Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Disusun Oleh :
Tiara Naviera Putri Sivila (030.14.193)

Dokter Pembimbing :
dr. H. Didi Sukandi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 4 JUNI 2018 – 26 AGUSTUS 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul:


“Diagnosis dan Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak RS Umum Daerah Karawang
Periode 4 Juni 2018 – 26 Agustus 2018

Yang disusun oleh:


Tiara Naviera Putri Sivila
030.14.193

Telah diterima dan disetujui oleh dr. H. Didi Suakndi, Sp.A selaku dokter
pembimbing Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Karawang

Karawang, Agustus 2018

(dr. H. Didi Sukandi, Sp.A)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, karunia
serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Diagnosis dan Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum. Penulisan Referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepanitiaan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang.
Saya sangat berharap referat ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan ilmu pengetahuan kita mengenai Ketoasidosis Diabetikum. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam referat ini terdapat kekurangan dan masih jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan masukan
demi perbaikan referat yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran serta masukkannya yang membangun.
Semoga referat ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam pengejaan kalimat serta penyebutan
nama tempat, istilah serta nama orang. Wasalammuallaikum, wr.wb.

Penulis

Tiara Naviera Putri Sivila


(030.14.193)

i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN. .................................................................................. i
KATA PENGANTAR. ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN . .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2
KETOASIDOSIS DIABETIKUM ............................................................. 2
2.1 Definisi .......................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko ................................................... 2
2.3 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum ......................................... 2
2.4 Manifestasi Klinis ......................................................................... 5
2.5 Diagnosis ....................................................................................... 5
2.5.1 Anamnesis ............................................................................ 5
2.5.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 5
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 5
2.6 Tatalaksana.................................................................................... 8
2.7 Tanda-tanda Bahaya ..................................................................... 16
2.8 Edema Cerebri .............................................................................. 16
2.9 Prognosis ...................................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19

ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum ............................................................. 4
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana KAD pada fasilitas lengkap ......................................... 14
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana KAD pada fasilitas terbatas ......................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam
jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh
penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah
hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone.1 Ketoasidosis
diabetik (KAD) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak
dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas terutama berhubungan dengan
edema serebri yang terjadi sekitar 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD.2
Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (β-hidroksibutirat dan
asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan
asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit.
Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan, sedang, dan
berat, yang dibedakan menurut pH serum.3
Risiko KAD pada IDDM adalah 1 – 10% per pasien per tahun. Risiko
meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah
mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan
gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit
(termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan
dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.4
Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan
sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema
serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di
unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting
bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas,
monitoring, pemberian cairan isotonik intravena dan balance elektrolit, tes glukosa,
dan pemeriksaan status mental (termasuk derajat kesadaran).3,4
Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai ketoasidosis diabetik dan
prosedur atau konsensus yang terus berkembang dalam penatalaksanaan ketoasidosis
diabetik. Maka, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana metode tatalaksana
terkini dalam menanganai ketoasidosis diabetik pada anak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
2.1 DEFINISI
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan kedaruratan pada diabetes melitus
(DM) tipe I sebagai akibat dari kurangnya insulin dalam sirkulasi darah baik secara
absolut maupun relatif dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormone.1 Hal ini akan memicu peningkatan
produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa
perifer, sehingga mengakibatkan keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar.

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Insidens KAD sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Kejadian
KAD tertinggi didapatkan di negara Uni Emirat Arab sebanyak 80% dari kasus DM
5
dan terendah di Swedia sebesar 14%. Onset KAD pada diabetes mellitus tipe 1 lebih
sering terjadi pada anak yang lebih muda (berusia < 5 tahun), memiliki orang tua
dengan diabetes mellitus tipe 1, atau mereka yang berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah. kendala akses pelayanan kesehatan. Pada DMT2 angka
kejadian KAD jauh lebih rendah dibanding DMT1, terjadi hanya kurang lebih pada
6,7
25% kasus.
Risiko KAD pada diabetes mellitus tipe 1 adalah 1 – 10% per pasien per
tahun. Risiko meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau
sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan
remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi
keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi
kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu
terjadinya KAD.
Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang
mengalami episode KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian
pemberian insulin atau pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah
negara relatif konstan, yaitu 0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31% di

2
Inggris. Di tempat dengan fasilitas medik yang kurang memadai, risiko kematian
KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita mungkin meninggal sebelum
mendapatkan terapi.

2.3 PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIKUM


KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan
hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth-hormon).
Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat
peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis)
dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer. Peningkatan glukoneogenesis
akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada
hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik
(fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama
yang bertanggungjawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.8
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton telah
dipelajari selama ini. Kombinasi dfisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi
hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitif pada
jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol
dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan
substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam
lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai precursor utama dari ketoasid.8,9
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat konversi

3
piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama
yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine
palmitoyltransferase I (CPT I), enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A
menjadi fatty acyl camitine,yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda
keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat
dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada
KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.9

4
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Pasien biasanya mengalami nyeri perut, mual, muntah, dehidrasi, dan
hiperpnea. Muntah tanpa disertai diare dapat pula sebagai gejala KAD. Pada
anamnesis sering didapatkan polidipsia, poliuria, nokturia, enuresis, dan pada
diabetes yang baru, didapatkan penurunan berat badan dalam beberapa waktu
terakhir. Pernapasan Kussmaul tampak pada asidosis, tetapi bila pH <6,9 dapat terjadi
depresi pernapasan. Kesadaran menurun dan kejang terjadi pada kasus yang berat.

2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan riwayat diabetes melitus dengan gejala
seperti polidipsia, poliuria, polifagia, nokturia, enuresis, dan malaise. Dapat
didapatkan juga penurunan berat badan dalam beberapa waktu terakhir. Adanya nyeri
perut, mual, muntah tanpa diare, jamur mulut atau jamur pada alat kelamin.
Dehidrasi, hiperpnea, napas berbau aseton, cukup khas pada pasien dengan
ketoasidosis diabetikum. Pada pasien KAD dengan dehidrasi berat biasanya sudah
menimbulkan gejala syok dengan atau tanpa koma.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul), tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi depresi napas. Penurunan
kesadaran sampai koma, gejala asidosis seperti bau nafas aseton, tanda-tanda
dehidrasi seperti turgor kulit menurun, mukosa mulut kering, kelopak mata cekung,
ubun-ubun cekung, nadi meningkat/tak teraba, tekanan darah menurun dengan atau
tanpa disertai syok.10

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


• Gula darah
- Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah >
11 mmol/L / 200 mg/dL)

5
- Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah
selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian terapi.
- Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun
secara progresif atau bila diberikan infus insulin.

• Gas darah
- Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah
dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis
karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan trauma
pada anak.
- Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut:
a. Ringan (pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L),
b. Sedang (pH < 7,20; bikarbonat < 10 mmol/L),
c. Berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).

• Kalium
- Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat, meskipun
kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya
kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium kembali ke
intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat selama terapi
diberikan.
- Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan
monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.

• Natrium
- Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia
- Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6
mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium
untuk setiap 3 mmol/L glukosa).
- Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi

6
- Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.

• Ureum dan Kreatinin


Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa keton,
sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat memberikan
ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.

• Kadar keton
Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolak ukur
ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L).
Terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai
pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.

• Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c):


- Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien
yang tidak mendapat penanganan sesuai standar.
- Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan,
meskipun tidak terdapat infeksi.

• Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana
rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya senyawa
analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5


- CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan menuju ke arah koma,
selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
- Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

7
Pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
- EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter EKG
akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem. Perubahan karakter hipokalemia
yang terepresentasi pada EKG, yaitu:

HIPOKALEMIA HIPERKALEMIA
- Interval QT memanjang - Kompleks QRS melebar
- Depresi segmen ST - Gelombang T tinggi
- Gelombang T mendatar atau difasik - Interval PR memanjang
- Gelombang U - Gelombang P hilang
- Interval PR memanjang - Kompleks QRS difasik
- Blok SA - Asistole

2.6 TATALAKSANA
Pengobatan ketoasidosis diabetik bersifat kompleks dan harus cermat.
Tatalaksana yang dikemukakan berikut ini bukan satu-satunya cara penanganan
ketoasidosis diabetik. Penanganan ketoasidosis diabetik yang kurang tepat dapat
berakibat under atau over-hydration, hipoglikemia, hipokalemia, hipernatremia, dan
edema otak.
Bila diagnosis ketoasidosis diabetik telah ditegakkan, maka tindakan yang
harus dilakukan adalah
a. Resusitasi yang diperlukan,
b. Menyiapkan pemeriksaan-pemeriksaan dasar,
c. Memulai pemantauan klinik secara regular,
d. Memulai rehidrasi,
e. Menilai penggantian natrium,
f. Menilai penggantian kalium,
g. Memulai pemberian insulin

8
a. Resusitasi
Pasien dengan dehidrasi tanpa renjatan diberi cairan NaCl 0,9% untuk
mempertahankan sirkulasi perifer. Bila terjadi renjatan maka segera beri salin
isotonik (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat: dengan dosis 20 mL/kgBB. Resusitasi
cairan dapat diulangi bila renjatan masih ada. Cairan koloid tidak dianjurkan
karena tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan cairan kristaloid.
Pada pasien dengan renjatan jangan lupa diberikan oksigen. Pasien yang
kesadarannya menurun perlu dipasang sonde lambung untuk menghindari
aspirasi isi lambung.

b. Pemeriksaan laboratorium yang perlu disiapkan adalah


1) Gula darah,
2) Elektrolit darah dan osmolalitas serum,
3) Analisis gas darah,
4) Darah lengkap,
5) Kreatinin serum (kreatinin serum mungkin meningkat karena keton
yang positif),
6) Urinalisis dan pemeriksaan keton dalam urin (all urine until negative),
7) Kultur darah bila ada indikasi,
8) Foto toraks bila ada indikasi, dan
9) Apus tenggorok bila ada indikasi.

c. Pengamatan Klinis
Penanganan yang aman ketoasidosis diabetik pada anak bergantung pada
pengamatan klinis yang cermat dari waktu ke waktu (clinical observation of
progress). Pemantauan ketat yang perlu dilakukan adalah
1) Nadi setiap jam,
2) Frekuensi napas setiap jam,
3) Tekanan darah tiap jam,
4) Observasi neurologis setiap jam,
5) Gula darah setiap jam pada saat pemberian insulin,

9
6) Pengukuran keseimbangan cairan dengan cermat (kalau perlu pasang
kateter urin, namun pada pasien berat merupakan keharusan),
7) Suhu tubuh setiap 2-4 jam, dan
8) Pemeriksaan keton dalam urin sampai negatif.

Pencatatan keseimbangan cairan adalah esensial. Status cairan harus selalu


dinilai untuk meilhat apakah kita sudah cukup memberikan rehidrasi. Bila poliuria
masih terus berlangsung, maka kemungkinan keseimbangan cairan masih negatif dan
kita belum berhasil melakukan rehidrasi pasien dengan baik. Pasien harus puasa
sampai keadaan stabil.

d. Rehidrasi
Pertama kali yang perlu ditentukan adalah perkiraan derajat dehidrasi pasien.
Setelah syok teratasi, rehidrasi dilanjutkan dalam waktu 36-48 jam untuk
memenuhi kekurangan cairan dan elektrolit. Bila derajat ketoasidosis dan
dehidrasinya berat, maka rehidrasi harus dilakukan sekitar 48 jam. Bila kadar
natrium yang telah dikoreksi menunjukkan hipernatremia maka rehidrasi perlu
dilakukan dengan lebih perlahan-lahan bahkan bisa sampai 72 jam. Cairan
rehidrasi pertama adalah salin 0,9%. Kalium boleh ditambahkan setelah sirkulasi
kembali normal, kecuali pada pasien anuria.
Prinsip pemberian resusitasi cairan:1
- Apabila terjadi syok, atasi syok terlebih dahulu dengan memberikan NaCl
0,9% sebanyak 20mL/kgBB dalam 1 jam sampai syok teratasi
- Resusitasi cairan selanjutnya diberikan secara perlahan dalam 36-48 jam
berdasarkan derajat dehidrasi.
- Selama keadaan belum stabil secara metabolic (stabil bila kadar bikarbonat
natrium >15 mEq/L, gula darah <200mg/dL, pH >7,3) maka pasien
dipuasakan
- Perhitungan kebutuhna cairan resusitasi total sudah termasuk cairan untuk
mengatasi syok
- Apabila ditemukan hypernatremia maka lama resusitasi cairan diberikan
selama 72 jam

10
- Jenis cairan resusitasi awal yang digunakan adalan NaCl 0,9%. Apabila gula
darah sudah turun mencapat <250mg/dL cairan diganti dengan Dextros 5%
dalam NaCl 0,45%.

e. Penggantian Natrium
Pada KAD terjadi pseudohiponatremia karena dua faktor; pertama karena
sebagian besar glukosa tertahan di ruang ekstraseluler mengakibatkan
perpindahan cairan secara osmotik sehingga terjadi proses dilusi hiponatremia.
Kedua karena terjadi peningkatan fraksi lemak dalam serum sehingga terkesan
terjadi penurunan konsentrasi natrium dalam darah. Penggantian natrium harus
bersifat individual dan berdasarkan pada pemantauan hasil laboratorium.
Elektrolit mula-mula harus diukur setiap 2 – 4 jam sekali.11 Perkiraan natrium
yang dikoreksi dapat dihitung dengan rumus:
Natrium: 1 mmol/L = 1 mEq/dL
Jadi perlu ditambahkan 1,6 mmol/L atau 1,6 mEq/dL natrium untuk setiap 100
mg/dL glukosa diatas 100 mg/dL

Hasil penghitungan dengan rumus ini dipakai untuk mengantisipasi


keadaan hipernatremia. Bila nilai natrium yang dikoreksi >150 mmol/L berarti
terdapat hipernatremia, selain itu berarti ada keadaan hiperosmolar karena
glukosa yang tinggi. Dalam keadaan ini penanganan harus tepat agar tidak terjadi
edema otak. Dianjurkan pemberian koreksi cairan dan elektrolit dilakukan
dengan baik dan tepat.
Pada saat terapi diberikan ada kemungkinan terjadi keadaan hiponatremia
yang biasanya terjadi bila gula darah mulai turun. Hal ini menggambarkan
pemberian cairan yang berlebihan dan tidak cukupnya penggantian elektrolit.
Selain hiperglikemia, keadaan hiperlipidemia juga menyebabkan natrium serum
yang terukur lebih rendah.

11
f. Penggantian Kalium
Penggantian kalium harus diberikan segera setelah resusitasi cairan untuk
mengatasi renjatan dan sebelum insulin diberikan. Bila pasien dicurigai
mengalami gagal ginjal, jangan berikan kalium sampai ada hasil elektrolit dan
kateter urin dipasang. Untuk melakukan koreksi kalium terlebih dahulu harus
dipastikan adanya produksi urin untuk memastikan tidak terjadi gangguan fungsi
ginjal. Jika pemberian kalium dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
rehidrasi maka konsentrasi yang digunakan adalah 20 mEq/L dan jika pemberian
kalium disertai dengan insulin intravena maka konsentrasi yang dianjurkan
adalah 40 mEq/L. Kecepatan pemberian tidak boleh melebihi 0,5 mEq/ kg/jam.
Jika terjadi hiperkalemia (>5,5 mEq/L) tunda pemberian kalium setidaknya
sampai ditemukan produksi urin. Berhati-hatilah bila pada saat pasien dengan
ketoasidosis yang kadar kaliumnya rendah atau pada batas bawah normal karena
berarti ada kekurangan kalium yang berat (asidosis memberikan gambaran
hiperkalemia).

g. Insulin
Prinsip pemberian terapi insulin:1
- Diberikan setelah syok teratasi dan resusitasi cairan telah dimulai
- Gunakan rapid (regular) insulin secara intravena dengan dosis insulin antara
0,05-0,1 U/KgBB/jam.
- Penurunan kadar gula secara bertahap tidak lebih cepat dari 75 -
100mg/dL/jam
- Insulin intravena dihentikan dan asupan per oral dimulai apabila secara
metabolic sudah stabil (kadar biknat >15mEq/L, gula darah <200mg/dL, pH
>7,3).
- Selanjutnya insulinreguler diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 – 1
U/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis atau untuk pasien lama dapat digunakan
dosis sebelumnya
- Untuk terapi insulin selanjutnya dirujuk ke dokter ahli endokrinologi anak

12
Insulin diberikan secara intravena dengan insulin pump dan hanya boleh
menggunakan insulin kerja cepat/regular. Setelah resusitasi selesai, sedangkan
rehidrasi serta penggantian KCl dalam proses, terapi insulin dapat dimulai
dengan pengamatan klinis dan laboratorium yang ketat. Untuk keseragaman dan
kemudahan, larutan insulin dibuat dengan kekuatan 0,1 Unit/mL sehingga dapat
mengurangi kemungkinan kekeliruan.
Larutan insulin dibuat dengan menambahkan 1 Unit RI ke dalam 10 mL
salin normal. Bila digunakan syringe pump dengan syringe/spuit 10 mL maka
dibutuhkan 2 Unit RI untuk setiap 20 mL salin normal. Sedangkan bila
digunakan tetesan infus biasa, maka dibutuhkan 50 Unit RI untuk setiap 500 mL
salin normal.
Pemberian insulin harus terpisah dari cairan rehidrasi sehingga
digunakan syringe pump atau dipasang 2 jalur infus. Berilah tanda yang jelas
pada jalur insulin dan jangan sampai tertukar dengan cairan rehidrasi. Karena
insulin mudah mengalami denaturasi maka larutan insulin dan alat-alat infus
sebaiknya diganti setiap 24 jam.
Pada umumnya drip insulin dimulai dengan dosis 0,05-0,1
unit/kgBB/jam. Pada awal terapi tidak perlu diberikan bolus insulin. Pemberian
drip insulin diatur sedemikian rupa sehingga penurunan gula darah yang dicapai
sebesar 75-100mg/dL per jam. Namun dalam 2 jam pertama, rehidrasi akan
menurunkan kadar glukosa darah oleh karenanya penurunan yang lebih besar
pada periode ini dapat diterima tanpa mengurangi kecepatan laju insulin. Waktu
gula darah telah mencapai 250 mg/dL, cairan infus diganti dengan D5% dalam
0,45 Salin atau D5% dalam 0,225 Salin. Pada keadaan hiponatremia dapat
diberikan koreksi natrium.
Laju kecepatan insulin dan pemberian dekstrosa diatur sehingga kadar
glukosa darah berkisar antara 90-180 mg/dL. Insulin dibutuhkan untuk
membersihkan ketonemia, sehingga insulin yang adekuat diberikan baik secara
drip intravena ataupun subkutan kerja singkat setiap 6 jam sampai ketonuria
negatif. Bila pasien masih membutuhkan infus setelah 24 jm, maka gunakanlah
D5% dalam 0,45 atau 0,225 Salin.

13
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana KAD pada fasilitas lengkap

14
Gambar 3. Algoritme Tatalaksana KAD pada fasilitas terbatas

15
2.7 TANDA-TANDA BAHAYA
Berikut merupakan tanda-tanda bahwa penanganan pasien menjadi lebih sulit:
a. Dehidrasi berat dan syok,
b. Asidosis berat dan kalium serum yang rendah karena hal ini menunjukkan
kalium total yang sangat kurang,
c. Hipernatremia yang menunjukkan keadaan hiperosmolar yang memburuk,
d. Hiponatremia,
e. Penurunan kesadaran saat pemberian terapi yang menunjukkan adanya
edema otak.

2.8 EDEMA CEREBRI


Terminologi edema serebri merujuk pada peningkatan jumlah cairan di dalam
jaringan otak (edema) yang menyebabkan peningkatan volume jaringan otak. Edema
yang terjadi dapat berupa vasogenik akibat kerusakan sawar darah otak, edema
sitotoksik akibat gangguan metabolic atau edema osmotic akibat hiponatremi.11
Faktor demografi yang berhubungan dengan risiko edema serebri adalah: usia
lebih muda, pasien baru dan makin lamanya gejala penyakit tampak. Tanda dan
gejala edema serebri: sakit kepala, muntah-muntah, perlambatan detak jantung,
peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen dan perubahan status
neurologis (gelisah, iritabel, mengantuk terus, kelumpuhan saraf kranial, dll.)
Edema otak dapat terjadi karena kesalahan dalam menentukan kecepatan
pemberian cairan rehidrasi, pemilihan cairan, atau manajemen elektrolit. Beberapa
penelitian retrospektif menunjukkan bahwa edema otak berhubungan dengan
kecepatan pemberian cairan yang melebihi 4 L/m2 luas permukaan tubuh dalam 24
jam atau >50 ml/kgBB dalam 4 jam pertama terapi. Dalam hal ini tentunya
bergantung pada derajat dehidrasi awal.
Diagnosis edema serebral dapat menggunkan pengamatan klinis dan status
neurologis sebagai berikut:11,12
 Kriteria diagnostik:
o Respon motor dan verbal yang abnormal terhadap rangsang nyeri
o Postur dekortisasi dan deserebrasi

16
o Kelemahan saraf kranial (terutama III, IV, dan VI)
o Pola pernapasan abnormal (grunting, takipnea, Cheyne-Stokes, apnea)
 Kriteria mayor:
o Kesadaran menurun atau berubah
o Deselerasi detak jantung (kurang dari 20 kali per menit) yang tidak
meningkat dengan perbaikan volume intravaskular atau status kesadaran
o Inkontinensia yang tidak sesuai dengan usia
 Kriteria minor
o Muntah
o Sakit kepala
o Letargi atau tidak mudah dibangunkan
o Tekanan darah diastolik >90mmHg
o Umur <5tahun
Satu kriteria diagnostik atau dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor mempunyai sensitivitas 92% dan nilai positif palsu hanya 4%.
Semua pasien harus dipantau terhadap kemungkinan peningkatan tekanan
intrakranial (observasi gejala neurologis). Bila terjadi herniasi otak, maka waktu
penanganan yang efektif sangatlah pendek. Kecepatan pemberian cairan dikurangi
sepertiganya. Berikan manitol 0,5-1 gr/kgBB intravena selama 10-15 menit dan
ulangi jika tidak ada respon setelah 30 menit sampai 2 jam setelah pemberian. Salin
hipertonik (3%), 2,5-5 mL/kgBB selama 10-15 menit sebagai alternatif bila tidak ada
manitol. Lakukan MRI/CT Scan kepala jika terapi edema serebri sudah dimulai untuk
melihat apakah terdapat kelainan intracranial yang membutuhkan intervensi bedah
atau koagulan.12,13

2.9 PROGNOSIS
Prognosis KAD adalah dubia ad malam terutama jika tidak dilakukan
monitoring kadar gula darah sewaktu dan pemberian insulin secara adekuat. Salah
satu komplikasi yang memiliki tingkat mortalitas tinggi adalah edema serebri akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Dan bila pasien memiliki tanda-tanda bahaya
(dehidrasi berat, asidosis berat, kalium kurang, dan penurunan kesadaran).9

17
BAB III
KESIMPULAN
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kondisi akut dan mengancam jiwa
akibat kekurangan insulin relatif atau absolut yang ditandai oleh trias hiperglikemia
yaitu polyuria, polydipsia, dan polifagia, asidosis, serta ketonemia/ketonuria.
Manifestasi klinis KAD sangat bervariasi dan seringkali menyerupai gejala klinis
penyakit lain. Kemampuan mengenali gejala klinis KAD dan mendiagnosis KAD
merupakan bagian terpenting tata laksana KAD. Tatalaksana KAD selanjutnya adalah
koreksi cairan yang adekuat, pemberian insulin yang tepat, koreksi asidosis dan
elektrolit serta pemantauan yang ketat. Sebagian besar kematian pada DMT1 timbul
akibat edema serebri. Pengenalan tanda-tanda KAD dan tatalaksana yang cepat dan
tepat dapat menurunkan mortalitas, morbiditas dan menekan biaya rawat akibat KAD.
Pencegahan dengan suatu program yang komprehensif dan terintegrasi merupakan
suatu langkah terpenting untuk menghindari berulangnya KAD.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastusi S, et all. Pedoman Pelayanan Medis


Ikatan Dokter Anak Indonesia: Ketoasidosis Diabetik. IDAI: 2009; 165-169
2. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas
kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
3. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric
Endocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus
Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics
2004;113:133-40.
4. Young GM. Pediatrics Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2009.
(Diakses dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juli 2018).
5. Usher-Smith JA, Thompson M, Ercole A, Walter FM. Variation between
countries in the frequency of diabetic ketoacidosis at first presentation of type
1 diabetes in children: a systematic review. Diabetologia. 2012;55:2878-94.

6. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, dkk. ISPAD
clinical practice consensus guidelines 2009. Compedium Diabetic
Ketoacidosis in Children and Adolescents with Diabetes. Pediatric Diabet
2009;10(sup.12):118-33. 

7. Sivanandan S, Sinha A, Jain V, Lodha R. Management of diabetic
ketoacidosis. Indian J Pediatr. 2011;78:576-84. 

8. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi, AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemia Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1): 28-
35.
9. Sperling MA. Diabetes Mellitus in Children dalam Nelson Textbook of
Pediatrics, edisi ke-16. editor: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. WB
Saunders Company, 2000:1770-1777
10. Riduan RJ, Mustofa S. Penatalaksanaan KAD dan DM Tipe 1 pada Anak Usia
15 Tahun. J Medula Unila: 2017;7(2):114-122.

19
11. Batubara JR, Purwana NA, Prihadi DN. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat
Darurat pada Anak: Tatalaksana Ketoasidosis Diabetik. FKUI: Departemen
Ilmu Kesehatan Anak: 2013; 71-83.
12. Yati NP, Bambang TA. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus
Tipe 1. IDAI: 2017:10-12
13. Pocketbook for management of diabetes in childhood and adolescence in
under-resourced countries. International Diabetes Federation. 2017;10-20

20

Anda mungkin juga menyukai