Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:
dr. VIRGI PARISA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD LUBUK BASUNG, AGAM
SUMATERA BARAT
2020/2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN..................................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Diagnosis Kerja......................................................................................5
Diagnosis Banding.................................................................................5
Prognosis................................................................................................5
Tatalaksana.............................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................6
Anatomi dan Fisiologi Organ Vestibuler...............................................6
Definisi...................................................................................................7
Epidemiologi .........................................................................................8
Etiologi...................................................................................................8
Patofisiologi...........................................................................................8
Gejala Klinik.........................................................................................10
Diagnosis...............................................................................................10
Penatalaksanaan....................................................................................15
Komplikasi............................................................................................19
Prognosis...............................................................................................19
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan


memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan
dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.

Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi


diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun
demikian, diagnosa serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada
beberapa keadaan Apendisitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal
dari gejala Apendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah
diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti resiko
kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini
mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul
gangguan organ lain dengan gejala yang serupa dengan Apendisitis akut.

Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala,


pemeriksaanlaboratoium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan
mendiagnosis Apendisitisakut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa
tersebut untuk memudahkan dokter dalam mendiagnosa dan mengambil
keputusan.

1
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Nn. T
b. Umur :20 tahun
c. Alamat : Cumateh
d. Suku : Minang
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SMA
h. Pekerjaan : Mahasiswi
i. MRS : 16 Februari 2021 Pukul 09.00 WIB

II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari
SMRS dan memberat sejak 1 hari ini, nyeri dirasakan terus terusan sejak
kemaren, mual (+), muntah (-), pasien juga merasakan demam sejak 2 hari
yang lalu, batuk (-), pilek (-), sesak (-), BAK (+) normal seperti biasa, warna
kuning jernih dan tidak nyeri ketika BAK, BAB (+) normal seperti biasa,
kentut (+).

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat infeksi (-), Riwayat Demam Lama (-)

2
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama (-),Riwayat infeksi (-), Riwayat Demam Lama
(-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status interna
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Vital sign
Tekanan darah : 116/78 mmHg
Nadi : 82x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu Axila : 37⁰C

2. Status generalisata
Kepala : CA (-/-), SI (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H2O
Thorax :
Paru
Inspeksi : Simetris kanan-kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi :Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).

3
Abdomen : Spel, Bising usus (+), Nyeri tekan (+) pada regio Inginal
detra, Psoas Sign (+), Mc. Burney (+), nyeri lepas (+),
defan muskular (+)
Ekstremitas : oedem tidak ada, akral hangat.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorim
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.0
Lekosit 15.600
Trombosit 350.000
Hematokrit 46
Waktu Perdarahan 2 Menit
Waktu Pembekuan 4 Menit
KIMIA KLINIK
GDS 112
SGOT 28
SGPT 32
Ureum 17
Kreatinin 0.9
HbsAg Negatif
Rapid Test Covid 19 Non Reaktif

V. DIAGNOSIS KERJA
Kolik Abdomen e.c Appendicitis Akut

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Infeksi Saluran Kemih
- Gastroenteritis Akut

4
VII. PROGNOSIS
Dubia ed bonam

VIII. TATALAKSANA
- Oksigen via Nasal Canule 3 lpm
- Rencana Apendektomi Cito
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 1 gram/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam

5
-

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Appendik

Gambar 1. Anatomi appendiks

Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter


dan tanpa fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial
caecum dengan panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar
5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm. Appendiks merupakan derivat
bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens.
Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam
proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks caecum,
tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis.
Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan
mesoapendiks (mesenter dari appendiks) yang merupakan lipatan
peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks dan berakhir di
ujung appendiks.

6
Gambar 2. Embriologi appendiks

Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan


caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi
appendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik
intraperitoneal maupun retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di
belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01%
(appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal ( dibawah
caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan
pre-ileal.

Gambar 3. Variasi Letak Appendiks

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan


di sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan
yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri

7
apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat
kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang
dari vena ileocoli berjalan ke vena mesentrik superior dan masuk ke
sirkulasi portal.

Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus


yang mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n. Thorakalis X.

3.2 Fisiologi Appendik


Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
appendisitis. Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun
akhir-akhir ini, appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara
aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks
merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh
tubuh

3.3 Definisi
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang di kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus
medical emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang
paling sering ditemui. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama
appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit
seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat

8
pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang
disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%,
benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

Gambar 5. Inflamasi Appendiks

3.4 Epidemiologi Apendisitis

Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun
bermakna.Hal ini disebabkan oleh meningkatnyapenggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari.Apendisitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan.Insidens
tertinggi pada kelompok umur 20- 30 tahun, setelah itu menurun.Insidens
pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan
kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60
tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.

3.5 Etiologi Apendisitis

Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks


sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan
limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
9
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks,
diantaranya :

a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena
stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada
kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan ruptur.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis
yaitu :

10
Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif


Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah
timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif yang terus-menerus
dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus dan
menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari
proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan
merangsang peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi
dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi
yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini
juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
denga diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit

11
putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.

3.6 Patofisiologi Apendisitis


Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian
diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu
hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking,
perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang
tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi.
Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan
terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan.
Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan
obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat
iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga
dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri
untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga
menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis
Akut Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah
arteri juga terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai
vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini
disebut Appendisitis Gangrenosa.
Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan
intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi,
mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium
ini disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis
umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus
seperti tersebut di atas, karena ada usaha tubuh

12
untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum,
lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi
gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut
Appendisitis Infiltrate.
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang
membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum
dengan sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir
infeksi bias sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan
terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular
infiltrate dibagi menjadi dua :
a. Appendikuler infiltrate mobile
b. Appendikuler infiltrate fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna
sehingga akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang
belum sempurna akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan
peritonitis umum.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi


akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga
perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala,
kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.

Gambar 6. Patofisiologi Appendisitis

13
3.7 Manifestasi Klinis Apendisitis
a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix
ataupun karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan.
Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang
merupakan nyeri viseraldi daerah epigastrium atau sekitar
umbilicuskarena appendix dan usus halus mempunyai persarafan yang
sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di
abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6
jam) akan terjadinyeri somatik setempatyang berarti sudah terjadi
rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada
letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
1) Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan
mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
2) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
3) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangan dindingnya.
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus
vagus. Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat

14
permulaan.Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang
berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua
kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudahrasa nyeri yang timbul saat
permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita
appendicitis akut, bila hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut
perlu dipertanyakan.
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal
tersebut
timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah
rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

3.8 Diagnosis Apendisitis


a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas
anamnesis ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan
penunjang lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis,
ada 4 hal penting yaitu :
1) Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa
waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
2) Muntah oleh karena nyeri visceral
3) Demam
4) Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik

15
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi
perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat
pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-
tanda peritonitis lokal yaitu:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau
titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri
yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen
kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam dititik
Mc Burney.
 Defens muskuler (+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular
mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
 Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis
pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur.
4) Perkusi : nyeri ketuk (+)

16
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
1) Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah,
karena tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga
menggerakkan peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic
pain)
2) Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah
atau kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan
terasa nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada
sisi yang berlawanan.
3) Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara
memeriksa:
 Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+)
bila terasa nyeri perut kanan bawah.
 Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah

Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign

4) Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau

17
articulation coxae. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan
bawah.

Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign

d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi
ringan ( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel
Polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi
pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan
akut appendisitis dan apendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan
leukosit >18.000/mm3meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.
 Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan
bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
 Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa
appendisitis adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan
fase akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar
serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.

18
Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena
tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil
dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri
2) Foto polos abdomen
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk
biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%,
suatu fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah.
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal
“gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan
fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya
local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada
kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air
(jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan
kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran
kemih kalkulus.
Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang
rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
abdomen yang akut.
3) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan
dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat
digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu
paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan
sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk
mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible
appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior,
adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa,
dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi
appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah
definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses,
19
lemak pericecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer
submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan
pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum
Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang
panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada
appendiks.
4) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke
colon melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada
suspek appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada
kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat
masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke
intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis kronik.
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara
peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8– 10 jam untuk anak –
anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan
positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan
indentasi dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal
ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False negative
(partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah
tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang
dicurigai menderita appendisitis akut.
e. Scoring Appendisitis
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor
alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan
skor >6. Selanjutnya dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu : radang akut dan bukan radang akut.

20
Keterangan Alvarado score :

 Interpretasi dari Modified Alvarado Score :


1 – 4 sangat mungkin bukan appendisitis akut
5 – 7 sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 pasti appendisitis akut
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 : observasi
5 – 7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini
3.9 Diagnosis Banding Apendisitis
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelaminPada anak-anak balita àntara lainintususepsi, divertikulitis,
dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak
berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan
Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi
lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat
diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis
akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni
diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. · Pada anak-anak
usia sekolah à gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada
gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis,
tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu

21
penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya
demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-
gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba
massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah.
Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa
muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan
fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis.
Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. · Pada wanita usia
muda Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada
PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista
ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk
didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini
adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
divertikulitis, perforasi ulkus, dankolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada
CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada
orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang
tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan
pemeriksaan laboratorium.

3.10 Komplikasi Appendisitis


1) Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro
atau makro perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar.

22
2) Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh
omentum,usus halus atau usus besar.
3) Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C
4) Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren
appendiks, yang kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga
peritoneum. Gejalanya ialah : peningkatan kekakuan otot abdomen,
distensi abdominal dan demam tinggi.
3.11 Penatalaksanaan Apendisitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi
apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
1) Puasakan
2) Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
3) Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
4) Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomi.
3.12 Terapi Non-Operatif
1) Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.
2) Rujuk ke dokter spesialis bedah.
3.13 Terapi Operatif (Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)

23
1) Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
2) Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan
anaerob.
3) Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan
Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih
karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendiktomi :

1) Appendisitis kronik
2) Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
3) Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
4) Apendisitis perforata
3.14 Prognosis Appendisitis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika
pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru,
atau aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi
terjadi dan dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring
dengan perforasi dan usia tua.

BAB IV

ANALISIS KASUS

24
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS
dan memberat sejak 1 hari ini, nyeri dirasakan terus terusan sejak kemaren, mual
(+), muntah (-), pasien juga merasakan demam sejak 2 hari yang lalu, batuk (-),
pilek (-), sesak (-), BAK (+) normal seperti biasa, warna kuning jernih dan tidak
nyeri ketika BAK, BAB (+) normal seperti biasa, kentut (+).
Keluhan pada pasien sesuai dengan gambaran Appendicitis Akut dimana
gejala yang paling umum adalah biasanya keluhan muncul dengan onset akut
kurang dari 1 minggu, dimana nyeri yang dirasakan terus menerus, kemdian
terdapat kelhan khas dari Appendicitis Akut yang bisa dilihat dari Avrado Score
diantara nya demam, mual, tidak nafsu makan, Pada pemeriksaan fisik jga
ditemukan pemeriksaan khas yaitu nyeti tekan, nyeri lepas, defan msklar, Mc
Burnay Sign, Psoas Sign. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis
dan tampak gambaran appendik pada radiologi.
Penatalaksanaan kasus Appendicitis Akut yang tepat pada kasus ini adalah
Apendektomi secara cito dikarenakan kasus pada pasien ini merpakan kass
kegawatdaruratan, dan juga dapat diberikan anti nyeri serta antibiotik yang tepat
secara intravena untuk mengurangi rasa nyeri dan infeksi pre op dan post op.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong Wim. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum.


In:Sjamsuhidajat R, de Jong Wim, editors. Buku-ajar ilmu bedah.
1st ed. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. p. 865-76.2.
2. Matthew JB, Hodin RA. Acute Abdomen and Appendix. In: Mulholland,
MichaelW, Lillemoe, Keith D, editors. Greenfield’s Surgery:
Scientific Principles andPractice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006. p. 1214-9.3.
3. Berger DH, Jaffe BM. The Appendix. In: F. Charles Brunicardi, editor.
Schwartz’sManual of Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p.
784-96.4.
4. Ellis H. The Appendix. In: Martin Sugden, editor. Clinical
Anatomy. 11th ed.Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2006. p. 79-80.5.
5. Ferguson CM. Acute appendicitis. In: Irene Butcher, editor. Oxford Textbook
ofSurgery. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press; 2002. p. 626-30

26

Anda mungkin juga menyukai