian
g. Penerapan dalam keperawatan.
1) Bekerja dalam kerangka kerja ini, mengharuskan perawat mengkaji tingkat
ansietas dan mekanisme defensif klien.
2) Teori psikodinamika dapat digunakan untuk memahami perilaku klien dan
memberikan perspektif perkembangan terhadap perilaku.
3) Transferensi (perasaan klien terhadap ahli terapi yang muncul dari
pengalaman bawah sadar klien sebelumnya dengan orang yang dekat dengan
klien, misalnya orang tua) dan kontraferensi (perasaan ahli terapi yang
muncul dari pengalaman sebelumnya) dapat membantu perawat dalam
menatalaksanakan hubungan terapeutik.
2. Teori Sullivan (Interpersonal)
3. Teori Erikson (Psikososial)
4. Teori Piaget (Kognitif)
Teori kognitf (Piaget) berfokus pada perkembangan kemampuan berpikir dari masa
bayi sampai dewasa (lihat tabel). Menurut Piaget, setiap individu dilahirkan dengan
kecenderungan mengatur dan beradaptasi dengan lingkungan mereka, Piaget tidak
secara spesifik membahas penyakit dan pengobatannya. Penerapan dalam keperawatan
adalah:
a. Dengan memahami cara berpikir individu, perawat dapat berkomunikasi dengan
cara yang sesuai usia.
b. Intervensi keperawatan dapat disesuaikan dengan tingkat kognitif individu.
Sebagai contoh: perawat dapat menggunakan boneka atau mainan alat kesehatan
lainnya untuk menjelaskan tentang pembedahan pada anak usia prasekolah yang
akan menjalni operasi.
c. Perawat dapat memilih strategi pengajaran yang sesuai dengan proses kognitif usia
klien.

C. Teori Perilaku/Kerangka Kerja Perilaku


D. Teori Kognitif/Kerangka Kerja Kognitif
E. Teori Kemanusiaan/Kerangka Kerja Humanistik

Ada berbagai macam terapi modalitas, Sebagaimana yang telah disebutkan oleh para
penulis di atas, antara lain:

A. Psikoanalisa Psikoterapi
Terapi ini dikembangkan oleh Sigmund Freud, seorang dokter yang mengembangkan
“talking cure.” Terapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa bila seorang terapis dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan klien menceritakan tentang masalah pribadinya,
perubahan perilaku dapat terjadi jika klien dapat menemukan kejadian-kejadian yang
disimpan di alam bawah sadarnya.

Tujuan Psikoterapi adalah untuk:

1. Menurunkan rasa takut klien


2. Mengembalikan proses pikir yang luhur seperti: emosi, kemampuan belajar dan
kemampuan mengingat=memori).
3. Membantu klien menghadapi realita
4. Menurunkan kecemasan
5. Memperbaiki komunikasi interpersonal.

Implementasi psikoterapi psikoanalisa meliputi 4 aspek terapi yaitu :

a. Melibatkan 2 orang. Interaksi yang terbentuk bersifat rahasia, dan klien mendiskusikan
hubungannya dengan orang lain. Karenanya hubungan yang dikembangkan adalah
hubungan saling percaya dan saling menghormati.
b. Cara interaksi adalah interaksi verbal. Klien menceritakan pikiran, perasaan, pengalaman,
dan persepsinya. Terapis mendengar, mendorong, dan klarifikasi. Interaksinya dapat
sangat intensif secara emosional.
c. Interaksi berlangsung lama. Perilaku klien yang ekstensif dan permanen membutuhkan
waktu yang lama. Klien menemukan hal baru tentang diri dan melakukan pendekatan pada
dunia, berusaha untuk memadukan dengan pemahaman baru. Dengan berjalannya waktu
klien berupaya memadukan pengetahuan baru tersebut dan memodifikasi aspek-aspek
dalam hidup, seperti kesuksesan terminasi dari hubungan yang terapeutik.
d. Hubungan antara terapis dan klien adalah hubungan berseri yang terencana untuk
mengubah perilaku klien.

Perawat dalam psikoanalisa psikoterapi ini berperan sebagai terapis yang dalam jenis terapi
ini disebut analis karena pada dasarnya peranannya adalah menemukan dan menganlisa
konflik yang dialami oleh klien untuk kemudian menentukan strategi yang akan mengubah
perilaku klien. Melalui terapi ini klien dapat mengekspresikan hal-hal yang selama ini
direpresikan di alam bawah sadarnya. Dengan menemukan kejadian-kejadian yang
menyakitkan klien akan dapat mengungkapkan emosi berkaitan dengan kejadian tersebut.
Energi yang selama ini digunakan untuk menyimpan memori yang menyakitkan keluar dari
kesadaran sekarang digunakan untuk memikirkan jalan pemecahan masalah.

B. Terapi Modifikasi Perilaku


Terapi perilaku didasarkan pada keyakinan bahwa perilaku dipelajari, dengan
demikian perilaku yang tidak diinginkan atau maladaptif dapat diubah menjadi perilaku yang
diinginkan atau adaptif. Proses mengubah perilaku dengan terapi ini adalah dengan
menggunakan teknik yang disebut “Conditioning” yaitu suatu proses dimana klien belajar
mengubah perilakunya. Ada 3 cara melakukan Conditioning:

1. Reciprocal inhibition. Ini adalah cara mengurangi ansietas yang dirasakan dengan cara
mengendalikan situasi yang dapat meredahkan ansietas yang dirasakan.(teknik napas
dalam).
2. Positif conditioning. Yaitu upaya mengganti perilaku yang tidak diinginkan dengan
perilaku yang diinginkan. Cara yang ditempuh adalah dengan memberi reward pada setiap
perilaku yang diinginkan dan tidak memberikan reward atau menghukum pada perilaku
yang tidak diinginkan. Dengan kata lain ada penguatan perilaku (reinforcement) yang
terdiri dari 2 macam yaitu: 1. reinforcement positif yaitu penguatan untuk
mempertahankan suatu perilaku. 2. reinforcement negative yaitu upaya untuk menghambat
suatu perilaku.
3. Eksperimental extinction. Yaitu upaya menurunkan suatu perilaku dengan cara tidak
memberikan reward berulang-ulang.

Untuk menerapkan terapi perilaku arahan umum dapat diterapkan sbb:

1. Pendekatan terapis kepada klien bersifat obyektif, tidak menghakimi.


2. Klien diyakinkan bahwa reaksi menyakitkan akan pulih.
3. Informasi yang tidak akurat dikoreksi segera.
4. Klien dikuatkan untuk dapat mengendalikan perilakunya.

Kriteria evaluasi terapi perilaku meliputi :

1. Menurunnya perilaku maladaptive


2. Meningkatnya produktivitas kerja
3. Membaiknya hubungan interpersonal
4. Meningkatnya kemampuan penyelesaian masalah yang disebabkan oleh stressor
lingkungan dan situasi.

Copel (2007.15), ada lima teknik dasar terapi perilaku.

