Anda di halaman 1dari 140

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS

DI SUSUN OLEH KELOMPOK E


1. James Lelapary
2. Novita Ch Tupan
3. Ingrid A Huwae
4. Mega O Anthonius
5. Aldo Risakotta
6. Chelsya Matulessy
7. Whisye Matahelemual
8. Prisilia Sinay
9. Aldo Ferdinandus
10. Herodia Laritmas

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU


FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena atas berkat dan
rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Selain itu, kami juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
keperawatan kritis dalam keperawatan pada sistem muskuloskeletal, dan sistem
pendengaran.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Gambar

BAB I KASUS BAYANGAN

A. Asuhan Keperawatan Kritis Sistem Pendengaran


B. Asuhan Keperawatan Kritis Sistem Muskoleskeletal

BAB II JURNAL DAN ANALISA PICO

BAB III PENUTUP

A. Kesimupulan
B. Kritik dan Saran
BAB I
KASUS BAYANGAN

A. ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS SISTEM PENDENGARAN

Nama Mahasiswa : ...............................


N P M : ..............................
Rumah Sakit : Rumah Sakit Haulussy Ambon
Ruangan : THT
Tanggal Pengkajian : 07 / 02/ 2020 Jam: 10.00 WIT

A. IDENTITAS PASIEN IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : Nn. S Nama : Tn A
Umur : 22 Tahun Umur : 44 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki─ laki
Suku : Suku :
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : Mahasiswa Pendidikan : S1
No. Rekam Medik : No Rekam Medik :
Alamat : Kebun Cengkeh Alamat : Kebun Cengkeh

B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sakit pada bagian teliga sudah 1 minggu yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien tidak pernah mengalami sakit telinga sebelumnya
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
o Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama
dengan pasien
o Tidak ada riwayat penyakit keturunan

C. PEMERIKSAAN FISIK
kulerKardiovas

- Suara jantung √ S1 S2 Tunggal S3 S4


- Nadi √ Reguler Iregular HR …..
- Capilary refill < 3 detik > 3 detik
- JVP Normal Meningkat ….. cm
Murmurdada
- Bentuk Ya
Simetris √ Tidak
- Bunyi nafas Bronkial Bronkovesikular √ Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing √ Tidak Ya, (kanan/kiri)
Respiratory

- Ronchi √ Tidak Ya, (kanan/kiri)


- Stridor √ Tidak Ya,
- Snoring √ Tidak Ya,
Batuk √ Tidak Ya, Produktif/ tidak, secret……
Pemakaian otot Bantu nafas √ Tidak Ya, ……………
RR 20x/mnt
- Lain – lain ………………………………..
………………………………..
Kecoklatan - Warna kulit
keletalMuskulos Endokrin Neurologi Integumen
√ lembab - Kelembaban
berkeringat kering
√ Tidak - Icterus
ya, lokasi……….
- Turgor
Baik , dapat kembali dalam waktu 1─ 2 detik
√ Isokor
tidak Anisokor - Jejas
ada, ……cm. lokasi…………
Pupil
…………………………………………………… Reflek cahaya
………………..………………………………….. Diameter
…………………………………………………… - GCS
babinski ukuran
Perubahan chadock- Reflek
Riwayatpatologis
kepala, regresi……………
pertumbuhan dan
tangan atau kaki
pada waktu dewasa perkembangan fisik
Kekeringan kulit atau rambut
Exopthalmus Goiter Hipoglikemia
- Kemampuan pergerakan sendi √ Tidak Bebastoleran terhadap panas
Terbatas
- Parese Ya √ Tidak
- Paralise Ya √ Tidak
- Hemiparese Ya √ Tidak
- Kontraktur Ya √ Tidak
stinalGastrointe

Abdomen
- Kontur Abdomen √ Normal distensi
- Jejas √ Tidak ya,……cm, lokasi……..
- Bising usus Tidak √ ada, 34x/mt
- Meteorismus
Konsep Diri √ Tidaktentangyatubuh : Pasien merasa senang
Tanggapan
- Citra diri / body image dengan tubuhnya
Bagian tubuh yang disukai : pasien menyukai
semua bagian tubuhnya
Bagian yubuh yang tidak disukai: tidak ada
Psikososial

- Peran tanggapan klien terhadap perannya


√ senang tidak senang
lain – lain……………………………………..
kemampuan / kesanggupan klien melaksanakan
D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LABORATORIUM, X-RAY, DLL) :
o Tanggal 08/02/2020: jam 11.35 wit
- Otoscopy pada telinga kanan,liang telinga tampak hiperemis, dan
otoscopy pada telinga kiri terdapat serumen.

E. TERAPI
o H2 O2 3 % 1 cc/ irigasi
 Resep dokter :
o Dextamin 2 x 1
o CTM 2 x 1
o Ottopain 2 x III tetes/hari
o Larm 3 mg 1 x 1

ANALISA DATA
Nama Pasien : Nn S

Umur : 22 tahun/bulan

NO DATA( DS/DO) MASALAH ETIOLOGI


1 Ds : pasien mengatakan Proses inflamasi Nyeri
☺ Nyeri pada telinga kanan
sudah satu minggu yang lalu
☺ Nyeri dirasakan hilang timbul
☺ Nyeri dirasakan menyebar ke
kepala
☺ Leher tegang

Do :
☺Ekspresi wajah tegang
☺Skala keluhan ringan (2-3)
☺Ada nyeri tekan dan nyeri
lepas pada telinga kanan
☺ Tanggal 08/02/2020: jam
11.35 wit
Otoscopy pada telinga kanan,
liang telinga tampak hiperemis
dan otoscopy pada telinga kiri
terdapat serumen
☺ TTV :
 Tekanan darah
: 140/90mmhg
 Suhu
0
: 37,7 c
 Nadi
: 88x/menit

2 Banyaknya kotoran Gangguan


Ds : pasien mengatakan
telinga pendengaran
☺ rasa penuh pada kedua telinga
☺ gatal

Do :
☺ Ada serumen pada telinga kiri
☺ Ada tinitus pada telinga kanan
☺ Tanggal 08/02/2010: jam
11.35 wit
Otoscopy pada telinga kanan,
liang telinga tampak hiperemis
dan otoscopy pada telinga kiri
terdapat serumen

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi


2. Gangguan pendengaran berhubungan dengan banyaknya kotoran ditelinga
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Pasien : Nn .S

Umur : 22 tahun/bulan

DIAGNOSA KEPERAWATAN : 1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi

2.Gangguan Pendengaran berhubungan dengan banyaknya kotoran ditelinga

No. Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional


Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat nyeri, skala nyeri durasi, dan 1. memberi informasi untuk mengkaji
1. 1x2 jam diharapkan nyeri telinga yang penyebaran respon terhadap intervensi
dirasakan pasien berkurang 2. lakukan teknik tindakan nonfarmakologi 2. dapat mengurangi respon nyeri yang
Dengan kriteria hasil : seperti,nafas dalam,masase,maupun distraksi muncul
 Skala Nyeri 2 3. Kaji dan catat respon pasien terhadap intervensi 3. membantu dalam memberi intervensi
 Pasien merasa nyaman Kolaborasi beri preparat analgetik selanjutnya mengurangi nyeri,dengan
memblokir reseptor nyeri yang timbul

1. berikan pemahaman tentang prosedur tindakan 1. sebagai informasi yang baik sebelum
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dilakukan tindakan
irigasi
1x24 jam diharapkan pasien dapat 2. anjurkan pasien agar menghindari masuknya air ke 2. mencegah infeksi yang mungkin bisa
mendengar jelas. Dengan kriteria Hasil : telinga tejadi sewaktu- waktu
 Kotoran ditelinga pasien sudah 3. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian hydrogen 3.dapat melembutkan serumen yang akan
bersih peroksida/H2O2 untuk melakukan tindakan dikeluarkan
 pasien dapat mendengar pengambilan serumen dengan irigasi, suction atau
dengan jelas instrumentasi
 pasein merasa nyaman
TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : Nn S

Umur : 22 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. T i n d a k a n Keperawatan


m

Selasa 1. 1. Mengkaji tingkat nyeri,skala


nyeri, durasi, dan lokasi,dengan cara menginspeksi wajah,
08/2/10 mempalpasi area telinga kanan serta menanyakan pada
pasien tentang daerah nyeri dimana,lamanya nyeri berapa
Pukul : jam bila muncul, nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-
tusuk,terbakar,menetap,atau hilang timbul?
11.40 wit 2. Melakukan teknik tindakan
nonfarmakologi seperti,nafas dalam,masase,maupun
distraksi. Dengan cara memijat area leher dan pundak
pasien selama 3 menit

Selasa 2. 1. memberikan pemahaman tentang prosedur tindakan irigasi,


dengan memberikan penjelasan bahwa prosedur irigasi
08/2/10
adalah dengan cara menyemprot larutan H2O2 3% sebanyak
Pukul :
1cc kedalam telinga untuk mempermudah pengeluaran
12.00 wit kotoran yang menumpuk pada liang telinga.
2. menganjurkan pasien agar menghindari masuknya air ke
telinga dengan memberikan penjelasan singkat bahwa bila
air masuk ke liang telinga dapat menyebabkan
berkembangbiaknya bakteri dan jamur, yang dapat
mengakibatkan infeksi pada telinga.
3. berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian larutan H2O2
3% 1cc untuk melakukan tindakan pengambilan serumen
dengan cara irigasi, yaitu dengan cara menyuruh pasien
berbaring pada tempat tidur dengan posisi miring kiri untuk
irigasi telinga kanan kemudian cairan H2O2 3% 1cc
disemprotkan kedalam liang telinga selama 2 menit. Dan
tindakan irigasi tersebut dilakukan lagi pada telinga kiri
selama 2 menit.
CATATAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien : Nn. S

Umur : 22 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. Per Catatan Perkembangan


m
Selasa 1. 1. wajah pasien tampak meringis, ada nyeri tekan pada telinga
kanan, pasien mengatakan nyeri muncul bisa sampai 1 jam dan
08/2/10 nyeri dirasakan hilang timbul.
Pukul :
2. Pasien merasa tenang
11.40 wit

Selasa 2. 1.Pasien mengerti dengan penjelasan yang diberikan dan


bersedia untuk dilakukan irigasi
08/2/10
2.Pasien dapat memahami dan akan mengikuti anjuran yang di
Pukul : jelaskan

12.00 wit 3.Setelah disedot tedapat serumen/ kotoran pada telinga kanan
maupun telinga kiri pasien
E VALUAS I
Nama Pasien : Nn. S

Umur : 22 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. Per Evaluasi


m
Selasa 1. S: pasien mengatakan
- masih ada nyeri pada telinga kanan bila di tekan
08/2/10
atau ditarik.
Pukul :
- leher sudah tidak tegang
14.00 wit
O:
 wajah sudah tidak lagi tegang
 palpasi, ada nyeri tekan pada telinga kanan

A: masalah belum teratasi

P: intervensi dilanjutkan.

Selasa 2. S: pasien mengatakan


08/2/10 - mendengar sudah mulai membaik,tidak lagi merasa
penuh
Pukul :
- telinga tidak merasa gatal lagi
14.30 wit

O:
- tidak ada serumen pada telinga kiri

A: masalah teratasi

P: Intervensi dihentikan
Nama Pasien : Nn.S
Umur : 22 Tahun
Diagnosa medis :-

No Masalah Intervensi Evaluasi


Prioritas Keperawatan
masalah
No : Gangguan perfusi 1. Monitorpeningkatan TIK S:
Tgl : jaringan cerebral 2. Berikan posisi 15 – 30º
Jam : Tujuan : Aliran 3. Kolaburasi pemberian oksigen
perfusi cerebral 4. Monitor peningkatan hasil
adekwat laboratorium O:
DS : 5. ……………………….
6. ……………………….

DO :
A:

P:

Criteria hasil :

No : Ketidak efektifan 1. Kaji kedalaman pernafasan S:


Tgl : bersihan jalan nafas 2. kaji pemakaian alat Bantu
Jam : Tujuan : Jalan nafas pernafasan
bebas sumbatan 3. Memberikan posisi untuk
DS : memudahkan pengeluaran O:
ecret
4. Monitor suara nafas
DO : 5. ……………………….
6. ……………………….
A:

P:
Criteria hasil :

No : Ketidak efektifan 1. Monitortanda – tanda vital S:


Tgl : Pola nafas 2. Monitor status pernafasan
Jam : Tujuan : Pola nafas 3. Kaji perubahan hasil
kembali adekwat laboratorium
DS : 4. Monitor pemberian oksigen O:
5. ……………………….
6. ……………………….
DO :

A:

P:
Criteria hasil :

No : Gangguan 1. kaji status respirasi S:


Tgl : pertukaran gas 2. memberikan posisi
Jam : Tujuan : pertukaran 3. Monitor pemberian oksigen
O2 dan CO2 4. ………………….
adekwat 5. ………………………. O:
DS :

DO :
A:

P:
Criteria hasil :

No : Penurunan curah 1. Kaji tanda – tanda penurunan S :


Tgl : jantung curah jantung
Jam : Tujuan : 2. Pertahankan keseimbangan
Kontraktilitas otot balance cairan
jantung dapat 3. Batasi aktivitas untuk O:
dipertahankan menurunkan kerja jantung
optimal 4. Kolaburasi pemberian oksigen
DS : 5. ……………………….
6. ……………………….
A:
DO :
P:

Criteria hasil :

No : Penurunan aliran 1. Monitor perubahan S:


Tgl : darah perifer tekanan sistemik dan
Jam : Tujuan : Aliran perfusi jaringan perifer
perifer adekwat 2. kaji perubahan
DS : neurovaskuler O:
3. Berikan tindakan
DO : meminimalkan daerah
komplikasi perifer
4. ……………………….
5. ……………………… A:
Criteria hasil : 6. ……………………….
P:
No : Nyeri Akut / kronis 1. kaji nyeri S:
Tgl : Tujuan : terjadi 2. Memberikan kompres
Jam : penurunan skala hangat
nyeri 3. kolaburasi pemakaian obat
DS : farmakologis O:
4. ……………………….
5. ……………………….
DO :

A:

Criteria hasil : P:

No : Defisit volume cairan 1. Monitor status hidrasi S:


Tgl : Tujuan : tidak 2. Monitor status elektrolit
Jam : terjadi penurunan 3. Monitor tanda – tanda vital
volume cairan 4. ……………………….
DS : 5. ………………………. O:

DO :

A:
Criteria hasil :
P:

No : Gangguan 1. kaji keseimbangan S:


Tgl : Keseimbangan cairan balance cairan
Jam : / elektrolit 2. Monitor intake dan output
Tujuan : terjadi cairan
keseimbangan cairan 3. timbang berat badan O:
dan elektrolit 4. ……………………….
DS : 5. ……………………….

DO :
A:

P:
Criteria hasil :

No : Gangguan mobilisasi 1. Berikan posisi/ merubah S:


Tgl : Tujuan : posisi
Jam : mobilisasi adekwat 2. Kaji adanya tanda iritasi kulit
DS : 3. ……………………….
4. ………………………. O:
DO : 5. ……………………….

Criteria hasil : A:
P:

No : Gangguan integritas 1. Rubah posisi untuk S:


Tgl : kulit mengurangi tekanan
Jam : Tujuan : 2. Berikan bantal pada daerah
integritas kulit yang tertekan
membaik 3. ………………………. O:
DS : 4. ……………………….
5. ……………………….

DO :
A:

P:

Criteria hasil :

No : Risiko injuri 1. Pasang alat pengaman S:


Tgl : Tujuan : tidak dipinggir tempat tidur
Jam : terjadi injuri selama 2. Daerah ikatan dilonggarkan
perawatan setiap 2 jam
DS : 3. Kaji daerah pengikatan O:
4. Berikan ROM pasif
5. ……………………….
DO : 6. ……………………….

A:

P:
Criteria hasil :
B. ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS SISTEM MUSKOLESKELETAL

Nama Mahasiswa : ..........................


N P M : .........................
Rumah Sakit : dr.J.Leimena Ambon
Ruangan : Poliklinik Anak
Tanggal Pengkajian : 05-10-2010 Jam: 09.10 WIT

A. IDENTITAS PASIEN IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : An.A Nama : Tn.B
Umur : 13 Tahun Umur : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku :- Suku :-
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMP Pendidikan :-
No. Rekam Medik :- No Rekam Medik : -
Alamat : Batu Merah Alamat : Batu Merah

B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang

a. Keluhan Utama (pengkajian) : nyeri pada daerah bekas operasi


(pergelangan tangan kiri)
b. Keluhan yang menyertai : lemas
c. Riwayat Kesehatan Utama
 Faktor Pencetus/penyebab : luka insisi bedah
 Sifat Keluhan : menetap
 Skala nyeri : sedang (6)
 Hal – hal yang :
* Memberatkan : saat tangan digerakkan
* Meringankan : ketika pasien mendapat
pengobatan dan istirahat

a. Catatan Kronologis
Setahun yang lalu, pasien jatuh dan paha kanan pasien terbentur di batu. Sehingga pada
daerah yang terbentur mengalami luka dan benjolan. Beberapa hari kemudian benjolan
tersebut pecah dan keluar cairan nanah. Orang tua pasien hanya mengobati pasien dengan
obat dedaunan. Namun, dalam setahun luka tersebut tak kunjung sembuh dan terus
mengeluarkan cairan nanah. Pada tanggal 28-07-2010, pasien mengalami nyeri pada
daerah luka tersebut dan tidak dapat melipat tungkainya, sehingga orangtua pasien pun
membawa pasien ke RST Ambon dan di rontgen. Dokter pun menyarankan agar pasien
di operasi. Karena tidak ada biaya, orangtua pasien pun membawa pasien pulang
kembali. Pada tanggal 5 -7-2010. Orangtua pasien pun membawa pasien kembali ke RST
dan diterima di poliklinik anak. Kemudian pasien di rontgen dan dipindah rawat di
bangsal Chandra dan diberi terapi IVFD RL 30 tetes/menit sambil menunggu waktu
operasi sore harinya. Pasien di operasi pada pukul 15.00 wit berupa operasi debridement
dengan 11 jahitan.

2. Riwayat Penyakit Sebelumnya

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


a. Susunan Keluarga (genogram 3 generasi )

56 54
55 51

32 25 19
28 30 23 17

5 thn 1 bln

Keterangan :

: Pasien
: Laki- laki

: Tinggal serumah
: Perempuan
: Garis perkawinan

: garis keturunan

b. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit Orang tua Saudara Anggota
kandung keluarga lain
o Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada Tidak ada
diderita
o Penyakit yang sedang Tidak ada Tidak ada Tidak ada
diderita

c. Koping keluarga :
Keluarga tidak merasa cemas lagi dengan kondisi anaknya, karena mereka yakin dengan
pengobatan yang intensif anaknya dapat sembuh
d. System nilai kepercayaan
Keluarga mengatakan penyakit yang di derita pasien merupakan benjolan biasa

C. PEMERIKSAAN FISIK
kuler Kardiovas - Suara jantung S1 S2 Tunggal S3 S4
- Nadi Reguler Iregular HR …..
- Capilary refill < 3 detik > 3 detik
- JVP
Normal Meningkat ….. cm
Murmurdada
- Bentuk ..................................................
- Bunyi nafas Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing Tidak Ya, (kanan/kiri)
Respiratory

- Ronchi
Tidak Ya, (kanan/kiri)
- Stridor
- Snoring Tidak Ya,
Batuk Tidak Ya,
Pemakaian otot Bantu nafas Tidak Ya, Produktif/ tidak, secret……
RR Tidak Ya, ……………….
- Lain – lain 22x/menit
………………………………..
keletal Muskulos Endokrin Neurologi Integumen

- Warna kulit ….....................................................


- Kelembaban lembab berkeringat kering
- Icterus Tidak ya, lokasi……….
- Turgor
……………………………………
Jejas
- Pupil Isokor Anisokor
Reflek cahaya ……………………………………………………
Diameter ………………..…………………………………..
- GCS ……………………………………………………
- Riwayat pertumbuhan dan Perubahan ukuran kepala, tangan atau kaki
perkembangan fisik pada waktu dewasa
Kekeringan kulit atau rambut
Exopthalmus Goiter Hipoglikemia
- Kemampuan pergerakan sendi Bebas Terbatas
- Parese Ya Tidak
- Paralise Ya Tidak
- Hemiparese
Ya Tidak
-Abdomen
Kontraktur
stinal Gastrointe

- Kontur Abdomen Normal distensi


- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi……..
- Bising usus Tidak ada, ……..x/mt
Konsep Diri Tanggapan tentang tubuh : Pasien merasa senang
- Citra diri / body image dengan tubuhnya
Bagian tubuh yang disukai : pasien menyukai
semua bagian tubuhnya
Psikososial

- Peran tanggapan klien terhadap perannya


senang tidak senang
lain – lain……………………………………..

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LABORATORIUM, X-RAY, DLL) :

Tanggal 05 – 08 – 2010

PEMERIKSAAN NILAI/ HASIL NILAI NORMAL


DIAGNOSTIK
HB 11 g/dl 13-16 g/dl
Leucosit 17.000 mm3 5000- 10.000 mm3
LED 100 - 140 mm/jam 40mm/ jam
Trombosit 198.000 mm3 200.000- 450.000 mm3
Foto rontgen paha kanan

E. TERAPI

Tanggal 08 - 09 – 2010
 IVFD RL 50 tts/menit 500 cc
 Inj. Taxegram 500 mg/ 12 jam IV
 Metronidazole 250 cc/ 8jam 50 tetes/menit
 Inj. Remopain 10 mg/ 8jam 1/3 amp / IV
 Penggantian pembalut tiap pagi

ANALISA DATA
Nama Pasien : An. A

Umur : 13 tahun/bulan

NO DATA ( DS/DO) MASALAH ETIOLOGI


1 DS: Pasien mengatakan: Nyeri Adanya Insisi
Bedah
 nyeri pada daerah bekas
operasi (paha kanan
sebelah luar bagian
samping)
 Sifat nyeri hilang timbul
 Skala nyeri ringan

Data Objektif:

 Skala nyeri (1-3)


 Ekspresi wajah tampak
sedikit meringis.

2 Nyeri & Alat


DS: Ibu pasien mengatakan: Gangguan Mobilisasi Imobilisasi
Fisik
 Lemas

DO:

 Otot kaki sedikit lemah


pada area bekas operasi
 Rentang gerak kurang
 Kekuatan otot kurang
 Makan dan minum dibantu
keluarga
 Mandi dilap Dengan
bantuan keluarga
 BAB dan BAK dibantu
keluarga dan perawat
 ada 11 jahitan luka insisi
operasi pada daerah paha
sebelah luar bagian
samping.
3
DO:
 ada 11 jahitan luka insisi Resiko Infeksi
operasi pada daerah paha
sebelah luar bagian Bekas Luka Insisi
samping Operasi

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Nyeri b/d Adanya Insisi Bedah

2 Gangguan Mobilisasi Fisik b/d Nyeri dan Alat Imobilisasi


3
Resiko Infeksi b/d Bekas Luka Insisi Operasi
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Pasien : An. A
Umur : 13 tahun/bulan
DIAGNOSA KEPERAWATAN :1. Nyeri b/d Adanya Insisi Bedah

2. Gangguan Mobilisasi Fisik b/d Nyeri dan Alat Imobilisasi

3. Resiko Infeksi b/d Bekas Luka Insisi Operasi

No. Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional


1 Tujuan : 1. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri. 1. Untuk menentukan pilihan intervensi
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan lebih lanjut
1x2 jam diharapkan nyeri yang dirasakan 2. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah 2. Dengan imobilisasi diharapkan dapat
pasien hilang. baring. mengurangi rasa nyeri
3. Berikan lingkungan yang tenang. 3. Lingkungan yang tenang memberikan
Kriteria Hasil : 4. Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh dapat memberikan rasa nyaman
 Nyeri hilang : relaksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi. 4. Tehnik manejemen stress dapat
 Skala nyeri 0 5. Kolaborasi : pemberian analgetik. mengurangi rasa nyeri
 Ekspresi wajah ceria 5. Pemberian analgetik dapat meredakan
rasa nyeri
Tujuan :
1. Mengetahui tingkat mobilitas pasien
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
2. Tahapan-tahapan yang diberikan
selama 3x24 jam, di harapkan mobilisasi 1. Kaji ulang tingkat akivitas/ mobilisasi.
2
membantu proses aktivitas secara
fisik baik. 2. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
perlahan dengan menghemat tenaga
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai
namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
Kriteria Hasil : kebutuhan.
3. Mengurangi pemakaian energi sampai
 Pasien tidak lemas
kekuatan pasien pulih kembali.
 Otot kaki tidak lemah
 Rentang gerak baik
 Kekuatan otot baik
 Dapat melakukan aktivitas sendiri
tanpa bantuan.

1. Mengurangi pemakaian energi sampai


Tujuan :
kekuatan pasien pulih kembali.
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
1. Pantau tanda-tanda vital. Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan
selama 3x24 jam, di harapkan tidak terjadi
2. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic terutama bila suhu tubuh meningkat.
infeksi.
3. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. 2. Untuk mengurangi risiko infeksi
3
nosocomial.
Kriteria Hasil :
3. Antibiotik mencegah perkembangan
 Tidak ada tanda – tanda infeksi
mikroorganisme patogen.
 TTV normal
TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : An.A

Umur : 13 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. T i n d a k a n Keperawatan


m
Hari/ 1 1. Berkolaborasi dalam pemberian analgetik, memberi
tanggal: minum obat Sanmol 0,75 cc /1 sendok teh.
senin/09-08-
2010.

pukul: 08.05
wit.

pukul: 08.10 2. Mengkaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri dengan
wit. menanyakan kepada pasien nyeri yang dirasakannya
dan memperhatikan ekspresi wajah pasien.

Pukul :08.15 3. Mempertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan


wit. tirah baring.

Pukul:08. 20 4. Mengajarkan dan membantu pasien tekhnik relaksasi


dengan meminta pasien menarik nafas dalam melalui
wit.
hidung dan menghembuskan melalui mulut.

5. Menciptakan lingkungan yang tenang dan tidak rebut


Pukul: 13.00
dengan meminta keluarga untuk tidak rebut dan
wit. membatasi pengunjung.

1. Mengkaji ulang tingkat aktivitas/ mobilisasi dengan


Hari/ menanyakan aktivitas apa saja yang dapat dilakukan
tanggal: 2 dan serta memperhatikan aktivitas pasien.
senin/09-08-
2010

pukul: 09.00

2. Memberikan latihan aktivitas secara bertahap, meminta


wit. pasien menggerak - gerakan tungkainya.

Pukul: 09.10
wit. 3. Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya
yaitu membantu pasien buang air kecil dengan pispot di
Pukul: 09.20 tempat tidur
wit.

1. Melakukan perawatan luka dan mengganti balutan.

Hari/
tanggal: 3
senin/09-08-
2010
2. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian
pukul: 08.00 antibiotic, metronidazol 250 cc.
wit.
3. Mengukur tanda-tanda vital: suhu, denyut nadi dan
Pukul: 11.00 pernafasan.
wit.

Pukul: 12.00
wit.
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : An.A

Umur : 13 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. Per Catatan Perkembangan


m
10/08/ 2010 1 S : pasien mengatakan :

Pukul 08.30
 Tidak Nyeri
wit.
 Merasa nyaman dengan lingkungan yang tenang

O:
 Ekspresi wajah tampak ceria
 Skala nyeri 0

A: masalah teratasi

P: intervensi dihentikan

I: -

E: -

R: -

S: pasien mengatakan:

 Tidak merasa lemas


10/08/ 2010 2
Pukul :08.40 O:
wit.
 Pasien dapat menggerakan tungkainya
 Pasien dapat berjalan namun perlahan – lahan
 Ku membaik

A: masalah sebagian teratasi

P: intervensi yang dilanjutkan:

 Kaji ulang tingkat akivitas/ mobilisasi


 Berikan latihan aktivitas secara bertahap

I:

 Mengkaji ulang tingkat aktivitas/ mobilisasi dengan


menanyakan aktivitas apa saja yang dapat dilakukan
dan serta memperhatikan aktivitas pasien
Hasil:
 Pasien dapat menggerakan kaki sebelah kanan
 Pasien dapat berdiri
Pukul: 09.00
 Memberikan latihan aktivitas secara bertahap, meminta
wit
pasien berjalan
Hasil:
 Pasien dapat berjalan namun perlahan- lahan
 Pasien tidak merasa lemas

E:

Pukul: 09.10
wit

S: pasien mengatakan:

 Pasien merasa nyaman

O:

 Suhu: 370 C
 Denyut Nadi: 106x/Menit
 Pernafasan 24 /Menit

10/08/ 2010 A: Resiko terhadap perluasan infeksi tidak terjadi.


3
Pukul 08.50 P: Intervensi dilanjutkan.
E VALUAS I

Nama Pasien : An.A

Umur : 13 tahun/bulan

Tanggal/Ja No. Dx. Per Evaluasi


m
Hari/ 1 S: pasien mengatakan:
tanggal:  Nyeri berkurang
senin/09-08-  Merasa nyaman dengan lingkungan yang tenang
2010
O:
Pukul: 13.55
wit  Ekspresi wajah tampak tenang
 Skala nyeri 1-2

A: masalah belum teratasi


P: intervensi yang dilanjutkan:

 Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri


 Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah
baring
 Berikan lingkungan yang tenang
 Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh
: relaksasi, latihan nafas dalam,
 Kolaborasi : pemberian analgetik

Hari/
tanggal: S: pasien mengatakan:
senin/09-08- 2
2010  Tidak merasa lemas

pukul: 13.55 O:
wit
 Pasien dapat menggerakan tungkainya namun masih
terasa sedikit sakit

A: masalah belum teratasi

P: intervensi yang dilanjutkan:

 Kaji ulang tingkat akivitas/ mobilisasi


 Berikan latihan aktivitas secara bertahap
 Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai
kebutuhan

Hari/
S: pasien mengatakan:
tanggal:
senin/09-08-  Pasien merasa nyaman
2010 3
O:
Pukul:13.55
wit  Suhu: 36,50 C
 Denyut Nadi: 100x/Menit
 Pernafasan 24 /Menit

A: Resiko infeksi tidak terjadi

P: Intervensi yang dilanjutkan:

 Pantau tanda-tanda vital


 Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
 Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

Nama Pasien :………………………….


Umur :………………………….
Diagnosa medis :………………………….

No Masalah Keperawatan Intervensi Evaluasi


Prioritas
masalah
No : Gangguan perfusi 7. Monitor peningkatan TIK S:
Tgl : jaringan cerebral 8. Berikan posisi 15 – 30º
Jam : Tujuan : Aliran perfusi 9. Kolaburasi pemberian oksigen
cerebral adekwat 10. Monitor peningkatan hasil
laboratorium
DS : O:
11. ……………………….
12. ……………………….

DO :

A:
P:
Criteria hasil :

No : Ketidak efektifan 7. Kaji kedalaman pernafasan S:


Tgl : bersihan jalan nafas 8. kaji pemakaian alat Bantu
Jam : Tujuan : Jalan nafas pernafasan
9. Memberikan posisi untuk
bebas sumbatan
memudahkan pengeluaran
DS : ecret O:
10. Monitor suara nafas
11. ……………………….
DO : 12. ……………………….

A:

P:
Criteria hasil :

No : Ketidak efektifan Pola 7. Monitor tanda – tanda vital S:


Tgl : nafas 8. Monitor status pernafasan
Jam : Tujuan : Pola nafas 9. Kaji perubahan hasil
laboratorium
kembali adekwat
10. Monitor pemberian oksigen
DS : 11. ………………………. O:
12. ……………………….

DO :

A:

P:
Criteria hasil :

No : Gangguan pertukaran 6. kaji status respirasi S:


Tgl : gas 7. memberikan posisi
Jam : Tujuan : pertukaran 8. Monitor pemberian oksigen
9. ………………….
O2 dan CO2 adekwat
DS : 10. ………………………. O:

DO :

A:

Criteria hasil : P:

No : Penurunan curah 7. Kaji tanda – tanda penurunan S :


Tgl : jantung curah jantung
Jam : Tujuan : 8. Pertahankan keseimbangan
balance cairan
Kontraktilitas otot
9. Batasi aktivitas untuk
jantung dapat menurunkan kerja jantung O:
dipertahankan optimal 10. Kolaburasi pemberian oksigen
DS : 11. ……………………….
12. ……………………….

DO : A:

P:

Criteria hasil :

No : Penurunan aliran 7. Monitor perubahan S:


Tgl : darah perifer tekanan sistemik dan
Jam : Tujuan : Aliran perifer perfusi jaringan perifer
8. kaji perubahan
adekwat
neurovaskuler
DS : 9. Berikan tindakan O:
meminimalkan daerah
DO : komplikasi perifer
10. ……………………….
11. ………………………
12. ………………………. A:
Criteria hasil :
P:

No : Nyeri Akut / kronis 6. kaji nyeri S:


Tgl : Tujuan : terjadi 7. Memberikan kompres
Jam : penurunan skala nyeri hangat
8. kolaburasi pemakaian obat
DS :
farmakologis O:
9. ……………………….
DO : 10. ……………………….

A:
Criteria hasil :
P:

No : Defisit volume cairan 6. Monitor status hidrasi S:


Tgl : Tujuan : tidak terjadi 7. Monitor status elektrolit
Jam : penurunan volume 8. Monitor tanda – tanda vital
9. ……………………….
cairan
10. ……………………….
DS : O:

DO :

A:
Criteria hasil :
P:

No : Gangguan 6. kaji keseimbangan S:


Tgl : Keseimbangan cairan / balance cairan
Jam : elektrolit 7. Monitor intake dan output
cairan
Tujuan : terjadi
8. timbang berat badan
keseimbangan cairan 9. ………………………. O:
dan elektrolit 10. ……………………….
DS :

DO :
A:

P:
Criteria hasil :

No : Gangguan mobilisasi 6. Berikan posisi/ merubah S:


Tgl : Tujuan : posisi
Jam : mobilisasi adekwat 7. Kaji adanya tanda iritasi kulit
8. ……………………….
DS :
9. ……………………….
10. ………………………. O:
DO :
Criteria hasil : A:

P:

No : Gangguan integritas 6. Rubah posisi untuk S:


Tgl : kulit mengurangi tekanan
Jam : Tujuan : 7. Berikan bantal pada daerah
yang tertekan
integritas kulit
8. ……………………….
membaik 9. ………………………. O:
DS : 10. ……………………….

DO :
A:

P:

Criteria hasil :

No : Risiko injuri 7. Pasang alat pengaman S:


Tgl : Tujuan : tidak terjadi dipinggir tempat tidur
Jam : injuri selama 8. Daerah ikatan dilonggarkan
setiap 2 jam
perawatan
9. Kaji daerah pengikatan
DS : 10. Berikan ROM pasif O:
11. ……………………….
12. ……………………….
DO :

A:

P:
Criteria hasil :

No : 1. ……………………… S:
Tgl : 2. ……………………….
Jam : 3. ……………………….
4. ……………………….
5. ……………………….
O:
DS :
DO :
A:

P:

Criteria hasil :
BAB II
JURNAL DAN ANALISA PICO

1. JURNAL DAN ANALISA PICO SISTEM PENDENGARAN

Medica Hospitalia Med Hosp 2017; vol 4 (2) : 72–


76

Review Article

Gangguan Pendengaran pada Infeksi Citomegalovirus Kongenital


Tri Juda Airlangga, Rossa Martiastini, Retta

Departemen THT–KL Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak Hearing disorder of congenital


cytomegalovirus
Citomegalovirus merupakan penyebab gangguan
pendengaran non genetik yang merupakan infeksi virus
intrauterin dan bersifat kongenital. Infeksi CMV pada
kehamilan, berpotensi menimbulkan kecacatan permanen
Abstract
seperti sensorineural hearing loss (SNHL), gangguan
penglihatan, epilepsi dan global delay development. Infeksi Cytomegalovirus a non-genetic causes of hearing loss which
citomegalovirus dapat bersifat simptomatik dan is a viral infection and intrauterine and can be part of
asimptomatik yang sangat sulit dideteksi keberadaannya bila congenital. Infection of CMV in pregnancy, potentially
tidak dilakukan pemeriksaan awal fungsi pendengaran. causing permanent disability such as sensorineural hearing
Diperlukan pemeriksaan skrining, dan diagnosis serta follow loss (Sensorineural hearing loss), vision disorders, epilepsy
up fungsi pendengaran pada bayi baru lahir yang berisiko and global development delay Citomegalovirus infection can
maupun positif terinfeksi CMV. Sifat gangguan pendengaran be symptomatic and asymptomatic very difficult to screen
yang ditimbulkan yang fluktuatif mengakibatkan perlunya exist if they are not carried out the initial examination of
pemeriksaan yang berulang dan konsisten setiap 3 bulan auditory function. Required screening, and diagnosis and
merupakan kendala yang dihadapi dalam deteksi ini. follow-up hearing function in newborns who are at risk or
infected with CMV positive. Typical of hearing can be
Kata kunci : CMV asimptomatik, SNHL fluktuatif, BERA fluctuating need to rescreen the hearing threshold is one of
the problem for this case.
Keywords : CMV asimptomatic, SNHL fluctuatif, BERA
PENDAHULUAN

Sitomegalovirus merupakan penyebab paling sering infeksi kongenital dan penyebab utama
ketulian pada bayi dan anak-anak. Sekitar 14% bayi/anak yang terinfeksi CMV kongenital
didapatkan adanya SNHL dan lebih dari setengah ketulian pada infeksi CMV kongenital
tidak terdeteksi pada awal kelahiran dan bermanifestasi sebagai gangguan pendengaran
beberapa bulan/tahun kemudian (delayed-onset), hanya sebagian
kecil tuli saraf yang terdeteksi pada awal kelahiran. 1,2
Penelitian terakhir melaporkan bahwa 22% bayi/anak-anak dengan infeksi CMV
memiliki resiko terdapat SNHL. SHNL pada infeksi CMV kongenital lebih sering terjadi pada
infeksi primer kehamilan trimester pertama. Pada penelitian yang dilakukan oleh Foulon I et
al,3 menunjukkan CMV yang terjadi pada trimester 1 atau lebih, akan memberikan gambaran
karakteristik SNHL yang cenderung berbeda.3
Dikutip dari Fowler KB et al, Wiliamson et al, Foulon I dan Dahle AJ et al, Foulon I et al4
menyatakan bahwa ambang dengar pada anak-anak dengan infeksi CMV kongenital tidak
stabil. Ambang dengar tidak hanya mengalami penurunan yang progresif juga ditemukan
adanya fluktuasi maupun perbaikan ambang dengar. 4
Deteksi dini adanya gangguan fungsi pendengaran dan pemahaman mengenai
karakteristik SNHL pada infeksi CMV, dapat membantu menentukan pilihan terapi dan
habilitasi pada bayi/anak yang terinfeksi CMV kongenital sehingga dapat memperbaiki
kemampuan bicara lebih dini. 4, 5
Medica Hospitalia | Vol. 4, No. 2, Mei 2017

Citomegalovirus (CMV)

CMV merupakan penyebab utama SNHL non-herediter dan berkontribusi terhadap


gangguan perkembangan saraf pada anak.
CMV merupakan virus DNA famili Herpesviridae yang mampu bertahan (masa
latensi) dalam waktu yang lama di dalam host dan kemudian dapat teraktivasi kembali.
Virus ini ditransmisikan melalui kontak langsung antara individu, yaitu kontaminasi dari
urin, saliva, semen, sekret vagina dan air susu. Kontaminasi melalui droplet sangat jarang
terjadi. Virus mati dengan proses pemanasan, sabun, detergen dan proses
diinfektan.6
Penularan virus pada bayi dan janin dapat melalui tiga cara yaitu: (1) intrauteri
yaitu plasenta, (2) intrapartum (3) post natal yaitu selama proses menyusui. penularan
melalui intrauterin adalah proses
transmisi yang paling penting karena dapat
menimbulkan defisit neurologi.6,7
Penularan virus dapat terjadi secara primer maupun rekuren. Infeksi primer pada
maternal didefinisikan sebagai serokonversi antibodi Ig G CMV menjadi positif selama
masa kehamilan atau kadar serologi antibodi Ig M yang sangat tinggi dan kadar Ig G
yang rendah pada serum darah yang diambil pada kehamilan trimester pertama yang
kemudian terjadi penurunan kadar IgM dan kenaikan kadar IgG pada follow up
berikutnya. Dikutip dari Alhfors et al dan Stagno et al oleh Malm G,6 melaporkan infeksi
primer pada maternal sekitar 1–4% dengan resiko penularan ke janin 30–40%, lebih
tinggi dibandingkan dengan resiko penularan pada infeksi rekuren. Dan penelitian oleh
Bodeus et al8 menunjukkan adanya perbedaan signifikan secara statistik (p<0,001)
peningkatan resiko transmisi
CMV pada kehamilan trimester ketiga (late seroconversion) 6,14 kali dibandingkan pada
kehamilan trimester pertama dan kedua (early seroconversion).3,6,8
Penelitian oleh Foulon I et al,3 menunjukkan bahwa infeksi primer yang terjadi pada
trimester
kehamilan dapat menjadi faktor penentu adanya SNHL pada bayi/anak. Sebanyak 80%
anak-anak yang dilahirkan dengan infeksi CMV pada masa kehamilan trimester pertama,
didapatkan SNHL. Dikutip oleh Foulon I et al3 dari Pass et al, menyatakan bahwa pada
anak-anak yang dilahirkan dengan infeksi primer pada kehamilan trimester pertama
didapatkan SNHL dengan resiko yang lebih tinggi. Informasi tentang pengaruh usia
kehamilan terhadap virulensi infeksi CMV kongenital membantu menentukan prognosis,
diagnosis,
tatalaksana dan strategi pencegahan infeksi tersebut
pada masa kehamilan.3,9
Prevalensi infeksi CMV kongenital yang tinggi dan morbiditas yang serius, sangat
diperlukan penanganan yang efektif untuk mencegah penularan/transmisi infeksi CMV
pada masa kehamilan.

Vaksin CMV bertujuan mempertahankan kondisi imunitas yang sudah ada pada wanita yang
memasuki masa kehamilan. Respon imun ini melindungi janin, melalui transplasenta IgG dan
antibodi penetral memblok masuknya virus ke dalam sel-sel janin. 10
Pengembangan vaksin CMV menjadi priortitas utama di semua institusi kedokteran,
namun lisensi untuk penggunaanya secara luas belum ada. Terdapat sejumlah intervensi
yang sudah dikenal guna mencegah terjadinya penularan infeksi CMV ini, yaitu antara lain,
(1) edukasi kebersihan tangan pada wanita hamil, (2) skrining maternal prenatal untuk
mengidentifikasi adanya hyperimun globulin (3) terapi antiviral,
(4) skrining bayi baru lahir sebagai diagnosis dini adanya SNHL delay-onset.11
Dikutip dari Nigro et al, oleh Mc Carthy MP et al10 penelitian tentang penggunaan
CMV hiperimmune globulin intra umbilikal, intraamnion dan intravena. CMV hiperimmune
globulin diproduksi oleh plasma manusia yang sudah diskrining terdapat baik antivirus
maupun imunomodulator CMV. Untuk pasien dengan kondisi imunocompromised digunakan
vaksin jenis CMV spesific T-cell therapy. pada penelitiannya Nigro et al memeriksa 31 wanita
hamil yang telah terinfeksi CMV kongenital dan diberikan vaksin CMV hiperimmune globulin,
didapatkan hanya 1 wanita memiliki bayi yang terinfeksi CMV kongenital. Dari 14 wanita
hamil yang menolak pengobatan didapatkan 7 wanita yang memiliki bayi dengan CMV
kongenital simtomatik (OD: 0,02 dan p <0,001). Berdasarkan penelitian tersebut, CMV
hiperimmune globulin aman pada kehamilan.10
Dikutip dari penelitan Picono et al, oleh Mc Carthy MP et al,10 sebuah studi kohort
pada 1951 wanita hamil minggu ke-12 IgG dan IgM spesifik CMV negatif, beserta
pasangannya diberikan edukasi baik lisan maupun tulisan sebagai pencegahan terhadap
infeksi CMV kongenital. Hasil pemeriksaan antibodi pada minggu ke36 didapatkan angka
serokonversi 0,26%. Hasil penelitian ini menunjukkan edukasi tentang personal higiene
efektif sebagai pencegahan terhadap timbulnya serokonversi CMV. 10
Untuk memastikan efektivitas dan keamanan vaksin serta intervensi dengan edukasi
dan perubahan perilaku sebagai pencegahan serokonversi masih diperlukan penelitian lebih
lanjut dengan metode Randomized Control Trial (RCT). Hingga saat ini metode intervensi
perubahan perilaku dan edukasi masih merupakan metode pencegahan terbaik bagi
penularan infeksi CMV kongenital.10

Patofisiologi kerusakan syaraf pendengaran pada CMV

Infeksi CMV merupakan penyebab utama kecacatan perkembangan neurologis dan SNHL
non herediter. Mekanisme patofisiologi infeksi CMV yang menimbulkan SNHL belum
diketahui dengan jelas dan tatalaksana infeksi CMV kongenital juga belum ada standarisasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Teisser N et al,12 terhadap 6 janin yang
terinfeksi CMV pada usia kehamilan 19–35 minggu. Semua janin tersebut memiliki virus
load yang tinggi di cairan amnion, lesi yang berat pada organ visera dan sistem saraf pusat
(SSP). Seperti dikutip dari Lazzaroto et al oleh Teisser N et al,12 melaporkan bahwa nilai
DNA CMV yang tinggi pada cairan amnion mengindikasikan peningkatan resiko semakin
beratnya infeksi CMV yang terjadi. Pada penelitian ini ditemukan adanya lesi difus terdiri
dari sel cytomegalic yang berisi badan inklusi dan sel-sel inflamasi didapatkan pada telinga
dalam, otak, plasenta yang menunjukkan adanya penyebaran melalui hematogen. Infeksi
pada koklea ditemukan terutama di stria vaskularis, organ korti dan juga pada organ
vestibular.12
Stria vaskularis merupakan epitel yang dilapisi oleh pembuluh darah. Disfungsi
pada stria vaskularis disebabkan oleh adanya cytopathic effect CMV dan proses inflamasi
yang mengganggu homeostasis dan potensial listrik kalium, dengan merusak pompa ion
kalium atau secara tidak langsung merusak ikatan sel/cellular junction. Kerusakan yang
terjadi pada membran Reissner's dapat menyebabkan perubahan gradien elektrokimia
antara endolimfe dan perilimfe. Mekanisme kerusakan yang terjadi pada organ vestibular
juga karena gangguan pada gradien kalium.12
Pada penelitian oleh Teisser N et al12 didapatkn bahwa mekanisme utama terjadinya
SNHL diduga diakibatkan perubahan pada homeostasis kalium melalui kerusakan/lesi
pada koklea yang di stria vaskularis dan membran Reissner's. Disregulasi kalium di
kompartemen endolimfe yang berat dan lama berperan pada terjadinya gangguan
pendengaran. Sedangkan lesi pada jalur auditori menyebabkan gangguan integrasi dari
informasi pendengaran sentral.12
Beratnya infeksi dan penyebaran CMV dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu masa
kehamilan dan virus load; faktor janin dan virus load yang memungkinkan terjadinya
replikasi virus menjadi jenis sel yang berbeda dan; kualitas barier (blood brain barrier, inner
ear-blood, dan brain-inner ear).12
Kerentanan telinga terhadap infeksi CMV terjadi pada masa kehamilan trimester
pertama, hal ini bisa dijelaskan melalui perkembangan embriologi, labirin membranosa
dibentuk antara minggu ke-3 dan ke-10 masa kehamilan. 3

Diagnostik CMV Kongenital

Hampir semua CMV didapat pada dewasa dan wanita hamil tidak menunjukkan adanya
gejala. Hanya sekitar 10–15% dengan CMV terdapat gejala, gambaran klinis klasik ditandai
dengan keterlibatan multipel organ, terutama retikuloendotelial dan SSP dengan atau
tanpa
Gangguan Pendengaran pada Infeksi Citomegalovirus Kongenital

kerusakan okular dan pendengaran. Gejala yang jelas dapat berupa kuning,
hepatosplenomegali, mikrosefali, petekie, dan Intra uterine growth retardation (IUGR)
seringkali terjadi pada bayi baru lahir. CMV kongenital pada anak-anak dapat menyebabkan
bermacam-macam bentuk disabilitas baik yang berdiri sendiri maupun yang dengan
kombinasi, seperti retardasi mental, autisme, gangguan belajar, cerebral palsy, epilepsi
gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan hingga kebutaan. 6,7
Infeksi CMV kongenital merupakan satu-satunya penyebab utama SNHL pada masa
kanak-kanak. SNHL
terdapat pada sekitar 10–15% dari seluruh bayi dengan infeksi CMV kongenital dan sebanyak
30–65%nya merupakan infeksi yang simtomatis. SNHL dapat muncul sebagai late/delay onset
dalam usia 6 tahun pertama pada bayi dengan CMV kongenital yang simtomatik maupun
asimtomatik, kepustakaan lain menyebutkan usia 5–7 tahun. Pada umumnya anak-anak
dengan infeksi CMV simtomatis terdapat SNHL pada usia yang lebih muda dan derajat yang
lebih berat dibandingkan dengan anak-anak dengan infeksi CMV yang asimtomatik. SNHL
dapat bersifat fluktuatif, progresif, dan perbaikan ambang dengar. Diagnosis infeksi CMV
kongenital yang akurat harus tegak dalam waktu 3 minggu sejak test serologi maupun
virologi. Lebih dari 3 minggu infeksi kongenital CMV tidak dapat dibedakan dengan infeksi
yang didapat. Diagnosis infeksi CMV kongenital pada bayi dengan ditemukannya virus (1)
isolasi virus dari urin; (2) identifikasi DNA CMV dengan PCR pada urin, darah (termasuk
dried blood spoot/DBS), saliva dan CSS dimana sampel diambil sebelum bayi berusia 3 minggu;
(3) deteksi kadar antigen IgM CMV dalam darah. Deteksi antigen CMV didalam darah dapat
mendiagnosis infeksi CMV dengan cepat,
namun cara ini memiliki sensitivitas yang rendah. 6,7
Diagnosis dapat dilakukan diluar waktu 3 minggu setelah kelahiran, dengan
pengambilan darah secara retrospektif, yaitu 3–5 hari setelah bayi lahir, yang secara rutin
digunakan sebagai skrining gangguan metabolik herediter. Sampel ini dapat disimpan dalam
jangka waktu yang lama, sehingga dapat mendiagnosis secara retrospektif pada anak-anak
dengan gangguan pendengaran dan ensefalopati. Untuk mengetahui jenis infeksi CMV
maternal, diagnosis CMV kongenital dikombinasikan dengan analisa serologis dari sampel
darah post partum bersamaan dengan pemeriksaan pada bayi . jika serum pada saat hamil
trimester pertama tersedia, maka dapat membedakan infeksi primer atau reaktivasi/rekuren.
Salah satu kesulitan diagnosis CMV kongenital yaitu, waktu tenggat 4 minggu pasca bayi
dilahirkan. 6,7

Skrining Pendengaran pada bayi/anak dengan infeksi CMV kongenital

Beberapa studi meyebutkan bahwa ambang dengar pada


Medica Hospitalia | Vol. 4, No. 2, Mei 2017

anak-anak dengan CMV kongenital cenderung tidak stabil. Terjadi penurunan ambang
dengar yang berat, dapat menetap maupun progresif dan dapat terjadi perbaikan ambang
dengar. SNHL yang timbul dari derajat ringan hingga sangat berat, dan dapat terjadi
unilateral maupun bilateral. SNHL dikatakan perbaikan, apabila terdapat perbaikan
ambang dengar > 10 dB pada satu atau lebih frekuensi. Perbaikan ambang dengar
mencapai 30dB sampai 50dB, perbaikan juga dapat terjadi pada SNHL berat bilateral.
Dikutip dari Dahle AJ et al oleh Foulon I4 menyatakan perbaikan ambang dengar terjadi
pada 48% infeksi CMV kongenital asimtomatik dan 21% pada simtomatik. SNHL dapat
bermanifestasi saat lahir maupun late/delay onset, bersifat fluktuatif maupun progresif.
SNHL yang bersifat progresif yaitu penurunan ambang dengar >10dB pada 1 atau lebih
frekuensi, sedangkan bersifat fluktuatif didefinisikan sebagai penurunan ambang dengar
>10dB pada 1 atau lebih frekuensi yang diikuti pebaikan
>10dB.4-7
Joint Commite on Infant Hearing (JCIH) telah mengesahkan program deteksi dan
intervensi dini pada gangguan pendengaran pada bayi. Tujuan program tersebut adalah
memaksimalkan kemampuan linguistik dan perkembangan berbahasa untuk anak-anak
dengan gangguan pendengaran, karena tanpa proses pembelajaran bahasa yang baik, anak-
anak dengan gangguan pendengaran akan mengalami gangguan dalam komunikasi,
proses belajar dan perkembangan emosi sosial.15
Skrining dikerjakan pada bayi dengan usia kurang dari 1 bulan, dan skrining ulang
akan dikerjakan pada usia kurang dari 3 bulan, bila didapatkan hasil “gagal”. Bayi harus
dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan, bila terdiagnosis terdapat gangguan
pendengaran. Dengan atau tanpa faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran,
pengawasan dan observasi terhadap perkembangan perkembangan komunikasi dimulai
usia 2 bulan sejak dilakukannya pemeriksaan.15
Skrining pendengaran harus mengidentifikasi secara khusus gangguan pendengaran
dengan pemeriksaan yang jangka panjang, adanya keterlambatan perkembangan akibat
gangguan pendengaran, tersedianya tehnik skrining fisiologis dan intervensi yang efektif.
Karena SNHL pada infeksi CMV dengan delay-onset tidak terdeteksi pada program
Universal Auditory Newborn Screening, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan yang
efektif dengan mengkombinasikan program tersebut dengan deteksi infeksi CMV
kongenital pada periode 3–4 minggu bayi baru lahir kongenital pada saat lahir.
Berdasarkan JCIH , bayi dengan faktor resiko namun lulus pemeriksaan audiologi perlu
evaluasi ulang pada usia 24 sampai 30 bulan. Pada infeksi CMV kongenital diperlukan
evaluasi dini dan lebih sering. Pada penelitian oleh Foulon I et al,3 evaluasi audiologi
dilakukan pada usia 1,

75

4, 8 bulan, 1 tahun. Dan diharapkan paling tidak 50% kasus SNHL dengan infeksi CMV
kongenital yang terdeteksi pada program neonatal hearing screening.3,6,15,16
Untuk menentukan tatalaksana yang terbaik diperlukan pemahaman yang baik
terhadap karakteristik SNHL. Pilihan pemeriksaan program skrining pendengaran pada bayi
baru lahir umumnya menggunakan Otoacoustic Emission (OAE) dan atau Auditory Brainstem
Respons (OAE)/BERA. Dikutip oleh 17, dari Cox et al, Galambos et al, Jacobson et al,
menyatakan kedua metode pemeriksaan tersebut memberikan informasi yang objektif,
reliabel. Karakterisktik yang khas dari keduanya menunjukkan cara-cara yang berbeda untuk
mengevaluasi fungsi pendengaran pada bayi. OAE dapat merekam dengan cepat dan
memberikan informasi ada tidaknya gangguan pendengaran, sedangkan ABR dengan
menggunakan stimulus frekuensi yang spesifik dan konduksi tulang dapat memberikan
informasi penting untuk menentukan tatalaksana selanjutnya. Talaksana infeksi CMV
disarankan dengan pemberian Gancyclovir 5 mg/kg BB selama 6 minggu dengan 2 kali
pemberian, bila ditemukan infeksi yang bersifat simptomatik dengankan bila ditemukan
gangguan pendengaran belom ada yang menyarankan dengan terapi ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Foulon I NA, Foulon W, Castell A, Gordits F. A 10-Years Prospective Study of sensorineural Hearing Loss
in Child with Congenital Cytomegalovirus. J Pediatrics. 2008;153(184–188).
2. Grosse SD RD, Dollard SC. Congenital cytomegalovirus (CMV) infection as a cause of permanent bilateral
hearing loss: A quantitative assasment. Journal of Clinical Virology. 2007;1328:1–6.
3. Foulon I NA, Foulon W, Casteels A, Gordts F. Hearing loss in children with congenital cytomegalovirus
infection in relation to the maternal trimester in which the maternal primary infection occured. Official
Journal of the American academy of pediatrics. 2008;122:1123–7.
4. Foulon I NA, Faron G, Foulon W, Jansen AC, Gordts F. Hearing Threshold in chlidren with a congenital
CMV infection: A prospective study. International Journal of Pediatrics Otorhinolaryngology. 2012;76:712–7.
5. Liesbeth R CD, Frans D, Ermelinde R. Hearing status in children with congenital cytomegalovirus: Up to 6
years audiological follow-up. International Journal of Pediatrics Otorhinolaryngology. 2011;75:376–82.
6. Malm G EM. Congenital Cytomegalovirus. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine 2007;12:154–9.
7. Kadambari S WE, Luck S, Griffiths PD, Sharland M. Evidence based management guidelines for the
detectionand treatment of congenital CMV. Early Human Development. 2011;87:723–8.
8. Bodeus M HC, Goubau P. Increased risk of Cytomegalovirus transmission in utero during late gestation.
The American College of Obstetrician and Gynecologist. 1999;93:658–60.
9. Pass RF FK, Boppana SB, Britt WJ, Stagno S. Congenital cytomegalovirus infection following first trimester
maternal infection : Symtomps at birt and outcome. Journal of Clinical Virology. 2006;35:216–20.
10. McCarthy FP GM, Rowland S, Purcell KJ, Jones CA. Antenatal intervention for preventing the transmission
of cytomegalovirus (CMV) from the mother to fetus during pregnancy and andverse outcomes in the
congenitally infected infant (review). The Cochrane Collaboration. 2011(3):1–13.
11. Kenneson A CM. Review and meta-analysis of epidemiology of congenital cytomegalovirus (CMV)
infection. Review Medical Virology. 2007;17:253–76.
12. Teisser N DA, Mas AE, Savtovsky SK, Bessieres B, Nardelli J, et al. Inner ear lession in congenital
cytomegalovirus infection of human fetuses. Acta Neuropathology. 2011;122:763–74.
13. Misono S SK, Weiss NS, Huang ML, Boeckh M, Norton SJ, Yueh B. Congenital Cytomegalovirus Infection
in Pediatric Hearing
Loss Arch Otolaryngology Head Neck Surgery.
2011;137:47–53.
Gangguan Pendengaran pada Infeksi Citomegalovirus Kongenital

14. KB F. Congenital Cytomegalovirus infection : Audiologic outcome. Clinical Infectious Disease. 2013;57:182–4.
15. Hearing JCoI. Year 2007 position statement: Principles and guidelines for early hearing detection. American
Academy of Pediatrics. 2007;120:1–26.
16. Fowler KB DA, Boppana SB, Pass RF. Newborn hearing screening: Will children with hearing loss caused
by congenital cytomegalovirus infection be missed? The Journal of Pediatrics. 1999;135:60–4.
17. LJ H. Testing infants and children with physiological measures. In: LJ H, editor. Clinical Application of the
Auditory Brainstem Respons. London: Singular Publishing Group, Inc; 1998.

 Analisa PICO
Judul : Gangguan Pendengaran pada Infeksi Citomegalo virus Kongenital

Penulis: TriJuda Airlangga, Rossa Martiastini, Retta


Tahun : 2017

Problem: Sitomegalo virus merupakan penyebab paling sering infeksi kongenital


dan penyebab utama ketulian pada bayi dan anak-anak. Sekitar 14% bayi/anak
yang terinfeksi CMV kongenital di dapatkan adanya SNHL dan lebih dari
setengah ketulian pada infeksi CMV kongenital tidak terdeteksi pada awal
kelahiran dan bermanifestasi sebagai gangguan pendengaran beberapa
bulan/tahun kemudian (delayed-onset), hanya sebagian 1,2 kecil tuli saraf yang
terdeteksi pada awal kelahiran .
Prevalensi infeksi CMV kongenital yang tinggi dan morbiditas yang serius,sangat
diperlukan penanganan yang efektif untuk mencegah penularan/transmisi infeksi
CMV pada masa kehamilan.

Intervention: Vaksin CMV bertujuan mempertahankan kondisi imunitas yang


sudah ada pada wanita yang memasuki masa kehamilan. Respon imun ini
melindungi janin, melalui transplasentaI Gg dan antibodi penetral memblok
masuknya 10 virus kedalam sel-sel janin.

Pengembangan vaksin CMV menjadi priortitas utama di semua institusi


kedokteran, namun lisensi untuk penggunaan yang secara luas belum ada.
Terdapat sejumlah intervensi yang sudah dikenal guna mencegah terjadinya
penularan infeksi CMV ini,yaitu antara lain :

(1) edukasi kebersihan tangan pada wanita hamil,

(2) skrining maternal prenatal untuk mengidentifikasi adanya hyperimun globulin

(3) terapi antiviral,

(4) skrining bayi baru lahir sebagai diagnosis dini adanya 11SNHL delay-onset.

Compare: Skrining dikerjakan pada bayi dengan usia kurang dari 1 bulan, dan
skrining ulang akan dikerjakan pada usia kurang dari 3 bulan, bila didapatkan
“gagal”. Bayi harus dilakukan intervensi sebelumusia 6bulan, bila terdiagnosis
terdapat gangguan pendengaran. Dengan atau tanpa faktor risiko terjadinya
gangguan pendengaran, pengawasan dan observasi terhadap perkembangan –
perkembangan komunikasi di mulai usia 152 bulan sejak dilakukannya
pemeriksaan. Skrining pendengaran harus mengidentifikasi secara khusus
gangguan pendengaran dengan pemeriksaan yang jangkapanjang, adanya
keterlambatan perkembangan akibat gangguan pendengaran, tersedianya tehnik
skrining fisiologis dan intervensi yang efektif. Karena SNHL pada infeksi CMV
dengan delay-onset tidak terdeteksi pada program Universal Auditory Newborn
Screening, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan yang efektif dengan
mengkombinasikan program tersebut dengan deteksi infeksi CMV kongenital
pada periode 3–4 minggu bayi baru lahir kongenital pada saat lahir. Berdasarkan
JCIH, bayi dengan faktor resiko namun lulus pemeriksaan audiologi perlu
evaluasi ulang pada usia 24 sampai 30bulan. Pada infeksi CMV kongenital
diperlukan evaluasi dini dan lebih sering.

Outcome: Untuk menentukan tatalaksana yang terbaik diperlukan pemahaman


yang baik terhadap karakteristik SNHL. Pilihan pemeriksaan program skrining
pendengaran pada bayi baru lahir umumnya menggunakan Otoacoustic Emission
(OAE) dan atau Auditory Brainstem Respons (OAE)/BERA. Dikutip oleh 17, dari
Coxetal, Galambosetal, Jacobsonetal, menyatakan kedua metode pemeriksaan
tersebut memberikan informasi yang objektif, reliabel. Karakterisktik yang khas
dari keduanya menunjukkan cara-cara yang berbeda untuk mengevaluasi fungsi
pendengaran pada bayi. OAE dapat merekam dengan cepat dan memberikan
informasi ada tidaknya gangguan pendengaran, sedangkan ABR dengan
menggunakan stimulus frekuensi yang spesifik dan konduksi tulang dapat
memberikan informasi penting untuk menentukan tatalaksana selanjutnya.
Talaksana infeksi CMV disarankan dengan pemberian Gancyclovir 5 mg/kg BB
selama 6 minggu dengan 2 kali pemberian, bila ditemukan infeksi yang bersifat
simptomatik dengankan bila ditemukan gangguan pendengaran belom ada yang
menyarankan dengan terapi ini.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN
SERUMEN OBSTURAN PADA PASIEN RAWAT JALAN DI POLIKLINIK
THT RSUD DR. SOEROTO NGAWI TAHUN 2016

Novendra Maya Melinda, Arne Laksmiasanti, Erna Herawati


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstrak
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi serumen obsturan sudah banyak diketahui
secara teoritis, tapi belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
membuktikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan serumen obsturan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi faktor risiko terjadinya serumen
obsturan pada pasien rawat jalan di poliklinik THT RSUD dr. Soeroto Ngawi. Penelitian
observasional analitik dengan desain cross-sectional. Sampel berupa semua pasien rawat jalan yang
berkunjung ke poliklinik THT RSUD dr. Soeroto Ngawi tanggal 1 November – 1 Desember 2016
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan metode consecutive sampling. Sampel
diperiksa menggunakan alat otoskop pada kedua telinga. Faktor yang mempengaruhi pembentukan
serumen obsturan dinilai melalui beberapa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam
kuesioner. Insidensi serumen obsturan sebanyak 72% (72 pasien) dari 100 pasien yang diteliti.
Distribusi jenis kelamin pada penelitian ini terdiri dari 33 pasien laki-laki dan 67 pasien perempuan
dengan distribusi serumen obsturan sebanyak 23 (69,7%) pasien laki-laki dan 49 (73,1%) pasien
perempuan. Hasil uji komparatif Chi-square dan Regresi Logistik antara pembentukan serumen
obsturan dengan jenis kelamin, umur, Indeks Massa Tubuh (IMT), riwayat sakit telinga dan
pekerjaan tidak didapatkan hubungan yang signifikan. Setelah dilakukan uji menggunakan Regresi
Logistik, perilaku membersihkan telinga berhubungan secara signifikan dengan kejadian serumen
obsturan. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara serumen obsturan dengan jenis
kelamin, umur, Indeks Massa Tubuh (IMT), riwayat sakit telinga, pekerjaan. Hubungan yang
signifikan didapatkan antara kejadian serumen obsturan adalah perilaku membersihkan telinga.

Kata Kunci: faktor pengaruh, serumen obsturan.


Abstract

Factors influencing the high incidence of cerumen obsturan already known theoretically, but has
not been widely studied. This study aims to identify and prove the factors that influence the
formation of cerumen obsturan. This study aimed to determine what are the risk factors of cerumen
obsturan at the outpatient clinic of dr. Soeroto Ngawi. The study was observational analytic with
design. Cross-sectional sample of all outpatients who visited the clinic dr. Soeroto Ngawi dated 1
November to 1 December 2016 meet the criteria for inclusion and exclusion with method.
Consecutive sampling samples were examined using an otoscope tool on both ears. Factors
affecting the formation of cerumen obsturan assessed through several questions posed in the
questionnaire. The incidence of cerumen obsturan as much as 72% (72 patients) of the 100 patients
studied. The distribution of the sexes in this study consisted of 33 male patients and 67 female
patients with cerumendistribution obsturan by 23 (69.7%) patients were male and 49 (73.1%)
patients were female. The results of comparative Chi-square test and logistic regression between
the formation of cerumen obsturan by sex, age, body mass index (BMI), history of ear pain and a
job not found a significant relationship. After being tested using logistic regression, ear cleaning
behavior significantly associated with the occurrence of cerumen obsturan. There were no
significant association between earwax obsturan by sex, age, body mass index (BMI), history of ear
pain, work. Significant relationships found between the incidence of cerumen obsturan behavior ear
cleaning.

Keywords: factors of influence, cerumen obsturan


PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran merupakan suatu permasalahan yang dapat terjadi pada setiap umur
dan menyebabkan seseorang sulit berkomunikasi verbal. Gangguan ini dapat dikategorikan
sebagai gangguan pendengaran konduktif, sensorineural maupun keduanya. Salah satu penyebab
utama gangguan pendengaran konduktif adalah serumen obsturan (Alriyanto, 2010).
Serumen obsturan atau kotoran telinga adalah produk kelenjar sebasea dan apokrin yang ada
pada kulit liang telinga dalam kondisi menumpuk dan keras. Pengerasan serumen atau kotoran
telinga ini lebih sering terjadi pada anakanak dan orang dewasa atau remaja. Sebenarnya fungsi
utama serumen ini adalah untuk menghalangi serangga yang masuk kedalam tubuh kita, namun
serumen tidak bersifat anti jamur dan anti bakteri. Kondisi kulit liang telinga biasanya dalam
kondisi kering sehingga menyebabkan risiko terjadinya serumen obsturan lebih cepat (Soepardi
et al., 2011).
Di Indonesia, adanya sumbatan kotoran telinga atau serumen obsturan merupakan
penyebab utama dari gangguan pendengaran pada sekitar 9,6 juta orang. Berdasarkan survei
cepat yang dilakukan Profesi Perhati Fakultas Kedokteran Indonesia (FK UI) di beberapa
sekolah di enam kota di Indonesia, prevalensi serumen obsturan pada anak sekolah cukup tinggi,
yaitu antara 3050% (Kemenkes, 2013).
Serumen obsturan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi dan bisa mengenai semua umur
(Sutji et al., 2012). Kejadian ini merupakan salah satu kejadian terbanyak di poliklinik THT
RSUD dr. Soeroto Ngawi. Dan juga masih banyaknya masyarakat yang kurang peduli terhadap
kebersihan telinga. Maka akan dilakukan penelitian terhadap beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi terjadinya serumen obsturan pada kalangan masyarakat, khususnya pada pasien
rawat jalan di poliklinik THT RSUD dr. Soeroto Ngawi.
Ada beberapa akibat yang ditimbulkan oleh serumen obsturan yaitu pendengaran berkurang
dan jika daun telinga ditarik maka suara yang kita dengarkan akan lebih jelas dan ada kalanya
telinga berdengung, ini bisa menjadi tanda adanya serumen obsturan kemudian adanya rasa
nyeri bila serumen obsturan menekan telinga begitu juga jika dilihat secara visual atau kasat
mata terlihat adanya gundukan dalam liang telinga, namun harus dicek juga apakah keras atau
lunak.
Berikut komplikasi yang terjadi disebabkan oleh serumen obsturan yaitu infeksi pada luar
liang telinga (otititis eksterna), infeksi telinga tengah, jejas pada meatus akustikus eksterna,
tinnitus atau telinga berdengung dan nyeri kepala berputar atau tinnitus.
Tidak semua pasien yang datang untuk konsultasi ke dokter spesialis THT disebabkan
serumen obsturan. Sekitar 39,3 per 1000 pasien yang datang ke pelayanan kesehatan karena
masalah yang terkait dengan serumen obsturan. Insidens yang cukup tinggi tersebut
menunjukkan masalah yang cukup serius terkait serumen pada penduduk yang menerima
perawatan kesehatan primer. Namun, tidak ada literatur yang dapat merincikan setiap faktor
antropologi, psikologis, faktor sosial ekonomi atau medis yang mempengaruhi serumen
obsturan pada pasien. Bahkan sebuah survei di Lothian, Skotlandia melaporkan bahwa dari 289
pelayanan kesehatan primer rata-rata melayani 5 hingga >50 pasien dengan dengan serumen
obsturan setiap bulan (Guest et al., 2004).
Maka dari penjelasan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor apa
sajakah yang mempengaruhi terjadinya pembentukan serumen.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan desain penelitian
observasional analitik, yang mana pengukuran variabel dilakukan secara cross-sectional dengan
menggunakan kuesioner (Sastroasmoro, 2011) pada pasien rawat jalan poliklinik THT RSUD dr.
Soeroto Ngawi. Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik THT RSUD dr. Soeroto Ngawi dan
direncanakan diadakan pada tanggal 7 November 2016 – 7 Desember 2016. Teknik sampling
pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling, yaitu pengambilan sampel didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat –
sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Semua pasien rawat jalan yang berkunjung ke
poliklinik THT RSUD dr. Soeroto Ngawi yang berusia antara 3 tahun – 65 tahun. Dalam
penelitian didapatkan jumlah sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 100 sampel
dengan pembagian 50 subjek yang mengalami serumen obsturan dan 50 subjek non serumen
obsturan. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kuisioner.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik Chi Square dengan
program SPSS for windows versi 20.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Sampel didapatkan berjumlah 100 sampel yang terdiri dari pasien dengan serumen
obsturan pada telinganya sebanyak 72 pasien, dan sisanya sebanyak 28 pasien tidak terdapat
serumen obsturan. Distribusi jenis kelamin pada penelitian ini terdiri dari 33 pasien laki-laki
dan 67 pasien perempuan dengan distribusi serumen obsturan sebanyak 23 laki-laki dan 49
pada perempuan. Dari 100 sampel tersebut diperoleh data sebagai berikut:

Hasil Analisis

Tabel 1. Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian serumen obsturan


Jenis kelamin Serumen jumlah P
obsturan
ada % Tidak % n %
Perempuan 49 73,1 18 26,9 67 100
0,71
Laki-laki 23 69,7 10 30,3 33 100 9
72 72 28 28 100 100

Sumber: Data Primer

Tabel 1. tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara jenis kelamin dengan


angka kejadian serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chi-square) diperoleh
hasil p = 0.719 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna yaitu antara jenis
kelamin dengan kejadian serumen obsturan karena nilai p > 0.05.
Tabel 2. Hubungan antara umur dengan kejadian serumen obsturan
Umur Serumen Jumlah p
obsturan
Ad % Tidak % n %
a
Anak-anak 20 71,4 8 28,6 2 100
8 0,93
7
Dewasa 52 72,2 20 27,8 7 100
2

72 72 28 28 1 100
0
0
Sumber: Data Primer

Tabel 2. menunjukkan bahwa hubungan antara umur dengan angka kejadian


serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chisquare) diperoleh hasil p = 0.937
yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian serumen
obsturan karena nilai p > 0.05.
Tabel 3. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kejadian serumen Obsturan
IMT Serumen obsturan Jumlah p

ada % Tidak % n %

Lebih 15 65,2 8 34,8 2 100


Ideal 38 20,8 3 100
79,2 10
4
8 0,308
Kurang 19 65,5 10 34,5 2 100
9
72 72 28 28 10 100
0
Sumber: Data Primer

Tabel 3. menunjukkan bahwa hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka
kejadian serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chi-square) diperoleh hasil p
= 0.308 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian
serumen obsturan karena nilai p > 0.05.
Tabel 4. Hubungan antara pekerjaan dengan kejadian serumen obsturan
Pekerjaan Serumen obsturan Jumlah p

ada % Tidak % n %

Luar 2
ruangan 18 90 2 10 0 100
0,045
Dalam 8
ruangan 54 67,5 26 32,5 0 100

72 72 28 28 1 100
0
0
Sumber: Data Primer

Tabel 4. menunjukkan bahwa hubungan antara jenis pekerjaan dengan angka


kejadian serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chi-square) diperoleh hasil p
= 0.045 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian
serumen obsturan karena nilai p < 0.05.
Tabel 5. Hubungan antara perilaku membersihkan telinga dengan kejadian serumen obsturan
Perilaku Serumen obsturan Jumlah p

Ada % tidak % N %
Jarang 40 87 6 13 46 100
0,002
Sering 32 59,3 22 40,7 54 100

72 72 28 28 100 100

Sumber: Data Primer

Tabel 5. menunjukkan bahwa hubungan antara perilaku membersihkan telinga


dengan angka kejadian serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chi square)
diperoleh hasil p = 0.002 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara perilaku
membersihkan telinga dengan kejadian serumen obsturan karena nilai p < 0.05.
Tabel 6. Hubungan antara riwayat menderita sakit telinga dengan kejadian serumen obsturan
Riwayat Serumen Jumlah p
obsturan
ada % Tidak % N %

Sering 19 100 0 0 19 100


0,003
Jarang 53 65,4 28 34,6 81 100

72 72 28 28 100 100

Sumber: Data Primer

Tabel 6. menunjukkan bahwa hubungan antara riwayat menderita sakit telinga


dengan angka kejadian serumen obsturan dan dari hasil uji statistik (uji chi square)
diperoleh hasil p = 0.003 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara riwayat
menderita sakit telinga dengan kejadian serumen obsturan karena nilai p < 0.05.
Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan serumen obsturan (p=0.719). Hasil ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh ST Subhas dan Raman R, bahwa hal ini tidak
ditemukan hubungan yang signifikan antara adanya serumen.
Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara umur dengan serumen obsturan (p=0.937) dikarenakan sampel yang
didapatkan kebanyakan adalah dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Disamping itu,
dapat dikaitkan dengan tingkat aktivitas yang dilakukan. Bahwa pada orang dewasa-lansia
memiliki tingkat aktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak-remaja. Namun
perlu diingat bahwa terdapat faktor lainnya yang mempengaruhi pembentukan serumen
obsturan seperti kelainan anatomis ataupun fisiologis yang terdapat pada masing-masing
sampel tertentu. Berdasarkan penelitian (Saiko Sugiura, 2014) yang dilakukan pada 67
pasien yang semuanya berusia di atas 80 tahun menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
pembentukan serumen dan mengakibatkan terjadinya penurunan daya pendengaran atau
presbikusis. Peningkatan produksi serumen dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
seiring proses penuaan, lapisan epitel telinga luar menjadi lebih tipis, jaringan subkutaneus
menjadi atrofi, kelenjar serumen dan sebasea memproduksi minyak pelumas yang lebih
sedikit.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara indeks massa tubuh dengan pembentukan serumen obsturan (p=0.308).
Namun, insidensi serumen obsturan lebih banyak pada sampel dengan indeks massa tubuh
yang ideal (79,2%) dibandingkan sampel dengan berat badan lebih (65,2%) dan sampel
dengan berat badan kurang (65,5%). Orang dengan indeks massa tubuh di atas normal
memiliki kecenderungan gangguan metabolisme, yaitu terjadinya lipolisis yang berlebihan
sehingga menyebabkan kadar asam lemak bebas di dalam tubuh meningkat. Asam lemak
yang berlebih pada orang dengan indeks massa tubuh di atas normal diduga akan
berpengaruh dalam pembentukan serumen obsturan. Namun pada hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh
dengan serumen obsturan (p=0.308). Hal ini bisa saja disebabkan tidak seimbangnya jumlah
sampel yang dibandingkan, yaitu sampel dengan berat badan kurang sampai normal dan
sampel dengan berat badan berlebih.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat sakit telinga dengan serumen obsturan (p=0.003). Bahwa sebagian
besar sampel yang diteliti dan mengakui pernah memiliki riwayat sakit telinga, lebih banyak
yang memiliki riwayat sakit telinga tengah daripada riwayat sakit telinga luar, informasi
tersebut didapatkan setelah dilakukan wawancara singkat lebih lanjut.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan signifikan
hubungan antara pekerjaan dengan seruman obsturan (p=0.045) dikarenakan pembagian
antara jenis pekerjaan hanya berdasarkan pekerjaan di dalam maupun di luar ruangan, tanpa
mengetahui jenis dan tempat pekerjaan dari sampel yang dipilih. Hal lain yang
menyebabkan hasil tersebut signifikan karena sampel yang bekerja di luar ruangan jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan sampel yang bekerja di dalam ruangan (20 : 80 pasien)
sehingga memungkinkan terjadinya bias. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
di Sokota, Nigeria terhadap 200 orang subjek studi dengan pekerjaan yang berbeda-beda
(polisi, pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, guru, dan murid) menunjukkan bahwa
ternyata baik pekerjaan yang berada dalam ruangan (pembantu rumah tangga, guru, dan
murid) maupun pekerjaan di luar ruangan (polisi dan pekerja bangunan) memiliki kebiasaan
yang hampir sama dalam membersihkan telinga baik dari segi frekuensi, cara, dan alat yang
digunakan. Berdasarkan dari hasil penelitian di Sokota, pekerjaan tidak menjadi topik utama
dalam permasalahan munculnya serumen obsturan sehingga tidak dapat ditentukan secara
pasti apakah jenis pekerjaan memiliki pengaruh terhadap terbentuknya serumen obsturan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa, didapatkan hubungan yang signifikan antara
perilaku membersihkan telinga dengan serumen obsturan (p=0.002). Akan tetapi, pada
penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara perilaku
membersihkan telinga dengan serumen obsturan yaitu penelitian yang dilakukan (Guest Jf et
al, 2004) disebutkan bahwa selain penggunaan lidi kapas sebagai suatu kebiasaan yang
dapat mempercepat timbulnya serumen obsturan dan diameter liang telinga memiliki
peranan yang penting. Semakin kecil diameter liang telinga maka semakin besar pula resiko
terjadinya serumen obsturan.
PENUTUP
Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi
pembentukan serumen obsturan adalah perilaku pembersihan telinga.
PERSANTUNAN
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kepala RSUD dr. Soeroto Ngawi, staf, perawat
dan koas FK UII yang telah membantu penulis dalam penelitian ini. Terimakasih kepada Arne
Laksmiasanti, dr., Sp.THT-KL., M.Kes, Burhanuddin Ichsan, dr., M.Med.Ed., M.Kes, Erna
Herawati, dr., Sp.KJ yang telah membimbing, memberikan saran dan kritik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Adegbiji, W.A., Alabi, B.S. & Olajuyin, O.A., 2014. Earwax Impaction: Symptoms, Predisposing
Factors and Perception among Nigerians. J Family Med Prim Care, 3, pp.379-82.
Alriyanto, C.Y., 2010. Pengaruh Serumen Obsturan Terhadap Gangguan Pendengaran. FK UNDIP
Semarang.
Boeis, L., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC.
Crummer, R. & Hassan, G., 2004. Diagnostic Approach to Tinnitus. American Family Physician,
96, pp.120-26.
Guest, J., Greener, M., Robinson, A. & Smith, A., 2004. Impacted Cerumen:
Composition, Production, Epidemiology, and Management. QJ Med, 8(477-88), p.97.
Hafil, F., Sosialisman & Helmi, 2007. Kelainan Telinga Luar. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Hastono, S.P. & Sabri, L., 2011. Satistika Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hawke, M., 2002. Update on cerumen and ceruminolytics. Ear Nose Throat J, 23(4), p.81 (8 suppl
1).
Kemenkes, R., 2013. Gangguan Telinga bikin Anak Sulit Menangkap Pelajaran di Sekolah.
Kemenkes, R., 2013. Gangguan telinga bikin anak sulit menangkap pelajaran di sekolah.
Macknin, M., Talo, H. & Medendorp, S., 1994. Effect of cotton-tipped swab use on earwax
occlusion. Clinical Pediatric, pp.14-18.
Manggala, M., 2010. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Serumen Obsturan. FK UNDIP
Semarang, pp.-.
Manggala, M., 2010. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Serumen Obsturan (studi kasus
pada siswa SD kelas 5 di kota Semarang). Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang.
McCarter, D. & Susan, M., 2007. Cerumen Impaction. American Family Physician, 75(10).
Miura, K., Yoshiura K, Miura S, Shimada T, Yamasaki K, Yoshida A, Nakayama D, Shibata Y,
Niikawa N, Masuzaki H.., 2007. A strong association between human earwax-type and
apocrine colostrum secretion from the mammary gland. Hum Genet, 5, p.631.
Moore, K., Dalley, A. & Agur, A., 2010. Ear. In W. Lappincof & Wilkins, eds. Clinically Essential
Anatomy. 6th ed. Philadelphia. pp.966-73.
Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pujo, W., Muyassaroh & Yuslam, S., 2007. Peran BKIM dalam skrining pendengaran anak sekolah.
Roland, P., Smith TL, Schwartz SR, Rosenfeld RM, Ballachanda B, Earll JM, Fayad J, Harlor AD
Jr, Hirsch BE, Jones SS, Krouse HJ, Magit A, Nelson C, Stutz DR, Wetmore S., 2008.
Clinical practice guideline: Cerumen Impaction. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Am Acad Otolaryngol-Head and Neck Surg Found, 3 suppl2(S1-S21), p.139.
Sastroasmoro, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Soepardi, E., Iskandar & Bashiruddin, 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Soetjipto, Damayanti & Endang, M., 2012. Telinga. In A. Efiaty, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THT. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. pp.59-60.
Subha, S. & Raman, R., 2006. Role of impacted cerumen in hearing loss. Ear Nose Throat J, 85,
pp.65-652.
Sutji, P., Riskiana, D. & Syahrijiuita, 2012. Perbandingan efektifitas beberapa pelarut terhadap
kelarutan cerumen obsturan in vitro. Ina J OtalaryngolHead and Neck Surg, 42(1), pp.23-27.
Syahrijuita, Sutji, P., Nani, I. & Riskiana, D., 2012. Perbandingan efektifitas beberapa pelarut
terhadap kelarutan cerumen obsturan secara in vitro. Ina J-Otolaryngol-Head and Neck Surg,
42, pp.23-27.

Tomita, H., Koki Yamada, MD, Mohsen Ghadami, MD, Takako Ogura, Yoko Yanai, Katsumi
Nakatomi, MD, Miyuki Sadamatsu, MD, Akira Masui, MD, Nobumasa Kato, MD, Norio
Niikawa, MD., 2002. Mapping of the wet/dry earwax locus to the pericentromeric region of
chromosome 16. Lancet, 2, p.359.
Wasis, 2006. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

 Analisa PICO
NO Kriteria
1 Populasi /patient pada jurnal ini adalah analisa faktor
(P) : Patien/problem. mempengaruhi pembentukan serumen obsturan pasien
rawat jalan di poliklinik THT RSUD DR SOEROTO
NGAWI 2016
 Serumen absturan atau kotoran telinga adalah produk kelenjar
sebasea dan apokrin yang ada pada kulit liang telinga dalam
kondisi menumpuk dan keras. juga
 Di indonesia , adanya sumbatan koran telinga atau serumen
merupakan penyebab utama dari gangguan pendengaran pada
sekitar 9,6 juta orang.
2 (I); Intervetion  Penelitian ini merupakan observasional dengan menggunakan
desain penelitian obsevasional analitik yang mana pengukuran
variabel (sastroasmoro,2011) pada pasien rawat jalan
poliklinik THT RSUD dr.saeroto Ngawi .penelitian ini
dilakukan di poliklinik THT RSUD dr.soeroto Ngawi dan
direncanakan pada tangal 7 november 2016 -7 desember
2016 .

.
3 ( C) ; Comparasien  Sampel didapatkan berjumblah 100 sampel yang terditi dari
pasien dengan serumen absturan pada telinganya sebanyak 72
pasien, sisanya sebanyak 28 pasien tidak dapat serumen
absturun. Disrtibusi jenis kelamin pada penelitian ini terdiri
dari 33 pasien laki-laki dan 49 pasien perempuan . .
4 (O) ; outcome
 Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bawa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dengan serumen obsturan (p=0,719).hasil ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh ST subhsa dan
raman R,bawa hal ini tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara adanya serumen,
 dan juga hubungan yang signifikan antara umur dengan
serumen obsturan (p=0.937) dikarenakan sampel yang di
dapatkan kebanyakan adalah dewasa dibandingkan dengan
anak-anak.
Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi
Lily Rundjan, Idham Amir, Ronny Suwento, Irawan Mangunatmadja

Abstak : Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa,
kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dan intervensi
yang sesuai sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mencegah segala konsekuensi tersebut. The Joint
Committee on Infant Hearing tahun 1994 merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus
dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Otoacoustic
emissions (OAE) dan/ atau automated auditory brainstem response (AABR) direkomendasikan
sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus. Pemeriksaan ABR telah dikenal luas untuk
menilai fungsi nervus auditorius, batang otak, dan korteks pendengaran. Pemeriksaan OAE sebagai
penemuan baru dilaporkan dapat menilai fungsi koklea, bersifat non invasif, mudah dan cepat
mengerjakannya, serta tidak mahal.

Kata kunci : newborn hearing screening, otoacoustic emissions, auditory brainstem response
P eriode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan pertama
kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. 1 Beberapa faktor risiko pada neonatus
perlu diketahui untuk mengindentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran
kongenital atau didapat bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang diintervensi sebelum usia
6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal dibandingkan dengan
bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan. 2-4 Tujuan tulisan ini untuk membahas pentingnya
skrining gangguan pendengaran pada neonatus dengan ulasan beberapa cara skrining.

Alamat korespondensi:
Dr. Idham Amir, Sp.A(K).
Divisi Perinatologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM.
Jl. Salemba no. 6. Jakarta 10430.
Telepon dan Fax.: 021- 3154020.
Dr. Lily Rundjan PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta
Dr. Ronny Suwento Departemen THT FKUI-RSCM
Epidemiologi

Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari 1000 kelahiran
hidup.1,2 Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa prevalensi gangguan
pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 1020 kali lebih besar dari populasi
neonatus.5 Di Indonesia sampai saat ini belum ada data, karena belum dilakukan program skrining
pendengaran. Data menurut Survei Kesehatan Indera Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996
didapatkan 0,1% penduduk menderita tuli sejak lahir.6

Identifikasi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. 7 Watkin dkk7 melaporkan bahwa
pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka yang mencurigai kemungkinan adanya
gangguan pendengaran tersebut, sedangkan pada anak dengan gangguan pendengaran ringan sampai
sedang atau unilateral hanya 29%. Di Amerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi antara
usia 20-24 bulan dan gangguan pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai
usia 48 bulan atau lebih.3

Program skrining pendengaran

Pada tahun 1993 National Institute of Health Consensus Conference pertama kali menganjurkan
program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun kemudian The Joint Committee on Infant
Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan
dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan. 8 Pada tahun 1999 American Academy of Pediatrics (AAP)
mendukung pernyataan tersebut.2,9
Beberapa syarat skrining pendengaran neonatus yang dipakai di seluruh dunia, diantaranya adalah
cepat dan mudah dikerjakan, tidak bersifat invasif, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
serta tidak mahal.2,10,11 Skrining hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap rangsangan dengan
intensitas tertentu pada pendengaran seseorang dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran
ataupun tidak membedakan tuli konduktif atau sensorineural. 1
Neonatus risiko tinggi

Penggunaan daftar indikator risiko tinggi direkomendasikan untuk mengidentifikasi kemungkinan


adanya gangguan pendengaran kongenital maupun didapat
pada neonatus8,12,13 :
• Riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural permanen
• Anomali telinga dan kraniofasial
• Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural (infeksi
toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis)
• Gambaran fisik atau stigmata lain yang berhubungan dengan sindrom yang diketahui berhubungan
dengan gangguan pendengaran sensorineural, seperti sindrom Down, sindrom Wardenburg
• Berat lahir kurang dari 1500 gram
• Nilai Apgar yang rendah (0-3 pada menit kelima, 0-6 pada menit kesepuluh)
• Kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU³ 48 jam
• Distres pernafasan (misalnya aspirasi mekoneum) • Ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih
• Hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar
• Meningitis bakterial
• Obat-obatan ototoksik (misalnya gentamisin) yang diberikan lebih dari 5 hari atau digunakan
sebagai kombinasi dengan loop diuretic.

Hanya 10% neonatus termasuk dalam kategori risiko tinggi. Bayi dengan salah satu/lebih faktor
risiko tersebut di atas harus menjalani evaluasi pendengaran dalam 2 bulan pertama kehidupan dan
terus dievaluasi lebih lanjut walau hasilnya normal. 2 Bayi dengan 1 faktor risiko mempunyai
kemungkinan menderita gangguan pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi yang tidak mempunyai
faktor risiko, bayi dengan 2 faktor risiko mempunyai kemungkinan 12,7 kali, 14 sedangkan bila
terdapat 3 faktor risiko maka kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali. 14,15
Cone-Wesson dkk13 seperti dikutip dari the Joint Committee on Infant Hearing Screening tahun
2000 melaporkan gangguan pendengaran terjadi pada 11,7% bayi dengan sindrom diantaranya
Trisomi 21, sindrom Pierre-Robin, dan atresia choanae. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan
pendengaran mempunyai prevalensi 6,6%, meningitis 5,5% dan anomali kraniofasial 4,7%. Pasien
yang mendapat antibiotik aminoglikosid mempunyai prevalensi hanya 1,5%.
Namun pada kenyataannya 50% bayi dengan gangguan pendengaran bermakna ternyata tidak
mempunyai faktor risiko tersebut, sehingga bila hanya menggunakan kriteria risiko tinggi tersebut
maka banyak bayi yang tidak terdiagnosis. 2,8,16 AAP merekomendasikan bahwa semua neonatus
harus menjalani skrining, metode skrining yang digunakan harus dapat mengidentifikasi semua bayi
dengan gangguan pendengaran bilateral, harus mempunyai false positive ≤ 3%, false negative 0%
dan angka refer (rujuk) untuk uji audiologik formal setelah skrining tidak boleh melebihi 4%. 2,9
Bayi yang lahir di rumah atau fasilitas kesehatan lain harus dirujuk untuk menjalani skrining
sebelum usia 1 bulan, sedangkan bayi yang dirawat di NICU harus menjalani skrining sebelum bayi
pulang dari rumah sakit.13 Bila terdapat risiko gangguan pendengaran, walaupun hasilnya normal
anak harus kontrol teratur setiap 6 bulan sampai usia 2 tahun. 8
Pilihan skrining pendengaran

Pilihan skrining pendengaran diantaranya dengan menggunakan behavioral screening techniques,


evoked OAE (EOAE) atau automated ABR. Pada neonatus, reaksi terhadap suara yang tiba-tiba dan
terus menerus dapat menimbulkan respons berupa refleks Moro, mata mengedip atau bayi
terbangun. Interpretasi behavioral test ini bersifat subyektif, hanya dapat menemukan bayi tuli
berat tetapi tidak dapat mendeteksi gangguan pendengaran ringan/sedang ataupun tuli
unilateral.2,10,17
AAP merekomendasikan EOAE atau AABR, maupun kombinasi keduanya sebagai skrining
pendengaran neonatus.9 Angka refer < 4% dapat dicapai bila EOAE dikombinasi dengan AABR
dalam 2 tahapan pemeriksaan atau dengan pemeriksaan AABR saja. 2 Sensitivitas OAE sebesar
100% dan spesifisitasnya 82-87%, sedangkan sensitivitas AABR 99,96% dan spesifisitasnya
98,7%.18 Bila OAE dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan skrining akan memberikan
sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas 99%. 10

Otoacoustic emissions (OAE)

Kemp pada tahun 1978 pertama kali melaporkan mengenai OAE, yaitu suara dengan intensitas
rendah yang dibangkitkan koklea dapat timbul secara spontan atau dengan dirangsang (evoked
OAE).2,19 Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel rambut luar koklea yang sangat kecil,
memproduksi energi mekanik yang diubah menjadi energi akustik sebagai respons terhadap getaran
dari organ di telinga tengah. Sel rambut luar koklea ini sangat rentan terhadap faktor eksternal
(suara berlebihan), internal (bakteri, virus) dan kondisi (defek genetik). 19
Pada telinga sehat, OAE yang timbul dapat dicatat secara sederhana dengan memasang probe
(sumbat) dari bahan spons berisi mikrofon mini ke dalam liang telinga untuk memberi stimulus
akustik dan untuk menerima emisi yang dihasilkan koklea tersebut. 2,9,12,19 Bila terdapat gangguan
pada saat suara dihantarkan dari telinga luar seperti debris/serumen, gangguan pada telinga tengah
seperti otitis media maupun kekakuan membran timpani, maka stimulus akustik yang sampai ke
koklea akan terganggu dan akibatnya emisi yang dibangkitkan dari koklea juga akan berkurang. 7
Alat OAE didesain secara otomatis mendeteksi adanya emisi (pass/ lulus) atau bila emisi tidak
ada/berkurang (refer/ rujuk), sehingga tidak membutuhkan tenaga terlatih untuk menjalankan alat
maupun menginterpretasikan
hasil.1,10
EOAE merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik, berupa bunyi jenis
clicks atau tone bursts.9,12 Respons tersebut dipancarkan ke arah luar melalui telinga tengah, sehingga
dapat dicatat oleh mikrofon mini yang juga berada di dalam probe di liang telinga. EOAE dapat
ditemukan pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang pada gangguan pendengaran yang
berasal dari koklea.19 EOAE mempunyai beberapa karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea
yang normal bila tidak ada kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat
mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur frekuensi dengan rentang yang
luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa (5006000 kHz). 11 OAE tidak muncul pada hilangnya
pendengaran lebih dari 30-40 dB.2,12,,20-2
EOAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris dan kondisi telinga tengah (cavum tympani),9,23 hal
ini menyebabkan hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. 9 Balkany seperti
dikutip dari Chang dkk23 melaporkan neonatus berusia kurang dari 24 jam liang telinganya terisi
verniks caseosa dan semua verniks caseosa ini akan dialirkan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir.
Sehingga angka refer < 3% dapat dicapai bila skrining dilakukan dalam 24-48 jam setelah lahir. 9
Bonfils dkk17 melaporkan maturasi sel rambut luar lengkap terjadi setelah usia gestasi 32 minggu.
Sebelum melakukan pemeriksaan EOAE perlu dilakukan timpanometri, karena dalam keadaan
fungsi koklea yang normal, bila terdapat obstruksi liang telinga luar atau cairan di telinga tengah dapat
memberi hasil positif palsu.13 Tujuan dilakukan timpanometri adalah untuk mengetahui keadaan kavum
timpani, misalnya ada cairan di telinga tengah, gangguan rangkaian tulang pendengaran, kekakuan
membran timpani dan membran timpani yang sangat lentur. 16 Masalah telinga tengah pada bayi cukup
bulan jarang dilaporkan.17,23 Timpanogram pada bayi cukup bulan akan menunjukkan hasil yang normal
> 50% pada usia 1 hari sedangkan pada usia 3 hari mencapai 100%. 24
Selain neonatus, OAE dapat dipakai untuk memeriksa dan memonitor bayi dan anak < 3 tahun,
anak yang menerima obat ototoksik, noise-induced hearing loss, orangtua dan cacat multipel. 2,25
Pemeriksaan OAE dapat menentukan penilaian klinik telinga perifer/ jalur preneural. 19,26 OAE
potensial tidak dapat mendeteksi bayi dengan gangguan retrokoklea/jalur neural, tetapi insidens
keterlibatan nervus VIII dan batang otak jarang terjadi pada kelompok neonatus, yaitu 1 dari 25.000
populasi.20,27 Dibandingkan dengan ABR konvensional, OAE lebih cepat dan lebih nyaman karena
tidak perlu memasang elektroda di kulit kepala. 10,11 Pemeriksaan OAE pada kedua telinga
menghabiskan waktu (median) 7,2 menit, AABR 14 menit, sedangkan ABR konvensional 20 menit. 10
Pada pemeriksaan OAE, sebaiknya bayi dalam keadaan tidur, untuk mengurangi artefak akibat gerakan
otot.1,12 Bising lingkungan yang berlebihan akan menurunkan
spesifisitas OAE.1,22 Mesin OAE generasi terakhir secara otomatis dapat melakukan
perhitungan/koreksi terhadap bising dari luar. Bila bising terlalu besar, maka pemeriksaan tidak dapat
dilanjutkan.

Auditory brainstem response (ABR)

Auditory brainstem response (ABR) merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi nervus VIII
dan jalur pendengaran di batang otak. 15,21 Caranya dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan
sel koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga nukleus tertentu dibatang otak.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala
atau dahi dan prosesus mastoid atau lobulus telinga. Prinsip pemeriksaan ABR adalah menilai
perubahan potensial listrik di otak setelah pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan
bunyi yang diberikan melalui head phone atau insert probe akan menempuh perjalanan melalui koklea
(gelombang I), nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior (gelombang III), lemnikus
lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di
lobus temporalis otak. Yang penting dicatat adalah gelombang I,III dan V. 15 ABR konvensional
merupakan click evoked ABR air conduction, dan frekuensi yang diberikan sebesar 20004000Hz,
dengan intensitas dapat mencapai 105 dB. 22 ABR membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga
terlatih dalam mengoperasikan alat maupun menginterpretasikan hasil.
ABR tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga luar dan tengah namun memerlukan bayi dalam
keadaan tenang (bila perlu disedasi), karena dapat timbul artefak akibat gerakan. 9,12 ABR dapat
mendeteksi adanya tuli konduktif dan tuli sensorineural. 1 Sensitivitas ABR 100% dan spesifisitasnya
97-98%.3

Automated auditory brainstem response (AABR)

Saat ini telah dikembangkan AABR untuk keperluan skrining pendengaran. Pemeriksaan ini tidak
memerlukan interpretasi dari audiologist. AABR hanya mencatat adanya respons pada intensitas
tertentu sebagai pass/refer.22,28 AABR ini merupakan modifikasi dari ABR konvensional, mengukur
frekuensi >1000 Hz dengan rangsangan berupa clicks pada masingmasing telinga, dengan intensitas
hanya sampai 40 dB (ambang batas pendengaran bayi). Sama halnya dengan ABR konvensional,
pada pemeriksaan AABR juga
diperlukan elektroda.1,12
ABR dan OAE adalah uji terhadap integritas struktur jalur pendengaran tetapi bukan
pemeriksaan pendengaran yang sebenarnya. Walaupun ABR dan OAE normal, pendengaran tidak
dapat dipertimbangkan normal sampai anak cukup matang untuk menjalani behavioral audiometry,
sebagai baku emas evaluasi pendengaran.12
Pada populasi bayi dengan risiko kelainan neurologis, bila EOAE/ABR diperiksa sendiri tidak
akan memberikan informasi mengenai status pendengarannya. 11 Sebagai contoh bayi dengan
gangguan pendengaran akibat disfungsi nervus VIII/ batang otak tetapi mempunyai fungsi koklea
yang normal, disebut sebagai auditory neuropathy,24 dapat mempunyai hasil uji EOAE yang normal
tapi hasil ABR abnormal.11,12,26

Skrining pendengaran di RS dr Cipto Mangunkusumo

Di Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi, SubBagian THT Komunitas, Bagian THT
RSCM, sejak tahun 2002 telah mulai dilakukan skrining gangguan pendengaran terhadap neonatus
risiko tinggi. Skrining pendengaran menggunakan 2 tahapan pemeriksaan (EOAE dilanjutkan
dengan AABR) dengan tujuan mengidentifikasi bayi dengan tuli koklea dan retrokoklea. Alur
pemeriksaan
Skrining OAE

Lulus Tidak lulus

Usia 3 bulan Usia 1 bulan


Automated ABR Timpanometri
Skrining OAE
AutomatedABR

Lulus Tidak lulus Tidak lulus Lulus

Usia 3 bulan Usia 3 bulan

Timpanometri
OAE* Diagnostik
ABR** Diagnostik

Lulus Tidak lulus Lulus

Observasi Habilitasi Observasi sampai 2 tahun sampai 2 tahun

Gambar. Skema alur pemeriksaan pendengaran bayi baru lahir


Keterangan: *OAE= otoacoustic emissions **ABR= auditory brainstem response

skrining pendengaran di Bagian THT RSCM tertera pada Gambar.


Habilitasi pendengaran

Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian, upaya habilitasi pendengaran harus dilakukan
sedini mungkin, karena usia kritis proses berbicara dan mendengar adalah sekitar 2-3 tahun. Bila
terdapat tuli sensorineural derajat sedang atau berat, maka harus dipasang alat bantu dengar atau
implan koklea. Proses habilitasi pasien tuli membutuhkan kerja sama dari beberapa disiplin, antara
lain dokter spesialis THT, dokter spesialis anak, audiologist, ahli terapi wicara, psikolog anak, guru
khusus untuk tunarungu dan keluarga pasien.29
Kesimpulan

Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa, kognitif,
masalah sosial, dan emosional. The Joint Committee on Infant Hearing dan American Academy of
Pediatrics merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan
dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Penggunaan daftar indikator risiko tinggi
direkomendasikan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran kongenital
maupun didapat pada neonatus. Otoacoustic emissions (OAE) dan/atau automated auditory brainstem
response (AABR) direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus.
Daftar Pustaka
1. Sokol J, Hyde M. Hearing screening. Pediatr Rev 2002; 23:155-62.
2. Kenna MA. Neonatal hearing screening. Pediatr Clin North Am 2003; 50:301-313.
3. Mason JA, Herrmann KR. Universal infant hearing screening by automated auditory brainstem response measurement.
Pediatrics 1998; 101:221-8.
4. Yoshinaga-Itano C, Sedey AL, Coulter DK, Mehl AL. Languange of early and later-identified children with hearing
loss. Peadiatrics 1998; 102:1161-71.
5. U.S. Preventive Services Task Force. Guidelines from Guide to Clinical Preventive Services. Newborn hearing
screening. Recommendations and rationale. U.S. Preventive Services Task Force. Edisi ke-3, 2001.
6. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran 1994-1996. DEPKES RI, 1997.
7. Watkin PM, Baldwin M, Laoide S. Parental suspicion and identification of hearing impairment. Arch Dis Child 1990;
65:846-50.
8. American Academy of Pediatrics. Joint Committee on Infant Hearing 1994 position statement. Pediatrics 1995; 95:152-
6.
9. American Academy of Pediatrics. Task force on newborn and infant hearing. Newborn and infant hearing loss:
detection and intervention. Pediatrics 1999; 103:527-30.
10. Kennedy CR, Kimm L, Dees DC, Evans PIP, HunterM, Lenton S, et al. Otoacoustic emissions and auditory brainstem
responses in the newborn. Arch Dis Child 1991; 66:1124-9.
11. Norton SJ. Emerging role of evoked otoacoustic emissions in neonatal hearing screening. Am J Otol 1994; 15:4-11.
12. Cunningham M, Cox EO. Hearing assesment in infantand children: Recommendations beyond neonatal screening.
Pediatrics 2003; 111:436-440.
13. Joint Committee on Infant Hearing. Year 2000 position statement: Principles and guidelines for early hearing detection
and intervention programs. Pediatrics 2000; 106:798-817.
14. Davis A. Childhood hearing impairment: public healthperspective. Dalam: McCormick B, penyunting. Paediatric
Audiology 0-5 years. Edisi ke-2. London: Whurr Publishers, 1993. h. 22-25.
15. Mills JH, Adkins WY. Anatomy and physiology of hearing. Dalam: Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC,
Tardy ME, penyunting. Head and neck surgery otolaryngology. Edisi ke-2. Philadelphia: JB Lippincott company, 1993.
h. 1441-61.
16. Billings KR, Kenna MA. Causes of pediatric sensorineural hearing loss. Yesterday and today. Arch Otolaryngol Head
Neck Surg 1999; 125:517-21.
17. Bonfils P, Francois M, Avan P, Londero A, Trotoux J,Narcy P. Spontaneous and evoked otoacoustic emissions in
preterm neonates. Laryngoscope 1992; 102:182-6.
18. Universal Neonatal Hearing Screening. Scottish Implementation, 2001. Didapat dari: http://www.show.scot.nhs.uk
19. Lonsburry-Martin BL. Introduction to accoustic emissions. Am J Otol 1994; 15:1-3.
20. Cox LC. Otoacoustic emissions as a screening tool forsensorineural hearing loss. J Pediatr 1997; 130:685-6.
21. Wessex Universal Neonatal Hearing Screening TrialGroup. Controlled trial of universal neonatal screening for early
identification of permanent childhood hearing impairment. Lancet 1998; 352:1957-64.
22. Callison DM. Early identification and intervention ofhearing-impaired infants. Audiologic evaluation of hearing-
impaired infants and children. Otolaryngol Clin North Am 1999; 32:1009-18.
23. Chang KW, Vohr BR, Norton SJ, Lekas MD. Externaland middle ear status related to evoked otoacoustic emissions in
neonates. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:276-82.
24. Sininger YS, Abdala C. Otoacoustic emissions for thestudy of auditory function in infants and children. Dalam: Berlin
CI, penyunting. Otoacoustic Emissions Basic Science and Clinical Applications.Edisi ke-1. San Diego: Singular
Thomson Learning,1998. h. 105-26.
25. Balkany T, Telischi FF, McCoy MJ, Lonsbury-MartinBL, Martin GK. Otoacoustic emissions in otologic practice. Am J
Otol 1994; 15:29-38.
26. Dunkley C, Farnsworth A, Mason S, Dodd M, GibbinK. Screening and follow up assessment in three cases of auditory
neuropathy. Arch Dis Child 2003; 88:25-6.
27. Windmill IM. Universal screening of infants forhearing loss: further justification. J Pediatr 1998; 133:318-9.
28. Elliott C, Lightfoot G, Parker D, Stapells D, Stevens J, Sutton G, et al. Neonatal hearing screening and assesment.
Automated auditory brainstem response information and guidelines for screening hearing in babies. Didapat dari:
http://www.nhsp.info/documents/work
29. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting.
Buku Ajar Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. h. 28-32.

 Analisa PICO
P : Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa,
kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dan
intervensi yang sesuai sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mencegah segala konsekuensi
tersebut. The Joint Committee on Infant Hearing tahun 1994 merekomendasikan skrining
pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan
sebelum usia 6 bulan. Otoacoustic emissions (OAE) dan/ atau automated auditory brainstem
response (AABR) direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus.
Pemeriksaan ABR telah dikenal luas untuk menilai fungsi nervus auditorius, batang otak, dan
korteks pendengaran. Pemeriksaan OAE sebagai penemuan baru dilaporkan dapat menilai
fungsi koklea, bersifat non invasif, mudah dan cepat mengerjakannya, serta tidak mahal.

I : AAP merekomendasikan EOAE atau AABR, maupun kombinasi keduanya sebagai


skrining pendengaran neonatus.9 Angka refer < 4% dapat dicapai bila EOAE dikombinasi
dengan AABR dalam 2 tahapan pemeriksaan atau dengan pemeriksaan AABR saja. 2
Sensitivitas OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%, sedangkan sensitivitas AABR
99,96% dan spesifisitasnya 98,7%.18 Bila OAE dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan
skrining akan memberikan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas 99%.

C: Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa,
kognitif, masalah sosial, dan emosional. The Joint Committee on Infant Hearing dan American
Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan
sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Penggunaan daftar
indikator risiko tinggi direkomendasikan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
gangguan pendengaran kongenital maupun didapat pada neonatus. Otoacoustic emissions
(OAE) dan/atau automated auditory brainstem response (AABR) direkomendasikan sebagai
metode skrining pendengaran pada neonatus.

O : Di Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi, SubBagian THT Komunitas,


Bagian THT RSCM, sejak tahun 2002 telah mulai dilakukan skrining gangguan
pendengaran terhadap neonatus risiko tinggi. Skrining pendengaran menggunakan 2
tahapan pemeriksaan (EOAE dilanjutkan dengan AABR) dengan tujuan mengidentifikasi
bayi dengan tuli koklea dan retrokoklea. Alur pemeriksaan
HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN SERUMEN
PADA LANSIA DI PUSKESMAS MEDAN JOHOR

Alamsyah Lukito
Universitas Islam Sumatera Utara, Jl. STM No. 77, Medan
email: alamsyah.lukito@yahoo.com

Abstract
The human ear is a hearing organ that captures and changes sound in the form of
mechanical energy into electrical energy efficiently and is passed on to the brain to be
realized and understood. Serum that collects and forms masses will clog the ear canal,
causing interference with the sound that results in hearing loss. The research that will be
conducted is a study with a cross-sectional method with a sample of 52 people. The
majority of respondents were men with a majority of elderly with an average age of 67
years. The results showed that respondents who had serumen were as much as 59.6%
and those who had hearing loss were 63.5%. This shows that there is a relationship
between hearing loss and the presence of serumen.
Keyword: serumen, gangguan pendengaran, pendengaran lansia.
dan diteruskan ke otak sehingga dapat
PENDAHULUAN didengar, disadari serta dimengerti (Sherwood,
2014). Proses pendengaran dihasilkan dari
Berdasarkan data World Health adanya getaran atmosfer yang ditangkap
Organization (WHO) tahun 2007 secara telinga, memiliki kecepatan dan volume yang
global dinyatakan bahwa pada tahun 2000 berbeda. Gelombang suara masuk melalui
terdapat 250 juta (4,2%) dari jumlah daun telinga (auris eksterna) yang
penduduk di dunia yang menderita menyebabkan getaran pada membran timpani.
gangguan pendengaran, dimana jumlah getaran tersebut diteruskan menuju inkus,
penderita gangguan pendengaran yang stapes melalui maleus yang berhubungan
terbesar terdapat di Asia Tenggara. membran tersebut.
Menurut Basner et.al. (2014) di dunia ini
diperkirakan sebanyak 4,1% menderita Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan
gangguan pendengaran tingkat sedang menyebabkan terjadinya pembesaran getaran
(Rahadian, 2010). Penderita gangguan yang kemudian disalurkan ke venestra
pendengaran juga mengalami peningkatan vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe
di Rusia yang mencapai angka 13 juta dialirkan kembali menuju endolimfe dalam
penduduk (Ignatotva, 2015). saluran koklea dan rangsangan menuju organ
corti selanjutnya dihantarkan ke
Canada Community Health Survey and the otak (Sherwood, 2014).
Participation and Activity Limitations
Pada proses mendengar, ada proses dimana
Surveys merilis prevalensi gangguan
suara yang diterima telinga dihantarkan lewat
pendengaran pada usia 12 – 15 tahun
menuju tulang-tulang pendengaran untuk
sebesar 5% (Ferder, 2015) sedangkan The
kemudian disampaikan kepada saraf
National Health and Nutrition
rangsang suara menuju ke otak. Jika terdapat
Examination Survey di Amerika Serikat serumen obsturan pada telinga maka suara
menyatakan jumlah prevalensi gangguan yang diterima akan terhambat pada hantaran
pendengaran pada remaja usia 1219 tahun
suara (conductive hearing loss), yang
yang tidak jauh berbeda, yaitu mencapai
berakibat pada berkurangnya pendengaran
5,3% (WHO, 2015).
(Yuniardi, 2010).
Survei Multi Center Study (MCS) Selain serumen, faktor usia juga memberikan
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan dampak pada gangguan pendengaran. WHO
pendengaran Indonesia adalah tertinggi menetapkan usia 65 tahun sebagai usia yang
keempat di Asia Tenggara setelah Sri menunjukkan proses menua yang dapat
Lanka, Myanmar dan India (H Tjan, 2013). menyebabkan penurunan fungsi
Berdasarkan hasil Riskerdas 2013, pendengaran,
prevalensi gangguan pendengaran di
maupun fungsi panca indra
Indonesia secara nasional berada di lainnya, menurunnya minat dan fungsi
daerah lampung dan NTT . Dimana organ seksual dan kemampuan motorik
gangguan pendengaran tertinggi dialami (Haryanto, 2014).
oleh kelompok usia lebih dari 55 tahun
hingga 75 tahun (Istiqomah, 2018). Oleh Manusia lanjut usia akan
karenanya visi dan misi Kementerian mengalami penurunan biologis, fisik,
Kesehatan Republik Indonesia/Kemenkes kejiwaan, dan sosial, yang memberikan
RI dalam hal pendengaran sehat maka pengaruh pada seluruh aspek kehidupan,
dibuatkan pernyataan bahwa setiap rakyat terutama pada kesehatan. Oleh karena itu,
Indonesia mempunyai hak untuk memiliki kesehatan manusia lanjut perlu mendapatkan
telinga yang sehat dan pendengaran yang perhatian khusus dengan tetap memelihara
pola hidup sehat dan meningkatkan
optimal pada tahun 2030.
produktivitas hidup sehingga dapat
Telinga manusia adalah panca indra yang memperlambat proses penurunan fungsi panca
menangkap dan merubah bunyi atau energi indra.
mekanis menjadi energi elektris secara efisien
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh pendengaran sensorineural dan gangguan
akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa pendengaran campuran atau kombinasi
saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit (Istiqomah, 2018). Centers for Disease
sesuai dengan bertambahnya usia (Soepardie Control and Prevention (CDC) menyatakan
EA, 2007). Proses penuaan bahwa gangguan pendengaran konduktif
merupakan suatu proses biologis yang tidak akibat adanya masalah di dalam telinga luar
dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap atau tengah, sedangkan pada gangguan
orang. Proses penuaan sudah mulai pendengaran sensorineural akibat terdapat
berlangsung sejak seseorang masalah di telinga bagian dalam dan saraf
mencapai dewasa, ditandai oleh pendengaran. Sedangkan, tuli campuran
kehilangan fungsi jaringan pada otot, susunan disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan
saraf dan jaringan lain sedikit demi sedikit. tuli sensorineural (Istiqomah, 2018).
Gangguan pendengaran tidak hanya terjadi
pada usia lanjut, tetapi juga terjadi pada
remaja. Gangguan pendengaran
dapat berakibat pada terganggunya
komunikasi, yang akan mempersulit seseorang
dalam menempuh pendidikan,
terganggunya kemampuan
bersosialisasi dan merendahnya produktivitas
ekonomi (Rahadian, 2010).
Gangguan pendengaran atau sering disebut
ketulian adalah masalah yang cukup serius
pada seseorang. Gangguan pendengaran
biasanya berupa hilangnya kemampuan untuk
mendengar bunyi dalam cakupan frekuensi
yang normal untuk didengar (Beatrice, 2009).
Gangguan pendengaran dapat terjadi pada
salah satu atau kedua telinga yang akan Gambar 2. Lokasi anatomis tuli konduktif dan
menyebabkan penderitanya mengalami tuli sensorineural
kesulitan dalam mendengar percakapan (WHO, Cara pemeriksaanan gangguan pendengaran
2015). dapat menggunakan garpu penala yang
Tabel 1. Klasifikasi derajat gangguan digetarkan, kemudian dasar penala diletakkan
pendengaran menurut International Standard pada prosesus mastoideus telinga yang akan
Organization (ISO) dan American Standard diperiksa, jika op tidak mendengar bunyi lagi,
Association (ASA) penala dipindahkan ke depan liang telinga ±
2,5 cm dari liang telinga. Pada orang normal,
Derajat Standar Standar
konduksi udara berlangsung lebih lama dari
Gangguan Internasional Amerika
konduksi tulang.
Pendengaran (ISO) (ASA)
Pendengaran 10 -25 dB 10 -15 dB Bila ada gangguan konduktif, konduksi tulang
normal akan melebihi konduksi udara, ‘begitu konduksi
tulang menghilang, pasien tidak mampu lagi
Ringan 26-40 dB 16 -29 dB
mendengar mekanisme konduksi yang biasa’.
Sedang 41 -55 dB 30- 44 dB Bila ada gangguan sensori, suara yang
Sedang berat 56 -70 dB 45 -59 dB dihantarkan melalui udara lebih baik dari
Berat 71 -90 dB 60 – 79 dB tulang, meskipun keduanya merupakan
konduktor yang buruk dan segala suara
Sangat Berat > 90 dB > 80 dB
diterima seperti sangat jauh dan lemah.
Ada tiga gangguan pendengaran, yaitu
gangguan pendengaran konduktif, gangguan Untuk mengetahui aliran udara melalui tulang,
serta membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan dengan cara tertentu (stenosis seperti pada meatus
meletakkan garpu tala yang sudah dibunyikan auditorius eksternal) dapat menimbulkan
pada bagian tengah dahi pasien. Pemeriksaan impaksi serumen. Selain itu, keratosis
dilakukan di dalam ruangan yang tenang, obsturans (penyakit yang ditandai dengan
nyaman, dan tidak bising. Setelah peneliti peningkatan produksi keratin) yang dapat
menjelaskan tentang pemeriksaan, manfaat, menyebabkan berbagai gejala, termasuk erosi
dan tujuannya, peneliti langsung memulai dinding tulang rawan, infeksi dan gangguan
tindakan. pendengaran (Guest, 2004).
Serumen atau kotoran telinga adalah Gangguan pendengaran dapat disebabkan
campuran dari sekresi sebum bersama dengan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
sekresi dari kelenjar apokrin yang dimodifikasi proses penuaan yangterjadi pada manusia.
dan sel-sel epitel yang terkelupas dalam kanal Perubahan patologik pada organ
pendengaran eksternal manusia (Hydri, 2016). pendengaran akibat degenerasi dapat
Impaksi serumen adalah gumpalan kotoran mengakibatkan gangguan pendengaran
pada telinga yang mengeras (Kemenkes RI, pada individu dengan usia lanjut (Istiqomah,
2017). 2018).
Produksi serumen pada dasarnya merupakan METODE PENELITIAN
konsekuensi yang timbul dari lokasi anatomi
yang unik. Kanal pendengaran adalah Penelitian yang akan dilakukan adalah
satusatunya jalan buntu bagi stratum korneum penelitian dengan metode cross-sectional
di telinga. Oleh karena itu, erosi fisik mungkin yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu
tidak dapat menghilangkan stratum korneum waktu dan satu kali untuk mencari hubungan
di saluran pendengaran. variabel independen dengan variabel
dependen. Penelitian ini dilaksanakan pada
Serumen menawarkan cara untuk bulan Januari hingga Februari 2019. Penelitian
mengeluarkan stratum korneum. Serumen akan dilakukan di Puskesmas Medan Johor.
terdiri dari lembaran-lembaran korneosit yang Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
dideklamasi, yang berasal dari saluran pasien lansia di Puskesmas Medan Johor.
pendengaran eksternal yang dalam dan Sampel penelitian ini adalah pasien lansia yang
dangkal, dicampur dengan sekresi kelenjar. terkena tuli konduktif pada saat berobat ke
Kelenjar sebaseus dan serumenous di kanal puskesmas. Besar sampel dengan metode total
auditori yang mengeluarkan lipid dan peptide, sampling. Menurut Notoatmodjo (2010) total
masing-masing ke dalam serumen. Rambut di sampling adalah pengambilan sampel yang
sepertiga bagian luar kanal juga menghasilkan sama dengan jumlah populasi yang ada.
sekresi kelenjar yang berkontribusi terhadap Syarat pengambilan sampel harus
komposisi serumen (Guest, 2004). memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
Serumen yang secara normal memang dapat sebagai berikut:
ditemukan pada telinga, dapat mengumpul a. Kriteria Inklusi
membentuk massa yang dapat menyumbat Data hasil wawancaradan pemeriksaan
liang telinga sehingga menyebabkan gangguan serumen pada pasien lansiayang setuju
pada hantaran suara yang berakibat terjadinya dan mengalami gangguan pendengaran
gangguan pendengaran. Serumen yang sudah di Puskesmas Medan Johor.
menyumbat rapat atau serumen obsturan b. Kriteria eksklusi
dapat memperlihatkan gejala klinik lain selain
gangguan pendengaran yaitu rasa nyeri
bilaserumen keras menekan dinding liang
telinga, telinga berdengung (tinitus) dan
pusing (vertigo) bila serumen menekan
membran timpani (Istiqomah, 2018)
Impaksi serumen dapat timbul dari sejumlah
penyebab. Pertama, perubahan anatomis
Pasien lansia yang menolak diwawancarai dan
dilakukan pemeriksaan serumen.

Tabel 2. Definisi operasional


Alat Skala
Variabel Definisi Operasional
Ukur Ukur
Gangguan Permasalahan yang dapat terjadi pada setiap Garpu Nomina
pendengaran umur dan menyebabkan seseorang sulit untuk Tala l
berkomunikasi verbal.
Impaksi Kondisi tersumbatnya saluran telinga luar oleh Senter/ Nomina
serumen kotoran telinga yang menumpuk pen light l
Lansia Pasien berusia > 60 tahun Isian Nomina
Formulir l
Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan melakukan pemeriksaan gangguan
pendengaran yang pada lansia di Puskesmas Medan Johor tentang hubungan antara gangguan
pendengaran dengan impaksi serumen.
Analisis Univariat dilakukan untuk mendeskripsikan variabel penelitian. Keseluruhan data yang
didapat dari data wawancara dan dianalisis dengan menggunakan program komputer SPSS
(Statistical Package for the Social Science ).
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gangguan pendengaran dengan
impaksi serumen dengan menggunakan Uji Chi-Square.

HASIL PENELITIAN
Data yang didapat dalam penelitian ini diambil dari hasil wawancara dan pemeriksaan telinga pada
pasien lansia di Puskesmas Medan Johor tahun 2019 kota Medan yang didapati adanya serumen
ataupun tidak ada serumen disertai adanya gangguan pendengaran dan tidak ada gangguan
pendengaran. Data yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki dengan usia lebih dari 60
tahun. Sampel yang didapat sebanyak 52 dengan perbandingan 33 kasus gangguan pendengaran
dan 19 kasus tidak mengalami gangguan pendengaran. Dari keseluruhan data yang diambil,
diperoleh gambaran mengenai beberapa karakteristik yang ada pada data rekam medis tersebut
berupa usia dan jenis kelamin. Data tersebut digambarkan pada tabel-tabel berikut:
Tabel 3. Distribusi Karakteristik Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N %
Laki-laki 35 67,3
Perempuan 17 32,7
Total 52 100
Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa sampel pasien dengan jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah
yang lebih banyak daripada perempuan. Yaitu didapatkan laki-laki berjumlah 35 (67,3%) orang
sedangkan perempuan berjumlah 17 (32,7%) orang.

Tabel 4. Distribusi Karakteristik Usia


Usia Rerata Median Std.
Deviasi
Lansia 67,0 67,59 5,01
Berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil usia ratarata pasien lansia adalah 67,0 tahun, nilai
tengah usia lansia adalah 67,59 tahun, usia minimum lansia adalah 61 tahun, usia maksimum lansia
adalah 82 tahun.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Serumen

Serumen N %
Ada 31 59,6
Tidak 21 40,4
Total 52 100

Berdasarkan tabel 5 diatas membagi kelompok sampel penelitian berdasarkan serumen. Didapatkan
data pasien dengan adanya serumen sebanyak 31 (59,6%) orang, sedangkan yang tidak memiliki
serumen sebanyak 21 (40,4%) orang.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Gangguan
Pendengaran
Gangguan Pendengaran N %
Ada 33 63,5
Tidak Ada 19 36,5
Total 52 100
Berdasarkan tabel 6 didapatkan hasil bahwa adanya gangguan pendengaran berjumlah 33 (63,5%)
orang, sedangkan yang tidak ada gangguan pendengaran berjumlah 19 (36,5%) orang.
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara variabel independen dan variabel
dependen dengan menggunakan uji Chi-Square dan didapatkan data hasil bivariat tersebut.
Tabel 7. Hubungan Antara Gangguan Pendengaran dengan Serumen
Gangguan Serumen N Nilai
Pendengaran Ada Tidak p
Ada
Ada 30 3 33 0,0
Tidak Ada 1 18 19 0
Total 31 21 52

Berdasarkan tabel 7, uji hubungan antara gangguan pendengaran dengan serumen menggunakan uji
Chi-Square didapatkan hasil yang signifikan antara hubungan gangguan pendengaran dengan
adanya serumen yang menyatakan Ho ditolak.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin dan usia diketahui bahwa
sampel kelamin perempuan maupun laki-laki dengan usia lebih dari 60 tahun didapatkan sampel
sebanyak 52 orang dengan perbandingan 33 kasus gangguan pendengaran dan 19
kasus tidak mengalami gangguan pendengaran.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wayne (2016), menunujukkan hasil pada sekitar 33% pada
orang dewasa yang lebih tua, dan sebanyak 57% dari pasien yang lebih tua di panti
jompo. Proses penuaan menghasilkan penurunan jumlah dan aktivitas kelenjar seruminous,
menghasilkan tipe serumen yang lebih kering. Ketika ditambah dengan peningkatan
kekasaran rambut di saluran telinga, terutama pada pria, prevalensi serumen yang berlebihan dan
terkena dampak meningkat.
Berdasarkan penelitian Subha (2006), didapatkan hasil sebanyak 80 pasien yang berusia 5
hingga 72 tahun. Sebanyak 29 orang memiliki penyumbatan serumen penyumbatan bilateral dan 51
orang penyumbatan unilatreal dengan total 109 telinga. Dimana 61 merupakan telinga pria dan 48
adalah telinga wanita.
Gangguan pendengaran akibat adanya serumen juga diteliti oleh Yuniardi (2010) yang
memperoleh kesimpulan siswa dengan serumen obsturan pada telinganya sebanyak akan
memberikan dampak pada terganggunya fungsi pendengaran dimana 5,3% diantaranya mengalami
conductive hearing loss (CHL) ringan dan 4,7% mengalami CHL sedang. Hasil uji chi-square antara
serumen dan gangguan pendengaran menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan.
Umumnya gangguan pada saat suara dihantarkan dari telinga luar disebabkan oleh
debris/serumen, sedangkan gangguan pada telinga tengah adalah otitis media maupun kekakuan
membran timpani (Watkin, et.al. 1990). Oleh karenanya screening gangguan pendengaran perlu
dilakukan untuk mengetahui penyebab dari gangguan pendengaran. Subha (2006) menyatakan
bahwa dari 109 telinga pada 80 pasien hanya serumen yang memberikan dampak memang
menyebabkan tingkat signifikan gangguan pendengaran konduktif.
Kami tidak menemukan korelasi yang signifikan antara panjang sumbat serumen dan keparahan
gangguan pendengaran. Kami juga tidak menemukan korelasi yang signifikan antara keberadaan
serumen yang terkena dampak dan variabel seperti usia, jenis kelamin, etnis, atau sisi yang terkena
dampak.
Selain Serumen, faktor usia juga akan menurunkan fungsi pendengaran (presbikusis) yang pada
pemeriksaan audiometri nada murni terlihat sebagai gambaran penurunan pendengaran
sensorineural bilateral simetris yang umumnya dimulai pada nada tinggi (Candra, 2007).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Medan Johor tahun 2019, didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Responden yang terbanyak adalah laki-laki sebanyak 35 orang (67,3%), dengan sebagian
besar usia lanjut dengan rerata usia 67 tahun.
2. Responden yang memiliki serumen sebanyak 31 orang (59,6%).
3. Responden yang memiliki gangguan pendengaran sebanyak 33 orang (63,5%).
4. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara gangguan
pendengaran dengan serumen menggunakan uji Chi-Square didapatkan hasil yang signifikan
antara hubungan gangguan pendengaran dengan adanya serumen.

DAFTAR PUSTAKA

Albert, P. (2015). The Anatomy and Physiology of Hearing.


Basner. (2014). Auditory and Non Auditory Effects of Noise in Health. National Institute for Health.
Beatrice, F. S. (2009). Clinical Practice Acta Othorhynolaryngology. Italica.
Candra D. 2007. Prevalensi dan pola penurunan pendengaran penderita presbikusis pada penduduk
daerah Bandung [tesis]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Ferder, K. (2015). Prevalence of Hearing loss among Canadians aged 20-79. Canada: Canadian
Health Measures Survey.
Guest. (2004). Impacted serumen: Composition, production, epidemiology and management.
United Kingdom: PubMed.
H Tjan, F. L. (2013). Efek Bising Mesin Elektronika Terhadap Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja di Kota Manado. Manado: Journal e-Biomedik.
Haryanto, A. (2014). Kesehatan telinga dan pendengaran. Jakarta.
Hydri, S. (2016). Hearing Loss Due To
Different. Pakistan: SciMedcentral.
Ignatotva, e. (2015). Modern Schoolchildren's Passion for Headphone and Earphone. Siberian:
Journal of Siberian Federal University.
Istiqomah, N. (2018). Hubungan Gangguan Pendengaran Dengan Kualitas Hidup Lansia.
Lampung: Unila.
Kemenkes. (2019). Awas,, Anak Usia 7 – 18 Tahun Rentan Terhadap Gangguan Ketulian.
Jombang.
Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahadian, J. (2010). Pengaruh Penggunaan
Earphone Terhadap Fungsi
Pendengaran Remaja. Majalah
Kedokteran Indonesia.
Sherwood. (2014). Human Physiology from Cell o systems edisi 9. Kanada: Cengage Learning.
Soepardie EA, I. N. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Jakarta: FKUI.
Subha, S. (2006). Role of impacted serumen in hearing loss. PubMed.
Watkin PM, Baldwin M, Laoide S. 1990.
Parental suspicion and identification of hearing impairment. Arch Dis Child; 65:846-50.
Wayne, S. (2016). Earwax and Hearing Aids. Hearing Health & Technology Matters.
WHO. (2015). Hearing loss due to Recreational exprosure to Loud Sounds.
Yuniardi. (2010). Pengaruh Serumen Obsturan Terhadap Gangguan Pendengaran. Semarang: FK
UNDIP.

 Analisa PICO
P : Telinga manusia adalah panca indra yang menangkap dan merubah bunyi atau energi
mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan diteruskan ke otak sehingga dapat
didengar, disadari serta dimengerti (Sherwood, 2014). Proses pendengaran dihasilkan dari
adanya getaran atmosfer yang ditangkap telinga, memiliki kecepatan dan volume yang
berbeda. Gelombang suara masuk melalui daun telinga (auris eksterna) yang menyebabkan
getaran pada membran timpani. getaran tersebut diteruskan menuju inkus, stapes melalui
maleus yang berhubungan membran tersebut.Serumen atau kotoran telinga adalah campuran
dari sekresi sebum bersama dengan sekresi dari kelenjar apokrin yang dimodifikasi dan sel-
sel epitel yang terkelupas dalam kanal pendengaran eksternal manusia (Hydri, 2016). Impaksi
serumen adalah gumpalan kotoranpada telinga yang mengeras (Kemenkes RI, 2017).
Serumen yang secara normal memang dapat ditemukan pada telinga, dapat mengumpul
membentuk massa yang dapat menyumbat liang telinga sehingga menyebabkan gangguan
pada hantaran suara yang berakibat terjadinya gangguan pendengaran.

I : Cara pemeriksaanan gangguan pendengaran dapat menggunakan garpu penala yang


digetarkan, kemudian dasar penala diletakkan pada prosesus mastoideus telinga yang akan
diperiksa, jika op tidak mendengar bunyi lagi, penala dipindahkan ke depan liang telinga ±
2,5 cm dari liang telinga. Pada orang normal, konduksi udara berlangsung lebih lama dari
konduksi tulang. Bila ada gangguan konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi
udara, begitu konduksi tulang menghilang, pasien tidak mampu lagi mendengar mekanisme
konduksi yang biasa’. Bila ada gangguan sensori, suara yang dihantarkan melalui udara lebih
baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara
diterima seperti sangat jauh dan lemah. Untuk mengetahui aliran udara melalui tulang, serta
membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan dengan cara meletakkan
garpu tala yang sudah dibunyikan pada bagian tengah dahi pasien. Pemeriksaan dilakukan di
dalam ruangan yang tenang, nyaman, dan tidak bising. Setelah peneliti menjelaskan tentang
pemeriksaan, manfaat, dan tujuannya, peneliti langsung memulai tindakan.

C : Setelah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan garpu tala pada pasien yang
ganguan pendengaran akibat banyaknya serumen atau ganguan pendengaran lain didaptakan
bahwa tidak ada hambtan dalam proses mendengar atau ganguan akibat serumen atau hal lain
fokus pada pengkajian terhadap pasien Sistem ganguan Pendengaran dengab keluhan utama
Adanya Kotoran telinga /serumen. Penyebabnya Serumen atau kotoran telinga adalah
campuran dari sekresi sebum bersama dengan sekresi dari kelenjar apokrin yang dimodifikasi
dan sel-sel epitel yang terkelupas dalam kanal pendengaran eksternal manusia. Impaksi
serumen adalah gumpalan kotoran pada telinga yang mengeras Impaksi serumen dapat timbul
dari sejumlah penyebab. Pertama, perubahan anatomis tertentu (stenosis seperti pada meatus
auditorius eksternal) dapat menimbulkan impaksi serumen. Selain itu, keratosis obsturans
(penyakit yang ditandai dengan peningkatan produksi keratin) yang dapat menyebabkan
berbagai gejala, termasuk erosi dinding tulang rawan, infeksi dan gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah proses
penuaan yang terjadi pada manusia. Perubahan patologik pada organ pendengaran akibat
degenerasi dapat mengakibatkan gangguan pendengaran pada individu dengan usia lanjut.
Setelah menggunakan pemeriksaan menggunakan garpu tala pasien tampak nyaman karna
telinga mereka telah bersih dari serumen / kotoran telinga dan tidak merasakan nyeri pada
telinga dan pada pasien lanjut usia sudah merasa nyaman walau hanya mendengar tidak
terlalu begitu jelas seprti biasnya.

O : Berdasarkan hasil observasi dari Pasien lanjut usia dan pasien lainnya diperoleh hasil
bahwa ada perubahan pada pendenggaran mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya dan
frekuensi pendenggaran normal setelah diberikan pemeriksaan menggunakan terapi dengan
garpu tala dan pembersihan kotoran telinga / serumen
B. JURNAL DAN ANALISA PICO SISTEM MUSKULOSKELETAL

BATASAN KARAKTERISTIK DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


(ETIOLOGI) DIAGNOSA KEPERAWATAN: HAMBATAN MOBILITAS
FISIK PADA PASIEN STROKE

Selvia Harum Sari1, Agianto2, Abdurahman Wahid3

1
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
2
Bagian Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat
3
Bagian Keperawatan Kritis dan Gawat Darurat Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Email korespondensi: selviaharum@yahoo.com

ABSTRAK
Indikator klinis yang akurat diperlukan untuk memvalidasi diagnosa keperawatan yang ditegakkan.
Keakuratan indikator klinis ditentukan dengan kemunculan batasan karakteristik dan faktor yang
berhubungan (etiologi). Diagnosa keperawatan yang valid sangat penting untuk mengurangi risiko
kesalahan mendiagnosis. Penelitian ini bertujuan mengetahui batasan karakteristik dan etiologi utama
dari diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik yang muncul pada pasien stroke. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif (studi dokumentasi) dengan pendekatan retrospektif. Ada 26 catatan
dokumentasi pasien stroke yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
batasan karakteristik utama yang muncul pada pasien stroke adalah kesulitan membolak-balik posisi
(100%), keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus (100%), keterbatasan
kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar (100%), keterbatasan rentang pergerakan sendi
(26,9%), dan pergerakan lambat (3,8%). Etiologi utama yang muncul pada pasien stroke adalah
penurunan kekuatan otot (92,3%), gangguan neuromuskular (80,8%), nyeri (19,2%), kaku sendi
(3,8%), dan gangguan sensoriperseptual (3,8%). Perawat diharapkan berfokus pada batasan
karakteristik dan etiologi utama yang muncul saat melakukan pengkajian pada pasien stroke dengan
diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik agar dapat merencanakan tindakan keperawatan yang
efektif.

Kata-kata kunci: batasan karakteristik, diagnosa keperawatan, hambatan mobilitas fisik, stroke.

ABSTRACT
Accurate clinical indicators are needed to validate the establishment of nursing diagnosis. The
accuracy of clinical indicators is determined by the presence of defining characteristics and related
factors (etiology). A valid nursing diagnosis is essential to reduce the risk of misdiagnosis. The study
aimed to investigate the main defining characteristics and etiology of nursing diagnosis impaired
physical mobility that appeared in stroke patients. This was a descriptive study (documentation study)
with retrospective approach. There were 26 documentation notes of stroke patient used in this study.
The results showed that the main defining characteristics that appear in stroke patients were difficulty
turning (100%), limited ability to perform fine motor skills (100%), limited ability to perform gross
motor skills (100%), decrease in range of motion (26,9%), and slowed movement (3,8%). The main
etiologies that appeared in stroke patients were decreased muscle strength (92.3%), neuromuscular
impairment (80,8%), pain (19,2%), joint stiffness (3,8%), and sensoriperceptual impairment (3,8%).
Nurses are expected to focus on the main defining characteristics and etiology that appear when
performing the assessment in stroke patients with impaired physical mobility nursing diagnosis in
order to plan effective nursing actions.

Keywords: defining characteristics, nursing diagnosis, impaired physical mobility, stroke.


PENDAHULUAN

Stroke merupakan masalah yang serius di dunia karena dapat menyebabkan kecatatan
fisik dalam jangka waktu yang lama dan kematian secara tiba-tiba (1). Setiap tahunnya
terdapat 795.000 orang terkena serangan stroke, 610.000 merupakan stroke yang terjadi
untuk pertama kalinya dan 185.000 adalah stroke ulangan. Pada tahun 2010, 1 dari 19
kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh stroke (2).
Di negara Asia Tenggara misalnya Thailand, angka kematian yang diakibatkan oleh
stroke terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun. Pada tahun 2000 angka kematian akibat
stroke adalah sebesar 20,8/100.000 kematian dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan
menjadi 30,7/100.000 (3). Prevalensi stroke di Indonesia juga terus mengalami peningkatan,
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 di Indonesia didapatkan
penderita stroke sebesar 8,3 per 1000 penduduk, angka ini meningkat menjadi 12,1 per 1000
penduduk pada tahun 2013 (4). Angka kejadian stroke di dunia akan terus meningkat,
diperkirakan pada tahun 2030 akan ada tambahan 3,4 milyar orang dengan usia ≥18 tahun
akan terkena stroke
(2).
Stroke merupakan kondisi hilangnya fungsi neurologis secara cepat karena adanya
gangguan perfusi pembuluh darah otak (5). Stroke umumnya diklasifikasikan menjadi dua
macam, yaitu iskemik dan hemoragik (perdarahan). Stroke iskemik terjadi akibat adanya
sumbatan pada lumen pembuluh darah otak dan memiliki prevalensi tertinggi, yaitu 88%
dari semua stroke dan sisanya adalah stroke hemoragik (stroke perdarahan) yang terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah otak (6). Gangguan vaskularisasi otak ini memunculkan
berbagai manifestasi klinis seperti kesulitan berbicara, kesulitan berjalan dan
mengkoordinasikan bagianbagian tubuh, sakit kepala, kelemahan otot wajah, gangguan
penglihatan, gangguan sensori, gangguan pada proses berpikir dan hilangnya kontrol
terhadap gerakan motorik yang secara umum dapat dimanifestasikan dengan disfungsi
motorik seperti hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh) atau hemiparesis
(kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh) (7,8).
Disfungsi motorik yang terjadi mengakibatkan pasien mengalami keterbatasan dalam
menggerakkan bagian tubuhnya sehingga meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.
Komplikasi akibat imobilisasi menyebabkan 51% kematian pada 30 hari pertama setelah
terjadinya serangan stroke iskemik. Imobilitas juga dapat menyebabkan kekakuan sendi
(kontraktur), komplikasi ortopedik, atropi otot, dan kelumpuhan saraf akibat penekanan yang
lama (nerve pressure palsies) (9).
Masalah yang berhubungan dengan kondisi imobilisasi pada pasien stroke dinyatakan
sebagai diagnosa keperawatan (10). Diagnosa keperawatan utama yang sesuai dengan
masalah imobilisasi pada pasien stroke adalah hambatan mobilitas fisik. Hal ini berdasarkan
hasil penelitian Alice Gabrielle de SC dkk pada 121 pasien stroke, didapatkan hasil 90%
atau 109 orang pasien stroke menunjukkan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik
(11). Diagnosis ini didefinisikan sebagai keterbatasan dalam melakukan pergerakan fisik
pada satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (12).
Diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan respon fisik, sosio-kultural, psikologis,
dan spiritual klien terhadap masalah kesehatannya yang bersifat individual, sehingga
diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam proses diagnostik. Penegakkan diagnosa
keperawatan haruslah didukung sekelompok data dasar yang didapatkan oleh perawat saat
melakukan pengkajian. Kelompok data ini disebut batasan karakteristik. Batasan
karakteristik adalah indikator klinis yang merupakan tanda dan gejala objektif atau subjektif
atau faktor risiko yang mendukung adanya kategori diagnostik (13). Indikator klinis yang
akurat diperlukan untuk memvalidasi diagnosa keperawatan yang ditegakkan (12).
Keakuratan indikator klinis ditentukan dengan kemunculan batasan karakteristik dan faktor
yang berhubungan (etiologi) dari suatu diagnosa keperawatan (10).
Diagnosa keperawatan yang valid dapat membantu menyelesaikan masalah pasien,
namun proses mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang sesuai sangat sulit dilakukan
karena respon manusia yang kompleks dan unik. Selain itu, diagnosa keperawatan yang
valid sangat penting untuk mengurangi risiko kesalahan mendiagnosis (10). Kesalahan
dalam menegakkan diagnosa keperawatan mengakibatkan perawat salah dalam menentukan
tujuan serta intervensi yang berdampak pada tidak teratasinya masalah pasien, meningkatnya
masa perawatan serta biaya perawatan dan risiko terjadinya komplikasi (9). Oleh karena itu,
ketika melakukan penelitian mengenai diagnosa keperawatan harus berfokus pada
keakuratan indikator klinis (10).
Berdasarkan latar belakang di atas tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan (etiologi) utama diagnosa keperawatan
hambatan mobilitas fisik yang muncul pada pasien stroke iskemik atau hemoragik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Penelitian
ini dilakukan dengan studi dokumentasi pada laporan akhir asuhan keperawatan program
profesi ners stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB)
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
(PSIK FK UNLAM).
Penelusuran pustaka dilakukan pada tanggal 2-5 Desember 2014 di Ruang Arsip
Departemen KMB PSIK FK UNLAM.
Subjek dari penelitian ini dipilih dari laporan akhir asuhan keperawatan program
profesi ners stase KMB tahun 2012-2014 PSIK FK UNLAM. Terdapat 26 catatan
dokumentasi pasien stroke yang digunakan pada penelitian ini dengan teknik pengambilan
sampel total sampling. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah pasien yang dalam lembar
asuhan keperawatan memiliki diagnosa medis stroke iskemik atau hemoragik dan diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik. Kriteria ekslusi subjek penelitian adalah pasien yang
dalam lembar asuhan keperawatan memiliki diagnosa medis Transient Ischemic Attack
(TIA) atau suspect stroke.
Instrumen pada penelitian ini adalah lembar checklist batasan karakteristik dan faktor
yang berhubungan (etiologi) dari diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik yang
dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan pada NANDA-I 2012-2014 (12). Lembar checklist
ini terdiri dari 13 isian mengenai batasan karakteristik dan
30 isian mengenai faktor yang berhubungan (etiologi) diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik.
Penelitian dimulai dengan mengurus perizinan dari PSIK FK UNLAM yang
selanjutnya diajukan kepada dosen koordinator mata kuliah KMB PSIK FK UNLAM dan
koordinator program profesi ners PSIK FK UNLAM untuk melakukan studi dokumentasi
pada laporan asuhan keperawatan mahasiswa program profesi ners stase KMB.
Setelah didapatkan izin, selanjutnya dilakukan penelusuran pustaka laporan akhir
asuhan keperawatan program profesi ners stase keperawatan medikal bedah dengan kasus
kelolaan stroke di ruang arsip Departemen KMB PSIK FK
UNLAM. Semua data dari laporan akhir asuhan keperawatan program profesi ners stase
KMB yang telah terkumpul dari tahun 2012-2014 selanjutnya dilakukan analisis data dan
penyusunan laporan penelitian.
Analisis data dilakukan secara univariat, yaitu analisa yang dilakukan dengan melihat
karakteristik masingmasing variabel yang diteliti, analisis ini hanya menghasilkan distribusi
dan persentase pada variabel batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan (etiologi)
yang disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pada penelitian ini menggambarkan distribusi subjek penelitian berdasarkan usia,
jenis kelamin, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan jenis stroke, serta gambaran batasan
karakteristik dan faktor yang berhubungan (etiologi) diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik yang muncul pada pasien stroke.

Karakteristik Pasien

Tabel 1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia


Min- 95
Variabel Mean Median SD Mak %
CI
34 49,3
73 8-
Usia 52,77 52,50 8,387
56,1
6

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa rata-rata usia 26 pasien stroke adalah 52,77 tahun.
Usia termuda adalah 34 tahun dan usia tertua adalah 73 tahun.

Tabel 2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan,
dan Jenis
Stroke
Variabel N %
1. Jenis kelamin

Laki-laki 18 69,2
30,8 Perempuan 8
Total 100 26
2. Suku
Banjar 17 65,4
Jawa 4 15,4
Lain-lain 5 19,2
Total 26 100
3. Pendidikan terakhir
Tidak sekolah 1 3,8
SD 8 30,8
SLTP 2 7,7
SLTA 9 34,6
Sarjana 2 7,7
15,4 Tidak terkaji 4
Total 26 100
4. Pekerjaan
Petani 2 7,7
Pedagang/wiraswasta 1 3,8
PNS 1 3,8
Karyawan Swasta 9 34,6
Ibu Rumah Tangga 4 15,4
34,5
Total 26 100
5. Jenis stroke
Hemoragik 13 50
Nonhemoragik 13 50
Total 26 100 Lainnya 9

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien stroke
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (69,2%). Sebagian besar pasien stroke
adalah suku Banjar yaitu sebanyak 17 orang (65,4%) dan yang terendah adalah suku Jawa
yaitu sebanyak 4 orang (15,4%). Sebanyak 9 orang (34,6%) pasien stroke berpendidikan
SMA dan 1 orang (3,8%) tidak sekolah. Masingmasing 9 orang (34,6%) pasien stroke
bekerja sebagai karyawan swasta dan lainnya, serta masing-masing sebanyak 1 orang (3,8%)
pasien stroke bekerja sebagai pedagang dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Persentase pasien
yang mengalami stroke iskemik dan hemoragik adalah sama yaitu sebesar 50% (13 orang).

Gambaran Batasan Karakteristik Diagosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik


yang Muncul pada Pasien Stroke

Berdasarkan hasil analisa dari laporan akhir asuhan keperawatan program profesi ners
stase KMB PSIK FK UNLAM terdapat 5 batasan karakteristik dari diagnosa keperawatan
hambatan mobilitas fisik yang muncul pada pasien stroke. Secara lengkap batasan
karakteristik ini dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Batasan Karakteristik Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik yang Muncul Pada
Pasien
Stroke
No. Batasan Karakteristik n %
1. Kesulitan membolak- 10
26
balik posisi 0
2. Keterbatasan
kemampuan melakukan 10
keterampilan motorik 26 0
halus
3. Keterbatasan
kemampuan melakukan 10
keterampilan motorik 26 0
kasar
4. Keterbatasan rentang 26,
7
pergerakan sendi 9
5. Pergerakan lambat 1 3,8

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa terdapat 3 batasan karakteristik utama yang
muncul pada semua pasien stroke (100%) dengan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas
fisik yaitu kesulitan membolak-balik posisi, keterbatasan kemampuan melakukan
keterampilan motorik halus, dan keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
kasar.
Gambaran Faktor yang Berhubungan (Etiologi) Diagnosa Keperawatan Hambatan
Mobilitas Fisik yang Muncul pada Pasien Stroke
Berdasarkan hasil analisa dari laporan akhir asuhan keperawatan program profesi ners
stase KMB PSIK FK UNLAM terdapat 5 faktor yang berhubungan (etiologi) dari diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik yang muncul pada pasien stroke. Secara lengkap
faktor yang berhubungan (etiologi) ini dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Faktor yang Berhubungan (Etiologi) Diagnosa Keperawatan Hambatan


Mobilitas Fisik yang Muncul Pada
Pasien Stroke
Faktor yang
No. n %
Berhubungan (Etiologi)
Penurunan kekuatan 92,
1. 24
otot 3
2. Kaku sendi 1 3,8
Gangguan 80,
3. 21
neuromuskular 8
4. Nyeri 5 19,
2
Gangguan sensori
5. 1 3,8
perseptual

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar faktor yang berhubungan
(etiologi) yang muncul pada pasien stroke adalah penurunan kekuatan otot. Faktor yang
berhubungan (etiologi) ini muncul pada 24 orang (92,3%) pasien stroke dan terdapat 2 faktor
yang berhubungan (etiologi) yang hanya muncul pada satu orang (3,8%) pasien stroke yaitu
kaku sendi dan gangguan sensori perseptual.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Batasan Karakteristik Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik


Stroke merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf pusat, namun efek yang
dihasilkan dapat berpengaruh pada seluruh tubuh. Menurut National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) efek yang mungkin terjadi akibat stroke dapat
berupa paralisis, defisit fungsi kognitif, defisit bahasa, defisit emosional dan rasa sakit (14).
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa terdapat 3 batasan karakteristik yang muncul
pada semua pasien stroke (100%) dengan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
yaitu kesulitan membolak-balik posisi, keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan
motorik halus, dan keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar.
Pergerakan dan postur tubuh diatur oleh sistem saraf. Hal ini dapat dicapai melalui
pengaturan kontraksi otot rangka yang tepat di seluruh tubuh, kontraksi otot polos organ
dalam, dan sekresi bahan kimia aktif oleh kelenjar eksokrin dan endokrin. Seluruh aktivitas
ini disebut fungsi motorik sistem saraf. Area motorik volunter utama, berada di korteks
serebral, yaitu di girus prasentral atau jalur motorik (15). Gangguan aliran darah otak akibat
stroke dapat merusak jalur motorik ini, rusaknya jalur motorik ini menyebabkan pasien
stroke mengalami disfungsi motorik hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh) atau
hemiparesis (kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh) (8).
Disfungsi motorik ini menyebabkan pasien stroke mengalami kemunduran fungsi
mobilitas, keterbatasan kemampuan melakukan motorik halus dan motorik kasar. Fungsi
mobilitas meliputi kemampuan mobilitas ditempat tidur, berpindah, jalan atau ambulasi, dan
mobilitas dengan alat adaptasi (16). Kemampuan melakukan keterampilan motorik halus dan
kasar merujuk pada kemampuan atau keterampilan seseorang untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, aktivitas hiburan/hobi, pekerjaan, interaksi sosial, dan perilaku lain yang
dibutuhkan (17). Aktivitas sehari-hari yang dinilai dalam penelitian ini adalah kemampuan
pasien untuk melakukan aktivitas perawatan diri yaitu mandi, berpakaian/berdandan,
eliminasi/toileting, mobilitas di tempat tidur, berpindah, berjalan, naik tangga, berbelanja,
memasak, dan pemeliharaan rumah.
Batasan karakteristik selanjutnya yang muncul pada pasien stroke adalah keterbatasan
rentang pergerakan sendi (26,9%). Keterbatasan dalam beberapa atau semua rentang gerak
dengan mandiri pada pasien stroke ini diakibatkan juga oleh keterbatasan pasien dalam
mobilisasi (18). Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin
dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan transversal.
Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh
menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan
membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan transversal adalah garis
horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah (19).
Selain itu, stroke juga menyebabkan penghambatan pada komponen sistem saraf pusat
dalam mekanisme penghantaran impuls yang dimanifestasikan dengan penurunan kecepatan
pasien stroke dalam melakukan pergerakan (pergerakan lambat) (18). Batasan karakteristik
pergerakan lambat dalam penelitian ini muncul pada 1 orang pasien stroke (3,8%).
Peran perawat pada pasien stroke yang mengalami penurunan kemampuan fungsional
adalah meningkatkan mobilitas yang optimal, kenyamanan, dan kemampuan dengan
menciptakan lingkungan yang mendukung dengan mengompensasi perubahan fungsi.
Tingkat bantuan bergantung pada derajat keterbatasan, tetapi perawat harus hati-hati untuk
tidak melakukan tindakan yang berlebihan dari kondisi yang diperlukan oleh pasien (19).

Faktor yang Berhubungan (Etiologi) Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas


Fisik
Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan penurunan kekuatan otot dan gangguan
neuromuskular merupakan faktor yang berhubungan (etiologi) yang paling banyak muncul
pada pasien stroke dengan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik, yaitu sebanyak
24 orang (92,3%) dan 21 orang (80,8%).
Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskular yaitu besarnya
kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi. Semakin banyak
serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan oleh otot
tersebut (18). Penurunan kekuatan otot merupakan manifestasi dari hemiparesis (kelemahan
pada salah satu sisi tubuh) yang paling sering ditemukan pada pasien stroke. Defisit motorik
pada pasien stroke berupa hemiparesis atau hemiplegia biasanya disebabkan karena
kerusakan pembuluh darah bagian anterior atau arteri serebral medial yang mengakibatkan
infark pada korteks motorik frontalis (18).
Saraf yang mengendalikan otot-otot tulang pada manusia adalah sekelompok neuron
sepanjang korteks motorik primer. Perintah dari otak melalui basal ganglia akan
dimodifikasi oleh sinyal dari serebelum dan kemudian disampaikan melalui saluran
piramidal ke medulla spinalis sampai ke ujung saraf motorik pada otot. Sistem
ektrapiramidal berkontribusi dalam umpan balik yang akan memengaruhi reaksi otot dan
respon (20).
Kontraksi otot terjadi melalui mekanisme sebagai berikut, suatu potensial aksi berjalan
sepanjang saraf motorik sampai ke ujungnya pada serat otot. Pada setiap ujungnya, saraf
menyekresi substansi neurotransmitter yaitu asetilkolin yang bekerja pada serat otot untuk
membuka banyak saluran bergerbang melalui molekul protein dalam membran serat otot.
Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk mengalir
ke bagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf yang akan menimbulkan
potensial aksi. Selanjutnya potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran serat
otot dan menyebabkan retikulum sarkoplasma melepas sejumlah besar ion kalsium sehingga
menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin secara bersamaan dan akan
menghasilkan proses kontraksi. Setelah satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma tempat ion-ion ini disimpan sampai potensial aksi otot yang baru
datang lagi. Pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan kontraksi otot
berhenti (15).
Kekuatan otot dalam bergerak dan mengangkat benda merupakan hasil kerjasama dari
tiga faktor yaitu kekuatan fisiologis (ukuran otot, luas penampang, tersedianya
crossbridging, dan tanggapan otot untuk latihan), kekuatan neurologis (seberapa kuat atau
lemahnya sinyal yang disampaikan ke otot untuk berkontraksi), dan kekuatan mekanik
(kekuatan otot pada sudut tuas, saat lengan memanjang, dan kemampuan sendi). Kekuatan
otot yang bekerja pada tulang tergantung pada panjang, kecepatan memperpendek, luas
penampang, sarkomer, aktin, dan miosin (15). Stoke yang merupakan kondisi patologis otak
dimana terjadi peningkatan produksi eikosanoid, dijumpai adanya produksi oksigen radikal
bebas dan lipid peroksidase yang mempunyai efek merusak terhadap struktur otak dan
fungsinya (5). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot dan
gangguan neuromuskular pada pasien stroke.
Penurunan kekuatan otot dan gangguan neuromuskular ini selanjutnya menyebabkan
pasien stroke mengalami gangguan mobilisasi yang dapat dinyatakan dengan diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik. Intervensi yang dapat dilakukan pada pasien stroke
dengan gangguan imobilisasi yaitu latihan motor imagery yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada pasien hemiparesis. Gerakan pada bagian
ekstremitas yang sehat diikuti oleh imajinasi gerakan pada ekstremitas yang mengalami
paresis dapat merangsang saraf yang mengalami gangguan (20).
Latihan motor imagery adalah kemampuan seseorang membayangkan diri mereka
menggunakan bagian tertentu dari tubuh mereka. Area otak dan otot dapat diaktifkan jika
seseorang benar-benar melakukan kegiatan yang mereka bayangkan. Latihan ini ditujukan
untuk memvisualisasikan atau membayangkan anggota badan bergerak. Penelitian yang
dilakukan oleh Mohammad F. menunjukkan kekuatan otot lengan dan kaki meningkat
(p=0,000) secara signifikan setelah diberikan latihan motor imagery (20).
Faktor yang berhubungan (etiologi) selanjutnya yang muncul pada pasien stroke
dengan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik adalah nyeri (19,2%). Nyeri dapat
merupakan akibat atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area thalamus seringkali
menimbulkan nyeri yang disebut sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri ini disebabkan oleh
gangguan sensorik sentral dimana interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
sebagai rasa nyeri di otak. Pada penelitian ini nyeri yang muncul pada pasien stroke adalah
nyeri pada bagian kepala yang dialami oleh pasien stroke hemoragik. Nyeri kepala ini
disebabkan iritasi meningen oleh darah
(21).
Selain penurunan kekuatan otot, kaku sendi juga merupakan manifestasi dari
hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh) yang dapat ditemukan pada pasien stroke
(18). Hemiparesis yang terjadi pada pasien stroke menyebabkan penurunan kemampuan
pasien dalam melakukan mobilisasi. Sendi yang diam pada satu posisi tertentu dalam waktu
yang lama akan menjadi kering dan kaku (17).
Kaku sendi sebagai faktor yang berhubungan (etiologi) dari diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik pada penelitian ini muncul pada 1 orang pasien stroke (3,8%).
Stroke juga dapat mengakibatkan gangguan sensoriperseptual, gangguan ini dapat
menjadi faktor yang berhubungan (etiologi) yang menyebabkan pasien mengalami hambatan
mobilisasi. Dari hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel 5.8 gangguan
sensoriperseptual muncul pada 1 orang pasien stroke (3,8%).
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil,
dan auditorius (18).
Persepsi adalah kemampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat
mengakibatkan disfungsi visual-persepsi, gangguan dalam hubungan visual-spasial, dan
kehilangan sensori. Disfungsi visualpersepsi disebabkan karena adanya gangguan pada
sensorik primer jalur antara mata dan korteks visual. Homonymous hemianopsia (kehilangan
setengah dari bidang visual) mungkin terjadi pada pasien stroke dan dapat terjadi sementara
atau permanen. Bagian yang terkena dampak adalah pada sisi sesuai dengan sisi tubuh yang
mengalami kelumpuhan. Gangguan dalam hubungan visual-spasial
(mempersepsikan hubungan dari dua atau lebih objek di daerah spasial) sering terlihat pada
pasien dengan kerusakan belahan otak kanan (18).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua batasan karakteristik dan faktor
yang berhubungan (etiologi) dari diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik muncul
pada pasien stroke iskemik atau hemoragik sehingga sangatlah penting bagi perawat
memiliki kemampuan berpikir kritis saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien
stroke. Hasil penelitian Aprisunadi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
berpikir kritis perawat dengan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan (p=0,017; α
0,05). Perawat yang berpikir kritis berpeluang 6 kali menunjukkan kualitas asuhan
keperawatan yang baik (22).
Penelitian dengan studi dokumentasi ini memiliki keterbatasan akibat pengukuran
tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti. Data yang digunakan pada penelitian ini
terbatas pada data-data yang telah didokumentasikan pada laporan akhir asuhan keperawatan
stase KMB program profesi ners PSIK FK UNLAM dan adanya poin-poin dalam lembar
pengkajian asuhan keperawatan pasien yang tidak terisi.

PENUTUP
Batasan karakteristik utama yang muncul pada pasien stroke dengan dignosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik adalah kesulitan membolak-balik posisi (100%),
keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus (100%), keterbatasan
kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar (100%), keterbatasan rentang
pergerakan sendi (26,9%), dan pergerakan lambat (3,8%). Faktor yang berhubungan
(etiologi) utama yang muncul pada pasien stroke dengan diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik adalah penurunan kekuatan otot (92,3%), gangguan neuromuskular (80,8%),
nyeri (19,2%), kaku sendi (3,8%), dan gangguan sensori perseptual (3,8%).

KEPUSTAKAAN

1. Pugh S, Mathiesen C, Meighan M, et al. Guide to the care of the hospitalized patient
with ischemic stroke 2nd edition, revised: AANN clinical practice guideline series.
American Association of
Neuroscience Nurses, 2009.
2. Go ST, Mozaffarian D, Roger VL, et al. Heart disease and stroke statistics – 2014
update: a report from the american heart association. Journal of the American Heart
Association 2014; 129: e28-e292.

3. Suwanwela NC. Stroke epidemiology in Thailand. Journal of Stroke 2014;


16(1): 1-7.

4. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, 2013.

5. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

6. Marsh JD, Keyrouz SG. Stroke prevention and treatment. Journal of the American
College of Cardiology 2010; 56(9): 683-91.

7. Somes J, Bergman DL. ABCDs of acute stroke intervention. Journal of Emergency


Nursing 2007; 33: 228-
34.
8. Brunner & Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 volume 3. Jakarta:
EGC, 2002.

9. Summers D, Leonard A, Wentworth D, et al. Comprehensive overview of nursing and


interdisciplinary care of the acute ischemic stroke patient: a scientific statement from
the American Heart Association 2009; 40: 2911-2944.

10. de Sousa VEC, Lopes MVO, Araujo TL, et al. Clinical indicators of ineffective airway
clearance for patients in the cardiac postoperative period. European Journal of
Cardiovascular Nursing 2013; 12(2):
193-200.

11. de Sousa Costa AG, de Sousa Oliveira AR, Alves FEC, et al. Nursing diagnosis:
impaired physical mobility in patients with stroke 2010; (online), 44 (3): 742-7
(www.ee.usp.br/reeusp), diakses April 2014).

12. Herdman Heather. NANDA Internasional diagnosis keperawatan: definisi dan


klasifikasi 2012-2014. Terjemahan oleh Made Sumarwati dan Nike Budhi S. Jakarta:
EGC, 2012.

13. Potter & Perry. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik edisi 4 volume 1.
Jakarta: EGC, 2005.

14. Yani FIA. Perbedaan skor kualitas hidup terkait kesehatan antara pasien stroke
iskemik serangan pertama dan berulang (skripsi). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 2010.

15. Guyton dan Hall. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC, 2011.

16. Muhith A. Kemampuan fungsional lansia di UPT panti werdha “Majapahit”


Mojokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan Politeknik
Kesehatan Majapahit 2010; 2(2): 1632.

17. Wirawan RP. Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer. Majalah
Kedokteran Indonesia 2009; 59(2): 61-71.

18. Cahyati Y. Perbandingan latihan ROM unilateral dan latihan ROM bilateral terhadap
kekuatan otot pasien hemiparese akibat stroke iskemik di RSUD Kota Tasikmalaya
dan RSUD Kab. Ciamis (tesis).
Depok: Universitas Indonesia, 2011.

19. Potter & Perry. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik edisi 4 volume 2.
Jakarta: EGC, 2006.

20. Fatkhurrohman M. Pengaruh latihan motor imagery terhadap kekuatan otot


ekstremitas pada pasien stroke dengan hemiparesis di Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Bekasi (tesis).
Depok: Universitas Indonesia, 2011.

21. Ginsberg L. Lecture notes neurologi edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga, 2008.

22. Aprisunadi. Hubungan antara berpikir kritis perawat dengan kualitas asuhan
keperawatan di unit perawatan ortopedi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
(tesis). Depok: Universitas
Indonesia, 2011.

 Analisa PICO
BATASAN KARAKTERISTIK DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN (ETIOLOGI)
DIAGNOSA KEPERAWATAN: HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN
STROKE

P (populasi/sample) : Masalah yang berhubungan dengan kondisi imobilisasi pada pasien


stroke dinyatakan sebagai diagnosa keperawatan (10). Diagnosa keperawatan utama yang
sesuai dengan masalah imobilisasi pada pasien stroke adalah hambatan mobilitas fisik. Hal
ini berdasarkan hasil penelitian Alice Gabrielle de SC dkk pada 121 pasien stroke,
didapatkan hasil 90% atau 109 orang pasien stroke menunjukkan masalah keperawatan
hambatan mobilitas fisik (11). Diagnosis ini didefinisikan sebagai keterbatasan dalam
melakukan pergerakan fisik pada satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.

I (intervensi) : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif.


Penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi pada laporan akhir asuhan keperawatan
program profesi ners stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB) Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (PSIK FK UNLAM).
Penelusuran pustaka dilakukan pada tanggal 2-5 Desember 2014 di Ruang Arsip
Departemen KMB PSIK FK UNLAM. Subjek dari penelitian ini dipilih dari laporan akhir
asuhan keperawatan program profesi ners stase KMB tahun 2012-2014 PSIK FK UNLAM.
Terdapat 26 catatan dokumentasi pasien stroke yang digunakan pada penelitian ini dengan
teknik pengambilan sampel total sampling. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah pasien
yang dalam lembar asuhan keperawatan memiliki diagnosa medis stroke iskemik atau
hemoragik dan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik. Kriteria ekslusi subjek
penelitian adalah pasien yang dalam lembar asuhan keperawatan memiliki diagnosa medis
Transient Ischemic Attack (TIA) atau suspect stroke. Instrumen pada penelitian ini adalah
lembar checklist batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan (etiologi) dari diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan pada
NANDA-I 2012-2014 (12). Lembar checklist ini terdiri dari 13 isian mengenai batasan
karakteristik dan 30 isian mengenai faktor yang berhubungan (etiologi) diagnosa
keperawatan hambatan mobilitas fisik.

C (comparation) : Besar pasien stroke berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang
(69,2%). Sebagian besar pasien stroke adalah suku Banjar yaitu sebanyak 17 orang (65,4%)
dan yang terendah adalah suku Jawa yaitu sebanyak 4 orang (15,4%). Sebanyak 9 orang
(34,6%) pasien stroke berpendidikan SMA dan 1 orang (3,8%) tidak sekolah. Masingmasing
9 orang (34,6%) pasien stroke bekerja sebagai karyawan swasta dan lainnya, serta masing-
masing sebanyak 1 orang (3,8%) pasien stroke bekerja sebagai pedagang dan Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Persentase pasien yang mengalami stroke iskemik dan hemoragik adalah
sama yaitu sebesar 50% (13 orang).

O (out came) : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi batasan karakteristik dan
faktor yang berhubungan (etiologi) utama diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
yang muncul pada pasien stroke iskemik atau hemoragik.

T (time) : jurnal ini di buat pada Maret 2015

Perbandingan Penyembuhan Luka Insisi Menggunakan Pisau Bedah dan


Pisau Elektrokauter Dinilai dengan Vancouver scar score pada Operasi
Luka Bersih
1
Diadon Mitaart, 2Mendy Hatibie, 3Djarot Noersasongko

1
Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
KSM Ilmu Bedah Divisi Bedah Plastik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
2
KSM Ilmu Bedah Divisi Bedah Ortopedi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Email: donmitaart@gmail.com

Abstract: Skin incision is usually performed by using a scalpel. It is assumed that


electrocautery knife, a more recent alternative, can increase the risk of infection, impair
healing, and result in poor cosmetic scar. This study was aimed to compare the healing process
of incision wounds performed by using sclapels and electrocautery knives assessed with
Vancouver Scar Score (VSS) at three months after operation. This was an experimental study.
Subjects were 17 male patients, aged 18-55 years old, with elective operation (categorized as
clean wound operation) from March through June 2016 at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital
Manado. Each incision was performed with a scalpel first (Group A) and continued with an
electrocautery knife (Group B). After 3 months of operation, the wound scars were assessed
with VSS. The Wilcoxon signed ranks test showed no significant difference between the VSS
of the two groups (P > 0.05). Conclusion: There was no difference in wound healing of
incised wounds performed by using scalpels and by using electrocautery knives. Keywords:
VSS, electrocautery, wound healing, scar

Abstrak: Insisi kulit biasanya dilakukan dengan menggunakan pisau bedah. Peralatan
elektrokauter merupakan alternatif baru yang dianggap meningkatkan risiko infeksi,
memperlambat penyembuhan, dengan hasil secara kosmetik yang buruk. Penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan proses penyembuhan dari luka insisi menggunakan pisau
bedah dan pisau elektrokauter yang dinilai dengan Vancouver Scar Score (VSS) pada operasi
dengan luka bersih. Jenis penelitian ialah eksperimental. Penelitian dilakukan selama periode
Maret 2016 s/d Juni 2016 pada 17 orang pasien berjenis kelamin laki-laki, berusia 18-55 tahun
yang memerlukan operasi elektif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan dikategorikan
operasi dengan luka bersih. Setiap insisi selalu dilakukan terlebih dahulu dengan pisau bedah
(kelompok A) dan sisanya dilakukan dengan pisau elektrokauter (kelompok B), kemudian luka
dinilai dengan VSS setelah 3 bulan kemudian. Hasil uji Wilcoxon signed ranks terhadap hasil
VSS saat 3 bulan setelah operasi memperlihatkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara
hasil perlakuan A dan B (P > 0,05). Simpulan: Tidak terdapat perbedaan dalam penyembuhan
dari kedua bagian luka insisi yang menggunakan pisau bedah dan pisau elektrokauter pada
operasi dengan luka bersih.
Kata kunci: VSS, elektrokauter, penyembuhan luka, jaringan parut
Jaringan parut (skar) terbentuk setelah prosedur bedah dan berbagai jenis trauma, terutama luka
bakar. Beberapa bekas luka sembuh dengan cepat, sementara yang lain berkembang menjadi skar
hipertrofik atau bahkan keloid. Bekas luka sering memerlukan perawatan selama berbulanbulan atau
bahkan beberapa tahun.1
Jaringan parut dapat menyebabkan berbagai masalah, antara lain masalah kosmetik, psikologis,
dan masalah fungsional. Jaringan parut biasanya dibedakan dari kulit normal dari segi perbedaan
warna, peningkatan ketebalan, luas permukaan yang tidak rata, dan kualitas fungsional yang jelek,
191
disebabkan oleh hilangnya kelenturan dan kontraksi. Gambaran jaringan parut secara klinis relevan
dan berhubungan dengan kualitas dan penilaian jaringan parut. Untuk evaluasi hasil uji klinis, baik
pengukuran subjektif maupun objektif dari jaringan parut sangat diperlukan.1
Penilaian jaringan parut diperlukan dalam praktek klinis di pusat-pusat yang mengobati korban
luka bakar dan pasien lain dengan bekas luka yang bermasalah. Untuk saat ini metode yang
diketahui untuk menilai jaringan parut masih jarang. Dalam studi ilmiah tentang jaringan parut,
penilaian skoring Vancouver Scar Score (VSS) yang paling umum digunakan. Meskipun pernah
dilaporkan bahwa penilaian subjektif tidak terlalu dapat diandalkan namun VSS telah menjadi baku
emas untuk menilai jaringan parut.2
Penggunaan dan pengetahuan mengenai prosedur bedah listrik sangat penting dalam bidang
bedah kulit. Bedah listrik merupakan suatu teknik bedah yang menggunakan transmisi listrik untuk
memotong jaringan, menghancurkan jaringan, dan mengkauterisasi pembuluh darah. Panjang
gelombang arus listrik yang bervariasi dapat menyebabkan efek biologis yang berbeda pada
jaringan. Bedah listrik dalam bidang dermatologi mencakup beberapa modalitas terapi, yaitu
elektrofulgurasi, elektrodesikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi, elektrokauterisasi, dan
elektrolisis.3,4 Elektrokauterisasi sendiri bukan merupakan modalitas bedah listrik murni karena
tidak ada aliran listrik yang melalui tubuh pasien.5
Bedah elektrokauter telah berkembang pesat, dan digunakan untuk pemisahan jaringan serta
hemostasis. Bedah elektrokauter merupakan metode yang praktis, awalnya diperkenalkan pada abad
ke-20 namun ternyata dokter bedah masih agak segan menggunakannya bila tujuannya untuk insisi
kulit. Hal ini disebabkan karena laporan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
elektrokauter menyebabkan pertumbuhan jaringan yang buruk yang bisa berujung pada infeksi
jaringan, keterlambatan penyembuhan, dan pertumbuhan jaringan parut yang buruk. Walaupun
laporan hasil penelitian tersebut kurang menjanjikan, penelitian mengenai pengaruh elektrokauter
terhadap luka seperti durasi operasi dan perdarahan juga termasuk infeksi pada luka operasi masih
cukup diminati.6 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan hasil insisi yang
dilakukan dengan menggunakan pisau bedah dan peralatan elektrokauter serta menilai hasil dari
penyembuhan luka, keefektifan, kurangnya perdarahan yang dihasilkan, dan kepuasan pasien pasca
operasi. Laporan berbagai hasil penelitian tersebut memperlihatkan penggunaan peralatan
elektrokauter sama amannya dengan pisau bedah dalam hal penyembuhan luka insisi dengan
beberapa keuntungan tambahan antara lain berkurangnya kehilangan darah dan nyeri pasca
operasi.7-10

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini ialah ekperimental. Penelitian dilakukan selama periode Maret 2016 s/d Juni
2016 terhadap pasien yang datang dan memerlukan operasi elektif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado, kategori operasi dengan luka bersih, berjenis kelamin laki-laki, dan berusia 1855 tahun.
Tahapan perlakuan yang diberikan ialah sebagai berikut: Pada lokasi operasi diberi tanda insisi
(marker), setengahnya diinsisi dengan pisau bedah (sebelah proksimal/lateral) dan setengahnya lagi
diinsisi dengan pisau elektrokauter (sebelah distal/medial). Setelah dilakukan tindakan asepsis dan
antisepsis, dibuat insisi kulit dengan menggunakan pisau bedah mengikuti marker sampai pada
lapisan lemak subkutan. Insisi kulit diteruskan menggunakan pisau elektrokauter sampai lapisan
subkutis, sebelumnya telah diatur pure cut mode dan angka 20 watt pada mesin kauter. Insisi
dilakukan dengan kecepatan 3-5 cm per detik dengan sekali insisi mengikuti marker. Luka dijahit
dengan jahitan interuptus menggunakan benang monofilamen non-absorable ukuran 2-0 untuk
ekstremitas dan 3-0 untuk trunkus. Setelah luka ditutup, dilakukan pendokumentasian. Perawatan
luka dilakukan seperti biasanya dan luka dinilai dengan VSS saat 3 bulan setelah operasi.
Hasil penilaian VSS pada luka insisi dengan pisau bedah dimasukkan dalam kelompok A
sedangkan yang dengan pisau elektrokauter dimasukkan dalam kelompok B. Penilaian pada bekas
luka memakai standar baku yaitu VSS, terdiri dari: konsistensi (0-5 poin), ketebalan (0-3 poin),
vaskularisasi (0-3 poin), dan pigmentasi (0-
3 poin) (Tabel 1).2
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisis perbandingan kedua perlakuan
menggunakan uji Wilcoxon signed ranks.

Tabel 1. Vancouver Scar Score2

Karakteristik skar Sko


r
Vaskularisas Normal 0
i
Merah muda 1
Merah 2
Ungu 3
Pigmentasi Normal 0
Hipopigmentasi 1
Campuran 2
Hiperpigmentasi 3
Konsistensi Normal 0
Lentur 1
Lunak 2
Keras 3
Padat 4
Kontraktur 5
Ketinggian/ Datar 0
ketebalan
<2 mm 1
2-5 mm 2
>5 mm 3
Total skor 14

HASIL PENELITIAN
Subyek penelitian diperoleh dari pasien yang dilakukan operasi dengan kategori operasi luka bersih
di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Penelitian ini dilakukan pada 17 luka operasi. Sebanyak
14 luka didapatkan dari operasi Divisi Ortopedi dan 3 luka dari operasi Divisi Digestif (Tabel 2 dan
3). Insisi awal selalu dimulai dengan pisau bedah sepanjang ½ dari panjang insisi luka dan kemudian
sisanya diperpanjang dengan menggunakan pisau elektrokauter yang sebelumnya sudah diatur ke
pure cut mode dan angka 20 watt pada mesin kauter. Selanjutnya luka mendapat perlakuan
perawatan luka yang sama, dan dikontrol setelah 3 bulan kemudian, dan dinilai dengan
menggunakan VSS.
Tabel 2 memperlihatkan hasil penilaian luka dengan VSS pada kelompok A (insisi dengan pisau
bedah) sedangkan Tabel 3 memperlihatkan hasil penilaian dengan VSS pada kelompok B (insisi
dengan pisau elektrokauter).

Analisis data
Hasil uji kenormalan data menunjukkan bahwa data konsistensi dan ketebalan pada perlakuan A
dan B tidak menyebar normal (P < 0,05) sehingga perbedaan kedua perlakuan diuji dengan
Wilcoxon signed ranks yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam konsistensi (P
> 0,05) dan ketebalan antara perlakuan A dan B (P > 0,05).
Hasil uji kenormalan data menunjukkan data vaskularisasi dan pigmentasi perlakuan A dan B
tidak menyebar normal (P < 0,05) sehingga perbedaan kedua perlakuan diuji dengan Wilcoxon
signed ranks yang menyatakan tidak terdapat perbedaan dalam vaskularisasi (P < 0,05) dan
pigmentasi antara perlakuan A dan B (P > 0,05).
Hasil uji kenormalan data menunjukkan data hasil perlakuan A dan B tidak menyebar normal (P
< 0,05) maka perbedaan kedua perlakuan diuji dengan Wilcoxon signed ranks yang menunjukkan
tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil perlakuan A dan B (P > 0,05).

BAHASAN
Respon fisiologik pada luka ialah proses penyembuhan luka. Pemahaman terhadap proses
penyembuhan luka secara normal merupakan hal penting dalam pemahaman patofisiologi jaringan
parut atau keloid. Penyembuhan luka merupakan proses sangat kompleks dan secara normal terjadi
melalui tiga fase yaitu: 1) fase inflamasi; 2) fase proliferasi; dan 3) fase remodeling. 11 Penyembuhan
luka sering berakhir dengan meninggalkan jaringan parut. Walaupun jaringan parut terdiri dari
protein yang sama (kolagen) dengan jaringan yang digantikannya, namun komposisi serat proteinnya
yang berbeda, yaitu bukannya membentuk anyaman acak dari serat kolagen seperti yang ditemukan
pada jaringan normal melainkan membentuk anyaman satu arah pada jaringan parut. Barisan kolagen
dari jaringan parut ini mempunyai kualitas fungsional yang lebih buruk dari pada kolagen yang
teranyam acak. Contohnya, jaringan parut pada kulit lebih kurang tahan terhadap radiasi ultraviolet,
lagipula kelenjar keringat serta folikel rambutnya tidak tumbuh lagi bersama dengan jaringan
parut.12,13
Jaringan parut adalah suatu area jaringan fibrosis yang menggantikan kulit normal setelah cedera
yang bertujuan untuk memperbaiki luka pada kulit maupun pada organ lain dari tubuh. Dengan
demikian, proses pembentukan jaringan parut merupakan bagian dari proses penyembuhan yang
alami. Dengan pengecualian dari lesi yang sangat kecil, setiap luka (setelah trauma, penyakit, atau
tindakan bedah) menghasilkan hasil jaringan parut yang berbeda derajat.12,13
Jaringan parut yang terbentuk dapat dibedakan atas skar hipertrofik dan keloid. Skar hipertrofik
merupakan tipe jaringan parut yang terbatas pada defek awal dan cenderung menghilang seiring
waktu sedangkan keloid ialah perluasan skar yang melewati batas luka awal. 14,15 Konsep ini
menyatakan pula bahwa suatu skar dapat berawal sebagai skar hipertrofi, kemudian menjadi keloid
bila melewati batas luka.15
Beberapa modalitas telah dirancang untuk mengukur bekas luka dengan tujuan menentukan
respon terhadap pengobatan dan untuk mengevaluasi hasil. Penilaian jaringan parut bisa dilakukan
secara obyektif atau subyektif. Penilaian obyektif memberikan pengukuran kuantitas jaringan parut,
sedangkan penilaian subyektif tergantung pengamat. Penilaian kuantitatif jaringan parut
membutuhkan perangkat untuk mengukur fisik sedangkan penilaian subyektif dilakukan secara
kualitatif oleh pasien atau dokter. Penilaian semikuantitatif untuk menilai jaringan parut telah
dikembangkan dengan menggunakan skala untuk membuat penilaian subyektif menjadi lebih
obyektif.16 Vancouver scar score (VSS) pertama kali dijabarkan oleh Sulivan pada tahun 1990 dan
dimodifikasi oleh Baryza pada tahun 1995. Skala ini menilai 4 variabel yaitu vaskularisasi,
ketinggian/ketebalan, konsistensi dan pigmentasi16-18 dengan rincian sebgai berikut: konsistensi (0-5
poin), ketebalan (0-3 poin), vaskularisasi (0-3 poin), dan pigmentasi (0-3 poin).2
Penelitian ini dilakukan pada 17 luka operasi dengan jenis operasi yang dikategorikan operasi
dengan luka bersih. Insisi awal ½ dari panjang insisi luka dilakukan dengan pisau bedah dan sisanya
diperpanjang dengan pisau elektrokauter. Jaringan parut yang terbentuk dinilai dengan menggunakan
VSS saat 3 bulan setelah operasi.
Pada penelitian ini, hasil uji perbedaan kedua perlakuan dengan uji Wilcoxon signed ranks
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil VSS kelompok A dan B (P > 0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya baik yang berdasarkan jenis
operasi,19 kejadian infeksi,20 dan keamanannya.6 Hal ini sesuai dengan teori yang menerangkan
tentang cara kerja elektrokauter yaitu ujung elektrokauter menghasilkan panas yang menyebabkan
terjadi hemostasis dan perubahan dari protein yang menghasilkan koagulasi jaringan. Elektrokauter
menghasilkan panas sebagai hasil induksi dari sumber listriknya, yang dihantarkan melalui konduksi
dari instrumen langsung ke jaringan. Pengaturan amplitudo harus cukup tinggi untuk menghasilkan
koagulasi, namun tidak terlalu tinggi sehingga tidak menyebabkan cedera luka bakar pada jaringan di
luar lapang operasi.21 Prosedur bedah listrik menggunakan arus listrik bolak-balik yang akan
meningkatkan suhu intrasel dengan tujuan untuk menghasilkan evaporasi, dehidrasi jaringan, dan
koagulasi protein. Efek yang dihasilkan ini berfungsi untuk memotong jaringan, koagulasi jaringan,
menghentikan perdarahan (hemostasis), dan menghancurkan jaringan seperti jaringan tumor.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam
penyembuhan dari kedua bagian luka insisi yang menggunakan pisau bedah dan pisau elektrokauter
pada operasi dengan luka bersih. Dengan kata lain, insisi menggunakan pisau bedah dan pisau
elektrokauter menghasilkan bekas luka operasi yang sama kualitasnya dinilai dengan Vancouver
Scar Score.

DAFTAR PUSTAKA
1. Verhaegen PDHM, van der Wal MBA, Middelkoop E, van Zuijlen PPM. Objective scar assessment
tools: A clinimetric appraisal. Plast Reconstr Surg. 2011;127(4):1561-70.
2. Kaartinen I. Assessment of skin scars in clinical practice and scientific studies. Departement of
Plastic Surgery, Musculoskeletal Surgery and Rehabilitation. University of Tampere.
Finland: Coronet Books, 2011.
3. Vujevich JJ, Goldberg LH. Cryosurgery and electrosurgery. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ,
Wollf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (8th ed). New York: McGraw
Hill, 2012; p. 2972-6.
4. Soon SL, Washington CV. Electrosurgery, electrocoagulation, electrofulguration,
electrodessication, electrosection, electrocautery. In: Robinson JK, Hanke CW, Siegel DM, Fratila A,
editors. Surgery of the Skin: Procedural Dermatology (2nd ed). Philadelphia: Elsevier,
2010; p. 137-51.
5. Sbano E, Sbano P. Electrosurgery. In: Rusciani L, Robins P, editors. Textbook of Dermatologic Surgery.
Italy: Piccin Nuova Libraria, 2008; p. 505-17.
6. Shah KRP, Khanal GP, Chaudhary P, Rijal R, Maharjan R, Paneru Sr, Pokharel B. Safety and
efficacy of electrocautery in comparison to scalpel in forearm skin incision during fixation of fracture of
forearm bone with plate and screws. International Journal of Chemical and Biomedical Science.
2015;1(2):52-5.
7. Chrysos E, Athanasakis E, Antonakakis S, Xynos E, Zoras O. A prospective study comparing
diathermy and scalpel
incisions in tension-free inguinal hernioplasty. Am Surg. 2005;71(4):326-
9.
8. Byrne FJ, Kearns SR, Mulhall KJ, McCAbe JP, Kaar K, Gilmore M, et al.
Diathermy versus scalpel incisions for hemiarthroplasty for hip fracture: A randomized prospective
trial. Eur J Orthop Surg Traumatol. 2007;17(5): 445-8.
9. Shamim M. Diathermy vs. scalpel skin incisions in general surgery: doubleblind, randomized, clinical
trial. World J Surg. 2009;33(8):1594-9.
10. Chalya PL, Mchembe MD, Mabula JB, Gilyoma JM. Diathermy versus scalpel incision in elective
midline laparotomy: a prospective randomized controlled clinical study. East Cent Afr J Surg.
2013;18(1):71-3.
11. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic scarring and keloids:
Pathomechanisms and current and emerging treatment strategies. Mol Med. 2011;17(1-2):11325.
12. Sherratt JA, Maini PK. Mathematical modelling of scar tissue formation. Posstdoctoral research
assisstant. Engineering and Physical Sciences research Council. Jun 1996-May 1999. Edinburgh:
Departement of
Mathematics, Heriot-Watt University.
13. Kraft J, Lynde C. Giving burns the first, second and third degree-classification of burns. 2012. Available
from: www.skincareguide.ca
14. Burrows NP, Lovell CR. Keloid and hypertrophic scars. In: Burns T, Breathach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology (7th ed). USA: Blackwell Publishing, 2004;
p.54-6.
15. Edriss AS. Management of keloid and hypertrophic scars. Ann Burns Fire Disasters. 2005;18(4):1-14.
16. Fearmonti R, Bond J, Erdmann D, Levinson HA. Review of scar scales and scar measuring devices.
Eplasty. 2010;10:354-63.
17. Bayat A, McGrouther DA, Ferguson MW. Skin scarring. BMJ. 2003;326:88-92.
18. Brusselaers N, Pirayesh A, Hoeksema H, Verbelen J, Blot S, Monstrey S. Burn scar assessment: a
systematic review of
different scar scales. J Surgical Res. 2010;164:e115-e123.
19. Kearns SR, Connolly EJ, McNally S, McNamara Da, Deasy J. Randomized clinical trial of diathermy
versus scalpel incision in elective midline laparotomy. Br J Surg. 2001;88(1):41-4.
20. Groot G, Chappell EW. Electrocautery used to create incisions does not increase wound infection rates.
Am J Surg.
1994;167(6):601-3.

 Analisa PICO
P : Insisi kulit biasanya dilakukan dengan menggunakan pisau bedah. Peralatan elektrokauter merupakan
alternatif baru yang dianggap meningkatkan risiko infeksi, memperlambat penyembuhan, dengan hasil secara
kosmetik yang buruk.

I : Prosedur bedah listrik menggunakan arus listrik bolak-balik yang akan meningkatkan suhu
intrasel dengan tujuan untuk menghasilkan evaporasi, dehidrasi jaringan, dan koagulasi protein. Efek
yang dihasilkan ini berfungsi untuk memotong jaringan, koagulasi jaringan, menghentikan
perdarahan (hemostasis), dan menghancurkan jaringan seperti jaringan tumor

C : Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam
penyembuhan dari kedua bagian luka insisi yang menggunakan pisau bedah dan pisau elektrokauter
pada operasi dengan luka bersih. Dengan kata lain, insisi menggunakan pisau bedah dan pisau
elektrokauter menghasilkan bekas luka operasi yang sama kualitasnya dinilai dengan Vancouver
Scar Score.

O : Vancouver scar score (VSS) pertama kali dijabarkan oleh Sulivan pada tahun 1990 dan
dimodifikasi oleh Baryza pada tahun 1995. Skala ini menilai 4 variabel yaitu vaskularisasi,
ketinggian/ketebalan, konsistensi dan pigmentasi16-18 dengan rincian sebgai berikut: konsistensi (0-5
poin), ketebalan (0-3 poin), vaskularisasi (0-3 poin), dan pigmentasi (0-3 poin).2
Penelitian ini dilakukan pada 17 luka operasi dengan jenis operasi yang dikategorikan operasi
dengan luka bersih. Insisi awal ½ dari panjang insisi luka dilakukan dengan pisau bedah dan sisanya
diperpanjang dengan pisau elektrokauter. Jaringan parut yang terbentuk dinilai dengan menggunakan
VSS saat 3 bulan setelah operasi.
Pada penelitian ini, hasil uji perbedaan kedua perlakuan dengan uji Wilcoxon signed ranks
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil VSS kelompok A dan B (P > 0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya baik yang berdasarkan jenis
operasi,19 kejadian infeksi,20 dan keamanannya.
PENGARUH PROSEDUR OPERASI TERHADAP KEJADIAN
INFEKSI PADA PASIEN OPERASI BERSIH TERKONTAMINASI
(Studi Case Control di RSU Haji Surabaya)

The Effect of Operating Procedure with Infection Incidence on Contaminated Cleaning Operating Patients
(Case Control Study in RSU HAJI Surabaya)

Eva Agustina1, Fariani Syahrul2


1
FKM UNAIR, agustinae943@gmail.com
2
Departemen Epidemiologi FKM UNAIR, fariani_syahrul@yahoo.com
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif. Survei WHO tahun 2014 menunjukkan kejadian infeksi daerah operasi (IDO) meningkat 1,2
kasus per 100 prosedur bedah menjadi 23,6 kasus per 100 prosedur bedah. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh prosedur operasi terhadap risiko terjadinya IDO pada pasien operasi bersih
terkontaminasi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian case control. Besar sampel kelompok kasus
sebanyak 20 pasien dan kelompok kontrol sebanyak 20 pasien. Pengambilan sampel dilakukan melalui teknik
simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam
medik pasien. Hubungan antara variabel dihitung melalui uji chi-square menggunakan aplikasi komputer.
Hasil analisis statistik didapatkan faktor yang mempengaruhi risiko terjadinya IDO pada pasien operasi bersih
terkontaminasi di RSU Haji Surabaya diantaranya mandi preoperasi (OR = 7,42) dan cukur preoperasi (OR =
6,00). Faktor yang tidak berpengaruh terhadap terjadinya IDO antara lain faktor usia (OR = 1,00), sifat operasi
(OR = 1,00), suhu tubuh (OR = 1,28), status gizi (OR = 2,78), dan ASA score (OR= 2,26). Kesimpulan
penelitian yaitu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian IDO pada pasien operasi bersih terkontaminasi di
RSU Haji Surabaya diantaranya mandi preoperasi dan cukur preoperasi. Saran penelitian, melakukan
sosialisasi dan supervisi terhadap implementasi standart operating procedures dan penggunaan bundle
prevention IDO sebagai upaya meminimalisir kejadian IDO.

Kata Kunci: Infeksi Daerah Operasi (IDO), operasi bersih kontaminasi, prosedur

ABSTRACT
The hospital is one of the health facilities that provide promotive, preventive, curative, and rehabilitative
services. WHO surveys in 2014 showed the incidence of surgical site infection (SSI) increased from 1.2 cases
of 100 surgical become to 23.6 cases of 100 surgical procedures. This study aims to analyze the effect of
operating procedure on the risk of SSI occurrence in contaminated cleaning operating patients. This research
uses case control design. The sample size was 20 patients and the control group were 20 patients. Sampling is
done through simple random sampling technique. Data collection is done by using secondary data that is
patient medical record. The relationship between variables is calculated through chi-square test using
computer applications. The result of statistic analysis showed the factors that influence the risk of IDO
occurrence in the contaminated net operating patients in RSU Haji Surabaya such as preoperative bath (OR
= 7,42) and shaving preoperative (OR = 6,00). Factors that have no effect on the occurrence of IDO include
age factor (OR = 1.00), the nature of surgery (OR = 1.00), body temperature (OR = 1.28), nutritional status
(OR = 2.78), and ASA score (OR = 2.26). The conclusion of the research is the risk factors that influence the
incidence of IDO in the contaminated net operating patients at RSU Haji Surabaya ie preoperative bath and
shaving preoperative. Research suggestions, socialization and supervision on the implementation of standard
operating procedures and the use of IDO bundle prevention as an effort to minimize IDO incidents.

Keywords: Surgical Site Infection (SSI) , contaminated cleaning operating, procedures


©2017 FKM_UNAIR All right reserved. Open access under CC BY – SA license doi: 10.20473/jbe.v5i3.2017. 351-360
Received 11 August 2017, received in revised form 13 October 2017, Accepted 13 October 2017, Published online: 24 December 2017
PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan yang diadakan rumah sakit
antara lain rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU No 44 Tahun 2009). Namun, pada sisi
negatifnya, rumah sakit juga menjadi salah satu tempat yang berisiko menjadi sumber penyebaran
penyakit. Rumah sakit menjadi tempat penyebaran penyakit infeksi karena terdapat populasi
mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang masih resisten terhadap antibiotik dan dapat
ditularkan oleh pemberi pelayanan kesehatan (Potter dan Perry, 2005). Pihak rumah sakit memiliki peran
penting dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit infeksi untuk meminimalisir penyebaran
penyakit.
Upaya penekanan angka kasus Health Care Assosiated Infections (HAIs) merupakan salah satu tolok
ukur akreditasi rumah sakit di Indonesia yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam aspek
pengendalian infeksi dirumah sakit (Depkes, 2009). Health Care Assosiated Infections (HAIs) disebut
juga infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh pasien saat berada di rumah sakit. HAIs memiliki
ciri-ciri sebagai berikut kondisi pasien pada saat mulai dirawat di rumah sakit tidak ditemukan tanda-
tanda klinis terjadinya infeksi, dan ketika mendapat perawatan di rumah sakit, tidak sedang dalam masa
inkubasi dari infeksi (Kozier dan Berman, 2010). HAIs merupakan infeksi yang didapat pasien selama
menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah ≥ 48 jam dan setelah ≤
30 hari setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan (CDC, 2011). HAIs dapat memberikan dampak
negatif bagi pasien baik secara fisik maupun ekonomi, karena infeksi tersebut maka pasien harus
menambah waktu perawatan di rumah sakit (Wulandari, 2008). Kejadian infeksi pada kategori berat tidak
jarang mengakibatkan kematian.
Rantai penularan penyakit merupakan interaksi antara manusia (host), penyebab (agent) dan
environment (lingkungan) (Bustan, 2007). Faktor host meliputi daya tahan tubuh, sedangkan faktor agent
salah satunya adalah bakteri penyebab infeksi, dan faktor enviroment meliputi kebersihan lingkungan
rumah sakit, kebersihan petugas yang memberikan perawatan, dan penularan dari pasien lain.
Infeksi merupakan kondisi saat mikroorganisme masuk dan berkembang dalam tubuh pejamu,
sehingga dapat menyebabkan sakit yang disertai gejala klinis lokal atau sistemik (Tietjen, 2004). Luka di
tubuh memberikan peluang sebagai tempat masuknya bakteri, dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi
(Potter dan Perry, 2005).
Salah satu infeksi yang termasuk dalam kelompok HAIs adalah Infeksi Daerah Operasi (IDO). IDO
juga sering disebut Surgical Site Infection (SSI). Tingkat kematian yang berhubungan langsung akibat SSI
berkisar antara 3% sampai 75% di rumah sakit seluruh dunia (CDC, 2015). Kejadian SSI di rumah sakit
seluruh dunia mengalami peningkatan dari 1,2 kasus per 100 prosedur bedah menjadi 23,6 kasus per 100
prosedur bedah (WHO, 2010). Infeksi Daerah Operasi (IDO) terjadi dalam rentang waktu <30 hari pasca
operasi dan jika terjadi implantasi maka pemantauan dilakukan dalam kurun waktu 1 tahun (CDC, 2017).
Kejadian HAIs di negara berkembang cukup tinggi, hal tersebut terjadi karena kurang adanya
pengawasan, tindakan pencegahan yang kurang tepat, peralatan rumah sakit terbatas sehingga perawatan
kurang maksimal dan tingginya jumlah pasien di rumah sakit (Kasmad, 2007). Besaran angka kejadian
IDO perlu dilakukan pemantauan, apabila terus mengalami peningkatan, hal ini akan menjadi beban
rumah sakit dan pasien.
Faktor risiko terjadinya IDO antara lain kondisi pasien, prosedur operasi, jenis operasi, dan perawatan
pasca infeksi (Kemenkes RI, 2011). Klasifikasi jenis operasi dibagi menjadi 4 yaitu operasi bersih, operasi
bersih terkontaminasi, operasi kotor dan operasi kotor terkontaminasi (Anaya dan Dellinger, 2008).
Operasi bersih yaitu luka operasi yang tidak terinfeksi dan tidak ada inflamasi yang ditemukan serta luka
tidak menembus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urogenitalis. Luka ditutup dan
dikeringkan dengan drainage tertutup. Operasi bersih terkontaminasi adalah luka operasi yang menembus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urogenitalis namun masih dalam kondisi yang
terkendali dan tanpa kontaminasi yang bermakna. Operasi kotor yaitu luka akibat kecelakaan dan luka
terbuka. Kondisi pada operasi ini dengan daerah kerusakan yang luas menggunakan teknik steril atau
tumpahnya cairan yang terlihat jelas dari traktus gastrointestinalis dan insisional yang akut. Operasi kotor
terkontaminasi yaitu terdapat luka trauma yang sudah lama dengan mempertahankan jaringan yang
dilemahkan dan terdapat infeksi klinikal atau perforasi visceral (CDC, 2017).
Laporan Departemen Kesehatan RI 2006 menunjukkan rumah sakit milik pemerintah di Indonesia
terdapat kejadian HAIs sebanyak 23.223 kasus dari 2.434.265 jumlah pasien yang berisiko. Kejadian
HAIs pada pasien berisiko di rumah sakit milik pemerintah sebesar 0,95%. Kejadian HAIs pada rumah
sakit khusus, sebanyak 297 pasien dari 38.408 jumlah pasien yang berisiko. Kejadian HAIs pada pasien
berisiko di rumah sakit khusus sebesar 0,77% (Mahyuni, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa rumah sakit
milik pemerintah memiliki angka kejadian HAIs lebih besar daripada rumah sakit khusus.
Rumah Sakit Umum (RSU) Haji Surabaya merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah
Provinsi Jawa Timur yang pada saat ini telah berstatuskan sebagai Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) selain itu juga banyak menerima pasien yang akan melakukan pembedahan setiap harinya, salah
satunya yaitu jenis operasi bersih terkontaminasi.

Tabel 1. Kejadian HAIs Berdasarkan Jenis Infeksi di RSU Haji Surabaya Tahun 2012-2016
Jenis Tahun
Infeksi 2012 2013 2014 2015 2016
0 0 2,23 1,42 0 Blood
Stream
Infection
(BSI)
Catheter 0,09 0,6 0,7 0,37 0,1
Associated 3
Urinary
Tract
Infection
(CAUTI)
Ventilator 0,23 0,92 0,49 0,45 0,8
Assosiated 8
Pneumonia
(VAP )
HAP 0,01 0 0,02 0,01 0
(Hospital
Associated
Pneumonia)
Surgical 0,59 0,57 0,33 0,51 0,7
Site 4
Infection
(SSI)

Kejadian HAIs pada tahun 2015 hingga 2016 sebesar 0,22 % atau 64 kasus dari 28.727 pasien yang
mendapatkan perawatan di RSU Haji Surabaya. RSU Haji Surabaya sudah memiliki Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) yang aktif. Program tim PPI dalam mencegah kejadian infeksi terus
dicanangkan hingga kejadian HAIs menjadi nol. Kejadian IDO pada tahun 2016 menempati urutan kedua
kategori HAIs di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. Komite PPI perlu mengetahui penyebab
peningkatan kejadian IDO tersebut agar dapat dilakukan pencegahan dengan tepat.
Kejadian HAIs di RSU Haji Surabaya berdasarkan jenis infeksi pada tahun 2012-2016 memiliki nilai
fluktuatif sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Kejadian SSI pada tahun 2016 menempati posisi ke
dua setelah VAP.
Kejadian IDO tertinggi berdasarkan jenis operasi di ruang IBS RSU Haji Surabaya pada tahun 2016
yaitu operasi kotor sebesar 6,66%, operasi bersih terkontaminasi sebesar 1,61%, dan operasi bersih
sebesar 0,10%. Angka kejadian IDO sesuai standar mutu yang ditetapkan yaitu operasi bersih < 2%,
bersih tercemar 4-10%, dan kotor sebesar < 40% (Komite PPI, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor risiko prosedur operasi terhadap terjadinya
IDO pada pasien dengan jenis operasi bersih terkontaminasi.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain penelitian case control. Pengambilan data sekunder dari rekam
medik pasien dengan jenis operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya pada bulan Januari 2016
sampai Maret 2017.
Populasi pada penelitian ini adalah populasi kasus yang meliputi seluruh pasien terdiagnosis IDO yang
menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai bulan Maret 2017 dan populasi kontrol yaitu seluruh
pasien terdiagnosis tanpa IDO yang menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017.
Besar sampel pada penelitian ini yaitu 20 kasus yang meliputi pasien terdiagnosis IDO yang menjalani
operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017 dan besar sampel kontrol yaitu 20 pasien tidak
terdiagnosis IDO yang menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017 yang
menjalani operasi dengan jenis operasi bersih terkontaminasi, pasien usia >20 tahun. Kriteria ekslusi pada
penelitian ini adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Perbandingan pengambilan besar sampel yaitu 1:1. Besar sampel kasus dan sampel kontrol
menggunakan rumus desain case control study tidak berpasangan. Berdasarkan perhitungan besar sampel,
didapatkan 20 pasien kelompok kasus dan 20 untuk kelompok kontrol, sehingga total besar sampel pada
penelitian ini adalah 40 pasien.
Pengambilan pada sampel kasus dan sampel kontrol menggunakan teknik simple random sampling.
Pengambilan data dilakukan di RSU Haji Surabaya bagian komite rekam medik dan komite PPI. Waktu
penelitian pada bulan Juni sampai Juli 2017.
Jenis data yang akan dianalisis adalah data sekunder. Variabel pada data sekunder meliputi kondisi
pasien meliputi usia, ASA score, suhu tubuh dan BMI, sedangkan variabel dari prosedur operasi meliputi
sifat operasi, mandi preoperasi, dan cukur rambut preoperasi.
Analisis data dilakukan dengan Perhitungan besar risiko melalui nilai Odds Ratio (OR) pada 95%
Confidence Interval (CI) menggunakan aplikasi komputer.
Penelitian ini telah dinyatakan lolos kaji etik oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga dengan nomor : 350-KEPK.

HASIL

Hasil penelitian berdasarkan pengelompokkan usia pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus, pasien dengan usia 20-45 tahun sebanyak 15 pasien (75%), sedangkan pasien dengan usia ≥46
tahun sebanyak 5 pasien (25%). Pada kelompok kontrol, pasien dengan usia 20-45 tahun sebanyak 15
pasien (75%), sedangkan pasien dengan usia ≥46 tahun sebanyak 5 pasien (25%). Hasil analisis statistik
diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar 1,00 dan nilai 95% CI melewati 1 (95% CI = 0,23 < OR < 4,18).
Nilai OR tersebut tidak bermakna dikarenakan nilai 95% CI melewati 1. Hal ini berarti bahwa usia
merupakan bukan faktor risiko terhadap kejadian IDO pada pasien RSU Haji Surabaya pada bulan
Januari 2016 sampai Maret 2017.
Hasil penelitian berdasarkan pengelompokkan ASA score pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada
kelompok kasus, pasien dengan ASA score II sebanyak 11 pasien (55%), sedangkan dengan ASA score I
sebanyak 9 pasien (45%). Pada kelompok kontrol, pasien pada ASA score I sebanyak 13 pasien (65%),
sedangkan pasien dengan ASA score II sebanyak 7 pasien (35%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai
Odds Ratio (OR) sebesar 2,26 (95% CI = 0,63 < OR < 8,10). Nilai OR tersebut tidak bermakna
dikarenakan nilai 95% CI melewati 1. Hal ini berarti bahwa ASA score merupakan bukan faktor risiko
IDO pada pasien RSU Haji Surabaya pada bulan Januari 2016 - Maret 2017.
Hasil penelitian berdasarkan suhu preoperasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus,
pasien dengan suhu tubuh preoperasi >38 oC sebanyak 3 pasien (15%), sedangkan pasien dengan suhu
tubuh preoperasi ≤38oC sebanyak 17 pasien (85%). Pada kelompok control, pasien dengan suhu tubuh
preoperasi >38oC sebanyak 2 pasien (10%), sedangkan pasien dengan suhu tubuh preoperasi ≤38 oC
sebanyak 18 pasien (90%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai Odds Ratio(OR) sebesar 1,28 (95% CI
=0,2<OR<10,70). Nilai OR tersebut tidak bermakna dikarenakan nilai 95% CI melewati 1. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa suhu tubuh preoperasi merupakan bukan faktor risiko IDO pada pasien RSU Haji
Surabaya pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017.
Hasil penelitian berdasarkan status gizi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus,
pasien yang mengalami malnutrisi sebanyak 13 pasien (65%), sedangkan pasien dengan status gizi normal
sebanyak 7 pasien (35%). Pada kelompok kontrol, pasien dengan status gizi malnutrisi sebanyak 8 pasien
(40%) sedangkan pasien dengan status gizi normal sebanyak 12 pasien (60%). Nilai Odds Ratio (OR)
status gizi sebesar 2,78 (95% CI = 0,77<OR<10,04). Nilai OR tersebut tidak bermakna dikarenakan nilai
95% CI melewati 1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa status gizi bukan merupakan faktor risiko IDO
pada pasien RSU Haji Surabaya pada Januari 2016 - Maret 2017.
Sifat operasi merupakan salah satu faktor risiko kejadian IDO dari prosedur operasi (Kemenkes RI,
2011). Sifat operasi berhubungan dengan kesiapan rumah sakit dalam tindakan operasi dan pencegahan
infeksi preoperasi. Hasil penelitian pada Tabel 2 diperoleh hasil pada kelompok kasus sebanyak 5 pasien
(75%) menjalani operasi cito, sedangkan pasien dengan operasi elektif sebanyak 25 pasien (75%). Pada
kelompok kontrol pasien dengan operasi cito sebanyak 5 pasien (25%) dan operasi elektif sebanyak 15
pasien (75%). Hasil analisis statistik faktor risiko sifat operasi diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar
1,00 (95% CI = 0,23<OR<4,18). Nilai OR tersebut tidak bermakna dikarenakan nilai 95% CI melewati 1.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa sifat operasi bukan merupakan faktor risiko IDO pada pasien RSU
Haji Surabaya pada Januari 2016 - Maret 2017.
Tabel 2. Pengaruh Prosedur Operasi Terhadap Risiko Terjadinya Infeksi Daerah Operasi pada Pasien
Operasi Bersih Terkontaminasi di RSU Haji Surabaya pada Januari 2016 – Maret 2017
Infeksi Daerah Operasi
OR
Variabel Kasus Kontrol (95% CI )

Total
%n % n %
7
Usi
20-45 tahun 15 (0,23<OR<4,
a
18)
6
1 5
3
ASA
1 2
Score
2 0 2
0 0 4 55 (0,63<OR<
0 100 8,10)
>38oC 31 1,58
Su ≤38oC 5
hu (0,23<OR<
18
Tub 10,70)
5
uh
S
t
a
t
u
s
G
i
z 6
i 0

1
2 1
0
2 0 19 0,77<OR<
0 40 47,5 100 10,04

Sifa
t
Oper 0,23<OR<4,1
asi 8
8
1 0
Man
6
di
1
preope
2 0
rasi
0 0 23 1,77<OR<
40 57,5 100 31,04
Cuk
ur
preope 1,08<OR<
rasi 33,27

Mandi preoperasi merupakan salah satu faktor risiko kejadian IDO (Gruendemann, dan Mangnum,
2001). Mandi dapat menghilangkan bakteri di kulit sehingga agen penyebab IDO dapat diminimalisir dari
kulit pejamu.
Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah pasien kelompok kasus yang tidak
melakukan mandi preoperasi sebanyak 13 pasien (65%) dan yang mandi sebanyak 7 pasien (25%). Pada
kelompok kontrol, pasien yang tidak mandi sebanyak 4 pasien (20%) dan yang melakukan mandi
preoperasi sebanyak 16 pasien (80%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar 7,42
(95% CI = 1,77<OR< 31,04). Nilai OR tersebut bermakna dikarenakan nilai 95% CI tidak melewati angka
1. Hal ini berarti bahwa tidak mandi preoperasi memiliki risiko 7,42 kali lebih besar mengalami IDO
dibandingkan dengan pasien yang melakukan mandi preoperasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
mandi preoperasi
merupakan faktor risiko terjadinya IDO pada pasien RSU Haji Surabaya pada Januari 2016 - Maret 2017.
Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, yang melakukan pencukuran
sebanyak 8 pasien (40%), dan yang tidak melakukan pencukuran sebanyak 12 pasien (80%). Sedangkan
kelompok kontrol, yang melakukan pencukuran sebanyak 2 pasien (10%) dan yang tidak melakukan
pencukuran sebanyak 18 pasien (90%). Hasil analisis statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar
6,00 (95% CI = 1,08<OR<33,27). Nilai OR tersebut bermakna dikarenakan nilai 95% CI tidak melewati
angka 1. Hal ini berarti bahwa tidak cukur preoperasi memiliki risiko 6,00 kali lebih besar mengalami
IDO dibandingkan dengan pasien yang melakukan cukur preoperasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
cukur preoperasi merupakan faktor risiko IDO pada pasien RSU Haji Surabaya pada Januari 2016 - Maret
2017.

Status gizi dapat diketahui melalui perhitungan BMI. Body Mass Index (BMI) adalah indeks sederhana
yang menghitung berat badan dibandingkan dengan tinggi badan. Perhitungan BMI dapat diketahui
melalui rumus sebagai berikut: berat badan (kg) / [tinggi badan (m) x tinggi badan (m)]. BMI dapat
dikategorikan sebagai berikut: berat badan kurang, kelebihan berat badan dan obesitas.
Body Mass Index merupakan salah satu cara untuk mengukur kenormalan proporsi tubuh seseorang
berdasarkan berat dan tinggi badan, sehingga BMI dapat menggambarkan status gizi seseorang. Pada
penelitian ini, status gizi pasien dikategorikan menjadi malnutrisi dan normal, untuk menghitung besar
risiko status gizi terhadap kejadian IDO. Status gizi yang tergolong malnutrisi adalah status BMI dalam
kategori underweight, pre-obesitas, obesitas kelas I, obesitas kelas II, dan obesitas kelas III.
Status gizi dikategorikan menjadi malnutrisi dan normal. Distribusi kejadian infeksi daerah operasi
berdasarkan Body Mass Index pasien operasi pada Januari 2016 hingga Maret 2017 di RSU Haji
Surabaya sebagai berikut:

Tabel 3. Distribusi IDO Berdasarkan BMI Pasien Operasi di RSU Haji Surabaya pada Januari 2016-
Maret 2017

Pasien yang menjalani mandi preoperasi dapat di kelompokkan berdasarkan jenis sabun mandi yang
digunakan. Distribusi penggunaan jenis sabun mandi di RSU Haji Surabaya sebagai berikut:

Tabel 4. Distribusi Penggunaan Jenis Sabun Mandi Pada Pasien Operasi pada Januari 2016 hingga Maret
2017 di RSU Haji Surabaya

Kejadian Infeksi Daerah


Jenis Sabun Operasi
Kasus Kontrol Mandi

Chlorhexidine 71,42% 14 87,5


%
Sabun 28,57% 2 12,5
%
Total 100% 16 100
%

Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pasien yang mandi menggunakan
Chlorhexidine pada kelompok kasus sebanyak 5 pasien (71,42%) sedangkan yang menggunakan sabun
sebanyak 2 pasien (28,57%). Pada kelompok kontrol pasien yang menggunakan Chlorhexidine sebanyak
14 pasien (87,5%) sedangkan yang menggunakan sabun sebanyak 2 pasien (12,5%). Hal ini berarti bahwa
sebanyak 12,5 penggunaan sabun per 100 pasien tidak terdiagnosis IDO.
Tingkat infeksi terendah ditemukan pada pasien yang rambutnya dibiarkan utuh. Hal ini berdasarkan
panduan yang tepat dapat membantu meminimalkan risiko terjadinya SSI
(Gruendemann dan Mangnum, 2001).
Berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellent tahun 2008, pencukuran dengan
clipper dapat mengurangi perlukaan pada area kulit. Pasien yang melakukan pencukuran preoperasi dapat
di kelompokan berdasarkan alat cukur yang digunakan. Distribusi alat cukur yang digunakan oleh pasien
RSU Haji Surabaya sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi penggunaan alat cukur Pada Pasien Operasi pada Januari 2016 hingga Maret 2017 di
RSU Haji Surabaya

Kejadian Infeksi Daerah Operasi


Jenis Cukur Kasus Kontrol
n % n %
Silet 5 62,5 1 50
Clipper 3 1 50
Total 8 100 2 100

Distribusi penggunaan alat cukur yang dilakukan di RSU Haji Surabaya berdasarkan Tabel 5
menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, penggunaan silet dilakukan pada 5 pasien (62,5%) dan
penggunaan clipper pada 3 pasien (37,5%). Pasien pada kelompok kontrol yang menggunakan alat cukur
silet sebanyak 1 pasien (50%) dan yang menggunakan clipper sebanyak 1 pasien (50%). Hal ini berarti
bahwa 50 pencukuran dengan clipper per 100 pasien tidak terdiagnosis IDO.

PEMBAHASAN

Penyebab IDO memang sulit untuk ditentukan, namun ada beberapa penyebab yang sering dikaitkan
dengan flora mikroba, petugas bedah, teknik pembedahan, lingkungan, dan faktor pasien sebagai pejamu
(Gruendemann dan Mangnum,
2005).
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara faktor usia dengan kejadian
IDO. Peningkatan risiko IDO biasanya terjadi pada usia ekstrim yaitu sangat tua atau sangat muda
(Faridah dkk, 2012).
Peningkatan usia mempengaruhi perubahan struktural dan fungsional tubuh yang menyebabkan kulit
serta jaringan subkutis lebih rentan terhadap infeksi (Sandy, 2015). Hubungan antara peningkatan usia
dengan peningkatan kejadian IDO masih banyak misalnya meningkatnya jumlah penyakit mulai muncul
seiring peningkatan usia, penurunan ketahanan imunologis tubuh, malnutrisi, hipoalbumin, dan intake
yang kurang seimbang (Kaye dkk, 2004). Menurut teori imunologi, pada usia dewasa akhir (36-45 tahun)
sistem imun tubuh mulai menjurus kepada penuaan, sehingga menyebabkan atrofi timus. Sistem imun
akan mengalami penurunan kemudian menyebabkan jaringan timus seluruhnya digantikan oleh jaringan
lemak, hal tersebut menyebabkan peningkatan usia berisiko menyebabkan IDO (Rosaliya dan Suryani,
2010).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan
menggunakan jenis penelitian cross sectional, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor
usia dengan kejadian IDO (Faridah dkk, 2012). Hal ini berbeda dengan penelitian di RSUD Kanjuruhan
Kepanjen Kabupaten Malang, diperoleh signifikasi diantara faktor risiko usia dengan kejadian IDO
(Sandy, 2013).
Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel ASA score menunjukkan bahwa ASA score
merupakan bukan faktor risiko IDO. ASA score digunakan untuk menetapkan kondisi fisik pasien
sebelum dilakukan operasi. ASA score merupakan tools untuk mendefinisikan pasien memiliki kelainan
sistemik atau tidak. Pasien yang memiliki kelainan sistemik berpengaruh terhadap prosedur operasi yang
akan dilakukan (Jarvis, 2007). Pada penelitian ini ASA score merupakan bukan faktor risiko IDO. Hasil
ini berbeda dengan penelitian di RSMH Palembang yang diperoleh hasil (p = 0,004; OR= 2,4). Hal ini
berarti bahwa ASA score merupakan faktor risiko IDO (Yuwono, 2013).
Suhu sangat berpengaruh terhadap terjadinya IDO, hipotermia dapat merusak fungsi imun (oxidative
killing by neutrophils) sehingga terjadi vasokonstriksi kulit dan mengurangi aliran darah ke tempat
operasi. Hal ini meningkatkan risiko SSI (Yuwono, 2013). Berdasarkan hasil analisis statistik pada
variabel suhu tubuh menunjukkan bahwa suhu tubuh preoperasi merupakan bukan faktor risiko IDO.
Penelitian di RSMH Palembang membuktikan bahwa suhu tubuh preoperasi yang termasuk kategori tidak
normal (demam) terjadi pada 26 pasien dan 77, 8% nya mengalami SSI. Kemungkinan pasien dengan
suhu yang tidak normal untuk mengalami SSI 3,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan
suhu normal (p= 0,008) (Yuwono, 2013).
Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel status gizi menunjukkan bahwa status gizi merupakan
bukan faktor risiko terjadinya IDO. Pasien dengan operasi usus, jika memiliki penyakit penyerta seperti
TBC, diabetes mellitus, anemia, malnutrisi dan sebagainya, maka dapat menurunkan daya tahan tubuh
sehingga mengganggu proses penyembuhan luka operasi (Potter dan Perry, 2005). Pada penelitian lain
kejadian IDO ditemukan pada pasien dengan status gizi tidak normal, tetapi tidak ada hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan kejadian IDO (Rivai, 2013). Sedangkan pada penelitian terdahulu
menemukan ibu dengan obesitas berisiko dua kali lebih besar terjadi IDO dibandingkan dengan ibu
dengan berat badan normal (Johnson, 2006).
Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel sifat operasi menunjukkan sifat operasi tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian IDO. Operasi elektif merupakan operasi yang terencana dilakukan untuk
mempersiapkan pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan, hal ini dilakukan bertujuan untuk
menjamin keselamatan pasien intraoperatif (Fajriani, 2016). Sifat operasi cito biasanya kurang memenuhi
standar persiapan preoperatif yang secara umum dilakukan dalam pembedahan elektif, seperti konfirmasi
tandatanda vital, persiapan antiseptik pada kulit yang memadai. Persiapan preoperatif yang kurang
memadai pada operasi cito tersebut meningkatkan risiko terjadinnya IDO (Cheng dkk, 2015). Hasil
penelitian ini tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara pelaksanaan operasi cito dengan kejadian
IDO. Hasil tersebut juga terjadi pada penelitian sebelumnya yaitu, sifat operasi cito (emergensi) tidak
berhubungan signifikan dengan kejadian IDO pada pasien pascabedah sesar (Jenks dkk, 2014). Hal yang
berbeda dengan penelitian Imam (2016), bahwa kejadian IDO memiliki hubungan signifikan dengan sifat
operasi, diperoleh kejadian IDO lebih tinggi pada operasi cito yaitu sebanyak (70%) dibandingkan dengan
operasi elektif (30%). Hasil yang tidak signifikan disebabkan karena persiapan operasi cito dan elektif
direncanakan dengan baik sehingga komplikasi infeksi dapat diminimalisasi.
Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel mandi preoperasi menunjukkan bahwa pasien yang
tidak mandi preoperasi memiliki risiko 7,42 kali lebih besar terdiagnosis IDO dibandingkan dengan
pasien yang melakukan mandi preoperasi. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian di RSUD Prof DR
W.Z Johannes Kupang, terdapat hubungan antara indikasi, pemrakarsa dan prosedur seksio sesarea
dengan terjadinya IDO, tidak mandi sebelum operasi memiliki hubungan signifikan dengan kejadian IDO
(OR= 5,9; 95% CI 1,2-28,5) (Utami, 2009). Penelitian lain di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh diperoleh hasil bahwa pada pasien operasi elektif orthopedic memiliki perbedaan yang
bermakna pada angka kejadian IDO antara kelompok perlakuan (mandi dengan chlorhexidine) dengan
kelompok kontrol (tidak mandi) pada hari ke- 3,7 dan 14 pasca operasi (Ginting, 2014).
Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel cukur preoperasi menunjukkan bahwa cukur
preoperasi berisiko terhadap terjadinya IDO. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya,
penelitian yang dilakukan oleh Alexander, dkk meneliti tentang angka infeksi setelah 30 hari pascaoperasi
didapatkan angka infeksi pencukuran dengan pisau cukur malam hari 8,8% dengan gunting 10%,
pencukuran pisau cukur di pagi hari 7,5% dengan gunting 3,2%. Berdasarkan penelitian tersebut
disimpulkan bahwa pencukuran preoperasi sangat merugikan, sehingga harus ditinggalkan (Alexander,
1983).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini tentang pencukuran preoperatif berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menyimpulkan dalam penelitian tersebut tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
pencukuran dengan kejadian IDO, meskipun pada percobaan ke- 3 sempat dari 1343 responden untuk
dibandingkan pencukuran dengan gunting dengan kejadian SSI bermakna (Tanner, 2011). Pada penelitian
sebelumnya yang membandingkan dua hal berkaitan dengan pencukuran yaitu risiko pencukuran dengan
kejadian IDO dan risiko tanpa pencukuran rambut dengan kejadian IDO. Berdasarkan hasil perhitungan
statistik dalam penelitian tersebut, kedua perbandingan memiliki nilai yang tidak signifikan, sehingga
keduanya tidak memiliki tingkat risiko yang sama terhadap kejadian IDO (Lefebvre, 2015).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Faktor risiko pada tindakan prosedur operasi yang memiliki pengaruh terhadap terjadinya IDO adalah
mandi preoperasi dan cukur preoperasi pada pasien pasca operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji
Surabaya pada bulan Januari 2016 hingga Maret 2017.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara usia dengan terjadinya IDO pada pasien pasca operasi
bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara ASA score dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara suhu tubuh dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara sifat operasi dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.

Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang digunakan sebagai acuan dalam
mengoptimalkan upaya pencegahan terhadap terjadinya IDO. Tindakan preventif sangat penting
dilakukan diantaranya menggunakan chlorhexidine untuk mandi preoperasi dan melakukan pencukuran
dengan menggunakan clipper.
Upaya sosialisasi dan supervise terhadap implementasi standart operating procedures pelaksanaan
operasi jenis bersih terkontaminasi perlu dilakukan serta peningkatan implementasi SOP dalam
penggunaan bundle prevention IDO sebagai upaya memberikan pelayanan operasi yang aman kepada
pasien, dan juga dapat mengontrol tindakan serta kondisi pasien secara berkala hingga pasca operasi.
Bundle prevention IDO selain sebagai perjalan medik juga berfungsi sebagai pemantau pada pasien
dengan risiko. Oleh karena itu, pihak rumah sakit harus meningkatkan kepatuhan dalam kelengkapan
pengisian bundle prevention IDO. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui faktor risiko
lain seperti penyakit penyerta, pemberian antibiotik, dan perawatan luka pasien pasca bedah.

REFERENSI

Agustina, E. 2017. Pengaruh Faktor Prosedur Operasi terhadap Risiko terjadinya Infeksi Daerah
OperasiPada Januari 2016 – Maret 2017 (Studi Di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya). Skripsi.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Alexander, JW., Fischer, JE., Boyajian, M., Palmquist, J., Morris, MJ. 1983. The influence of hair-
removal methods on wound infections. Arch Surg 118:347-52.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 6824435 [Sitasi 27 Juli 2017].
Anaya, D.A., Dellinger, P.E. 2008. Surgical complications. dalam: Townsend, C.M., Beauchamp, R.D.,
Evers, B.M., Mattox, K.L. Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical
Practice. 18th ed. Philadelphia: Saunders.
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Central for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. [pdf] London : Central for Disease Control and
Prevention. 9 Surgical Site Infection (SSI) Event. https://www.cdc.gov/nhsn/pdfs/pscmanual/9
pscssicurrent.pdf [Sitasi 26 Januari 2017].
Cheng, K., Li Jiawei., Kang, Q., Wang, C., Ye, Nanyuan. 2015. Risk factor for surgical site infection in a
teaching hospital : A prospective study at 1.138 patient. Patient Preference & adherence. (9):
pp.1171-77. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmc/articles/PMC4542557/ [Sitasi 20 Juli 2017].
Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depertemen Republik Indonesia.
Fajriani A. M., Sri., Haris, F. 2016. Infeksi Luka Post Operasi Pada Pasien Post Operasi Di Bangsal
Bedah RS PKU Muhammadiyah Bantul Naskah Publikasi.Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah.
Faridah, I. N., Andayani , T. M., Inayati. 2012. Pengaruh Usia Dan Penyakit Penyerta Terhadap Resiko
Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Bedah Gastrointestinal. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, [e-journal] 2
(2), pp 187-194. http://journal.uad.ac.id/ index.php/PHARMACIANA/article/view/6 68/507 [Sitasi
10 Februari 2017].
Ginting, F. D. Z. 2014. Efektifitas Mandi Chlorhexidine Terhadap Penurunan Infeksi Luka Operasi Pada
Pasien Operasi Elektif Di Bangsal Bedah Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Skripsi.
Universitas Syiah Kuala.
http://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=4 635&page=1 [Sitasi 26 Juli 2017].
Gruendemann., Mangnum. 2001. Infection Prevention in Surgical Settings. [e-book]
Philadelphia: Saunders.
https://books.google.co.id/books?id=gQHtD WH1UpgC&printsec=frontcover#v=onepag
e&q&f=false [Sitasi 15 Agustus 2017].
Imam, M M., Yulis, MH., Prima, R. R. 2016. The Overview Of Surgical Site Infection Of Pasca
Caesarean Section At Arifin Achmad
General Hospital Of Riau Province 1 January – 31 December 2014 Period. Jurnal online
mahasiswa FK, [e-journal] 3 (1):10.
http://download.portalgaruda.org/ article.php [Sitasi 11 Juli 2017].
Jenks, P.J., Laurent, M., McQuarry, S., Watkins R. 2014. Clinical and economic burden of surgical site
infection (SSI) and predicted financial consequences of elimination of SSI from an English
hospital. Journal of Hospital Infection, [e-journal]86: pp.24-33.
http://www.sciencedirect.com/science/articl e/pii/S0195670113003447?via%3Diub> [Sitasi 15
Agustus 2017].
Johnson, A, Young, D., Reilly, J. 2006. Caesarean section surgical site infection surveillance. Journal of
Hospital Infection, [e-journal] 64: 30-5. https://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/16822582 [SItasi
15 Agustus 2017].
Kasmad. 2007. Hubungan antara Kualitas Perawatan Kateter dengan Kejadian Infeksi
Nosokomial Saluran Kemih. Skripsi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Kaye, K.S., Schmader, K. E., Sawyer, R. 2004. Surgical Site Infection in the Elderly Population, Clin
InfectDis, 39:1835–41.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Komite PPI. 2017. Laporan Kejadian HAIs Rumah Sakit Umum Haji Surabaya Tahun 2016. Surabaya:
Rumah Sakit Haji Surabaya.
Kozier, E., Berman, S. 2010. Buku Ajar Fondamental Keperawatan : Konsep,
Proses & Praktik Edisi 7. EGC : Jakarta.
Lefebvre, A., Saliou, P., Lucet, JC., Mimoz, O., Keite-Perse, O., Grandbastien, et al. 2015. Preoperative
hair removal and surgical site infections: network meta-analysis of randomized controlled trials.
Journal Hospital Infection, [e-journal]91 (2): 100-
108. http://www.
journalofhospitalinfection.com/article/S019 56701(15)00296-0/fulltext [Sitasi 27 Juli 2017]
Mahyuni. 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Perawat pada Pemasangan Infus
Berdasarkan Prosedur Tetap Dengan Kejadian Infeksi Nosokomial Phlebitis. Skripsi. Surabaya:
Universitas Airlangga.
National Institute for Health and Clinical Excellent (NICE). 2008. Surgical Site Infection : Prevention
and Treatment of Surgical Site Infection. [pdf] London: National Institute for Health and Clinical
Excellent http://www.rcpch.ac.uk/system/files/protect ed/page/CG74NICEGuideline_1.pdf
[Sitasi 15 Agustus 2017].
Potter, P.A., Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktek Edisi
4. Jakarta: EGC.
Rivai, F., Koentjoro, T., Utarini, A. 2013. Determinan Infeksi Luka Operasi Pascabedah Sesar. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 8 (5). https://media. neliti.com/media/publications/39786-
IDdeterminan-infeksi-luka-operasipascabedah-sesar.pdf [Sitasi 25 Juli 2017].
Rosaliya, Y., Suryani, S. 2010. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Infeksi
Nosokomial pada Pasien Luka Post Operasi di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Hasil Riset, [e-
journal] 1 (5):15-29. http://www.ejurnal.com/2013/10/ faktorfaktor-yangmempengaruhi.html
[Sitasi 10 Februari 2017].
Sandy, T. P. F., Yuliwan, R., Utami, W. N. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO) Pada Pasien Post Operasi
Laparotomi. Jurnal
Keperawatan Terapan, [e-journal] 1 (1) : 14-24. jurnal.poltekkes-malang.ac.id [Sitasi 6 Juli 2017].
Tanner, J., Norrie, P., Melen, K. 2011.
Preoperative hair removal to reduce surgical site infection. Cochrane Database of Systematic
Reviews, [e-journal] 9 (11): 20-
39. http:// onlinelibrary.
wiley.com/wol1/doi/10.1002/14651858.CD 004122.pub2/abstract > [Sitasi 27 Juli 2017].
Tietjen, L. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Kementerian Kesehatan RI. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Utami, R. 2009. Hubungan anrtara indikasi, pemrakarsa dan prosedur ceasarean section dengan terjadinya
infeksi luka operasi di RSUD Prof. DR. W Johannes Kupang. Tesis. Universitas Gajah Mada.
http://etd.repository. ugm.ac.id/index.php? mod=penelitian_ detail&sub= Penelitian
Detail&act=view&typ=html&buku_id=451
10 [Sitasi 26 Juli 2017].
WHO. 2010. The Burden of Health CareAssociated Infection Worldwide. [pdf]. http://www.who.
int/gpsc/country_work/summary_20100430 en.pdf. [Sitasi 9 Januari 2017].
Yuwono. 2013. Pengaruh Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian Surgical Site Infection (SSI) Pada
Pasien Laparotomi Emergensi.
Jambi Medical Journal, [e-journal] 1 (1) 1625. http://eprints.unsri.ac.id /3161/1/ JMI_SSI.pdf
[Sitasi 25 April 2017].

 Analisa PICO
P : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh prosedur operasi terhadap risiko
terjadinya IDO pada pasien operasi bersih terkontaminasi. Penelitian ini menggunakan desain
penelitian case control. Besar sampel kelompok kasus sebanyak 20 pasien dan kelompok kontrol
sebanyak 20 pasien.

I : Penelitian ini menggunakan desain penelitian case control. Pengambilan data sekunder dari
rekam medik pasien dengan jenis operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya pada
bulan Januari 2016 sampai Maret 2017.

Populasi pada penelitian ini adalah populasi kasus yang meliputi seluruh pasien terdiagnosis IDO
yang menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai bulan Maret 2017 dan populasi kontrol
yaitu seluruh pasien terdiagnosis tanpa IDO yang menjalani operasi pada bulan Januari 2016
sampai Maret 2017.

Besar sampel pada penelitian ini yaitu 20 kasus yang meliputi pasien terdiagnosis IDO yang
menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017 dan besar sampel kontrol yaitu 20
pasien tidak terdiagnosis IDO yang menjalani operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret
2017.

Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien operasi pada bulan Januari 2016 sampai Maret 2017
yang menjalani operasi dengan jenis operasi bersih terkontaminasi, pasien usia >20 tahun.

C : Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel status gizi menunjukkan bahwa status gizi
merupakan bukan faktor risiko terjadinya IDO.

Berdasarkan hasil analisis statistik pada variabel sifat operasi menunjukkan sifat operasi tidak
memiliki pengaruh terhadap kejadian IDO.
Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pasien yang mandi menggunakan

Chlorhexidine pada kelompok kasus sebanyak 5 pasien (71,42%) sedangkan yang menggunakan
sabun sebanyak 2 pasien (28,57%).

Distribusi penggunaan alat cukur yang dilakukan di RSU Haji Surabaya berdasarkan Tabel 5
menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, penggunaan silet dilakukan pada 5 pasien (62,5%)
dan penggunaan clipper pada 3 pasien (37,5%). Pasien pada kelompok kontrol yang
menggunakan alat cukur silet sebanyak 1 pasien (50%) dan yang menggunakan clipper sebanyak
1 pasien (50%). Hal ini berarti bahwa 50 pencukuran dengan clipper per 100 pasien tidak
terdiagnosis IDO.

O : Faktor risiko pada tindakan prosedur operasi yang memiliki pengaruh terhadap terjadinya
IDO adalah mandi preoperasi dan cukur preoperasi pada pasien pasca operasi bersih
terkontaminasi di RSU Haji Surabaya pada bulan Januari 2016 hingga Maret 2017.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara usia dengan terjadinya IDO pada pasien pasca
operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara ASA score dengan terjadinya IDO pada pasien
pasca operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara suhu tubuh dengan terjadinya IDO pada pasien
pasca operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya IDO pada pasien
pasca operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara sifat operasi dengan terjadinya IDO pada pasien
pasca operasi bersih terkontaminasi di RSU Haji Surabaya.
ORIGINAL ARTICLE J Sains Farm Klin 6(2),104–112 (Agustus 2019)

Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Daerah Operasi


pada Pasien Bedah Orthopedi di Rsup Fatmawati
Periode Juli-Oktober 2018
(Risk factors in surgical site infection on orthopedic surgery patients at Fatmawati Hospital
period July-October 2018)

Asrawal1*, Ros Summary2, Delina Hasan2, & Debby Daniel3


1
Magister Ilmu Kefarmasian,Farmasi Rumah Sakit,Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Indonesia
2
Program Studi Magister Ilmu Kefarmasian, Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Indonesia
3
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan, Indonesia

ABSTRACT: Surgery is one of the basic components of the health care system that is very important, that in the process of the
surgery should know the risk causes the infection, because microbes inadvertently come into limbs in surgery. Microbes can
cause nosocomial infections or Health Care Associated Infections (HAIs).WHO survey shows 5% -34% of HAIs are SSI while the
highest prevalence of HAIs occurs intensively in care units, acute surgery and orthopedic rooms. Thisresearch aims to
determine SSI and risk factors for SSI in orthopedic surgery patients at Fatmawati Hospital in July-October 2018. This research
was observational using cross sectional design,in whichthe data collection wasperformed prospectively. Total sampling from
patients who performed orthopedic surgery at Fatmawati Hospital in both elective and cito surgery on July-October 2018 and
SSI data collection was performed after surgery, namely in orthopedic poly outpatient care and inpatient care. Data obtained
in this research showed SSI level is 3.9 % of Orthopedic Surgery (3.9% cases of a total 770) in the research period. The results
of the chi-square analysis showed that the diabetes mellitus, ASA score and type of surgery had a significant relationship with
the incidence of SSI with significance value diabetes mellitus that is 0.024; ASA score that is 0.035 and type of surgery that is
0.001 where p <0.05, while the use of prophylactic antibiotics and other risk factors did not have a significant p>0.05. That the
type of operation had a significant influence with the incidence of SSI which was 0.004 (p <0.05). this type of surgery can
increase the occurrence of SSI.
Keywords: surgical site infection, risk factor, orthopedic surgery.
Jurnal Sains Farmasi & Klinis
p-ISSN: 2407-7062 | e-ISSN: 2442-5435
homepage: http://jsfk.ffarmasi.unand.ac.id DOI
: 10.25077/jsfk.6.2.104-112.2019

ABSTRAK: Pembedahan merupakan salah satu komponen dasar dari sistem perawatan kesehatan yang sangat penting, bahwa
dalam proses pembedahan harus mengetahui risiko yang menyebabkan infeksi, karena tidak sedikit mikroba ikut masuk atau
tidak sengaja masuk kedalam anggota tubuh yang di bedah. Mikroba ini dapat menyebabkan infeksi nosokomial atau Health
Care Associated Infections (HAIs). Survei WHO menunjukkan 5%-34% dari HAIs adalah infeksi daerah operasi (IDO) sedangkan
prevalensi tertinggi HAIs terjadi secara intensif di unit perawatan, bedah akut dan ruang orthopedi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui angka IDO dan faktor risiko terjadinya IDO pada pasien bedah orthopedi di RSUP Fatmawati periode juli-
oktober 2018. Penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan desain cross sectional, di mana pengumpulan data
dilakukan secara prospektif. Pengambilan total sampel dari pasien yang melakukan bedah ortopedi di Rumah Sakit Fatmawati,
baik bedah elektif maupun bedah cito pada periode Juli-Oktober 2018 dan pengumpulan data IDO dilakukan setelah
pembedahan, yaitu di rawat jalan rawat jalan poli ortopedi dan rawat inap. Data yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan angka IDO Bedah Orthopedi yaitu 3.9% (30 sampel dari jumlah total 770 pasien) pada periode penelitian. Hasil
analisa dengan menggunakan chisquare menunjukkan bahwa diabetes melitus, skor ASA dan jenis operasi mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian IDO dengan nilai signifikansi diabetes melitus (DM) yaitu 0.024 ; skor ASA yaitu 0.035
dan jenis operasi yaitu 0.001 dimana p<0.05, sedangkan penggunaan antibiotik profilaksis dan faktor risiko lainnya tidak
mempunyai hubungan yang signifikan karena p>0.05. Untuk jenis operasi mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kejadian
IDO yaitu 0.004 (p<0.05). jenis operasi dapat meningkatkan terjadinya IDO.
atau tidak sengaja masuk kedalam anggota tubuh yang untuk pasien yang belum terkena infeksi.
di bedah, sehingga mikroba ini dapat berupa bakteri, Ketidaktepatan dalam pemberian antibiotik profilaksis
jamur dan virus. Mikroba tersebut yang masuk, dapat dapat menimbulkan infeksi yang berat dan penggunaan
menyebabkan tidak tercapainya suatu pengobatan dan antibiotik profilaksis yang kurang tepat merupakan
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial salah satu faktor kejadian infeksi daerah operasi [3].
atau Health-care associated infections (HAIs) yang Perbandingan antara insiden infeksi daerah
paling sering terjadi yaitu infeksi daerah operasi, operasi (IDO) antara rumah sakit yang satu dengan
infeksi saluran kemih dan Infeksi saluran pernapasan rumah sakit yang lainnya akan berbeda karena setiap
bagian bawah [2]. tempat dan populasi dari masing-masing rumah sakit
Di Indonesia Angka kejadian infeksi nosokomial memiliki karakteristik yang berbeda dan spesifik.
dari 10 RSU pendidikan yang mengadakan surveilans Orthopedi merupakan salah satu pelayanan unggulan
aktif tahun 2010, pada penelitian tersebut dilaporkan terpadu untuk di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
angka kejadian infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu Fatmawati. Dari uraian diatas penelitian ini diharapkan
6-16% dengan rata-rata 9,8%.Berbagai penelitian dapat membantu dalam memberikan informasi dan
sebelumnya di berbagai rumah sakit baik dari rumah masukkan kepada pimpinan RSUP Fatmawati melalui
sakit dalam negeri ataupun rumah sakit luar negeri, Komite Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (KPPI).
dapat mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka prevalensi IDO. Untuk
Metode Penelitian
faktor penentu infeksi daerah operasi (IDO) yaitu
terkait dengan pasien, mikroba, lingkungan, dan Penelitian ini merupakan penelitian observasional
antibiotik profilaksis. Faktor pasien yang atau pengamatan dengan menggunakan desain cross
meningkatkan risiko untuk SSI yaitu usia sangat muda sectional dengan pengambilan data dilakukan secara
atau sangat tua, diabetes, perokok, penggunaan steroid, prospektif. Penelitian ini dimaksudkan untuk
obesitas, dan status gizi buruk.Pengunaan antibiotik mengetahui faktor risiko terjadinya infeksi daerah
profilaksis merupakan salah satu pencegahan infeksi operasi pada pasien bedah orthopedi RSUP Fatmawati
berdasarkan kondisi pembedahan yang digunakan
Kata kunci: infeksi daerah operasi; faktor risiko; bedah orthopedi.

Article history

Pendahuluan pembedahan dapat bersifat Received: 19 Mei 2019


Accepted: 30 Jul 2019
preventif, perawatan untuk Published: 20 Agust 2019
Tindakan pembedahan merupakan salah satu penyakit darurat, akut dan Access this article
komponen dasar dari sistem perawatan kesehatan yang pengobatan penyakit kronis[1].
sangat penting dan memiliki peran dalam mengurangi Dalam proses pembedahan tidak
penderitaan pasien akan penyakit yang dideritadimana sedikit mikroba yang ikut masuk

*Corresponding Author: Asrawal


Magister Ilmu Kefarmasian, Farmasi Rumah Sakit, Universitas Pancasila, Jl. Raya Lenteng Agung,
Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640 | Email:asrawalsyawal@ymail.com
periode Juli-Oktober 2018 dan angka kejadian infeksi daerah operasi adalah 4,435 % (11 dari 248 sampel)
daerah operasi (IDO) yang terjadi selama perawatan pada bedah orthopedi implant [4], sedangkan
merupakan gambaran selama penelitian. penelitian yang dilakukan oleh Margaret A Olsen dkk,
Hasil dan Diskusi tingkat kejadian infeksi yang terjadi yaitu 2,0 % (66
dari 2316 sampel) pada operasi bedah orthopedi spinal
Hasil tabel analisis univariat dilakukan untuk [5]. Penelitian yang serupa yang dilakukan oleh Sadik
melihat gambaran frekuensi setiap variabel independen Bilgen di turkey pada pasien Arthroplasty Knee
yang diteliti , kemudian masing-masing data variabel dimana angka infeksi daerah operasi yang ditemukan
akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi. Tabel adalah 1,6 % [6]. Fahad dkk dalam penelitiannya
analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan dari tentang prevalensi IDO pada bedah orthopedi, dimana
satu variabel dependen dengan beberapa variabel penelitian dilakukan selama lima tahun mulai januari
independen, dimana dalam penelitian ini untuk melihat 2006 sampai desember 2011 di King Fahd Hospital
hubungan faktor risiko terjadinya infeksi daerah dengan jumlah IDO 2,55 % (76 dari 3096 sampel) [7].
operasi pada pasien bedah orthopedi dengan Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat
menggunakan metode Chi-square Test. Sedangkan menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin, usia, body
tabel analisis multivariat dilakukan dengan mass indeks (BMI), suhu tubuh, implant, rencana
menggunakan metode regresi logistik, dimana operasi, lingkungan kamar operasi, pemberian
tujuannya yaitu untuk melihat pengaruh seluruh antibiotik, divisi operasi, lama rawat sebelum operasi,
variabel independen secara bersamaan dengan satu dan tempat pemberian antibiotik profilaksis merupakan
variabel dependen. Regresi logistik biner adalah suatu variabel yang tidak berhungan dan berpengaruh
metode analisis data yang digunakan untuk mencari terhadap kejadian IDO dimana nilai p>0,05. Hasil
hubungan antara variabel respon (y) yang bersifat biner signifikansi dari uji statistik pada jenis kelamin yaitu
(dichotomus) dengan variabel prediktor (x). 0,599 dengan IDO yang paling banyak adalah jenis
Berdasarkan analisis multivariat yang telah dilakukan, kelamin laki-laki yaitu 2,5 % dan perempuan 1,4 %,
didapatkan variabel jenis operasiyang paling hal ini diperkirakan karena berhubungan dengan
berpengaruh diantara variabel lainnya terhadap produksi kolagen dan kapasitas penyembuhan luka
kejadian IDO. yang lebih rendah pada laki-laki . Pada penelitian yang
Total pasien yang menjalani operasi di instalasi dilakukan di sebuah rumah sakit rujukan utama di iran,
bedah sentral di RSUP Fatmawati, baik kamar operasi dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara kejadian
Emergensi maupun Elektif pada periode Juli sampai IDO dengan jenis kelamin [8]. Evaluasi penggunaan
Oktober berjumlah 770 pasien. Sejumlah 770 sampel antibiotik profilaksis dilakukan untuk mengidentifikasi
yang didapat dalam penelitian ini, dimana IDO yang jenis antibiotik profilaksis yang digunakan dan tempat
didapat pada rawat jalan dan rawat inap di RSUP pemberian antibiotik. Dimana antibiotik profilaksis
Fatmawati yaitu 3,9 % (30 sampel) yang memenuhi yang direkomendasikan pada pedoman penggunaan
kriteria diagnosis Infeksi Daerah Operasidengan tanda antibiotik di RSUP Fatmawati yaitu sefazolin, dan
atau gejala inflamasi yaitu eritem (kemerahan), alternatif antibiotik profilaksisnya yaitu fosfomicyn,
perforasi, fistula, ada cairan (serous dan pus) dan atau ampicilin sulbactam dan amoxicillin clavulanic acid.
pemisahan tepi luka disekitar area operasi. Pada Sefazolin merupakan obat pilihan untuk antibiotik
penelitian ini, eritem yang masuk dalam kategori profilaksis bedah yang direkomendasikan yang
infeksi adalah eritem di sekitar daerah operasi, bukan merupakan golongan sefalosporin generasi dua karena
pada tempat masuk atau keluarnya benang. kerjanya lebih pada bakteri gram negatif yang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat umumnya ada di kulit seperti Staphylococcus aureus
kejadian infeksi daerah operasi pada pasien bedah dan Staphylococcus epidermidis yang merupakan flora
orthopedi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah normal kulit. Sefalosporin generasi kedua merupakan
3,9 % (30 IDO dari 770 pasien yang di operasi) dimana antibiotik profilaksis bedah orthopedi di RSUP
jauh lebih tinggi dari standar yang diterima, Fatmawati yang banyak dipergunakan, tetapi golongan
seharusnya kurang dari 2 % untuk infeksi daerah sefalosporin generasi tiga seperti seftriakson masih
operasi pasca bedah di RSUP Fatmawati. Pada dipergunakan. Tujuan penggunaan antibiotik
beberapa penelitian ditemukan bahwa, tingkat kejadian profilaksis pada pasien bedah orthopedi ini adalah
infeksi ini hampir sebanding dengan penelitian yang untuk penurunan dan pencegahan kejadian infeksi
dilakukan oleh Amaradeep dkk dimana tingkat infeksi daerah operasi, penurunan morbiditas dan mortalitas
pasca operasi serta penghambatan munculnya flora normal resisten.

Tabel 1. Karakteristik Pasien Bedah Orthopedi

No Karakteristik Kategori N %

1 Jenis Kelamin Laki-laki 452 58,7

Perempuan 318 41,3

2 Usia ≤ 20 Tahun 174 22.6

20-30 Tahun 142 18,4

> 30-40 Tahun 90 11,7

> 40-50 Tahun 100 13,0

> 50-60 Tahun 97 12,6

≥ 60 Tahun 167 21,7

3 BMI Normal 547 71,0

Tidak 223 29,0

4 Diabetes Melitus Ya 83 10,8

Tidak 687 89,2

5 Suhu Tubuh Normal 430 56,5

Tidak 331 43,5

6 Skor ASA ASA I 64 8,3

ASA II 543 70,5

ASA III 161 20,9

ASA IV 2 0,3
Tabel 2. Distribusi Pasien Bedah Orthopedi Berdasarkan Jenis Operasi,
Tindakan Operasi dan Rencana Operasi

No Tindakan Kategori N %

1 Jenis Operasi Bersih 621 80,6

Bersih Terkontaminasi 78 10,1

Terkontaminasi 14 1,8

Kotor 57 7,4

2 Implan Ya 481 62,5

Tidak 289 37,5

3 Rencana Operasi Elektif 640 83,1

Cito 130 16,9

No Jenis Kategori N %

1 Lingkungan Kamar Operasi Sesuai 654 84,9

Tidak Sesuai 116 15,1

2 Divisi Operasi Hand 134 17,4

Spinee 124 16,1

Traumatik 133 17,3

Onkologi 65 8,4

HIP 88 11,4

Knee 59 7,7

Upper/Shoulder 42 5,5

Pediatrik 105 13,6

Dll 20 2,6

Tabel 3. Distribusi Pasien Bedah Othopedi Berdasarkan Lama Operasi dan Lama
Rawat Sebelum Operasi

No Tindakan Kategori N %

1 Lama Operasi ≤ 1 Jam 122 15,8

1-2 Jam 286 37,1

≥ 2-3 Jam 198 25,7

≥ 3-4 Jam 101 13,1

≥ 4-5 Jam 36 4,7

≥ 5-6 Jam 21 2,7


≥ 6 Jam 6 0,8

2 Lama Rawat Sebelum Operasi < 24 Jam 561 72,9

≥ 24 Jam 209 27,1

Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Lingkungan Kamar Operasi dan Divisi Operasi


Pada Pasien Bedah Orthopedi di RSUP Fatmawati
Tabel 5. Distribusi Berdasarkan Pemberian Antibiotik Profilaksis dan Tempat Pemberian
Antibiotik Profilaksis pada Pasien Bedah Orthopedi di RSUP Fatmawati

No Distribusi Kategori N %

1 Pemberian Antibiotik Profilaksis Ya 711 92,3

Tidak 59 7,7

2 Tempat Pemberian Antibiotik Prfilaksis OK 593 77,0

IGD/Ruang Rawat 118 15,3

Tidak diberikan 59 7,7

Tabel 6. Distribusi Kesesuain Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) dan American Society
of
Hospital Pharmacists (ASHP) pada pasien bedah orthopedi di RSUP Fatmawati

No Kesuaian Kategori N %

1 Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) Sesuai 586 76,1

Tidak 125 16,2

Tanpa Antibiotik 59 7,7

2 American Society of Hospital Pharmacists Sesuai 549 71,3


(ASHP)
Tidak 162 21,0

Tanpa Antibiotik 59 7,7

Sedangkan hasil bivariat menunjukkan pada skor ASA II yaitu 2,3 % dan yang
bahwa variabel Skor ASA, diabetes melitus rendah terjadi pada skor ASA III sedangkan
dan jenis operasi terbukti secara statistik untuk skor ASA I dan skor ASA IV tidak
mempunyai hubungan yang signifikan ditemukan sampel yang IDO. Hal ini
terhadap IDO. Hasil multivariat dimungkinkan karena skor ASA II
menunjukkan jenis operasi mempunyai merupakan status fisik dengan kelainan
pengaruh yang sinifikan terhadap kejadian sistemik ringan sedangkan skor ASA III
IDO dengan nilai signifikansi yaitu 0,000 merupakan status fisik pasien dengan
(p<0,05). kelainan sistemik berat dengan aktivitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbatas sehingga skor ASA II lebih tinggi
variabel skor ASA secara statistik memiliki tingkat IDO dibandingkan dengan skor ASA
hubungan yang bermakna antara skor ASA III. Chenk dkk mengutip pernyataan castro
dengan terjadinya infeksi daerah operasi. Hal bahwa skor ASA mengevaluasi status basal
ini dapat dilihat dari uji bivariat untuk nilai individu termasuk komorbiditasnya,
p-value yaitu 0,035 (p<0,05) dimana infeksi sehingga skor ASA merupakan prediktor
daerah operasi yang paling tinggi terjadi yang baik untuk SSI, dimana tingkat SSI
secara signifikan lebih tinggi pada pasien mekanisme patogen utama dimana
dengan ASA II-V daripada pada ASA I [9]. lingkungan hiperglikemik meningkatkan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh virulensi, respons produksi interleukin yang
Margaret A olsen dkk dengan judul faktor lebih rendah terhadap infeksi, mengurangi
risiko infeksi pada orthopedi spinal terdapat kemotaksis dan aktivitas fagositosis,
hubungan dan pengaruh antara skor ASA imobilisasi leukosit polimorfonuklear,
dan IDO dimana nilai p-value yaitu 0,003 glikosuria, dan dismotilitas gastrointestinal.
(5). Penelitian infeksi pada pasien orthopedi Selain menjadi berpotensi lebih serius,
yang dilakukan oleh jadranka maksimovik penyakit menular pada diabetes melitus
dkk bahwa terdapat pengaruh yang mengakibatkan komplikasi metabolik seperti
signifikan antara skor ASA dan IDO dimana hipoglikemia dan ketoasidosis [13]. Hasil
nilai p-value yaitu 0,001 [10]. Sedangkan analisis ini sejalan dengan jurnal yang
studi yang dilakukan oleh aikaterini masgala dipublikasikan oleh Richard P. Evans dengan
dkk tentang faktor risiko infeksi pasca bedah judul Pencegahan dan Kontrol Infeksi Situs
orthopedi terdapat hubungan antara skor Bedah menjelaskan bahwa Diabetes telah
ASA dan IDO dimana nilai p-value< 0,001 dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi
[11]. daerah operasi di beberapa bedah ortopedi
Hasil analisis bivariat menunjukkan [14].
bahwa variabel diabetes melitus (DM) secara Hasil penelitian yang dilakukan oleh
statistik mempunyai hubungan yang Junaid Khan dkk mengenai studi faktor
bermakna dengan terjadinya infeksi daerah risiko infeksi pada total arthroplasty knee
operasi, dimana nilai p-value diabetes bahwa faktor diabetes melitus memiliki
melitus yaitu 0,24 (p<0,05). Diabetes melitus hubungan yang signifikan terhadap kejadian
dapat menggangu struktur serta fungsi IDO dengan nilai p-value diabetes
pembulu darah, dimana penderita diabetes melitus0.01 [15]. Hasil penelitian lain yang
memiliki kadar insulin yang rendah, dilakukan oleh neveen kikkeri dkk tentang
sehingga mengakibatkan metabolisme Infeksi Situs Bedah (SSI) dan faktor-faktor
karbohidrat, lemak, dan protein tidak normal. terkait di perguruan tinggi pemerintah
Penyakit komorbid seperti diabetes dapat perawatan pengajaran rumah sakit di
mengurangi sintesis kolagen dan mematikan Mysore, Karnataka menyimpulkan bahwa
netrofil melalui jalur oksidatif [12]. Diabetes mellitus tetap menjadi faktor
Hubungan infeksi daerah operasi dan terjadinya infeksi daerah operasi [16].
diabetes melitus dapat terjadi berdasarkan

Tabel 7. Hubungan Karakteristik Pasien Bedah Orthopedi dengan IDO


Tidak Terjadi IDO Terjadi IDO
Faktor Risiko N Odds Ratio P value
N % N %

Jenis Kelamin

Laki-laki 433 56,2 19 2,5 452 0,019 0,599


Perempuan 307 39,9 11 1,4 318

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Usia

≤ 20 tahun 167 21.7 7 0.9 174 -0.014 0.398


20-30 tahun 133 17.3 9 1.2 142

> 30-40 tahun 89 11.6 1 0.1 90

> 40-50 tahun 98 12.7 2 0.3 100

> 50-60 tahun 93 12.1 4 0.5 97

≥ 60 tahun 160 20.8 7 0.9 167

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

DM

Ya 76 9,9 7 0,9 83 0,081 0,024


Tidak 664 86,2 23 3,0 687

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Suhu Tubuh

Normal 416 54,7 14 1,8 430 -0,040 0,267


Tidak Normal 315 41,4 16 2,1 331

Jumlah 731 96,1 30 3,9 761

Skor ASA

ASA I 64 8,3 0 0 64 0,101 0,035


ASA II 525 68,2 18 2,3 543

ASA III 149 19,4 12 1,6 161

ASA IV 2 0,3 0 0 2

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Tabel 8. Hubungan Jenis Operasi, Tindakan Operasi dan Rencana Operasi pada Pasien Bedah
Orthopedi Dengan
IDO
Tidak Terjadi IDO Terjadi IDO
Faktor Risiko N Odds Ratio P value
N % N %

Jenis Operasi

Bersih 602 78,2 19 2,5 621 0,137 0,001


Bersih-terkontaminasi 76 9,9 2 0,3 78

Terkontaminasi 13 1,7 1 0,1 14

Kotor 49 6,4 8 1,0 57

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770


Implant

Ya 461 59,9 20 2,6 481 0,017 0,628


Tidak 279 36,2 10 1,3 289

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Rencana Operasi

Elektif 616 80 24 3,1 640 0,017 0,642


Cito 124 16,1 6 0,8 130

Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Tabel 9. Hubungan Lama Operasi, Lama Rawat Sebelum Operasi dan Lingkungan Kamar
Operasi dengan IDO
Tidak Terjadi IDO Terjadi IDO
Faktor Risiko N Odds Ratio P value
N % N %

Lama Operasi
≤ 1 jam 120 15,6 2 0,3 122
1-2Jam 273 35,5 13 1,7 286
≥2-3 jam 192 24,9 6 0,8 198
0,030 0,370
≥3-4 jam 95 12,3 6 0,8 101
≥4-5 jam 33 4,3 3 0,4 36
≥5-6 jam 21 2,7 0 0 21
≥ 6 jam 6 0,8 0 0 6
Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Lama Rawat Sebelum Operasi


< 24jam 540 70,1 21 2,7 561 0,013 0,720
≥ 24 jam 200 26,0 9 1,2 209
Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Lingkungan Kamar Operasi


Sesuai 630 81,8 24 3,1 654 -0,028 0,441
Tidak Sesuai 110 14,3 6 0,8 116
Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Hasil analisis bivariat dan multivariat dkk menunjukan bahwa Jenis operasi,
menunjukkan bahwa jenis operasi secara mempunyai hubungan yang signifikan
statistik mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap kejadian IDO dengan hasil Uji Chi-
yang signifikan terhadap infeksi daerah square bivariat dengan nilai p-value yaitu
operasi, dimana hasil analisis bivariat 0,000 (p<0,05) [17]. Hasil penelitian yang
menunjukkan p-value variabel jenis operasi dilakukan oleh Keykhosro Mardanpour dkk
yaitu 0,000 (p<0,05) sedangkan hasil analisis tentang SSI dalam bedah ortopedi;insiden
multivariat menunjukkan hasil signifikansi dan faktor risiko di rumah sakit pendidikan
dengan nilai p-value yaitu 0,016 (p<0,05). Iran dari januari 2012 sampai januari 2015
Hasil penelitian yang dilakukan oleh nirbita dimana dari 1.900 pasien yang telah
menjalani operasi ortopedi, 73 (3,84%)
mengalami IDO dengan nilai signifikansi
jenis operasi dengan kejadian IDO dengan
nilai p-value yaitu 0,04 [18].
Tabel 10. Hubungan tempat dan Pemberian Antibiotik Profilaksis dengan IDO

Tidak Terjadi IDO Terjadi IDO


Faktor Risiko N Odds Ratio P value
N % N %
Pemberian AB
Ya 682 88,6 29 3,8 711 0,033 0,363
Tidak 58 7,5 1 0,1 59
Jumlah 740 96,1 30 3,9 770
Tempat Pemberian AB
IGD/ Ruang Rawat 113 14,7 5 0,6 119
-0,033 0,658
Kamar OK 569 73,9 24 3,2 593
Tidak diberikan 58 7,5 1 0,1 59
Jumlah 740 96,1 30 3,9 770

Tabel 11. Analisis Multi Variat


Wal
df Sig.
d

DM 1.12 1 .290
2
Skor ASA 3 .341
3.34
Step 1a 8
Jenis Operasi 13.4 3 .004
08

Kesimpulan [3] Ida Lisni ,Tatang Adi Permana ES. Evaluasi Penggunaan
Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Di Salah Satu
Rumah Sakit Kota Bandung.Jurnal Farmasi Galenika Volume
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan angka 01 No. 02 ISSN: 24069299. 1(2):48-53.
kejadian infeksi daerah operasi pada pasien bedah orthopedi [4] Amaradeep G, Ss SP, Cn M. Surgical site infections in
orthopedic implant surgery and its risk factors : A
di RSUP Fatmawati periode juli-oktober 2018 yaitu 3.9 %.
prospective study in teaching hospital. 2017;3(3):169-172.
Faktor risiko yang yang berhubungan dengan infeksi daerah [5] Olsen MA, Nepple JJ, Riew KD, Bridwell KH. Digital
operasi pada pasien bedah orthopedi di RSUP Fatmawati Commons @ Becker Risk factors for surgical site infection
following orthopaedic spinal operations. 2008;90–A:62–9.
adalah skor ASA, diabetes melitus dan jenis operasi.
[6] Bilgen S, Eken G. Surgical Site Infection After Total Knee
Sedangkan yang dapat meningkatkan terjadinya IDO adalah Arthroplasty : A Descriptive Study. 2016;(2):1–8. Available
jenis operasi. from: issn:[2395-6291]
[7] Al-mulhim FA, Baragbah MA, Sadat-ali M, Alomran AS.
Prevalence of Surgical Site Infection in Orthopedic Surgery :
[11] Masgala A, Chronopoulos E, Nikolopoulos G, Sourlas J, Lallos [16] Kikkeri N, Setty H, Shimoga M, Halumatthigatta D, Giriyaiah
A 5-year Analysis. 2016;(May 2014):264-268.
S, Brilakis E, et al. Risk Factors Affecting The Incidence Of S, Ramanagaram N, et al. Origi n a l A rt i c l e A study on
Referensi
Infection After Orthopedic Surgery : The Role Of [8] Razavi SM,
Surgical SiteIbrahimpoor
Infections M,
surgical site tertiary
infections:
Sabouri
( SSI ) and A,associated
Jafarian A.factors
Abdominal
in a
Chemoprophylaxis. 2012;20(4):252-256. government careincidence
teachingand risk factors
hospital at an,
in Mysore
[1]
[12] Rose J, Weiser TG, Hider P, Wilson L, Gruen RL, Bickler SW.
Jeon CY, Furuya EY, Berman MF, Larson EL. The Role of Pre-
Iranian teaching
Karnataka. hospital. 2005;5:1-5.
2014;4(2):2–6.
Estimated need for surgery worldwide based on prevalence
Operative and Post-Operative Glucose Control in Surgical- [9]
[17] Keping Cheng, Jiawei Li, Qingfang
Alam Nirbita , Ekorini Listiowati Emr.Kong, Changxian
Pengaruh FaktorWang,
Risiko
of diseases : a modelling strategy for the WHO Global NanyuanDaerah
Ye GX. Operasi
Risk factors
Site Infections and Mortality. 2012;7(9):1–7. Infeksi (IDO)forTerhadap
surgical site infection
Kejadian in a
Infeksi
Health Estimate. Lancet Glob Heal [Internet]. teaching hospital : a prospective study of 1 , 138 patients.
[13] Casqueiro J, Casqueiro J, Available
2015;3(Gbd):S13–20. Alves C. Infections
from: in http://dx.doi.
patients with Daerah Operasi (IDO) Pada Bedah Digestive Di RS PKU
2015;Volume 9:1171-1177.
Muhammadiyah Bantul. 2017;1–14.
diabetes mellitus : A review of pathogenesis. 2012;16:27-
org/10.1016/S2214-109X(15)70087-2
36. [10]
[18] Maksimović J,K,Marković-denić
Mardanpour L, Bumbaširević
Rahbar M, Mardanpour M. Surgical
S, Mardanpour N.
[2] WHO. Prevention of hospital-acquired infections World Site Infections in Orthopedic Patients : Prospective Cohort
[14] Rp E. Surgical site infection prevention and control : an
Health Organization. Prev Hosp Infect A Pract Guid 2nd Ed.
Surgical site infections in orthopedic surgery : incidence and
Study.
risk factors at an Iranian teaching hospital. Clin Trials Orthop
emerging paradigm Surgical Site Infection Prevention and l
2002; 2008;(March 2014):58-65.
Control : An Emerging Paradigm. 2015;(January 2011). Disord. 2017;132-137.
[15] Khan J, Ahmed R, Zahid T, Akhtar RR. Risk Factors of
Infection in Tota Knee Arthroplasty. 2017;21(3):253-256.
Copyright © 2019 The author(s). You are free to share (copy and redistribute the material in any medium or format) and
adapt (remix, transform, and build upon the material for any purpose, even commercially) under the following terms:
Attribution — You must give appropriate credit, provide a link to the license, and indicate if changes were made. You may
do so in any reasonable manner, but not in any way that suggests the licensor endorses you or your use; ShareAlike — If
you remix, transform, or build upon the material, you must distribute your contributions under the same license as the original
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

 Analisa PICO
P : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka IDO dan faktor risiko terjadinya IDO
pada pasien bedah orthopedi di RSUP Fatmawati periode juli-oktober 2018. Penelitian ini
bersifat observasional dengan menggunakan desain cross sectional, di mana pengumpulan
data dilakukan secara prospektif. Pengambilan total sampel dari pasien yang melakukan
bedah ortopedi di Rumah Sakit Fatmawati, baik bedah elektif maupun bedah cito pada
periode Juli-Oktober 2018 dan pengumpulan data IDO dilakukan setelah pembedahan, yaitu
di rawat jalan rawat jalan poli ortopedi dan rawat inap. Data yang diperoleh dalam penelitian
ini menunjukkan angka IDO Bedah Orthopedi yaitu 3.9% (30 sampel dari jumlah total 770
pasien) pada periode penelitian.

I : Penelitian ini merupakan penelitian observasional atau pengamatan dengan menggunakan


desain cross sectional dengan pengambilan data dilakukan secara prospektif. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya infeksi daerah operasi pada pasien
bedah orthopedi RSUP Fatmawati periode Juli-Oktober 2018 dan angka kejadian infeksi
daerah operasi (IDO) yang terjadi selama perawatan merupakan gambaran selama penelitian.

C : Data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan angka IDO Bedah Orthopedi yaitu
3.9% (30 sampel dari jumlah total 770 pasien) pada periode penelitian. Hasil analisa dengan
menggunakan chisquare menunjukkan bahwa diabetes melitus, skor ASA dan jenis operasi
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian IDO dengan nilai signifikansi
diabetes melitus (DM) yaitu 0.024 ; skor ASA yaitu 0.035 dan jenis operasi yaitu 0.001
dimana p<0.05, sedangkan penggunaan antibiotik profilaksis dan faktor risiko lainnya tidak
mempunyai hubungan yang signifikan karena p>0.05. Untuk jenis operasi mempunyai
pengaruh yang signifikan dengan kejadian IDO yaitu 0.004 (p<0.05).

O : Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan angka kejadian infeksi daerah operasi pada
pasien bedah orthopedi di RSUP Fatmawati periode juli-oktober 2018 yaitu 3.9 %. Faktor
risiko yang yang berhubungan dengan infeksi daerah operasi pada pasien bedah orthopedi di
RSUP Fatmawati adalah skor ASA, diabetes melitus dan jenis operasi. Sedangkan yang dapat
meningkatkan terjadinya IDO adalah jenis operasi.

UPAYA PENINGKATAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN POST ORIF


FRAKTUR FEMUR SINISTRA SINISTRA

Abstrak

Kecelakaan lalu lintas dinilai menjadi pembunuh ketiga setelah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis salah satu yang terjadi setelah kecelakaan lalu lintas yaitu fraktur. Fraktur
merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Salah satu masalah yang terjadi pada pasien post ORIF (open
reduction internal) fraktur femur keterbatanasan gerak sendi lutut yang dialami oleh pasien,
fraktur dapat menyebabkan kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahab melalui latihan
rentang gerak yaitu dengan latihan Range of motion (ROM). Tujuan dari penulis agar dapat
memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa post operasi fraktur femur
sinistra. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus, yaitu
dengan melakukan asuhan keperawatan pada pasien post operasi fraktur femur mulai dari
pengkajian, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan. Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam pada pasien post operasi fraktur femur masalah nyeri akut
teratasi sebagian lanjutkan intervensi, gangguan mobilitas fisik teratasi intervensi dihentikan.
Resiko infeksi teratasi dan intervensi dihentikan. Pengaruh ROM pada pasien post operasi
fraktur femur efektif untuk melatih rentang gerak dan mencegah kekuatan otot. Berdasarkan
hasil pengkajian kasus Tn.G terdapat tiga masalah keperawatan yaitu nyeri akut, gangguan
mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3x24 jam
nyeri akut teratasi sebagian, gangguan mobilitas fisik teratasi, dan resiko infeksi teratasi.
Direkomendasikan untuk pasien selalu kontrol sesuai jadwal yang sudah ditentukan dan
keluarga juga bisa melakukan tindakan keperawatan mandiri di rumah.
Kata kunci : Hambatan mobilitas fisik, Post ORIF, Fraktur femur sinistra, ROM.
Abstract

Traffic accidents judged to be the third killer after heart disease coronary and tuberculosis
one that occurred after a traffic accident that fractured. Fraktur is an interruption of
continuity of bone or cartilage tissue that is generally caused by involuntary. One of the
problems that occur in patients post ORIF (open reduction internal) femoral fracture
limitation of motion of the knee joint that is experienced by the patient, the fracture can cause
defects in the limbs fractured. While physical disability can be restored gradually through a
range of motion 2 exercises is to practice Range Of Motion (ROM). The purpose of the
author in order to understand the nursing care in patients with a diagnosis of postoperative
femoral fracture sinistra. The method used is descriptive case study approach, is to perform
nursing care in patients with postoperative femoral fracture ranging from assessment,
intervention, implementation, and evaluation of nursing. After 3x24-hour nursing care for
patients with femur fractures postoperative acute pain problems solved partially fill
interventions, physical mobility impairments resolved intervention is stopped, the risk of
infection is resolved and the intervention is stopped. ROM influence on the patient's
postoperative femoral fracture effective to train a range of motion and prevent muscle
stiffness.Ny. S case of the assessment results. There are three nursing problems are acute
pain, impaired physical mobility, and the risk of infection. After nursing actions during 3x24
hours of acute pain is resolved in part, impaired physical mobility is resolved, and the risk of
infection is resolved. Recommended for patients always control according to a fixed schedule
and family can also make independent nursing actions at home.

Keywords :Physical mobility constraints, Post ORIF, Fraktur femur, ROM.


1. PENDAHULUAN
Di era modern sekarang ini kemajuan teknologi dibidang alat transportasi
berkembang sangat cepat sehingga menjadi kebutuhan bagi setiap individu agar mendapat
akses dengan mudah, namun dibalik kemudahan tersebut terdapat dampak negatif seperti
kemacetan, polusi udara, kriminal dan yang paling menonjol ialah kecelakaan lalu lintas
(Hubdat, 2007). WHO mencatat ditahun 2014 terdapat 95.906 peristiwa kecelakaan dan
sekitar 17,2% menjadi korban meninggal dunia dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami kecatatan fisik. Kecelakaan memiliki prevelensi cukup
tinggi yaitu insiden fraktur ekstermitas bawah sekitar 40% (Korlantas Polri RI, 2015).
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga dibawah penyakit
jantung koroner dan tubercolusis (Utama SU, Magetsari R & Pribadi V, 2008). Menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2014, di Indonesia terjadi fraktur yang disebabkan oleh
cidera seperti terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Riset
Kesehatan Dasar 2014 menemukan ada sebanyak 45.987 peristiwa terjatuh yang
mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%). Kasus kecelakaan lalu lintas sebanyak
20.829 kasus, dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127
trauma benda tajam/tumpul sebanyak 236 orang (1,7%) (Sarimawar dkk, 2014).
Fraktur femur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang paha yang
ditandai adanya deformitas yang jelas yaitu pemendekan tungkai yang mengalami fraktur
dan hambatan mobilitas fisik yang nyata (Brunner & Suddarth, 2008). Akibat adanya
fraktur mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak (hambatan mobilitas), terutama di
daerah sendi yang terjadi fraktur dan sendi yang ada di daerah sekitarnya. Karena
keterbatasan gerak tersebut mengakibatkan terjadinya keterbatasan lingkup gerak sendi
dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fleksibilitas sendi, Terjadinya gangguan
fleksibilitas sendi akibat suatu keadaan kelainan postur, gangguan perkembangan otot,
kerusakan system saraf pusat, dan trauma langsung pada system musculoskeletal,
misalnya fraktur yang menimbulkan respon nyeri pada daerah yang sakit (Potter & Perry,
2008). Fraktur dapat menyebabkan kecacatan fisik pada anggota gerak yang mengalami
fraktur, untuk itu diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari
kecacatan fisik. Sedangkan kecactan fisik dapat dipulihkan scara bertahap melalui latihan
rentang gerak yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang dievaluasi secara aktif,
yang merupakan kegiatan penting pada periode post operasi guna mengembalikan
kekuatan otot pasien (Brunner & Suddarth, 2008).
Mengingat pentingnya mobilitas fisik pada pasien fraktur untuk menyelamatkan
klien dari kecacatan fisik penulis akan membahas tentang aplikasi upaya peningkatan
mobilitas fisik pada pasien post operasi fraktur. Berdasarkan rincian diatas penulis tertarik
untuk mengangkat judul karya tulis ilmiah “upaya peningkatan mobilitas fisik pada pasien
post orif fraktur femur sinistra”.

2. METODE
Metode penulisan yang dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan pendekatan
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan,
evaluasi dan dokumentasi keperawatan. Dalam memperoleh data penulis menggunakan
beberapa cara diantaranya : rekam medik, wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan
studi dokumentasi dari jurnal maupun buku. Di dukung dari hasil jurnal-jurnal nasional
maupun internasional.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penulis akan menguraikam mengenai : Upaya peningkatan mobilitas fisik pada
pasien post orif fraktur femur. Upaya peningkatan mobilitas fisik pada pasien post operasi
berdasarkan pemberian asuhan keperawatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Februari
2017-25 Februari 2017 mulai dari pengkajian, analisa data, prioritas diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi keperawatan.
3.1 Hasil
3.3.1 Pengkajian dan Pemeriksaan Penunjang
Pengkajian dilakukan pada tanggal 23 Februari 2017 pada pukul 09:00.
(A). Nama = Tn. G, Umur = 20 tahun, Jenis Kelamin = Laki-laki, Agama =
Islam, Pekerjaan = Pelajar, Tanggal Masuk = 22 Februari 2017 pukul 23:00
WIB, Tanggal Pengkajian 23 Frebuari 2017, Dx Medis = Fraktur Femur
Sinistra, Asal Masuk = UGD, Cara tiba diruangan = Dengan Kereta Dorong, (B)
Keluhan utama = Nyeri pada luka post operasi paha kiri pasien, (C). Riwayat
kesehatan sekarang = pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dijalan jogjaSolo
pada pukul 22:30 WIB, lalu dibawa ke UGD, pasien mengatakan merasakan
nyeri dibagian paha kiri lalu dilakukan foto rongent dan pasien mengalami patah
tulang dibagian paha kiri lalu tim dokter melakukan operasi langsung pada
pukul 05:00 WIB. (D). Riwayat yang pernah di derita = pasien mengatakan
sebelumnya belum pernah menderita penyakit yang menyebabkan opname,
hanya demam, batuk, pusing dan mual muntah dan apabila merasakan keluhan
itu pasien biasanya mengonsumsi obat-obatan yang di beli di toko klontong
sebelah rumah setelah itu sembuh. (E). Riwayat pengobatan = Procold flu,
Bodrek flu dan batuk, 2x1, kurang lebih
16 hari yang lalu. (F). Riwayat penyakit peluarga = Keluarga
mengatakan bahwa didalam keluarganya tidak ada yang pernah mengidap /
menderita masalah kesehatan yang dapat diturunkan seperti Diabetes milietus,
HbsAg, dan yang lainya. (G). Pola Fungsional Menurut Gordon 1. Persepsi
kesehatan : Baik. 2. Pola Nutrisi dan Cairan : Baik. 3. Pola Eliminasi : Baik. 4.
Pola Aktivitas dan Latihan : Pasien mengatakan sebagian aktivitasnya dibantu
oleh keluarga dan perawat. 5. Pola istirahat dan tidur : Baik. 6. Pola sensori dan
kognitif : Baik. 7. Pola peran dan hubungan : Baik. 8. Pola Seksual : Baik. 9.
Persepsi diri dan konsep diri : Baik. 10. Pola koping dan stres : Baik. 11. Pola
nilai dan keyakinan : Baik. (H). Pemeriksaan Fisik = 1. Keluhan Umum: Baik,
2. Kesadaran: Compos Mentis, 3. GCS: E4,V5,M6, Total:15 4. TTV:130/90
mmHg, S: 36°C, RR: 20x/menit, N: 87x/menit. 5. Head To Toe = 1. Kepala :
Mesoshepal, bersih tidak ada lezi dan odema, 2. Mata : Pupil Isokor Simetris,
Reflek cahaya +/+, 3. Telinga : simetris,tidak terdapat kotoran , lezi dan odema,
4. Hidung: simetris tidak, kotoran : -, 5. Mulut : Mukosa bibir kering, bersih
tidak terdapat sariawan, gigi komplit, 6. Leher: Tidak terdapat peningkatan jvp,
7. Paru = I: Simetris, RR 20x/menit, P: Pengembangan dada sama antara kanan
dan kiri, P: Bunyi nafas vaskuler, A: Tidak ada suara nafas tambahan, Pola
Pernafasan : irama teratur, Tidak menggunkan oto bantu pernafasan, Batuk:
Tidak, Produk sputum : tidak. 8. Jantung = I: . Pergerkan dada : simetris, P:
tidak ada nyeri tekan, P: Suara jantung redup, A: tidak ada bunyi jantung
tambahan. 9. Abdomen = I: tidak ada pembengkakan, tidak ada lezi, A: bising
usus 11x/menit, P: tidak ada nyeri tekan, P: timpani. 10. Ekremitas = 1. Atas :
Terdapat luka kecelakaan, tangan kanan terpasang inful RL 20 tpm, 2. Bawah :
terdapat lupa post operasi dibagian pahakiri dan terdapat pembalutan di area
tersebut. 11. Punggung = Warna kulit normal, tidak terjadi dicubitus, 12.
Genetalia = Bersih terpasang DC, 13. Anus = Bersih tidak ada benjolan.
Pemeriksaan penunjang menurut siregar (2015) Rontgen, pemeriksaan darah
akan didapatkan leukosit, eosinofil, dan peningkatan laju sedimentasi eritosit,
biakan skret fistel dan uji resistensi. Pemeriksaan penunjang hasil (hematologi)
pada tanggal 23 februari 2014 Hemoglobin 13,8gr/dl (12-16). Lekosit 12,200/ul
(4000-11000). Trombosit 312.000/ul (150000-
400000). Eritrosit 3.9juta/ul (4-5juta/ul). Hematokrit 31,2% (3743%). GDS
99mg/dl (<180). Hasil foto rontgen paha kiri pasien patah tulang hinggal
merobek daging paha pasien (tidak ada pembacaan). Berdasarkan Hasil
pemeriksaan darah, menunjukan bahwa terdapat peningkatan jumlah lekosit hal
itu dapat menyebabkan timbulnya infeksi. Terapi tanggal 23 februari 2017
pasien mendapat terapi inful RL 20 tpm, Ketorolac 1amp/8jam, Cefazolin
1amp/8jam dan obat oral Cefadroxil 500mg 3 x 1 hari, Kalk 3 x 1hari.
3.3.2 Analisa Data
Pengkajian pada tanggal 23 februari 2017 didapatkan data subjektif
pasien mengatakan nyeri dibagian paha kiri bekas operasi, Data objektif, klien
terlihat meringis kesakitan, P= Luka post operasi, Q= Teriris-iris , R= paha kiri,
S= 7, T= terus menerus. Berdasarkan data diatas penulis merumuskan masalah
keperawatan yaitu. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Nyeri
merupakan pengalaman sensori dan emosional akibat dari kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial (Burnner & Suddarth, 2013).
Data subjektif, Pasien mengatakan pada bagian paha kiri ketika
digerakan terasa nyeri, sebagian aktivitasnya dibantu oleh keluarga. Data
objektif, pasien terlihat membatasi pergerakanya dan tampak meringis kesakitan
ketikan perawat menyuruh menggerakan kakinya. Berdasarkan data di atas
penulis merumuskan masalah keperawatan gangguan mobolitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Hambatan mobilitas fisik
adalah keterbatasan seseorang dalam melakukan pergerakan fisik (Potter &
Perry, 2008).
Data subjektif, Pasien mengatakan nyeri pada paha kirinya, lukanya
terasa seperti teriris-iris . Data objektif, adanya pembalutan pada bagian paha
kirinya, tidak ada pembengkakan pada
pembalutan, jumlah lekosit 12.0 10ˆ3/uL. Berdasarkan data di atas penulis
merumuskan masalah keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invansif.
3.3.3 Diagnosa keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguanmuskuloskeletal, Resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invansif.
3.3.4 Intervensi
Diagnosa 1 : Intervensi keperawatan, tujuan setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam nyeri hilang atau berkurang sekala 0-3 atau dapat
diadaptasi, mampu mengontrol nyeri, Rencana keperawatan yang dilakukan
menurut muttaqin (2011) yaitu kaji nyeri dengan pendekatan PQRST,
menejemen nyeri : atur posisi fisiologis dan imobilisasi ekstremitas yang
mengalami fraktur, istirahtakan klien, lakukan kompres, ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam, teknik distraksi, menejemen sentuhan, jelaskan dan bantu pasien
dengan tindakan pereda nyeri non farmakologi dan non infansif,
kolaborasidengan team dokter dalam pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Diagnosa 2 : Intervensi keperawatan, tujuan setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam klien meningkat dalam aktifitas fisik, mengerti
tujuan dari peningkatan mobilitas, memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah, memperagakan penggunaan
alat bantu untuk mobilisasi. Rencana keperawatan yang dilakukan monitoring
tandatanda vital sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon pasien saat
latihan, konsultasikan dengan terapis fisik tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuha, bantu pasien dalam menggunakan alat bantu saat berjalan dan
cegah terhadap cidera, ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik
ambulasi, kaji kemampuasn pasien dalam ambulasi, latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan, dampingi dan
bantu pasien saat mobilisasi, berikan alat bantu jika pasien memerlukan, ajarkan
pasien tentang tirah baring, ruban posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
Diagnosa 3 : Intervensi keperawatan, tujuan setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam diharapakan resiko infeksi tidak terjadi dengan
kriteria hasil tidak ada tanda-tanda infeksi, yaitu dengan, observasi tanda-tanda
dari infeksi, lakukan perawatan luka (medikasi) setiap pagi hari, berikan
informasi tentang perawatan luk, kolaborasi dengan team dokter dalam
pemberian antibiotik.
3.3.5 Implementasi
Penulis akan memaparkan hasil implementasi tanggal 23 Februari 2017
– 25 Febuari 2017.Implementasi tanggal 23 februari 2017 pukul 13:00,
mengukur TTV pasien, Ds: pasien mengakatan terimakasih, Do: TD:
130/80mmHg, N:89 x/menit, S:36°C, RR:20 x/menit, pukul 13:1 0, Mengkaji
keluhan klien, Ds: klien mengatakan nyeri dibagian bekas operasi, takut
menggerakan kaki karena nyeri Do: P: luka post operasi Q: Teriris-iris, R: paha
kiri, S: 7, T:Terus menerus ,jika digerakan, Luka post op sepanjang 20cm,
jumlah jahitan 21, warna kulit diarea pluka pucat, sedikit keluar cairan darah
bening. Pukul 13:30, mengajarkan teknik relaxasi nafas dalam, Ds: pasien
mengatakan nyeri sedikit berkurang, Do: Pasien tampak lebih rilek dan bisa
melakukan teknik nafas dalam S:6. Pukul 14:00, Melatih ROM pasien dan
mengajarkan tirah baring, Pasien kooperatif, Ds:- Do: Latihan kaki kiri dapat
digerakan 150°, Pukul 14:30, Memberikan ijeksi Ds: pasien mengatakan
terimakasih, Do: injeksi 1. Ketorolac 1amp/8jam, 2. Cefazolin 1amp/8jam dan
obat oral 1. Cefadroxil 500 3x1 hari, 2 Kalk 3x1hari, pukul 15:00, Mengatur
posisi pasien dengan posisi anatomi, Ds:pasien mengatakan mengerti, Do:
pasien tampak rilek, pukul 16:30, Mengatur lingkungan pasien aman dan
nyaman, Ds:-, Do: mengurangi mobilitas fisik/ketenangan pasien, Pukul 17:00
Mengukut TTV pasien, Ds: pasien mengatakan terimakasih, Do: TD:
120/80mmhg, N: 90 x/menit, S: 36°, RR: 20x/menit. Pukul 22:00 , Memberikan
ijeksi Ds: pasien mengatakan terimakasih, Do: injeksi 1. Ketorolac 1amp/8jam,
2. Cefazolin 1amp/8jam dan obat oral 1. Cefadroxil 500 3x1 hari, 2 Kalk
3x1hari.
Tanggal 24 februari 2017, pukul 07:00 Mengkaji TTV pasien, Ds: pasien
mengatakan terimakasih, Do: TD: 130/80 mmHg, N: 88 x/menit, S: 37 C, RR:
20x /menit. pukul 08:00 Medikasi, Ds: pasien mengatakan terimakasih, Do: luka
post operasi sepanjang 20 cm jumlah jahitan 21, warna kulit diarea luka pucat,
tidak keluar cairan, kondisi diarea luka bersih, tertutup kasa dan hipafik. Pukul
10:00, melatih ROM pasien, Ds: pasien tampak kooperatif, mengatakan dapat
menggerakan kakinya sperti yang diajarkan ketika perawatan har pertama, DO:
kaki dapat ditekuk 90 . Pukul 12:30 melatih pasien untuk duduk Ds: pasien
mengatakanbisa dudu namun hanya sebentar, Do: pasien tampak membatasi
pergerakan, dapat duduk namun hanya 10 menit, Pukul 13:00 mengajarkan
ambulasi. Ds:pasien mengatakan bisa berpindah dari bed ke kursi roda namun
dibantu oleh keluarga, Do: pasein dapat melakukan sesuai tindakan. Pukul 14:00
Memberikan injeksi Ds: pasien mengatakan terimakasih, Do: 1. Ketorolac
1amp/8jam, 2. Cefazolin 1amp/8jam. pukul 22:00 memberikan injeksi Ds:
pasien mengatakan terima kasih Do: 1. Ketorolac 1amp/8jam, 2. Cefazolin
1amp/8jam.
Tanggal 25 februari 2017, pukul 07:00 Mengkaji TTV pasien, Ds: pasien
mengatakan terimakasih, Do: TD: 120/70 mmHg, N: 90 x/menit, S: 36,6 C, RR:
20x /menit. pukul 07:30 Melakukan medikasi, Ds: pasien mengatakan
terimakasih, Do: luka post operasi sepanjang 20 cm jumlah jahitan 21z, warna
kulit diarea luka pucat, tidak keluar cairan, kondisi diarea luka bersih, tertutup
balutan. Pukul 08:00 mengajarkan theknik tirah baring. Ds:pasien mengatakan
bisa miring kanan dan kiri, Do: pasein dapat melakukan sesuai tindakan dengan
mandiri. Pukul 09:00, melakukan pengkajian nyeri, Ds:pasien mengatakan nyeri
dibangian paha kiri bekas operasi, namun sudah menurun , Do: P post operasi,
Q: teriris-iris, R: paha kiri , S: 5, T: terus menerus, Pukul 10:30, melatih ROM
pasien, Ds: mengatakan bahwa dirinya sudah buisa berjalan namun terbatas dan
menggunakan alat bantu krak, Do: pasien tampak kooperatif, pasen terlihat
berjalan menggunakan krak. Pukul 14:00 Memberikan injeksi Ds: pasien
mengatakan terimakasih, Do: 1.
Ketorolac 1amp/8jam, 2. Cefazolin 1amp/8jam.
3.3.6 Evaluasi
Evaluasi adalah pernyataan kesimpulan yang menunjukan tujuan dan
memberikan indikator kualitas dan ketepatan perawat yang menghasilkan hasil
psien yang positif (Tucker & Susan, 2008).
Hasil evaluasi tanggal 23 Februari 2017 Diagnosa pertama Nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik. Subjektif: Pasien mengatakan nyeri P:
luka post operasi Q: Teriris-iris, R: paha kiri, S: 6, T:Terus menerus ,jika
digerakan, Objektif : Pasien tampak meringis kesakitan sesekali menarik nafas
dalam, Analisa : Masalah belum teratasi, Planing : lanjutkan intervensi (kaji
sekala nyeri, ajarkan teknik nafas dalam, kolaborasi dengan tim dokter dalam
pemberian obat analgetik).
Diagnosa kedua Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan muskuloskeletal. Subjektif : pasien mengatakan takut menggerakan
kakinya. Objektif : Pasien dapat menggerakan kakinya 150°, Analisa : masalah
belum teratasi, Planing : Lanjutkan intervensi (Kaji pergerakan kaki pasien,
ajarkan latihan ROM, Kolaborasi dengan fisioterapi).
Diagniosa ketiga resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Subjekif : Pasien mengatakan ada luka operasi pada bagian paha kiri, Luka post
op sepanjang 25cm, jumlah jahitan 20, warna kulit diarea pluka pucat, sedikit
keluar cairan darah bening, Objektif : ada pembalutan di paha kiri pasien,
Lekosit 12,200, Analisis : masalah belum teratasi, Planning : lanjutkan
intervensi (kaji luka pasien, lakukan medikasi, kolaborasi pemberian analgetik).
Evaluasi tanggal 24 februari 2017 diagnosa pertama nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik, Subjektif : pasien mengatakan nyeri
masih terasa namun sudah menurun, P: luka post operasi, Q: teriris, R: paha kiri,
S: 5, T: hilang timbul, Objektif : Pasien tampak rilek sesekali menarik nafas
panjang, Analisa : masalah belum teratasi, Planning : lanjutkan intervensi.
Diagnosa kedua Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan muskuloskeletal. Subjektif : Pasien mengtakan rutin melakukan
latihan ROM dengan bantuan orang tua, Objektif : pasien dapat berpindah dari
tempat tidur ke kursi roda, kaki dapat digerakan 90° dan sudah dapat duduk dan
miring ke kanan dan kiri, serta berpindah dari tempat tidur ke tempat duduk
Analisis: masalah teratasi sebagian , Planning : lanjutkan intervensi ( lanjutkan
latihan ROM ajari pasien untuk ambulasi, ajari pasien untuk berjalan, kolaborasi
dengan fisioterapi).
Diagnosa ketiga Resiko infeksi berhubungan dengan prosefur invansif.
Subjektif : pasien mengatakan terdapat luka post operasi dibagian paha kiri,
Objektif : Luka post operasi sepanjang 20 cm, jumlah jahitan 21, warna kulit
disekitar luka pucat, tidak keluar cairan, tidak ada jahitan yang di hetting up,
luka tertutup kasa dan hipafik, Analisis : masalah belum teratasi, Planning :
lanjutkan intervensi (lakukan medikasi, kolaborasi dalam pemberian antibiotik).
Evaluasi tanggal 25 februari 2017 diagnosa pertama nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik, Subjektif : pasien mengatakan nyeri
masih terasa namun sudah menurun, P: luka post operasi, Q: teriris, R: paha kiri,
S: 4, T: hilang timbul, Objektif : Pasien tampak rilek sesekali menarik nafas
panjang, Analisa : masalah belum teratasi, Planning : lanjutkan intervensi
(ajarkan teknik nonfarmakologi, dan anjurkan kepada pasien untuk melakukan
control secara rutin serta meminum obat secara teratur).
Diagnosa kedua Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan muskuloskeletal. Subjektif : Pasien mengtakan dapat berjalan
menggunkan alat namtu krak, Objektif : pasien tampak menggerakan kakinya,
dapat berjalan menggunakan alat bantu krak. Pasien pulang pukul 15:00 WIB.
Analisis: masalah teratasi , Planning : intervensi dihentikan (informasikan
kepada pasien dan keluargaa agar melakukan kontrol secara rutin).
Diagnosa ketiga Resiko infeksi berhubungan dengan prosefur invansif.
Subjektif : pasien mengatakan luka post oeprasi masih terasa nyeri, Objektif :
Luka post operasi sepanjang 20 cm, jumlah jahitan 21, warna kulit disekitar luka
pucat, tidak keluar cairan, tidak ada jahitan yang di hetting up, lukatertutup
pembalutan, pasien pulang pukul 15:00 WIB. Analisis : masalah teratasi,
Planning : hentikan intervensi (informasikan kepada pasien dan kelarga untuk
melakukan kontrol secara rutin, dan menjaga kebersihan).
3.2 Pembahasan
3.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dalam proses keperawatan yang
dilakukan dengan anamnesis atau berkomunikasi secara langsung dengan
mengajukan pertanyaan kepada pasien guna mendapatkan data yang digunakan
untuk mengetahui keadaan fisik secara umum. Anamnesis meliputi Identitas
pasien, Riwayat penyakit, Pemeriksaan fisik dan Pemerikasaan Laboraturium.
(Muttaqin, 2008). Pada pengkajian didapatkan diagnosa prioritas yaitu 1. Nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera fisik. 2. Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. 3. Resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invansif.
3.2.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan merupakan pernyataaan klinis tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat terhadap masalah kesehatan baik aktual maupun
potensial (Monica, 2015). Pada Tn.G diagnosa yang muncul 1. Nyri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik. 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal. 3. Resiko invensi berhubungan dengan
prosedur invansif.
1.2.3 Intervensi
Tahap perencanaan keperawatan ada 4, yaitu: dengan menentukan prioritas
masalah, menentukan tujuan, melakukan kriteria hasil, dan merumuskan intervensi.
Menentukan kriteria hasil perlu memperhatikan hal sperti yang bersifat spesifik,
realistik, dapat diukur, dan berpusat pada pasien, setelah itu penulis perlu
merumuskan rencana keperawatan (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Intervensi
keperawatan harus memperhatikan beberapa kriteria yang terkait dengan rumusan
intervensi keperawatan. Tujuan intervensi dari diagnosa keperawatan disamping
sebagai berikut : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam klien
meningkat dalam aktifitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas,
memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah, memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi.

3.2.4 Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat
adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan
hubungan saling percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik
psikomotor, kemampuan melakukan kemampuan advokasi, dan kemampuan
evaluasi (Asmadi,2008). Implementasi yang dilakukan penulis yaitu Memberikan
latihan ROM (range of motion), Mengajarkan Alih baring, Dan mengajarkan
ambulasi. Pada intervensi keperawatan gangguan mobilitas fisik tujuan setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mampu melakukan
aktivitas sesuai kemempuan dan meningkat dalam aktifitas fisik.
1.2.4 Evaluasi
Hasil dari perlakuan tindakan ROM selama 3x24 jam yaitu sebelum
dilakukan asuhan keperawatan pasien belum berani menggerakan kakinya
dikarenakan nyeri post op hari ke 0, setelah dilakukan asuhan keperawatan hari
pertama pasien sudah dapat menggerakan kakinya 150° dengan bantuan perawat
dan pasien mengeluh nyeri dan membatasi pergerakanya, setelah dilakukan asuhan
keperawatan hari ke dua pasien sudah dapat menggerakan kakinya 90° namun
masih dibantu perawat dan pasien dapat berpindah dari tempat tidur ke kursi roda,
dan sudah dapat duduk dan miring ke kanan dan kiri, serta berpindah dari tempat
tidur ke tempat duduk, setelah dilakukan asuhan keperawatan hari ke 3 pasien
sudah belajar berjalan dengan menggunakan alat bantu jalan (krak). ROM (ranfe of
motion) terbukti untuk meningkakan dan menyelamatkan pasien dari kecacatan
fisik pada anggota gerak yang mengalami fraktur hal ini sesuai teori ( Lukman dan
Ningsih, 2009) yang menyatakan bahwa fraktur dapat menyebabkan kecacatan
pada anggota gerak yang mengalami fraktur, untuk itu diharuskan segera dilakukan
tindakan penyelamatan pasien dari kecacatan fisik. Sedangkan kecacatan fisik
dapat dipulihkan secara bertahap melalui latihan rentang gerak yaitu dengan latihan
ROM (range of motion).

2. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hasil pengkajian didapatkan diagnosa pada Tn.G yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik. Gangguan mobilitas fisik berhubngan dengan
gangguan muskuloseletal. Resiko inveksi berhubungan dengan prosedur invansif.
Intervensi keperawatan yang tidak dapat dilakukan oleh penulis yaitu mengajarkan
teknik distraksi dan menejemen sentuhan. Implementasi modifikasi penulis yang ada
dalam intervensi yaitu mengukur tanda tanda vital, kolaborasi pemberian analgetik,
mengajarkan teknik ambulasi, mengajarkan alih baring, serta mengajarkan ROM.
Evaluasi masalah nyeri akut teratasi sebagian sedangkan masalah mobilitas fisik dan
resiko terjadinya infeksi teratasi intervensi dihentikan.
Analisis pemberian ROM pada Tn.G dengan post operasi fraktur femur yaitu
efektif dalam meningkatkan mobilitas fisik pasien, hal ini bisa dibuktikan dari hasil
evaluasi selama 3 hari yaitu dari sebelum dilakukan asuhan keperawatan pasien
belum berani menggerakan kakinya dikarenakan nyeri post op hari ke 0, setelah
dilakukan asuhan keperawatan hari pertama pasien sudah dapat menggerakan
kakinya 150° dengan bantuan perawat dan pasien mengeluh nyeri dan membatasi
pergerakanya, setelah dilakukan asuhan keperawatan hari ke dua pasien sudah dapat
menggerakan kakinya 90° namun masih dibantu perawat dan pasien dapat berpindah
dari tempat tidur ke kursi roda, dan sudah dapat duduk dan miring ke kanan dan kiri,
serta berpindah dari tempat tidur ke tempat duduk, setelah dilakukan asuhan
keperawatan hari ke 3 pasien sudah dapat menggerakan kakinya 90° dan sudah
belajar berjalan dengan menggunakan alat bantu jalan (krak).
4.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan maka penulis memberikan
saran-saran segabai berikut :1. Bagi Rumah Sakit : Diharapkan agar lebih
meningkatkan pelayanan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dan juga
memperbarui ilmu tentang asuhan keperawatan yang dibutuhkan pasien fraktur
femur. 2. Bagi pasien dan keluarga : Diharapakan pasien dan keluarga dapat
menambah pengetahuan tentang perawatan setelah dilakukan operasi fraktur femur
dan menganjurkan pasien untuk melakukan pemeriksaan dan control secara rutin
sesuai jadwal yang telah ditentukan, dan menerapkan ilmu yang telah diberikan
selama perawatan dirumah sakit. 3. Bagi penelitian lain : Diharapkan hasil karya
tulis ini dapat menjadi bahan referensi serta acuan untuk dikembangkan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur femur.

PERSANTUNAN

Penelitian ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk progam Diploma III
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penulis sangat mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan
Karya Tulis Ilmiah. Dalamkesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih
kepada:

Prof. Drs. Bambang Setiadji, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.


Dr. Suwaji, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Okti Sri P. S,kep. M.kes. Ns. Sp.kep.M.B, selaku Ketua Progam Diploma III
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Vinami Yulian, S. Kep., Ns., MSc, Selaku Sekretaris Program Studi Diploma III
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fahrun N. R. M. Kes selaku
Pembimbing dan Penguji dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
Arina Maliya, S.Kep., Ns., M.si. Med selaku Penguji Karya Tulis Ilmiah. Segenap
Dosen Keperawatan UMS yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu.
Kedua orang tua yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan
pendidikan kejenjang ini, serta do’a yang selalu dipanjatkan untuk saya.
Andika Dyah Ayu Kusuma, selaku orang yang selalu memberikan doa, semangat dan
dukungnanya kepada saya.
Kepala Instansi Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Delanggu.
Keluarga Tn.G selaku narasumber dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Teman-
teman seperjuangan DIII keperawatan UMS angkatan 2014 yang saling memberikan
dukungan.
Team Keperawatan Medikal Bedah atas kerjasama dan semangatnya selama ini.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga amal dan kebaikan yang
telah diberikan mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC

Burrner & Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta

Cluett, J. (2012). Open Reduction Internal Fixasion. Diakses pada tanggal 8 November 2012,
dari http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones

Herdman, Heather T. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2015-2016 Edisi 10.
Jakarta : EGC

Hidayat, AAA. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep Dan Proses
Keperawatan. Buku 2. Jakarta : Salemba Medika

Hubdat. (2008). Kemajuan alat transportasi darat. Jakarata : EGC

Kemenkes RI. (2014). Pedoman Interprestasi Data Klinik

Lukman dan Ningsih. (2009). “Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap
Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus”.
Jurnal GASTER Vol. 10 No. 2
Korlantas Polri R, (2015). Data Laka Lantas Tambahan Tahun 2014. Jakarta

Monica. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klarifikasi 2015-2017. Jakarta. EGC

Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta :


Salemba Medika

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta:EGC

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, &
praktik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Sarimawar dkk. (2014). Gambaran Kecelakaan di Indonesia. Jurnal Ekologi


Kesehatan. Vol. 15 No 1, hh : 30 – 42
Smeltzer. S. C. (2007) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC

Smeltzer & Bare. (2009). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth (8th,
3rd vol). Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Tarwoto & Wartonah. (2015). Pengkajian Keperawatan Kritis.Edisi 2. Jakarta : EGC

Tucker & Susan, (2008).Buku ajar asuhan keperawatan.jakarta : EGC

Utama SU, Magetsari R & Pribadi V. (2008). Estimasi Prevalensi Kecelakaan Lalu
Lintas Dengan Metode Capture-Recapture. Jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol. 24, No. 1.

 Analisa PICO
UPAYA PENINGKATAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN POST ORIF FRAKTUR
FEMUR SINISTRA

P : Problem

Masalah yang terjadi pada pasien post ORIF ( open reduction internal ) femur adalah
keterbatasan gerak sendi lutut yang dialami oleh pasien , faktur dapat menyebabkan kecatatan
fisik dan dapat dipulihkan secra bertahap melalui latihan gerak yaitu dengan latihan Range Of
Motion ( ROM )

I : Intervensi

 Atur posisi pasien


 Ajarakan pasien teknik relaksasi
 Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
 Kolaborasi degan tim medis lainnya untuk pemberian obat analgetik dan antibiotic

C : Comparison

Tidak ada perbandingan dalam jurnal ini , karena intervensi yang di ambil hanya untuk satu
diagnose keperawatan

O : Outcame

Dari intervensi yang dilakukan pasien mulai merasa nyaman dan dapat menerapkan teknik
relaksasi yang diajarkan saat nyeri timbul.

T : Time
Jurnal ini diterbitkan pada tanggal 08 April 2017

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Indera pendengar dan keseimbangan terdapat di dalam telinga. Telinga manusia terdiri atas
tiga bagian, yaitu

1. Telinga luar, yang menerima gelombang suara.


2. Telinga tengah, dimana gelombang suara dipindahkan dari udara ke tulang dan oleh
tulang ke telinga dalam.
3. Telinga dalam, dimana getaran ini diubah menjadi impuls saraf spesifik yang berjalan
melalui nervus akustikus ke susunan saraf pusat. Telinga dalam juga mengandung
organ vestibuler yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan.
Pendengaran merupakan indera mekanoreseptor karena telinga memberikan
respon terhadap getaran gelombang suara yang terdapat di udara. Factor utama yang
menyokong kepekaan telinga adalah sistem mekanik dari telinga luar dan telinga
tengah, yang satu mengumpulkan suara dan kedua menyalurkan ke telinga bagian
dalam.
Telinga dapat mengalami penurunan fungsi pendengaran jika pada salah satu
fisiologinya mengalami kerusakan. Salah satunya adalah ketulian yang diakibatkan
pecahnya gendang telinga. Oleh karena itu diharapkan dapat menjaga dan selalu
merawat indera pendengaran supaya tetap dalam kondisi normal.
Dalam system musculoskeletal Otot dan rangka adalah bagian penting untuk
bergerak bagi manusia, manusia tidak bisa bergerak tanpa adanya rangka, dan rangka
tidak bisa bergerak tanpa adanya otot. Hal ini semua berkaitan. Dengan adanya
kerjasama antara rangka dan otot, manusia dapat berjalan, melompat, berlari dan
sebagainnya.

B. Kritik dan Saran


Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuarangan. Untuk itu Kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan demi
menyempurnakan makalah ini kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai