Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

KOMA HIPOGLIKEMI DAN ANEMIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Clerkship Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun Oleh :
Julita Maulidina, S.Ked

Pembimbing
dr. Bondan, M.Kes., Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus tentang “ Koma
Hipoglikemi dan Anemia” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang
diharapkan. Tujuan penyusunan rlaporan kasus ini guna memenuhi tugas
Clerkship Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani kasus
kedokteran.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
laporan kasus ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca,
penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kedokteran.

Malang, Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................iii
DAFTAR TABEL..........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................1
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis................................................................................................3
2.2 Pemeriksaan Fisik....................................................................................4
2.3 Diagnosis Banding ..................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................6
2.5 Diagnosa Kerja.........................................................................................6
2.6 Penatalaksanaan.......................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Dan Fisiologi Pankreas.............................................................7
3.2 Patofisiologi Hipoglikemi......................................................................11
3.3 Anatomi Dan Fisiologi Eritrosit.............................................................14
3.4 Patofisiologi Anemia..............................................................................23
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Dasar Penegakan Diagnosis....................................................................25
4.2 Dasar Rencana Penatalaksanaan.............................................................26
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan............................................................................................26
5.2 Saran.......................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................27

ii
DAFTAR GAMBAR

3.1 Skema Peranan Insulin Dan Glukagon Dalam Proses Pengaturan Kadar
Glukosa Darah Yang Normal...................................................................9
3.2 Merangkum Interaksi Dari Berbagai Organ Dalam Pengaturan Kadar
Glukosa Darah........................................................................................11
3.3 Struktur Molekul Hemoglobin...............................................................15
3.4 Tahapan Pembentukan Eritrosit.............................................................16
3.5 Regulasi Pembentukan Eritrosit.............................................................17
3.6 Siklus Hidup Eritrosit.............................................................................19
3.7 Absorpsi, Penyimpanan, Dan Daur Ulang Zat Besi...............................21
3.8 Peran Asam Folat Dan Vitamin B12 Dalam Eritropoiesis.....................23

iii
DAFTAR TABEL

2.1 Status Interna Pasien................................................................................5


2.2 Darah Lengkap.........................................................................................5
2.3 Kimia Klinik............................................................................................6
3.1 Hormon Yang Berperan Pada Mekanisme Counter Of Regulatory
Respons (Crr).........................................................................................13
4.1 Faktor-Faktor Yang Dapat Memicu Terjadinya Hipoglikemia Pada
Pasien Dm Tipe......................................................................................26

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hipoglikemia merupakan kondisi klinis yang ditandai oleh penurunan


kadar glukosa darah melewati ambang batas yang bisa ditoleransi oleh tubuh.
Hipoglikemia sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, baik pada pasien
rawat jalan maupun pasien rawat inap di rumah sakit. Bila tidak terdeteksi dan
tidak mendapat terapi dengan cepat akan menimbulkan konsekwensi dan
komplikasi yang serius. Kualitas hidup pasien hipoglikemia terutama yang
berulang akan menurun, menyebabkan kerusakan otak ringan hingga
permanen bahkan dapat menjadi pemicu terjadinya penyakit jantung koroner
dan kematian secara mendadak.
Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang dapat bersifat
emergensi dan memerlukan penanganan yang cepat dan tepat sehingga
dampak dari hipoglikemia itu dapat diminimalisir. Hipoglikemia yang tidak
tertangani dengan baik akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
seperti: penurunan kualitas hidup, gangguan fungsi kognitif, penurunan
kesadaran, bahakan dapat menjadi pemicu penyakit kardiovaskuler yang dapat
menjadi penyebab kematian.1
Anemia digambarkan sebagai pengurangan proporsi sel darah merah.
Anemia bukan diagnosis, tetapi presentasi dari kondisi yang mendasarinya.
Apakah pasien mengalami anemia tergantung pada etiologi anemia, ketajaman
onset, dan adanya komorbiditas lainnya, terutama adanya penyakit
kardiovaskuler. Sebagian besar pasien mengalami beberapa gejala yang
berhubungan dengan anemia ketika haemoglobin turun di bawah 7.0 g/dl.2

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi hipoglikemi dan anemia pada pasien DM.
2. Untuk mengetahui etiopatofisiologi dan faktor resiko hipoglikemi dan
anemia pada pasien DM.
3. Untuk memahami cara penegakan diagnosa hipoglikemi dan anemia pada
pasien DM.

1
4. Untuk mengetahui tatalaksana hipoglikemi dan anemia pada pasien DM.

1.3 Manfaat
Menambah wawasan keilmuan tentang ringkasan dari kasus dan beberapa
tinjauan pustaka tentang penyakit hipoglikemi dan anemia pada pasien DM,
mempermudah pemahaman penulis dan pembaca tentang penyakit
hipoglikemi dan anemia pada pasien DM, dan mengetahui tentang
perkembangan pasien dari awal masuk rumah sakit hingga rawat jalan.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama Penderita : Ny. S


No. RM : 11****** (BPJS)
Usia : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Donomulyo

II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Lemah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan tidak sadar tadi malam, sebelumnya
mengeluh badan lemas kemudian dibawa ke puskesmas di cek GDA
yaitu 29 mg/dL. Mual (-) muntah (-). Di puskesmas diberikan D40% 3
fl GDA menjadi 72 mg/dL.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit serupa : tidak ada
- Riwayat diabetes militus : ada
- Riwayat penyakit jantung : ada
- Riwayat penyakit paru : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
- Riwayat sakit kejang : tidak ada
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : tidak ada data

- Riwayat hipertensi : tidak ada data


- Riwayat kencing manis : tidak ada data

- Riwayat penyakit jantung : tidak ada data


5. Riwayat Alergi
Tidak ada data
6. Riwayat Pengobatan

3
Obat DM : Glukopagel, metformin
Obat CVA : Amlodipin 10mg, captopril 25mg, metformin, asam
asetilsalisilat
Infus D5 40% 3 fl di Puskesmas.
7. Riwayat Dirawat
Pasien sebelumnya dirawat di Puskesmas selama satu malam. Di
Puskemas didapatkan GDA 29mg/dL.
8. Riwayat Kebiasaan
Tidak ada data
9. Riwayat Sosial
Tidak ada data

III. Pemeriksaan Fisik


Pasien Pertama masuk ke RSUD Kanjuruan Kepanjen

1. KeadaanUmum :
Kesan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis ( GCS 15 :E4V5M6)
2. Vital Sign :
TD : 125/67 mmHg
Suhu : 36.4℃
Nadi : 89x/menit
RR : 20x/menit
SpO2 : 95%

3. Status Interna:
Tabel 2.1 Status Interna Pasien

Mata Inspeksi : Konjungtiva kanan/kiri anemis (+), sklera


ikterik (-), pupil isokor (+/+), injeksi konjungtiva (-),
Leher Tidak didapatkan kelainan
Paru paru Auskultasi : vesicular/vesicular, rhonki (-/-), whizzing
(/)

4
Jantung Auskultasi : cor s1 s2 tunggal,
Abdomen Palpasi : nyeri tekan epigastric (-)
Auskultasi : bising usus (+) soefl
Musculoskeletal Akral : Hangat (+)
Odem : (-)
Motorik : 5/5/5/5

IV. Diagnosa Banding

1. Koma hipersomolar
2. Ketoasidosis diabetik
3. Kelebihan Insulin

V. Pemeriksaan Penunjang
Tabel 2.2 Darah Lengkap
Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI LENGKAP
Hemoglobin 9.2 gr/dL 12.0 - 16.0
Leukosit 10.29 ribu/uL 4.0 - 10.0
Trombosit 531 ribu/mm3 150 – 400
Hematokrit 27.8 % 35.0 – 47.0
Hitung Jenis Leukosit
Neutrofil 9.37 ribu/uL 1.50 – 7.00
Limfosit 0.58 ribu/uL 1.00 – 3.70
NLR 16.16 1-3

Tabel 2.3 Kimia Klinik


Hasil Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na) 118.0 mmol/L 136 - 145
Kalium (K) 4.70 mmol/L 3.5 - 5.0
Klorida (Cl) 90.0 mmol/L 98 – 106
Kadae Glukosa Darah
GDS 40 mg/dl 65 - 140
Fungsi Ginjal
Ureum 19.0 mg/dl 16.6 – 48.5
Kreatinin 0.72 mg/dl 0.51 - 0.95

VI. Diagnosa Kerja


Koma hipoglikemia dan anemia
VII. Penatalaksanaan
A. Diagnostik

5
1. DL serial
2. Gula darah sewaktu
3. Renal Function Test (RFT)
4. Serum Elektrolit
B. Terapeutik
1. Diet dm 1800 kkal
2. IVFD 2 line
- Line 1 : D10% 10 tpm
- Line 2 : Ns 0,9% 20 tpm
3. Prosogan inj 1x1
4. Cek GDA stik perjam : Bila GDA < 80, D 40% 2 fl bolus IV, Bila
GDA > 160 dalam 2 kali pemeriksaan IVFD distop.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas


Pengaturan kadar glukosa darah akan melibatkan berbagai hormon dan
neuropeptida yang pada umumnya dihasilkan oleh otak, pankreas, saluran
cerna dan juga jaringan lemak serta otot.3 Organ utama yang mengatur regulasi
glukosa darah adalah pankreas yang terletak dibelakang lambung pada bagian
kiri atas dari kavum abdominalis. Pankreas mempunyai fungsi eksokrin dan

6
endokrin. Fungsi eksokrin pankreas dilakukan oleh sel acinar yang
melepaskan ensim-ensim pencernaan seperti amilase, lipase dan tripsinogen
kedalam duktus pankreatikus dan selanjutnya ke duodenum. Sedangkan fungsi
endokrin dilakukan oleh pulau–pulau Langerhans, suatu struktur yang
berbentuk pulau-pulau kecil dan terletak didalam sel-sel eksokrin dan
jumlahnya hanya sekitar 1-2% dari volume total pankreas dengan melepaskan
hormon-hormon secara langsung ke dalam darah. Terdapat lima jenis hormon
yang dihasilkan oleh pankreas yaitu: sel α yang mengsekresikan glukagon, sel
β menghasilkan insulin dan C-peptida, sel γ menghasilkan polipeptida, sel δ
menghasilkan somatostatin dan hormon ghrelin dihasilkan oleh sel ε.4
Diantara hormon-hormon yang dihasilkan oleh pankreas, maka insulin dan
glukagon merupakan regulator utama yang mengatur dan mempertahankan
kadar glukosa darah dalam batas-batas normal yaitu sekitar 4-6 mmol/dl atau
sekitar 72-108 mg/dl. Kedua hormon ini bekerja saling berlawanan. Insulin
berfungsi menurunkan kadar glukosa darah sebaliknya glukagon akan
meningkatkan kadar glukosa darah . Insulin suatu hormon anabolik, menekan
produksi glukosa hati, meningkatkan ambilan (uptake) glukosa pada otot dan
jaringan lemak serta meningkatkan pembentukan protein dan lemak,
sedangkan glukagon adalah hormon katabolik dan berfungsi untuk
meningkatkan produksi glukosa pada hati.
Fungsi utama dari kedua hormon tersebut adalah:
1. Glikogenolisis. Adalah proses sintesis dan pemecahan glikogen. Glikogen,
suatu cadangan karbohidrat tubuh siap pakai. Glikogen umumnya terdapat
pada hati dan jaringan otot. Proses pemecahan glikogen dihati akan dapat
memenuhi kebutuhan glukosa seluruh jaringan tubuh, sebaliknya proses
pemecahan glikogen di otot akan menyebabkan pembentukan asam laktat.
2. Glukoneogenesis. Adalah proses pembentukan glukosa pada hati. Prekusor
dari proses glukoneogenesis tersebut adalah gliserol, asam laktat dan asam
amino (terutama alanin). Glukoneogenesis juga dapat terjadi pada organ
ginjal, namun glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal tersebut tidak
memegang peranan penting pada kondisi fisiologis.

7
3. Glikolisis. Adalah proses uptake (ambilan) dan metabolisme glukosa oleh
otot dan jaringan lemak.1
Efek metabolik dari insulin dan glukagon inilah yang dapat menjelaskan
kenapa kadar glukosa darah seseorang tetap stabil dalam kisaran yang normal
dan tidak terjadi hipoglikemia walaupun orang itu dalam keadaan puasa serta
tidak terjadi lonjakan glukosa darah (hiperglikemia) setelah makan.

Gambar 2.1. Skema peranan insulin dan glukagon dalam proses


pengaturan kadar glukosa darah yang normal.
Dalam keadaan puasa/tidak makan, maka kadar insulin akan menurun dan
kadar glukagon akan mengalami peningkatan, akibatnya akan terjadi
penurunan ambilan glukosa pada jaringan perifer (otot dan jaringan lemak)
dan peningkatan glikogenolisis di jaringan perifer serta peningkatan produksi
glukosa di hati. Pemenuhan kebutuhan glukosa darah yang normal akan
dilakukan melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga

8
kebutuhan energi tidak diperoleh dari asupan glukosa dari luar tubuh, namun
melalui produksi glukosa endogen. Bila seseorang berpuasa dalam waktu
singkat (misalnya puasa semalaman), maka untuk menjaga agar kadar glukosa
darah tetap berada pada kisaran nilai normal dibutuhkan produksi glukosa
endogen sebesar 5-6 gram/jam yang diperoleh melalui proses glikogenolisis
sebesar 60-80% dan 20-40% sisanya diperoleh melalui proses
glukoneogenesis. Bila seseorang berpuasa dalam jangka waktu yang lama,
maka jumlah glikogen tubuh akan mengalami penurunan dan kebutuhan
produksi glukosa endogen sebagian besar akan diperoleh melalui proses
glukoneogenesis di hati. Dalam keadaan puasa yang ekstrim dan
berkepanjangan, proses glukoneogenesis pada ginjal dapat membantu
pemenuhan produksi glukosa endogen hingga 45%.5
Bila seseorang makan, maka akan terjadi peningkatan kadar glukosa dalam
darah yang selanjutnya akan merangsang peningkatan sekresi insulin dan
menekan produksi glukagon pankreas. Perubahan keseimbangan hormon
insulin dan glukagon yang terjadi setelah makan ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan ambilan glukosa pada jaringan perifer, penurunan
produksi glukosa endogen dan peningkatan cadangan glikogen. Bila jumlah
makanan yang dikonsumsi berlebih, maka kelebihan tersebut akan disimpan
dalam bentuk glikogen, protein dan jaringan lemak sebagai cadangan energi.
Disamping insulin dan glukagon yang berperan sebagai regulator utama
dalam hoemostasis glukosa darah pada saat puasa dan saat makan, juga
terdapat beberapa hormon lain yang juga disekresikan guna membantu
pengaturan kadar glukosa darah tersebut. Hormon-hormon seperti Gastic
Inhibitory Peptide (GIP), Glucagon-Like Peptide 1 (GLP-1) dan Ghrelin serta
Cholecystokinin Peptide Y akan disekresikan untuk merespon beban glukosa
yang dimakan. Saat ini hormon-hormon tersebut sudah mendapat perhatian
para ahli dan telah digunakan sebagai salah satu modalitas terapi dalam
penanganan penderita diabetes melitus. Contohnya GLP-1 yang disekresikan
oleh sel L yang terdapat pada saluran cerna bagian distal sebagai respon
terhadap karbohidrat (glukosa) yang dimakan. GLP-1 selanjutnya akan
merangsang sel beta pankreas untuk mengsekresikan insulin dan menekan sel

9
alfa sehingga produksi glukagon akan menurun. GLP-1 juga mempunyai
beberapa efek yang menguntungkan pada penderita diabetes melitus yaitu
menghambat pengosongan lambung dan menimbulkan perasaan kenyang serta
dapat menurunkan berat badan.1

Gambar 2.2: Merangkum interaksi dari berbagai organ dalam


pengaturan kadar glukosa darah (Roder,. dkk 2016)
BNDF= brain-derived neurotrophic factor; CCK=cholecystokinin; GIP=
glucose-dependent insulino-tropic peptide; GLP-1= glucagon-like peptide 1;
GRP= gastrin-releasing peptide; IL-6= Interleukin 6; MCH= melanin
concentrating hormone; NPY= neuropeptide Y; PACAP=pituitary adenylate
cyclase-activating polypeptide; POMC= pro-opiomelanocortin; VIP=
vasoactive intestinal peptide.
3.2 Patofisiologi Hipoglikemi
Pada kondisi normal, glukosa merupakan satu-satunya sumber energi
untuk otak, oleh karena itu untuk menjalankan fungsi-fungsi otak yang
normal maka kadar glukosa darah harus dipertahankan dalam kisaran kadar
normal yang relatif sempit (sekitar 70-100 mg/dl). Bila kadar glukosa darah

10
turun, maka tubuh akan mengaktifkan CRR (counter of regulatory respons)
yang beperan untuk mencegah dan melakukan koreksi terhadap terjadinya
hipoglikemia. Mekanisme utama dari CRR tersebut adalah penurunan sekresi
insulin, peningkatan sekresi glukagon dan epinefrin. Bila hipoglikemia
berlangsung berkepanjangan maka tubuh akan meningkatkan sekresi kortisol
dan growth hormone. Respon tubuh tersebut dalam keadaan normal akan
mampu menjaga glukosa darah pada kadar fisiologik, sehingga fungsi-fungsi
organ tubuh terutama otak akan dapat menjalankan fungsinya secara normal
pula.6
Respon CRR dipengaruhi kemampuan fungsional dari organ-organ yang
memproduksi hormon yang mengalami aktivasi yaitu pankreas, hati dan
ginjal. Hati bertangung jawab terhadap 80% produksi glukosa endogen
melalui proses glukoneogensis dan sekitar 20% sisanya melalui proses
glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal.
Apabila kadar glukosa darah turun, maka akan terjadi aktivasi pusat
autonomik di hipotalamus yang selanjutnya akan merangsang sistim simpato-
adrenal pada daerah perifer. Rangsangan terhadap sistim simpatoadrenal
dapat diketahui dengan timbulnya gejala-gejala seperti berkeringat,
peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, serta tremor. Gejala-gejala
tersebut merupakan gambaran klasik reaksi autonom yang akut. Gejalagejala
yang tidak menyenangkan akibat reaksi autonom tersebut biasanya menjadi
pemicu awal pasien yang mengalami hipoglikemia untuk mencari
pertolongan atau meminum glukosa untuk meredakannya.5,6
Pada manusia kunci sensor glukosa darah terletak pada otak yaitu daerah
ventromedial thalamus (VMH) yang akan mendeteksi terjadinya
hipoglikemia dan akan mengaktifkan mekanisme CRR untuk memproteksi
dan mencegah kerusakan otak dari efek neuroglikopenia. Sensor glukosa juga
terdapat pada daerah-daerah diluar otak yaitu pada vena porta, usus, karotis
dan sel beta pankreas, namun peranan dari sensor glukosa yang terletak diluar
otak tersebut terhadap mekanisme CRR masih belum diketahui.
Hipoglikemi pada diabetes paling sering disebabkan oleh penggunan obat
sulfonylurea dan insulin.

11
Hipoglikemi terbagi menjadi :
 Hipoglikemi murni, glukosa darah < 100 mg/ dl
 Koma hipoglikemi, koma akibat glukosa darah turun < 30 mg/dl
 Hipoglikemi reaktif, gejala hipoglikemi yang terjadi 3-5 jam
sesuadah makan
Biasanya pada orang yang memiliki riwayat DM
Hipoglikemi pada DM terjadi karena :
 Kelebihan obat/ dosis obat : terutama insulin, atau obat
hipoglikemi oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relative menurun : gagal ginjal
kronik
 Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan
tidak tepat.1
Tabel 3.1. Hormon yang berperan pada mekanisme counter of
regulatory respons (CRR)

3.3 Anatomi dan Fisiologi Eritrosit


Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong
kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Setiap milliliter darah
mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga secara klinis kadar eritrosit
dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm3. Eritrosit adalah sel berbentuk piringan
bikonkaf dengan diameter 8µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1

12
µm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan menghasilkan luas permukaan
yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus membrane dibandingkan
dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel
memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan
eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang memungkinkan eritrosit
mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya.7
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :
1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptida yang sangat berlipat-lipat.
2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi
yang masing-masing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-
masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible
dengan satu molekul oksigen. Oleh karena itu, satu molekul
hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di paru. Sekitar
98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.7

Gambar 2.1 Struktur Molekul Hemoglobin3

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan :


a. Karbon dioksida (CO2).
Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali
ke paru.
b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi.

13
Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida. Hemoglobin
menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan
perubahan pH darah.
c. Karbon monoksida (CO).
Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika
terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang
berikatan dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO.
d. Nitrat oksida (NO)
Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin.
NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan
melebarkan arteriol local. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa
darah kaya oksigen dapat mengalir lancar dan juga membantu
menstabilkan tekanan darah.8
Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen,
sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan
kemampuan darah menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut
vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan oksigen yang
dibawanya.7
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi
oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hampir semua
organel yang lain. Sel darah merah tidak mengandung nucleus, organel, atau
ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-struktur ini dikeluarkan untuk
menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.7
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk
sac dan kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan
mengambil alih produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian
besar tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel
darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak
mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan sumsum
merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan
ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.7
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :

14
Gambar 2.2 Tahapan Pembentukan Eritrosit3

Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum


berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan
berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah.Myeloid stem cell
adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang
menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas merupakan
sel yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit
merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel remnants.
Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian
akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.7
Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang diperankan
oleh eritropoietin :

15
Gambar 2.3. Regulasi Pembentukan Eritrosit9

Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia


atau proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan
eritropoietin ke dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang.
Eritropoietin akan merangsang maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan
aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah,

16
sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan penyaluran
oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke ginjal telah
kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai
dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan
normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut,
sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada
kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau
kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat
meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.9

Gambar 2.4. Siklus Hidup Eritrosit4

Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan
menuju aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk
protein untuk memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui

17
enzim-enzimnya. Eritrosit hanya bertahan hidup selama sekitar 120 hari,
dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel per detik.7
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak
dapat diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit
melewati titik-titik penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar
eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang
sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari
sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-
pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit
dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di
sumsum tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada
proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan
digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.9
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam
hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin,
hemosiderin), dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-
enzim yang mengandung besi). Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2
mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama terjadi di duodenum dan
bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan menyerap 3-
15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada
defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan
paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.9

18
Gambar 2.5 Absorpsi, Penyimpanan, dan Daur Ulang Zat Besi9
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari
hemoglobin dan mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian
besar dalam bentuk Fe2+, yang akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme-
Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim heme oksigenase akan melepaskan
heme dan Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Bentuk tersebut
dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe 3+ untuk
kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau
dapat pula masuk ke sirkulasi darah.9
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel
mukosa usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus
terlebih dahulu direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan
askorbat yang berada di permukaan sel mukosa usus. Kemudian Fe 2+

19
diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein
simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting
untuk meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa
meningkat, serta untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.9
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus.
Ketika terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang
berada di sitosol akan berikatan dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi
inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe2+ yang dapat memasuki aliran
darah akan meningkat.9
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang
kemudian berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan
dalam transport zat besi di dalam plasma, dan membentuk transferin.
Transferin akan mengalami endositosis oleh eritroblas dan sel-sel hepar
melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel, maka
apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan
kembali untuk mengikat zat besi dari usus dan makrofag.9
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di
dalam tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat
menyediakan zat besi secara cepat bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi),
dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan zat besi jauh lebih
lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum
tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel
darah merah yang mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan
haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang,
hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.9
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses
eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat
tersebut dalam proses eritropoiesis :

20
Gambar 2.6 Peran Asam Folat dan Vitamin B12 dalam Eritropoiesis9

3.4 Patofisologi Anemia


Patofisiologi anemia sangat bervariasi tergantung pada penyebab
utamanya. Sebagai contoh, pada anemia hemoragik akut ialah pemulihan
volume darah dengan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang melarutkan
sisa sel darah merah (RBC), yang mengakibatkan anemia. Pengurangan
komponen dalam plasma dan sel darah merah menghasilkan hemoglobin dan
hematokrit yang keliru secara normal.2
RBC diproduksi di sumsum tulang dan dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Sekitar 1% sel darah merah dikeluarkan dari peredaran per hari.
Ketidakseimbangan dalam produksi untuk menghilangkan atau
menghancurkan sel darah merah menyebabkan anemia.2
Mekanisme utama yang mengakibatkan anemia :
1. Peningkatan kehancuran sel darah merah
 Blood loss
o Perdarahan akut, pembedahan, trauma, menoragia
o Pendarahan menstruasi kronis-berat, kehilangan
darah gastrointestinal kronis (dalam pengaturan
infestasi cacing tambang, bisul, dll.), Kehilangan
urin (BPH, karsinoma ginjal, schistosomiasis).2
 Anemia hemolitik

21
o Diperoleh oleh imunisasi, infeksi, mikroangiopati,
terkait transfusi darah, dan sekunder akibat
hipersplenisme.
o Hereditary-enzymopathies, gangguan hemoglobin
(sel sabit), cacat dalam metabolisme sel darah
merah (defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase),
defek pada produksi membran sel darah merah
(spherocytosis herediter dan elliptocytosis).2
2. Deficient/defective erythropoiesis
 Mikrosisitk
 Normositik, normokrom
 Makrositik.2

22
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Dasar Penegakan Diagnosa
Pada anamnesis didapatkan keluhan pucat dan lemas. Pasien tidak sadar
pada malam hari ketika dibawa ke puskesmas dengan GDA 29 mg/dl
menandakan tanda gejala dari koma hipoglikemi. Setelah dilakuakn
pemeriksaan di rumah sakit Wava didapatkan GDS 40 mg/dl menadakan
hipoglikemi. Konjungtiva anemis dan hemoglobin 9.2 gr/dL menandakan
pasien anemia.1
Penyebab utama hipoglikemia pada penderita DM tipe 2 adalah iatrogenic,
terjadi akibat penggunaan terapi insulin dan obat-obatan dengan mekanisme
kerja merangsang sekresi insulin pankreas dimana pasien rutin meminum
metformin. Golongan obat-obatan tersebut dapat mengganggu sistim CRR
yang seharusnya berperan menjaga dan mempertahankan kadar glukosa darah
tidak turun terlalu rendah. Pada penderita DM tipe 2 yang berat dan telah
lama menderita diabetes, respons glukagon dan beberapa stress hormone yang
lain bila terjadi hipoglikemia akan mengalami gangguan. Faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya hipoglikemia pada penderita DM tipe 2 adalah
faktor perilaku dan faktor terapeutik. Tidak makan atau pola makan yang
tidak teratur merupakan penyebab utama terjadinya episode hipoglikemia
berat dimana hemoglobin pasien 9.2 menadakan kurangnya nutrisi pada
pasien, faktor perilaku yang lain yang juga turut berperan adalah konsumsi
alkohol, olah raga dan ketidaktepatan minum obat (jadwal dan dosis). (Tabel
4.4).1
Faktor terapeutik yang berperanan terhadap risiko terjadinya hipoglikemia
pada penderita DM tipe 2 adalah usia lanjut dimana pasien berusia 68 tahun,
lamanya menderita diabetes, adanya penyakit ko-morbid seperti (Cerebro
Vascular Attack) CVA yang diderita pasien.1

23
Tabel 4.4. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya hipoglikemia
pada pasien DM tipe 2.1

4.1 Dasar Rencana Penatalaksanaan


Penanganan utama pasien hipoglikemia pada pasien diabetes adalah
deteksi dini dan atasi kadar glukosa darah yang rendah dengan
mengembalikan kadar glukosa darah secepat mungkin ke kadar yang normal
sehingga gejala dan keluhan hipoglikemia juga akan segera menghilang.
Pemberian 15 gram glukosa (monosakarida) secara oral terbukti akan
meningkatkan kadar glukosa darah sekitar 2,1 mmol/l (sekitar 40 mg/dl)
dalam waktu 20 menit dan cukup adekuat untuk menghilangkan keluhan
hipoglikemia dalam waktu singkat. Lima belas gram glukosa dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti 15 gram tablet glukosa, 15 mil (3 sendok teh)
gula yang dilarutkan dalam air minum, 175 ml juice atau soft drink atau 15
ml (1 sendok makan) madu. Pilihan lain seperti susu, namun kekuatannya

24
dalam meningkatkan kadar glukosa darah lebih rendah dan efeknya lebih
lambat.1
1. Diet dm 1800 kkal
2. IVFD 2 line
- Line 1 : D10% 10 tpm
- Line 2 : Ns 0,9% 20 tpm
3. Prosogan 30mg injeksi 1x1
4. Sangobion 250mg
5. Cek GDA stik perjam : Bila GDA < 80, D 40% 2 fl bolus IV
Bila GDA > 160 dalam 2 kali pemeriksaan
IVFD distop.

25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien


didiagnosis hipoglikemi dan anemia. Terapi yang dapat diberikan pada pasien
yaitu IVFD 2 line, prodogan injeksi, sangobion, asam folat dan obat-obatan
simptomatik
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk lebih spesifik mengetahui
penyebab anemia gravis yang diderita pasien.
2. Perlu disampaikan KIE pada pasien dan keluarga untuk patuh minum obat,
menjaga pola hidup teruatama dalam pola makan, dan melakukan aktifitas
sesuai yang disarankan dokter.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansyur Andi Makbul Aman. 2018. Hipoglikemi Dalam Praktik Sehari-


Hari. Departemen Ilmu. Makasar Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
2. Turner J, Parsi M, Badireddy M. 2020. Anemia. NCBI. P; 1-2
3. Roder PV, Wu B, Liu Y, Han W. 2016. Pancreatic regulation of glucose
hoemostasis. Exp Mol. Med; 46:e219
4. Wierup N, Svensson H, Mulder H, Sundler F. 2002. The ghrelin cell: a
novel developmentally regulated islet cell in the human pancreas. Regul
Pept; 107: 63–69.
5. Macdonald IA, King P. 2014. Normal Glucose metabolism and responses
to hypoglycaemia. In Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier
MB,Heller RS, McCrimmon JR (eds). 3rd Ed. 1-22.
6. Nirantharakumar K, Marshall T, Hodson J et al. 2012. Hypoglycemia in
nondiabetic in-patients: clinical or criminal. PLoS One; 7:4.
7. Sherwood L, dkk. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6.
Jakarta : EGC,.
8. Young NS. 2006. Pathophysiologic mechanisms in acquired aplastic
anemia. Hematology pAm Soc Hematol Educ Program; 72-7.
9. Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai