Anda di halaman 1dari 56

Laporan Khasus

SYOK SEPSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Program Internship

Di RS Djatiroto Lumajang

Disusun Oleh :

dr. William Bordus Dickison Victor Prayogi

Pembimbing :

dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS DJATIROTO LUMAJANG
JAWA TIMUR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. William Bordus Dickison Victor Prayogi

No. STR : 2011100122252129

Fakultas : Kedokteran Universitas Batam

Tingkat : Program Dokter Internsip

Bagian : Rawat Inap

Bidang Pendidikan : Penyakit Dalam

Periode Internsip : 16 Mei 2022 – 16 Mei 2023

Judul Laporan Kasus : Syok Sepsis

Telah diperiksa dan disetujui tanggal : 1 Juli 2022

Bagian ilmu penyakit dalam RSU Djatiroto Lumajang, Jawa Timur

Mengetahui,

Kepala Rumah Sakit RSU Djatiroto Lumajang

Dokter Pendamping Internship Pembimbing,

dr. Ratih Puspita Wulandari dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke Tuhan yang Maha Esa karena telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Syok Sepsis”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas saat
mengikuti Program internship RSU Djatiroto Lumajang, Jawa Timur.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd


selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini, serta dokter pendamping internship dr. Ratih Puspita Wulandari yang
telah memberikan masukan dan teman- teman yang membantu dalam penulisan
laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan
semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Djatiroto, 14 Juli 2022

Penulis,

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi.................................................................................................1
1.2 Anamnesis..................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik (tgl 29 Juni 2022).........................................................2
1.4 Gambaran Fisik..........................................................................................4
1.5 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................5
1.6 Diagnosis Kerja..........................................................................................9
1.7 Penatalaksanaan IGD.................................................................................9
1.8 Penatalaksanaan DPJP...............................................................................9
1.9 Follow Up Harian....................................................................................11

BAB I
A. PENDAHULUAN....................................................................................16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA SEPSIS.........................................................................17
2.1. DEFINISI...............................................................................................17

2.2. EPIDEMIOLOGI...................................................................................19

2.3. ETIOLOGI.............................................................................................20

2.4. PATOFISIOLOGI.................................................................................20

iv
2.5. DIAGNOSIS..........................................................................................23

2.6. TATALAKSANA..................................................................................27

2.7. PROGNOSIS...........................................................................................4

TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA

2.1. DEFINISI...............................................................................................33

2.2. ETIOLOGI.............................................................................................34

2.3. PENEGAKAN DIAGNOSA.................................................................35

2.4. PENILAIAN DERAJAT KEPARAHAN..............................................35

2.5. MANAJEMEN TERAPI.......................................................................37

BAB III PEMBAHASAN MASALAH...............................................................40

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

v
LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi
Nama : Mr. S
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 62 tahun
Alamat : Jatiroto
Pekejaan : Petani
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 29 Juni 2022 – 4 Juli 2022

1.2 Anamnesis

Keluham Utama :
Penurunan Kesadaran

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien penurunan kesadaran sejak pukul 09.00WIB tadi pagi sepulang


dari sawah. Menurut keluarga pasien seperti mengantuk dan badan sangat
lemas. Pasien juga mengeluhkan badan seperti meriang keringat dingin.
Sejak tadi pagi pasien tidak makan. Pasien juga mengeluhkan terdapat
luka lecet pada tanggal 28 Juni 2022. Mual (-), Muntah (-), nyeri dada (-),
pingsan (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat diabetes mellitus (+) dan tidak terkontrol


• Riwayat darah tinggi disangkal
• Riwayat penyakit astma disangkal

1
• Riwayat minum OAT disangkal
• Riwayat Vaksin Cov-19 disangkal
• Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita sudah menikah. Penderita bekerja sebagai petani. Status


social ekonomi cukup

1.3 Pemeriksaan Fisik (29 Juni 2022)


Keadaan Umum
• Keadaan Umum : tampak lemah gelisah
• Kesadaran : apatis (gcs 3-4-5)
• Tekanan darah : 50 / palpasi
• Nadi : tidak teraba
• Penafasan : 40 x/menit
• Suhu : 37,0 oC
• SpO2 : 99 % roomair
• GDA : 82 mg/dl
Pemeriksaan Fisik
 Kepala dan Leher
Bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, perdarahan temporal tidak
ada, dan nyeri tekan tidak ada. Pembesaran kelenjat getah bening tidak
ada, hipertrofi otot sternokleidomastoideus tidak ada, JVP
(5+2)cm,nafas cuping hidung tidak ada.

2
 Dada
Bentuk thorax normal simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi dinding thorax (-)
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (-) normal, ronkhi basah halus (+) di
paru sebelah kanan, wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.


Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea aksilaris
anterior sinistra ICS VI
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung linea sternalis dextra ICS VI
Batas kiri jantung linea aksilaris sinistra ICS
VI
Auskultasi : HR: 60 x/m, regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium
(-),Hepatomegali (-).
Perkusi : timpani, ascites (-)
 Genital : TDP
 Ekstremitas : Edema tungkai (-), terdapat luka gores pada tangan

3
sebelah kiri sebesar 3 cm, akral dingin (+)
1.4 Gambaran Fisik

4
1.5 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan EKG

5
 Pemeriksaan Radiologi

Foto thorax AP view, posisi supine, simetris, inspirasi dan kondisi


cukup, hasil :
- Tampak konsolidasi inhomogen di paracardial dekstra
- Tak tampak penebalan pleural space bilateral
- Kedua diafragma licin, tak mendatar
- Cor, CTR < 0,56
- Sistema tulang yang tervisualisasi intak

6
Kesan :
- Mengarah gambaran pneumonia dekstra
- Besar cor normal

7
 Pemeriksaan Laboratorium

8
9
10
1.6 Diagnosa Kerja
Obs Penurunan Kesadaran + Susp. Syok Sepsis + Pneumonia + ISK + MODS
1.7 Penatalaksanaan IGD
 O2 NRBM 15 lpm
 IUVD NS 500 cc/2 jam loading (TD tetap 50 / palpasi )
 Lanjut IUVD NS 500 cc/2 jam
 NoreEphinephrine pump mulai 100 nano
 Pemasangan DC (+)
1.8 Advis DPJP
 NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg
 Loading ulang NS 500 cc/jam
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg

11
1.9 Follow Up Harian

Rabu, 29 Juni 2022


S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 60/palpasi mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 115 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 26x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36,5oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral Dingin (+) di keempat
GDA : mg/dL akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP>
60 mmHg
 Loading ulang NS 500 cc/jam
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg

12
Kamis, 30 Juni 2022
S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 105/50 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 100 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 28x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36,9oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral Dingin (+) di keempat
GDA : mg/dL akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 Kombinasi dopamine 7 nano,titrasi up

Jumat, 1 Juli 2022

13
S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 119/57 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 110 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 25x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral hangat (+) di keempat
GDA : mg/dL akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  NRBM 10 lpm
 Pump NE mulai dari 200 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60
mmHg
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 Inf. Paracetamol 3x1 gram (k/p)
 Cavicur 3x1
 Memucil 3x 600 mg

14
Sabtu, 2 Juli 2022
S badan lemas (+), napas mulai membaik, batuk berkurang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 94/62 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 79 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
GDA : mg/dL akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  O2 nasal canul 3-4 lpm
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 NE pump tap off tiap 4 jam

15
Minggu, 3 Juli 2022
S mulai membaik, batuk berkurang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 110/71 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 82 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  O2 nasal canul 3-4 lpm
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg

16
Minggu, 3 Juli 2022
S Tidak ada keluhan
O KU: cukup K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 100/70 mmHg p/ ves (+/+), ves (-/-),
HR: 80 x/mnt rhonki halus (-/-),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri

A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS


P
KRS
 Starces 2x200mg
 Moxifloxacin 1x400 mg
 Omeprazole 2 x 20 mg
 L-core 1x1

17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUAN

Syok adalah syndrome klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi


kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan penurunan
perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Banyak
hal yang dapat menyebabkan terjadinya syok, terutama adanya infeksi yang
menyerang tubuh penderita.

Sepsis merupakan suatu keadaan dimana terjad disfungsi organ yang


mengancam nyawa diakibatkan karena disregulasi respon tubuh terhadap
infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau fungi. Salah satu
sistem organ penting yang sering terkena dampak oleh sepsis adalah sistem
kardiovaskular. Dilaporkan lebih dari 3000 kasus dalam 5 dekade terakhir
dalam studi klinis mengenai adanya komplikasi kardiovaskular pada sepsis.

Syok Septik adalah sepsis yang disertai dengan hipotensi (tekanan


sistolik <90 mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Keterlambatan diagnosis dan penanganan syok
septik yang kurang tepatmenyebabkan angka kematian masih tinggi dengan
insidens yang cenderung terus meningkatsetiap tahunnya. Hal ini
mengharuskan para klinisi memiliki pemahaman tentang etiologi, patofisiologi,
dan penatalaksanaan syok septik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SYOK SEPSIS

2.1. DEFINISI

Beberapa konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, sepsis berat, dan


syok septik. Pertama, pada tahun 1991 the American College of Chest
Physicians and Society of Critical Care Medicine (ACCP/ SCCM) mengajukan
konsep SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik. Kriteria SIRS meliputi:

1) suhu tubuh >38◦C atau <36◦C per oral;


2) frekuensi nadi >90 kali/menit;
3) frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg;
4) jumlah leukosit>12.000/µL atau <4.000/ µL atau >10% bentuk imatur
(batang).
Sekurangnya dua dari empat kriteria di atas harus terpenuhi untuk
mendefinisikan SIRS. Meskipun SIRS sering terjadi karena infeksi, keadaan
non-infeksi seperti luka bakar, pakreatitis akut, dan trauma, dapat juga
menyebabkan SIRS. Kriteria di atas tidak memasukkan penanda biokimia,
seperti C-reactive protein (CRP), prokalsitonin, atau inter- leukin (IL)-6, yang
sering meningkat pada sepsis. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang disertai
infeksi yang terbukti atau dicurigai. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai
dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, seperti menurunnya fungsi ginjal,
hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis
dengan perfusi abnormal dan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
menurun >40 mmHg di bawah tekanan darah dasar (baseline) pasien tersebut
atau tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) selama sekurang-kurangnya 1 jam
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, atau sepsis yang
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik

19
tetap ≥90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥70 mmHg. Peningkatan laktat
serum menjadi tanda hipoperfusi jaringan dan syok septik.
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional diselenggarakan
oleh SCCM, the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), the
American College of Chest Physicians (ACCP), the American Thoracic Society
(ATS), dan the Surgical Infection Society (SIS). Konferensi ini masih tetap
menggunakan definisi di atas, selain itu mengembangkan konsep sistem
penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah yang disebut
PIRO. Huruf P mewakili predispo- sisi, mengindikasikan faktor-faktor yang
memengaruhi pasien terhadap terjadinya sepsis meliputi faktor genetik,
lingkungan, dan kondisi komorbid. Huruf I mewakili infeksi, termasuk lokasi
infeksi, sumber infeksi, dan jenis organisme. Huruf R mewakili respon terhadap
adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf O mewa- kili disfungsi organ,
termasuk kegagalan sistem organ seperti sistem koagulasi.
Definisi baru untuk sepsis dan syok septik telah direkomendasikan oleh
SCCM/ ESICM dalam konsensus internasional ke-3 (Sepsis-3) pada tahun
2016. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa,
disebabkan oleh ketidakmampuan respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi
organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut sebagai konsekuensi infeksi
yang dirumuskan dalam skor sequential (sepsis related) organ failure
assessment (SOFA) ≥2 Penekanan pada disfungsi organ yang mengancam jiwa
konsisten dengan pandangan bahwa cacat seluler mendasari kelainan fisiologik
dan biokimia sistem organ spesifik. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko
mortalitas rata-rata 10% untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
tersangka infeksi. Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi
peredaran darah dan selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian. Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara
klinis yaitu sepsis dengan disertai hipotensi menetap yang membutuhkan
vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan arteri rata-rata ≥65 mmHg dan
konsentrasi laktat darah >2 mmol/L (>18 mg/dL) meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Risiko mortalitas pasien yang dirawat menjadi
>40%

2.2. EPIDEMIOLOGI

Menurut jurnal NCBI tahun 2017 pada negara-negara yang berpenghasilan


tinggi terdapat 31,5 juta kasus sepsis dan 19,4 juta kasus sepsis berat terjadi
secara global setiap tahun, dengan potensi 5,3 juta kasus kematian setiap tahun.
Angka-angka ini hanyalah perkiraan karena pengetahuan tentang kejadian dan
kematian sepsis di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah masih
langka karena sedikitnya data dan sulitnya menghasilkan perkiraan tingkat
populasi di wilayah ini.

Studi epidemiologi kontemporer dari negara-negara berpenghasilan tinggi


menunjukkan tingkat insiden yang tinggi dari sepsis yang dirawat di rumah
sakit, mulai dari 194 per 100.000 penduduk di Australia pada tahun 2003 ,
hingga 580 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 2006. Di
Jerman, insiden kasus sepsis yang dirawat di rumah sakit antara tahun 2007 dan
2013 meningkat dari 256 menjadi 335 kasus per 100.000 penduduk; proporsi
pasien dengan sepsis berat meningkat dari 27% menjadi 41%

Sepsis dan sepsis berat merupakan penyebab utama kematian pada pasien
kritis yang dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) di Amerika Serikat.
Penelitian metaanalisis oleh Jawad ed al mendapatkan bahwa insiden sepsis
dalam populasi berkisar 22-240 kasus per 100.000 orang, sepsis berat 13-300
kasus per 100.000 orang dan syok septik sebanyak 11 orang per 100.000 orang
dengan anga kematian mencapai 30% untuk sepsis, 50% untuk sepsis berat, dan
80% untuk syok septik.

21
2.3. ETIOLOGI

Masuknya mikroba ke aliran darah bukan merupakan sesuatu yang


mendasar terhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal dengan
penyebab bakteri yang menghasilkan produk patogen seperti eksotoksin, dapat
juga memicu respon inflamasi sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ
di tempat lain dan hipotensi. Kultur darah yang positif hanya ditemukan pada
sekitar 20-40% kasus sepsis berat dan persentasenya meningkat seiring tingkat
keparahan dari sepsis, yaitu mencapai 40- 70% pada pasien dengan syok septik.
Bakteri Gram negatif atau positif mencakup sekitar 70% isolat, dan sisanya
ialah jamur atau campuran mikroorganisme. Pada pasien dengan kultur darah
negatif, agen penyebab sering ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan
mikroskopik dari bahan yang berasal dari fokus infeksi.

Sepsis berat terjadi sebagai akibat dari infeksi yang didapat dari komunitas
dan nosokomial. Pneumonia ialah penyebab paling umum, mencapai setengah
dari semua kasus, diikuti oleh infeksi intra- abdominal dan infeksi saluran
kemih. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae ialah bakteri
Gram positif paling sering, sedangkan Escherichia coli, Klebsiella spp, dan
Pseudomonas aerugi- nosa predominan di antara bakteri Gram negatif.
Faktor risiko untuk terjadinya sepsis dan syok sepsis meliputi pasien yang
masuk ruang intensif dengan infeksi nosokomial, usia lanjut diatas 65 tahun,
bakteremia, kondisi imunosupresi seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes
mellitus, penyakit autoimmune, AIDS, penggunaan obat imunosupresan yang
berkepanjangan, dan faktor genetik. Penyebab sepsis sangat beragam, dan
petunjuk klinis dalam berbagai sistem organ cukup membantu dalam
pemeriksaan dan diagnosis yang tepat. Hal ini juga sangat penting untuk dapat
membedakan antara penyebab demam yang infeksi dan bukan infeksi pada
pasien sepsis (Dimopoulos & Falagas, 2009). Sumber infeksi dapat berbagai
macam asal antara lain kulit atau jaringan lunak, luka, saluran pernafasan,

22
saluran pencernaan, sistem saraf pusat, pemasangan akses intravena maupun
kateter (Cunha, 2007), tulang, sendi, dan saluran kemih (Levy et al., 2013).

2.4. PATOFISIOLOGI

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi


awal dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan
kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular,
vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan
metabolisme akan menyebabkan ketidak seimbangan antara penghantaran
oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia
jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien dengan syok dapat berupa
penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok
merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi
dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan
neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya
meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan
disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive
oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eikosanoid.Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-
1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses
fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.

23
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses
tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular,
trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan
terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global. (Keterangan
lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini)

Gambar 1.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,


trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi

24
2.5. DIAGNOSIS

Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan


Society of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus
mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis
berat, dan syok septic.

Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ Ul

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septic Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi


yang adekuat (sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah
sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau
penurunan >40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik
yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20
sampai 40 mL/kg).

Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasar kan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991.

Pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care


Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ
failure assessment (SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan
seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari
skor SOFA ini adalah:

25
1) Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ
dan hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2) Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

Sistem Sko
r
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FIO2, ≥40 <400 <300 <200 (26,7) <100 (13,3)
mmHg (kPa) 0 (53,3) (40) dengan bantuan dengan bantuan
(53, alat respi- alat respirasi
3) Rasi
Koagulasi
Trombosit, ≥15 <150 <100 <50 <20
×103/Μl 0
Hati
Bilirubin, <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 ≥12,0
mg/Dl (<20) (20-32) (33-101) (102-204) (≥20
(μmol/L) 4)
Kardiovaskular
MAP ≥70 MAP <70 Dopamin Dopamin Dopamin
mmHg MmHg ≤5 atau 5,1-15 atau >15 atau
dobutami epinefrin epinefrin
n (semua ≤0,1 atau >0,1 atau
dosis)b norepinefrine norepinefrine
≤0,1b >0,1b
Sistem saraf
pusat
Skor Glasgow 15 13-14 10-12 6-9 <6
Coma Scalec
Ginjal
Kreatinin, mg/Dl <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
(μmol/L) (110) (110- (171- (300- (440)
170) 299) 440)
Urine output, <500 <200
mL/hari
Tabel 2. Skor sequential organ failure assessment (SOFA)
Keterangan: FIO2 = fraction of inspired oxygen, MAP = mean arterial pressure,
PaO2 = partial pressure of oxygen

Komponen penilaian SOFA meliputi enam sistem organ utama, yaitu


pernapasan, renal, hepar, hematologi, sistem saraf pusat, dan kardiovaskular

26
(Tabel 2). Kondisi disfungsi ogan direpresentasikan oleh peningkatan nilai total
skor SOFA ≥ 2

Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi


sepsis segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan
skoring qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-
related) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga
komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu (Tabel 3). Skor qSOFA
≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor qSOFA direkomendasikan
untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih
dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan
uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA (Gambar).

Kriteria Qsofa Poin

Laju pernapasan ≥ 22x/menit 1

Perubahan status mental/kesadaran 1

Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

Tabel 3. Skor quickSOFA

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.

27
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Selanjutnya,
trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan
fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi
setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

2.6. TATA LAKSANA

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM
dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines
pertama kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan
2012. Pada bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines
dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical
Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana didapatkan banyak
perkembangan baru pada revisi yang terbaru. Komponen dasar dari penanganan
sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis
(kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis,
transfusi) dan pencegahan infeksi.

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:


1) Stabilisasi pasien langsung Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan
dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri  pada pasien

28
hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.
2) Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme Perlu segera perawatan
empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum
aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial
diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).

Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi
yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif
dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan
mencakup airway, breathing, circulation; oksigenasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter
vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP)
8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.

1) Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi
maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat
keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan
curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke
jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan

29
upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

2) Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan
baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

3) Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi
untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk
vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit,
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin

30
0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan
milrinon).

4) Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien sepsis dimulai dengan terapi awal
dengan menggunakan antibiotik empiris broad spectrum, sebelum hasil
kultur didapatkan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
pasien.Setelah hasil kultur didapatkan, terapi di evaluasi kembali,
selanjutnya dilakukan pengurangan jumlah regimen ataupun
ditambah.Antibiotik broad spectrum mengacu pada antibiotik bagi
Pseudomonas aeruginosa, seperti imipenem–cilastatin, piperasilin-
tazobaktam, ceftazidim atau ciprofloxacin. Sementara antibiotik
berspektrum sempit mengacu pada antiotik β-laktam tanpa aktivitas
terhadap P. Aeruginosa, seperti ceftriaxone dan amoxicillin-klavulanat

5) Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada
hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi
plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6) Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan
secara parenteral.

2.7. PROGNOSIS

31
Pada dasarnya prognosis sepsis bergantung kepada seberapa cepat sepsis
terdiagnosa serta seberapa cepat penanganan yang diberikan, namun pada
umumnya buruk. Luaran pasien sepsis juga sangat bergantung kepada usia,
imunitas, penyebab awal infeksi, serta kegagalan organ yang terjadi. Sebagian
besar pasien sepsis berakhir juga dengan disfungsi multi organ yang secara
progresif berkembang menjadi disfungsi organ lainnya, dan mengalami
kecatatan.Dari data hasil penelitian lainnya juga diperoleh data bahwa mereka
yang selamat dari sepsis cenderung mengalami cacat fisik, psikologis, dan
kognitif jangka panjang.Sekita 30-50% pasien sepsis meninggal dan kejadian
fatal lebih diakibatkan oleh factor-faktor seperti usia lanjut, neutropenia, dan
penyakit yang sudah ada sebelum daripada akibat infeksi spesifik. Angka
kematian masih cukup tinggi juga terutama pada syok septik. Pada keadaan ini
angka kematian berkisar 40- 70%,bila telah disertai dengan gagal organ
berganda seperti shock lung, gangguan fungsi ginjal kematian dapat mencapai
90-100%.

PNEUMONIA
2.1. DEFINISI PNEUMONIA

32
Definisi CAP menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA)
adalah infeksi akut parenkim paru yang ditandai dengan terdapatnya infiltrat
baru pada foto toraks atau ditemukannya perubahan suara napas dan atau
ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru yang konsisten dengan
pneumonia pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah sakit atau tempat
perawatan lain dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala. Definisi yang
lebih lengkap diberikan oleh BTS yaitu timbulnya gejala infeksi saluran napas
bawah yaitu: batuk ditambah minimal satu gejala infeksi saluran napas bawah
lain; perubahan hasil pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari tanda
sistemik (berkeringat,demam, menggigil,dan atau suhu ≥380C); respons setelah
pemberian antibiotik.
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia dibagi menjadi:

a. Pneumonia komunitas (community acquired pneumonia)


b. Pneumonia nosokomial (hospital acquired pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada pasien immunocompromised

Berdasarkan predileksi infeksi, pneumonia dibagi menjadi:

a) Pneumonia lobaris
b) Bronkopneumonia
c) Pneumonia interstisial

2.2. ETIOLOGI PNEUMONIA

33
Beberapa penelitian prospektif yang dilakukan untuk meneliti etiologi
CAP gagal mengidentifikasi kuman penyebab pada 50 persen kasus. Beberapa
kuman penyebab yang paling banyak ditemukan adalah Streptococcus
pneumonia yang menjadi penyebab pada dua pert tiga kasus pneumonia.
Beberapa kuman penyebab lain yaitu Haemophilus influenza, Klebsiella
pneumonia, staphylococcus aureus,Pseudomonas spp, Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia, Moraxella catarrhalis, Legionella dan virus influenza.
Mycoplasma, Chlamydia, Moraxella dan Legionella merupakan kuman
atypical. Beberapa kuman terbanyak penyebab CAP terlihat pada tabel di
bawah ini:

Tipe Pasien Etiologi


1 Rawat jalan S. pneumonia
H. influenza
M.pneumoniae
Chlamydia
Respiratory virus

2 S. pneumonia
Rawat inap (non ICU)
H. influenza
M.pneumoniae
Chlamydia
Legionella Sp
Respiratory virus
aspirasi

3 Rawat inap (ICU) S. pneumoniae


Staphylococcus aureus
Legionella species
Gram-negative bacilli
H. influenza
2.3. PENEGAKAN DIAGNOSIS

34
Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
 Batuk-batuk bertambah
 Sesaknapas
 Perubahan karakteristik dahak / purulen
 Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
 Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500

Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum serta fungsi hati dilakukan
untuk menetukan derajat keparahan CAP
2.4. PENILAIAN DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT

Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor


yaitu CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age
65 years or greater) seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini:

C U R B 65
RESPIRATORY
CONFUSION UREA BP Umur >65
RATE
MSQ<8/10 >7mmol/l >30/menit <90mmHg
(sistol)
Atau
<60 mmHg
(diastole)

*skor 1 untuk masing- masing poin

Adanya:
· Penurunan kesadaran
· Urea> 7mmol/L
· Laju pernapasan ≥ 30 x per menit 35
· Tekanan darah (sistolik < 90 mm Hg atau
diastolik ≤ 60 mm Hg)
· Usia ≥ 65 tahun
0 atau 1 2 3 atau lebih

Derajat
keparaahan
Total Score
Kelompok 1Derajat Kelompok 2 Kelompok 3 Derajat
Rendah Derajat Sedang Tinggi

Pilihan
Terapi Rawat Jalan Pertimbangkan rawat inap  Penatalaksanaan rawat
.Pilihan termasuk: inap sebagai pneumonia
berat
 Rawat Inap
 Pertimbangkan rawat
 Rawat jalan dengan
ICU bila skor CURB 65
evaluasi
= 4 ATAU 5

2.5. MANAJEMEN TERAPI

Terdapat berbagai macam manajemen terapi untuk pasien CAP. Stratifikasi


penatalaksanaan pasien CAP menurut American Thoracic Society
a. Pasien Rawat Jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
a) Istirahat di tempat tidur

36
b) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
d) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian Antibiotik tanpa penyakit penyerta:
a) Amoxicillin 1 gram tiga kali dalam sehari atau
b) Doxycycline 100 mg dua kali dalam sehari atau
c) Macrolide (azithromycin 500 pada hari pertama kemudian 250 mg
untuk selanjutnya atau clarithromycin 500 mg dua kalidalam sehari)
Pemberian Antibiotik pada pasien dengan penyakit penyerta
a) Kombinasi
 amoksisilin/klavulanat 500 mg/125mg tiga kali sehari, atau
amoksisilin/ klavulanat 875 mg/125 mg dua kali sehari, atau
2.000 mg/125 mg dua kali sehari, atau sefalosporin(cefpodoxime
200 mg dua kali sehari atau cefuroxime 500 mg dua kali sehari);
DAN
 makrolida (azitromisin 500 mgpada hari pertama kemudian 250
mg setiap hari, klaritromisin [500 mg dua kali sehari ]), atau
doksisiklin 100 mg dua kali sehari; ATAU
b) Monoterapi
fluorokuinolon(levofloxacin 750 mg setiap hari, moksifloksasin 400
mg setiap hari, atau gemifloxacin 320 mg setiap hari)

b. Pasien Rawat Inap diruang rawat biasa


Pengobatan suportif / simptomatik
a) Pemberian terapi oksigen
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotik
a) terapi kombinasi dengan b-laktam (ampisilin1sulbaktam 1,5–3 g

37
setiap 6 jam, sefotaksim 1-2 g setiap 8 jam, seftriakson 1-2 g setiap
hari, atau ceftaroline 600 mg setiap 12 jam) dan makrolida
(azitromisin 500 mg setiap hari atau klaritromisin 500 mg dua kali
sehari) atau
b) monoterapi dengan pernafasan fluoroquinolone (levofloxacin 750 mg
setiap hari, moksifloksasin 400 mg setiap hari) Pasien rawat inap di

c. Ruang Rawat Insentif


Pengobatan suportif / simptomatik
a) Pemberian terapi oksigen
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit
c) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotik
a) antibiotik β-laktam ditambah dengan golongan makrolide atau
b) β-laktam dikombinasikan dengan golongan fluoroquinolone

Pasien CAP selain mendapat terapi kausatif, terapi suportif juga diperlukan.
Terapi suportif pada pasien pneumonia dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Terapi O2 untuk mendapat PaO2 80-100 mmHg atau saturasi
95-96% berdasar analisis gas darah
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan sputum yang kental
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran sputum
d. Pengaturan cairan (rehidrasi)
e. Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis berat
f. Pemberian obat inotropik seperti dopamin atau dobutamin jika terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
g. Ventilasi mekanis (intubasi dan ventilator)
h. Drainase empyema bila ada

38
i. Jika terdapat gagal napas dapat diberikan nutrisi yang cukup kalori
(terutama dari lemak untuk menghindari produksi CO2 yang berlebihan)

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

Seorang pasien laki-laki, Tn. S usia 62 tahun beragama muslim, bekerja sebagai
petani, sudah menikah dan beralamat Jatiroto, Lumajang. Pasien datang bersama
keluarganya ke IGD. Pasien masuk rumah sakit di ruang bougenvill RSU Djatiroto
tanggal 29 Juni 2022.

39
Dari aloanmnesis didapatkan pasien dengan keluhan penurunan kesadaran. Hal ini
sudah dirasakan pasien sejak pukul09.00 WIB sepulang dari sawah. Menurut
keluarga, pasien seperti mengantuk dan badan sangat lemas. Pasien juga
mengeluhkan badan seperti meriang keringat dingin. Sejak tadi pagi pasien tidak
makan. Pasien juga mengeluhkan luka lecet di tanan sebelah kiri yang didapatkan
pasien akibat tergores oleh pagar sekitar sawah pada hari sebelumnya tanggal 28 Juni
2022. Luka gores sebesar Pasien juga mengeluhkan sesak napas dan batuk. Pasien
tidak mengeluhkan mual, muntah dan nyeri dada.
Riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien menderita diabetes mellitus yang
tidak terkontrol. Riwayat penyakit darah tinggi disangkal. Riwayat penyakit astma
disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat penyakit covid-19 disangkal.
Riwayat penggunaan OAT disangkal. Pada riwayat penyakit keluarga tidak
didapatkan keluarga yang peernah menderita penyakit serupa. Pasien sebelum masuk
rumah sakit tidak mengkonsumsi obat apapun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah gelisah dan kesadaran
apatis (GCS awal 3-4-5). Tekanan darah 50/ palpasi. Nadi tidak teraba. Laju
pernafasan 40 x/menit. Suhu tubuh 37 C. Berat badan 80kg. GDA 82mg/dl. Saturasi
oksigen 99% dengan NRBM 15 lpm. Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan
bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, perdarahan temporal tidak ada, dan nyeri
tekan tidak ada. Pembesaran kelenjat getah bening tidak ada. Pada pemeriksaan dada
didapatkan dada simetris dan pada auskultasi didapatkan ronkhi halus pada paru
sebelah kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus normal,nyeri tekan
epigastrium tidak ada. Pada bagian ekstremitas didapatkan luka gores pada tangan
sebelah kiri sebesar 3 cm dan akral dingin pada semua bagian ekstremitas.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 14,8 g/dl. Leukosit
29.900 cmm, LED 10-13mm. Hematokrit 42,%. Trombosit 113.000/ul. Eritrosit
4.360.000 ul. Ureum 53,9 mg/dl. Creatinin 2,24 mg/dl. SGOT 106 U/L.SGPT 70
U/L. Rapid B20 negatif. Rapid testswab negative. Albumin 3,9 gr/dl. Hasil
pemeriksaan urinanalisa albumin (+2). Reduksi (-), bilirubin (+1), Urobilin (+1),

40
keton (-), nitrit (-), PH 5,5. Berat jenis 1.020. Eritrosit 5-6/Lp. Lekosit 12-14/Lp.
Epitel 4-5/ Lp. Kristal (-). Bakteri (+).
Pasien menjalani pemeriksaan foto thorax pada tanggal 29 Juni 2022 dengan kesan
mengarah ke pneumonia dekstra dan cor dalam batas normal. Pada pemeriksaan EKG
didapatkan sinus takikardi.

Hasil konsultasi dengan dokter penyakit dalam didapatkan terapi :


a) NRBM 12 lpm
b) Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP >60 mmHg.
c) Loading ulang NS 500 cc/jam
d) Inf.Bfluid : Ns : 1:2
e) Inj. Ceftriaxone 2x1g
f) Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
g) Nebulcombivent 1 rspl/8 jam
h) Inj. Gastrofer 2x40 mg.
i) Pasang DC
j) Pro ICU

PERJALANAN PENYAKIT

Hari Pertama rawatan pasien dirawat dalam ICU, pasien dilakukan perawatan
insentif guna meminalisir hal yang tidak diinginkan terjadi. Pasien mengeluhkan
badan lemas ,napas terasa berat , nyeri kepala, dan adanya batuk. Kesadaran mulai
membaik dengan GCS 4-5-6. Tekanan darah 119/57 mmHg , hearth rate 110 x/mnt,
laju napas 25 x/ menit, suhu tubuh 36 oC, saturasi okksigen 97% dengan NRBM 12

41
lpm. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 14,8 g/dl. Leukosit
29.900 cmm, LED 10-13mm. Hematokrit 42,%. Trombosit 113.000/ul. Eritrosit
4.360.000 ul. Ureum 53,9 mg/dl. Creatinin 2,24 mg/dl. SGOT 106 U/L.SGPT 70
U/L. Rapid B20 negatif. Rapid testswab negative. Albumin 3,9 gr/dl. Hasil
pemeriksaan urinanalisa albumin (+2). Reduksi (-), bilirubin (+1), Urobilin (+1),
keton (-), nitrit (-), PH 5,5. Berat jenis 1.020. Eritrosit 5-6/Lp. Lekosit 12-14/Lp.
Epitel 4-5/ Lp. Kristal (-). Bakteri (+).
Pada hari pertama pasien di diagnosa dengan syok sepsis + pneumonia +ISK +
MODS. Pasien mendapatkan terapi NRBM 12 lpm, Pump NE mulai dari 50
nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg, Loading ulang NS 500
cc/jam,Infus Bfluid : Ns 1:2, Nebul Combivent 1 rspl/8 jam, Injeksi Ceftriaxone2x1,
Injeksi Gastrofer 2x 40 mg.

Hari kedua rawatan kondisi umum pasien masih terbaring lemas, dengan
kesadaran compos mentis dan gejala berupa batuk, sesak , nyeri kepala masih
dirasakan. Tekanan darah pasien mengalami perbaikan 105/50 mmHg. Untuk heart
rate 100x/ menit. Laju napas 28x/menit. Suhu tubuh 36,9 oC, untuk saturasi oksigen
97% dengan NRBM 12 lpm. Pada hari kedua diaberikan terapi NRBM 12 lpm, Pump
NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg, Infus Bfluid : Ns
1:2, Nebul Combivent 1 rspl/8 jam, Injeksi Ceftriaxone2x1, Injeksi Gastrofer 2x 40
mg. Untuk pneumonia dengan score CURB 65 dalam kategori derajat tinggi, maka
sesuai panduan ATS pneumonia guidelines maka diberikan tambahan antibiotik
kombinasi berupa Injeksi Moxifloxacin 1x400 mg. Selain itu diberikan juga
dopamine 7 nano untuk membantu menaikan tekanan darah.

Hari rawatan ketiga kondisi umum pasien masih lemah dan gejala untuk sesak
napas berkurang. Untuk tekanan darah 119/57 mmHg , heart rate 110 x/mnt , laju
napas 25x/mnt suhu tubuh 36oC , saturasi oksigen 97% NRBM 12 lpm Untuk terapi
masih sama seperti hari sebelumnya yaitu diberikan terapi NRBM 12 lpm, Pump NE

42
mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg, Infus Bfluid : Ns
1:2, Nebul Combivent 1 rspl/8 jam, Injeksi Ceftriaxone2x1, Injeksi Gastrofer 2x 40
mg, injeksi moxifloxaxin 1x400 mg, dan dopamine 7 nano titrasi up.

Hari rawatan keempat didapatkan kondisi umum lemah dengan kesadaran


compos mentis dengan tekanan darah 94/62 mmHg , heart rate 79 x/mnt , laju napas
22x/mnt , suhu tubuh 36oC, saturasi oksigen 97% room air dengan nasal canul 3-4
lpm. Untuk gejala pada hari keempat napas mulai membaik, dan batuk berkurang.
Pada hari keempat didapatkan terapi O2 nasal canul 3-4 lpm, infuse Bfluid : Ns 1:2,
Injeksi Moxifloxacin 1x400 mg, Nebul Combivent 1 rspl/8 jam, Injeksi
Ceftriaxone2x1, injeksi Gastrofer 2x 40 mg, disini NE mulai di tapering off tiap jam
karena MAP sudah mencapai target >60% dimana didapatkan MAP 82%.

Hari rawatan kelima dkondisi umum pasien cukup dan tidak ada keluhan.
Untuk tekanan darah Kes: Compos mentis 100/70 mmHg , heart rate 80 x/mnt , laju
napas 22x/mnt , suhu tubuh 36oC, saturasi oksigen 97% room air. Pada hari ke lima
pasien diijinkan untuk pulang dan diberikan terapi oral starces 2x200 mg,
Moxifloxaxin1x400 mg, Omeprazole 2x 40 mg, L-core 1x1.

PEMBAHASAN
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa, disebabkan
oleh ketidakmampuan respon penjamu terhadap infeksi. Syok septik merupakan
bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah dan selular/metabolik yang
mendasari, dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian.

43
Studi epidemiologi kontemporer dari negara-negara berpenghasilan tinggi
menunjukkan tingkat insiden yang tinggi dari sepsis yang dirawat di rumah sakit,
mulai dari 194 per 100.000 penduduk di Australia pada tahun 2003 , hingga 580 per
100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 2006. Di Jerman, insiden kasus
sepsis yang dirawat di rumah sakit antara tahun 2007 dan 2013 meningkat dari 256
menjadi 335 kasus per 100.000 penduduk; proporsi pasien dengan sepsis berat
meningkat dari 27% menjadi 41%.

Faktor risiko untuk terjadinya sepsis dan syok sepsis meliputi pasien yang masuk
ruang intensif dengan infeksi nosokomial, usia lanjut diatas 65 tahun, bakteremia,
kondisi imunosupresi seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes mellitus, penyakit
autoimmune, AIDS, penggunaan obat imunosupresan yang berkepanjangan, dan
faktor genetik. Penyebab sepsis sangat beragam, dan petunjuk klinis dalam berbagai
sistem organ cukup membantu dalam pemeriksaan dan diagnosis yang tepat. Hal ini
juga sangat penting untuk dapat membedakan antara penyebab demam yang infeksi
dan bukan infeksi pada pasien sepsis (Dimopoulos & Falagas, 2009). Sumber infeksi
dapat berbagai macam asal antara lain kulit atau jaringan lunak, luka, saluran
pernafasan, saluran pencernaan, sistem saraf pusat, pemasangan akses intravena
maupun kateter (Cunha, 2007), tulang, sendi, dan saluran kemih (Levy et al., 2013).

Pada kasus ini didapatkan faktor resiko antara lain infeksi bakteri pada pasien
disebabkan pasien menderita pneumonia.Pasien mengeluhkan batuk dan sesak
napas. Setelah dilakukan pemeriksaan photo thorax didapatkan gambaran
pneumonia.

Definisi pneumonia menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA)


adalah infeksi akut parenkim paru yang ditandai dengan terdapatnya infiltrat baru
pada foto toraks atau ditemukannya batuk, terkadang sesak napas, perubahan suara
napas dan atau ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru yang konsisten

44
dengan pneumonia pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah sakit atau
tempat perawatan lain dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

Pada kasus ini didapatkan gejala batuk dan sesak napas. Setelah dilakukan
pemeriksaan photo thorax didapatkan gambaran pneumonia. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ronkhi halus pada kedua lapang paru.

Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik, meliputi demam, pernapasan cepat, mengigil, detak jantung cepat
dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan kebingunan, bahkan
penurunan kesadaran. (Guntur Hermawan,2014)

Pada kasus ini pasien memiliki gejala penurunan kesadaran yang dmenurut
keluarga pasien dialami pasien sepulang dari sawah, sesak napas, demam, dan
adanya detak jantung yang cepat.

Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of
Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, dan syok septic.

Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ Ul

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septic Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi

45
yang adekuat (sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah
sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau
penurunan >40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik
yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20
sampai 40 mL/kg).

Pada kasus ini didapatkan SIRS didapatkan dua dari 4 point dimana laju
pernafasan >20x/menit dan sel darah putih >12.000 sel/Ul dan selain itu didapatkan
hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang adekuat, sehingga dapat di
diagnose sebagai syok septic .
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis
segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA.
Kriteria Qsofa Poin

Laju pernapasan ≥ 22x/menit 1

Perubahan status mental/kesadaran 1

Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

Pada QSOFA didapatkan laju pernafasan >22x/menit (+1) , Perubahan status


kesadaran (+1), tekanan darah sistolik <100mmHg (+1) sehingga total score tiga
dimana dengan score >2 dapat di diagnose dengan syok sepsis.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi,
dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi
dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma
sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi
sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet

46
activating factor, dan eikosanoid.Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α,
interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan
menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah
modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses
fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan
sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran
kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia
jaringan global.

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama
kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada
bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines
dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care
Medicine dan Intensive Care Medicine dimana didapatkan banyak perkembangan
baru pada revisi yang terbaru. Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok
septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik,
pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan
radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi

Pada kasus ini pasien sudah diberikan penanganan awal berupa pemberian
oksigen, pemberian resusitasi cairan NS 500cc/jam sebanyak 2 kali, pemberian
vasopresor berupa norephinephrine dengan dosis dimulai dari 50 nano/KgBB/unit
dikombinasikan dengan dopamine 7 nano. Selain itu pasien dilakukan pemeriksaan
photo thorax dan didapatkan gambaran pneumonia sehingga diberikan antibiotik

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang ditandai dengan terdapatnya

47
infiltrat baru pada foto toraks atau ditemukannya perubahan suara napas dan atau
ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru yang konsisten dengan pneumonia
pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan lain
dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala

Beberapa kuman penyebab yang paling banyak ditemukan adalah Streptococcus


pneumonia yang menjadi penyebab pada dua pert tiga kasus pneumonia. Beberapa
kuman penyebab lain yaitu Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia,
staphylococcus aureus,Pseudomonas spp, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia,
Moraxella catarrhalis, Legionella dan virus influenza. Mycoplasma, Chlamydia,
Moraxella dan Legionella merupakan kuman atypical.A

Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto
toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada
foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan batuk-batuk
bertambah, Sesak napas, Perubahan karakteristik dahak / purulen, Suhu tubuh > 380C
(aksila) / riwayat demam, Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi,
suara napas bronkial dan ronki, Leukosit > 10.000 atau < 4500

Pada kasus ini ditemukan adanya gejala batuk, sesak napas, riwayat demam, dan
pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi halus pada paru sebelah kanan,
dan pada pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap ditemukan leukosit >10.000
dan pada photo thorax dijumpai infiltrate pada paru sebelah kanan.

Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor yaitu


CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age 65 years or
greater) seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini:

C U R B 65
RESPIRATORY
CONFUSION UREA BP Umur >65
RATE
MSQ<8/10 >7mmol/l >30/menit <90mmHg

48
(sistol)
Atau
<60 mmHg
(diastole)

*skor 1 untuk masing- masing poin


Pada CURB 65 kasus ini didapatkan Confusion (+1), Urea >7mmol/l (+1),
Respiratory rate >30x/menit (+1), BP sistol <90 mm Hg (+1), Umur >65 (-),
sehingga total score 4 dengan kelompok derajat tinggi.
Menurut ATS, 2019 pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di Ruang
Rawat Intensif/ golongan berat dapat diberikan antibiotik β-laktam ditambah dengan
golongan makrolide atau β-laktam dikombinasikan dengan golongan fluoroquinolone
untuk menangani pneumonia.
Pada kasus ini pasien sudah diberikan antibiotik ceftriaxone 1 gram yang
diberikan dua kali dalam sehari yang dikombinasikan dengan moxifloxacin 400 mg
yang diberikan sekali dalam sehari. Ceftriaxone merupakan golongan antibiotik β-
laktam dan moxifloxacin merupakan golonan antibiotik fluoroquinolone.
Pada dasarnya prognosis sepsis bergantung kepada seberapa cepat sepsis
terdiagnosa serta seberapa cepat penanganan yang diberikan, namun pada umumnya
buruk. Luaran pasien sepsis juga sangat bergantung kepada usia, imunitas, penyebab
awal infeksi, serta kegagalan organ yang terjadi. Sebagian besar pasien sepsis
berakhir juga dengan disfungsi multi organ yang secara progresif berkembang
menjadi disfungsi organ lainnya, dan mengalami kecatatan.Dari data hasil penelitian
lainnya juga diperoleh data bahwa mereka yang selamat dari sepsis cenderung
mengalami cacat fisik, psikologis, dan kognitif jangka panjang.Sekita 30-50% pasien
sepsis meninggal dan kejadian fatal lebih diakibatkan oleh factor-faktor seperti usia
lanjut, neutropenia, dan penyakit yang sudah ada sebelum daripada akibat infeksi
spesifik. Angka kematian masih cukup tinggi juga terutama pada syok septik. Pada
keadaan ini angka kematian berkisar 40- 70%,bila telah disertai dengan gagal organ

49
berganda seperti shock lung, gangguan fungsi ginjal kematian dapat mencapai 90-
100%.

RINGKASAN

Pasien masuk rumah sakit dengan diagnose syok sepsis dan pneumonia, dengan
manifestasi klinis penurunan kesadaran, sesak napas, batuk, dan sering meriang
keringat dingin. Tatalaksana pada pasien ini berupa terapi pemberian cairan yang
adekuat,pemberian vasopresor dan pemberian antibiotik sesuai dengan guidelines.
Evaluasi pejalanan penyakit pasien dari awal masuk rumah sakit hinga hari terakhir di
rumah saki mengalami perbaikan. Dalam kasus ini, terapi daapt mencapai target MAP
>60% sehingga kondisi pasien semakin membaik.Sehinnga pada hari ke enam pasien
dapat pulang untuk berobat jalan.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanto, Diana. 2018. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok Septik.


Manado : Jurnal Biomedik.
2. Sari, Efris. 2021. Hubungan Skor SOFA Dengan Mortalitas Pasien Kritis.
Malang: Jurnal Kesehatan.
3. Oesman F, Setiabudy RD. 2012. Fisiologi hemo- stasis dan fibrinolisis. In:
Setiabudy RD, editor. Hemostasis dan Trombosis (5th ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
4. Singer M, Deutchman. 2016, The third international consensus definitions
for sepsis and septic shock. America : American Medical Association.
5. Levy, Mitchell.2018. The Surviving Sepsis Campaign Bundle. America :
Springer.
6. Rhodes A, Evans L. 2017. Surviving Sepsis Campaign; International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock. America : Intensive
Care Med.
7. Joshua P. Metlay, Grand W. Waterer. 2019. Diagnosis and Treatment of
Adults with Community-Acquired Pneumonia. America : American
Thoracic Society Documents
8. Hermawan, Guntur. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
InternaPublishing.

Anda mungkin juga menyukai