Pembimbing:
dr. Linda Hapsari
Penyusun:
dr. Cici Cahya Wijayanti
INTERNSHIP
KOTA KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Penurunan Kesadaran ec. DM
Hipoglikemia”. Laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan dalam Program
Internsip Dokter Indonesia. Selama proses kegiatan dalam Program Internsip Dokter
Indonesia, banyak sekali pengalaman yang didapatkan oleh penulis untuk berkarir
sebagai dokter di kemudian hari.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang terlah membantu. Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran.
2
Lembar Pengesahan
Kediri,
Dokter Pembimbing
3
DAFTAR ISI
A. Subjektif ....................................................................................................................... 6
B. Objektif......................................................................................................................... 7
I. Vital Sign................................................................................................................... 7
C. Assesment................................................................................................................. 12
D. Planning ..................................................................................................................... 12
I. Terapi IGD........................................................................................................ 12
D. Follow up .................................................................................................................... 13
2.2 Hipoglikemia………………………………………………………………….21
4
2.2.2 Tanda dan Gejala Hipoglikemia ....................................................................... 23
5
BAB 1
LAPORAN KASUS
A. Subjektif
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. P
Nomor RM : 171609
Umur : 87 tahun
Agama : Islam
1. Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
2. Keluhan tambahan :
Diabetes mellitus (+) baru beberapa hari ini saat di cek GDA oleh tetangga nya
dengan hasil 205
Alergi : disangkal
6. Riwayat pengobatan
Glibenklamid 5mg 1-0-0 dibeli sendiri oleh keluarganya tanpa resep dan
anjuran dari dokter
B. Objektif
I. Vital Sign
- RR : 22x/menit
- SpO2 : 97 %
7
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
- Pasien tidak sadar
- Kesadaran : stupor
- GCS : E1 V1 M4
Status Generalis
▪ Kepala/leher : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dyspneu (-)
▪ Thorax :
▪ Cor :
▪ Pulmo:
▪ I: normochest
▪ P: sonor
▪ Abdomen
▪ I: supel
8
▪ P: timpani
▪ Ekstremitas
Status Neurologis
KPR/APR : +2/+2
Motorik : sde
a. Laboratorium
Darah Nilai
Lengkap Normal
Index
Eritrosit
9
MCV 87,5 fL 80,1 – 100,0
Hitung Jenis
Neutrofil 74,1 % 46 - 73
Limfosit 18,3 % 17 - 48
Gula Darah
Acak
SGOT
SGPT
BUN
BUN 10 mg/dl 5 - 15
CREATININ
RAPID
TEST
Antigen
Costae : dbn
c. EKG
11
C. Assesment
Observasi penurunan kesadaran ec. DM Hipoglikemia
D. Planning
I. Terapi IGD
- Stop OAD
- D40% → 2 flacon
- GDA : 176
- terapi :
E. Follow Up
12
FOLLOW UP HARIAN PASIEN
Tang S O A P
gal
11- Pasien sadar penuh KU: cukup Post Terapi
01- dan mengatakan GCS: E4 V5 M6 hipoglikemia - Saat GDA 240 mg/dl
2022 badan masih lemas. TTV: TD 120/80 mmHg, HR 88 x/mn, RR 20 x/mn, T 36,1o pada DM ganti infus RL 14 tpm
(H2) Sudah bisa diajak C tipe 2 - Setelah infus diganti
berkomunikasi. Kepala: a/i/c/d -/-/-/- dengan RL, kemudian
Mual (-), muntah (- Leher: pembesaran KGB (-) cek GDA ulang dengan
), demam (-), Thorax: hasil 103 mg/dl. Infus
pasien mau makan - I: gerak dada simetris, iktus tak terlihat kembali diganti dengan
dan minum - P: ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris, D10%
iktus kordis tak kuat angkat, thril (-) - Drip NB 5000 1x1
- P: sonor dikedua lapang paru, batas jantung normal - Stop OAD
- A: ves +/+ wh -/- rh -/- S1 S2 tunggal murmur- gallop- - Cek GDP dan G2PP
Abdomen: besok
- I: flat, simetris.
- A: BU (+) normal
- P: soefl, Nyeri Tekan epigastrik (-), suprapubik (-)
- P: timpani
13
Ekstremitas: Hangat, Kering, Merah (+/+/+/+), edema (-/-/-/-
)
Pemeriksaan penunjang :
Tang S O A P
gal
12- Pasien mengatakan KU: cukup Post Terapi
01- masih sedikit GCS: E4 V5 M6 hipoglikemia - Inf RL 14 tpm
2022 lemas, namun TTV: TD 130/90 mmHg, HR 82 x/mn, RR 20 x/mn, T 36,5o pada DM - Drip NB 5000 1x1
(H-3) sudah lebih baik. C tipe 2 - Stop OAD
14
Kepala: a/i/c/d -/-/-/- - Cek GDA besok
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax:
- I: gerak dada simetris, iktus tak terlihat
- P: ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris,
iktus kordis tak kuat angkat, thril (-)
- P: sonor dikedua lapang paru, batas jantung normal
- A: ves +/+ wh -/- rh -/- S1 S2 tunggal murmur- gallop-
Abdomen:
- I: flat, simetris.
- A: BU (+) normal
- P: soefl, Nyeri Tekan epigastrik (-), suprapubik (-)
- P: timpani
Ekstremitas: Hangat, Kering, Merah (+/+/+/+), edema (-/-/-/-
)
Pemeriksaan penunjang :
15
Tang S O A P
gal
13- Pasien merasa KU: cukup Post Terapi
01- sudah jauh lebih GCS: E4 V5 M6 hipoglikemia - Inf RL 14 tpm (stop)
2022 baik TTV: TD 130/80 mmHg, HR 70 x/mn, RR 20 x/mn, T 36,0o pada DM - Drip NB 5000 1x1 (stop)
(H-4) C tipe 2
*Pasien diperbolehkan
Kepala: a/i/c/d -/-/-/-
pulang
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: - Neurodex 1x1
- I: gerak dada simetris, iktus tak terlihat
- omeprazole tab 2x1
- P: ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris,
iktus kordis tak kuat angkat, thril (-) - Kontrol poli penyakit
- P: sonor dikedua lapang paru, batas jantung normal dalam 1 minggu lagi
- A: ves +/+ wh -/- rh -/- S1 S2 tunggal murmur- gallop-
Abdomen:
- I: flat, simetris.
- A: BU (+) normal
16
- P: soefl, Nyeri Tekan epigastrik (-), suprapubik (-)
- P: timpani
Ekstremitas: Hangat, Kering, Merah (+/+/+/+), edema (-/-/-/-
)
Pemeriksaan penunjang :
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
18
jumlah penderita mencapai 642 juta orang dengan kata lain satu dari sepuluh
orang dewasa akan menderita DM. Ditambah masih banyak penduduk di negara
kecil menengah yang tidak terdiagnosis pada awalnya. Keterlambatan diagnosis
diabetes ini menyebabkan timbulnya berbagai macam komplikasi seperti
penyakit ginjal kronik, penyakit gagal jantung, retinopati dan neuropati (Cho,
et al, 2015). Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut survey Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 diperkirakan 6,9% atau sekitar 12 juta penduduk
usia diatas 15 tahun menderita DM dan sebanyak 73,7% diantaranya tidak
terdiagnosis (Kemenkes RI, 2014). Tahun 2015, jumlah penderita DM di
Indonesia sempat turun yaitu sekitar 10 juta penderita, namun hal tersebut tidak
berpengaruh karena Indonesia tetap menempati urutan ke-7 dari 10 negara
dengan penderita DM terbanyak dan di tahun 2040 mendatang, jumlah
penderita DM di Indonesia akan makin meningkat yaitu sekitar 16,2 juta
penderita (Cho, et al, 2015).
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang sampai saat ini
belum diketahui penyebabnya, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-
sel beta penghasil insulin di pankreas (IDF, 2015). Kerusakan sel beta pankreas
akan menurunkan sekresi insulin sehingga kadar glukosa di dalam tubuh tetap
tinggi, selain itu reaksi autoimun ini juga mengakibatkan disfungsi sel alpha di
pankreas dimana sel alpha ini bertugas untuk menghasilkan glukagon. Pada
dasarnya jika kadar glukosa di dalam tubuh tinggi (hiperglikemi) produksi
glukagon akan di tekan, namun pada kondisi ini justru glukagon di sekresi
secara berlebihan oleh sel alpha sehingga kadar glukosa di dalam tubuh semakin
tinggi (Baynest, 2015).
Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit yang di turunkan dengan pola
autosomal dominan. Diabetes mellitus tipe 2 ini mempunyai 2 mekanisme
utama yaitu gangguan sekresi insulin dan gangguan fungsi insulin. Gangguan
sekresi insulin disebabkan karena disfungsi dari sel beta pankreas, serta
gangguan fungsi insulin disebabkan karena insulin mengalami resistensi. Pada
situasi dimana resistensi insulin mendominasi pada perjalanan penyakit DM
tipe 2 ini, sel beta pankreas akan bertransformasi untuk meningkatkan pasokan
insulin sebagai akibat permintaan tubuh yang berlebih. Atau dengan kata lain,
19
insulin telah disekresi cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk
metabolism glukosa namun kenyataannya insulin tersebut tidak mampu bekerja
dengan baik sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan pengeluaran insulin
yang berlebih (Baynest, 2015). Guyton menyebutkan, resistensi insulin yang
berat dan berkepanjangan, kenaikan kadar insulin bahkan tidak cukup untuk
mempertahankan pengaturan kadar glukosa yang normal sekalipun sehingga
terjadi hiperglikemi derajat sedang, selanjutnya sel-sel beta pankreas menjadi
“lelah” atau rusak dan tidak mampu memproduksi cukup insulin untuk
mencegah hiperglikemi yang cukup parah, terutama setelah seseorang
mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi karbohidrat.
2.1.4 Diagnosis
2.1.5 Komplikasi
20
b. Ketoasidosis diabetikum, disebabkan karena defisiensi insulin, sehingga
glukosa tidak bisa digunakan sebagai energi tubuh. Akhirnya sumber energi
didapatkan dari pemecahan lemak yang menghasilkan keton. Keton dapat
merubah keseimbangan pH sehingga menyebabkan asidosis metabolik.
Manifestasi klinis dari ketoasidosis diabetikum adalah dehidrasi, turgor kulit
yang buruk, mukosa membrane kering, hipotensi, anorexia, dan muntah.
Ketoasidosis diabetikum terjadi apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg/dl,
pH arteri kurang dari 7,30, serum bikarbonat kurang dari 15 mEq/L. Apabila
sudah masuk tahap lanjut akan muncul bau mulut seperti bau aseton (Agustien,
2013).
c. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya; Hipoglikemia ditandai dengan
menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/Dl. Bila terdapat penurunan
kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
terjadinya hipoglikemia (Alwi, 2015).
Komplikasi kronis dari DM terdiri dari :
a. Komplikasi makrovaskuler : makroangiopati diabetik mempunyai gambaran
histopatologi berupa aterosklerosis. Hal tersebut disebabkan karena gangguan
biokimia yang menyebabkan penumpukan sorbitol dalam tunika intima,
hiperlipoproteinemia, dan gangguan pembekuan darah yang pada akhirnya
akan menyumbat pembuluh darah.
b. Komplikasi mikrovaskuler berupa lesi spesifik yang menyerang kapiler,
arteriol retina, glomerulus ginjal, saraf-saraf perifer, otot-otot serta kulit.
c. Neuropati diabetik ini terjadi melalui 4 cara yaitu pembentukan AGE,
mekanisme jalur polyol, pembentukan ROS, dan aktivasi PKC (Agustien,
2013).
2.2 Hipoglikemia
2.2.1 Definisi
Hipoglikemia adalah keadaan kadar gula darah di bawah nilai normal ( <45
– 50 mg / dL). Hipoglikemia perlu dicegah pada pasien diabetes yang mendapatkan
terapi pengendalian kadar glukosa darah karena dapat menyebabkan kematian
apabila kadar gula darah tidak segera ditingkatkan. Hipoglikemia merupakan faktor
penyulit dalam pengendalian kadar gula darah penderita diabetes melitus. Dalam
konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa
21
plasma ≤ 63 mg% (3.5 mmol/L). Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga
dilakukan dengan bantuan Whipple’s Triad yang meliputi : keluhan yang
berhubungan dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah, dan
perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah. Hipoglikemia akut
diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat menurut gejala klinis yang
dialami oleh pasien (Perkeni, 2015 & Yale, JF., Paty, B., Senior, PA. 2018).
22
Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM
tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan sulfonylurea. Hipoglikemia merupakan efek
samping yang paling umum dari penggunaan insulin dan sulfonilurea pada terapi
DM, terkait mekanisme aksi dari obat tersebut, yaitu mencegah kenaikan glukosa
darah daripada menurunkan konsentrasi glukosa. Metformin, pioglitazone, inhibitor
DPP- 4, acarbose, inhibitor SLGT-2 and analog GLP-1 yang diresepkan tanpa insulin
atau insulin sekretagog (sulfonylurea/ glinide) jarang menyebabkan hipoglikemia.
Hipoglikemia ditemukan sebagai hambatan utama dalam mencapai kepuasan jangka
panjang kontrol glikemik dan menjadi komplikasi yang ditakuti dari terapi DM.
Kurangnya asupan makanan diketahui merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia diperkirakan menjadi penyebab kematian pada 2–4%
pasien DM tipe 1. Walaupun kontribusi hipoglikemia sebagai penyebab kematian
pada DM tipe 2 masih belum jelas, tidak jarang dugaan hipoglikemia menjadi
penyebab kematian. Angka kejadian hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 beberapa
kali lipat lebih rendah dibandingkan DM tipe 1. Risiko hipoglikemia yang berat
dikaitkan dengan penggunaan insulin atau sulfonylurea (terutama glibenklamid dan
glyburide) dan glinid, perubahan dosis obat, dan perubahan gaya/aktivitas hidup yang
terlalu drastic (Perkeni, 2015).
23
Gejala dan tanda hipoglikemia tidaklah spesifik antar individu.
Hipoglikemia dapat ditegakkan dengan adanya Whipple’s Triad. Gejala
hipoglikemia dikategorikan menjadi neuroglikopenia, yaitu gejala yang
berhubungan langsung terhadap otak apabila terjadi kekurangan glukosa darah.
Otak sangat bergantung terhadap suplai yang berkelanjutan dari glukosa darah
sebagai bahan bakar metabolisme dan support kognitif. Jika level glukosa darah
menurun maka disfungsi kognitif tidak bisa terelakkan. Gejala hipoglikemia
kedua, adalah autonom, yaitu gejala yang terjadi sebagai akibat dari aktivasi
sistem simpato-adrenal sehingga terjadi perubahan persepsi fisiologi (Rusdi MS,
2020). Menurut PERKENI dan Yale et al. gejala dan tanda hipoglikemia adalah
sebagai berikut:
24
Menurut Yale et al dan Paluchamy, tingkat keparahan hipoglikemia pada
pasien DM dikategorikan sebagai berikut :
26
1. Glukagon merupakan hormon yang disekresi pankreas untuk menstimulasi hepar
agar mengeluarkan glukosa yang tersimpan ke aliran darah. Injeksi glukagon dapat
diberikan pada pasien DM dengan kadar glukosa darah yang terlalu rendah untuk
diterapi dengan intake glukosa
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, berikan dekstrosa 20% sebanyak 50 cc (jika
kadar glukosa belum naik signifikan, diberikan dekstrosa 40% sebanyak 25 cc),
diikuti dengan infus D5% atau 10%
3. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian parenteral. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang dekstrosa 20%
4. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1 – 2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang. Pemberian dekstrosa 20% dapat diulang.
• Dextrose 40% 25 ml, diikuti dengan infus D5% atau D10%, gunakanlah
rumus 3-2-1-1
• Lakukanlah pemantauan gula darah setiap 1-2 jam, kalua terjadi
hipoglikemia berulang pemberian dextrose 40% dapat diulang
27
• Lakukan evaluasi pemicu hipoglikemia
Rumus 3-2-1-1
Rumus 1 : diberikan 1 flakon bila kadar gula darah 70-90 mg/dl, namun
disertai dengan tanda klinis hipoglikemia (hipoglikemia reaktif).
Bila setelah 15 menit dilakukan tatalaksana awal dan masih menunjukkan tanda
hipoglikemia maka terapi dapat diulang lagi. Bila gagal dilanjutkan dengan :
28
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
ganguan/ resistensi insulin. Risiko utama yang biasa ditemukan pada setiap penderita
yang didiagnosis penyakit DM diantanya hipoglikemia. Hipoglikemia merupakan suatu
keadaan penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala sistem
autonom dan neuroglikopenia. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar
glukosa darah <70 mg/dl (<4,0 mmol/L) dengan atau adanya whipple’s triad, yaitu
terdapat gejala-gejala hipoglikemia, seperti kadar glukosa darah yang rendah, gejala
berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM tipe 1,
diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan sulfonilurea Hipoglikemia
dapat dialami baik oleh pasien DM tipe 1 maupun pasien DM tipe 2.
Hipoglikemia dapat terjadi secara akut, tiba-tiba dan dapat mengancam nyawa
oleh sebab itu perlu dilakukan tatalaksana dengan cepat dan tepat. Tujuan terapi
hipoglikemia adalah mengembalikan dengan cepat level glukosa darah ke rentang
normal, mengurangi atau meniadakan risiko kerusakan otak. Namun, terapi hipoglikemia
harus memperhatikan dan menghindari overtreatment yang bisa menjadikan pasien
hiperglikemia. Monitoring glukosa darah perlu dilakukan untuk mencegah risiko
hipoglikemia. Pasien yang diterapi dengan insulin, sulfonilurea/ glinid dianjurkan untuk
mengecek glukosa darah kapanpun merasa adanya gejala hipoglikemia. Hal ini
dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa pasien harus mengkonsumsi karbohidrat untuk
mengkoreksi level glukosa darah yang rendah. Oleh sebab itu edukasi mengenai gejala
dan tanda hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus sangat penting dilakukan untuk
mencegah perburukan kondisi.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Setiati S, et al., 2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 6th ed, Vol. 2, Jakarta: Interna Publishing, pp. 2317-2329.
Yale, JF., Paty, B., Senior, PA. 2018 Clinical Practice Guidelines Hypoglycemia
Diabetes Canada Clinical Practice Guidelines Expert Committee. Can J Diabetes
42: S104–S108.
31