Anda di halaman 1dari 38

Laporan Khasus

SYOK SEPSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Program Internship

Di RS Djatiroto Lumajang

Disusun Oleh :

dr. William Bordus Dickison Victor Prayogi

Pembimbing :

dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd

i
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RS DJATIROTO LUMAJANG
JAWA TIMUR
2022

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. William Bordus Dickison Victor Prayogi

No. STR : 2011100122252129

Fakultas : Kedokteran Universitas Batam

Tingkat : Program Dokter Internsip

Bagian : Rawat Inap

Bidang Pendidikan : Penyakit Dalam

Periode Internsip : 16 Mei 2022 – 16 Mei 2023

Judul Laporan Kasus : Syok Sepsis

Telah diperiksa dan disetujui tanggal : 1 Juli 2022

Bagian ilmu penyakit dalam RSU Djatiroto Lumajang, Jawa Timur

Mengetahui,

Kepala Rumah Sakit RSU Djatiroto Lumajang

Dokter Pendamping Internship Pembimbing,

dr. Ratih Puspita Wulandari dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd

ii
iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke Tuhan yang Maha Esa karena telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Syok Sepsis”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas saat
mengikuti Program internship RSU Djatiroto Lumajang, Jawa Timur.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Isty Rindryastuti ,Sp.Pd


selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini, serta dokter pendamping internship dr. Ratih Puspita Wulandari yang
telah memberikan masukan dan teman- teman yang membantu dalam penulisan
laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan
semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Djatiroto, 14 Juli 2022

Penulis,

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi.................................................................................................1
1.2 Anamnesis..................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik (tgl 29 Juni 2022).........................................................2
1.4 Gambaran Fisik..........................................................................................4
1.5 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................5
1.6 Diagnosis Kerja..........................................................................................9
1.7 Penatalaksanaan IGD.................................................................................9
1.8 Penatalaksanaan DPJP...............................................................................9
1.9 Follow Up Harian....................................................................................11

BAB I
A. PENDAHULUAN....................................................................................16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................17
2.1. DEFINISI...............................................................................................17

2.2. EPIDEMIOLOGI...................................................................................19

2.3. ETIOLOGI.............................................................................................20

2.4. PATOFISIOLOGI.................................................................................20

iv
2.5. DIAGNOSIS..........................................................................................23

2.6. TATALAKSANA..................................................................................27

BAB III KESIMPULAN......................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

v
LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi
Nama : Mr. S
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 62 tahun
Alamat : Jatiroto
Pekejaan : Petani
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 29 Juni 2022 – 4 Juli 2022

1.2 Anamnesis

Keluham Utama :
Penurunan Kesadaran

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien penurunan kesadaran sejak pukul 09.00WIB tadi pagi sepulang


dari sawah. Menurut keluarga pasien seperti mengantuk dan badan sangat
lemas. Pasien juga mengeluhkan badan seperti meriang keringat dingin.
Sejak tadi pagi pasien tidak makan. Pasien juga mengeluhkan terdapat
luka lecet pada tanggal 28 Juni 2022. Mual (-), Muntah (-), nyeri dada (-),
pingsan (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat diabetes mellitus (+) dan tidak terkontrol


• Riwayat darah tinggi disangkal
• Riwayat penyakit astma disangkal

1
• Riwayat minum OAT disangkal
• Riwayat Vaksin Cov-19 disangkal
• Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita sudah menikah. Penderita bekerja sebagai petani. Status


social ekonomi cukup

1.3 Pemeriksaan Fisik (29 Juni 2022)


Keadaan Umum
• Keadaan Umum : tampak lemah gelisah
• Kesadaran : apatis
• Tekanan darah : 50 / palpasi
• Nadi : tidak teraba
• Penafasan : 40 x/menit
• Suhu : 37,0 oC
• SpO2 : 99 % roomair
• GDA : 82 mg/dl
Pemeriksaan Fisik
 Kepala dan Leher
Bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, perdarahan temporal tidak
ada, dan nyeri tekan tidak ada. Pembesaran kelenjat getah bening tidak
ada, hipertrofi otot sternokleidomastoideus tidak ada, JVP
(5+2)cm,nafas cuping hidung tidak ada.

2
 Dada
Bentuk thorax normal simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi dinding thorax (-)
Paru-paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (-) normal, ronkhi basah halus (+) di
kedua basal paru, wheezing (-)

 Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.


Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea aksilaris
anterior sinistra ICS VI
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung linea sternalis dextra ICS VI
Batas kiri jantung linea aksilaris sinistra ICS VI

Auskultasi : HR: 60 x/m, regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium
(-),Hepatomegali (-).
Perkusi : timpani, ascites (-)
 Genital : TDP
 Ekstremitas : Edema tungkai (-), terdapat luka gores pada tangan
sebelah kiri sebesar 3 cm

3
1.4 Gambaran Fisik

1.5 Pemeriksaan Penunjang

4
 Pemeriksaan EKG

 Pemeriksaan Radiologi

5
Foto thorax AP view, posisi supine, simetris, inspirasi dan kondisi
cukup, hasil :
- Tampak konsolidasi inhomogen di paracardial dekstra
- Tak tampak penebalan pleural space bilateral
- Kedua diafragma licin, tak mendatar
- Cor, CTR < 0,56
- Sistema tulang yang tervisualisasi intak

Kesan :

6
- Mengarah gambaran pneumonia dekstra
- Besar cor normal

 Pemeriksaan Laboratorium

7
1.6 Diagnosa Kerja

8
Obs Penurunan Kesadaran + Susp. Syok Sepsis + Pneumonia + ISK + MODS
1.7 Penatalaksanaan IGD
 O2 NRBM 15 lpm
 IUVD NS 500 cc/2 jam loading (TD tetap 50 / palpasi )
 Lanjut IUVD NS 500 cc/2 jam
 NoreEphinephrine pump mulai 100 nano
 Pemasangan DC (+)
1.8 Advis DPJP
 NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg
 Loading ulang NS 500 cc/jam
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg

1.9 Follow Up Harian

9
Rabu, 29 Juni 2022
S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 60/palpasi mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 115 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 26x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36,5oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral Dingin (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP>
60 mmHg
 Loading ulang NS 500 cc/jam
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 PRO ICU

Kamis, 30 Juni 2022

10
S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 105/50 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 100 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 28x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36,9oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral Dingin (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  Pindah ke bangsal
 NRBM 12 lpm
 Pump NE mulai dari 50 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60 mmHg
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 Kombinasi dopamine 7 nano,titrasi up

Jumat, 1 Juli 2022

11
S badan lemas (+), napas terasa berat, nyeri kepala, batuk kadang-kadang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 119/57 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 110 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 25x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% NRBM 12 lpm Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  NRBM 10 lpm
 Pump NE mulai dari 200 nano/kgBB/unit sampai dengan MAP> 60
mmHg
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 Inf. Paracetamol 3x1 gram (k/p)
 Cavicur 3x1
 Memucil 3x 600 mg

12
Sabtu, 2 Juli 2022
S badan lemas (+), napas mulai membaik, batuk berkurang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 94/62 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 79 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  O2 nasal canul 3-4 lpm
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg
 NE pump tap off tiap 4 jam

13
Minggu, 3 Juli 2022
S mulai membaik, batuk berkurang
O KU: lemah K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 110/71 mmHg p/ ves (-/-), ves (-/-),
HR: 82 x/mnt rhonki halus (+/+),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri
A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS
P  O2 nasal canul 3-4 lpm
 Inf. Bfluid : Ns 1:2
 Inj. Moxifloxacin 1x400 mg
 Nebul Combivent 1 rspl/8 jam
 Inj. Ceftriaxone2x1
 Inj. Gastrofer 2x 40 mg

14
Minggu, 3 Juli 2022
S Tidak ada keluhan
O KU: cukup K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Kes: Compos mentis Thorax: c/ dbn
TD: 100/70 mmHg p/ ves (+/+), ves (-/-),
HR: 80 x/mnt rhonki halus (-/-),
RR: 22x/mnt whezz (-/-)
Tax: 36oC Abd: Flat, BU (+) normal, soepel,
SpO2 : 97% room air Ext: Akral hangat (+) di keempat
akral, edema -|-, luka gores
pada tangan kiri

A Syok Sepsis + Pneumonia+ISK + MODS


P
KRS
 Starces 2x200mg
 Moxifloxacin 1x400 mg
 Omeprazole 2 x 20 mg
 L-core 1x1

15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUAN

Syok adalah syndrome klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi


kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan penurunan
perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Banyak
hal yang dapat menyebabkan terjadinya syok, terutama adanya infeksi yang
menyerang tubuh penderita.

Sepsis merupakan suatu keadaan dimana terjad disfungsi organ yang


mengancam nyawa diakibatkan karena disregulasi respon tubuh terhadap
infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau fungi. Salah satu
sistem organ penting yang sering terkena dampak oleh sepsis adalah sistem
kardiovaskular. Dilaporkan lebih dari 3000 kasus dalam 5 dekade terakhir
dalam studi klinis mengenai adanya komplikasi kardiovaskular pada sepsis.

Syok Septik adalah sepsis yang disertai dengan hipotensi (tekanan


sistolik <90 mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Keterlambatan diagnosis dan penanganan syok
septik yang kurang tepatmenyebabkan angka kematian masih tinggi dengan
insidens yang cenderung terus meningkatsetiap tahunnya. Hal ini
mengharuskan para klinisi memiliki pemahaman tentang etiologi, patofisiologi,
dan penatalaksanaan syok septik.

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Beberapa konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, sepsis berat, dan


syok septik. Pertama, pada tahun 1991 the American College of Chest
Physicians and Society of Critical Care Medicine (ACCP/ SCCM) mengajukan
konsep SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik. Kriteria SIRS meliputi:

1) suhu tubuh >38◦C atau <36◦C per oral;


2) frekuensi nadi >90 kali/menit;
3) frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg;
4) jumlah leukosit>12.000/µL atau <4.000/ µL atau >10% bentuk imatur
(batang).
Sekurangnya dua dari empat kriteria di atas harus terpenuhi untuk
mendefinisikan SIRS. Meskipun SIRS sering terjadi karena infeksi, keadaan
non-infeksi seperti luka bakar, pakreatitis akut, dan trauma, dapat juga
menyebabkan SIRS. Kriteria di atas tidak memasukkan penanda biokimia,
seperti C-reactive protein (CRP), prokalsitonin, atau inter- leukin (IL)-6, yang
sering meningkat pada sepsis. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang disertai
infeksi yang terbukti atau dicurigai. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai
dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, seperti menurunnya fungsi ginjal,
hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis
dengan perfusi abnormal dan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
menurun >40 mmHg di bawah tekanan darah dasar (baseline) pasien tersebut
atau tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) selama sekurang-kurangnya 1 jam
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, atau sepsis yang
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik

17
tetap ≥90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥70 mmHg. Peningkatan laktat
serum menjadi tanda hipoperfusi jaringan dan syok septik.
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional diselenggarakan
oleh SCCM, the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), the
American College of Chest Physicians (ACCP), the American Thoracic Society
(ATS), dan the Surgical Infection Society (SIS). Konferensi ini masih tetap
menggunakan definisi di atas, selain itu mengembangkan konsep sistem
penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah yang disebut
PIRO. Huruf P mewakili predispo- sisi, mengindikasikan faktor-faktor yang
memengaruhi pasien terhadap terjadinya sepsis meliputi faktor genetik,
lingkungan, dan kondisi komorbid. Huruf I mewakili infeksi, termasuk lokasi
infeksi, sumber infeksi, dan jenis organisme. Huruf R mewakili respon terhadap
adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf O mewa- kili disfungsi organ,
termasuk kegagalan sistem organ seperti sistem koagulasi.
Definisi baru untuk sepsis dan syok septik telah direkomendasikan oleh
SCCM/ ESICM dalam konsensus internasional ke-3 (Sepsis-3) pada tahun
2016. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa,
disebabkan oleh ketidakmampuan respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi
organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut sebagai konsekuensi infeksi
yang dirumuskan dalam skor sequential (sepsis related) organ failure
assessment (SOFA) ≥2 Penekanan pada disfungsi organ yang mengancam jiwa
konsisten dengan pandangan bahwa cacat seluler mendasari kelainan fisiologik
dan biokimia sistem organ spesifik. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko
mortalitas rata-rata 10% untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
tersangka infeksi. Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi
peredaran darah dan selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian. Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara
klinis yaitu sepsis dengan disertai hipotensi menetap yang membutuhkan
vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan arteri rata-rata ≥65 mmHg dan

18
konsentrasi laktat darah >2 mmol/L (>18 mg/dL) meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Risiko mortalitas pasien yang dirawat menjadi
>40%

2.2. EPIDEMIOLOGI

Menurut jurnal NCBI tahun 2017 pada negara-negara yang berpenghasilan


tinggi terdapat 31,5 juta kasus sepsis dan 19,4 juta kasus sepsis berat terjadi
secara global setiap tahun, dengan potensi 5,3 juta kasus kematian setiap tahun.
Angka-angka ini hanyalah perkiraan karena pengetahuan tentang kejadian dan
kematian sepsis di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah masih
langka karena sedikitnya data dan sulitnya menghasilkan perkiraan tingkat
populasi di wilayah ini.

Studi epidemiologi kontemporer dari negara-negara berpenghasilan tinggi


menunjukkan tingkat insiden yang tinggi dari sepsis yang dirawat di rumah
sakit, mulai dari 194 per 100.000 penduduk di Australia pada tahun 2003 ,
hingga 580 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 2006. Di
Jerman, insiden kasus sepsis yang dirawat di rumah sakit antara tahun 2007 dan
2013 meningkat dari 256 menjadi 335 kasus per 100.000 penduduk; proporsi
pasien dengan sepsis berat meningkat dari 27% menjadi 41%

Sepsis dan sepsis berat merupakan penyebab utama kematian pada pasien
kritis yang dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) di Amerika Serikat.
Penelitian metaanalisis oleh Jawad ed al mendapatkan bahwa insiden sepsis
dalam populasi berkisar 22-240 kasus per 100.000 orang, sepsis berat 13-300
kasus per 100.000 orang dan syok septik sebanyak 11 orang per 100.000 orang
dengan anga kematian mencapai 30% untuk sepsis, 50% untuk sepsis berat, dan
80% untuk syok septik.

19
2.3. ETIOLOGI

Masuknya mikroba ke aliran darah bukan merupakan sesuatu yang


mendasar terhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal dengan
penyebab bakteri yang menghasilkan produk patogen seperti eksotoksin, dapat
juga memicu respon inflamasi sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ
di tempat lain dan hipotensi. Kultur darah yang positif hanya ditemukan pada
sekitar 20-40% kasus sepsis berat dan persentasenya meningkat seiring tingkat
keparahan dari sepsis, yaitu mencapai 40- 70% pada pasien dengan syok septik.
Bakteri Gram negatif atau positif mencakup sekitar 70% isolat, dan sisanya
ialah jamur atau campuran mikroorganisme. Pada pasien dengan kultur darah
negatif, agen penyebab sering ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan
mikroskopik dari bahan yang berasal dari fokus infeksi.

Sepsis berat terjadi sebagai akibat dari infeksi yang didapat dari komunitas
dan nosokomial. Pneumonia ialah penyebab paling umum, mencapai setengah
dari semua kasus, diikuti oleh infeksi intra- abdominal dan infeksi saluran
kemih. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae ialah bakteri
Gram positif paling sering, sedangkan Escherichia coli, Klebsiella spp, dan
Pseudomonas aerugi- nosa predominan di antara bakteri Gram negatif.

2.4. PATOFISIOLOGI

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi


awal dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan
kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular,
vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan
metabolisme akan menyebabkan ketidak seimbangan antara penghantaran
oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia
jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien dengan syok dapat berupa
penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok

20
merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi
dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan
neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya
meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan
disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive
oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eikosanoid.Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-
1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses
fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses


tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular,
trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan
terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global. (Keterangan
lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini)

21
Gambar 1.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,
trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi

22
2.5. DIAGNOSIS

Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan


Society of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus
mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis
berat, dan syok septic.

Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ Ul

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septic Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi


yang adekuat (sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah
sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau
penurunan >40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik
yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20
sampai 40 mL/kg).

Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasar kan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991.

Pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care


Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ
failure assessment (SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan
seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari
skor SOFA ini adalah:

23
1) Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ
dan hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2) Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

Sistem Sko
r
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FIO2, ≥40 <400 <300 <200 (26,7) <100 (13,3)
mmHg (kPa) 0 (53,3) (40) dengan bantuan dengan bantuan
(53, alat respi- alat respirasi
3) Rasi
Koagulasi
Trombosit, ≥15 <150 <100 <50 <20
×103/Μl 0
Hati
Bilirubin, <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 ≥12,0
mg/Dl (<20) (20-32) (33-101) (102-204) (≥20
(μmol/L) 4)
Kardiovaskular
MAP ≥70 MAP <70 Dopamin Dopamin Dopamin
mmHg mmHg ≤5 atau 5,1-15 atau >15 atau
dobutami epinefrin epinefrin
n (semua ≤0,1 atau >0,1 atau
dosis)b norepinefrine norepinefrine
≤0,1b >0,1b
Sistem saraf
pusat
Skor Glasgow 15 13-14 10-12 6-9 <6
Coma Scalec
Ginjal
Kreatinin, mg/Dl <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
(μmol/L) (110) (110- (171- (300- (440)
170) 299) 440)
Urine output, <500 <200
mL/hari
Tabel 2. Skor sequential organ failure assessment (SOFA)
Keterangan: FIO2 = fraction of inspired oxygen, MAP = mean arterial pressure,
PaO2 = partial pressure of oxygen

Komponen penilaian SOFA meliputi enam sistem organ utama, yaitu


pernapasan, renal, hepar, hematologi, sistem saraf pusat, dan kardiovaskular

24
(Tabel 2). Kondisi disfungsi ogan direpresentasikan oleh peningkatan nilai total
skor SOFA ≥ 2

Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi


sepsis segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan
skoring qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-
related) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga
komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu (Tabel 3). Skor qSOFA
≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor qSOFA direkomendasikan
untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih
dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan
uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA (Gambar).

Kriteria Qsofa Poin

Laju pernapasan ≥ 22x/menit 1

Perubahan status mental/kesadaran 1

Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

Tabel 3. Skor quickSOFA

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.

25
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Selanjutnya,
trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan
fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi
setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

2.6. TATA LAKSANA

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh


SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis
Guidelines pertama kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun
2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis
Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan
dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana
didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru. Komponen
dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal,
vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal,
kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata
laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:


1) Stabilisasi pasien langsung Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan
dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri  pada pasien

26
hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.
2) Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme Perlu segera perawatan
empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum
aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial
diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).

Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi
yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif
dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan
mencakup airway, breathing, circulation; oksigenasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter
vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP)
8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.

1) Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi
maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat
keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan
curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke
jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan

27
upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

2) Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan
baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

3) Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi
untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk
vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit,
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin

28
0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan
milrinon).

4) Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien sepsis dimulai dengan terapi awal
dengan menggunakan antibiotik empiris broad spectrum, sebelum hasil
kultur didapatkan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
pasien.Setelah hasil kultur didapatkan, terapi di evaluasi kembali,
selanjutnya dilakukan pengurangan jumlah regimen ataupun
ditambah.Antibiotik broad spectrum mengacu pada antibiotik bagi
Pseudomonas aeruginosa, seperti imipenem–cilastatin, piperasilin-
tazobaktam, ceftazidim atau ciprofloxacin. Sementara antibiotik
berspektrum sempit mengacu pada antiotik β-laktam tanpa aktivitas
terhadap P. Aeruginosa, seperti ceftriaxone dan amoxicillin-klavulanat

5) Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada
hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi
plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6) Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan
secara parenteral.

BAB III

29
PENUTUP

Sepsis adalah mekanisme kompleks yang dapat meliputi patogen penyebab


infeksi dengan faktor virulensinya, respon pejamu, respon inflamasi, sistem
koagulasi yang terganggu, dan disfungsi organ. Kompleksnya perubahan
imunopatologi dan sistem koagulasi bertangung jawab terhadap morbiditas dan
mortalitas pasien sepsis dan syok septik. Definisi dan kriteria klinis yang diperbarui
diharapkan dapat memfasilitasi penatalaksanaan pasien berisiko sepsis dengan lebih
tepat waktu.
Dalam kasus ini pasien di dianosa dengan syok septic karena dari anamnesa
pasien mengalami penurunan kesadaran disertai dengan sesak napas. Selain itu
setelah dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan adanya hipotensi dan dalam
pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukositosis.
Dalam kasus ini menurut penulis teori dengan penatalaksanaan pasien mr. x sudah
sesuai. Dimana ketika awal masuk rumah sakit pasien sudah dilakukan penanganan
awal berupa pemberian oksigen NRBM 12 lpm, hal ini di berikan untuk memenuhi
kadar oksigen dalam tubuh mr.x. Selain itu pasien sudah diberikan resusitasi awal
berupa pemberian cairan NS 500 cc sebanyak dua kali karena tekanan daah pasien
menurun hingga shock. Setelah pemberian resusitasi cairan sebanyak 1000 cc tekanan
darah pasien tidak mengalami perbaikan, makan pemberia norephinephrine harus
diberikan sesuai berat badan. Setalah itu pasien di rawat di ICU agar memperoleh
perawatan yang insentif.
Di dalam ICU pasien dilakukan perawatan insentif guna meminalisir hal yang
tidak diinginkan terjadi. Di dalam ICU pasien diberikan antibiotik berupa cetriaxone
guna untuk menangani infeksi yang terjadi dalam tubuh pasien. Selain itu pemberian
norephinephrine juga dinaikan karena tekanan darah pasien tidak mengalami
perbaikan, bahkan penggunaan dopamin harus diberikan pada pasien guna untuk
membantu menaikan tekanan darah dalam pasien. Pemberian norephinephrine beserta

30
dopamine digunakan untuk memenuh target MAP >65% sehingga dapat memperbaiki
kondisi utama pasien
Maka sudah sesuai penanganan pasien shock septic dalam pasien ini dengan teori
yang sudah dibuat oleh penulis. Semoga laporan kasus ini dapat menjadi sebagai
bahan bacaan yang berguna dan bermanfaat dalam menangani syok septic dan
memiminimalisir angka kematian akibat syok sepsis ataupun sepsis.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanto, Diana. 2018. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok Septik.


Manado : Jurnal Biomedik.
2. Sari, Efris. 2021. Hubungan Skor SOFA Dengan Mortalitas Pasien Kritis.
Malang: Jurnal Kesehatan.
3. Oesman F, Setiabudy RD. 2012. Fisiologi hemo- stasis dan fibrinolisis. In:
Setiabudy RD, editor. Hemostasis dan Trombosis (5th ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
4. Singer M, Deutchman. 2016, The third international consensus definitions
for sepsis and septic shock. America : American Medical Association.
5. Levy, Mitchell.2018. The Surviving Sepsis Campaign Bundle. America :
Springer.
6. Rhodes A, Evans L. 2017. Surviving Sepsis Campaign; International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock. America : Intensive
Care Med.

32

Anda mungkin juga menyukai