Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KASUS

HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELITUS


TIPE 2 DAN GAGAL GINJAL KRONIS

Disusun oleh :
NAMIROH DIMA ASH SHOLIHAT
1710221014

Pembimbing :
dr. Inggrid Widyawanti, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL VETERAN JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELITUS
TIPE 2 DAN GAGAL GINJAL KRONIS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun oleh :
NAMIROH DIMA ASH SHOLIHAT
1710221014

Telah disetujui dan disahkan oleh :


Dokter Pembimbing,

dr. Inggrid Widyawanti, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Hipoglikemia Pada Diabetes Melitus Tipe 2 dan Penyakit Ginjal Kronis. Laporan
ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu , dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Inggrid
Widyawanti, Sp.PD selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, November 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Depan ................................................................................................................. i


Lembar Pengesahan .......................................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................................. iii
Daftar isi ............................................................................................................................ iv
BAB I Pendahuluan .......................................................................................................... 1
BAB II Status Pasien ......................................................................................................... 4
II.1 Identitas Pasien ............................................................................................... 4
II.2 Anamnesis ...................................................................................................... 4
II.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 6
II.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 8
II.5 Resume ........................................................................................................... 12
II.6 Diagnosis ........................................................................................................ 13
II.7 Tatalaksana .................................................................................................... 13
II.8 Pengkajian ..................................................................................................... 14
II.9 Prognosis ........................................................................................................ 18
II.10 Follow Up .................................................................................................. 19
BAB III Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 22
III.1 Hipoglikemia ................................................................................................. 22
III.2 Diabetes Melitus ............................................................................................
III.3 Penyakit Ginjal Kronis ..................................................................................
BAB IV Pembahasan ........................................................................................................ 45
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 51

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Hipoglikemia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh menurunnya kadar


glukosa dalam darah sampai pada tingkat tertentu memberikan keluhan dan gejala.
Kejadian hipoglikemia tersering diakibatkan oleh penggunaan

5
BAB II
ILUSTRASI KASUS

II.1 Identitas Pasien

Nama : DI

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 61 tahun

Tempat, tanggal Lahir : 04 Desember 1956

Status Pernikahan : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl.Kepu Barat No. 222A RT 009/004


Tanggal masuk RS : 9 Juni 2016 11:30 WIB

II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alonanamnesis di Bangsal PU
lantai 4 ruang perawatan khusus RSPAD Gatot Subroto kepada pasien pada hari
Jumat, 20 Oktober 2017.

II.2.1 Keluhan Utama:

Pasien merasa lemas setelah setelah sebelumnya tidak sadar sekitar 60 menit
SMRS

II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang:

6
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keadaan
lemas setelah sebelumnya pasien tidak sadarkan diri. Keluarga pasien mengatakan
saat pasien tidak sadar, seluruh tubuh pasien mulai kaku seperti orang stroke, mata
pasien melotot tangan dan kaki pasien dingin dan berkeringat. Sebelum tidak sadar
pasien terlihat lemas dan berbicara meracau. Pasien mengaku merasakan pusing dan
lemas sebelum tidak sadar. Rasa lemas dan pusing berlangsung terus menerus dan
tidak berkurang dengan istirahat. Rasa sesak disangkal. Pasien memiliki sakit gula
dengan kadar gula darah sekitar 400 mg/dl, namun pasien rutin mengkonsumsi obat
dari dokter yang dikonsumsi setelah makan. Pasien hanya makan biskuit regal 3
keping pada sore harinya. Pasien memiliki penyakit darah tinggi dan mengonsumsi 1
jenis obat darah tinggi. Pasien juga memiliki sakit ginjal dari bulan Mei 2017 dan
telah rutin melakukan cuci darah seminggu 2 kali yaitu pada hari Selasa dan Jumat.
Pasien juga mengeluh kedua kakinya bengkak 2 hari smrs.

II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat sakit yang sama sebelumnya : diakui pada bulan Februari
2017
Riwayat sakit paru : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal

II.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat sakit yang sama pada keluarga : disangkal
Riwayat sakit paru : disangkal
Riwayat sakit jantung : diakui pada orang tua pasien
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal

7
Riwayat kencing manis : disangkal

II.2.5 Riwayat Pemakaian Obat :


Herbesser CD 1 X 200 mg
Candesartan 1 x 10 mg
Sangobion 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Vitamin B12 3 x 50 mg
Callos 3 x 500 mg
Glurenorm 1 x 15 mg

II.3 Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 20 Oktober 2017 jam 02.52 WIB)
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
o Tekanan darah : 200/100 mmHg
o Denyut nadi : 70 x/menit

o Pernapasan : 24 x/menit

o Suhu tubuh : 36,6 C per aksila

Antropometri:

o Berat Badan : 60 kg

o Tinggi Badan : 160 cm

o BMI : 23 (normoweight)

o Aspek Kejiwaan : Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses

berpikir wajar.

8
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Rambut : Distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
Hidung : Normosepta, Sekret -/-
Telinga : Sekret -/- , Membran timpani intak
Mulut : Bibir lembab, lidah tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis

Leher : tidak ada pembesaran KGB

Pemeriksaan Thoraks :

o Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada saat

statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus taktil dan vocal +/+

Perkusi : sonor kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki basah halus +/+,

wheezing -/-
o Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pulsasi
Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri dalam batas
normal

Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Pemeriksaan Abdomen:

o Inspeksi : simetris, supel

9
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Perkusi : shifting dullness (+)
o Palpasi : tes undulasi (+)
o Ekstremitas : edema tungkai +/+ , edema lengan -/-, akral hangat,
CRT < 2 detik, ulkus (-)

II.4 Pemeriksaan Penunjang


II.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
05/10/17 20/10/17
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 7,3 7,9* 13,0 18,0 g/dL
Hematokrit 23 24* 40 52%
Eritrosit 3,3 3,8* 4,3 6,0 juta/uL
Leukosit 7.830 21.940* 4.80010.800 /uL
Trombosit 202.000 449.000* 150.000400.000/uL
MCV 68 65* 80 96 fL
MCH 22 21* 27 32 pg
MCHC 32 33 32 36 g/dL
RDW 11,5 14,5 %
KIMIA KLINIK
Albumin 3,1 3,7 3.5 5.0 g/dL
Ureum 45 47 20 50 mg/dL
Kreatinin 4,7 6,4* 0,5-1,5 mg/dl
Glukosa darah
5* < 140 mg/dL
(Sewaktu)
Natrium (Na) 135 126* 135-147 mmol/L
Kalium (K) 3,3 3* 3.55.0 mmol/L
Klorida (Cl) 96 88* 95105 mmol/L
Aseton Negatif negatif
Analisa Gas Darah :
pH 7,302* 7.35 7.45
pCO2 15,2* 33 44 mmHg
pO2 190,8 71 104 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 7,6* 22 -29 mmol/L

10
Kelebihan basa (BE) -15,3* (-2) 3 mmol/L
Saturasi O2 99,6 94 98%

II.4.2 Pemeriksaan Rontgen Thorax (20 Oktober 2017)


Pemeriksaan radiografi Toraks proyeksi AP
o Posisi Asimetris
o Jantung kesan membesar
o Aorta klasifikasi. Mediastinum superior tidak melebar
o Trakea di tengah. Kedua hillus tidak menebal
o Corakan Bronkovaskular kedua paru baik
o Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapang paru
o Kedua hemidiafragma licin. Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri tertutup
bayangan jantung.
o Jaringan lunak dinding dada terlihat baik
o Tulang-tulang kesan intak
o CDL dengan tip distal setinggi korpus vertebra T8, proyeksi atrium kanan
Kesan:
o Kardiomegali dengan kalsifikasi aorta
o CDL dengan tip di proyeksi atrium kanan
o Tak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum, maupun emfisema subkutis

II.4.3 Pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras (20/10/2017)


o Tampak lesi slight hipodens berbatas tidak tegas di kortikal subkortikal lobus
temporal kiri.
o Tampak lesi hipodens berbatas relative tegas multiple kecil-kecil di
periventrikel lateralis kanan, subkortikal lobus parietal kanan, basal ganglia
kanan dan thalamus kiri.
o Tampak area hipodens di periventrikel lateralis kanan kiri, kornu anterior dan
posterior.

11
o Sulci-sulci kortikal kedua hemisfer serebri dan fissura Sylvii melebar dengan
gyri prominen
o Sistem ventrikel dan sisterna melebar
o Tidak tampak midline shift
o Kalsifikasi fisiologis di pleksus koroideus ventrikel lateral, basal ganglia
bilateral dan pineal body
o Tidak tampak kelainan didaerah CPA dan serebeli
o Tampak perselubungan sinus sphenoid sisi kanan (konfirmasi work station)
o Mastoid air cells dan sinus paranasal lainnya baik
o Orbita dan bulbus okuli kanan-kiri baik
o Tulang kepala intak
Kesan :
o Infark kortikal subkortikal lobus temporal kiri
o Multiple infark lakunar kronik di periventrikel lateralis kanan, subkortikal
lobus parietal kanan, basal ganglia kanan dan thalamus kiri
o Tidak tampak perdarahan di intraparenkim cerebri dan cerebelli
o Brain atrophy
o Sinusitis sphenoidalis kanan

II.5 Resume
Perempuan, 60 tahun, dibawa keluarga ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan
keadaan lemas setelah sebelumnya pasien tidak sadarkan diri. Keluarga pasien
mengatakan saat pasien tidak sadar, seluruh tubuh pasien mulai kaku seperti orang
stroke, mata eksoftalmus, tangan dan kaki pasien dingin dan berkeringat. Sebelum
tidak sadar pasien terlihat lemas dan berbicara meracau. Riwayat DM dengan kadar
gula darah sekitar 400 mg/dl, rutin mengkonsumsi obat glurenorm. Riwayat
hipertensi dengan obat captopril. Riwayat CKD dari bulan Mei 2017 dan rutin
melakukan hemodialisa seminggu 2 kali (Selasa dan Jumat)
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi stage III dan konjungtiva
anemis.

12
Dari pemeriksaan penunjang di dapatkan hipoglikemia, anemia mikrositik
hipokrom, erisitopenia, leukositosis, trombositosis, hiponatremia, hipokalemia, dan
hipokloridemia.

II.6 Daftar Masalah


1. Hipoglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2 dan Gagal Ginjal Kronis
2. Hipertensi Stage III
3. Anemia Mikrositik Hipokrom DD/ Anemia Penyakit Kronis
4. Hiponatremia
5. Hipokalemia

II.7 Pengkajian Masalah


1. Hipoglikemia metabolic dd/ cerebro vascular disease pada Diabetes
Melitus Tipe 2 dan Gagal Ginjal Kronis
o Anamnesis : lemas, pusing, keringat dingin, penurunan kesadaran,
riwayat DM tipe 2 dengan pengobatan glurenorm, riwayat gagal ginjal
kronis dengan hemodialisis
o Pemeriksaan Fisik : akral dingin, edema pitting pada kedua tungkai
o Pemeriksaan Penunjang : kadar gula darah 5 mg/dl (menurun), kadar
kreatinin 6,4 mg/dl (meningkat), kadar ureum (meningkat)
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan perlahan
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa jika GDS > 100 mg/dl (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejala dan penanganan sementara
hipoglikemia

13
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi sering untuk mencegah
hipoglikemia berulang
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan hb, ht, eritrosit, kreatinin,
ureum)

2. Hipertensi Stage III


o Anamnesis : riwayat hipertensi diakui dengan pengobatan Captopril
o Pemeriksaan Fisik : Tekanan darah 200/100 mmHg
o Pemeriksaan Penunjang : -
o Rencana Terapi :
Captopril
o Rencana Edukasi :
Menurunkan berat badan
Menurunkan asupan garam
Meningkat konsumsi buah dan sayuran, serta menunrunkan asupan
lemak.
o Rencana Monitoring :
Keadaan umum
Tanda vital (terutama tekanan darah)

3. Anemia Mikrositik Hipokrom DD/ Anemia Penyakit Kronis


o Anamnesis : Pasien mengeluh tubuhnya lemas. Lemas dirasakan terus
menerus dan tidak berkurang dengan istirahat.
o Pemeriksaan Fisik : konjungtiva anemis pada kedua mata

14
o Pemeriksaan Penunjang: hemoglobin 7,9 g/dl, hematocrit, 24 %, MCV 65
fL, MCH 21 pg
o Rencana Diagnostik: Pemeriksaan morfolgi darah tepi, serum iron,
ferritin, TIBC
o Rencana Terapi : -
o Rencana Edukasi:
Makan makanan yang bergizi
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Cek darah lengkap (terutama hemoglobin, hematocrit, eritrosit, MCV,
MCH, MCHC)

4. Hiponatremia
o Anamnesis: -
o Pemeriksaan Fisik: -
o Pemeriksaan Penunjang:
Hiponatremia, Na = 119 duplo mmol/L
o Rencana Pemeriksaan: -
o Rencana Terapeutik:
IVFD NaCl 3% 500cc /24jam

5. Hipokalemia
o Anamnesis: Pasien saat ini lemas.
o Pemeriksaan Fisik: -
o Pemeriksaan Penunjang:
Hipokalemia, K = 3,1 mmol/L
o Rencana Pemeriksaan: -
o Rencana Terapi:
o Rencana Monitoring: Observasi tanda-tanda hipokalemia

15
II.9. Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

II.10 Follow Up
Hari/Tanggal Hasil Pemeriksaan
Jumat, 20 Oktober 2017 jam S : Pasien selesai hemodialisa. Pasien merasa
16.00 lemas, keringat dingin, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 180/80 mmHg Nadi: 80 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36,2oC
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+

A:
Hipoglikemia pada DM tipe 2 dan Gagal Ginjal

16
Kronis
Hipertensi grade III

P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan
Hb, ht, eritrosit, kreatinin, ureum)
Sabtu, 21 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC

17
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang
Hipertensi grade III

P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia

18
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan
Hb, ht, eritrosit, kreatinin, ureum)
Senin, 23 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang

19
Hipertensi grade III

P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan Hb,
ht, eritrosit, kreatinin, ureum)
Selasa, 24 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC
Kepala : normocephal

20
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang
Hipertensi grade III

P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi

21
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan Hb, ht,
eritrosit, kreatinin, ureum)
Rabu, 25 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang
Hipertensi grade III

22
P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan Hb, ht,
eritrosit, kreatinin, ureum)
Kamis, 26 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-

23
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang
Hipertensi grade III

P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia

24
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan Hb, ht,
eritrosit, kreatinin, ureum)
Jumat, 27 Oktober 2017 S : Pasien masih merasa lemas, mual & muntah (-)
O: Compos mentis, tampak sakit sedang
TD: 160/90 mmHg Nadi: 85 x/menit
RR: 20 x/menit S: 36oC
Kepala : normocephal
Mata: konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
THT: dalam batas normal
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks:
Cor: Ictus cordis tidak terlihat, BJ I dan II regular,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi +/+,
wheezing -/-
Abdomen: Bising usus (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas: akral dingin dan berkeringat, edema
tungkai +/+
A:
Hipoglikemia berulang
Hipertensi grade III

25
P:
o Rencana Terapi :
Bolus intravena Dextrose 40 % 2 flakon
IVFD Dextrose 5 % 8 jam per kolf
Pemberian larutan gula pekat diminumkan
perlahan
Diet rendah garam
Furosemid 1 x 40 mg
Hemodialisa rutin (Selasa dan Jumat)
o Rencana Edukasi
Edukasi mengenai tanda, gejal dan
penanganan sementara hipoglikemia
Edukasi agar pasien makan sedikit tapi
sering untuk mencegah hipoglikemia
berulang
Edukasi agar diet rendah garam
o Rencana Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Pantau kadar gula darah per jam
Cek darah lengkap (terutama pemantauan Hb, ht,
eritrosit, kreatinin, ureum)

26
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Hipoglikemia
III.1.1 Definisi
Secara definisi, hipoglikemia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
menurunnya kadar glukosa dalam darah sampai pada tingkat tertentu memberikan
keluhan dan gejala.

III.1.2 Epidemiologi

III.1.3 Etiologi

III.1.4 Klasifikasi
American Diabetes Association and the Endocrine Society mengklasifikasikan
kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai berikut:

Tabel Klasifikasi Hipoglikemia

Hipoglikemia berat Kejadian hipoglikemia yang


membutuhkan bantuan dari orang lain
Hipoglikemia simptomatik Kadar gula darah plasma 70 mg/dl
disertai gejala klinis hipoglikemia
Hipoglikemia asimptomatik Kadar gula darah plasma 70 mg/dl
tanpa gejala klinis hipoglikemia
Hipoglikemia relative Gejala klinis hipoglikemia dengan
pengukuran kadar gula darah plasma 70
mg/dl
Probable Symptomatic Hypoglycemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa
pengukuran kadar gula darah plasma

27
III.1.5 Patofisiologi
III.1.6 Diagnosis
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipples triad:

1. Terdapat tanda dan gejala hipoglikemia


Pada tahap awal gejala yang timbul adalah respon pertama pada
penurunan glukosa, yaitu peningkatan hormon adrenalin/ephinephrine
yang mengaktivasi otonom sehingga muncul tanda seperti gemetar, kulit
lembap dan pucat, cemas, keringat berlebihan, rasa lapar, dan parastesia.
Gejala yang dapat dilihat adalah pucat, takikardia, widened pulse-pressure
Pada tahap lebih lanjut terjadi tanda dan gejala defisiensi glukosa pada
jaringan serebral seperti lemah, lesu, dizziness, bingung, sulit berpikir,
gangguan kognitif, pandangan kabur, dan diplopia. Gejala yang dapat
dilihat adalah hyponatremia, kejang, dan koma.

2. Kadar glukosa darah yang rendah bersamaan dengan munculnya gejala


klinis. Batas kadar glukosa rendah yang dapat disebut hipoglikemia masih
kontroversi Penentuan nilai batas tersebut tergantung dari cara
pemeriksaan kadar glukosa darah dan umur dari subjek yang diperiksa.
a. Cara pemeriksaan : Sampel darah yang diambil mempengaruhi hasil
yang didapatkan. Darah plasma dan serum tidak banyak berbeda.
Darah arteri akan memberikan hasil yang relatif lebih tinggi daripada
darah vena, terutama kadar glukosa post prandial (perbedaan sekitar
10 %) dan darah kapiler terletak diantaranya. Jika darah berasal dari
whole blood, pada pemeriksaan menggunakan glucometer dari darah
ujung jari misalnya, maka hasilnya 10-15% lebih rendah daripada
darah palsama vena.

28
b. Umur dari subjek yang diperiksa : Kadar glukosa darah puasa anak
lebih rendah dari dewasa. Sekitar 5% dari orang dewasa memiliki
kadar glukosa darah puasa < 70 mg/dL, sedangkan lebih dari 5% anak-
anak memiliki kadar glukosa darah puasa di bawah 60 mg/dL.

3. Keadaan klinis membaik segera setelah kadar glukosa plasma jadi normal
setelah diberi pengobatan dengan pemberian glukosa.

III.1.7 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya tujuan dari penatalaksaan adalah mengembalikan kadar
glukosa pada keadaan normal.
1. Hipoglikemia Ringan:
a. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa
(karbohidrat sederhana)
b. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk
karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif untuk
menaikkan glukosa darah.
c. Makanan yang mengandung lemak dapat
memperlambat respon kenaikkan glukosa darah.
d. Glukosa 1520 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan
hipoglikemia yang masih sadar
e. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus
dilakukan setelah 15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada
monitoring glukosa darah 15 menit setelah pengobatan hipoglikemia
masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
f. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai
normal, pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk
mencegah berulangnya hipoglikemia.
2. Hipoglikemia berat:
Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa

29
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan

dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.

a. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila


kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang

pemberian dextrose 20%.

b. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1- 2 jam kalau


masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat

diulang

c. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

III.2 Diabetes Melitus Tipe 2


III.2.1 Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin di hati dan di jaringan perifer,
sekresi insulin oleh sel beta pancreas, atau keduanya. Insiden dan prevalensi diabetes
melitus berkembang secara signifikan di seluruh dunia, terutama pada diabetes tipe 2.

III.2.2 Epidemiologi
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di Indonesia pada
tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Proporsi
diabetes melitus di Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT)
sebesar 29,9% dan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%.

III.2.3 Diagnosis
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma

30
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM :
Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2 jam <140 mg/dl.

31
2. Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl.


Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c 5,7-6,4%.

Gambar 1. Diagnosis DM Tipe 2 PERKENI 2011

III.2.4 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:
Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut

Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati dan makroangiopati.

32
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.

III.2.4.1 Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum


Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang
meliputi:
1. Riwayat Penyakit
Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan
berat badan.
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang
perawatan DM secara mandiri.
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital.
Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,
jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).

33
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
Pemeriksaan funduskopi.
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
Pemeriksaan jantung.
Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan
insulin).
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
Tes fungsi hati
Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
Tes urin rutin
Albumin urin kuantitatif
Rasio albumin-kreatinin sewaktu.

34
Elektrokardiogram.
Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas
belum tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier.

III.2.4.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

III.2.4.2.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
Materi tentang perjalanan penyakit DM.
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
Penyulit DM dan risikonya.

35
Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
Interaksi antara asupan makanan, aktivitasfisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
Pentingnya perawatan kaki.
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.

Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).

Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).


Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM.
Pemeliharaan/perawatan kaki. Elemen
perawatan kaki dapat dilihat pada tabel

Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus
maupun neuropati perifer.
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

36
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar
mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan
pada ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.

III.2.4.2.2 Terapi Nutrisi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
1. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:

a. Karbohidrat
karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).

37
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.

b. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:

o lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.

o lemak tidak jenuh ganda < 10 %.

o selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung


lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream.
Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

c. Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan
65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM
yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg
BB perhari.
d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <2300 mg perhari
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan

38
pengurangan natrium secara individual
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

e. Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
f. Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI).
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan
pemanis tak berkalori.
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari
makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.
2. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan
ideal adalah sebagai berikut:

39
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
o Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
Perhitungan berat badan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh
2
dapat rumus: IMT = BB(kg)/TB(m )
Klasifikasi IMT*
o BB Kurang <18,5
o BB Normal 18,5-22,9
o BB Lebih 23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

Jenis Kelamin Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25

kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.


Umur
o Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap
dekade antara 40 dan 59 tahun.
o Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan

40
istirahat.
o Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai
kantor, guru, ibu rumah tangga.
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer dalam keadaan latihan.
o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
Stres Metabolik
o Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
Berat Badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-
30% tergantung kepada tingkat kegemukan.
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk
wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Tetapi
pada kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan
sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.

III.2.4.2.3 Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45

41
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut . Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk
menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari- hari bukan
termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan
usia pasien.
Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training
(latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan
jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada
penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.

III.2.4.2.4 Terapi Farmakologis


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid

1. Sulfonilurea

42
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Karena efek utamanya itu, risiko terjadinya
hipoglikemi sangat tinggi. Sulfoniluera golongan pertama di
kontraindikasikan pada pasien yang menjalani dialysis.Glimepiride,
sulfonylurea golongan kedua dikontraindikasikan pada pasien dialysis
namun pada dosis rendah obat ini tidak bisa digunakan pada pasien
penyakit ginjal kronik.
2. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat

ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion

(TZD)

1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal, berdasarkan pengukuran CrCl,
plasma paruh metformin mengalami pemanjangan dan pembersihan ginjal
menurun sebanding dengan penurunan dalam CrCl. Oleh karena itu,
metformin harus dihindari pada pasien dengan sedang sampai berat. 16
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III- IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa

43
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Efek samping yang biasanya terjadi yaitu gangguan
gastrointestinal seperti flatus dan diare. Meskipun <2% dari dosis oral
acarbose diserap sebagai obat aktif, pasien dengan gangguan ginjal berat
(CrCl <25 mL / menit) mencapai kenaikan sekitar 5 kali lipat lebih tinggi
untuk konsentrasi peak plasma dari acarbose.16 Oleh karena itu,
penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR 30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV


sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah

(glucose dependent).

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,

Dapagliflozin, Ipragliflozin.

b. Obat Antihiperglikemi Suntik


1. Insulin
Untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin
kerja menengah (intermediate- acting insulin) atau kerja panjang (long-acting
insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah
makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin reguler/short-
acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting

44
insulin). Di pasaran, selain tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga
ada sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau
sangat cepat dengan insulin kerja menengah (disebut juga premixed insulin) .
Indikasi :
- Penurunan berat badan yang cepat
-
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
-
Ketoasidosis metabolic
-
Hiperglikemia hyperosmolar non ketotik
-
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
-
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hamper max
-
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
-
Kehamilan dengan DM
-
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
-
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Tabel . Farmakokinetik sediaan insulin yang umum digunakan

45
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic Pengobatan dengan dasar

peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan


DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan
mungkin menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
c. Terapi kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang

46
berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa
darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien
yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia

oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi obat antihiperglikemia oral

dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat


antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan.

47
Gambar . Target organ dan mekanisme obat antidiabetik

Gambar . Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia

48
Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2 dibagi menjadi :
Komplikasi Akut

Ketoasidosis diabetik

Hiperosmolar non ketotik

Hipoglikemia
Komplikasi Kronik
o Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
o Mikroangiopati
Nefropati diabetic
Retinopati diabetic
o Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjaidnya ulkus kaki dan
amputasi.

III.3 Gsgal ginjal kronik


III.3.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan abnormal pada struktur dan fungsi
ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih dengan implikasi pada kesehatan dan
diklasifikasikan berdasarkan etiologi, kategori LFG dan kategori albuminuria.

III.3.2 Manifestasi klinis


Pada penyakit ginjal kronik timbul manifestasi klinis seperti lemas, mual,
muntah, sesak nafas, BAK berkurang, konjungtiva anemis, edema tungkai atau
palpebra, tanda bendungan paru. Sindrom uremia terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikaditis, kejang-kejang sampai koma.

49
Anemia terjadi pada 80 90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal yang ikut
berperan terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan
saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik.

III.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi
konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal
kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi KDIGO, 2012 :

Tabel Kategori CKD

III.3.4 Diagnosis
Terdapat tanda kerusakan ginjal (satu atau lebih) selama 3 bulan 19 :
Albuminuria (AER 30 mg / 24 jam; ACR 30 mg / g [3
mg/mmol])
Kelainan sedimen urine
Elektrolit dan kelainan lain karena gangguan tubular
Kelainan terdeteksi oleh histologi
Kelainan struktural terdeteksi oleh pencitraan
Riwayat transplantasi ginjal

GFR <60 ml/min/1.73 m2 (GFR categories G3aG5)

50
III.3.5 Tatalaksana
III.3.5.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat

III.3.5.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara
lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.

III.3.5.3 Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
ini adalah:

III.3.5.4 Pembatasan Asupan Protein.


Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt,
sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 0,50 gr diantaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35
kkal/kgBB/hari. Ddibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda

51
dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain , yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen
dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Dengan demikian pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah supan
protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

III.3.5.5 Terapi Farmakologis.


Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi,
disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko.kardiovaskular juga sangat penting
untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa
pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan
hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait
dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat
proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat
mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

52
Tabel . Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik7

III.7 Terapi Obat Antidiabetik Pada Penyakit Ginjal Kronik


Pasien dengan tingkat EGFR, 60 mL / menit / 1,73 m2 lebih rentan terhadap
hipoglikemia karena penurunan clearance agen hipoglikemik dan penurunan
glukoneogenesis oleh ginjal. Dengan demikian, penyesuaian dosis diperlukan untuk
agen hipoglikemik bila digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik.

Tabel . Rekomendasi dosis obat noninsulin antihiperglikemik agen pada Penyakit


Ginjal Diabetik

53
54
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien wanita, 60 tahun diantar keluarga ke IGD setelah

55
DAFTAR PUSTAKA

1. PB PAPDI. 2005. Diabetes Melitus. Pedoman Pelayanan Medik. Hal. 9-


15. Interna Publishing : Jakarta
2. Diabetic Kidney Disease: A Report From an ADA Consensus Conference
Diabetes Care 2014;37:28642883
3. Toth-Manikowski dan M. G. Atta. 2015. Review Article Diabetic Kidney
Disease: Pathophysiology and Therapeutic Targets. Hindawi Publishing

Corporation Journal of Diabetes Research Vol. 2015.

4. Cavanaugh KL. 2007. Diabetes Management Issues for Patients With


Chronic Kidney Disease. Clinical Diabetes Vol. 25 number 3.
5. PB PAPDI. 2005. Gagal Ginjal Kronik. Pedoman Pelayanan Medik. Hal.
157-159. Interna Publishing : Jakarta
6. Aslam M., Tan CK., Prayitno A. 2004. Farmasi Klinis: Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien., PT Elex Media
Kompusindo Kelompok Gramedia., Jakarta.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
8. National Kidney Foundation KDOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification
Cardiovasculer Disease in Dialysis Patient. (2012). New York: NKF. Am
J Kidney Dis 39 (2 suppl 1) : S1-S266.
9. PB PAPDI. 2005. Tuberkulosis Paru. Pedoman Pelayanan Medik.
Hal.109-111. Interna Publishing : Jakarta
10. PB PAPDI. 2005. Hipertensi. Pedoman Pelayanan Medik. Hal.169-170.
Interna Publishing : Jakarta
11. Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/15_184Pilihanobatdiabetes.pdf

56
(diakses pada 29 Juni 2016 19:00)
12. Eliana, F. PENATALAKSANAAN DM SESUAI KONSESNSUS
PERKENI 2015

13. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013

14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI.
Jakarta. 2015
15. Diltiazem http://www.medscape.com/viewarticle/757659 (Diakses 17 Juli
2016 19:00)
16. Abe M, Okada K, Som M. 2011. Antidiabetic Agents in Patients with
Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease on Dialysis:
Metabolism and Clinical Practice. Current Drug Metabolism.Vol. 12, No.
1.
17. Diabetic Kidney Disease: A Report From an ADA Consensus Conference
Diabetes Care 2014;37:28642883
18. Target organ dan mekanisme obat antidiabetik
http://www.nature.com/nrendo/journal/v12/n6/fig_tab/nrendo.2016.51_F1
.html (Diakses pada 17 Juli 2016 18:30)
19. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease
http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/CKD/KDIGO_201
2_CKD_GL.pdf (Diakses pada tanggal 9 Juli 2016 pukul 13:55)

57
58

Anda mungkin juga menyukai