1. Pada model peran, terapis atau orang lain mencontohkan perilaku yang diinginkan dan
klien mempelajarinya melalui praktik dan imitasi. Model peran sering digunakan dengan
pengondisian operan dan desentisasi = artinya suatu cara terapi perilaku yang sering
dipakai dan yang efektif, terutama pada fobi, frigiditas dan insomnia; latihan relaxasi otot
secara bertahap dalam suasana lingkungan yang menyenangkan sambil diberinya
rangsangan yang mencemaskan itu.
2. Pada pengondisian operan, yang juga disebut penguatan positif, terapis memberi
penghargaan kepada klien karena telah membuat perubahan perilaku menjadi positif.
Modifikasi perilaku terjadi ketika klien mencapai tujuan perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya; perilaku ini secara sistematis dikuatkan oleh umpan balik positif atau
penghargaan yang diterima. Seiring dengan waktu, perilaku yang diinginkan meningkat
dan dipertahankan secara terus menerus.
3. Pada desensitisasi sistematis, klien yang menderita akibat fobia diperkenalkan secara
berulang-ulang kepada stimulus yang menimbulkan fobia pada saat klien berada dalam
kondisi rileks. Sementara terapis secara bertahap meningkatkan pemajangan terhadap
stimulus, orang itu belajar mengatasi ansietas, dan akhirnya, mengatasi ketakutan-
ketakutan yang mengejarnya.
4. Pada terapi pengendalian diri, klien dilatih oleh terapis untuk belajar bagaimana mengubah
kata-kata negative dan membimbing mereka sampai memperoleh pengendalian atas
tindakan mereka.
5. Teknik yang terakhir, terapi aversi (menghindar) atau terapi refleks terkondisi, didasarkan
pada prinsip penguatan negative. Perilaku abnormal yang dipilih dibandingkan dengan
pengalaman yang tidak nyaman, dan klien segera belajar………..

C. Terapi Biologis.
Copel (2007.8), Terapi biologis didasarkan pada model media yang memandang
gangguan emosional dan perilaku sebagai suatu gangguan yang spesifik atau penyakit.
Penekanan ditempatkan pada pengkajian kondisi klien secara sistematis dan pengelompokan
gejala ke dalam sindrom yang spesifik. Perilaku Abnormal dipercaya diakibatkan oleh
penyakit yang disebabkan oleh organisme tertentu dari luar tubuh atau sebagai akibat
perubahan biokimia di dalam tubuh.
Perawat sering kali terlibat dalam perawatan klien yang mendapat terapi biologis.
Memantau respons klien terhadap terapi somatik, memberikan petunjuk dan arahan untuk
menggunakan obat dengan tepat, dan menangani gejala-gejala pada klien adalah beberapa
tugas klinis yang harus dikerjakan perawat. Fokus Asuhan adalah mengkaji, menginterpretasi,
membela dan mengevaluasi kebutuhan klien. perawat membutuhkan latar belakang ilmu
fisiologi yang kuat seperti pengetahuan tentang otak, sistem saraf pusat, fungsi endokrin, dam
sistem imun.
Contoh terapi biologis adalah obat-obatan psikoaktif, intervensi nutrisi, fototerapi,
terapi electroconvulsive, simulasi listrik nonkonvulsisif, psychosurgery (terapi gangguan jiwa
dengan membedah otak).

TERAPI KEJANG LISTRIK (ELECTROCONVULSIVE TERAPI-ECT)


Ah.Yusuf, Risky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.290-292), terapi kejang
listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien gangguan jiwa, menggunakan
aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang umum, berlangsung sekitar 25-150 detik
dengan menggunakan alat khusus yang dirancang aman untuk pasien.
Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada otak melalui dua elektroda dan
ditempatkan pada bagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran
terapeutik untuk menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang eplieptik
tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting bukanlah kejang yang
ditampilkan secara motorik, melainkan respons bangkitan listriknya di otak yang
menyebabkan terjadinya perubahan faali dan biokimia otak.
Indikasi pemberian ECT adalah:
1. Depresi berat dengan retardasi motorik, waham (somatik dan bersalah, tidak ada
perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, ada ide bunuh diri yang menetap, serta
kehilangan berat badan yang berlebihan).
2. Skizofrenia terutama yang akut, katatonik, atau mempenyai gejala afektif yang menonjol.
3. Mania

Kontra indikasi pemberian ECT:


1. Tumor intrakranial, hematoma intrakranial.
2. Infark miokardiak akut.
3. Hipertensi berat.

Efek samping pemberian ECT:


1. Aritmia jantung.
2. Apnea berkepanjangan
3. Reaksi toksik atau alergi terhadap obat-obatan yang digunakan ECT

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum ECT:


1. Persiapan
a. Kelengkapan surat informed consent
b. Alat-alat yang dipeerlukan
1) Tempat tidur beralas papan
2) Alat ECT lengkap
3) Kasa basah untuk lapisan elektroda.
4) Alat untuk mengganjal gigi
5) Tabung oksigen dan perlengkapannya.
6) Alat pengisap lendir.
7) Alat suntik dan obat-obat untuk persiapan kondisi darurat.
c. Tindakan perawat pada tahap persiapan sesuai dengan peran pelaksana dan pendidik.
1) Melakukan pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh sebelum diputuskan
untuk melakukan ECT (walaupun tidak ada kontraindikasi).
a) Fungsi vital
b) EKG
c) Rontgen kepala, thoraks, serta tulang belakang.
d) EEG
e) CT Scan
f) Pemeriksaan darah dan Urine.
2) Menjelaskan kepada pasien untuk berpuasa (tidak makan dan minum) minimal 6
jam sebelum ECT.
3) Menjelaskan kepada pasien akan diberikan premedikasi.
4) Mengobservasi keadaan pasien dan menjelaaskan tentang ECT agar pasien tidak
cemas.
5) Menanyakan dan menjelaskan kepada pasien untuk tidak memakai gigi palsu,
perhiasan, ikat pinggang, ikat rambut.
d. Tenaga perawat yang akan membantu sebanyak 3-4 orang.
2. Pelaksanaan
a. Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan pakaian longgar
b. Bantalan gigi dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada rahan bawah. Perawat
yang lain menahan bagian bahu, pinggul, dan lutut secara fleksibel agar tidak terjadi
gerakan yang mungkin menimbulkan dislokasi atau fraktur akibat terjadinya kejang-
kejang.
c. Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan pelipis kanan dengan kasa
basah. Sebelumnya dokter/psikiater telah mengatur waktu dan besarnya aliran listrik
yang diberikan.
d. Sesaat setelah aliran listrik diberikan, maka akan terjadi kejang-kejang yang didahului
oleh fase kejang tonik-klonik, serta timbul apnea beberapa saat dan baru terjadi
kembali pernapasan spontan.
e. Saat menunggu pernapasan kembali merupakan saat yang penting. Bila apnea
berlangsung terlalu lama, maka perlu dibantu dengan pemberian oksigen dan
pernapasan buatan atau tindakan lain yang diperlukan.
3. Observasi Pasca ECT
Pada fase ini perawat harus mengobservasi dan mengantisipasi tindakan yang harus
dilakukan karena kesadaran pasien belum pulih walaupun kondisi vital telah berfungsi
normal kembali (tetap monitor kondisi vital). Selain itu, harus tetap berada disamping
pasien agar pasien menjadi aman dan nyaman.

ECT biasanya diberikan dalam satu seri yang terdiri atas 6-12 kali (kadang-kadang diperlukan
sampai 20 kali) pemberian dengan dosis 2-3 kali per minggu.
D. Terapi Individu
Copel (2007.6), Terapi Individual adalah pembentukan hubungan yang terstruktur
antara perawat-klien untuk mencapai perubahan pada diri klien. Pada hubungan satu per satu,
perawat bekerja sama dengan klien untuk mengembangkan suatu pendekatan yang unik dalam
rangka menyelesaikan konflik, mengurangi penderitaan emosional, dan mengembangkan
cara-cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan klien. sebuah hubungan terapeutik dibuat
dalam tiga fase yang saling tumpang tindih yakni: fase orientasi, fase kerja, dan fase
terminasi.

Dalam fase orientasi, perawat membangun sebuah hubungan dengan klien dengan
membangun suatu laporan dan menciptakan hubungan saling percaya. Latar belakang klien
didiskuasikan dan masalah serta kekhawatiran klien didentifikasi. Perawat-klien bersama-
sama merumuskan tujuan dan saling menentukan komponen-komponen praktis dari hubungan
terapi, seperti penjadwalan dan pembiayaan.

Dalam fase kerja, klien menjadi lebih terlibat dalam eksplorasi diri. dalam fase ini
perawat bekerja dengan isi (atau cerita) dan proses (atau perasaan) yang dikaitkan dengan
penderitaan pasien. Sukar bagi seseorang untuk mengungkapkan dan memeriksa pikiran,
perasaan, dan perilaku yang menyebabkan distres. Selama fase ini, klien dibantu untuk
mengembangkan pemahaman diri dan didorong untuk mengambil risiko dalam mengubah
perilaku disfungsional.

Fase terminasi, fase terminasi terjadi saat klien dan perawat menentukan bahwa
penutup dari suatu hubungan telah tepat. Biasanya kedua pihak setuju bahwa masalah yang
mengawali hubungan terapeutik sudah lebih dapat ditangani dari sudut pandang klien dan
bahwa tujuan khusus yang dibuat sudah tercapai. Klien mulai merasa dirinya lebih baik dan
sering melaporkan peningkatan dalam fungsi diri, sosial, atau pekerjaan. Yang penting, tujuan
utama terapi, seperti pengurangan distres emosional, perubahan perilaku yang tidak baik,
peningkatan pertumbuhan dan perkembangan klien, serta peningkatan kepuasan hidup, telah
terpenuhi.

Copel (2007.7), Keterampilan Komunikasi Terapeutik dan Terapi Modalitas

TEKNIK KOMUNIKASI TERPEUTI


Teknik Contoh
Berupaya menerjemahkan isi Apa yang Anda uraikan membuat saya berpikir
komunikasi ke dalam bentuk perasaan bahwa mungkin Anda merasa.........
Mendorong perbandingan Apakah pengalaman ini sama dengan...........?
Mendorong penggambaran persepsi Ceritakan pada saya kapan Anda merasa
kewalahan
Mendorong evaluasi Bagaimana perasaan Anda mengenai masalah
ini?
Mendorong formulasi rencana tindakan Apa yang bisa Anda lakukan saat Anda dituduh
dalam hal..........?
Eksplorasi Setelah hal itu terjadi, apa yang akan Anda
lakukan ?
Memfokuskan Mari kita kembali ke topik yang baru kita
bicarakan.
Memberi pertanyaan terbuka Apa hal yang mungkin ingin Anda bicarakan?
Memberi informasi Saya ingin mengorientasikan Anda ke suatu unit
dan menjelaskan beberapa aturannya.
Memberi pengenalan Selamat pagi Linda. Saya perhatiakan Anda
memakai sepatu baru.
Membuat pemantauan Anda tampak cemas hari ini.
Menawarkan pengarahan umum Cerita kepada saya tentang apa yang Anda
alami.
Menawarkan diri Saya akan tinggal di sini selama beberapa saat
dengan Anda.
Menempatkan beberapa kejadian pada Hal ini terjadi sebelum atau sesudah.....?
waktunya atau pada urutannya.
Menghadirkan realita Suara tadi adalah suara pintu yang berderit.
Merefleksikan Anda khawatir tentang apa yang harus Anda
lakukan, tetapi Anda tidak yakin apakah Anda
ingin terlibat.
Menyatakan ulang Anda merasa marah dan Anda berpikir bahwa
hal ini disebabkan oleh cara pasangan Anda
memperlakukan Anda tadi malam.
Mencari klarifikasi Saya tidak yakin bahwa saya mengerti apa yang
baru Anda sampaikan.
Mencari validasi yang disetujui Katakan pada saya jika persepsi saya mengenai
bersama. apa yang terjadi sama dengan persepsi Anda.
Diam Perawat tetap diam secara nonverbal untuk
mendorong klien menjawab.
Menyarankan kerja sama. Mungkin bisa kita bisa bertemu dengan orang
tua Anda untuk membahas.........
Merangkum Satu jam lalu, Anda dan saya sudah setuju untuk
.....
Mengungkapkan makna yang tersirat. Apakah Anda merasa bahwa tidak seorang pun
yang peduli pada Anda?
Menyuarakan keraguan. Bukankah hal ini suatu pengalaman yang tidak
biasa?

E. Terapi Keluarga
Linda Carmen Copel (2007.10), dalam terapi keluarga seluruh keluarga disertakan
sebagai unit penanganan. Semua masalah dalam kelaurga dipandang dari sebuah sudut
pandang yang mengungkapkan bagaimana masing-masing anggota keluarga berkontribusi
terhadap masalah yang dialami. Perbedaan generasi dan ada atau tidak adanya batasan dicatat.
Perawat menentukan apakah orang tua bertindak sebagai orang tua dan anak bertindak
sebagai anak.

Menurut ahli teori keluarga gejala pada setiap anggota keluarga merupakan cerminan
dari perilaku dan hubungan disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat. Perilaku
ekstrim dapat dilihat, seperti keterlibatan anggota keluarga yang berlebihan atau kurang.
Kekusutan dapat terlihat, yang di dalamnya terdapat keterlibatan berlebihan atau komunikasi
berlebihan di anatar anggota keluarga. Kebalikan yang yang ekstrem, keluarga mungkin tidak
terlibat atau kurang terlibat sehingga komunikkasi sangat terbatas atau hampit tidak ada.

Dalam bekerja dengan keluarga, perawat melalui tiga fase berhubungan


terapeutik. Fase pertama, yang dinamakan periode kesepakatan oleh terapis keluarga,
ditandai dengan terbentuknya hubungan antara anggota keluarga dan terapis. Pada titik ini, isu
diidentifikasi dan tujuan ditetapkan. Fase kedua, atau fase kerja, terdiri dari pengubahan
pola interaksi, peningkatan kemampuan individu, dan penggalian cara-cara baru dalam
berperilaku. Anggota keluarga diikutsertakan dalam mengklasrifikasi batasan, peraturan dan
harapan. Pada fase Terminasi, keluarga melihat lembali proses yang dibuat dalam mencapai
tujuan, cara-cara untuk mengatasi isu-isu yang timbul kembali dan mempertahankan asuhan
yang berkesinambungan.

Tujuan utama dari terapi adalah meningkat fungsi keluarga. Tekni yang sering kali
digunakan meliputi perumusan gejala, pembentukan kembali perilaku, dan pemberian tugas
pekerjaan rumah. Dalam merumuskan gejala, komunikasi paradoks digunakan mengubah
perilaku yang tidak diinginkan dengan membiarkannya terjadi. Makna perilaku yang tidak
dapat diterima menghilang ketika perilaku menjadi tindakan yang disengaja. Untuk
membentuk kembali perilaku adalah dengan memberi label kembali perilaku tersebut dengan
cara menekankan aspek-aspek situasi yang positif. Tugas-tugas yang diberikan sebagai
pekerjaan rumah ditujukan untuk mencapai tujuan pada pertemuan terjadwal. Tipe-tipe klien
yang akan dapat berhasil pada terapi ini adalah mereka yang terlibat pada isu-isu pernikahan,
konflik antara generasi, keklhawatiran saudara kandung, dan krisis keluarga, seperti
kematian dan perceraian

Terapi keluarga difokuskan secara total terhadap seluruh anggota keluarga.

Tujuan dari terapi keluarga adalah :

1. Menurunkan konflik, kecemasan keluarga


2. Meningkatkan kesadaran keluarga terhadap kebutuhan masing-masing anggota keluarga.
3. Meningkatkan kemampuan penanganan terhadap krisis.
4. Mengembangkan hubungan peran yang sesuai.
5. Membantu keluarga menghadapi tekanan baik dari dalam maupun dari luar anggota
keluarga.
6. Meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dengan tingkat perkembangan anggota
keluarga.

Perawat yang melakukan terapi keluarga perlu mendalami pengetahuan tentang konsep,
prinsip dan jenis terapi keluarga. Salah satu jenis terapi keluarga adalah tindakan
penyelesaian masalah. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Identifikasi keluhan klien yang dirasakan sebagai masalah. Keluhan harus spesifik, dapat
diobservasi dan dapat diukur.
 Kaji perilaku yang menjadi penyebab keluhan klien.
 Kaji cara penyelesaian masalah yang biasa/telah dilakukan oleh keluarga.
 Kaji pendapat keluarga terhadap cara dan penyelesaian masalah yang sudah dilakukan.
b. Identifikasi harapan klien dan keluarganya terhadap terapis.
 Tujuan terhadap terapi sebaiknya ditetapkan secara sederhana, spesifik, dan dapat
dicapai. Hasil yang dicapai diharapkan dapat memotivasi klien maupun keluarga untuk
melakukan perubahan lain yang perlu.
c. Reframing. Yang dimaksud dengan reframing adalah upaya untuk mengubah cara
berpikirnya. Diharapkan perubahan cara pandang ini dapat merubah pola sikapnya.
Perawat membantu klien dan keluarga untuk mengubah pandangan atau pola pikir yang
negative menjadi pola pikir yang positif.

F. Terapi Kelompok

Linda Carmen Copel (2007.11), pada metode penanganan ini, seorang perawat
spesialis yang menjadi terapis dan 6-8 orang bertemu secara teratur dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan interpersonal dan mengubah pola
perilaku yang maladaptif. Perawat bekerja dengan anggota kelompok untuk memfasilitasi
pembelajaran interpsersonal dan mendorong mereka untuk mencari umpan balik dan
dukungan diantara mereka. Dalam berbagai peristiwa, fungsi kelompok dimisalkan
mikrosmos keluarga, memampukan klien untuk memahami dan mengubah perilaku yang
dipelajari dalam keluarga asli mereka.

Dalam seting kelompok, perawat terapis menyarankan berbagai alternatif cara untuk
mengatasi situasi penuh stres. Klien mempelajari bagaimana membuat ekspresi perasaan yang
sesuai dan menggali cara-cara untuk meningkatkan pertumbuhan dan perubahan pribadi.
Dengan pengalaman dalam kelompok, klien dapat mengembangkan strategi koping yang baru
dan memperkuat keterampilan mereka dalam pemecahan masalah. Proses kelompok secara
khas terjadi dalam tiga tahap.

Pada tahap permulaan, yaitu periode orientasi, para anggota diorientasikan pada apa
yang perlu dalam terapi. Banyak orang bergantung pada perawat terapis untuk mendapat
pengarahan dan persetujuan karena mereka ingin diterima sebagai anggota kelompok. Pada
waktu ini, terapis berperan sebagai model-peran perilaku dengan cara mengusulkan struktur,
mengurangi ansietas, dan memfasilitasi interaksi.

Pada tahap kedua, yaitu fase kerja, dicirikan dengan beberapa konflik yang
dihubungkan dengan otonomi dan kendali. Terapis membantu klien mengeksplorasi isu-isu
dan berfokus pada kondisi yang ada di sini dan saat ini. Dukungan diberikan kepada anggota
pada saat mereka berjuang mengatasi konflik yang terkait dengan keintiman, kerja sama dan
produktivitas.

Pada tahap ketiga, atau tahap terminasi, kelompok dihubungkan dan dilibatkan dalam
interkasi interpersonal. Ienteraksi ini memberikan umpan balik, dukungan, dan toleransi
terhadap perbedaan-perbedaan; interaksi ini juga menguatkan penyelesaian masalah. Klien
harus mengatasi perasaan dan kekhawatiran sehubungan dengan terminasi kelompok pada
saat mereka mengevaluasi perubahan pribadi dan pencapaian tujuan. Kelomopok yang sukses
dapat memodifikasi aspek-aspek kepribadian, memantu mengubah pola perilaku
disfungsional, dan meningkatkan keasadaran diri serta pemahaman terhadap berbagai
masalah.

Beberapa teknik yang digunakan dalam terapi kelompok serupa dengan teknik yang
digunakan dalam terapi individual, dengan modifikasi berdasarkan pada tipe klien dan
orientasi teoritis yang digunakan oleh terapis. Perawat yang menjadi terapis kelompok telah
memiliki keterampilan interpersonal yang sangat berkembang ditambah pengetahuan yang
luas mengenai perilaku manusia dan teori proses kelompok.

Tujuan terapi kelompok adalah membantu klien mengembangkan perilaku yang


efektif, menetapkan alternatif penanganan konflik dan stresor yang realistis, serta
meningkatkan pertumbuhan diri.

Terapi kelompok adalah bentuk terapi modalitas yang didasarkan pada pembelajaran
hubungan interpersonal. Klien mengalami konflik yang bersumber dari intrapersonal maupun
dari interpersonal. Dengan bergabung dalam kelompok klien dapat saling bertukar pikiran dan
pengalamannya dan mengembangkan pola perilaku yang baru.
Tujuan terapi aktivitas kelompok adalah :

a. Tujuan terapeutik
 Meningkatkan kesadaran klien terhadap reaksi emosi dan tindakan defensif
 Meningkatkan identitas diri
 Menyalurkan emosi secara konstruktif
 Meningkatkan hubungan interpersonal atau sosial
b. Tujuan rehabilitasi
 Meningkatkan keterampilan ekspresi diri
 Meningkatkan keterampilan sosial
 Meningkatkan kemampuan empati
 Meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah

Terapi kelompok terutama difokuskan pada :

a. Gangguan orientasi realita


Terapi ini dapat membantu mengorientasikan klien pada : diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya, baik waktu, tempat maupun kejadian disekitarnya.

Contoh : permainan simulasi

b. Gangguan sosialisasi
Dalam sosialisasi, perawat membantu klien untuk berhubungan dengan orang lain.
Seperti memotivasi klien untuk bertanya, menyapa dan berdiskusi.

Contoh: permainan menyanyi yang diawali dengan perkenalan dan diakhiri dengan
berdiskusi tentang perannya.

c. Gangguan persepsi
Simulasi persepsi biasanya dilakukan oleh perawat pada klien yang mengalami gangguan
persepsi: halusinasi yang berhubungan dengan nilai-nilai dan pengalaman klien. Hal ini
dilakukan dengan menstimulasi klien melalui kegiatan yang disukai kemudian perawat
bersama klien mendiskusikan kegiatan tersebut.

Contoh : Perawat atau klien membaca suatu artikel atau cerita di depan kelompok,
kemudian dilajutkan dengan diskusi.

d. Gangguan sensori
Aktivitas dilakukan untuk menstimulasi sensori klien; terutama bagi klien yang
mengalami kemunduran sensori. Contoh : terapi musik

e. Penyaluran energi (G3 perilaku agresif)


Aktivitas dilakukan untuk menyalurkan energi klien secara konstruktif, terutama pada
klien yang menunjukkan perilaku agresif,resiko amuk serta hipoaktif. Hal ini dilakukan
dengan memotivasi klien untuk menggerakan badannya melalui olah raga. Setelah
melakukan olah raga, klien diberi kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya
terhadap aktivitas yang telah dilakukan. Contoh : terapi gerak, senam, volly ball dan
lain-lain.

Dalam aktivitas kelompok perawat berperan sebagai pemimpin didampingi oleh pemimpin
yang diambil dari anggota kelompok atau klien. Sebagai pemimpin, tugas perawat adalah :
a. Menganalisa dan mengobservasi pola komunikasi dalam kelompok
b. Membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok
c. Menjadi motivator dan fasilitator
d. Membantu kelompok untuk menetapkan tujuan dan membuat peraturan yang harus
dipatuhi kelompok.
e. Pemimpin dan anggota kelompok mendiskusikan apa yang akan dilakukan selajutnya.
f. Memonitor tingkat kekompakan dari kelompok
g. Membantu kelompok untuk berkembang dan bergerak secara dinamis.

Pada metode penanganan ini, seorang perawat spesialis yang menjadi terapis dan 6-8 orang
bertemu secara teratur dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan
hubungan interpersonal, dan mengubah pola perilaku yang maladaptive. Perawat bekerja
dengan anggota kelompok untuk memfasilitasi pembelajaran interpersonal dan mendorong
mereka untuk mencari umpan balik dan dukungan diantara mereka. Dalam berbagai peristiwa,
fungsi kelompok dimisalkan sebagai mikrokosmos keluarga, memampukan klien untuk
memahami dan mengubah perilaku yang dipelajari dalam keluarga asli mereka.

Dalam seting kelompok, perawat terapis menyarankan berbagai alternative cara untuk
mengatasi situasi stress. Klien mempelajari bagaimana membuat ekspresi perasaaan yang
sesuai dan menggali cara-cara untuk meningkatkan perubahan pribadi. Dengan pengalaman
dalam kelompok, klien dapat mengembangkan strategi koping yang baru dan memperkuat
keterampilan mereka dalam pemecahan masalah.

Proses kelompok secara khas terjadi dalam 3 (tiga) tahap.

1. Tahap permulaan, yaitu periode orientsi, para anggota diorientasikan pada apa yang
diperlukan dalam terapi. Banyak orang bergantung pada perawat terapis untuk mendapat
pengarahan dan persetujuan karena mereka ingin diterima sebagai anggota kelompok.
Pada waktu ini, terapis berperan sebagai model-peran perilaku dengan cara mengusulkan
struktur, mengurangi ansietas, dan memfasilitasi interaksi.

2. Tahap kedua, yaitu fase kerja, dicirikan dengan beberapa konflik yang dihubungkan
dengan ototnomi dan kendali. Terapis membantu klien mengeksplorasi isu-isu dan
berfokus pada kondisi yang ada disini dan saat ini. Dukungan diberikan kepada anggota
pada saat mereka berjuang mengatasi konflik yang terkait dengan keintiman, kerja sama
dan produktivitas.

3. Tahap ketiga, atau tahap terminasi, kelompok dihubungkan dan dilibatkan dalam
interaksi interpersonal. Interaksi ini memberikan umpan balik, dukungan, dan toleransi
terhadap perbedaan-perbedaan; interaksi ini juga menguatkan penyelesaian masalah.
Klien harus mengatasi perasaan dan kekhawatiran mereka sehubungan dengan terminasi
kelompok pada saat mereka mengevaluasi perubahan pribadi dan pencapaian tujuan.
Kelompok yang sukses dapat memodifikasi aspek-aspek kepribadian, membantu
mengubah pola perilaku disfungsional, dan meningkatkan kesadaran diri serta
pemahaman terhadap berbagai masalah.

G. Terapi Milieu (lingkungan sosial)


Copel (2007.8), Dalam terapi milieu, perawat menggunakan semua aspek lingkungan
rumah sakit dalam sebuah cara terapeutik. Secara spesifik, perawat menciptakan kesempatan
untuk perubahan perilaku dengan berfokus pada nilai terapeutik dari setiap aktivitas dan
interaksi. Contoh dari menciptakan sebuah lingkungan yang membuat klien menerima
dukungan, pengertian, dan kesempatan untuk berkembang sebagai pribadi yang bertanggung
jawab adalah pertemuan komunitas, latihan fisik, dan aktivitas kelompok lainnya.

Klien terpajan pada peraturan-peraturan, harapan-harapan unit, tekanan dari teman sebaya,
dan interaksi sosial. Perawat mendorong komunikasi dan pembuatan keputusan, serta
menyediakan kesempatan untuk meningkatkan harga diri dan mempelajari keterampilan serta
perilaku yang baru. Penggabungan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kerja,
seperti persiapan makan dan berbagai lokakarya mengenai keterampilan kehidupan, ke dalam
aktivitas sehari-hari klien akan menumbuhkan perasaan berharga dalam komunitas. Dengan
berpartisipasi dalam terapi milieu, klien dapat mempelajari perilaku yang tepat, metode
mengatur perawatan diri sendiri, dan keterampilan social serta emosional yang dibutuhkan
untuk berinteraksi dengan orang lain.

Maramis (1998.768), terapi lingkungan pergaulan adalah suatu bentuk pengobatan dengan
menciptakan lingkungan pergaulan di dalam rumah sakit sedemikian rupa sehingga
membantu pasien mengembangkan perilaku yang dikehendaki dan melepaskan yang tidak
diinginkan.

Tujuan

Tujuan terapi ini adalah memampukan klien untuk hidup di luar lingkungan institusi, melalui
perolehan kemampuan yang penting untuk kelancaran transisi dalam komunitas.

H. Terapi Kognitif

Iyus Yosep (2010.299), terapi kognisi dalam terapi modalitas keperawatan jiwa terdiri
dari bua bagian yakni :

1. Konsep Gangguan Kognisi


Secara garis besar gejala gangguan jiwa dikelompokkan menjadi empat kelompok
besar yaitu Gangguan Kognisi (Cognitive), Gangguan Kemauan (Volition), Gangguan
Emosi dan Afek (Emotion and Affect), Gangguan Psikomotor (Psychomotor). Masing-
masing kelompok gangguan dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yang sangat rumit dan
kompleks.
Gangguan Kognisi adalah adanya masalah dalam proses mental yang dengannya
seseorang individu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik
lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal). Bagian-bagian dari
proses kognisi bukan merupakan cara dari seorang individu untuk berfungsi dalam
hubungannya dengan lingkungannya. Proses kognisi meliputi : sensasi dan persepsi,
perhatian, ingatan, Asosiasi, Pertimbangan, Pikiran, dan Kesadaran.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT), aplikasi dari berbagai variasi teori belajar
dalam kehidupan. Tujuannya adalah untuk menolong seseorang keluar dari kesulitannya
dalam berbagai konteks masalah medis atau gangguan psikiatrik. Teknik Kognitive Terapi
dapat diterapkan dalam bidang pendidikan, di tempat kerja, dalam kegiatan konsumen, dan
olah raga. Dalam situasi tersebut CBT dapat menolong seseorang dalam pertumbuhan
prestasinya dengan meningkatkan kemampuana kopingnya. Hal ini dapat digunakan oleh
perawat di berbagai bagian dan berbagai lapangan kesehatan untuk meningkatkan respon
koping dan merubah perilaku maladaptif.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT), berfokus pada masalah dan berorientasi pada
tujuan, diarahkan pada masalah-masalah yang berkembang pada situasi sekarang dan saat
ini. Memandang individu sebagai pengambil keputusan utama dalam menyelesaikan
masalah.
2. Peran perawat jiwa dalam kognitif terapi.
Perawat jiwa memiliki peran penting dalam berbagai teknik kognitif terapi di rumah sakit
jiwa. Peran tersebut terutama adalah bertindak sebagai leader, fasilitator, motivator, dan
evaluator. Teknik cognitif terapi di rumah sakit jiwa dapat bermanfaat secara efektif
terhadap berbagai masalah klinik untuk semua rentang usioa. Masalah-masalah tersebut
meliputi : kecemasan (anxiety), gangguan afek (affective disorder), gangguan kepribadian
(personality disorder), masalah makan (eating disorder), ketergantungan zat (substance
abuse). Hal inipun bisa diterapkan pada anak, dewasa, keluarga baik secara kelompok atau
individual. Secara umum kognitif terapi meliputi beberapa teknik dengan tujuan sebagai
berikut:
a) Meningkatkan aktivitas yang diharapkan (increasing activity)
b) Menurunkan perilaku yang tidak dikehendaki (Reducing unwanted behavior).
c) Meningkatkan rekreasi (increasing pleasure).
d) Meningkatkan dan memberi kesempatan dalam kemampuan sosial (Enchancing social
skill)

Copel (2007.10), Terapi kognitif menggunakan beberapa strategi untuk memodifikasi


keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Ketika seseorang
mempunyai pandangan negative terhadap diri sendiri, dunia dan masa depan mereka, mereka
cenderung mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuan mereka dan
hubungannya dengan orang lain. Hasil dari persepsi dan distorsi yang salah ini ditandai oleh
harapan yang tidak realistis terhadap diri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif,
dan pandangan diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu.

Untuk mengatasi masalah klien dari perspektif kognitif, perawat secara aktif dan
langsung membantu klien mempertimbangkan kembali stressor, dan mengidentifikasi pola
pemikiran dan keyakinan yang tidak akurat. Asuhan berfokus pada evaluasi kembali ide, nilai,
dan harapan serta memulai tahap-tahap untuk membuat perubahan kognitif yang diperlukan.

Tujuan. Tujuan utama terapi adalah membantu klien mengembangkan pola pikir yang
rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah
pesan-pesan internal.

Intervensi dasar meliputi pengajaran subtitusi/penggantian pikiran, penyelesaian masalah, dan


cara memodifikasi percakapan diri sendiri yang negative, mulai bermain peran dan
mencontohkan strategi koping.

Ahmad Yusuf, Risky Fitriasari,Hanik Endang Nihayati (2015.276), Pemilihan terapi


yang akan dilaksanakan bergantung pada kondisi pasien dengan berbagai macam latar
belakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi dapat dikombinasikan dengan terapi
lain. Jarang sekali untuk pasien gangguan jiwa dapat diselesaikan dengan satu (single) terapi,
sperti pada gambaran kasus berikut ini.

Kasus:
Pasien wanita, dewasa muda, belum menikah, dirawat di rumah sakit jiwa selama dua
minggu. Kondisi sudah stabil dan membaik, sehingga oleh dokter yang merawat sudah
diijinkan pulang. Oleh perawat dilakukan tindakan persiapan pulang (dischange planing)
untuk menyiapkan berbagai aktivitas dan ketrampilan rutin harian yang harus dilakukan
pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Pasien sudah siap dan boleh pulang.

Hari pertama, pada awalnya pasien menjalankan aktivitas di rumah tidak ada kendala.
Bangun pagi, mandi, salat, membersihkan kamar, dan menyapu dalam rumah. Kegiatan
dilanjutkan menyapu halaman, tetapi dilarang oleh ibunya (ibunya malu ketahuan tetangga).
Anak terpaksa harus mengikuti larangan ibunya. Sejenak kemudian, melihat ibunya
membawa tas/keranjang siap berbelanja ke pasar, anak (bekas pasien) mencoba menawarkan
tas belanja. Namun, lagi-lagi ditolak, serta disuruh menunggu saja di rumah.

Setelah ibu pulang, anak mencoba membantu masak, tetapi tidak boleh membantu
memotong sayur. Ibu takut jika sang anak (bekas pasien) membawa pisau dapat melukai
orang di dapur. Selain itu, anak mencoba membantu cuci piring, tetapi tidak boleh karena
takut piringnya pecah, dan sebagainya. Kemudaian anak bertanya, “Apa yang bisa saya
lakukan ibu?” Saya sudah dilatih perawat dan bisa melaksanakan kegiatan rutin harian!. Ibu
menjawab, “sudahlah nak, kamu tunggu saja dalam kamar (duduk manis dalam kamar). Nanti
jika sarapan sudah siap, akan ibu antar ke kamar.” Saat makanan sudah siap, makanan diantar
ke kamar, tetapi piring dipilihkan yang tidak dapat pecah (piring plastik), sendok bukan dari
logam (takut diasah dilantai menjadi pisau), gelas minum yang tidak bisa pecah. Anak makan
dengan sambil berpikir. “Ibuku ini bagaimana? Dibantu cuci piring tidak boleh, aku dikasih
makan dengan piring plastik”. Namun semua terpaksa harus dilakukan. Jika membantah ibu,
bisa kena marah dan dianggap belum sembuh.

Sesaat kemudian, ibu dan bapak pamit bekerja. Anak sudah dipesan harus di dalam
kamar saja dan tidak boleh keluar. Anak bingung. “Lho, saya kan jadi gak bisa melaksanakan
aktivitas yang bermanfaat?. “Gak masalah, yang penting tidak keluar rumah,” jawab ibu.

Saat benar-benar ingin buang air kecil dan buang air besar, anak mengetuk pintu dan
memanggil pembantu, “Mbak....pingin kencing”. Pembantu mendengar, tetapi tidak berani
membuka karena takut. Beberapa waktu kemudian, memanggil lagi dengan sedikit keras,
sehingga pembantu tambah takut dan pergi ke rumah tetangga. Panggilan ketiga lebih keras
lagi, sehingga tetangga bertanya, “Siapa dari tadi mengetok pintu dan teriak-teriak itu?”
Pembantu menjawab, “Anak ibu yang baru pulang dari rumah sakit jiwa.”

Saat ibu pulang disapa oleh tetangga, “Ibu, maaf kenapa putrinya belum sembuh
sudah dibawa pulang dari rumah sakit jiwa?” Ibu terkejut dan balik bertanya, “Putri yang
mana?” “Putri yang tadi teraik-teriak,” Jawab tetangga. Sang ibu bergegas menunju rumah,
dengan menggerutu. Ibu menuju kamar dan membuka pintu kamar. Setelah pintu terbuka,
tercium bau faeces dan urin. Spontan ibu marah. “Nak....apa kataku...kamu belum sembuh
kan...kenapa kamu tidak nurut sama ibu?” dan seterusnya. Apapun penjelasan anak tidak
didengar.

Kasus di atas menunjukkan bahwa pemilihan orang yang perlu diobati dan terapi apa
saja yang perlu digunakan sangatlah penting. Oleh karena itu, pasien yang telah mulai
membaik harus mendapat dukungan dari keluarga yang telah siap dan tidak overprotektif.

Berdasarkan gambaran kasus di atas, pilihan alternatif terapi adalah sebagai berikut:
a. Apabila pasien dalam kondisi akut dan kritis, lakukan manajemen krisis, sesuai dengan
tindakan kegawatdaruratan yang dialami pasien. Tenangkan pasien dengan psikofarmaka. Jika
sudah memungkinkan, maka lakukan terapi kognitif dan perilaku. Lanjutkan dengan terapi
aktivitas kelompok. Jika secara psikologid pasien kondusif, maka melakukan rehabilitasi
psikiatri dengan okupasi terapi.
b. Untuk keluarga dan lingkungan, lakukan terapi keluarga agar dapat mengembangkan koping
yang adaptif, siap menerima pasien, dan menjadi sistem pendukung bagi pasien. Identifikasi
kesiapan lingkungan. Usahakan lingkungan menjadi tempat yang kondusif untuk melatih
aktivitas rutin harian pasien. Jika memungkinkan, kembangkan bengkel kerja terlindung
(sheltered workshop) untuk menyiapkan pasien kembali hidup produktif di masyarakat.

CONTOH.1

TUGAS KELOMPOK.KEPERAWATAN JIWA


TAK ORIENTASI REALITAS
Sesi 1 : Pengenalan Orang

Oleh

........................................

NIM.

TINGKAT 2 REGULER A
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

JURUSAN KEPERAWATAN

2021

TUGAS KELOMPOK.KEPERAWATAN JIWA


TAK ORIENTASI REALITAS
Sesi 1 : Pengenalan Orang

Tujuan

1. Klien mampu mengenal nama-nama perawat


2. Klien mampu mengenali nama-nama klien lain

Setting

1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran


2. Ruangan nyaman dan tenang

Alat

1. Papan nama sejumlah klien dan perawat yang ikut TAK


2. Spidol
3. Bola tenis
4. Tape Recorder
5. Kaset “ dangdut”

Metode

1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab

Langkah kegiatan

1. Persiapan
a. Memilih klien sesuai dengan indikasi
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam Terapeutis
Salam dari terapis kepada klien
b. Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan,yaitu mengenal klien
2. Terapis menjelaskan aturan main berikut.
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin
kepada terapis
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Terapis membagikan papan nama untuk masing-masing klien
b. Terapis meminta masing-masin klien menyebutkan nama lengkap, nama
panggilan dan asal.
c. Terapis meminta klien menuliskan nama panggilan di papan nama yang
dibagikan
d. Terapis meminta masing-masing klien memperkenalkan diri secara
berurutan, searah jarum jam dimulai dari terapis, meliputi menyebutkan:
nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi.
e. Klien menjelaskan langkah berikutnya : tape recorder akan dinyalakan,
saat musik terdengar bola tenis dipindahkan dari satu klien ke klien lain.
Saat musik dihentikan, klien yang sedang memegang bola tenis
menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi dari klien lain
(minimal nama panggilan).
f. Terapis memutar tape recorder dan menghentikan. Saat musik berhenti,
klien yang sedang memegang bola tenis menyebutkan nama lengkap,
nama panggilan, asal, dan hobi dari klien yang lain
g. Ulangi langkah f sampai semua klien mendapat giliran.
h. Terapis memberikan pujian untuk setiap keberhasilan klien dan mengajak
klien lain bertepuk tangan.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
2. Terapis memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien menyapa orang lain sesuai nama panggilan.
c. Kontrak yang akan datang
1. Terapis membuat kontrak untuk TAK yang akan datang yaitu
“Mengenal Tempat”.
2. Menyepakati waktu dan tempat.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang
dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK orientasi realitas
orang, kemampuan klien yang diharapkan adalah dapat menyebutkan nama, panggilan, asal,
dan hobi klien lain. Formulir evaluasi sebagai berikut.

Sesi 1: TAK
Orientasi Realitas Orang
Kemampuan mengenal orang lain
No Aspek yang dinilai Nama Klien

1 Menyebut nama klien lain


2 Menyebut nama panggilan
klien lain
3 Menyebut asal klien lain
4 Menyebut hobi klien lain

Petunjuk

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengetahui nama,
panggilan, asal, dan hobi klien lain. Beri tanda √ jika klien mampu dan tanda × jika
klien tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasi pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti TAK
orientasi realitas orang. Klien mampu menyebutkan nama, nama panggilan, asal, dan hobi
klien lain disebelahnya. Anjurkan klien mengenal klien lain di ruangan.

CONTOH.2

TAK STIMULASI PERSEPSI UMUM :

Sesi 2 : Membaca Majalah / Koran / Artikel

Nama Pasien: .........................( X2)

A. Tujuan

1. klien dapat menyebutkan kembali isi bacaan.


2. klien dapat memberikan pendapat terhadap isi bacaan.
3. klien dapat memberikan tanggapan terhadap pendapat klien lain.
B. Setting

1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.


2. Ruangan tenang dan nyaman.
C. Alat

1. Majalah / koran / artikel


2. Buku catatan dan pulpen
3. Jadwal kegiatan klien
D. Metode

1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab

E. Langkah-langkah kegitan
1. Persiapan
 Membuat kontrak dengan klien tentang TAK.
 menyiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. salam terapeutik
salam dari terapis kepada klien.

b. evaluasi/validasi
 Menanyakan perasaan klien saat ini
 Menanyakan masalah yang dirasakan.
 Menanyakan penerapan TAK yang lalu.
c. Kontrak
 Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu membaca majalah / koran / artikel.
 Menjelaskan aturan main berikut :
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta ijin
kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
 Tentukan bacaan yang akan dibaca.
 Bacalah isi majalah / koran / artikel selama 10 menit ( jika mungkin berikan foto
kopi bacaan pada klien ).
 Tanyakan pendapat seorang klien mengenai isi bacaan.
 Tanyakan pendapat klien lain terhadap pendapat klien sebelumnya
 Berikan pujian atau penghargaan atas kemampuan klien memberi pendapat.
 Ulangi c, d, dan e sampai semua klien mendapat kesempatan
 Beri kesimpulan tentang bacaan.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
 Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
 Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
 Menganjurkan klien untuk melatih kemampuan membaca dan mendiskusikannya
pada orang lain,
 Membuat jadwal membaca
c. Kontrak yang akan datang
 menyepakati kegiatan TAK yang akan datang.
 Menyepakati waktu dan tempat.
F. Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang evaluasi
adalah kemampuan klien sesuai dengan TAK. Untuk stimulasi persepsi umum sesi 2, kemampuan
yang diharapkan adalah memberi pendapat tentang bacaan, memberi tanggapan terhadap klien lain
dan mengikuti kegiatan sampai selesai.

Formulir evaluasi sebagai berikut.

NO Aspek yang di nilai Nama klien


X1 X2 X3 X4 X5
1. Memberi pendapat tentang bacaan

2. Memberi tanggapan terhadap pendapat


klien lain

3. Mengikuti kegiatan sampai selesai

Petunjuk :

 Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK
 Untuk tiap klien, semua aspek di nilai dengan memberi tanda(√) jika ditemukan pada pasien
klien atau (x) jika tidak ditemukan
Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dinilai pada klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh catatan : klien mengikuti TAK stimulasi persepsi ( baca ), klien
mampu memberi pendapat benar tentang bacaan dan memberi tanggapan terhadap pendapat klien lain
serta mengikuti sampai selesai, anjurkan klien membaca ( buat jadwal ).

TAK STIMULASI PERSEPSI UMUM :

SESI 2

MEMBACA MAJALAH / KORAN / ARTIKEL

OLEH:

....................................................

NIM:
Tingkat II Reguler A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

JURUSAN KEPERAWATAN

2021

CONTOH.3

TUGAS KELOMPOK KEPERAWATAN JIWA

TAK : STIMULASI SENSORIS SUARA


SESI 1: MENDENGAR MUSIK

OLEH:

.......................................................

NIM :

Tingkat 2 Reguler A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


JURUSAN KEPERERAWATAN

2021

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK: STIMULASI SENSORI

Terapi aktivitas kelompok (TAK): stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua pancaindra
(sensori) agar memberi respon yang adekuat.

Tujuan:

1. Tujuan umum klien dapat berespon terhadap stimulus pancaindra yang diberikan
2. Tujuan khusus:
1) Klien mampu berespon terhadap suara yang didengar
2) Klien mampu berespon terhadap gambar yang dilihat
3) Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar

Aktivitas dan Indikasi


Aktivitas stimulus sensori dapat berupa stimulus terhadap penglihatan,pendengaran dan lain-
lain,seperti gambar,video,tarian, dan nyanyia. Klien yang mempunyai indikasi TAK-Stimulasi
Sensoris adalah klien isolasi sosial,menarik diri,harga diri rendah yang disertai dengan kurang
komunikasi verbal.

TAK STIMULASI SENSORIS SUARA


Sesi 1: Mendengar Musik

Tujuan:
1. Klien mampu mengenali musik yang didengar
2. Klien mampu memberi respons terhadap musik
3. Klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengar musik

Setting
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan nyaman dan tenang

Alat
1. Tape recorder
2. Kaset lagu melayu(dipilih lagu yang memiliki cerita yang bermakna atau lagu-lagu yang
bermakna religius)

Metode
1. Diskusi
2. Sharing persepsi

Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a) Membuat kontrak dengan klien yang sesuai indikasi menarik diri,harga diri rendah,dan tidak
mau bicara
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a) Salam terapeutik: salam dari terapis kepada klien
b) Evaluasi/validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak:
1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yaitu mendengarkan musik
2. Terapis menjelaskan aturan permainan sebagai berikut:
 Jika klien yang ingin meninggalkan kelompok,harus minta izin kepada terapis
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap Kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri(nama dan nama panggilan) dimulai
dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk
bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, boleh bertepuk tangan atau berjoget sesuai
dengan irama lagu. Setelah lagu selesai klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut
dan perasaan klien setelah mendengar lagu.
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar,boleh berjoget atau bertepuk tangan (kira-kira 15
menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respon klien
terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya. Sampai semua klien
mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap kali selesai menceritakan perasaannya, dan mengajak klien
lain bertepuk tangan.
4. Tahap Terminasi
a) Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
2) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
b) Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik yang disukai dan bermakna dalam
kehidupannya.
c) Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati TAK yang akan datang,yaitu menggambar
2) Menyepakati waktu dan tempat

Evaluasi dan Dokumentasi


Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung,khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi
adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi sensoris mendengar
musik,kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan,respon terhadap musik,memberi
pendapat tentang musik yang didengar dan perasaan saat mendengar musik.

Formulir evaluasi sebagai berikut:

Nama Klien
X1 X2 X3 X4 X5
No. Aspek yang dinilai
1. Mengikuti kegiatan dari
awal sampai akhir
2. Memberi respon (ikut
bernyanyi/menari/joget/
menggerakan tangan-
kaki-dagu sesuai irama)
3. Memberi pendapat
tentang musik yang
didengar
4. Menjelaskan perasaan
setelah mendengar lagu.

Petunjuk:
1) Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
2) Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan klien mengikuti, merespon,
memberi pendapat, menyampaikan perasaan tentang musik yang didengar. Beri tanda
√ jika klien mampu dan tanda X jika klien tidak mampu.

Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan tiap
klien. Contoh: klien mengikuti sesi satu, TAK stimulasi sensori mendengar musik. Klien mengikuti
kegiatan latih klien untuk mendengarkan musik di ruang rawat.

Daftar Pustaka :

1. Direktorat Pelayanan Keperawatan Depkes RI (2000), Buku Pedoman Asuhan Keperawatan


Jiwa I, cetakan I, Jakarta

2. Keliat A.B. (2005), Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok, cetakan I, EGC, Jakarta.

3. Copel C.L. (2007), Kesehatan Jiwa & Psikiatri : Pedoman Klinis Perawat, ed.2, EGC, Jakarta.

4. Maramis (1998), Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Unair Press, Surabaya

5. Setiabudhi T. dan Hardywinoto (2002.21), Anak Unggul Berotak Prima,editor,Gramedia


Pustaka Utama,Jakarta.

6. Yusuf Ah, Fitriasari, Nihayati (2015), Buku Ajar Keperawatan : Kesehatan Jiwa,Salemba
Medika, Jakarta.

7. Issac A (2005), Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik, editor ediri:Bahasa
Indonesia:Sari Kurnianingsih,edisi:3,EGC, Jakarta.

8. Patricia G.O’Brien,Winifred Z.Kennedy,Karen A.Ballard.(2014), Keperawatan Kesehatan Jiwa


Psikiatrik:Teori & Praktik,alih bahasa,Nike Budhi Subekti, Cetakan 2014,editor edisi Bahasa
Indonesia,Betsy Angelina,EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai